OPINI
Negeri Anunan
Kata “anu” dalam Bahasa Indonesia memang bisa digunakan untuk kata ganti orang, benda hingga kata kerja. Contoh, anunya (kata benda), dianu (kata kerja), Si Anu (kata ganti orang). Oleh Miftah H. Yusufpati (Wartaean Senior) Jakarta, FNN -- Anunan bukan nama orang, juga bukan bahasa asing. Dia bukan kode ataupun sandi. Khusus di sebuah desa di Pati, Jawa Tengah, anunan dipopulerkan oleh Kaji Sulkan pada era 80-an. Kini imam masjid di kampung itu sudah wafat. “Para jemaah,” ujar Kaji Sulkan suatu ketika, saat mengumumkan acara di Masjid Jamik. “Nanti malam pengajian tetap seperti biasa. Para jemaah jangan anunan...,” sambung Kaji diiringi senyum para jemaah. Kata anunan dalam kalimat itu boleh jadi adalah sebagai kata ganti “tidak datang”. Anunan hanya latah bagi Kaji Sulkan. Boleh jadi, itu terjadi karena antara pikiran dan apa yang hendak diucapkan tidak kompak. Hanya saja, anak-anak muda di kampung itu biasa menggunakan kata “anunan” untuk menyebut sesuatu yang kurang pantas jika diucapkan secara vulgar. “Mungkin Jono lagi anunan sama bininya. Jam segini belum juga datang,” begitu seseorang menduga, mengapa Jono belum datang-datang pada ronda malam. Anunan dalam kalimat itu bisa sebagai kata ganti apa saja. Anunan dari kata dasar anu dan akhiran '-an'. “Anu … dia sudah pergi,” kata sesorang menyebut si dia yang sudah pergi. Anu di situ hanya sebagai semacam gerak refleks bibir saja. Sudah jadi kebiasaan. Berbeda dengan judul berita Tribunnews.com, “Anunya Suami Patah dan Bengkak Digoyang Ngebor Istri”. Isi beritanya seorang suami harus mengalami sakit luar biasa setelah alat kelaminnya patah akibat dari goyangan istri yang terlalu kuat saat melakukan hubungan intim. Anunya dalam kalimat itu sebagai kata ganti alat kelamin, sesuatu yang kurang pantas untuk disebut secara vulgar. Kata “anu” dalam Bahasa Indonesia memang bisa digunakan untuk kata ganti orang, benda hingga kata kerja. Contoh, anunya (kata benda), dianu (kata kerja), Si Anu (kata ganti orang). Nah, belakangan ini sejumlah orang bertanya kepada saya terkait dengan blackout Bank Mandiri, disusul listrik PLN lalu yang terbaru gangguan sistem check-in di Terminal 3 untuk 3 penerbangan internasional. “Oh, negeri anunan,” guman lelaki paruh baya itu, setelah mendengar penjelasan saya. Keki juga saya dibuatnya. Tadinya saya pikir ia tidak puas dengan penjelasan saya. Maklum saja, saya bukan ahli IT. Saya hanya mengutip penjelasan para ahli dan mereka yang bertanggung jawab atas terjadinya blackout itu. Ternyata bukan itu yang dia maksud. Dia mencoba mengambil kesimpulan dari apa yang saya sampaikan tentang kondisi objektif sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia. Orang bisa menyebut dengan indah dan membuai tentang suburnya tanah Indonesia sebagai “surga di Negeri Katulistiwa”. Lalu, orang juga bisa dengan ketus menyebut “negeri para penyamun” terhadap banyaknya pejabat yang tertangkap tangan Komisi Pemberantas Korupsi atau KPK. Tapi menyebut negeri ini sebagai “negeri anunan” jelas tidak jelas. Pastinya, di negeri anunan listrik mati seharian akibat ulah pohon sengon. Kerugian PLN dan konsumen mencapai triliunan. Di negeri anunan pula saldo orang yang nabung di Bank Mandiri tiba-tiba terkuras habis, tapi ada juga penabung yang mendapati saldonya membengkak. Lalu viral berita Bank Mandiri kebobolan Rp9 triliun akibat blackout itu. Oleh Bank Mandiri berita tersebut dibilang hoaks. Tak berhenti di sini. Di negeri anunan sejumlah sistem check-in di Bandara Soekarno Hatta tiba-tiba sempat tak berfungsi. Selesai? Belum! Di negeri anunan pemerintah membuat target penarikan pajak yang bikin geleng-geleng kepala. Target itu selalu dibuat untuk tidak tercapai. Ujung-ujungnya presiden sering uring-uringan. Begitu juga investasi dan ekspor. Target dibuat muluk-muluk, menterinya tak becus kerja, akibatnya ekspor dan investasi tak tercapai. Presiden marah-marah lalu simsalabim diciptakanlah “kementerian investasi”. Lima tahun lalu, di negeri anunan presidennya janji akan mendorong pertumbuhan ekonomi 7% per tahun. Meroket, katanya. Janji tinggal janji. Dia, hanya mampu menghidangkan ke rakyat 5%. Sudah begitu dia menganggap rakyat yang tidak puas dengan capaian itu sebagai “kufur nikmat”. Di negeri anunan, rakyat dan pemimpinnya suka anunan. Wajar saja jika si Anu jadi menganu-anu melulu. End
Orang Papua Balas Rasisme Monyet dengan Topeng Monyet
Leher monyet diikat dengan tali panjang. Diarak keliling kampung. Di suruh naik sepeda mini bolak-balik sepanjang talinya. Untuk menghibur warga. Si monyet tidak punya pilihan lain. Harus mengikuti perintah tuannya. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Para petinggi negara bingung menghadapi Papua. Mau diambil tindakan keras, takut salah. Khawatir eskalasi situasi. Takut semakin runyam. Dengan pendekatan lemah-lembut, ketahuan pemerintah pusat lemah. Padahal memang lemah menghadapi Papua. Jakarta menjadi serba salah. Hebat dan salut kepada orang Papua. Dalam waktu 48 jam saja setelah rasisme “monyet” diteriakkan kepada mereka di Surabaya, label “monyet” itu mereka kembalikan ke Jakarta. Bahkan makna kemonyetan yang dikembalikan itu lebih tajam. Sangat menohok. Rasisme monyet yang dibalikkan ke Jakarta itu mengandung arti yang sangat rendah. Cukup hina. Orang Papua mengembalikan ucapan kasar itu bukan dengan kata-kata kasar. Mereka cukup menunjukkan isyarat menuntut penentuan nasib sendiri. Mereka kibarkan bendera Bintang Kejora di jalan-jalan Papua. Mereka buat rapat umum dengan teriakan “Papua Merdeka” atau “Kami Mau Referendum”, dan yel-yel lain yang intinya meminta agar Papua lepas dari Indonesia. Tak ada yang berani mencegah. Bintang Kejora dan semua yel-yel itu membuat para penguasa di Jakarta menjadi kecut. Mereka gamang. Para menteri Polhukam takut Timor Timur akan terulang. Yang mengidap diabetes, kadar gulanya langsung turun-naik. Khawatir tuntutan “Papua Merdeka” semakin membolasalju. Dalam situasi seperti ini, orang Papua jelas berada pada posisi di atas angin. Mereka yang memegang kendali. Secara politis, Papualah yang saat ini mendikte penguasa pusat. Saya teringat pertunjukan Topeng Monyet yang banyak dijumpai di Jakarta. Terbayang saya orang Papua yang menjadi Tuan atau pengendali si Topeng Monyet itu. Sebaliknya, si monyet melakukan semua perintah tuannya. Orang di luar Jakarta tidak begitu tahu Topeng Monyet. Yaitu, atraksi di jalan-jalan kampung yang menyalahgunakan monyet terlatih untuk cari duit alias ‘ngamen’. Leher monyet diikat dengan tali panjang. Diarak keliling kampung. Di suruh naik sepeda mini bolak-balik sepanjang talinya. Untuk menghibur warga. Si monyet tidak punya pilihan lain. Harus mengikuti perintah tuannya. Begitulah gambaran hubungan Jakarta-Papua saat ini. Orang Papua tak perlu membalas teriakan “monyet” dengan kata “monyet” juga. Cukup mereka balas dengan makna atraksi Topeng Monyet.* 24 Agustus 2019
Papua, “We Are Not Monkey”
Framing Abu Janda terhadap Front Pembela Islam (FPI) itu sudah sangat terlalu luar biasa! Seharusnya Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian bertindak tegas. Karena, fakta di lapangan yang beredar dalam video-video, justru tampak ormas Doreng. Oleh Mochamad Toha Wartawan Senior Jakarta, FNN - Sejak berubah nama dari Provinsi Irian Jaya menjadi Papua (dan Papua Barat) pada waktu Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid – Wapres Megawati Soekarnoputi, persoalan Papua memang begitu seksi untuk dijadikan “proyek politis”. Gelontoran dana Otonomi Khusus dari Pusat, ternyata belum sanggup “memakmurkan” warga Papua hingga kini. Konflik horizontal di Bumi Cendrawasih nyaris terjadi setiap saat. Beragam pemicu bisa menjadi pemantik kerusuhan di Papua. Provokasi yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya dan demo di Kota Malang, bermula dari umpatan nama penghuni “Kebun Binatang”, seperti “monyet” yang ditujukan kepada mahasiswa Papua menjadi pemantik kerusuhan. Ditambah lagi adanya provokasi dari akun Permadi Arya alias Abu Janda @permadiaktivis: gara2 FPI geruduk asrama Papua di Surabaya.. sekarang warga Papua marah tidak terima sampai rusuh bakar2an (6:54 PM - Aug 19, 2019). Framing Abu Janda terhadap Front Pembela Islam (FPI) itu sudah sangat terlalu luar biasa! Seharusnya Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian bertindak tegas. Karena, fakta di lapangan yang beredar dalam video-video, justru tampak ormas Doreng. “Terbukti ormas cecunguk pengkhianat-cukong yang menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya,” ungkap sumber Pepnews.com. Kepada para pengkhianat, jangan kalian main api dengan mengorbankan rakyat Papua dan umat Islam. Mengapa juga disebut umat Islam segala? Karena framing Abu Janda itulah, rakyat Papua yang tidak tahu peristiwa sebenarnya yang terjadi di Surabaya, langsung menyangka adanya keterlibatan FPI, sehingga sempat ada upaya menyerang masjid. Namun, upaya tersebut mendapat perlawanan umat Islam di Papua, sehingga tidak sampai terjadi bentrok. Setidaknya itulah yang terjadi pada Senin, 19 Agustus 2019, di Manokwari, Papua Barat, lokasi awal mula kerusuhan di Bumi Cendrawasih. Tudingan Abu Janda jelas sudah masuk kategori upaya pecah-belah antar umat beragama (Islam dan Kristen) di Papua. Apalagi, sebelum peristiwa Papua tersebut sudah menyebar video Ustadz Abdul Somad yang dianggap menghina Salib. Karena dianggap menghina simbol agama Nasrani itu, UAS dilaporkan sejumlah kelompok masyarakat ke Polisi. Menariknya, rekaman video yang dianggap menghina ini terjadinya sekitar 3 tahun lalu. Mengapa baru sekarang ini dipersoalkan? Siapa pengunggap rekaman video tersebut, menarik untuk ditelusuri. Karena, dari sinilah nanti bisa terungkap motif di balik penyebarannya. Dalam klarifikasinya, UAS menegaskan video ceramah itu adalah barang lama, tiga tahun lalu. UAS dilaporkan oleh organisasi massa Brigade Meo ke Polda NTT terkait ceramah UAS yang viral di media sosial dan dianggap meresahkan umat Nasrani. WE Online, Senin, 19 Agustus 2019 08:33 WIB mengutip penelusuran akun @nephilaxmus. Penelusuran dari akun twitter atas nama @nephilaxmus menemukan, ada lima cuitan dari beberapa akun yang mendorong kontroversi hukum melihat salib UAS ini yang menjadi viral belakangan ini. Dengan kata kunci penelusuran: ‘somad salib’. Akun Twitter @KatolikG merupakan akun yang terawal mengusung isu video hukum melihat salib UAS tersebut. Pada cuitannya, akun @KatolikG melampirkan postingan akun Instagram @katolik_garis_lucu yang berisi respons atas video ceramah UAS tersebut. Cuitan akun Twitter @KatolikG itu kemudian dibalas komentar beberapa akun, diantaranya akun @PosRonda551, yang memosting cuitan komentarnya pada 15 Agustus 2019 pukul 09.23 PM. Selanjutnya, akun Twitter lain yang mengawali isu ini yakni akun @TolakBigotRI pada 16 Agustus 2019. Dalam cuitannya akun ini prihatin dengan ceramah UAS ini. Sehari sebelum HUT Kemerdekaan RI-74, beberapa akun menggulirkan isu ceramah salib UAS yaitu akun @inspirasijiwa pada 16 Agustus 2019 pukul 12.22 PM. Akun lainnya yang mengomentari isu video ceramah UAS, yakni akun @Rudi_Tarigan yang memosting statusnya pada 16 Agustus 2019 pukul 12.38 PM mengomentari postingan dari akun @TolakBigotRI. Nah, itu adalah temuan akun @nephilaxmus, kalau penasaran, akun ini sudah menyilakan Anda bisa menelusuri sendiri melalui pencarian di Twitter dengan mengetikkan kata kunci 'somad salib'. Dari penelusuran akun @nephilaxmus tersebut sebenarnya sudah sangat jelas sekali. Bahwa di sini ada unsur kesengajaan dari pemosting untuk membenturkan UAS (Islam) dengan umat Nasrani, sehingga berpotensi muncul konflik antar agama. Ini yang kemudian membuat Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) menyatakan akan tetap mendampingi UAS berkaitan dengan kasus yang dituduhkan kepadanya. Pendampingannya terkait proses hukumnya. “Pasalnya, selain pengurus LAMR, UAS menyandang gelar adat kehormatan Melayu Riau, Datuk Seri Ulama Setia Negara,” kata Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAMR, Datuk Seri Al Azhar, dalam pernyataan pers di Pekanbaru, Senin (19/8/2019). Datuk Al Azhar menyampaikan hal tersebut didampingi oleh Ketum Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAMR Datuk Seri Syahril Abubakar, menanggapi gencarnya pemberitaan tentang tuduhan UAS menista agama tertentu yang sampai dilaporkan ke kepolisian. Menurutnya, Datuk Seri Abdul Somad telah membuat klarifikasi atas tuduhan yang ditujukan kepadanya. Selain itu, materi yang dipermasalahkan terjadi tiga tahun lalu dan dibentangkan secara eksklusif. “Atas dasar itu, kami justru mempertanyakan mengapa baru sekarang materi ceramah UAS dipermasalahkan, setelah tiga tahun terjadi, apalagi ceramah itu bersifat eksklusif (tertutup),” katanya. Menurut Datuk Seri Syahril Abubakar, atas dasar itu pula pihaknya menduga, ada kepentingan lain di balik mempermasalahkan ceramah UAS tersebut. “Tapi kami yakin, berbagai pihak masih memiliki niat baik agar masalah ini tidak merusak hubungan harmonis anak bangsa, sehingga bisa diselesaikan secara baik,” ujarnya. Pihak UAS sendiri juga sudah melakukan klarifikasi bahwa hal tersebut disampaikan untuk menjawab pertanyaan jamaah tentang Nabi Isa dan patung menurut Islam. UAS mengklaim menjawab pertanyaan jamaah tersebut di dalam kajian tertutup, di Masjid Raya Annur Pekanbaru, di kajian rutin setiap Sabtu subuh, bukan tabligh akbar di lapangan terbuka atau di televisi. Jadi, nasib Papua itu sebenarnya tak ubahnya dengan nasib umat Islam. Mereka telah menjadi target operasi “proyek politis” dari kalangan elit tertentu di Jakarta. Apalagi, konon, hal ini masih ada kaitannya dengan bargaining susunan kabinet. Apalagi, pemantik kerusuhan Papua itu karena ada umpatan “monyet” yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di Surabaya dari seorang yang diduga aparat. Dari sini pun bisa ditanyakan, mengapa dia harus berkata seperti itu, siapa yang perintahkan? Solusi atas ketersinggungan warga Papua hanya dengan permintaan maaf saja. Oknum aparat itu harus diproses secara hukum tanpa pandang bulu. Kasihan Papua, eksploitasi tambang di perut Bumi Cendrawasih “dikuasai” elit politik di Jakarta. Tak ada satupun orang Papua yang berani minta saham PT Freeport Indonesia, seperti yang telah dilakukan elit Jakarta, “Papa Minta Saham”. Tapi, Papua masih cukup beruntung bila dibandingkan dengan umat Islam di provinsi luar Papua. Meski mereka membawa bendera Bintang Kejora, toh tidak ada aparat berwenang yang berani merampas dan menangkapnya, meski di depan Istana Merdeka sekalipun. Ini berbeda dengan perlakukan terhadap umat Islam. Langsung dipersekusi! Apalagi sampai membawa Bendera Tauhid! Langsung dituding terpapar radikal, terlibat HTI, dan diburu aparat! Bahkan, ditembakin dengan peluru tajam, seperti saat demo di depan MK pada 21-22 Mei 2019 hingga menewaskan 9 orang. Demo Papua, tidak ada sebutir peluru tajam pun yang keluar dari senjata aparat. Yang terjadi justru sebaliknya. Aparat (polisi) malah dikejar-kejar pendemo yang menuntut Referendum dan Merdeka di Papua, Senin (19/8/2019). Kasihan Papua dan umat Islam yang sejatinya telah menjadi korban “proyek politik” demi sebuah tujuan elit politik di Jakarta. End.
Papua Membara, Mahfud MD Kok Bungkam ?
Ingat ya, gaji Mahfud MD per bulan diatas 100 juta rupiah. Umat ini berhak tahu, apa kinerja Mahfud sehingga punya hak atas gaji yang berasal dari pajak umat. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - NKRI dirongrong di Papua, Pancasila dilecehkan di Papua, sang Saka Merah Putih di bakar di Papua. Hanya, saya merasa terheran-heran kenapa Begawan BPIP semua bungkam ? Mana suara Megawati ? Mana suara Try Sutrisno ? Mana suara Syafii Maarif ? Mana suara Said Aqil Siradj ? Mana suara Ma'aruf Amin ? Mana suara Sudhamek ? Mana suara Andreas Anangguru Yewangoe ?Mana suara Wisnu Bawa Tenaya? Dan yang lebih penting MANA SUARA BEGAWAN BPIP PALING GIGIH, MAHFUD MD ? Kalau urusan umat Islam, bendera tauhid, syariah Islam, mereka ini paling cerewet berkomentar. Syafi'i Ma'arif yang sudah udzur saja, nyinyir kepada wacana NKRI bersyariah, apalagi Mahfud MD. Tuding dana dari Arab ke pesantren untuk radikslisme, tuding pesantren di Jogja dan Magelang radikal. Tapi giliran di Papua, kok Ga ada satupun kalimat Twitt Mahfud yang membara menyebut OPM radikal ? Lantas, apa solusi Pancasila untuk mengatasi masalah separatisme OPM ? Melafadzkan sila-sila Pancasila sampai lidah kelu ? Meminta OPM berbaris dan beri hormat ke bendera merah putih ? Apa pula pertanggungjawaban Jokowi untuk Papua. Bukankah suara Jokowi di Papua luar biasa besar ? Lantas, kalau mereka pro Jokowi kenapa minta referendum pisah dari NKRI ? Apa kampanye politik Jokowi di Papua dulu menjanjikan referendum dan berpisah dari NKRI sehingga suara Jokowi luar biasa besar di Papua ? Atau keributan di Papua ini dalam rangka merealisir janji politik Jokowi ? Kembali ke Mahfud MD, saya jadi kepingin tahu apa resep mujarab sang profesor ini -yang telah kalah telak melawan tantangan Prof Suteki- untuk mengatasi masalah Papua. Apa akan mengadopsi ide Jokowi, yang saat pidato kebangsaan berkoar tidak ada toleransi bagi siapapun yang mau memecah belah bangsa. Tapi begitu OPM beraksi, kok jadi lembek ? Diminta saling memaafkan ? Ingat ya, gaji Mahfud MD per bulan diatas 100 juta rupiah. Umat ini berhak tahu, apa kinerja Mahfud sehingga punya hak atas gaji yang berasal dari pajak umat. Tidak mungkin lah, seorang Mahfud pergi ke Papua dalam konteks bertempur, seperti Banser. Banser saja ngeles minta payung hukum. Tapi paling tidak Mahfud kan bisa ngetwit ? Komentar, kasih perspektif Pancasila mengenai persoalan Papua. Jangan hanya menjadi kompor kebangsaan berdalih suluh kebangsaan, menebar tudingan ditengah kalangan pesantren tanpa punya rasa malu. Meskipun begitu, saya termasuk orang yang sabar menanti pernyataan Mahfud. Bagaimanapun, dia telah terima gaji BPIP. Karena itu, dia wajib bekerja dan bertanggung jawab secara moral kepada publik. Semoga, Mahfud MD diberi kemudahan dan kelancaran, agar lisannya mampu bersuara untuk Papua. Kita, sebagai sesama anak bangsa sangat menunggu peran dan kiprah Mahfud MD dalam menjaga dan membumikan nilai-nilai Pancasila.
Jangan Cemaskan Pancasila, Sejak Lama Pancasila Memang Sudah Tak Ada?
Secara formal iya, pancasila masih ada. Di sekolah-sekolah, setiap Senin pada saat upacara bendera, sila-sila Pancasila masih terus dibacakan. Penulis sendiri, sejak SD sering menjadi pembawa naskah Pancasila untuk diserahkan kepada pembina upacara, sering juga justru menjadi komandan upacara. Namun, secara subtantif apakah Pancasila masih ada ? Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Kehadiran BPIP dianggap sebagai respons negara atas rongrongan terhadap Pancasila. Diharapkan, BPIP mampu membina dan mengarahkan corak keberpancasilaan bangsa dan negara. Bahkan, untuk urusan ini negara merogoh kocek yang diambil dari kantong rakyat (pajak) untuk menggaji ratusan juta rupiah untuk memberi jatah bulanan Kepada begawan - begawan BPIP. Tak peduli, apakah secara subtantif BPIP bermanfaat. Yang jelas, secara formal telah melembaga, biar terlihat gagah memang semua harus di lembagakan. Biar bisa memindahkan duit dari kantong rakyat ke kantong BPIP, tentunyahhh. Tak jelas, apa tupoksi BPIP. Yang muncul, BPIP sering nyinyir terhadap umat Islam dan isu-isu keislaman. Terkait OPM, yang jelas mengancam Pancasila dan NKRI, BPIP terlihat irit komentar, jika mengeluarkan statement pun, sangat hati-hati. Sebenarnya, apakah pancasila terancam, sehingga butuh BPIP ? Apakah publik NKRI perlu mencemaskan Pancasila ? Sebelum menjawab pertanyaan ini, justru kita semua, publik NKRI patut bertanya, apakah Pancasila masih ada ? Secara formal iya, pancasila masih ada. Di sekolah-sekolah, setiap Senin pada saat upacara bendera, sila-sila Pancasila masih terus dibacakan. Penulis sendiri, sejak SD sering menjadi pembawa naskah Pancasila untuk diserahkan kepada pembina upacara, sering juga justru menjadi komandan upacara. Namun, secara subtantif apakah Pancasila masih ada ? Mari kita ulas. Menarik sekali, pernyataan Surya Paloh yang menyebut negara ini adalah negara kapitalis liberal, bukan Pancasila. Pernyataan ini, adalah pernyataan Sahih, meski motifnya karena rebutan jatah kursi menteri. Negeri ini memang sejak lama menerapkan ideologi kapitalisme sekuler, dengan berbagai corak dan varian. Saat ini, negeri ini sedang menerapkan mutan kapitalisme yang berevolusi menjadi kapitalisme liberal. Lebih liberal ketimbang kapitalisme pasar. Jika pada era Soekarno, Pancasila secara subtantif ditafsirkan dengan mahzab sosialistik dibuktikan dengan proyek nasionalisasi sejumlah aset privat milik Belanda menjadi BUMN. Era Soeharto, negeri ini telah sah menerapkan kapitalisme barat. Jadi, ketika itu pertarungan ideologi kspitalisme barat dan sosialisme China, bertarung untuk mensarah (menafsir) makna Pancasila. Secara subtantif, Pancasila tidak pernah ada. Pancasila, sejak orba hingga saat ini hanya dijadikan sebagai alat untuk menggebuk lawan politik. Dalam kasus HTI misalnya, HTI dituding anti Pancasila, sementara nilai-nilai Pancasila anti korupsi. Faktanya, yang menuding dan mencabut BHP HTI justru yang banyak kena kasus korupsi. PDIP, Golkar, PKB, PPP, semua pengalaman dalam urusan korupsi. Saat ini, misalnya, nilai Pancasila tidak pernah diterapkan sebagaimana dahulu Pancasila juga hanya menjadi slogan-slogan kosong tanpa isi. Justru, ideologi barat sekuler dan asosialisme China yang eksis dan berebut pengaruh di negeri ini. Penguasaan aset dan tambang oleh asing, Import TKA China, utang yang menggunung, kemiskinan yang akut, sulitnya akses kesehatan bagi rakyat kecil, ancaman disintegrasi Papua, dll. apalah semua ini bentuk implementasi nilai-nilai Pancasila ? Kalau iya, berarti jelek sekali Pancasila itu. Kalau bukan, berarti jelas Pancasila memang tak pernah ada dan diterapkan di negari ini. Kalau realitasnya Pancasila memang tak ada dan tak pernah diterapkan, jadi wajar saja kita tidak perlu mencemaskan Pancasila. Tak perlu pusing menjaga Pancasila dengan membentuk BPIP atau semisalnya. Biarkan, Pancasila eksis sebatas dongeng seperti cerita Sangkuriang atau Bandung Bondowoso. Saya sepakat, Pancasila tak perlu dicemaskan. Karena, Pancasila sudah sejak lama memang tak pernah ada secara kenyataan.
Pak Dasco, Mana "Penumpang Gelap" Itu?
Tiba-tiba, entah apa dasarnya, Anda memunculkan istilah ‘penumpang gelap’ di kubu 02. Ini sangat menyakitkan banyak orang. Anda harus jelaskan siapa mereka. Pak Dasco, Anda harus pertanggungjawabkan fitnah ini. Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Kita tinggalkan sejenak soal Papua. Kembali dulu ke isu pilpres. Tepatnya ke soal “penumpang gelap” di kubu Prabowo. Sebab, isu ini belum tuntas. Tidak bisa didiamkan begitu saja. Julukan ini terlanjur meciptakan kekeruhan. Menimbulkan keresahan. Publik menebak-nebak siapa gerangan ‘penumpang gelap’ itu. Orang yang selama ini berada di sekitar Prabowo, semuanya bisa menjadi tertuduh. Termasuk para habaib, ulama, ustads, relawan, emak-emak, dlsb. Dan juga para kader Gerindra garis lurus. Kalau yang garis bengkok tak akan menjadi tertuduh penumpang gelap. Mereka malah menggelapkan penumpang atau membuat penumpang menjadi gelap. Wakil ketua umum Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, harus menjelaskan siapa itu ‘penumpang gelap’ yang dia katakan mau membenturkan Prabowo Subianto (PS) dengan pihak yang berkuasa. Dasco yang memulai istilah itu. Dia yang memunculkan tuduhan itu. Dia yang menebar fitnah itu. Sekarang, Pak Dasco, Anda harus gentlemen. Anda harus tunjukkan ke publik siapa-siapa itu ‘penumpang gelap’ yang Anda maksudkan. Anda tidak boleh lepas tangan setelah Anda mulai fitnah itu. Yang Anda sebut ‘penumpang gelap’ itu membuat banyak orang tak nyaman. Fitnah Anda itu seakan-akan tertuju kepada para habaib, para ulama, para ustadz yang selama ini mendukung Prabowo. Seolah-olah tertuju kepada para relawan, emak-emak, dan simpatisan Prabowo. Anda sebutkan bahwa ‘penumpang gelap’ itu adalah orang-orang yang tak setuju dengan anjuran agar tidak ada aksi damai di Mahkamah Konstitusi (MK) ketika akan berlangsung sidang gugatan hasil pilpres 2019. Tuduhan Anda, Pak Dasco, sangat liar. Sangat berbahaya. Banyak orang bisa risih dan resah. Sebab, ada puluhan ribu orang yang merasa perlu mengawal sidang di MK itu. Dan mereka sama sekali tidak punya maksud membuat keonaran. Tidak bermaksud melaga-laga siapa pun. Mereka hanya ingin menunjukkan solidaritas kepada Prabowo dan ingin agar keadilan bisa menang di MK. Tiba-tiba, entah apa dasarnya, Anda memunculkan istilah ‘penumpang gelap’ di kubu 02. Ini sangat menyakitkan banyak orang. Anda harus jelaskan siapa mereka. Pak Dasco, Anda harus pertanggungjawabkan fitnah ini. Pak Fadli Zon, yang juga wakil ketua umum Gerindra, sudah membantah keberadaan ‘penumpang gelap’ di kubu Prabowo. Setelah itu, tak ada angin tak ada hujan, muncul tulisan buzzer bayaran Anda yang memuji-muji Habib Rizieq. Tulisan ini seolah ingin meredam tudingan ‘penumpang gelap’ ke arah Habib, ke arah para ulama. Kalau Anda tidak menjelaskan soal ‘penumpang gelap’ itu, maka tidak keliru kalau ada yang berkesimpulan bahwa Anda memang ingin para ulama dan umat Islam tidak lagi bersama Prabowo. Ini mirip dengan kejadian ketika seorang ketua umum partai yang mengatakan bahwa partai dia tidak perlu suara umat Islam. Menurut hemat saya, sikap tegas ketum partai itu malah lebih bagus. Lebih terhormat. Dia terus-terang mengatakan partai beliau tak memerlukan suara umat Islam. Nah, sebaiknya Anda pun berterus terang saja. Katakan dengan tegas bahwa Anda dan Gerindra tak perlu umat Islam. Ini lebih baik ketimbang Anda munculkan istilah ‘penumpang gelap’ yang salah satu arahnya tertuju ke para ulama dan umat Islam. Juga tertuju kepada para relawan dan emak-emak yang boleh dikatakan 100% berasal dari latarbelakang umat Islam. Jadi, Pak Dasco, kami imbau sekali lagi agar Anda menjelaskan siapa saja ‘penumpang gelap’ di kubu 02. Agar semuanya menjadi jelas. Berbagai pihak telah menyampaikan desakan agar ‘penumpang gelap’ di kubu Prabowo diungkap saja identitasnya. Dibuka saja. Supaya tidak terus liar. Agar bisa diketahui apakah mereka para ulama atau bukan. Atau, kalau bukan ulama, berarti ‘penumpag gelap’ itu adalah mereka yang juga ‘penumpang terang’. Harap diingat, para ulama dan umat Islam berperan besar mengantarkan Prabowo ke posisi tawar (bargaining position) politik seperti sekarang ini. Dukungan kuat umat Islam di seluruh pelosok Indonesia di pilpres 2019 ini membuat Parbowo bisa menjadi figur yang diakui kekuatan politiknya oleh pihak lawan. Sayangnya, Anda bertindak ceroboh dengan isu ‘penumpang gelap’. Inilah tudingan yang menyakitkan para ulama dan umat Islam, seandainya merekalah yang Anda maksud. Sangat tendensius. Sekali lagi, kalau Anda dan Gerindra tak perlu umat, lebih baik dikatakan saja dengan tegas. Anda tidak harus membuat fitnah ‘penumpang gelap’ untuk mengusir ulama dan umat dari lingkaran Prabowo. Umat akan pergi dengan sukarela. Banyak kok yang harus diurus oleh para ulama dan umat. Jadi, Pak Dasco, tolong jawab mana Penumpang Gelap itu? (23 Agustus 2019)
Donald Trump dan Reputasi Amerika
Sejak terpilihnya, banyak yang mengira jika Donald Trump hanya memainkan politik “cowboy” yang cenderung tidak peduli dengan perasaan orang lain. Sikap dan kata-katanya seringkali tidak menggambarkan sebagai seorang presiden (unpresidential). By Shamsi Ali Imam di Kota New York York, NewFNN - Ternyata kebesaran dan harga diri sebuah negara tidak saja ditentukan oleh kebesaran ukurannya atau kekayaan dan keindahan alamnya. Tidak juga hanya dengan jumlah penduduk dan kemajuan perekonomiannya. Atau ketinggian inovasi sains dan teknologinya. Kebesaran dan kehormatan sebuah negara sedikit banyaknya juga ditentukan oleh siapa yang menjadi pemimpinnya. Pemimpin negara seolah menjadi representasi kecil atau cermin mini dari sebuah negara itu sendiri. Saya teringat di saat Indonesia baru merdeka, merangkak membangun jati diri dalam segala lini kehidupannya. Indonesia ketika itu secara perekonomian lemah, secara militer lemah, secara politik masih dalam proses mencari jatidiri. Bahkan secara sosial rentang mengami disintegrasi karena daerah-daerah baru dalam integrasi. Namun Indonesia justeru di awal-awal kemerdekaannya itu tampil menjadi singa Asia, bahkan salah satu pemimpin dunia yang disegani. Satu di antara sekian banyak kebanggaan itu adalah Indonesia menjadi salah satu pionir berdirinya Gerakan Non Blok (Non Align Movement). Konferensi Asia Afrika yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno di Bandung merupakan cikal bakal terwujudnya Gerakan Non Blok itu. Kini perhimpunan negara-negara dunia ketiga yang lebih dikenal dengan singkatan GNB itu menjadi organisasi dengan anggota terbesar dari negara-negara anggota PBB. Reputasi dan kehormatan yang diraih oleh Indonesia dalam segala keterbatasan itu ternyata salah satunya karena kapabilitas, reputasi dan kharisma pemimpinnya. Dunia menghormati dan memuliakan Indonesia karena kehormatan dan kemuliaan pemimpinnya, Soekarno. Reputasi Amerika Secara ekonomi dan politik, apalagi secara militer, saya tidak pernah meragukan kebesaran dan kehebatan Amerika. Amerika dengan segala kekurangannya, yang dapat kita bicarakan pada kesempatan lain, masih negara super power dunia. Apalagi jika merujuk kepada dasar-dasar kenegaraan, Konstitusi dan nilai-nilai luhur (values) yang menjadi pijakan bagi bangsa Amerika dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadikan Amerika salah satu negara yang paling solid dalam kehidupan publiknya. Yang justeru mengkhawatirkan, bahkan pada tingkatan tertentu memalukan bangsa Amerika saat ini adalah kenyataan bahwa Presidennya mengalami “mental state” (suasana kejiwaan) yang kurang stabil. Sejak terpilihnya, banyak yang mengira jika Donald Trump hanya memainkan politik “cowboy” yang cenderung tidak peduli dengan perasaan orang lain. Sikap dan kata-katanya seringkali tidak menggambarkan sebagai seorang presiden (unpresidential). Dalam perjalanannya menghuni Gedung Putih ternyata semakin nampak jika sang presiden negara adi daya ini memang tidak stabil dalam kejiwaannya. Keadaan itu terindikasi secara jelas dari kata-kata yang kerap tidak menentu. Berubah setiap saat, seolah berbicara tanpa pertimbangan apapun. Contoh terakhir sebagai misal saja, bagaimana sang presiden menjuluki Perdana Menteri Denmark dengan kata “nasty”, persis seperti yang disebutkan untuk Hillary dalam beberapa kesempatan debat calon presiden saat itu. Kata “nasty” atau “absurd” yang ditujukan kepada PM Denmark itu jelas bukan ekspresi seseorang yang dewasa, apalagi seorang presiden. Dan itu disebabkan karena ada keinginan Donald Trump membeli sebuah pulau yang berbadan otonom di negara itu. Pulau itu adalah Iceland. Tapi PM Denmark menolak keinginan Donald Trump. Penolakan ini oleh Donald Trump dianggap penghinaan yang berujung dengan tuduhan “nasty” atau kotor. Ini bukan pertama kali terjadi. Hal sama dilakukan dengan Perdana Menteri Inggris ketika itu, Theresa, menyerangnya secara kasar melalui akun Twitternya. Sikap dan kata sang presiden ini menjadikan banyak warga Amerika merasa risih, bahkan malu. Bagaimanapun juga presiden sebuah negara menjadi simbol terdepan dari negara itu. Dalam dua hari terakhir ini sang presiden malah menyampaikan hal-hal yang entah itu disadari atau tidak, tapi sangat mengganggu akal rasional bangsa Amerika. Dalam sebuah kesempatan Donald Trump dijuluki oleh seorang penyiar radio sebagai “King of Israel”, penyelamat bangsa Israel. Kita pahami bahwa kata King of Israel dalam bahasa Kitab Suci berarti tuhan itu sendiri. Maka dalam hal ini Donald Trump sedang diposisikan sebagai tuhan. Anehnya Donald Trump malah senang dan bangga dijuluki sebagai King of Israel itu. Dia mengirimkan Twitter dan berterima kasih kepada penyiar radio itu. Di kesempatan lain Donald Trump mengaku sebagai “the Chosen” (orang terpilih) untuk menerapkan tarif dagang yang tinggi kepada China. Kata “chosen” dalam bahasa biblical (kitab suci) berarti seorang utusan atau rasul dalam bahasa umumnya. Keterlibatan Donald Trump dalam pencekalan dua anggota Kongress untuk mengunjungi Israel, Ilhan Omar dan Rashid Tlaib, juga menjadi indikator penting dari ketidak becusan itu. Kunjungan ke Israel merupakan tradisi tahunan anggota Kongress sebagai simbol kedekatan dan dukungan Amerika ke negara itu. Tapi kali ini nuansa itu berubah. Dengan adanya dua anggota Kongress yang beragama Islam, bahkan satunya memang putrì keturunan Palestina, kunjungan itu tidak lagi secara otomatis sebagai dukungan dan persahabatan. Tapi sekaligus sebagai “fact finding mission” atau misi mencari kebenaran di lapangan. Tentu hal ini bagi sebagian yang punya kepentingan berbahaya. Karena selama ini boleh jadi banyak fakta di lapangan yang tidak disampaikan secara jujur kepada bangsa Amerika. Karenanya bangsa Amerika sudah cukup lama “misguided” atau “misled” dalam hal konflik Palestina-Israel. Yang paling aneh dalam kasus ini adalah bahwa Presiden Amerika sendiri yang berkolabirasi dengan Perdana Menteri Israel mencekal anggota Kongress untuk berkunjung. Sungguh realita terbalik di mana presiden sebuah negara harusnya membela warganya, apalagi anggota legislatif, jika diperlakukan tidak senonoh oleh bangsa lain. Terlalu panjang jika semua kejadian yang tidak pantas dan berkaitan dengan presiden Amerika ini disampaikan semuanya. Tapi saya kira bukti terbesar dari ketidak stabilan mentalitas presiden Amerika ini adalah ketika dengan serta merta menjadikan musuh semua yang tidak setuju dengannya. Satu bukti yang paling nyata adalah bahwa dalam masa singkat menduduki Gedung Putih, puluhan staf tinggi negara ini mengundurkan diri atau dipecat. Anehnya hampir semua staf yang mundur atau dipecat itu “turn their backs” alias berbalik dari mendukung menjadi menyerang Doland Trump. Contoh yang paling nyata adalah lawyer pribadinya, Michael Cohen. Akhirnya ketidak stabilan itu juga kembali diekspresikan kemarin hari. Dalam sebuah pernyataannya Donald Trump menyampaikan bahwa jika komunitas Yahudi mendukung Democrat maka itu berarti mereka tidak loyal (disloyal) kepada agama Yahudi dan Israel. Pernyataan ini jelas sangat merendahkan komunitas Yahudi. Seolah dukungan Donald Trump selama ini hanya karena kepentingan “suara” semata. Wajar saja, di satu sisi Donald Trump mendukung sepenuhnya Israel. Tapi di sisi lain pendukung fanatiknya dari kalangan White Supremacy dengan brutal dan kejam menyerang dan membunuh warga Yahudi di Amerika. Jangan terkejut dengan kenyataan paradoks itu. Karena Donald Trump sendiri adalah sosok yang penuh dengan karakter paradoks... * Imam di Kota New York.
Orang Papua Buat Pucat Para Penguasa Indonesia
Biarlah orang Papua berbuat sesuka hati. Mau mengibarkan bendera Bintang Kejora, silakan. Padahal, kalau itu dilakukan oleh orang Sumatera, Jawa, Kalimantan atau Sulawesi, sudah pasti langsung masuk penjara. Dikenai pasal makar. Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Indonesia akan melakukan apa saja untuk Papua asal jangan minta merdeka. Kira-kira begitulah suasana hubungan antara Jakarta dan orang Papua saat ini. Sejak peristiwa kerusuhan di Manokwari, Sorong, dan tempat lain, bisa dibayangkan wajah para penguasa Indonesia. Mereka semua pucat. Pucat-pasi. Takut orang Papua mengamuk besar-besaran. Suasana pucat itu bisa terlihat dari reaksi diam pihak keamanan ketika menghadapi tindakan makar orang Papua. Pembakaran gedung DPRD di Manokwari cenderung dibiarkan. Pembakaran bendera Merah-Putih juga tidak diapa-apakan. Takut sekali gejolak Papua Merdeka berkembang liar. Para penguasa, penegak hukum, para pengawal NKRI baik itu institusi negara maupun pengawal swasta semisal Banser, pada waktu ini berada pada posisi tak berani maju. Bukan karena mereka tidak kuat atau tidak memiliki peralatan. Tetapi karena mereka harus menghindari perangkap eskalasi tindak kekerasan. Sebab, begitu tindak kekerasan mulai memakan korban, terutama di pihak Papua, hampir pasti konflik kekerasan akan membesar. Kalau eskalasinya tak terkendali, sangat mungkin orang-orang Papua yang selama ini sudah berjiwa NKRI pun akan memberikan simpati kepada sesama orang Papua. Sangat tak masuk akal kalau orang Papua akan membantu pihak yang sedang berhadapan dengan mereka. Jadi, semakin pahamlah kita mengapa pemerintah berusaha meredam konflik. Semakain mengertilah kita mengapa peristiwa semacam kerusuhan Manokwari itu membuat para petinggi menjadi pucat gemetar. Mereka sangat ketakutan. Takut pekik Papua Merdeka akan “terdengar” ke luar. Sebab, jika teriakan itu menggema di luar, akan banyaklah negara simpatisan Papua yang siap memberikan dukungan. Jangankan setelah jatuh korban tindak kekerasan, pada waktu relatif tenteram seperti sekarang ini saja sudah sangat banyak negara luar, khususnya rumpun Melanesia, yang siap menmbantu perjuangan Papua. Menghindarkan tindak kekerasan dengan korban orang Papua, adalah psikologi yang tengah melanda semua pejabat Indonesia. Saking takutnya korban di pihak Papua akibat tindakan pasukan keamanan Indonesia, akhir-akhir ini Indonesia cenderung “permissive” terhadap orang Papua. Apa saja dibolehkan. Biarlah orang Papua berbuat sesuka hati. Mau mengibarkan bendera Bintang Kejora, silakan. Padahal, kalau itu dilakukan oleh orang Sumatera, Jawa, Kalimantan atau Sulawesi, sudah pasti langsung masuk penjara. Dikenai pasal makar. Orang Papua istimewa. Mau melaksanakan rapat umum dengan orasi Papua Merdeka, tidak masalah. Polisi dan intelijen hanya mengawasi. Menjaga supaya tertib. Demo-demo menuntut penentuan nasib sendiri pun, tidak dilarang. Bahkan, demo-demo tsb dilakukan di luar Papua. Dilakukan di “kandang lawan”. Tidak masalah. Begitulah hebatnya orang Papua menguasai psikologis para petinggi Indonesia. Semuanya ramah. Lemah-lembut. Tak berani mengerahkan Brimob yang kemarin sangat tangkas dan dahsyat menumpas demonstran pilpres. Menghadapi pendemo di Jakarta, apalagi pendemonya orang Islam, pasukan Brimob luar biasa hebat. Begitu juga tentara swasta, Banser NU. Mereka juga pucat. Cuma, mereka bukan pucat politis sebagaimana yang ditunjukkan oleh para petinggi Indonesia. Melainkan pucat ‘original’. Sampai-sampai seorang jurubicara Banser mengkambinghitamkan ketiadaan payung hukum untuk pergi ke Papua dalam rangka mempertahankan NKRI. (Penulis adalah wartawan senior) 22 Agustus 2019
Transformasi Pertanian dan Ekonomi Indonesia 74 Tahun Merdeka
Dalam konsep pertanian modern yang saat ini dikembangkan pemerintah, petani sebagai pelaku utama pun didorong untuk mampu menguasai hulu hingga hilir. Mereka harus memberikan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Dengan demikian tenaga kerja baru dapat terserap dan menyelamatkan jutaan petani di pedesaan agar tetap sejahtera. Oleh Kuntoro Boga Andri Jakarta, FNN - Pada tanggal 17 Agustus kemarin, Indonesia merayakan hari kemerdekaan. Genap 74 tahun sejak Bung Karno membacakan proklamasi penanda Indonesia telah merdeka. Kemerdekaan tentunya memiliki banyak makna. Dalam konteks sektor pertanian, kemerdekaan Indonesia saat itu menandai Indonesia memiliki kendali dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki. Selama 74 tahun terakhir, tak dapat dinafikan bahwa sektor pertanian masih menjadi salah satu aspek penting sebagai penggerak roda ekonomi Indonesia. Bila dibandingkan sektor lainnya, pertanian masih berada di posisi teratas, bersama sektor perdagangan dan sektor industri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sektor pertanian sangat signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Selama periode 2013-2018, akumulasi tambahan nilai PDB sektor pertanian yang mampu dihasilkan mencapai Rp1.375 Triliun. Terdapat kenaikan sebesar 47% dibandingkan dengan tahun 2013. Selanjutnya, pada tahun 2018 ini, nilai PDB mencapai 395,7 triliun dibandingkan Triwulan III tahun lalu yang hanya Rp 375,8 triliun. Bahkan bila diakumulasikan dengan kontribusi industri agro dan penyediaan makanan serta minuman yang berbasis bahan baku pertanian, kontribusi Pertanian secara luas mencapai 25,84 persen terhadap total PDB nasional. Capaian pembangunan sektor pertanian 2014-2018 juga meningkat drastis. Data BPS mencatat, PDB sektor pertanian naik Rp 400 triliun sampai Rp 500 triliun. Total akumulasi mencapai Rp 1.370 triliun. Salah satu faktor yang mendongkrak peningkatan PDB pertanian adalah peningkatan ekspor. Sementara, sensus Pertanian 2003 (ST2003, BPS) menunjukkan Rumah Tangga Petani (RTP) yang semula berjumlah 31,23 juta RTP, menurun pada ST2013 menjadi 26,13 juta RTP. Data terakhir survei pertanian antar sensus 2018, jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) pengguna lahan sebesar 27,22 juta. Data ini menunjukkan adanya transformasi struktural perekonomian Indonesia. Proses transformasi dari negara agraris menuju industri. Sektor industri dan jasa semakin tumbuh berkontribusi besar, secara berangsur menggantikan dominasi sektor pertanian. Hal ini wajar bagi sebagian negara yang tengah bergerak maju - yang dulunya agraris dan bertransformasi menjadi negara industri dan jasa. Faktanya dalam 10 tahun terakhir (2013-2018), data RTUP terjadi kenaikan jumlah dari sebelumnya 25,75 juta (2013) menjadi 27,22 juta (2018). Data menunjukkan pertanian tetap menjadi tumpuan masyarakat, seiring dengan meningkatnya indikator NTP setiap tahunnya. BPS mencatat data NTP pada Juli 2019 sebesar 102.63, naik jauh dbandingkan 2014 yang hanya 102.03. Kesejahteraan petani meningkat, sehingga gairah sektor pertanian pun membaik. Sektor pangan masih tetap ibutuhkan selama manusia masih butuh makan. Maka negara harus menjamin tidak terjadi krisis pangan pangan dan kemiskinan di desa, karena berpotensi munculnya ekses negatif. Tingginya angka kriminalitas, meningkatnya angka kenakalan remaja, atau bahkan menumbuhsuburkan paham ekstrim. Sektor pertanian, berusaha menjadi bagian dari upaya mendorong kesejahteraan di perdesaan. Ketahanan pangan harus dijaga mulai dari keluarga terkecil hingga level nasional. Kementan secara khusus telah bekerjasama dengan TNI dan unsur keamanan negara lainnya secara intensif bekerjasama mewujudkan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani. Menuju Pertanian Modern Kemerdekaan yang diraih 74 tahun tentunya bukan penanda bahwa perjuangan sudah berakhir. Justru sebaliknya, perjuangan masih terus berlanjut hingga ke masa ini. Begitupun di sektor pertanian. Masih banyak ruang untuk terus memajukan pertanian kita. Salah satu agenda yang sedang didorong oleh pemerintah saat ini adalah modernisasi pertanian. Urgensitas modernisasi sektor pertanian didasarkan pada argumentasi bahwa kedaulatan pangan hanya bisa diraih jika produktivitas dan efisiensi produksi pertanian meningkat. Modernisasi diharapkan bisa menjadi kunci peningkatan produksi dan efisiensi, tenaga,waktu, maupun biaya. Dalam konsep pertanian modern yang saat ini dikembangkan pemerintah, petani sebagai pelaku utama pun didorong untuk mampu menguasai hulu hingga hilir. Mereka harus memberikan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Dengan demikian tenaga kerja baru dapat terserap dan menyelamatkan jutaan petani di pedesaan agar tetap sejahtera. Hal penting lainnya yang dikembangkan dalam kerangka pertanian modern, pemerintah juga menggiatkan mekanisasi dan terus mendorong tumbuh kembang berbagai teknologi dan inovasi pertanian. Upaya menggiatkan mekanisasi dilakukan dengan meningkatkan pemberian bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), serta pelatihan dan pendampingannya. Sementara penumbuh kembangan teknologi dan inovasi dilakukan dengan menjalankan penelitian yang adaptif dan menjawab kebutuhan di lapangan. Baik mekanisasi dan teknologi tersebut diimplementasikan dalam berbagai program khusus. Sebagai contoh, Program Upaya Khusus Swasembada (Upsus) Padi Jagung Kedelai (Pajale) yang kini telah membuahkan hasil swasembada. Sejak tahun 2016 hingga sekarang Indonesia tidak lagi impor beras medium, cabai segar dan bawang merah konsumsi. Pada 2017 tidak ada impor jagung pakan ternak hingga saat ini, dan bahkan sudah ekspor bawang merah. Selanjutnya ditargetkan 2021 swasembada bawang putih dan gula konsumsi, 2020 swasembada kedelai, 2024 swasembada gula industri dan 2026 swasembada daging sapi. Program ini merupakan peta jalan menuju Visi Indonesia pada tahun 2045 menjadi Lumbung Pangan Dunia. Capaian kebijakan pangan di atas juga telah meningkatkan kesejahteraan petani. Ini terlihat dari indikator kemiskinan di pedesaan. Penduduk miskin di pedesaan tercatat turun sebesar 393.400 jiwa dari 15,54 juta jiwa pada September 2018 menjadi 15,15 juta di Maret 2019. Selanjutnya guna mengawal dan memastikan agar proses transformasi struktural bisa berjalan tepat dan terarah, maka berbagai kebijakan yang telah dan akan dilakukan adalah: Pertama, mengembangkan industrialisasi berbasis agro berdasarkan keunggulan komparatif. Indonesia harus jaya kembali untuk kopi dan rempah-rempah. Integrasi aktivitas hulu_-on farm-_hilir dibangun berbasis kawasan berskala ekonomi sehingga diperoleh nilai tambah dan pendapatan penduduk setempat. Kedua, memperkuat infrastruktur sehingga memperlancar arus distribusi dari desa ke kota, di desa dibangun jalan, irigasi/embung, listrik, telekomunikasi, lembaga keuangan, pasar tani dan lainnya. Ketiga, industrialisasi di pedesaan akan menyerap banyak tenaga kerja, sehingga perlu peningkatan kapasitas SDM menjadi profesional dan produktif. SDM setempat dilatih menggunakan alat mesin, perbengkelan, jasa dan lainnya sesuai standar kompetensi. Keempat, keterbatasan jumlah petani diatasi dengan mekanisasi. Kementan menyediakan 80.000-100.000 unit alat mesin pertanian setiap tahunnya. Dengan mekanisasi seperti traktor, pompa air, rice transplanter, combine harvester dan Rice Milling Unit terbukti bisa menekan biaya hingga 40 persen waktu, tenaga, dan menurunkan susut hasil 4-8 persen dan meningkatkan mutu. Teknologi Mekanisasi membuat generasi muda kini berminat terjun ke pertanian dan pedesaan. Beberapa informasi dari Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta menyebutkan, kini Fakultas Pertanian mulai menjadi pilihan unggulan dan banyak mahasiswanya. Bahkan program Kementerian Desa-PDT kini mendapat respons positif bagi generasi muda di desa. Sejumlah capaian ini kita harapkan menjadi indikator bahwa transformasi Indonesia menuju pertanian modern masih di jalur yang benar. Dengan semangat perjuangan dan kerja keras kita semua, semoga pertanian Indonesia bisa berjaya. (*) Penulis adalah Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Informasi Publik Kementerian Pertanian RI
Membaca Kegalauan Syahganda Nainggolan Soal Papua
Agak sulit untuk mengandalkan Jokowi, apalagi jokowi pernah diterpa isu referendum untuk Papua di tahun 2015. Rasanya, problem Papua ini perlu diselesaikan dengan pendekatan out of the box. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Tak terlalu mewakili, apa yang saya tulis ini untuk mengkonfirmasi suasana kebathinan Dr. Syahganda Nainggolan, pemilik lembaga Sabang - Merauke Cyrcle. Isu sparatisme OPM, jika tidak dikelola secara bijak bisa berujung perpecahan. Salah satu provinsi Indonesia Paling timur Indonesia ini bisa lepas menjadi negara mandiri. Jika Papua memisahkan diri mengikuti jejak Timor Timur, terbukti untuk yang kesekian kalinya NKRI bukan harga mati, bentuk dan wilayah negara tak pernah final. Negara, jika tidak berdialektika pada sebuah perubahan yang revolusioner, tak ayal juga pasti berubah secara evolutif. Andaikan Papua lepas, Merauke bukan lagi NKRI. Karena itu, hal ini sangat mengkhawatirkan eksistensi Sabang-Merauke Cyrcle-nya Syahganda. Boleh jadi, lembaga ini beringsut menjadi Sabang - Kupang Cyrcle. Jika tak dicegah dan diselesaikan secara serius, pelan-pelan lembaga milik Syahganda ini akan terus beringsut secara evolutif, bisa juga secara revolusioner. Mungkin, berubah menjadi Sabang - Surabaya Cyrcle, Sabang - Bandar Lampung Cyrcle, atau mungkin berujung menjadi Sabang - Banda Aceh Cyrcle. Semoga saja tidak, Naudzubillah. Hanya saja, penangan krisis papua ini tidak boleh dengan cara lama seperti menangani Timor Timur (Tim-Tim). Saat itu, keran referendum di buka dengan harapan warga tim-tim dalam sebuah jajak pendapat publik mayoritas memilih pro integrasi. Sehinga, posisi Indonesia yang menjadikan tim-tim bagian wilayah NKRI lebih legitimate dimata internasional. Faktanya ? Referendum merupakan jalan lapang bagi Tim-tim menuju kemerdekaannya. Bukan merdeka, tapi memisahkan diri. Sebab, jika Timor-timur merdeka, berarti selama ini Indonesia menjajah Timor timur. Faktanya, selama kekuasan orba Tim-tim adalah provinsi anak emas Soeharto. Ketika itu, mahasiswa tim tim yang kuliah di jawa mendapat banyak fasilitas dan bantuan negara. Subsidi anggaran untuk tim-tim sendiri, terbesar diantara provinsi lainnya. Saat itu, Magewati yang juga ketua PDIP begitu getol mendorong warga bumi lorosae untuk mengadakan referendum. Tanpa perhitungan matang -juga atas tekanan internasional - referendum Timor timur terjadi dan berujung disintegrasi. NKRI ternyata bukan harga mati. Sekarang juga sama, opsi-opsi yang diantaranya opsi referendum, sebagaimana ulasan Syahganda, semoga tidak menjadi pilihan politik Pemerintah. Sebab, opsi referendum sama halnya opsi melepaskan Papua. Itu sebabnya, mahasiswa Papua yang demo di depan istana Presiden tidak menuntut merdeka atau memisahkan diri. Mereka hanya menuntut 'referendum' karena mereka paham jika opsi refeendum ini menjadi pilihan kebijakan politik Pemerintah, sama saja dengan menyetujui Papua merdeka. Itulah target sebenarnya. Agak sulit untuk mengandalkan Jokowi, apalagi jokowi pernah diterpa isu referendum untuk Papua di tahun 2015. Rasanya, problem Papua ini perlu diselesaikan dengan pendekatan out of the box. Isu utama papua itu adalah ketidakhadiran negara di Papua, baik untuk memberikan layanan kepada rakyat Papua maupun mengambil sikap tegas pada aparatis OPM. Terlebih lagi, isu Papua adalah isu internasional. Sejumlah negara begitu ngiler dengan SDA Papua yang melimpah, khususnya emas freeport. Amerika jelas punya kepentingan mendorong Papua pisah dari NKRI, karena bernego dengan pemerintahan kecil di Papua jauh lebih negosiable ketimbang bernego dengan NKRI. Yang jelas, Amerika bisa lebih banyak menghemat anggaran suap pejabat, jika Papua memisahkan diri menjadi negara kecil. Amerika tdk perlu lagi berurusan dengan orang Jakarta yang rakus. Amerika, cukup bernego dengan orang Papua dan membentuk pemerintahan boneka di Papua untuk melayani kepentingannya. Sebenarnya ada ide diluar opsi mainstream untuk menyelesaikan persoalan Papua. Solusi anti mainstream ini selain mempertahankan keutuhan wilayah NKRI juga akan menambah luas wilayah negara. Jadi, Kedepan Syahganda tidak perlu khawatir lembaga Sabang - Merauke Cyrcle dilikuidasi. Bahkan, dia bisa melebarkan sayap dengan membentuk lembaga Sabang - Maroko Cyrcle. Ya, itu hanya terwujud jika negeri ini mengambil opsi solusi khilafah. Sebuah sistem pemerintahan yang kuat yang akan menjaga keutuhan wilayah negara, bahkan akan memperluas wilayah negara dengan berbagai penaklukkan ke seluruh penjuru dunia. Kelak, wilayah kekuasan khilafah ini meliputi banyak kawasan, dari Sabang sampai Maroko. Saat itulah, lembaga milik Syahganda bermetamorfosis menjadi lebih besar dan lebih gagah : SABANG - MAROKO CYRCLE. End