OPINI
Ibu Kota Baru: Legacy Berbiaya 200 Miliar Per Pejabat
Pak Jokowi hendaknya tidak hanya mengutamakan hasrat legacy (warisan) saja. Hasrat untuk disebut-sebut sebagai presiden yang mewujudkan pemindahan ibu kota. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Rakyat pantas mencurigai motif pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan. Mengapa Presiden Jokowi sangat memaksakan pemindahan itu? Padahal, Jakarta masih bisa berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Di sisi lain, bangsa dan negara ini sedang dilanda krisis multi-dimensional yang memerlukan penanganan serius oleh pemerintah. Negara sedang menghadapi kesulitan finansial. Utang bertimbun-timbun. Di bulan Mei 2019, jumlah utang sesuai catatan Bank Indonesia (BI) mencapai USD368 miliar atau sekitar 5,267 (lima ribu dua ratus enam puluh tujuh) triliun. Dari jumlah ini, utang pemerintah mencapai 4,603 triliun. Tahun 2019 ini, cicilan utang itu 400 triliun. Terdiri dari bunga 275.9 triliun, utang pokok 120.7 triliun. Jadi, setiap hari kita harus membayar 1 triliun lebih. Satu triliun itu seribu (1,000) miliar. Itu berarti setiap 10 menit kita bayar 7 (tujuh) miliar rupiah. Di tengah beban utang yang sangat dahsyat ini, Presiden Jokowi tak menghiraukan anjuran para pemuka bangsa. Agar berhenti dulu membicarakan pemindahan ibu kota. Banyak masalah urgen yang harus dipririotaskan Presiden. Khususnya gejolak politik dan keamanan di Papua dan Papua Barat. Tetapi, Jokowi bersikeras untuk memindahkan ibu kota. Beberapa hari lalu, tepatnya 26 Agustus 2019, Jokowi menetapkan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru Indonesia. Pembangunan fisik akan dimulai pertengahan 2020. Perkiraan awal biaya pembangunan ibu kota baru itu mencapai hampir 500 triliun rupiah. Hanya untuk mencipakan kenikmatan bagi para pejabat tinggi. Kalau jumlah pejabat tinggi ada 2,500 orang (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), berarti biaya pemindahan satu orang mencapai 200 miliar. Nah, haruskah pemindahan ini dibiarkan? Akumulasi masalah besar yang sedang melanda negara ini menyimpulkan agar pemindahan ibu kota jangan sampai terjadi. Setidaknya untuk saat ini. Pemindahan itu masih bisa ditunda. Pak Jokowi hendaknya tidak hanya mengutamakan hasrat legacy (warisan) saja. Hasrat untuk disebut-sebut sebagai presiden yang mewujudkan pemindahan ibu kota. Jangan khawatir soal ‘legacy’. Anda telah mencatatkan diri sebagai presiden dengan rekor utang terbesar. Anda juga menyaksikan polarisasi sosial-politik terhebat. Di masa Anda ini pula berlangsung pemilu/pilpres paling kacau dalam sejarah dengan korban nyawa 600 petugas KPPS. Jadi, legacy Anda sudah cukup banyak, Pak Jokowi. Bolehlah ditangguhkan legacy ibu kota baru. (31 Agustus 2019)
Pemindahan Ibukota dan Nasib Anies Baswedan
Kemungkinan besar Jokowi menemukan ide pindah ibukota lebih tepat jika dikaitkan dengan kekalahan sekutu Jokowi, Ahok dalam pilkada DKI. Lalu, tindakan Gubernur Anies memberhentikan reklamasi teluk Jakarta, sebuah skala bisnis ribuan triliun, tidak sejalan dengan pemerintahan Jokowi yang ingin hal itu terus berlangsung. Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Jakarta Development Initiative Jakarta, FNN - Soal Jokowi memindahkan ibukota sudah mendapat bahasan dari berbagai ahli. Yang paling idealis adalah pakar hukum tatanegara, Irman Putrasidin, dalam pesan munajat konstitusi. Dia mengaitkan kesakralan ibukota, yakni Jakarta, sebagai jejak perjuangan bangsa melawan kolonialisme. Model analisis tanah dan kesakralannya, di mana tanah tempat berpijak dianggap mewarisi nilai intrinsiknya, dibanding nilai nominal, merupakan idealisasi kaum perjuangan dalam melihat tanah berpijak. Semakin banyak nilai2 di tanah itu, seperti makam2 para orang suci, semakin bernilai tanah tersebut. Putrasidin menolak pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur, karena tempat baru itu tidak mempunyai akar sejarah yang kuat sebagai centrum perekat bangsa. Pandangan Fahri Hamzah lebih pada aspek legal dan prosedur. Fahri mengatakan bahwa Jokowi perlu merubah 8 Undang Undang sebelum bicara memindahkan ibukota, atau secara sepihak menyatakan ibukota baru ada di Kalimantan Timur. Pandangan Ridwan Kamil, Gubernur Jabar, lebih pada desain ibukota baru. Menurutnya ibukota baru lebih baik mencontoh Washington D. C, ibukota Amerika, yang proporsi penduduk dan luas tanah seimbang untuk mudah dikembangkan. Kutai Kartanegara dan Penajem, dengan lahan yang disediakan 200.000 Ha versus penduduk 1,5 juta tidak ideal. Akan mubazir seperti ibukota pindahan Brazil, Brasilia, yang kosong atau juga Ibukota pindahan Burma, Naypyidaw. Brasilia dan Naypyidaw menurut RK kurang benar perencanaannya. Ukuran lahan menurut TK cukup sekitar 35.000 HA untuk rencana ibukota baru, agar tidak mubazir. Pandangan lainnya, Muhammad Said Didu, mantan sekretaris Menteri BUMN, lebih kepada siapa pembiaya pembangunan ibukota baru ini? Menurutnya dalam situasi ekonomi yang sulit, biaya hanya mungkin dilakukan dengan hutang dan kombinasi dengan menjual asset negara ketangan asing di Jakarta. Aspek teori dalam Pemindahan Ibukota Pemindahan ibukota sering terjadi diberbagai negara2 di dunia dan berlangsung sejak dahulu kala. Western Roman Empire (Kerajaan Roma) misalnya memindahkan ibukota dari Milan ke Revenna Ketika Revenna diserang kaum barbar, ibukota dipindahkan ke Konstantinopel, tempat di mana Kerajaan Roma Timur berada. Indonesia sendiri memindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta, pada awal kemerdekaan, karena Belanda merebut ibukota Jakarta dan tidak mengakui Republik Indonesia. Di luar urusan perang atau penaklukan, Edward Schatz, Southern Illinois University, dalam "When capital cities move: the political geographic of nation and state building", 2003, mengetengahkan disposisi bahwa pemindahan ibukota umumnya terkait dengan "state and nation building". Schatz menggambarkan fenomena berbeda negara di eropa dengan non-eropa dengan merujuk pada Westphalia (German abad ke 17). Di eropa " state and nation building" telah berlangsung lama sebelum muncul negara modern seperti yang kita kenal saat ini. Urusan di sana adalah pemantapan negara berbasis spasial atau territorial. Sementara di luar eropa, khususnya setelah era kolonial, membentuk negara setelah merdeka berarti membangun struktur kenegaraan dan birokrasi terlebih dahulu. Lalu diikuti dengan proses "nation building". Ketika batas teritorial semakin tegas, maka isu ibukota menjadi penting. "Why move a capital city?" Menurut Schatz ada 3 pandangan terkait pertanyaan "mengapa pindah ibukota?", pertama, "Authoritarianism and Authoritarian Preference". Hal ini terkait dengan keangkuhan pemimpin suatu negara, yang pendapatnya di luar akal sehat ("against common sense, popular opposition, and the advice of wiser policy-makers"). Kedua adalah alasan "rational-technical". Alasan ini adalah alasan yang umumnya diberikan pemerintah seperti menumbuhkan pembangunan wilayah dan efiensi administrasi negara. Ketiga adalah "the political geography nation and state building". "State building" maksud dia "I mean the effort to undermine alternative, rival power bases and develop viable institutions". Artinya negara dimaksudkan untuk menjadi institusi supermasi yang tidak boleh ditandingi institusi lainnya. sedangkan "nation building" maksudnya "I mean the effort to secure the loyalty of broad populations inhabiting the territory represented by the state". Artinya membangun loyalitas rakyat. State Building ini dilakukan dengan "Building the state via patronage, symbolic state building & controling cultural diversity". Schatz yang melakukan studi kasus atas Kazakhstan, yang memindahkan ibukota dari Almity ke Astana, menemukan beberapa hal yakni 1) adanya konsolidasi kekuasaan Nursultan, sang presiden, semisal adanya marginalisasi birokrasi lama yang berorientasi eks sovyet dan membangun sistem patron-client baru berbasis kepentingan ekonomi, 2) menempatkan Kazakhstan sebagai bangsa eurasia, ketimbang Kazak atau Rusia. Pemikir lainnya, Vadim Rossman, seorang Professor berkebangsaan Russia, pengarang buku "Capital Cities: Varieties and Patterns of Development and Relocation", dalam citylab. com, mengetengahkan proses pindah ibukota akan berlangsung baik jika lokasi baru memberikan keseimbangan dan inklusif pada sebanyak2nya level terkait "territorial, economic, ethnic & religious". Kota baru juga jangan diharapkan langsung berfungsi. Sedikitnya butuh satu abad untuk melihat ibukota baru sukses, seperti Washington D.C. Misteri Pemindahan Ibukota Pemindahan ibukota adalah pekerjaan besar dan sakral. Jokowi sudah mengumumkan permintaan ijin ke DPR RI pindah ibukota dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus lalu. Dalam pidato diistana beberapa hari lalu, Jokowi juga mengumumkan lokasi baru ibukota Indonesia, yakni di Kutai Kartanegara dan Penajem Paser Utara, Kaltim. Mengapa Jokowi tidak memasukkan agenda besar negara ini dalam NAWACITA? sebagai acuan gagasan besarnya selama periode 2014-2019. Anehnya juga selama debat pilpres 2019 juga Jokowi tidak memasukkan agenda pindah ibukota dalam narasi besarnya. Jika melihat alasan standar pemindahan ibukota yang dikeluarkan pemerintahan, seperti kata Schatz ulasan di atas, itu merupakan alasan teknis rasional di mana beban Jakarta sudah tidak mampu lagi menopang keberadaan ibukota. Pindahnya ibukota juga akan menjadikan adanya pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa yakni Kalimantan Timur, dengan investasi awal lebih kurang Rp. 400 Triliun. Pertanyaannya adalah apakah langkah sampul Jokowi ini sudah ada sejak 2014? Merujuk dibuangnya Andrinof dari posisi menteri PPN/ Bappenas (di mana Andrinof dan pemikir utamanya Dr. Jehansyah Sirgar dalam visi 2035 selalu berteriak pindah ibukota), memperlihatkan tidak mungkin Jokowi menyimpan ide itu saat itu. Bahkan, Jokowi kala itu masih meyakinkan rakyat Indonesia bahwa urusan Jakarta akan mudah dibangun setelah dia menjadi Presiden. Kemungkinan besar Jokowi menemukan ide pindah ibukota lebih tepat jika dikaitkan dengan kekalahan sekutu Jokowi, Ahok dalam pilkada DKI. Lalu, tindakan Gubernur Anies memberhentikan reklamasi teluk Jakarta, sebuah skala bisnis ribuan triliun, tidak sejalan dengan pemerintahan Jokowi yang ingin hal itu terus berlangsung. Terkait dengan teori Schatz tentang konsolidasi power, sosok Anies di Jakarta dengan Jakarta sebagai ibukota, akan menciptakan "matahari kembar" pada rakyat Indonesia, seolah di ibukota ada dua pemimpin besar. Dengan ibukota di Kaltim dan Jokowi di sana sebagai figur tunggal, maka kepemimpinan Jokowi akan maksimal. Lalu, apabila Jakarta dihilangkan statusnya sebagai ibukota, maka Anies sebagai Gubernur akan kehilangan "kewibawaan legalnya", yang kemudian eksistensinya akan juga seperti kota2 provinsi lainnya yang diatur oleh UU Pemerintahan Daerah saja. *Melucuti Anies Baswedan* Motif utama Jokowi memindahkan ibukota sudah dijelaskan pemerintahan secara resmi. Namun, dampak politik bagi Anies Baswedan akan segera terasa. Pengumuman ibukota baru yang dilakukan Jokowi baru2 ini telah mendelegitimasi keberadaan Jakarta sebagai ibukota. Istilah Irman Putrasidin tentang kesakralan ibukota Jakarta akan meredup. selanjutnya, UU Ibukota akan dicabut dan DPR yang didominasi rezim Jokowi akan membuat UU Ibukota di Kaltim tersebut. Dengan rezim UU Pemerintahan Daerah, Anies tidak mengontrol lagi Jakarta seperti saat ini. Jakarta akan mempunyai kepala2 daerah tingkat 2, yang dipilih langsung. Izin reklamasi nantinya bisa saja dilakukan setingkat walikota bukan Gubernur. Dari sisi politik, Anies akan kehilangan derajat lebih tinggi dari gubernur2 lainnya. Biasanya Gubernur DKI akan dominan dalam forum antar gubernur. Begitu juga "effort" atau usaha Anies bertarung merebut kepemimpinan Jakarta pada 2017 lalu sebagai jembatan bagi batu lomptan menuju kepemimpinan nasional, seperti yang dilakukan Jokowi, sudah atau akan kehilangan jejaknya. Bahkan, bisa sia sia. Penutup Membahas pemindahan ibukota menurut Schatz dapat melihat multi perspektif. Namun, memilih sebuah perspektif menjadi penting untuk melihat kausalitasnya. Pendukung Jokowi akan melihat sisi baik pemindahan ibukota, khususnya dari teori Edward Schatz tentang "Rational-technical". Namun, dari kaum oposisi, pelucutan kewenangan Anies Baswedan di Jakarta akan mengurangi kewibawaan Anies sebagai tokoh besar ke depan. Namun tetap kita berharap kemashalatan pindah Ibukota ini buat kebaikan bangsa dan mendorong Anies Baswedan melakukan refleksi arah dan strategi politiknya ke depan. Foto: Kota Samarinda dialnda Banjir
Harus Diakui Kehebatan Mereka dalam Fabrikasi Isu
Mereka buat fabrikasi isu-isu pengganti. Muncul dengan rapi dari hari ke hari. Sekarang ada soal pemindahan ibu kota. Disusul masalah Papua yang diduga keras adalah ‘permainan’ orang-orang yang memiliki kekuasaan di luar sistem. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sekarang ini tidak ada lagi yang berbicara soal 600-an petuas KPPS pemilu 2019 yang meninggal dunia. Keluarga yang meninggal diberi santunan 36 juta. Ketua KPU, Arief Budiman, menyerahkan uang itu kepada keluarga korban sambil fotonya diambil. Di foto itu ada plakat bertuliskan “Penyerahan Santunan 36,000,000”. Disiarkan oleh media. Persoalan dianggap selesai. Tak ada lagi cerita tentang pemilu yang paling buruk. Yang paling kacau. Pemeritah bisa melenggang tanpa ada yang mengejar soal kematian itu. Kematian massal yang dianggap misterius tsb. Usul agar dilakukan otopsi terhadap jenazah petugas KPPS itu, ditolak begitu saja. Tidak ada yang memprotes penolakan itu. Tidak ada yang meberitakan meskipun ada protes. Kontroversi soal hasil pilpres yang penuh dengan dugaan kecurangan masif itu, juga bisa hilang. Diganti dengan isu ‘permen koalisi’. Diambil alih oleh heboh diplomasi nasi goreng dan pertemuan Lebak Bulus. Disusul hiruk-pikuk jatah kursi menteri. Yang goblok-goblok kemudian memunculkan isu Poros 3. Lalu ada soal ‘penumpang gelap’. Seolah-olah tidak ada lagi persoalan keabsahan penghitungan suara pilpres. Seakan tidak ada masalah legitimasi jabatan presiden. Semua diminta atau direkayasa supaya ‘move on’. Melupakan perampokan kolosal suara rakyat. Diminta membiarkan konspirasi jahat itu berlalu tanpa prosekusi. Harus diakui kepintaran dan kehebatan mereka mengalihkan perhatian publik. Hebat. Acungan jempol untuk kehebatan penguburan isu pilpres yang sebetulnya merupakan skandal demokrasi terbesar dan terburuk di dunia. Mereka buat fabrikasi isu-isu pengganti. Muncul dengan rapi dari hari ke hari. Sekarang ada soal pemindahan ibu kota. Disusul masalah Papua yang diduga keras adalah ‘permainan’ orang-orang yang memiliki kekuasaan di luar sistem. Akibatnya, publik dihebohkan oleh kedua topik yang trendy ini. Kejahatan demokrasi yang sebetulnya sangat merusak perjalanan bangsa ini, menjadi semakin jauh dari publik. Padahal, kejahatan politik itu baru saja dilakukan beberapa bulan yang lalu. Belum sampai setengah tahun. Luar biasa pintar dan ampuh cara kerja mesin pengalihan isu di negeri ini. Perampokan dahsyat itu lenyap begitu saja. Rakyat dihibur dengan kontroversi pemindahan ibu kota dan ancaman Papua lepas. Seakan-akan seluruh proses pilpres tidak ada masalah. Seakan hasil pilpres 2019 bersih dari najis. Kemudian, kesulitan berat perekonomian juga bisa mereka tutupi. Dampak fatal akibat utang besar, juga dibuat seperti tidak bermasalah. Strategi senyap hegemoni ekonomi RRC, berjalan tanpa gangguan yang berarti. Penyeludupan narkoba skala besar bisa berlangsung di balik kobaran beberapa isu baru itu. Ancaman terhadap KPK yang bakal jatuh ke tangan para bandit, tersisihkan oleh orkestrasi isu-isu tsb. Semua orang membahas ibu kota dan Papua. Dalam dua hari ini, ditambah isu hukuman kebiri kimiawi untuk pelaku kejahatan pedofil di Mojokerto. Semua media memberikan bobot yang berlebihan terhadap isu baru ini. Begitulah cara mereka mengacak-acak perhatian publik. Membuat kejahatan para penguasa dan ancaman kekuatan asing, lepas dari kejaran media. Lepas dari investigasi jurnalistik dan jurnalistik investigatif.*** 29 Agustus 2019
Pindah Ibukota, Jokowi Mengikuti Jejak Pakubuwono II
Jadi kalau mau dicari-cari faktor kesamaan dan bukti bahwa teori pengulangan sejarah berlaku, kata kuncinya ada dua: SOLO dan CINA! Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Sejarah selalu berulang. Hanya pelaku, waktu dan seting peristiwanya yang berubah. Termasuk rencana pemindahan ibukota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur. 274 tahun lalu (1745 M) Pakubowono II memindahkan ibukota Kerajaan dari Kartasura ke kota Surakarta. Lebih dikenal sebagai kota Solo. Alasan pemindahan, Keraton Kartasura sudah rusak dan “tidak suci” lagi. Porak poranda karena diduduki para pemberontak Cina. Sebagai buntut pembantaian etnis Cina oleh Kompeni Belanda di Batavia (1740), orang-orang Cina di pesisir Utara Jawa melakukan perlawanan. Sentimen anti Belanda juga menjalar ke Kartasura. Pemberontak Cina menyerbu Keraton Kartasura. Pakubuwono II adalah sekutu Belanda. Entah kebetulan atau tidak, Jokowi juga berasal dari Solo. Alasan Jokowi, “ Jakarta sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa.” Selain itu Jokowi juga ingin mendorong pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ke luar Jawa. Sehingga tidak lagi Jawa sentris. Coba perhatikan! Faktor Cina ternyata kembali berperan. Karena keterbatasan anggaran pemerintah, kemungkinan besar pengusaha Cina lokal dan pemerintah Cina akan ikut berperan sangat besar dalam pembangunan ibukota baru itu. Jadi kalau mau dicari-cari faktor kesamaan dan bukti bahwa teori pengulangan sejarah berlaku, kata kuncinya ada dua: SOLO dan CINA! (Peran swasta dan asing dominan) Soal urgensi dan ketidaksiapan anggaran inilah yang kini banyak dipersoalkan oleh sejumlah kalangan. Sejumlah ekonom mengingatkan dan mewanti-wanti agar Jokowi mengurungkan niatnya. Termasuk ekonom senior Emil Salim. Seperti dikatakan Jokowi, biaya pembangunan ibukota baru akan menelan biaya sebesar Rp 466 triliun. 19 persen (Rp 88.54 T) diantaranya bersumber dari APBN. Sisanya berasal dari kerjasama pemerintah dengan badan usaha dan investasi swasta (KPBU). Menteri PPN/Bappenas Bambang Soemantri Brodjonegoro mengatakan, untuk menambah pembiayaan pembangunan ibukota pemerintah akan menerapkan skema tukar guling sejumlah aset pemerintah di Jakarta. Aset tersebut tersebar di Jalan Medan Merdeka, Jalan MH Thamrin, Jalan Sudirman, kawasan Jalan Rasuna Said, Kuningan dan Sudirman Central Business District (SCBD). Perlu dicatat di Jalan Medan Merdeka Utara terdapat Istana Presiden, Gedung Mahkamah Agung, Departemen Dalam Negeri, dan Mabes TNI AD. Di Merdeka Selatan terdapat Istana Wapres, Balaikota DKI, dan Gedung Kementerian BUMN. Di Jalan Medan Merdeka Selatan dan Utara, Jalan Thamrin, Jalan Sudirman, kawasan Kuningan dan SCBD tersebar sejumlah bangunan penting departemen dan kantor pemerintahan, termasuk kantor pusat Bank Indonesia. Belum lagi bila kita bicara Gedung MPR/DPR di kawasan Senayan yang lahannya sangat luas. Asset-asset tersebut jelas sangat menggiurkan. Bikin air liur pengembang langsung meleleh. Dipastikan para pengusaha besar dan asing yang berminat, sudah mulai membuat daftar. Melakukan lobi, kasak-kusuk, gedung dan lahan mana saja yang akan mereka caplok. Ada dana sangat besar yang akan beredar. Ada cash back super jumbo yang masuk ke kantong sejumlah oknum pemerintah dan swasta. Ada pengusaha dan oknum pemerintah yang akan kaya mendadak. Tambah tajir melintir karena tukar guling dan pemindahan ibukota. Siapa saja para pengusaha besar yang potensial bakal menguasai asset negara yang ditinggal boyongan ke Kaltim? Sudah bisa diduga. Tak akan jauh-jauh dari mereka yang masuk dalam daftar 1.00 orang terkaya di Indonesia. Majalah Forbes yang bermarkas di AS, merilis daftar orang terkaya Indonesia tahun 2019. Dari 10 orang terkaya, hanya menyelip satu nama pengusaha pribumi. Chairul Tanjung yang berada di peringkat ke-5. Jika daftarnya diperpanjang sampai 20 nama, pemilik jaringan Trans Media dan Trans Mart itu tetap menjadi satu-satunya nama. Bila kita bicara negara asing yang potensial ikut membangun ibukota dan membeli aset pemerintah, maka tak jauh-jauh negara itu adalah Cina. Negara tirai bambu itu sudah menjadi semacam aspirin bagi Indonesia. Semua masalah keuangan negara, jalan keluarnya adalah Cina. Pemerintah Cina sangat getol menggelontorkan dananya ke sejumlah proyek infrastruktur di Indonesia. Mulai dari kereta api cepat, sejumlah pembangkit listrik, dan berbagai proyek lainnya. Kabar terbaru dari Menko Maritim Luhut Panjaitan, sebuah perusahaan asuransi asal Cina bersedia membantu memperbaiki IT BPJS Kesehatan. “Bagi Pak Menko maritim, sepertinya setiap masalah yang dihadapi bangsa solusinya hanya satu yaitu minta 'bantuan' dari China,” sindir mantan Sesmen BUMN Said Didu melalui akun twitternya. Jakarta memang berbeda dengan Kartasura. Nurhadi Rangkuti dalam artikelnya berjudul : Kartasura yang Ditinggalkan (Majalah Arkeologi Indonesia, 12 Juli 2011) menulis : Menyaksikan bekas keraton atau baluwarti Kartasura sungguh menyedihkan. “Di dalam tembok baluwarti, kini dipenuhi dengan perumahan permanen, kebun dan makam. Selain alun-alun, tempat tinggal puteri keraton (keputren) dan petamanan keraton telah menjadi pemukiman padat. Sitihinggil, tempat yang ditinggikan di depan alun-alun, sebagian telah pula menjadi permukiman. Puing-puing bangunan kuna yang tersisa adalah gedung obat (mesiu), bangunan pos jaga Kumpeni. Situs itu kini dipenuhi makam.” Istana Presiden dan aset pemerintah di Jakarta dipastikan tidak akan bernasib seperti itu. Tidak perlu kaget bila Istana Negara —jika benar termasuk daftar aset tukar guling— menjadi menjadi “istana” baru salah satu orang terkaya di Indonesia, atau kantor Perwakilan pemerintahan asing. Gedung yang sekarang bernama Istana Negara, dibangun tahun 1796 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten. Semula merupakan rumah peristirahatan milik pengusaha Belanda bernama J A Van Braam. Teori pengulangan sejarah kembali berlaku. Dari pengusaha kembali pengusaha. Dari milik asing kembali menjadi milik aseng. End
Banser Jangan Mau Dibubarkan, Harus Melawan
Jangan mau dibubarkan begitu saja. Harus ditolak. Kalau ada yang lancang mau membubarkan Banser, minta mereka menunjukkan payung hukum. Pasti mereka tak punya. Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Sangat mungkin Banser (Barisan Ansor Serbaguna) akan dibubarkan atas permintaan orang Papua. Untuk menghadapi tindakan pembubaran itu, saya menyarankan kepada Banser agar menunjukkan perlawanan keras. Jangan mau dibubarkan begitu saja. Harus ditolak. Kalau ada yang lancang mau membubarkan Banser, minta mereka menunjukkan payung hukum. Pasti mereka tak punya. Yakinlah. Siapa pun yang mau membubarkan Banser tidak mungkin memiliki payung hukum. Jangan khawatir. Saya sudah periksa lembaga yang berwenang membubarkan Banser. Tidak ada payung hukum mereka. Belum mereka beli. Mahal itu. Membeli payung saja mahal. Apalagi membeli hukum. Jadi, “payung hukum” itu bukan sembarang payung. Tidak mungkin ada di tangan orang-orang yang menggertak akan membubarkan Banser. Karena itu, para pembesar Banser tenang saja. Tak usah takut. Kalau ada yang menunjukkan payung hukum, periksa dulu dengan cermat. Merek-nya apa? Asli atau palsu? Tanya dulu di mana mereka beli payung hukum itu. Berapa harganya? Kalau, misalnya, ada lembaga yang bisa menunjukkan payung hukum asli, tetap saja dilawan. Bilang kepada mereka bahwa Banser punya hukum sendiri. Yaitu, Hukum Rimba. Sudah lama dibukukan. Namanya, Kitab Undang-undang Hukum Rimba (KUHR). Sebagai contoh, ketika Banser membubarkan pengajian, itu ‘kan tidak ada aturannya. Kalau mereka tanya apa dasar hukum Banser membubarkan pengajian, jawab saja Hukum Rimba itu. Kalau ada yang mempersoalkan bahwa Indonesia ini menggunakan KUHP, bilang saja bahwa Hukuma Rimba adalah produk asli hukum Indonesia. Kalau KUHP itu warisan zaman kolonial Belanda. Jadi, lebih keren pakai hukum buatan sendiri ketimbang hukum buatan penjajah. Ini kesempatan Banser untuk mengganti KUHP dengan Hukum Rimba. Dengan begini, tidak ada yang berani membubarkan Banser. Kalau mereka bubarkan juga dengan paksa, gunakan saja Pasal 15 Kitab Hukum Rimba tentang konsekuensi pembubaran Banser. Ayat (a) Pasal 15 itu menyebutkan bahwa apabila Banser dibubarkan, maka anggotanya akan menduduki hutan Ujung Kulon untuk menerapkan Hukum Rimba. Mengapa hutan Ujung Kulon? Karena menduduki hutan Papua bisa menyebabkan kepunahan spesies Banser. Tidak sebatas dibubarkan. 28 Agustus 2019
Pembangkit: PLN dan Swasta Siapa Lebih Dominan?
Penguasaan pembangkit yang hanya 51% oleh PLN Grup berpotensi menimbulkan risiko pengendalian ketersediaan pasokan listrik oleh swasta. Kalau pasokan sudah dikendalikan, mereka pasti juga akan mengendalikan harga. Harga listrik bakal swasta kerek tinggi-tinggi. Bukankah laba adalah ‘tuhan’ bagi swasta yang menjadi tujuan utama? Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Urusan setrum menyetrum ternyata tidak sesederhana yang diperkirakan banyak orang. yang dimaksud ‘orang’ di sini bukan melulu rakyat awam, lho. Ternyata, para pejabat publik, bahkan termasuk orang-orang yang diamanahi dan atau punya otoritas urusan setrum pun, banyak yang tidak paham. Tidak percaya? Coba tengok Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2016-2025. Berdasarkan ketentuan ini, Pemerintah berambisi membangun pembangkit listrik 35 GW. Dalam pelaksanaannya, PLN dapat alokasi membangun 10.559 MW. Selebihnya yang 25.068 MW dikerjakan oleh Independent Power Producer (IPP) melalui kerjasama penyediaan tenaga listrik. Anda perhatikan komposisinya? Swasta punya porsi dominan, 25.000 MW lebih! Dalam soal penyediaan tenaga listrik, ada Peraturan Presiden RI nomor 4/2016 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden RI nomor 14 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK). Di Perpres ini jelas-jelas Pemerintah menugaskan PLN membangun pembangkit tenaga listrik sebanyak 35 GW, gardu induk sebanyak 103 GVA, dan jaringan transmisi sebanyak 46.000 kms. Tidak ada pembagian komposisi rigit antara PLN dan swasta. Dalam pelaksanaannya, PLN bisa melakukannya dengan cara swakelola atau kerjasama penyediaan tenaga listrik dengan anak perusahaan PLN. Cara lain, bisa juga menggandeng Pengembang Pembangkit Listrik (PPL). Memangkas PLN Bisa dikatakan RUPTL ini merupakan ‘turunan’ dari Perpres 14/2017. Tapi, dengan lahirnya RUPTL porsi PLN dalam pembangunan pembangkit dipangkas menjadi hanya 10.000an MW. Asal tahu saja, komposisi kepemilikan pembangkit tenaga listrik yang produksinya dijual melalui PLN Grup sebelum PIK adalah 36.973 MW (79%) dimiliki oleh PLN Grup dan 10.121 MW (21%) dimiliki oleh swasta. Ulangi, 79% PLN dan 21% swasta! Pentingkah soal komposisi pembangunan pembangkit antara PLN dan swasta? Tentu. Sangat penting. Bayangkan, jika 25.068 MW pembangkit dibangun oleh IPP, maka persentase kepemilikan pembangkit PLN Grup usai berakhirnya program PIK bakal melorot jadi 57%. Sampai di sini paham? Belum juga? Ok, begini konsekwensinya. Penguasaan pembangkit yang hanya 51% oleh PLN Grup berpotensi menimbulkan risiko pengendalian ketersediaan pasokan listrik oleh swasta. Kalau pasokan sudah dikendalikan, mereka pasti juga akan mengendalikan harga. Harga listrik bakal swasta kerek tinggi-tinggi. Bukankah laba adalah ‘tuhan’ bagi swasta yang menjadi tujuan utama? Mungkin dengan naif anda akan berkata, Pemerintah bisa menegur bahkan menjatuhkan sanksi kepada swasta yang menaikkan harga listrik seenak udelnya. Hohoho... kita sudah lama tidak punya Pemerintah yang bisa berbuat begitu. Coba tengok, apa yang Pemerintah lakukan saat harga beras mahal? Rakyat baiknya diet. Harga daging mahal? Rakyat ganti makan bekicot. Harga cabai mahal? Sebaiknya rakyat tanam cabai sendiri. Dan seterusnya, dan seterusnya... Oya, satu lagi yang sangat perlu anda ketahui. Bisnis setrum teramat menggiurkan. Itulah sebabnya banyak pejabat yang berada di balik layar perusahaan swasta sebagai pemillik. Kalau pun mereka tidak punya selembar pun saham, dengan kekuasaan dan otoritas di tangan, pundi-pundi mereka bakal penuh dialiri uang sogok para swasta yang membeli kebijakan para pejabat culas tadi. Anda bisa bayangkan, apa jadinya kalau swasta mengendalikan pasokan dan harga listrik? Ujung-ujungnya bisa mengganggu ketahanan dan kedaulatan listrik nasional. Sudah terbayang kengerian yang bakal terjadi? Listrik berada di bawah kendali para mafia. Kembali ke soal RUPTL tadi, ternyata memang tidak semua pejabat publik, bahkan yang punya otoritas di kelistrikan, memahami dengan baik seluk-beluk persetruman. Yang dimaksud pejabat publik di sini bukan cuma di Kementerian ESDM, tapi juga mereka yang duduk sebagai anggota DPR di Senayan sana. Dan, yang lebih seram lagi, para pejabat publik tadi bukan cuma level dirjen apalagi cuma direktur. Mereka justru ada yang menteri bahkan Menko. Ngeri, kan? Bisnis Ratusan Triliun Bisa jadi, mereka memang tidak paham. Tapi, maaf, bukan tidak mungkin justru karena mereka sangat paham sampai ke tataran ini, maka aturan sengaja dibuat untuk memuluskan lahirnya dominasi swasta dalam pengadaan listrik dan pengendalian harganya. Ingat, bisnis setrum dan yang terkait (batubara, BBM, pelumas, dan lainnya) adalah bisnis skala superjumbo. Per kontrak nilainya bukan cuma semiliar-dua miliar perak. Tapi ratusan miliar hingga triliunan bahkan ratusan triliun rupiah. Siapa yang tidak ngiler? Mau contoh? Pada 2018 saja, pembelian listrik dari swasta oleh PLN tercatat Rp84,3 triliun. Ini belum seberapa. Pada periode yang sama, belanja bahan bakar dan pelumas pabrik setrum pelat merah ini mencapai Rp137,3 triliun. Siapa bilang bisnis setrum tidak legit bin gurih? Mungkin kita yang waras meragukan teori ini. Mosok ada pejabat publik yang gaji dan seabrek fasilitasnya dibayari rakyat tapi kebijakannya justru menyengsarakan rakyat. Harusnya memang hal seperti ini tidak (boleh) terjadi. Tapi, iming-iming komisi yang menggiurkan dari para pemilik pembangkit swasta terlalu sulit untuk ditampik. Soal komisi ini berlaku bagi para pejabat yang tidak punya pembangkit. Sebaliknya, bukan rahasia banyak juga yang menjadi penguasaha alias penguasa sekaligus pengusaha. Menko Ekuin era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, menyebut makhluk jenis ini dengan Pengpeng. “Menjadi penguasa itu mulia. Jadi pengusaha juga mulia. Tapi kalau menjadi Pengpeng sekaligus, ini akan menimbulkan keserakahan dan ketidakadilan. Dengan kekuasaan di genggaman, para Pengpeng merebut bisnis dari pengusaha murni yang tidak punya akses ke lingkar kekuasaan. Para Pengpeng mengendalikan harga untuk meraih keuntungan sangat tidak wajar. Akibatnya, terjadi distorsi ekonomi yang ujung-ujungnya merugikan negara dan memberatkan rakyat,” papar Rizal Ramli dalam banyak kesempatan. Dominasi Negara, Penting! Sampai di sini semestinya menjadi keharusan jika negara harus punya kendali penuh atas pasokan dan harga listrik. Itulah sebabnya komposisi kepemilikan pembangkit oleh PLN seharusnya jauh lebih dominan dibandingkan swasta. Kendati sama-sama entitas usaha, watak keduanya tentu berbeda. Swasta menjadikan laba sebagai tujuan utama. Untuk itu segala cara bisa dan akan mereka lakukan untuk mewujudkannya. Sedangkan PLN, walau harus menghasilkan laba, sebagai BUMN ia juga punya kewajiban melayani rakyat dan negara. Kepada rakyat PLN wajib menyediakan listrik yang andal, berkesinambunga, dan terjangkau harganya. Buat negara selaku pemegang saham, PLN musti menyetor sebagian labanya sebagai dividen. Tentu saja, semua pasal ini sama sekali tidak berlaku bagi swasta. Jadi, sekali lagi perkara komposisi kepemilikan pembangkit menjadi amat sangat penting. Sebagai rakyat, kita memang mustahil bisa tahu dengan detil. Meski begitu kita tetap bisa ‘bunyi’ bahkan berteriak saat mengendus adanya tangan-tangan kotor yang berusaha menelikung aturan main guna memuaskan syahwat para Pengpeng dan atau swasta yang berselingkuh.
Tuntuntan Banser Dibubarkan, Kok Aku Merasa Bahagia?
Setiap mengingat Banser, dibenakku yang tergambar wajah abu janda, dangdutan, jaga gereja dan pembubaran pengajian. Setiap mengingat Banser, terbayang teriakan kosong tanpa isi : NKRI harga mati! Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Twitter lagi trending tagar bubarkan Banser. Semestinya, saya merasa sedih. Bukankah Banser itu ormas Islam? Tapi kenapa sebagai umat Islam kok aku Ga merasa sedih? Justru sebaliknya, diam-diam hatiku berbunga-bunga. Diam-Diam, ada sejuta kebahagiaan mendengar kabar ini. Kabar pembubaran Banser, meski baru wacana sedikit mengobati bathin yang selama ini terluka dizalimi penguasa. Setiap mengingat Banser, dibenakku yang tergambar wajah abu janda, dangdutan, jaga gereja dan pembubaran pengajian. Setiap mengingat Banser, terbayang teriakan kosong tanpa isi : NKRI harga mati! Apalagi, dijejaring sosial media beredar seorang Banser kampung yang begitu bangga meneriakan yel Banser. Lucu, sekaligus ngenes. Aku merasa aneh dengan perasaan ini, khawatir ada masalah psikologi dalam jiwa ini. Tapi, begitu bertanya ke beberapa kawan, ternyata mereka juga sama. Mereka bergembira, sangat bahagia. Aku, belum melakukan survei terhadap semua kawan. Mungkin saja, ada yang bernazar kalau Banser resmi dibubarkan akan ada yang menyembelih ayam, kambing hingga sapi. Mungkin juga ada yang bikin syukuran 3 hari, tujuh hari, 40 hari. Dan kelak, jika Banser benar-benar bubar, setiap satu tahun sekali bisa saja ada Haul, perayaan yang memperingati kematian Banser. Aku sangat khawatir ada penyakit nifaq, merasa bahagia dengan tekanan hidup yang dialami Banser. Menari-nari diatas luka pedih Banser, yang dituntut bubar oleh rakyat Papua. Hanya saja jika ditelisik sejarah, ternyata Banser yang begitu. Mereka bangga mempersekusi pengajian. Mereka bangga mempersekusi ulama. Mereka bangga, bahkan Duta Banser si Abu Janda, begitu ringan mulut menghina ulama. Oh, betapa bahagia hati ini mendengar kabar Banser dituntut bubar. Andaikan Aku bertemu Doraemon, aku minta kantong ajaib agar bisa terbang dengan baling-baling bambu, untuk menemui Banser. Dihadapan Banser, aku ucapkan kata perpisahan : "Duhai Banser, bukan aku tak Menyayangimu, tapi Allah SWT lebih sayang kepadamu. Semoga, dengan bubarnya dirimu, menghentikan kezalimanmu yang bersikap keras kepada sesama muslim, tapi begitu lemah lembut kepada gereja" Setelah itu, mungkin saja dirimu tidak merasa memiliki aib. Boleh saja, pasca pembubaran Banser justru syukuran dengan bikin dangdutan. Ah, siapapun yang membaca tulisan ini, comen nya dunk? Tulis, suasana kebatinan yang kamu alami di kolom komentar. Apakah kamu berduka atau bahagia sebahagia aku? Atau justru lebih bahagia?
Tujuan Utama NU Melayani bukan Menguasai Umat
Keharusan NU untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebenarnya sudah diputuskan pada 1984 saat Muktamar NU di Situbondo. NU itu seharusnya tak masuk pada tataran politik rendahan, yaitu politik praktis atau kekuasaan. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tercatat dalam sejarah bahwa Nadhlatul Ulama (NU) pernah menjadi partai politik 5 besar pada 1955-1971. Sayangnya, beberapa orang NU yang Pro Pemerintah pada saat itu malah tidak mempertahankan keberadaan Partai NU. Sehingga, akhirnya malah Partai NU difusikan dengan partai Islam lainnya menjadi PPP. Seandainya pada waktu itu sebagian besar elit politik NU menolak Partai NU difusikan menjadi PPP, mungkin akan lain ceritanya. Kalau NU menjadi bagian dari partai politik maka wujud NU akan menjadi lebih kecil dari partai politik. Dan hal ini pernah terjadi semenjak tahun 1973-1984, di mana NU menjadi bagian dari PPP. “Seperti keinginan kuat alm ayahanda KHM Wahib Wahab,” ujar KH Solachul Aam Wahib Wahab, cucu pendiri NU KH Wahab Hasbullah kepada Pepnews.com. Bahwa partai NU harus berdiri sendiri tidak mau atau bersedia difusikan menjadi PPP. “Inshaa Allah, NU menjadi organisasi massa sekaligus partai yang besar dan tidak perlu mendirikan PKB. Di mana saat ini PKB sebagai partai justru mengendalikan/mendikte NU sebagai ormas terbesar,” lanjut Gus Aam. Oleh karena, “Kita sebagai warga NU, yang menyayangi NU, yang mencintai NU, ayo sama-sama kita berjuang sekuat tenaga, pikiran, dan uang, demi mengembalikan NU ke Khittah. Mengembalikan NU ke Jatidirinya.” Mengembalikan NU ke Relnya. “Sesuai tujuan utama NU, melayani umat, bukan menguasai umat,” tegas Gus Aam. Menurutnya, sebagai ormas terbesar, NU seharusnya menjadi Wadah besar civil society yang bisa mengayomi semua ormas. “Bukan malah memusuhi ormas lainnya,” lanjut Gus Aam. Dan yang paling penting bahwa NU harus concern dan fokus kepada 3 hal penting sesuai concern dan fokus Almaghfurlloh KH Sahal Machfud mantan Rois Aam. Yakni: Politik Kebangsaan, Politik Kerakyatan, dan Politik Etika Moral. Jadi saat ini sudah saatnya NU harus memikirkan konsep-konsep Politik Kebangsaan, Politik Kerakyatan, dan Etika Moral apa yang bisa diberikan kepada Negara RI dan Bangsa Indonesia. Oleh karena saat ini kami dengan seluruh kekuatan para kiai, tokoh agama, para Akademisi, para pengusaha, tokoh masyarakat, dan para relawan mewujudkan konsep Politik Kerakyatan yaitu diberi nama “KOPSYAMS, Koperasi Syariah Adil Makmur Sejahtera Nasional”. Merujuk dari historica perintis Jam'iyyah NU dahulu, dalam merencanakan dan mengambil keputusan melalui dasar taqorrub kepada Alloh SWT dengan kholwat, rihlah, riyadloh, dan istikhoroh. Para pendahulu itu telah banyak berjuang dan berkorban segalanya demi Bangsa, Negara, dan Agama Islam di Nusantara yang melahirkan suatu Jam'iyyah NU ala thoriqoh ahlus sunnah wal jamaah. Pengurus NU di masa Hadrotus Syekh KHM Hasyim Asy'ari, yakni KH Wahab Hasbullah, mampu menyelesaikan tragedi i'tiqodiyah umat Islam di Kerajaan Arab Saudi. Dan, para muassis menangkis keras faham mu'tazilah, murji'ah, qodariyah, syi'ah, dan wahabiyah,serta harokah kaum khawarij yang menjadi awal sumber fitnah di kalangan umat Islam. NU Now plus Liberalisme, Sekularisme, Marsisme, Kapitalisme, Komunisme, dan Animisme Dinamisme Syincritesme, tidak ada aliran yang tidak dirangkulnya, semuanya itu olah buah filosofi New Modern yang mengadopsi tawassut, tawa’un, i'tidal, dan tasammuh ala an nahdliyah. DR. Ir. KH Sholahuddin Wahid, Prof. DR. KH Rachmat Wahab, Prof. DR. KH Zahro, dan Prof. DR. KH Nashihin selaku tim inti perumus Komite Khittah NU-26 (KKNU-26), punya rasa tanggung jawab bersama sebagai warga NU. “Para tokoh NU sudah saatnya menentukan sikap nyata sebagai gerakan moril yang bertujuan mengubah perilaku PBNU yang ansich melenceng dari garis-garis besar haluan NU,” ungkap Gus Aam. Apabila dianggap angin lalu saja oleh mereka, maka ada wujud Harokah seperti Munas Alim Ulama/Rapat Akbar Alim Ulama/Munas Pondok Pesantren Seluruh Indonesia, sebagai scock therapy untuk PBNU yang selama ini menganggap keberadaan KKNU-26 adalah abal-abal, kelompok orang frustrasi dan golongan orang yang tak dapat bagian. Sungguh sangat ironis sebagai wujud nyata KKNU-26 yang telah berkali-kali menyuarakan kebenaran dalam perbaikan Jam'iyyah NU kembali dalam shiroh dakwah wa jihadiyah ala mu'assis-nya sehingga warwah dan aura NU dan para printisnya kembali wujud di pusaran alam semesta ini. “Karena NU dilahirkan sebagai jam'iyyah memiliki misi rahmatan lil alamin. Lebih cepat lebih baik, agar tidak berlarut-larut NU menjadi bulan-bulanan mafia politik dan kekuasaan,” tegas Gus Aam. Keharusan NU untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebenarnya sudah diputuskan pada 1984 saat Muktamar NU di Situbondo. NU itu seharusnya tak masuk pada tataran politik rendahan, yaitu politik praktis atau kekuasaan. NU didirikan karena kesamaan pandangan para ulama. Kesamaan pandangan dimaksud ini adalah kesamaan wawasan keagamaan sebagai wadah perjuangan bersama menuju izzul Islam wal muslimin (kemenangan Islam dan umat Islam). Kesamaan pandangan keagamaan itulah yang kemudian dirumuskan di “Khittah Nahdhiyyah 1926 “. Melalui khitthah nahdhiyyah, NU berhasil mendasarkan terhadap sikap, penghayatan, pengamalan ajaran Islam dan tingkah laku sehari-hari jamaahnya. Jadi, “Sebagai Garis-Garis Besar Perjuangan NU (GBPNU). Pengurus NU mulai dari PBNU sampai Anak Ranting tidak boleh melenceng dari khitthah 26 agar warga NU tidak bingung kehilangan arah,” kata DR. KH Fadhoil M. Ruham. Sehingga, “Jamaah NU harus tetap berada dalam budaya, karakteristik (perwatakan) dan amaliyah jam'iyyah NU,” ujar pengasuh Ponpes Fudhola Pamekasan ini. Politik NU adalah politik keumatan dan kebangsaan dalam menegakkan NKRI. Bukan politik kepartaian. Keputusan Muktamar Situbondo pada 1984 sudah jelas. Pemurnian manhaj NU dari unsur idelogi lain sekaligus pengembangan manhaj itu guna mengakomodasi perkembangan zaman tanpa membongkar prinsip-prinsip dasar NU. Bahwa penetapan Pancasila sebagai dasar dan filosifi negara, sedangkan akidah syariat tetap Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah. Politik NU adalah politik keumatan dan kebangsaan dalam menegakkan NKRI. Bukan politik kepartaian. Kemandirian NU dari seluruh partai politik, NU membebaskan warganya untuk berpartai tapi siapapun tidak boleh menjadikan jam’iyah NU menjadi partai politik atau bagian dari sebuah partai politik. Apalagi mengatur mekanisme jam’iyah NU dengan aturan partai politik. Dalam politik keumatan dan kebangsaan artinya pengembangan sumber-sumber kekuatan masyarakat (mabadi khoiru ummah) sebagai bagian dari pengabdian terhadap agama dan bangsa. “NU membebaskan warganya untuk berpartai, tapi siapapun tidak boleh menjadikan jam’iyah NU menjadi partai politik atau bagian dari sebuah partai politik,” kata almarhum DR. (HC) KH Ahmad Hasyim Muzadi, seperti dikutip dalam catatan “Khittah 1926 NU”. Jika tak kembali ke Khittah-26, NU akan disusupi oleh multi-ideologi yang mengakibatkan NU tidak bisa tegas sebagai organisasi sunni, dan pengembangannya akan berjaan tanpa arah dalam konteks liberalisasi pemikiran agama dan pragmatisasi kepengingan. Dari sini, tidak ada kemurnian dan kemandirian. Menurut Kiai Hasyim, saat ini Pancasila mulai redup karena belum sepenuhnya didukung oleh konstitusi dan aturan perundangan serta kebijakan teknis penyelengaraan negara. Secara ideoligis, Ahlussunnah wal Jamaah an Nahdliyah merupakan pilar pokok tegaknya Pancasila. Hal itu ditinjau dari hubungan syar’i antara agama dan negara. Kalau NU sendiri disusupi multi-ideologi, maka penegakan Pancasila pun akan terganggu. “Apabila khittah ditinggalkan maka keluhuran, keagungan, serta penghormatan pihak lain terhadap NU akan menjadi pudar. Berganti dengan pragmatisme yang harganya semakin hari akan semakin murah,” ungkap Kiai Hasyim. Jika NU menjadi bagian dari parpol, kata Kiai Hasyim, maka wujud NU akan menjadi lebih kecil dari partai politik. Dan hal ini pernah terjadi semenjak tahun 1973-1984, di mana NU menjadi bagian dari PPP. Jadi, “Pemisahan NU dan partai politik bukan berarti kita menghalagi para kader NU untuk berpolitik,” lanjut Kiai Hasyim. Pemisahan tersebut adalah pemisahan struktural, sedangkan secara strategis suatu ketika bisa bertemu kepentingan perjuangan. Kiai Hasyim mengingatkan bahwa secara nasional apabila kita meninggalkan khittah itu akan mengalami kesulitan untuk silaturahmi dengan ormas Islam yang lain, apalagi kalau menjadi pemuka ormas-ormas Islam yang lain. “Juga pengaruh NU pada eksponen dan komponen nasional akan menjadi semakin rendah. Hal ini berpengaruh kepada eksistensi dan reputasi NU di dunia internasional,” ujar mantan Ketua Umum PBNU itu. Ketika Annajah Center Sidogiri (ACS) mengadakan mentoring dengan mentor KH Muhibbul Aman Aly bertema Khasais Aswaja, Kamis (14/08/2019), Gus Muhib membahas kembali ciri-ciri Ahlussunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadist. Gus Muhib menerangkan, ciri-ciri Ahlussunnah wal Jamaah adalah berpegang teguh pada al-Quran dan Hadist. Tetapi, dalam berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah, Ahlussunnah wal Jamaah tidak pernah menggunakan daya akal sebagai prioritas utama dalam beragama. Ahlussunnah wal Jamaah tak menempatkan akal di atas teks-teks agama, seperti orang-orang yang menggunakan daya akal sebagai petunjuk dalam beragama. Seperti yang terjadi dalam sejarah perkembangan teologi Islam, yakni munculnya kelompok al-Mu’atthilun (kelompok yang ada jauh sebelum rumusan Asy’ari-Maturidi). Secara harfiyah makna dari al-Mu’atthilun adalah, kelompok yang mengabaikan teks-teks agama yang bertentangan dengan logika. Artinya, kala teks agama bertentangan dengan akal, maka yang dimenangkan adalah akal, ini adalah akar dari pada pemikiran Islam Liberal. Berbeda dengan Ahlussunnah wal Jamaah yang menempatkan akal di bawah teks agama. “Sudah sewajarnya jika segala yang menentukan baik dan buruk itu harus dikembalikan kepada akal,” Jelas Gus Muhib. Hanya ketika akal dan teks-teks agama bertentangan, maka akal tidak boleh dimenangkan. “Dalam usul fiqih kita mengenal at-Tahsin wat-Taqbikh al-Akliyaini,” lanjut Gus Muhib. Kala ada teks agama bertentangan dengan akal, sebagai manifestasi dari anugerah Allah, kita dituntut untuk menimbang. Akallah yang menentukan kebenarannya. Menurut Ahlussunnah wal Jamaah, setiap sesuatu yang datang dari Tuhan, semuanya diterima. Sekalipun bertentangan dengan akal. Oleh karena itu, kalimat-kalimat yang berada di awal surat, seperti Alif Lam Mim, menurut Ahlussunnah wal Jama’ah memiliki makna. Namun, kalau ditanya apa maknanya, maka jawabannya adalah Allahu A’lamu Bimuradihi. “Berbeda dengan al-Muatthilun yang berpandangan bahwa kalimat tersebut tidak memiliki makna,” ungkap Gus Muhib. Selain itu, adanya kalimat-kalimat di awal surat yang tidak diketahui maknanya, mengindikasikan bahwa ilmu Allah itu tidak terbatas. Karena dengan demikian, maka terdapat beberapa makna dalam ayat al-Quran yang hanya diketahui oleh Allah. (Selesai)
Aneh, Orang Papua Kok Minta Banser Dibubarkan. Siapa Bermain?
Tampil dengan seragam loreng hijau, mirip anggota militer, Banser justru sering berhadapan dengan organisasi dan kelompok Islam lainnya. Mereka tercatat beberapa kali membubarkan pengajian sejumlah ustad yang mereka nilai berseberangan. Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pulang dari kampung halamannya di Sorong, politisi Golkar asal Papua Barat Yorrys Raweyai membawa kabar aneh dan janggal. Dia menyebut warga Papua minta organisasi Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dibubarkan. Tuntutan pembubaran Barisan Ansor Serbaguna (Banser) itu masuk dalam poin ketiga dari tujuh tuntutan yang diajukan warga Papua kepada pemerintah RI. Apakah Banser ada hubungannya dengan ujaran rasis kepada mahasiswa asal Papua yang terjadi di Surabaya dan Malang? Ujaran yang kemudian memicu kerusuhan di sejumlah kota di Papua Barat: Manokwari, Sorong, dan Fakfak. Tak ada penjelasan lebih detil dari Yorrys yang kini terpilih menjadi anggota DPD. Dia hanya menyatakan bahwa tuntutan itu berasal dari warga Papua. Kabar itu segera menjadi berita besar. Sejumlah media menjadikannya judul berita. Enam poin tuntutan lain, tidak menjadi fokus. Padahal menilik isinya, poin tuntutan lainnya jauh lebih serius. Gerakan separatisme. Memisahkan diri dari Indonesia. Beritanya menyebar dengan cepat di sejumlah platform media sosial. Tak lama kemudian terjadi perang tagar di medsos. Tagar #BanserUntukNegeri dan #BubarkanBanser menduduki dua peringkat teratas di Twitter. Dalam trending topic dunia, tagar #BubarkanBanser berada di posisi kelima. Hebohnya perang tagar di medsos menunjukkan info tersebut sangat menarik, unik dan memenuhi kriteria “luar biasa.” Namun kemungkinan besar juga ada yang sengaja menggoreng. Kehadiran organisasi paramiliter sayap Gerakan Pemuda Anshor PBNU belakangan ini sering kontroversial. Mengundang pro kontra. Tampil dengan seragam loreng hijau, mirip anggota militer, Banser justru sering berhadapan dengan organisasi dan kelompok Islam lainnya. Mereka tercatat beberapa kali membubarkan pengajian sejumlah ustad yang mereka nilai berseberangan. Pada bulan November 2017 Banser membubarkan pengajian aktivis HTI Felix Siauw di Bangil, Jatim. Felix Siauw kembali menjadi sasaran aksi Banser ketika akan menjadi penceramah di masjid Balaikota DKI Jakarta, Juni 2019. Ustad berjuta umat Abdul Somad juga menjadi sasaran cekal Banser. Pada bulan Agustus 2018, ribuan anggota Banser di Jepara, Jateng menggelar apel menolak kedatangannya. Da’i muda Hanan Attaki juga pernah menjadi korban aksi Banser. Di Tegal, Jateng pengajian ustad yang dikenal dengan gerakan Pemuda Hijrah dibubarkan. Aksi Banser ini mendapat banyak kecaman, termasuk dari kalangan internal NU. Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat Akhmad Sahal meminta agar GP Ansor tidak semena-mena. Menjelang Pilkada DKI 2017 Banser juga berdiri berhadap-hadapan dengan kelompok umat Islam yang menentang Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Ketua GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas malah memberi gelar “Sunan” kepada Ahok. Atas keberhasilannya mengubah kawasan lokalisasi pelacuran Kalijodo, Yaqult menyebut Ahok pantas mendapat gelar sebagai Sunan Kalijodo. Nama ini mirip dengan nama salah satu tokoh penyebar Islam di Indonesia, Sunan Kalijaga. Pada Pilpres 2019 Banser yang selalu menyerukan “NKRI Harga Mati” menjadi salah satu pendukung garis keras pasangan Jokowi-Ma’ruf. Pada aksi protes kecurangan pilpres di depan Gedung Bawaslu 21-22 Mei, Yaqut mengklaim siap mengerahkan 5 juta anggota Banser membantu aparat keamanan. Sering berseberangan dengan kelompok Islam, Banser justru memiliki reputasi lebih dekat dengan umat beragama lain. Mereka selalu hadir “mengamankan” gereja pada hari Natal dan peringatan-peringatan keagamaan agama lainnya. Tak heran bila Gubernur Papua Lukas Enembe menyampaikan protes keras kepada Gubernur Jatim Khofifah. Sebagai tokoh Muslimat NU mengapa dia tak mengerahkan Banser menjaga asrama mahasiswa Papua? (Adu domba) Dengan track record semacam itu, menjadi tanda tanya besar mengapa orang Papua justru minta Banser dibubarkan. Apalagi bila dikaitkan dengan fakta bahwa nama Papua justru dikembalikan pada masa Presiden Gus Dur, tokoh besar NU. Sebelumnya pulau di ujung Timur Indonesia oleh pemerintah Orde Baru diberi itu nama Irian Jaya. Diubah dari nama sebelumnya Irian Barat. Kalau mau dicari-cari, satu-satunya penjelasan yang rada masuk akal mengapa rakyat Papua meminta Banser dibubarkan, barangkali adalah sikap mereka yang sering mengklaim dan meneriakkan yel-yel : Pancasila! NKRI Harga Mati! Sementara sebagian orang Papua ingin memisahkan diri dari Indonesia. Soal ini tampaknya harus dibikin terang. Apakah ada kaitannya Banser dengan aksi rasisme di Jatim. Mengingat Jatim adalah basis terbesar Banser. Dalam beberapa video yang beredar seputar aksi pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, ada beberapa orang yang mengenakan atribut Banser. Tapi jelas tidak bisa disebut aksi itu dilakukan Banser. Banyak elemen lain yang terlibat. Yang harus diwaspadai justru kemungkinan adanya operasi intelijen saling membenturkan antar-elemen bangsa. Kelompok-kelompok ini—entah siapa mereka—sangat memahami posisi Banser yang kontroversial. Mereka mendorong Banser menjadi musuh bersama. Sejauh ini operasi itu sangat berhasil. Indikatornya adalah #BubarkanBanser menjadi trending topic dunia. Pada saat bersamaan Banser didorong untuk merespon dan bereaksi. Tercipta kegaduhan yang tidak perlu. Fokus pemerintah terpecah dan operasi pemisahan diri Papua dari bagian NKRI berjalan dengan mulus. Seruan untuk membubarkan Banser adalah kepingan puzzle dari sebuah skenario besar. Mulai dari beredarnya video ceramah Ustad Abdul Somad, diikuti pelaporan ke polisi. Coba perhatikan siapa pelapornya dan siapa yang sibuk menggorengnya. Tak lama kemudian ada aksi rasisme di asrama mahasiswa Papua, dan berakhir rusuh di Papua Barat. Semua itu tidak boleh kita lepaskan dari hiruk pikuk politik nasional dan geo politik global. Di Jakarta jelang pelantikan kabinet, sedang terjadi tarik menarik kepentingan kekuatan politik pasca bertemunya Jokowi dan Megawati dengan Prabowo. Papua bisa menjadi pintu masuk dan bargaining politik tingkat tinggi. Dalam geo politik global, Papua adalah sebuah wilayah yang banyak diperebutkan oleh kekuatan politik dan ekonomi negara-negara adidaya dan Perusahaan multinasional. Jika pemerintah tidak tepat dan bijak menangani Papua. Tidak tepat dan bijak menangani konflik antar-elemen bangsa, Papua bisa menjadi pintu masuk proses Balkanisasi. Slogan Pancasila dan NKRI Harga Mati! Akan menjadi slogan masa lalu yang tak lagi berarti. End
Solusi Ibu Kota, Problem Ibu Kandung
Memindahkan ibu kota ke luar Jawa paling banter menghadirkan dua solusi saja. Pertama, menaikkan harga tanah di lokasi dan sekitar lokasi ibu kota baru. Kedua, memudahkan jumpa fisik antara Presiden dan para pembantunya. Selebihnya, yang 98 lagi, adalah problem. Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN — Tampaknya, Pemerintah bertekad keras untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan. Alasan terbaiknya adalah supaya ibu kota berada di titik tengah geografi Indonesia. Tujuan terburuknya adalah supaya semua orang dari seluruh Indonesia datang ke ibu kota dengan jarak tempuh yang sama. Bisa dipahami. Karena banyak orang yang percaya bahwa sukses itu tergantung jarak tempuh pesawat. Bukan jarak tempuh pikiran. Jadi, kita maklumi saja. Tetapi, memindahkan ibu kota ke luar Jawa paling banter menghadirkan dua solusi saja. Pertama, menaikkan harga tanah di lokasi dan sekitar lokasi ibu kota baru. Kedua, memudahkan jumpa fisik antara Presiden dan para pembantunya. Selebihnya, yang 98 lagi, adalah problem. Begitu banyak problem yang akan diakibatkan oleh pemindahan ibu kota. Di antaranya adalah problem ibu kandung. Yaitu, ibu kandung dari belasan ribu PNS yang harus ikut pindah ke Kalimantan. Misalnya, siapa yang akan merawat ibu kandung yang selama ini harus tinggal bersama ribuan PNS itu? Kalau mereka pindah ke Kalimantan, siapa yang bisa dititipi untuk menjaga ibu kandung mereka? Berapa banyak pula biaya ekstra yang harus dikeluarkan? Apa yang akan terjadi seandainya ibu kandung yang dititipkan ke seseorang di Jakarta atau entah di mana, kemudian menghilang dan tak pulang-pulang ke rumah yang dititipi? Berapa biaya yang harus disediakan untuk mencari ibu kandung yang hilang itu? Terus, seandainya ditemukan seorang wanita yang mirip dengan ibu kandung yang hilang itu, tapi ada keraguan apakah benar dia atau bukan, bagaimana pula dengan biaya tes DNA-nya? Sebab, tes DNA perlu dilakukan untuk memastikan agar si wanita yang mirip ibu kandung itu adalah si ibu kandung yang hilang. Bagi para pejabat senior, khususnya yang masih bisa lolos OTT KPK, mungkin saja tidak ada masalah dengan ibu kandung kalau mereka pindah ke Kalimantan. Duit mereka banyak terus. Tetapi, belum tentu dengan belasan ribu PNS biasa yang harus ikut hijrah ke ibu kota baru. Problem ibu kandung ini haruslah dipertimbangkan dengan matang sebelum ibu kota dipindahkan. Pemindahan ibu kota perlu dipikirkan masak-masak. Jangan setengah masak. Makanan setengah masak masih banyak bakterinya. Mengapa harus dipikirkan sampai masak? Agar tidak membuat anak-anak menjadi durhaka kepada ibu kandung mereka. Durhaka? Iya! Tentu bisa terjadi. Misalnya, kalau banyak diantara belasan ribu PNS yang harus pindah itu tak mampu membawa ibu kandung mereka, maka akan terbukalah pintu kedurhakaan. Sebab, mereka itu sangat perduli kepada ibu kandung. Tapi, gara-gara pindah ibu kota, tiba-tiba saja si anak tidak lagi menghiraukan ibu kandungnya. Memang banyak orang yang tidak perduli ibu kandung. Mungkin ibu kandung dianggap menyusahkan mereka. Banyak juga yang tak perduli dengan silsilah ibu kandung. Bahkan mereka sembunyikan garis ibu kandungnya. Mereka anggap saja tidak ada. Banyak yang begini. Tapi, tentunya kita tak ingin seperti itu. Jadi, perlulah direnungkan kembali. Jangan sampai solusi ibu kota menjadi problem ibu kandung. (*) *Penulis: Asyari Usman (wartawan senior)