Airlangga Hartarto, Antara Etika Politik & Kekuasaan
Sebelumnya Bank Dunia pada 9 September 2019 lalu, telah membocorkan prediksinya atas ketahanan ekonomi Indonesia. Lembaga keuangan duinia ini meperkirakan ekonomi Indonesia akan memburuk ke depan. Tetapatnya pada tahun 2020 nanti kondisi itu terjadi.
By Dr. Syahganda Nainggolan
Jakarta, FNN - Setelah ditunjuk jadi Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto (AH) berencana mempertahankan kekuasaannya untuk memimpin Partai Golkar (PG). Perebutan Ketua Umum PG ini telah menjadi kosentrasi utama AH belakangan ini. Setidaknya mungkin untuk beberapa saat. Namun bisa juga untuk selama lima tahun ke depan.
Pembicaraan kita pada tulisan ini adalah melihat sisi moral politik atau etika dari AH. Seharusnya sisi moral dan etika ini dimiliki oleh AH sebagai pejabat tinggi Negara. Sebab yang saat ini AH bertanggung jawab menyelamatkan ekonomi 260 juta rakyat Indonesia.
Mengapa isu ini harus harus dimunculkan? Karena begitu penting dan strategis. Kenapa dia harus membelah segala energi dan kosentrasinya. Sebagai kepala kementerian di bidang ekonomi, AH harus mengurus perekonomian nasional. Namun sebagai Ketua Umum PG, dia juga harus memikirkan kemenangan partainya Golkar pada Pemilu 2024 nanti. Itulah permasalahan yang sangat krusial
Krisis Ekonomi
Professor Stiglitz, eks ekonom legendaris World Bank, dalam wawancaranya dengan Euro News TV, pada 14 November 2019 lalu, mengatakan bahwa ekonomi dunia, di mana-mana sedang stagnan. Dia merespon pertanyaan pewawancara terkait padangan presiden Prancis, Macron, yang menyebut ekonomi dunia dalam keadaan krisis (unprecedented crisis).
Ketika Stiglitz ditanya apakah akan kembali mengabdi pada politik?, dia menjawab ya. Jika Capres Partai Demokrat mengalahkan Trump, di pemilu presiden Amerika tahun depan. Secara moral, Stiglitz menunjukkan bahwa orang-orang hebat harus turun gunung memberi konsultasi pada sebuah pemerintahan, agar situasi ekonomi dapat membaik.
Krisis ekonomi dunia maupun stagnan dalam istilah Stiglitz telah menjadi pembicaraan seluruh tokoh-tokoh dunia, dan ekonom kelas dunia. World Bank-IMF telah memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya sekitar 3%, tahun ini. Turun dari 3,6% tahun lalu.
Sebuah survei telah dilakukan terhadap 226 ekonom, dan ahli seluruh dunia. Penyelenggara survey adalah “The National Association of Bussiness Economics". Lembaga ini menyatakan bahwa 38% meyakini resesi terjadi tahun depan di Amerika. Sedangkan 34% lagi meyakini resesi akan terjadi di nanti pada tahun 2021.
China sendiri sudah memasuki perlambatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi China diprediksi hanya sekitar 5,8%. Jauh dari kejayaan lama China yang selalu dua digit. Kedua negara adidaya ini punya hubungan ekonomi, perdagangan, investasi dan politik yang kuat dengan Indonesia.
Bagaimana Ekonomi Indonesia?
Sebelumnya Bank Dunia pada 9 September 2019 lalu, telah membocorkan prediksinya atas ketahanan ekonomi Indonesia. Lembaga keuangan duinia ini meperkirakan ekonomi Indonesia akan memburuk ke depan. Tetapatnya pada tahun 2020 nanti kondisi itu terjadi.
Entah karena Airlangga Hartarto sibuk dengan Golkar. Namun lihatlah fenomena ini, Deputi yang mewakili AH memberi ceramah progresif pada Indonesia Bussiness Forum, 20 November 2019, menyatakan bahwa Indonesia akan mengejar pertumbuhan ekonomi 7% selama 5 tahun "steady growth". Dan akan mencapai total GDP U$ 7 Triliun (https://en.tempo.co/read/1274589/indonesia-pursuing-us7tn-gdp-7-growth).
Ini adalah sebuah ironi akal sehat. Karena seluruh dunia dan pelaku bisnis terkait Indonesia, justru sedang kosentrasi melihat rilis bocoran Bank Dunia tersebut. Bahwa ekonomi Indonesia tidak mencapai 5% tahun ini. Setelah itu menurun lagi tahun depan 4,9%. Lalu menurun lagi tahun 2022 hanya 4,6%.
Lembaga Pengembangan Ekonomi dan Manejemen Universitas Indonesia (LPEM UI) juga dalam Economy Outlooks 2020 memperkuat sinyal perlambatan ekonomi Indonesia ini. Kondisi ini diperparah dengan indikasi yang dikeluarkan pemerintah terkait buruknya pendapatan pajak.
Buruknya ekonomi kita ke depan menunjukkan pemimpin negara harus mempunyai "senses of crisis". Pengertian tentang sense of crisis adalah : Pertama, memikirkan penghematan anggaran (Austerity Policy). Apakah menggemukkan kementerian dengan belasan Wamen itu bukan simbol penghamburan uang pembayar pajak? Apakah mengangkat stafsus Presiden kelas magang, bukan simbol pemborosan?
Kedua, membuat program-program yang realistis. Projek-proyek mercusuar sudah harus di stop. Ketiga, berorientasi pada pwenciptaan lapangan kerja. Sebab krisis ekonomi akan menghantam sisi lapangan kerja. Pemerintah harus bekerja keras memikirkan projek-proyek yang tepat untuk "labor intensive" selama situasi krisis.
Keempat, harus bebas dari Korupsi. Pemerintah harus meningkatkan ancaman terhadap koruptor yang lebih keras lagi. Bila perlu dengan memberlakukan hukuman mati kepada para pejabat negara yang terbukti melakukan koruptor dalam masa lima tahun ke depan.
Etika Airlangga Hartarto
Kenapa kita persoalkan masalah etika ini? Isu etika politik telah dibahas sejak lama. Sejak jaman Aristotles, Plato dan Socrates. Yang paling ekstrim dalam soal etika adalah Machiavelli, dari Florence. Namun, semua pembicaraan mereka penting untuk dikaitkan dengan kebajikan seseorang dalam ruang publik. Moralitas politik seseorang tidak lagi miliki hak individual ketika orang tersebut telah menjadi pejabat publik.
Professor Emeritus Arthur Dobrin dalam "3 Approaches to Ethics: Principles, Outcomes and Integrity" (psychologytoday. com) mengetengahkan tiga jenis etik yang perlu kita lihat, yakni "Virtue Ethics, Consequentialist Ethics dan Deontological Ethics".
Virtue Ethics terkait kebajikan yang ingin dicapai seseorag, secara pribadi. Consequentialist Ethics terkait pertanyaan "What is good". Etik jenis ini sudah menyangkut hubungan perbuatan kita terhadap orang lain. Apa dampak perbuatan kita itu pada masyarakat. Sedang Deontological Ethics terkait pertanyaan "What is rights”? Hal ini berhubungan dengan pertanyaan: "What duties do I owe? How do I decide between conflicting duties”?
Etik jenis ini juga sudah berhubungan dengan perbuatannya terhadap orang lain. Jadi, urusan etika bukan hanya urusan pribadi seseorang, melainkan juga urusan kita semua. apalagi untuk pejabat publik seperti Airlangga Hartarto yang menjabat Menteri Koordinator Perekonomian.
Urusan Airlangga Hartarto menjadi penting kita kaitkan dengan etika untuk melihat integritas dan moral politik dia dalam kehidupan publik. Dahulu, ketika Hatta Rajasa, merangkap Menko Perekonomian dan Ketua Partai, selama 2010-2014, trend pertumbuhan ekonomi terus menurun selama lima tahun. Ironisnya, sebaliknya pencapaian jumlah suara partainya meningkat.
Namun, situasi ekonomi saat itu masih "menguntungkan". Karena trend ekonomi dunia belum seburuk saat ini. Lalu, apakah tega seorang Airlangga Hartarto membagi kosentrasinya untuk 260 juta rakyat yang membutuhkan kepastian dan kestabilan ekonomi, dengan urusan partai yang membutuhkan perhatiannya untuk memenangkan pilkada 2020 dan berbagai urusan lainnya?
Jika melihat peliknya situasi ekonomi ke depan, fokus Airlangga seharusnya tertuju pada penyelamatan ekonomi naisonal. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila 100% kehidupan dia ditujukan pada usaha itu. Quote terkenal dari Manuel Quezon, mantan Presiden Filipina, "My Loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins".
Quote ini sangat penting menunjukkan integritas dan moralitas politik seseorang pejabat publik. Namun, sayangnya, tetap saja bagi orang politik. Godaan etika politik ajaran Machiavelli, "rebut dan pertahankan kekuasaan dengan segala cara", sangat menggoda.
Penutup
Situasi ekonomi dunia memburuk. World Bank sudah memprediksi pertumbuhan ekonomi kita juga terus menurun. Pada saat bersamaan ADB (Asia Development Bank) merilis 20 juta rakyat kita kelaparan. Lalu apakah etik menteri kordinator perekonomian memecah kosentrasinya antara urusan bangsa versus urusan partai?
Dimana etika Airlangga dalam politik kekuasaan? Kita lihat segera ke depan. Apa yang akan dipilihnya? Apakah dia tetap bertahan untuk maju sebagai calon ketua umum Golkar pada Munas Golkar bulan Desember 2019 ? Ataukah memilih kosentrasi pada penyelamatan ekonomi bangsa?
Hal itu terpulang pada seorang Airlangga Hartarto. Namun, ingatlah bahwa manusia pada akhirnya akan lebih dikenang integritas dan moral politiknya, ketimbang politisi tanpa etika
Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle