Dijadikan Ketua Watimpres, Jokowi Istimewakan Wiranto?
Oleh Mochamad Toha
Jakarta, FNN - Pada 10 Oktober 2019 sekitar pukul 11.50 WIB, Menko Polhukam Wiranto ditusuk dengan senjata tajam oleh seorang pria di Alun-alun Menes, Pandeglang, Banten. Akibatnya, mantan Panglima ABRI era Orde Baru mengalami luka tusuk di tubuh bagian depan.
Demikian hampir semua media arus utama memberitakan soal penusukan tersebut. Selain Wiranto, penyerangan itu membuat Kapolsek Menes Kompol Dariyanto yang ada di lokasi terluka. Anak buah Wiranto juga terluka akibat serangan itu.
Tersangka atas nama Syahril Alamsyah alias Abu Rara, kelahiran Medan, 24 Agustus 1968, dan seorang wanita yang diduga bersama pelaku, atas nama Fitri Andriana, kelahiran Brebes, 5 Mei 1998 ini berhasil diamankan.
Karo Penmas Mabes Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo saat itu mengatakan, kedua pelaku penyerangan itu, diduga terpapar paham radikal ISIS dan pascainsiden, Wiranto dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk pertolongan pertama dan dirujuk ke RSPAD Gatot Soebroto.
Sayangnya, hingga kini sudah tidak ada kabar soal proses hukum atas penusuk Wiranto itu. Tampaknya aparat penegak hukum menganggap tidak begitu penting lagi menindaklanjuti peristiwa yang “menghebohkan” tersebut.
Apalagi, ternyata Presiden Joko Widodo masih membutuhkan “nasehat” dari mantan Menko Polhukam yang pernah membantu dalam periode pertama pemerintahannya bersama Wapres Jusuf Kalla (2014-2019) itu.
Pengorbanan Wiranto yang nyawanya nyaris terenggut itu membuahkan hasil. Ia dihadiahi jabatan sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) oleh Presiden. Bersama 8 anggota Wantimpres lainnya, Wiranto siap memberi “nasehat” kepada Presiden.
Presiden Jokowi telah melantik sembilan anggota Wantimpres di Istana Merdeka pada Jumat (13/12/2019). Mereka berasal dari kalangan politikus, pengusaha, hingga ulama. Berikut ini daftar nama Wantimpres:
Sidharto Danusubroto (PDIP), Arifin Panigoro (pengusaha), Agung Laksono (Golkar), Putri Kuswisnu Wardani (pengusaha), Dato Sri Tahir (pengusaha), M Mardiono (PPP/pengusaha), Habib Luthfi bin Yahya (ulama), Soekarwo (mantan Gubernur Jatim), dan Wiranto.
Wiranto adalah pensiunan jenderal yang sangat beruntung. Setelah menjabat Panglima ABRI terakhir. Di masanya, 1999, TNI dipisahkan dari Polri sehingga yang ada adalah nomenklatur Panglima TNI.
Ketika Reformasi bergulir, Presiden BJ Habibie yang menggantikan Soeharto mendapuknya sekaligus sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Di masa-masa krusial inilah, ia mengaku memiliki mandat seperti Soeharto saat menerima Supersemar.
“Saya selaku panglima ABRI, justru memiliki wewenang itu. Mengapa tidak mengkudeta? Karena saya tidak ingin mengkhianati negeri ini,” kata Wiranto. Setelah pensiun dari militer, Wiranto mencoba berkarier ke dunia politik.
Sebelum terjun di dunia politik, Wiranto sempat pula dipercaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid sebagai salah satu menterinya. Di awal-awal tahun Reformasi, pada 2004, Wiranto melaju sebagai kandidat presiden dari Golkar berpasangan dengan Salahudin Wahid.
Wiranto maju capres setelah memenangkan konvensi capres yang digelar Golkar. Namun pasangan ini kalah dalam Pemilihan Presiden yang dimenangi pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla.
Kegagalan dalam Pilpres 2004 tidak membuat patah semangat Wiranto, tetapi justru menjadi pemicu naluriWiranto untuk terjun ke dunia politik. Dia kemudian mendirikan partai politik bernama Hanura.
Pada pilpres 2009, dia kembali ikut bertarung, tapi sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan calon presiden Jusuf Kalla. Hasilnya, dia dikalahkan oleh pasangan SBY – Boediono. Meski demikian, Wiranto tidak gentar dan fokus membesarkan partai politiknya.
Pada Pilpres 2014, dia kembali menjadi bakal calon presiden berpasangan dengan bos MNC Group Harry Tanoe. Sayang, kedua pasangan ini berpisah sebelum Pilpres 2014 digelar. Pada Pilpres 2014 ini, ia dan partainya hanya menjadi pengusung calon lain yakni Joko Widodo.
Dukungannya membuahkan hasil. Wiranto pun diminta untuk menyodorkan kader-kadernya untuk dipilih Presiden Jokowi menjadi menteri di Kabinet Kerja periode 2014-2019. Ketika reshuffle kabinet dilakukan, Wiranto kembali diangkat menjadi Menko Polhukam.
Wiranto memang jenderal gaek yang sangat beruntung. Bayangkan! Setidaknya Wiranto bisa bertahan berada di lingkar kekuasaan sejak akhir Orde Baru, Orde Reformasi, hingga Orde Revolusi Mental pimpinan Presiden Jokowi.
Lebih dari 20 tahun Wiranto menjabat! Luar biasa bukan? Namanya juga Wiranto. Wiranto kini sudah menjadi pensiunan jenderal tajir dengan kekayaan mencapai Rp 542 miliar saat dilantik menjadi Ketua Wantimpres, Jum’at (13/12/2019).
Wartawan senior Asyari Usman dalam tulisannya di fnn.co.id, Minggu (15/12/2019) berjudul Contohlah Pak Wiranto Dalam Melipatgandakan Kekayaan mencatat, dalam waktu 10 tahun (sejak 2009), kekayaan mantan Menko Polhukam itu bertambah Rp 461 miliar.
Pada 2009, saat Wiranto maju sebagai cawapres, harta yang dilaporkan “hanya” Rp 81 miliar. Ketika beberapa hari lalu (13 Desember 2019) dilantik menjadi ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), total kekayaan yang dilaporkan Wiranto menjadi Rp 542 miliar.
Jadi, dalam waktu 10 tahun, kekayaan mantan Menko Polhukam itu bertambah Rp 461 miliar. Tentu ini luar biasa! Perlu dicontoh cara Wiranto menggelembungkan jumlah kekayaannya. Terutama perlu dicontoh oleh para pejabat yang sedang memegang kekuasaan.
“Pastilah banyak yang ingin belajar kiat-kiat beliau dalam mengelola kekayaan,” tulis Bang Asyari Usman. Pertambahan yang begitu besar menunjukkan bahwa Wiranto sangat kreatif mengembangkan kekayaan.
Presiden, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan lain-lain, perlu berkonsultasi ke Wiranto. Ia telah membuktikan kemampuan dalam meningkatkan kekayaan pribadinya. Bayangkan kalau cara Wiranto itu diadopsi ke dalam kebijakan ekonomi dan keuangan negara.
“Indonesia tak perlu lagi berutang. Tidak akan pernah defisit. Sebaliknya, kita akan melihat kekayaan Indonesia akan bertambah fantastis,” tulis Bang Asyari Usman. Para ahli keuangan, para dirut BUMN, belum tentu bisa menambah kekayaan sebesar 570% dalam 10 tahun.
Wiranto sudah membuktikannya. Bukankah itu artinya Wiranto diam-diam sangat piawai dalam mengelola kekayaan? Padahal, penggelembungan kekayaan Wiranto itu dilakukan di sela-sela kesibukan beliau sebagai pejabat negara.
Artinya, beliau tidak serius mencari duit. Bayangkan kalau Wiranto fokus dan serius hari-hari memikirkan pengembangan kekayaan negara ini. Pasti tidak ada lagi rakyat miskin. Kita bisa seperti Swiss atau Finlandia. Semuanya gratis.
Perawatan kesehatan gratis total. Tidak perlu bertengkar soal BPJS. Pendidikan gratis sampai selesai perguruan tinggi. “Pengangguran akan mendapat tunjangan, bukan tendangan. Cuti melahirkan menjadi satu atau dua tahun, tidak hanya tiga bulan,” jelasnya.
Sangat mengherankan mengapa pemerintah, Presiden, tidak mau menyerahkan pengelolaan perekonomian dan keuangan kepada Wiranto. Beliau ini asli praktisi keduitan. Bukan sekadar berteori seperti Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, Faisal Basri, dan sebagainya.
Mereka ini cuma bisa memaparkan teori-teori saja. Wiranto tidak perlu teori. Wiranto praktik langsung dalam menumpuk kekayaan.
Wiranto tak perlu teori mikro dan makro ekonomi. Wiranto tak perlu “prudence of investment analysis”. Juga tak perlu “new strategy in new business environment”. Pokoknya, tidak perlu analisis atau identifikasi lingkungan bisnis.
“Jadi, tunggu apalagi? Pak Wiranto telah membuktikan kapabilitas dan kapasitasnya dalam mengelola kekayaan. Dari Rp 81 miliar menjadi Rp 542 miliar dalam 10 tahun,” tulis Bang Asyari Usman.
Bang Asyari Usman yakin bahwa selama ini Presiden menempatkan orang yang bukan ahli di bidang ekonomi dan keuangan di posisi-posisi kunci. Sebagai Ketua Wantimpres 2019-2024, ini kesempatan Pak Jokowi dan para menteri Ekuin untuk menimba ilmu dari Wiranto.
Lima tahun ke depan tentu cukup panjang waktu untuk belajar caranya menggelembungkan kekayaan versi Wiranto. Nanti bisa kita sebut “Wirantonomic” atau “Wirofulusology”.
Penulis wartawan senior.