Dominasi 1986 dan Langkah Cegah Nepotisme Militer

Oleh Selamat Ginting

Jakarta, FNN - Dominasi abituren Akademi TNI 1986 menjadi ciri pola kepemimpinan Marsekal Hadi Tjahjanto. Mengapa muncul kekhawatiran pola tersebut akan menjadi nepotisme dalam tubuh militer?

Berawal dari Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1055/IX/2019, tertanggal 24 September 2019. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto melakukan mutasi dan promosi jabatan Perwira Tinggi (Pati) TNI.

Dalam keputusan tersebut, Panglima TNI menunjuk tiga Pati untuk memimpin Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Jabatan untuk Pati bintang tiga (letnan jenderal/letjen, laksamana madya/laksdya, marsekal madya/marsdya).

Ketiga Pati tersebut adalah Laksda Yudo Margono, Marsda Fadjar Prasetyo, dan Mayjen Ganip Warsito. Masing-masing sebagai Panglima Kogabwilhan I, II, dan III. Ketiganya mendapatkan promosi bintang tiga.

Yudo maupun Fadjar, sama-sama lulusan 1988. Yudo lulusan AAL 1988-A (pola pendidikan empat tahun: masuk 1984, keluar 1988). Sedangkan Fadjar lulusan AAU 1988-B (pola pendidikan tiga tahun: masuk 1985, keluar 1988). Mereka mendapatkan promosi bintang tiga pertama kali bagi Abituren (lulusan sekolah militer) Akademi TNI 1988.

Di luar dugaan, untuk Pati dari Angkatan Darat. Ternyata bukan lulusan 1988 maupun 1987, melainkan 1966. Ya, Ganip lebih senior, lulusan Akmil 1986. Satu angkatan kelulusan dengan Panglima TNI Marsekal Hadi, AAU 1986.

Ganip sebelumnya sebagai asisten operasi (asops) panglima TNI. Dengan promosi jabatan itu, ia harus menanggalkan jabatan Asops panglima TNI. Dalam keputusan dengan nomor yang sama. Jabatan Asops Panglima TNI diserahkakan kepada Mayjen Tiopan Aritonang.

Tiopan juga sama-sama lulusan Akmil 1986. Ada pun jabatan Tiopan sebelumnya adalah Panglima Kodam Merdeka di Manado, Sulawesi Utara. Namun dalam surat keputusan panglima TNI tersebut, belum ada pengganti jabatan panglima Kodam Merdeka.

Kini, hampir tiga bulan jabatan Asops Panglima TNI dan Pangdam Merdeka dibiarkan mengambang. Tiopan belum menyerahkan tongkat komando kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa. Mengapa? Karena belum ada penggantinya.

Apakah wilayah Kodam Merdeka, yang terdiri dari tiga provinsi: Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah, tidak begitu penting untuk diisi oleh seorang Panglima Kodam?

Padahal, Kodam Merdeka wilayahnya antara lain berbatasan dengan negara tetangga, Filipina. Jika tidak penting, untuk apa dibentuk Kodam Merdeka yang merupakan pemekaran dari Kodam Hasanuddin? Kodam Hasanuddin sebelumnya bernama Kodam Wirabuana.

Apakah jabatan Asops Panglima TNI juga bisa dikosongkan untuk waktu yang cukup panjang? Bagaimana pengendalian operasi pasukan TNI?

Saat Panglima TNI Hadi Tjahjanto mendampingi Presiden Jokowi mengunjungi Papua pada 28-29 Oktober 2019 lalu, Ganip Warsito masih dalam posisi sebagai Asops Panglima TNI.

Kasus tersebut memperlihatkan bagaimana lemahnya perencanaan penempatan personel oleh pimpinan TNI. Sekaligus mengabaikan rantai komando organisasi pada level panglima komando utama strategis.

Dari kasus ini patut diduga ada ketidak harmonisan antara pimpinan Mabes TNI dengan Mabesad. Ada deadlock dalam mutasi dan promosi perwira tinggi TNI. Patut diduga ada gesekan yang keras dalam siding dewan jabatan dan kepangkatan tinggi, antara pimpinan Mabes TNI dengan Mabesad.

Sampai kapan mau dibiarkan seperti ini? Kasus ini bukan cuma merugikan organisasi TNI saja. Tetapi juga merugikan rakyat sebagai pemilik sah negeri ini. Rakyat yang membiayai TNI untuk mengawal kedaulatan negeri.

Akademi 1986

Masih hangat mutasi sebelumnya, juga untuk abituren Akmil 1986. Antara lain, Sesmenko Polhukam diberikan kepada Tri Soewandono, melalui keputusan panglima TNI pada pertengahan September 2019 lalu. Artinya Tri Soewandono berhak mendapatkan kenaikan pangkat menjadi letjen. Ia menggantikan Letjen Agus Surya Bakti yang pensiun September 2019 lalu.

Sebenarnya ada bintang tiga aktif yang belum mendapatkan jabatan. Dia adalah Letjen Dodik Wijanarko, Akmil 1985. Bekas Komandan Puspom TNI itu, kini diparkir untuk waktu yang cukup lama. Hanya sebagai staf khusus panglima TNI, sejak Maret 2018. Ini yang disebut jenderal bintang tiga, tetapi ‘mengganggur’, hampir dua tahun, lantaran tidak diberikan jabatan.

Sebelumnya pula ketika dibentuk Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI pada Juni 2019. Lagi-lagi posisi itu diberikan kepada abituren Akmil 1986, Mayjen Rochadi. Rochadi resmi menjadi Komandan Koopssus TNI pada Juli 2019 lalu.

Sebelumnya, lulusan terbaik Akmil 1986, Letjen (Purn) Hinsa Siburian, juga menduduki posisi strategis setingkat menteri, yakni Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Hinsa merupakan lulusan Akmil 1986 pertama yang meraih pangkat letjen.

Kini ada enam letjen aktif lulusan Akmil 1986. Mereka adalah Letjen Tatang Sulaiman (Wakil KSAD), Letjen Joni Supriyanto (kasum TNI), Letjen Besar Harto Karyawan (pangkostrad), Letjen Ganip Warsito (pangkogabwilhan III TNI), dan Letjen Tri Soewandono (sesmenko polhukam). Total ada tujuh orang yang berhasil menjadi Letjen.

Untuk jabatan strategis, seperti panglima Kodam, abituren Akmil 1986 dan 1987 sama-sama menduduki empat jabatan pangdam. Abituren 1985 masih menyisakan satu pangdam (Kodam Hasanuddin). Abituren Akmil 1989 diwakili satu orang (kodam Jayakarta). Sedangkan abituren 1988 tujuh orang, terdiri dari 1988-A tiga orang dan 1988-B dua orang.

Sementara panglima divisi infanteri (Divif) Kostrad untuk abituren 1988 dan 1989. Panglima Divif 1 Kostrad, Mayjen Agus Rohman (Akmil 1988-A). Panglima Divif 2 Kostrad, Mayjen Tri Yunianto (Akmil 1989). Panglima Divif 3 Kostrad, Mayjen Ahmad Marzuki (Akmil 1989).

Di luar 1986

Bagaimana dengan lulusan Akademi di luar 1986? Abituren Akmil 1985 hanya empat orang yang menjadi letjen. Mereka adalah; Letjen (Purn) Edy Rahmayadi (mantan Pangkostrad, kini Gubernur Sumatra Utara), Letjen Doni Monardo Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen Tri Legiono Suko (Rektor Unhan), dan Letjen Dodik Wiajanarko (nonjob/staf khusus panglima TNI).

Kemudian Akmil 1987, ada Jenderal Andika Perkasa yang menjadi KSAD. Ada pula Letjen M. Herindra (Irjen TNI), dan Letjen AM Putranto (Komandan Kodiklatad). Terbaru, berdasarkan surat keputusan panglima TNI, Nomor Kep/1351/XI/2019, tertanggal 26 November 2019. Mayjen Ida Bagus Purwalaksana dipromosikan dari Dirjen Kekuatan Pertahanan Kemhan menjadi Irjen Kemhan.

Dengan promosi itu, maka dalam waktu dekat IB Purwalaksana akan mendapatkan promosi kenaikan pangkat menjadi letjen. Purwalaksana merupakan anak dari mendiang Letjen (Purn) IB Sujana, mantan Kasum ABRI dan Sekjen Dephankam. Juga pernah menjadi menteri pertambangan dan energi era Presiden Soeharto.

Dengan kenaikan pangkat IB Purwalaksana, maka ada empat orang Abituren Akmil 1987 yang berhasil menjadi bintang tiga ke atas. Sedangkan Abituren Akmil 1988-A maupun 1988-B, belum ada yang berhasil menjadi bintang tiga.

TNI AL Seimbang

Berbeda dengan Angkatan Laut, ada Laksdya lulusan AAL 1988-A, yakni Laksdya Yudo Margono (Pangkogabwilhan I TNI). Sedangkan Angkatan Udara, ada Marsdya lulusan AAU 1988-B, yakni Marsdya Fadjar Prasetyo (Pangkogabwilhan II TNI).

Di Angkatan Laut, relatif seimbang pembagian jabatan bintang tiga. Abituren AAL 1984 Laksdya Achmad Djamaludin (Sekjen Wantannas). AAL 1985, Laksamana Siwi Sukma Adji (KSAL), Laksdya Agus Setiadji (Sekjen Kementerian Pertahanan). AAL 1986 Laksdya Mintoro Yulianto (wakil KSAL). AAL 1987, Laksdya Aan Kurnia (Danjen Akademi TNI). Serta 1988-A, Laksdya Yudo Margono (Pangkogabwilhan I TNI). AAL 1988-B, belum ada yang meraih bintang tiga.

Untuk jabatan strategis seperti Panglima Armada diberikan kepada tiga Abituren berbeda. Panglima Armada 1, Laksda Muhammad Ali (AAL 1989). Panglima Armada II, Laksda Heru Kusmanto (AAL 1988-B). Panglima Armada III, Laksda I Nyoman Gede Ariawan (AAL 1986).

TNI AU 1986

Dominasi lulusan 1986, begitu terlihat di Angkatan Udara. Ada empat Marsekal yang berhasil menempati posisi bintang tiga ke atas. Mereka adalah Marsekal Hadi Tjahjanto (Panglima TNI), Marsekal Yuyu Sutisna (KSAU), Marsdya Wieko Syofyan (Wagub Lemhannas), dan Marsdya Fahru Zaini Isnanto (Wakil KSAU).

Abituren AAU 1984, masih tersisa Marsdya Bagus Puruhito (Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP). Sebelumnya disebut Basarnas). AAU 1985 diwakili Marsdya Dedy Permadi (Komandan Sesko TNI). Namun, tidak ada satu pun dari lulusan AAU 1987 yang menempati jabatan bintang tiga. Setelah itu lulusan AAU 1988-B, yakni Marsdya Fadjar Prasetyo (Pangkogabwilhan II TNI).

Sedangkan jabatan Pangkotama dibagi tuntuk tiga Abituren berbeda. Panglima Koopsau 1, Marsda M Khairil Lubis (AAU 1990). Panglima Koopsau 2, Marsda Donny Ermawan Taufanto (AAU 1988-A). Panglima Koopsau 3, Marsda Andyawan Martono (AAU 1989).

Polisi malah jauh meninggalkan TNI. Kepala Polri Janderal Idham Aziz, lulusan Akpol 1988-A. Wakil Kepala BSSN Komjen Dharma Pongrekun, juga lulusan Akpol 1988-A. Bahkan Kabaharkam Polri yang akan menjadi Ketua KPK, Komjen Firli Bahuri, lulusan Akpol 1990.

Cegah Nepotisme

Kuatnya dominasi Marsekal Hadi dalam penempatan personel jabatan pati TNI diharapkan tidak menimbulkan nepotisme dalam tubuh militer. Kata nepotisme berasal dari bahasa Latin, nepos. Secara istilah berarti mendahulukan anggota keluarga atau kawan dalam memberikan pekerjaan maupun pemberian hak istimewa (Chambers Murray Latin-English Dictionary, 1983).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme dapat berarti perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat. Terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah. Dampaknya, tentu saja akan merugikan organisasi dan merusak sendi-sendi kebersamaan.

Nepotisme hanya menguntungkan mereka yang memiliki akses seperti adanya hubungan kekerabatan, pertemanan dengan pengambil keputusan. Yang menjadi persoalan, jika tindakan nepotisme dikaitkan dengan pemberian posisi atau jabatan tertentu kepada orang yang mempunyai hubungan kekerabatan tanpa memperdulikan unsur-unsur seperti unsur keahlian atau kemampuan yang dimiliki.

Semoga kekhawatiran itu tidak terjadi pada organisasi TNI yang kini dipimpin marsekal berkumis hitam dan tebal. Hitam dan tebal justru harus menjadi kunci bagi Hadi harus meninggalkan jejak professional. Bukan sebaliknya jejak nepoitisme bagi lulusan Akademi TNI 1986.

Catatan. Tulisan ini telah dibaca di Harian Republika dan Republika Online edisi 16 Desember 2019. Namun belakangan linknya tidak lagi dapat diakses di Republika Online. Tulisan dimuat di Portal Berita Online FNN dengan lebih dulu mendapat persetujuan dari penulis.

Penulis adalah Wartawan Senior

3067

Related Post