OPINI
Dihajar Buzzer, Anies Banjir Dukungan
Oleh Tony Rosyid Jakarta, FNN - Beberapa orang japri saya, mengirim link media terkait petisi terhadap Anies. Di antara mereka ada orang penting di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beliau berkomentar: Ternyata, lawan Anies bekerja sistematis untuk menjatuhkan. Semua yang japri saya minta respon dan tanggapan. Apa jawaban saya? Hehehe. Kok ketawa? Gak serius amat? Si Amat aja gak serius, kenapa saya harus serius?, jawabku. Dalam hati aku cuma bilang: "Hanya orang bodoh yang mau merespon mainannya buzzer." Seseorang dari fraksi PDIP DKI memberi komentar: petisi itu tak berafiliasi dengan partai manapun. Mereka adalah orang-orang yang merasa dirugikan. Oh ya? Siapa mereka bung DPRD? Dari mana asalnya? Jangan-jangan dari Bangka Belitung. Kerugian apa yang dialaminya? Mirip banjir di Jatiasih Bekasi kemarin, yang disalahin Anies. Bekasi bro! Kenapa gak salahin Ridwan Kamil dan Walikota/Bupati Bekasi? Kenapa salahin Anies? Karena Anies yang ditarget. Waduh! Bagaimana respon Anies? "Kami bertanggungjawab, dan tidak salahkan siapa-siapa". Begitu menghadapi banjir, Anies turun langsung dan ikut lakukan evakuasi korban. Pastikan para pengungsi teratasi dan aman logistiknya. Di mana Kementerian Sosial? Hus... Gak usah nanya-nanya yang lain. Benar kata kawan saya, orang penting di MUI itu. Memang ada upaya sistematis untuk mengganggu Anies. Upaya itu dimulai sejak Anies dilantik jadi gubernur. Publik tahu itu. Inget kata "pribumi" dalam pidato pelantikan Anies yang dikasuskan? Itu baru pemanasan. Dan tak berhenti sampai sekarang. Sudah lebih dari dua tahun. Makin ke sini, makin kencang. Ini terjadi bukan saja karena faktor "gak move on", tapi juga terkait kebijakan Anies yang seringkali mengganggu kepentingan oligarki. Terutama kegalauan mereka menghadapi pilpres 2024. Oh ya? Masih lama, kok galau ya? Lihat video orang-orang yang pakai atribut topi sinterklas? Videonya viral. Dalam video itu, ada beberapa orang yang karena rajin bully Anies menjadi terkenal. Mereka gelisah. Gelisah kalau Anies jadi presiden. Makin gelisah lagi ketika Anies datang dan turun langsung ke lokasi banjir, warga teriak "Gubernur Rasa Presiden" (Kompas, 5/1) Tidak hanya Anies yang dibully. Semua pihak yang mengapresiasi kinerja Anies juga dibully. Termasuk Kompas, Kumparan dan detik.com yang dalam konteks banjir ini berusaha obyektif memotret kerja Anies dan respon warga. Kena bully juga. Jangan-jangan Jaya Suprana dan Sujiwo Tedjo juga akan dibully hanya karena mengapresiasi kerja Anies. Jangan tanya soal moral dan etika. Bagaimana kita membuat standar moral dan etika untuk orang-orang yang menjadikan banjir dan penderitaan para korban sebagai arena berpolitik? Maksudnya gak bermoral? Ah, jangan terlalu vulgar. Rakyat juga sudah paham. Lalu, bagaimana dari sisi politik? Ini baru butuh analisis lebih detil. Selama ini, "para buzzer" selalu gagal mengganggu Anies. Alih-alih menjatuhkan, justru sebaliknya, setiap kasus malah jadi blessing dan mengangkat nama Anies. Lem aibon, ambruknya jembatan di hutan kota, dan sekarang soal banjir. Kenapa? Pertama, "para buzzer" selalu kesulitan untuk mendapatkan isu seksi. Setidaknya hingga hari ini, Anies tak pernah melakukan kesalahan fatal terkait dengan integritas, kebijakan, dan komunikasi politiknya. Ini salah satu kelebihan Anies, bicara dan kerjanya sangat terukur. Jadi, tak ada ruang untuk menggarap isu yang berpotensi downgrade Anies. Kedua, terlalu banyak rekayasa. Penyebaran hoaks dengan data-data invalid dan cenderung ngasal justru jadi faktor kegagalan mereka. Ketika data-data asli dibuka, kelar. Ini terus berulang terjadi. Intinya, para buzzer ini gak bermain taktis. Hanya eforia sesaat. Ketiga, pola komunikasi "ala preman" justru mendatangkan ketidaksimpatisan publik. Miskin dukungan, bahkan memancing perlawanan banyak pihak. Corat coret wajah Anies dengan berbagai bentuk caci maki yang gak karuan. Mereka gak paham psikologi publik. Publik Indonesia masih waras. Gak suka sampah model seperti itu. Keempat, walaupun sudah bekerja sistematis, terstruktur dan masif, para buzzer ini tetap kalah jumlah, kalah cerdas, kalah kompak dan kalah militan dibanding para pendukung Anies. Ini yang membuat setiap isu kandas di tengah jalan. Kelima, Anies tak mudah dipancing untuk bereaksi dan merespon para buzzer itu. Dalam konteks ini, Anies cukup matang dalam sikap dan melakukan komunikasi politik. Sejumlah orang justru balik simpati dan dukung Anies ketika Anies melakukan komunikasi dengan pihak-pihak yang selama ini "memusuhinya". Di samping kerja Anies yang terukur. Tentu terukur menurut lembaga-lembaga yang dianggap kredibel oleh publik untuk memberikan penilaian. Termasuk KPK, BPK dan sejumlah kementerian. "Saya tak akan menjawab dengan kata-kata, tapi dengan kerja dan karya", kata Anies. Dan Anies telah membuktikannya dengan karya nyata dan sejumlah penghargaan. Terkait banjir yang tak hanya menimpa Jakarta, tapi juga Jawa Timur, Jawa Barat, Banten dan Kalimantan Selatan, Anies tegar di tengah dibullyan, caci maki dan kebencian. Fokus kerja, turun langsung ke lapangan dan pimpin pasukan untuk mengatasi dampak banjir. Tak mengeluh. Tak menyalahkan pusat. Tak menyalahkan presiden. Tak menyalahkan kepala daerah lain. Tak nyalahin hujan. Tak nyalahin air laut yang sedang pasang. Tak nyalahin tiga belas sungai. Anies juga tidak bilang: "banjir akan lebih mudah diatasi jika jadi presiden". Anies gak pernah bilang begitu. Kalau pada akhirnya nanti Anies jadi presiden dan melanjutkan program-program yang sudah dimulai dan dikerjakan Pak Jokowi, itu soal lain. Lima fakta ini yang membuat lawan politik Anies seperti tak menemukan ruang yang cukup untuk merusak nama Anies. Ini bisa dilihat dari kegalauan mereka dalam video yang viral beberapa hari ini. Bisa dimaklumi. Di satu sisi, mereka tak siap ditinggal Jokowi pensiun di 2024. Di sisi lain, mereka tak punya tokoh yang kompetitif untuk dilawankan dengan Anies. Enggak tahu kalau pada akhirnya mereka mencalonkan Abu Janda, Denny Siregar atau Arde Armando untuk menjadi kompetitor Anies. Perlu juga dicoba dan diberi kesempatan. Yang publik gak bisa maklumi, mengapa mereka tak punya rasa empati kepada para korban. Di saat banjir tiba dan penderitaan menimpa bangsa ini, para buzzer justru makin masif produksi bullyan dan caci maki. "Kok yo mentolo?" Di mana nurani mereka? Di sisi lain, walaupun terus dibully, Anies justru malah banjir dukungan. Jakarta, 6/1/2020 Penulis Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Panglima TNI, Natuna, dan Patroli Pak Luhut
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kalua mau lapor soal penerobosan wilayah darat, laut, udara, ke mana seharusnya ya, bro? Kalau tak salah ke Panglima TNI. Tapi, entah juga ya! Sebab, Pak Panglima diam-diam saja soal Natuna. Padahal, China sudah sangat sibuk mengirimkan aramada nelayan mereka ke perairan ZEE Indonesia di bagian utara kepulauan Natuna. Itu informasi yang kami dapat. Apakah Pak Panglima Marsekal Hadi Tjahjanto sedang mengatur strategi barangkali ya? Bisa jadi juga. Sebab, beliau itu ‘kan harus presisi kalau mengambil keputusan. Panglima tak boleh sembarangan. Semuanya harus “aim, lock, fire” (bidik, kunci, tembak). Jadi, wajar kalau Pak Panglima lama baru muncul. Soalnya, kalau salah tembak, bisa-bisa kena ke kapal patroli Pak Luhut Panjaitan. Kabarnya, kapal patroli Pak Luhut sedang mengawal kapal investasi China yang membawa modal ke Indonesia lewat perairan Natuna. Loh, kapal investasi kok lewat perairan Natuna? Jangan bingung dulu, bro. Begini. RRC ‘kan mau bawa investasi ke Indonesia. Nah, mereka cari duit investasi itu dengan menangkap ikan dulu di perairan ZEEI dan perairan Natuna juga. Ikan itu kemudian dijual kepada nelayan-nelayan Indonesia yang sedang kosong tangkapan. Mereka jual-beli di laut. Nelayan Indonesia membayarnya dengan rupiah. Nah, rupiah yang dikumpul oleh kapal investasi China itu dibawa ke Indonesia, diserahkan ke pimpro-pimpro RRC di Indonesia. Itulah sebabnya Pak Luhut hari itu bilang agar persoalan kapal China masuk ke perairan ZEEI, tidak usah dibesar-besarkan. Sebab, mereka membawa investasi masuk ke Indonesia. Jadi, Panglima TNI harus lama bereaksi. Beliau menunggu posisi koordinat kapal-kapal investasi China yang dikawal kapal patroli Pak Luhut. Supaya Pak Panglima tidak salah tembak. Nah, sekarang ketemu ‘link’ antara urusan kemaritiman dan investasi. Menjadi terbuka ‘misteri’ dua bidang yang tak ‘nyambung itu dijadikan satu dengan nama Menko Kemaritiman dan Investasi. Kuncinya: wilayah “maritim” Natuna dan “investasi” China untuk Indonesia. Hehe.[] 6 Januari 2020 Penulis wartawan senior.
Luhut Menteri Kacrut
Luhut Binsar Panjaitan tampak mewakili negara China dalam setiap kerjasama dengan pemerintah Indonesia. Kadang sifat berangasannya tersebut, mengingatkan kita pada Ahok yang angkuh dan juga tukang semprot. Sebagai Menko, mestinya Luhut Binsar Panjaiatan lebih berwawasan kenegaraan yang luas. Tentara itu patriot, bukan tukang semprot atau "Judas Iskhariot" sang penghianat. By M. Rizal Fadillah Jakarta, FNN - Dalam kasus konflik Natuna, Menteri Kordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binssar Panjaitan bersikap melunak kepada China. Luhut menyatakan agar kasus pelanggaran hukum di perairan Kepulauan Natuna tidak usah dibesar- besarkan. Kata Luhut, kalau diber-besarkan, takutnya bakal mengganggu program investasi China di Indonesia. Tentu saja ungkapan Luhut ini direaksi keras oleh public. Betapa lemahnya rasa nasionalisme dari sang menteri yang berpangkat Jendral bintang empat kehormatan ini. Kedaulatan negara telah nyata-nyata dilanggar. Kedaulatan negara di Natuna sudah dianggap sebagai milik China. Namun masih dianggap sepele saja sama Luhut Binsar Panjaitan. Kata anak gaul Luhut Binsar Panjaitan ini payah, ancur deh. Kacrut...! Investasi China seolah-olah menjadi segalanya bagi Luhut Binsar Panjaitan. Sehingga kedualatan kita diinjak-injak sekalipun kita sikapi dingin-dingin saja. Padahal bangsa ini justru sedang mengkhawatirkan terlalu jauhnya China merambah negara kita. Investasi menjadi alat penguasaan atau penjajahan. Nyali Menteri Luhut Binsar Panjaitan yang berlatar belakang militer tersebut ternyata ciut. Hanya segitu-gitu saja dia. Ternyata tidak ada hebat-hebatnya juga tuh. Persis seperti tikus cerurut atau tikus kacrut yang kecil. Masalah kedaulatan negara harusnya dipertahankan dan dibela dengan sepenuh jiwa raga. Bukan dengan mental jiwasraya yang keropos dan korup tersebut. Kasus Luhut Binsar Panjaitan dengan sikap lemah dan pragmatis, menunjukkan betapa perlunya para Menteri (juga Presiden) ditatar kembali. Materinya tentang substansi nasionalisme dan ideologi negara. Jangan hanya rakyat yang selalu jadi obyek pembinaan dan penataran. Para petinggi negeri ini penting untuk juga dibina. Karena kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mereka bukanlah kalimat serbagai seorang menteri. Tidak menggambarkan mereka adalah menteri. Contohnya, Luhut Binsar Panjaitan ini. Padahal sikap dan pendapat para menteri itu bisa berdampak secara luas. Rendahnya rasa nasionalisme dan watak pengecut di kalangan para menteri adalah krisis nasional yang sangat nyata saat ini. Ini sangat berbahaya sekali. Sebab negara ini bisa dijual hanya demi investasi atau mendapatkan duit hutang dari luar negeri. Sikap Luhut Binsar Panjaitan yang membela China ini bukan yang pertama kali. Sikap yang semacam ini sudah berulangkali diperlihatkan Luhut. Tidak salah jika ada sebutan di medsos bahwa Luhut sebagai Dubes China untuk Indonesia. Sebab yang diucapkan Luhut Binsar Panjaitan selama ini, tidak lain adalah membela kepentingan China di Indonesia. Luhut Binsar Panjaitan tampak mewakili negara China dalam setiap kerjasama dengan pemerintah Indonesia. Kadang sifat berangasannya tersebut, mengingatkan kita pada Ahok yang angkuh dan juga tukang semprot. Sebagai Menko, mestinya Luhut Binsar Panjaiatan lebih berwawasan kenegaraan yang luas. Tentara itu patriot, bukan tukang semprot atau "Judas Iskhariot" sang penghianat. Ketika kita berkonflik dengan China, gertakannya jangan membuat nyali ciut. Balas dengan ancaman yang membuat China berpikir seribu kali sebelum melangkah. Missalnya, kita akan membatalkan semua bentuk kerjasama ekonomi dengan China, jika masih saja mengklaim perairan Kepulauan Natuna sebagai bagian dari wilayah teritorialnya. Bila perlu sentuh sampai pada ancaman pemutusan hubungan diplomatik. Bilang bahwa di Indonesia masih banyak warga negara Indonesia (WNI) yang masih merasa sebagai bangsa China. Jika macam- macam, mereka bisa diusir keluar dari Indonesia. Teriakan seperti dulu "go to hell with your aid". Bagaimanapun juga China adalah negara komunis. Mereka sangat berbahaya bagi bangsa kita. Dengan kejadian di perairan Natuna ini, China jelas-jelas bukanlah sahabat kita. Apalagi idelogi mereka tidak mengakui adanya Tuhan. Kita bangsa Indonesia masih mengakui adanya Allah SWT. Sekarang terbukti bahwa China adalah negara tukang cari gara gara. Seenaknya saja menginjak-injak wilayah kita. Sombong, angkuh, dan menggertak. Namun semua tergantung kita juga. Tergantung pada pemimpin kita. Tergantung Menteri dan Presiden kita. Macankah atau tikus cerurut ? Kalau Luhut Binsar Panjaitran, sudah jelas-jelas payah. Ancur deh. Kacrut...! *Penulis adalah Pemerhati Politik
Indonesia Darurat Kedaulatan, Hak Azasi Bangsa Terinjak
By Hartsa Mashirul* Jakarta, FNN - Pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh kapal pencari ikan hingga kapal penjagaan laut dan pantai negara Republik Rakyat China (Coast Guard) telah mencederai perdamain dunia. Pemerintah Republik Rakyat China berdalih bahwa Natuna merupakan bagian dari wilayahnya dengan berpegang pada Nine-Dash Line China. Sejak tahun 1947 di bawah kekuasaan Chiang Kai Sek (Partai Kuomintang Pendiri Republic of China) mengklaim teritorial secara sepihak oleh China dengan bentangan seluas 2.000 kilometer dari dataran China. Pemerintahan China menduduki teritorial di Laut China Selatan dengan Angkatan Lautnya . China berupaya untuk menguasai pulau-pulau yang dahulu diduduki Jepang saat Perang Dunia II. China membuat sebelas garis demarkasi putus-putus. Kemudian mereka China sebut dengan Eleven-Dash Line. Masalah ini kemudian menabrak beberapa wilayah kedaulatan negara di perairan Laut China Selatan, diantaranya Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunai Darussalam. Setelah Kuomintang kalah dalam perang saudara tahun 1949, Partai Komunis China menetapkan diri sebagai penguasa tunggal dengan sebutan Republik Rakyat China yang menganut ideologi komunis dan menggunakan mata uang Yuan. RRC mengklaim dialah satu-satunya perwakilan sah untuk menguasai wilayah maritim Laut China Selatan tersebut. Partai Nasionalis Kuomintang secara yurisdiksi berpindah ke Taiwan dengan menyebut dirinya Republik of China. Mata uangnya Dollar Taiwan, dengan sistem ekonomi kapitalis. Secara de facto Taiwan adalah negara merdeka dan menjadi satu negara dunia, namun secara de jure Taiwan belum mendapatkan pengakuan dari berbagai negara dunia. Namun, hingga saat ini belum diketahui kepastian perang saudara tersebut telah berakhir atau belum. Pada tahun 1950, dua garis putus-putus dihapus. China mengeluarkan Teluk Tonkin sebagai tanda untuk koloni komunisnya di Vietnam Utara, menjadi sembilan garis demarkasi putus-putus atau Nine-Dash Line. Klaim sepihak dengan menggunakan sebutan Nine-Dash Line China merupakan satu hal yang tidak mempunyai landasan Hukum Internasional di Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS ) tahun 1982. Rentetan sejarah perjalanan untuk menetapkan hukum laut internasional dalam Pertemuan Konferensi Majelis Umum PBB resolusi 1105 (XI) dari 21 Februari 1957 merupakan puncak dari proses panjang. Bermula dari Konferensi Den Haag untuk Kodifikasi Hukum Internasional yang diadakan tahun 1930 di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa, yang membahas mengenai perairan. Tanggal 29 April 1958 Konferensi PBB di Jenewa tentang Hukum Laut dibuka untuk ditandatangani empat konvensi dan protokol opsional. Berbagai pertimbangan muncul dalam konferensi ini. Tidak hanya memperhitungkan aspek hukum, tetapi juga aspek teknis, biologis, ekonomi dan politik. Selanjutnya tanggal 10 Desember 1982, Konvensi PBB Dalam Hukum Laut Internasional yang dikenal dengan sebutan UNCLOS 1982. Konvensi ini untuk menggantikan perjanjian internasional mengenai laut yang dibuat tahun 1958. Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 menyatakan laut diantara pulau-pulau kita merupakan wilayah Indonesia. Terkenal dengan sebutan “Deklarasi Djuanda”. Hal ini membantah Hukum Laut Internasional saat itu yang mengakui laut teritorial hanya sejauh 12 mil. Deklarasi Djuanda menjadi dasar bagi para juru runding Indoneisa, yaitu Prof Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Hasjim Djalal, berjuang secara diplomasi di PBB, hingga ditandatanganinya UNCLOS 1982. Ketika itu Indonesia didaulat sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia. Deklarasi Djuanda yang diperjuangkan menjadi UNCLOS 1982, menguatkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menjadi dasar bagi berbagai produk hukum kemaritiman yang kuat, dikarenakan kompatibel dengan Hukum Laut Internasional. Sebagai negara kepulauan terbesar didunia yang berdaulat, perilaku klaim sepihak RRC adalah tindakan tidak menghormati kedaulatan Indonesia. Selain itu, tidak menghormati kesepakatan Hukum Laut Internasional yang berlaku. Perilaku semau mereka sendiri mengakibatkan Rakyat Indonesia meradang. Kami, Rakyat Indonesia menegaskan bahwa tidak ada kata toleransi terhadap mereka yang melakukan pencaplokan sejengkalpun wilayah kedaulatan Indonesia oleh negara lain. Sikap Geng Shuang sebagai Juru Bicara Kementrian Luar Negri China yang menyatakan bahwa Natuna masuk dalam wilayah China adalah menabuh genderang perang. Dunia sedang memanas akibat pergolakan politik dan ekonomi yang memanas. Republik Rakyat China yang dimata sebagian rakyat Indonesia sebagai sahabat, saat ini menikam Indonesia dari belakang. Sikap itu adalah mengkhianati dalam hubungan baik diantara kedua negara. Rakyat Indonesia yang berdaulat mengecam keras klaim sepihak Republik Rakyat China atas Pulau Natuna sebagai bagian wilayahnya. Kembali kami tegaskan, bahwa hal ini bukanlah kali pertama tindakan sewenang-wenang China berusaha mencaplok wilayah kedaulatan Indonesia dalam kurun waktu lima tahun ini. Sekitar bulan Juni 2016 lalu, terjadi insiden Natuna antara kapal nelayan Republik Rakyat China dengan kapal perang Republik Indonesia KRI Imam Bonjol-383. Pemerintah China kemudian memprotes atas tertembaknya kapal ikan Han Tan Cou oleh TNI Angkatan Laut Indonesia. Mereka menyebutkan bahwa Natuna sebagai zona perikanan tradisional China. Perilaku pemerintah Republik Rakyat China tidak bisa terus kita diamkan. Karena akan menjadi preseden dan kebiasaan untuk terus mengklaim Natuna sebagai wilayahnya. Untuk itu, kami rakyat Indonesia menuntut pemerintahan Republik Rakyat China untuk segera mengkalrifikasi dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia dan seluruh rakyat unia atas pernyataan Juru Bicara Kementrian Luar Negeri China yang merepresentasikan pemerintahan RRC. Rakyat Indonesia menyampaikan hal ini untuk dijadikan informasi kepada seluruh bangsa-bangsa di dunia, bahwa China terus berusaha mencaplok wilayah kedaulatan Indonesia. China berpegang pada dasar sepihak. Sehingga hal tersebut bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982. Akibatnya dapat mengacaukan perdamain regional pasifik maupun perdamaian dunia. Atas keras kepala pemerintahan China yang berulang kali berusaha melakukan tindakan pencaplokan terhadap kedaulatan wilayah Indonesia, kami rakyat Indonesia menuntut tiga hal sebagai Komando rakyat kepada Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Negara Republik Indonesia dan Menteri Pertahanan Republik Indonesia guna menegakkan Hak Azasi Bangsa. Kami mernyampaikan tiga tuntutan yang disebut dengan “TRIKORA”. Pertama, mendesak Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI segara Deklarasikan Perang kepada tetiap negara yang mencaplok wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kedua, mendesak Menteri Pertahanan untuk melindungi seluruh wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Memerintahkan segenap jajaran TNI/Polri untuk melaksanakan perang, sebagaimana Amanat Konstitusi UUD 1945 Pertahanan Rakyat Semesta. *Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Club
Permasalahan Jiwasraya dan Industri Asuransi
By Andi Rahmat * Jakarta, FNN - Diluar soal dugaan tindak pidana dalam praktek bisnis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Asuransi Jiwasraya, kita sedang menyaksikan bayangan “mengancam” industri ini. Dengan total Asset per November 2019 senilai Rp 1. 346 triliun, industri ini dengan segala dinamikanya sedang mengalami tekanan perubahan yang signifikan. Bagaimana otoritas bertindak mengatasi persoalan yang dihadapi Jiwasraya, akan mempengaruhi landscape industri asuransi kita di masa datang. Relaksasi kebijakan moneter global (Quantitative Easing), Tren Inverted Yield Curve (kurva yield obligasi jangka pendek lebih tinggi dari kurva yield obligasi jangka panjang ) menjadi masalah sendiri. Kondisi ditambah bayang- bayang resiko default hutang global yang tersembunyi, memberi pengaruh kuat dalam kinerja industri asuransi global. Belum lagi pilihan-pilihan instrumen investasi di dalam negeri yang sesuai dengan sifat asuransi yang masih terbatas, dan tidak ditopang pasar keuangan yang dalam. Meski demikian, dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan industri asuransi di indonesia mencatat tren positif. Baik Asuransi Umum maupun Asuransi Jiwa. Pertumbuhan positif ini menjadi catatan tersendiri di tengah krisis yang menimpa Jiwasraya. Namun di tengah pertumbuhan yang positif itu, perubahan landscape perekonomian global dan domestik, juga meningkatkan kompetitif di industri ini. Jiwasraya adalah cerminan betapa kompetitifnya industri ini sekarang. Upaya mengatasi mismatch antara kewajiban jangka pendek pada produk JS Protection Plan, yang dirilis tahun 2012. Sementara profile keuangan Jiwasraya berujung pada dalamnya perusahaan ini masuk limbo insolvabilitas. Langkah ini dilakukan, sebagai upaya jangka pendek mengatasi krisis yang dimulai sejak 2004. Ingat, kendati semua upaya itu dilakukan dengan bantuan skema reasuransi, sebagai satu bantalan utama industri asuransi dalam menghadapi shock, tetap saja Jiwasraya tak keluar dari kesulitannya. Jika otoritas hanya terkonsentrasi dalam penyelesaian isu kriminalitas, yang ditangani Kejaksaan Agung terkait dugaan kerugian negara, maka problem utama menjadi tidak tersentuh. Padahal masalah secara keseluruhan yang terkait dengan masa depan industri asuransi makin tidak terjamah. Berangkat dari kasus Jiwasraya, maka dibutuhkan langkah penyelesaian yang lebih komprehensif dari otoritas terhadap problem industrinya. Ini sesuai dengan perintah undang-undang perasuransian. Ingat, bagi otoritas, khususnya pemerintah, masih ada masalah sama yang menggantung di Asuransi Bumiputera, yang juga memerlukan perhatian serius. Sebagai mantan Ketua Panja RUU Perasuransian, yang menghasilkan UU No. 40 Tahun 2014, saya berharap ada upaya yang lebih luas dan sistematis. Otoritas agar mengatasi masalah ini dengan menata ulang industri asuransi kita. Dari sudut pandang ini, yang sedang dihadapi otoritas adalah kenyataan bahwa industri asuransi kita secara keseluruhan sedang mengalami tantangan yang sangat signifikan. Dalah penyelesaian permasalan Jiwasraya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan memiliki pilihan-pilihan yang sulit. UU No, 40 tentang Perasuransian, pasal 15 menempatkan posisi pemerintah sebagai pengendali Jiwasraya. Posisi sebagai pengendali ini, mengharuskan pemeritah memperkuat Risk Base Capital (RBC) Jiwasraya. Selain itu, juga memperkuat Dana Jaminan yang diperlukan untuk mengatasi kewajiban yang jatuh tempo di Jiwasraya. Sampai disini, muncul pertanyaan,seandainya Jiwasraya adalah perusahaan asuransi swasta, apakah perlakuan yang linient terhadap persoalan yang melilitnya akan sama? Pertanyaan ini terkait dengan bangunan industri asuransi secara luas. Jawabannya, akan berhubungan langsung dengan soal menjaga level of playing field otoritas terhadap industri secara keseluruhan. Dalam skala yang lebih luas, tentu juga terkait dengan kemampuan otoritas memberi sinyal positif terhadap keampuhan dan keabsahan regulasi kita dalam mengelola sektor keuangan. Sayangnya, di tengah situasi sulit ini, suatu Lembaga Penjaminan Oolis (yang sepadan dengan Lembaga Penjaminan Simpanan untuk industri Perbankan) sampai sekarang belum juga dibentuk. Pembentukan Lembaga Penjaminan Polis itu diperintahkan oleh UU No. 40 tahun 2014. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kabar beritanya. Saya dengar sudah ada upaya memasukkannya kedalam Program Legislasi Nasional di DPR. Saya kira, pemerintah dan DPR dapat menggunakan momentum ini untuk segera memprioritaskan pembahasan dan penyelesaian peraturan perundang-undangannya. Terkait dengan semua itu, di meja Menteri Keuangan hanya ada dua pilihan penyelesaian. Sekali lagi, Posisi Menteri Keuangan dalam hal ini bukanlah regulator, melainkan sebagai pengendali. Tugas dan kewajibannya sudah diatur jelas di dalam Undang-Undang. Pilihan pertamanya adalah menghentikan kegiataan usaha Jiwasraya. Pilihan keduanya adalah melanjutkan kegiatan usaha Jiwasraya. Pilihan pertama memiliki konsekuensi yang tidak mudah. Sebab sebelum meghentikan usahanya, sesuai dengan ketentuan UU No. 40 tahun 2014, Bab X pasal 42, kewajiban Jiwasraya mesti diselesaikan lebih dahulu. Tentu mengandung konsekuensi fiskal yang tidak kecil. Selain itu, akan menimbulkan dampak yang bisa saja berkonsekuensi contagion terhadap bangunan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Lagi-lagi, ini tentu saja memerlukan perhitungan yang cermat. Pilihan kedua adalah tetap melanjutkan kegiatan usaha Jiwasraya. Yang artinya, Menteri Keuangan memenuhi kewajiban standarnya. Kewajiban itu untuk memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh Jiwasraya sebagai Asuransi Jiwa untuk dapat beroperasi secara normal dalam bingkai regulasi yang ada. Langkah ini juga mengandung konsekuensi fiskal yang tidak mudah. Dalam pilihan-pilihan ini, juga terdapat kemungkinan bagi pengendali untuk menggunakan lembaga mediasi yang sudah diatur didalam undang-undang. Tujuannya untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi pemegang polis dalam mendapatkan manfaat asuransi. Dengan begitu, mungkin bisa ditemukan pola restrukturisasi yang dapat membantu Jiwasraya dalam memenuhi kewajibannya. Saya menganjurkan Menteri Keuangan mengambil pilihan ini. Tentu dengan bersungguh- sungguh pula, memproses secara hukum pihak- pihak yang telah merugikan keuangan negara. Jika pilihan ini yang diambil, maka DPR harus dapat diyakinkan untuk mengambil posisi yang sama. Pilihan pertama dan pilihan kedua sama-sama mengandung konsekuensi fiskal. Adapun regulator, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) juga memiliki pekerjaan rumah yang tidak gampang. Apalagi sejak berada di bawah pengawasan Bapepam-LK, persoalan Jiwasraya sudah mengemuka dan terus berlangsung hingga berdirinya OJK. Sejarah Jiwasraya sama tuanya dengan sejarah industri asuransi di Indonesia. Dimulai sejak tahun 1859 di masa kolonial Belanda, hingga dinasionalisasinya semua perusahaan asuransi jiwa milik Belanda di tahun 1957. Secara resmi menjadi perusahaan asuransi jiwa milik negara di tahun 1960, dan beroperasi hingga sekarang. Jiwasraya adalah pionir historis asuransi jiwa di Indonesia. Dapat dibayangkan betapa sulitnya regulator dalam menghadapi perusahaan asuransi yang sudah arkaik ini. OJK dalam hemat saya seyogyanya memberi kesempatan kepada Pengendali (Menteri Keuangan) mencari solusi permasalah Jiwasraya. Dengan catatan menilik histori upaya penyelesain masalah Jiwasraya sejak 2004, toleransi yang linient oleh regulator pada hemat kami sudah lebih dari cukup. Seperti yang sudah kami kemukan diawal. Industri asuransi sedang mengalami perubahan dan juga tekanan yang kuat. Laporan tren industri asuransi tahun 2018 yang dirilis oleh OECD menunjukkan beberapa tren umum yang dialami oleh industri asuransi. Diantara tren peningkatan premi, eksposure investasi yang dominan adalah di obligasi. Selain itu, tren kerugian investasi (investment losses) dan besarnya gross kewajiban yang mesti dibayarkan. Eksposure masing-masing negara terhadap tren ini memang variatif. Mc Kinsey dan Deloitte dalam rilisnya mengenai tren industry asuransi global, menunjukkan performa kinerja yang positif. Di kawasan Asia Pasifik, India dan China menjadi faktor utama dalam menggerakkan tren positif itu. Menurut laporan Mc Kinsey, sejak tahun 2010 hingga tahun 2017, pertumbuhan industri asuransi global rata-rata di atas 4% per tahun. Di tahun 2017 malahan tumbuh hingga 4.7 %. Dengan tren yang positif itu, khususnya industri asurnasi jiwa, dalam menyelesaikan Jiwasraya, OJK dituntut untuk bisa menginsulasi dampaknya terhadap kinerja industri secara keseluruhan. Termasuk dalam menjaga tingkat kepercayaan publik terhadap keamanan dan kemampuan industri asuransi dalam menjalankan bisnisnya. Persoalan insolvensi yang dialami Jiwasraya, seyogyanya makin memperkuat penerapan market conduct policy di industri asuransi kita. Sebab menurut laporan Deloitte, ini sudah merupakan tren regulasi asuransi global. Untuk itu, diperlukan pengawasan dan stress test yang memadai dalam menguji solvabilitas industri asuransi. Pengawasan seperti ini diperlukan untuk memastikan bahwa kinerja industri betul-betul ditopang oleh profile bisnis yang kuat. Bukan disebabkan oleh tindak spekulatif jangka pendek yang membahayakan kesinambungan neraca bisnis asuransi dalam jangka panjang. Sejak krisis tahun 1997-1998, kita juga sudah mengalami krisis-krisis sektoral dalam industri keuangan. Seperti krisis redemption besar-besaran reksadana di tahun 2006. Tekanan keuangan pada perbankan tidak sehat, yang tidak signifikan secara ukuran, yang berbuah bailout bank Century di tahun 2008-2009. Sekarang kita juga dihadapkan pada krisis yang dialami Jiwasraya. Semua krisis itu muncul, diantaranya disebabkan oleh komplasensi kebijakan kita sendiri. OJK yang oleh undang-undang diberi kewenangan penuh untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan di sektor keuangan, khususnya industri asuransi, sudah waktunya menggunakan kewenangan itu. Kewenangan Kejaksaan Agung adalah perkara dugaan pidana kerugian negara pada BUMN. Sedang OJK memiliki kewenangan khusus utk melidik dan menyidik kejahatan perasuransiannya. Delik dan sanksi adminitratif dan pidana perasuransian, sudah diatur didalam UU No 40 tahun 2014. Mengapa demikian?. Sebab, selain merupakan BUMN, Jiwasraya juga merupakan perusahaan asuransi jiwa yang sama dengan perusahaan asuransi jiwa lainnya. Buah dari hasil lidik dan sidik itu sendiri, bagi industri asuransi adalah rambu-rambu yang lebih pasti dalam menjalankan bisnisnya. Harus dibuat terang, mana yang bisa menjadi ranah pidana asuransi dan mana yang bukan. Ini menjadi penting, karena bagi pelaku industri, kalkulasi terhadap resiko hukum menjadi lebih pasti. Semoga saja. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usah dan Mantan Wakil Ketua Ketua Komisi XI DPR RI
Oligarchy Menari di Alam Demokrasi Konstitusional
By Dr. Margarito Kamis * Jakarta, FNN - Langit gelap dunia hukum dan politik Indonesia dua tiga tahun lalu terjadi menyusul munculnya sejumlah kasus. Diantaranya kasus Ranperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Provinsi DKI Jakarta. Pada kasus ini KPK memeriksa direktur PT Agung Sedayu Land. Tak sampai disitu, KPK juga memeriksa dan mencekal Bos Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Agua (detikcom, 27/6/2016). Pada kasus lain, penyuapan pengurusan izin pembangunan Meikarta, teridentifikasi terkait dengan Ranperda Rencana Deteil Tata Ruang Kabupaten Bekasi. Proyek Meikarta teridentifikasi dikerjakan PT. Mahkota Sentosa Utama, anak perusahaan PT. Lippo Cikarang. Sementara PT. Lippo Cikarang teridentiikasi secara faktual oleh media sebagai Anak Usaha Lippo Karawaci. Semuanya terasosiasi dalam Lippo Gorup (CNNIndonesia, 30/10/2018). Ditengah hiruk-pikuk perbincangan terbuka pemindahan ibu kota negara, terungkap secara kredibel kenyataan menarik. PT International Timber Corporation Indonesia (ITCI), Korporasi dalam Group Royal Golden Eagle (RGE) menguasai lahan 6.000 hektar lahan. Sejauh hak atas tanah seluas itu belum berakhir, pemerintah, dengan alasan kepentingan umum sekalipun, suka atau tidak, tidak bisa main ambil tanah ini tanpa dilakukan ganti rugi. Kendalikan Kebijakan Apakah kenyataan parsial itu yang membawa Kiyai Said Aqil Siradj, Ketua Umum Nahdatul Ulama (NU) bersuara keras? Di penghujung tahun 2019 dan awal tahun 2020, dengan nada krits yang gamblang, Kiyai Agil bicara oligarki. Entahlah. Mungkin sekali tidak. Tetapi apapun itu, identifikasi Kiyai atas efek oligarki, cukup meyakinkan. Cukup jelas memperlihatkan tabiat entitas berjumlah terbatas ini. Sekarang, kata Kiyai Said ”yang korupsinya triliunan tenang-tenang saja.” Mengapa? Sistem negara sekarang berjalan dengan oligarki. Ini negara dikuasai orang punya duit, atau didukung oleh yang punya duit. Pak Jokowi tidak punya duit. Pak Jokowi tidak punya partai, tetapi didukung oleh yang punya duit dan punya partai (Era Muslim, 28/12/19). Oligarchy (orang kaya) yang berkuasa (oligarki) memiliki bawaan alamiah. Sedari awal, adanya dalam sejarahnya yang panjang, tak mudah dikendalikan. Sedari zaman Yunani kuno, oligarch identik dengan kekayaan, penguasaan tanpa batas seluruh material ekonomi. Bergerak dari penguasaan satu sumber material ekonomi ke sumber material ekonomi lainnya menjadi napasanya. Penguasaan material ekonomi menjadi sumbu material power. Ini telah umum diidentifikasi sebagai tipikal dasar kelompok kecil ini. Dalam kasus Indonesia, sama dengan Amerika jumlah mereka tidak lebih dari 1%. Mereka dapat disebut dengan kelompok 1%. Studi Oxfam seperti dikutip Dr. Syahganda Nainggolan dalam artikelnya, menemukan kenyataan empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk Indonesia. Pada tahun 2019, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat 0,2% pemilik rekening di bank menguasai 63,8% total simpanan bank, tulis Syahganda lebih labih lanjut. Korporasi di Amerika menjadi entitas politik. Donasinya teridentifikasi menjadi instrumen relative utama mengendalikan kebijakan. Capres dan calon legislator teridentifikasi sebagai dua sasaran bergengsi yang didonasi. Tahun 2014 misalnya Liz Kennedy mengidentifikasi, kelompok ini uang sebesar U$ 1,1 miliar dollar kepada kandidat dan komite. Jumlah ini lebih besar dari pengeluaran kelompok buruh. Kelompok buruh hanya bisa begerak hingga angka U$215 juta dollar. Pada tahun yang sama Political Action Committee (PAC’S) yang berafiliasi dengan kelompok bisnis mengeluarkan sekitar U$ 380 juta dollar pada pemilihan federal. Lebih besar dari pengeluaran PAC’s yang berafiliasi dengan kelompok pekerja. Jumlah pengeluaran kelompok terakhir ini hanya sebesar U$ 60 juta dollar. Pada tahun 2016 Liz memperkirakan jumlah uang yang dikeluarkan kelompok bisnis lebih besar, yaitu U$ 1 dollar dari setiap U$ 8 dollar yang dikirimkan ke PACs berasal dari korporasi. Pada pemilihan tahun 2016 super PACs mengeluarkan uang sebesar $1,8 miliar dollar. Ada dampaknya? Michael Fowler disisi lain menulis dua bulan setelah menduduki jabatannya, Trump membolehkan Keystone XL oil pipeline kembali beroperasi. Padahal proyek ini dihentikan pengerjaannya oleh Barack Obama, Presiden pendahulunya. Fowler dan kawan-kawan menulis lebih lanjut di campaign donation impact Trumph decision? Hingga kampanye presiden tahun itu, tulis Jork Spenkuchk, asisten profesor menejemen ekonomi dan ilmu pembuatan keputusan pada Kellog Scholl, yang dikutip Fowler dan kawan-kawan, sektor energi memberi donasi sebesar satu juta dollar kepada kampanye Trump. Jork menulis lebih lanjut, setelah menduduki jabatannya, muncul spekulasi tentang balas budi, quid pro quo terhadap mereka. Bernada mirip, Liz menyatakan hukum tak bakal handal menghentikan pengaruh korporasi dalam politik Amerika. Menariknya sebagian teoritikus, ambil misalnya Milton Friedman, ekonom andal ini, menolak tesis pengaruh korporasi melalui donasi. Korporasi, katanya hanya berurusan dengan keuntungan. Bisnis, katanya, ya bisnis. Itulah mereka. Bagaimana dengan Indonesia? Ini menjadi soal tergelap dalam seluruh atmosfir politik dan hukum. Relatif sama dengan Jerman, juga India untuk kasus tertentu. Selalu begitu urusan politik dalam demokrasi. Gelap, dan sering tak dimasalahkan. Ini berkas bagi koprporasi, yang dimanapun selalu lebih cerdas dalam melangkah. Korporasi tahu soal hukum dan konteks bisnis. Bagi kelompok ini bisnis, tidak bisa dilepaskan dari hukum. Mereka tahu, hukum bukan moral, bukan juga etika, yang menjadi sumber hak dan wewenang. Dalam hukumlah semua hak memasuki penguasaan material ekonomi dan politik didefenisikan. Apa yang diklakukan korporasid engan tesis itu? Kuasailah hukum, maka hak dan wewenang berada dalam genggaman dan jangkaun pengendalian mereka. Tahun 1868, tulis John Coleman dalam Invisible Hand, blok ini berhasil menempatkan Salmon P. Chase, di Mahkamah Agung. Segera setelah itu, Dia dengan statusnya memimpin sidang impeachment terhadap Andrew Johnson. Tahun 1912 kelompok ini berhasil menggolkan The Federal Reserve Act. Berharap Pada NU Oligark Indonesia telah muncul jauh sebelum UUD 1945 diubah pada tahun 1999-2002. Mereka tumbuh di sepanjang rute otokrasi Indonesia. Hebatnya di rute demokrasi yang tercipta setelah pasal-pasal UUD 1945 diubah atau dirumuskan ulang, mereka tetap terus tumbuh dan bergerak masuk ke dalam politik. Pada level yang bisa diperdebatkan, konstitusi terlihat menjadi “piagam atas hak usaha” kelompok ini. Pasal 33 UUD 1945 misalnya memiliki kualifikasi itu. Konsep “efisiensi berkeadilan” lebih dari cukup menjadi benteng utamanya. Praktis konstitusi membawa mereka ke semua sudut material ekonomi dengan cara yang terlihat sah. Betul, pasal 33 UUD 1945 ini dipakai Mahkamah Konstitui memukul telak UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Migas, UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, dan UU Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan. Tetapi apa sesudahnya? Tatanan praktis politik ekonomi tidak berubah secara fundamental. Tatanan praktis hukum konstitusi Indonesia, tidak pernah cukup jauh bergeser dari perpektif kapitalisme dan liberalisme. Perspekfif kapitalistik khas UU yang dibatalkan di atas, kembali tertanam dalam, dan cukup jelas pada RUU Pertanahan. RUU ini tenggelam di laut politik pergolakan “mengerikan” mahasiswa akhir September 2019 lalu. Sama dengan hukum pemilu Amerika, hukum pemilu Indonesia juga membenarkan donasi. Dalam hukum Amerika, donasi korporasi dikerangkakan secara hukum pada hak memilih. Perspektif ini didukung Mahkamah Agung. Dukungan itu terlihat pada putusan mereka pada kasus Citizen United v. FEC. Entah menjadi proxy corporation, kelak Citizen United mempersoalkannya ke Mahkamah Agung dan MA pun berubah pikiran. MA berpendapat pemerintah tidak bisa membatasi politik suara, sebagai basis suara politik korporasi. Hukum-hukum konstitusi jenis itu, suka atau tidak, menjadi sumbu ketidakseimbangan, inequality dalam tatanan politik dan ekonomi. Struktur pembuatan kebijakan sejauh ini bertipe oligarkis. Akibatnya jelas dalam semua hal. Korporasi menjadi, kalau tak mendefenisikan pembuatan kebijakan, politik, ekonomi dan hukum, selalu terdepan dalam mendapat manfaat kebijakan itu. Posisi terdepan korporasi, sampai kapanpun tak dapat digantikan oleh rakyat, pemilih kebanyakan. Orang kebanyakan sampai kapanpun, tidak dapat menanjak masuk ke struktur oligarkis pembuatan keputusan. Tidak bakal. Selamanya pemilih pas-pasan berada di pinggiran politik donasi. Mereka jelas tertakdir secara konstitusional sebagai sekumpulan orang berdaulat yang merana dalam kebingungan. Begitulah demokrasi konstitusional bekerja di negeri sumber material ekonomi melimpah ini. Demokrasi dan konstitusi tidak lebih dari sekadar “senjata angin” yang hanya bisa menggertak burung pipit. Tidak lebih. Hukum dan demokrasi malah jadi “benteng” ternyaman korporasi di negeri ini. Menangkap angin jauh lebih mungkin daripada meminta korporasi berhenti memperluas jangkauan cengkeraman sumber material ekonomi. Mengapa? Hukum dan demokrasi terlanjur jatuh ke dalam kubangan perspektif kapitalisme dan liberalisme. Hukum dan demokrasi tipe ini mengabdi pada korporasi. Bisakah dilunakan? Mungkin sekali. NU mungkin bisa menyajikan jalan keluarnya. *Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Militanisme Islam dan Laut China Selatan
By Dr. Syahganda Nainggolan* Jakarta, FNN - Abubakar Ba'asyir (ABB) sekarat diusia tuanya di dalam penjara Gunung Sindur, Bogor. Kalau dia wafat, maka stempel teroris melekat pada dirinya. Teroris adalah gelar penjahat kemanusian besar yang dipercaya masyarakat kita. Aktifitas teror yang dikaitkan dilakukan ABB, sebagai pemberi pengaruh, adalah membom beberapa kafe di Bali, 2002. Bos yang menyebabkan ratusan warga Australia meninggal dunia. Ada beberapa warga asing lainnya yang menjadi korban bom Bali. Pada tahun 2002 yang berkuasa di Indonesia adalah rezim "NKRI Harga Mati". Pada kurun waktu itu Australia disinyalir terlibat untuk membantu pemisahan Papua dari "NKRI Harga Mati" tersebut. Sebelumnya kita ketahui bahwa Australia dan barat terlibat dalam pemisahan Timor Timur dari wilayah “NKRI Harga Mati”. Mungkin kurun waktu yang bersamaan hanya membantu kita menganalisa. Bukan sebuah sebab akibat alias hanya "Coincidence". Fakta berikutnya, dalam masa itu, adalah Australia dan barat berhenti membantu gerakan Papua Merdeka. Malah Australia mulai mensponsori unit anti terorisme di pemerintahan dan mendorong kelompok-kelonmpok Islam moderat berbicara tentang deradikalisasi. Sebagian orang percaya, ABB telah menyelamatkan Indonesia dari intervensi Australia untuk memisahkan Papua. Sebagian lagi tentu mengutuknya sebagai teroris. Tunggang menunggangi dalam politik adalah hal yang lumrah saja. ISIS adalah kelempok perlawanan di Syiria yang beroposisi terhadap Bashar Al Assad, Presiden Syiria. Amerika mensponsori ISIS menjadi sebuah kelompok berskala besar, khususnya merujuk Trump, selama kepemimpinan Presiden Obama. Trump kemudian berjanji dalam kampanyenya untuk jadi Presiden 2016, akan menghancurkan ISIS. Selama kepemimpinan Trump, ISIS dihancurkan di mana-mana. Namun, menariknya saat ini Trump membunuh Qosim Solaemani, jenderal terkemuka di Iran, ketika dia ada di Iraq. Trump mengatakan bahwa Solaemani adalah sosok berbahaya yang akan menjadikan Iraq dan Timur Tengah menjadi tidak stabil. Tindakan Trump ini mendapat kecaman dari PBB, Partai Demokrat USA dan tentunya Iran sendiri, serta Bashar Al Assad (Syiria) dan sekutu mereka. Apakah nantinya Presiden Trump akan merangkul kembali ISIS? Ini pertanyaan penting ke depan. Berbeda dengan di Timur Tengah, di Asia Tenggara, Amerika mencari sekutu untuk menghancurkan kekuatan China di Laut China Selatan (LCS). Beberapa tahun lalu, sekutu Amerika, Jepang, menawarkan seluruh pembiayaan perang terhadap China kepada Presiden Philipina, Rodrigo Duterte. Saat ini Amerika juga sedang bekerja keras mencari sekutu di Indonesia untuk menghadapi China, khususnya dalam khasus Uighur, sebagai pintu masuk. Dalam peta lama, Indonesia adalah sekutu Amerika bersama antara lain Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Thailand, serta tentunya Jepang, Taiwan, Hongkong dan Korea Selatan. Namun, pergeseran sekutu berubah di Indonesia. Perubahan itu terutama sejak Jokowi dan Luhut Binsar Panjaitan, membangun hubungan lebih intensif pada RRC, ketimbang USA. Namun, persekutuan dengan RRC saat ini terbentur dengan dua isu besar di Indonesia, yang akan mengalami tarik menarik sangat kuat dan keras. Isu pertama adalah soal muslim Uighurs. Setengah dunia, sedikitnya, menyatakan bahwa China telah melakukan genocide atau pembantaian etnis kepada bangsa Uighurs di China. Isu krusial kedua adalah soal agresi China yang berambisi menguasai perairan Indonesia di Laut China Selatan(LCS), khususnya laut Natuna. Untuk yang terakhir ini, Cina secara resmi sudah menyatakan melalui kementerian luar negeri RRC bahwa perairan Natuna adalah milik mereka. Pada kedua isu ini, Islam dan militansinya dapat mempunyai kesamaan dengan kepentingan Amerika dan sekutunya. Pada tahun 2002, kelompok-kelompok yang pro kepada ABB mempunyai kesamaan cinta NKRI dengan rezim Jokowi berkuasa saat itu. Namun, rezim sekarang yang cenderung terikat dengan "kebaikan" China, sehingga akan sulit melawan klaim RRC atas tanah air Indonesia tersebut. Kaum Islam Militan Membela tanah air dan membela Islam di seluruh dunia adalah doktrin kelompok-kelompok Islam militan. Terkait dengan isu Uighurs dan LCS, kelompok-kelompok ini tidak punya pilihan lain kecuali mencari sekutu yang sama kepentingannya. Dalam konteks NKRI, TNI sudah menunjukkan gerakan mempertahankan kedaulatan, meskipun Prabowo, Menteri Pertahanan, Luhut Panjaitan, Menko Maritim dan Presiden masih perlu berdiskusi dan berdebat apakah diplomasi atau melawan? TNI, sebagai organ negara, tentu saja pada akhirnya dibatasi oleh politik diplomasi pemerintah. Sehingga gerakan TNI yang awalnya keras merespon, dapat melunak nantinya. Kelompok dunia internasional yang mempunyai kesamaan melawan RRC dalam kasus LCS adalah Amerika, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Philippines, Brunei, dan Vientnam. Persengketaan ini sudah dibawa ke PBB (UNclos), dan klaim RRC dinyatakan tidak benar. Klaim sejarah "Nine Dash Line" LCS milik mereka. Tentu saja Amerika dan negara lainnya akan ikut mempengaruhi situasi Indonesia ini. Sejarah keterlibatan kelompok Islam militan dalam perang berskala internasional telah terjadi di masa lalu. Terutama ketika pemuda-pemuda dan pelajar Indonesia direkrut berperang di Afganistan melawan pemerintah boneka Najibullah, yang didukung Uni Sovyet. Kala itu Suharto yang pro Amerika dan Mahathir Mohammad/Anwar Ibrahim, menjadi bagian penting mengirim mereka sebagai milisi. Dalam skala lokal, kelompok-kelompok milisi Islam ini sering juga diajak melawan gerakan separatisme. Jika rezim Jokowi bersandar pada politik diplomasi untuk kasus LCS, maka kelompok-kelompok Islam militan akan muncul dengan subur. Kenapa? Karena pada akhirnya sikap lembek rezim Jokowi terhadap intervensi asing akan menggerus kepercayaan masyarakat pada rezim ini. Dan sebaliknya akan melihat pada kelompok-kelompok Islam militan sebagai penyelamat tanah air. Penutup Untuk kasus Laut China Selatan, di mana pemerintah resmi RRC mengklaim wilayah Natuna sebagai wilayah mereka, telah memanaskan situasi dalam negeri. Rezim Jokowi kelihatannya berupaya dengan cara-cara bersahabat dan diplomasi untuk merespon soal ini. Rakyat Indonesia terlihat tidak begitu senang dengan cara "soft" tersebut, karena rakyat Indonesia sangat sensitif atas isu kedaulatan. Bupati Natuna sudah menyatakan siap membangun milisi rakyat dalam mempertahankan setiap jengkal tanah dan perairan kita di sana. Kenyataan ini membuat umat Islam Indonesia, khususnya kelompok-kelompok militan, tentu sejak awal siap berjihad mempertahankan NKRI, apalagi menghadapi RRC yang dianggap melakukan pembasmian etnis Uighurs yang beragama Islam di sana. Dalam konstalasi politik global, dimana pertarungan antara RRC melawan Amerika dan Barat, serta sekutu-sekutunya di wilayah sekitar LCS, akan membuat kompleksitas dan komplikasi persoalan intervensi RRC ke Indonesia membesar. Karena sejarah telah membuktikan bahwa kepentingan yang terbelah pada masyarakat kita, dapat dimanfaatkan kelompok-kelompok kepentingan internasional untuk bekerjasama. Dan sekali lagi, politik adalah peristiwa tunggang menunggangi. Dan saling memanfaatkan. Untuk membuat koridor politik nasionalisme dan patriotisme yang benar dan terukur, pemerintah dan kekuatan-kekuatan Islam harus duduk bersama, agar kepentingan nasional diletakan di atas kepentingan kelompok. Kecurigaan kelompok-kelompok Islam atas pesanan RRC tentang isu radikalisme, misalnya, harus dikaji ulang untuk membuat suasana polarisasi diantara sesama anak bangsa berkurang. Jika persekutuan Amerika dan kelompok-kelompok Islam militan, yang akan terjadi, di satu sisi, serta persekutuan Jokowi Luhut, Prabowo dengan RRC di sisi lain, akan menjadi besar dalam merespon isu Laut China Selatan, maka Indonesia kemungkinan akan mengalami keterbelahan besar nantinya. Mungkin kita harus berpikir keras, dan berikhtiar untuk menyelamatkan bangsa kita, tanpa perlu "berterima kasih" kepada bangsa lain tentunya. *Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Provokasi China: Prabowo Bisa Terapkan Hankamrata!
Ambisi teritorial China jelas terencana dengan rapi. Mereka tak akan berhenti di Kepulauan Spratly yang berposisi lebih dekat ke Filipina. China mulai mengganggu Kepulauan Natuna milik Indonesia. China mulai provokasi Indonesia! Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Sejarah Perang Rakyat 10 November 1945 di Kota Surabaya telah membuktikan pada dunia bahwa pertahanan rakyat adalah jalan terakhir yang ditempuh rakyat Indonesia ketika asing menyerang Indonesia. Tak ada rasa takut pada diri rakyat Indonesia! Konsep Pertahanan Rakyat Semesta (Hankamrata) yang akan melibatkan seluruh komponen bangsa bisa tetap diberlakukan karena telah teruji oleh sejarah, selain memiliki kehandalan dalam melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman. Hal itu disampaikan Menhan Prabowo Subianto dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI, Senin (11/11/2019). Prabowo mengatakan, untuk mempertahankan sistem pertahanan tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang RI No 34 Tahun 2004. “Pertahanan keamanan rakyat semesta adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta, yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan semua ini untuk melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman,” katanya. Meski teknologi pertahanan Indonesia saat ini jauh tertinggal dengan negara-negara lain, tapi melalui konsep Hankamrata Indonesia diyakini akan bisa memenangkan sebuah perang. Tak akan ada yang bisa mengalahkan rakyat Indonesia! “Kita mungkin tidak bisa mengalahkan kekuatan teknologi bangsa lain, tetapi pertahanan kita yang berdasarkan pemikiran, konsep pertahanan rakyat, semesta perang kalau terpaksa kita terlibat dalam perang,” tegas Prabowo. “Perang yang akan kita laksanakan adalah perang rakyat semesta. The concept of the total people war,” katanya dalam paparannya di komisi DPR yang menangani soal pertahanan dan keamanan tersebut, seperti dilansir CNNIndonesia.com. Mantan Komandan Jenderal Kopassus itu menyebutkan bahwa konsep pertahanan tersebut sudah terdoktrin oleh masyarakat Indonesia sejak dulu kala. Sehingga dengan konsep ini, perlu dilakukan program “Bela Negara” bagi warga Indonesia. “Itu adalah doktrin Indonesia selama ini. Lahir dari sejarah kita bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut bela negara,” katanya. Ia mengutarakan, bangsa Indonesia tidak akan diduduki oleh negara lain, apabila seluruh rakyat menjadi komponen pertahanan negara. “Jadi mungkin kita bisa dihancurkan prasarana kita, tapi saya yakin bahwa Indonesia tidak mungkin diduduki bangsa lain karena seluruh rakyat akan menjadi komponen pertahanan negara,” kata Prabowo. Belakangan ini, Indonesia protes kepada China yang menuding kapal ikan Tiongkok sempat memasuki perairan Natuna, Kepulauan Riau, secara ilegal baru-baru ini. Dan, China menolak protes Indonesia tersebut. "China memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha yang terletak di LCS) dan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi atas perairan dekat dengan Kepulauan Nansha,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, dalam jumpa pers rutin di Beijing, Selasa (31/12), seperti dikutip dari situs Kementerian Luar Negeri China. Geng menegaskan China juga memiliki hak historis di LCS. Menurutnya, nelayan-nelayan China telah lama melaut dan mencari ikan di perairan itu dan sekitar Kepulauan Nansha, yang menurut Indonesia masih merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Padahal, klaim China atas perairan yang menjadi jalur utama perdagangan internasional itu juga tumpang tindih dengan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Geng juga berdalih, kapal yang berlayar di kawasan itu baru-baru ini adalah kapal penjaga pantai China yang melakukan patroli rutin. “Patroli rutin untuk menjaga ketertiban laut dan melindungi hak-hak dan kepentingan rakyat kami yang sah di perairan terkait,” kata Geng. Akibat insiden itu, Kemlu RI telah melayangkan protes kepada China dengan memanggil duta besarnya di Jakarta pada awal pekan ini. Melalui pernyataannya pada Rabu (1/1), Kemlu RI menolak “klaim unilateral” China tersebut. “Klaim historis China atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982,” kata Kemlu RI. “Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016,” tegas Kemlu RI. “Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah 'relevant waters' yang diklaim oleh RRT karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982,” tegas Kemlu RI. Meski berbatasan langsung dengan LCS, Indonesia tidak memiliki sengketa wilayah dengan China di perairan tersebut. Namun, Indonesia merupakan salah satu negara yang mendukung kode etik LCS segera diterapkan. Kode etik itu dibentuk sebagai pedoman negara-negara bertindak di perairan kaya sumber daya alam tersebut demi mencegah konflik. Provokasi China Ambisi teritorial China jelas terencana dengan rapi. Mereka tak akan berhenti di Kepulauan Spratly yang berposisi lebih dekat ke Filipina. China mulai mengganggu Kepulauan Natuna milik Indonesia. China mulai provokasi Indonesia! Tercatat, pada 10 Desember 2019, Coast Guard China muncul di perbatasan laut di perairan bagian utara Natuna. Kapal itu dihadang oleh kapal Bakamla Indonesia. Karena dihalau, tak jadi menerobos ke dalam perairan Indonesia. Pada 23 Desember 2019, dua Coast Guard China masuk lagi. Kali ini, kedua kapal bersenjata itu mengawal sejumlah kapal penangkap ikan China yang sedang melakukan pencurian ikan di perairan ZEE Indonesia di utara Natuna. ZEE Indonesia itu diakui PBB. Kali ini China unjuk kekuatan. Dua kapal penjaga pantai yang bersenjata itu dibekingin oleh satu kapal frigat (kapal perang) dari kejauhan. Artinya, angkatan laut China siap melakukan tindak kekerasan. Kapal Bakamla KM Tanjung Datuk 301 mencoba mengusir kapal-kapal China itu. Mereka menolak dengan alasan, berada di wilayah laut China. Pejabat senior Bakamla, Nursyawal Embun, mengatakan pihak China pasti tahu bahwa mereka berada di ZEE Indonesia. Sebab, cukup jauh jaraknya dari wilayah laut yang dikuasai RRC. Pada 30 Desember 2019, Kemenlu RI melancarkan protes ke China. Tapi, hari berikutnya, 31 Desember 2019, kapal-kapal China masuk lagi ke perairan utara Natuna. Kemenlu kemudian memanggil Dubes China di Jakarta. Protes keras disampaikan. Wartawan Senior Asyari Usman mencatat, modus ekspansi laut China sangat jelas. Mereka kirim dulu kapal-kapal nelayan ke perairan Natuna. Kapal perang melakukan pengawalan. Ini membuat Bakamla akan berhati-hati bertindak tegas. Sebab, di belakang kapal-kapal nelayan itu ada kapal perang China yang stand-by. Bakamla tentu bisa meminta bantuan ALRI. Tapi, kekuatan AL China pastilah jauh lebih besar dan lebih tangguh. Dan, kalau sampai kapal perang Indonesia terpancing menggunakan kekerasan, itu akan dijadikan alasan oleh China untuk mengerahkan armada AL mereka lebih banyak lagi ke perairan ZEE Indonesia. Di sini perlu ketegasan Preside Joko Widodo atas klaim China di laut Natuna itu, seperti yang pernah diucapkannya saat Debat Pilpres 2014, “Kita bikin rame!” Inilah saatnya Menhan bisa terapkan Konsep Hankamrata! Saya yakin, rakyat Indonesia tidak akan pernah takut jika harus berkonflik (baca: perang) dengan negara asing! Penulis adalah wartawan senior
Shortfall Penerimaan Perpajakan
Saya berani mengatakan dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa melebihi 5,5%, maka situasi shortfall ini akan menjadi makanan tahunan APBN kita. Shortfall akan persisten dan iminen. Karenanya, target pajak yang ekspansif dan optimis menjadi tidak rasional dan realistis. By Andi Rahmat Jakarta, FNN - Pencapaian penerimaan perpajakan hingga akhir tahun 2019 mencatatkan pencapaian historik. Shortfall 19% dari target APBN Rp 1.577 triliun, atau secara absolut berkisar Rp 200 triliun. Meskipun demikian, saya tidak sedang membicarakan soal konsekuensi hutang ini. Tetapi diskusinya adalah menelisik soal atau sebab-musabah, dan pembacaan terhadap kinerja ekonomi. Cerita Shortfall ini bukan barang baru dalam catatan penerimaan perpajakan kita. Setidaknya sejak tahun 2017 hingga 2019, shortfall absolut penerimaan perpajakan selalu melampui angka Rp 100 triliun. Bahkan berturut-turut di tahun 2017 shortfallnya Rp 130 triliun, dan pada tahun 2018 Rp 108 triliun. Konsekuensinya, target defisit APBN selalu mengalami overshoot. Atau dengan kata lain terjadi penambahan hutang di luar perkiraan pembuat kebijakan fiskal. Yang utama dalam tulisan ini adalah soal simpulan terhadap pelambatan kinerja ekonomi kita. Supaya lebih netral dari segi istilah, ada bagusnya menggunakan istilah International Monetary Fund (IMF), sluggisnya kondisi perekonomian kita. Dua istilah itu, sama-sama tercermin dalam pencapaian pertumbuhan Pruduk Demontik Bruto (PDB) kita yang bergerak dibawah 5,2 % dalam emat tahun terakhir. Memang ada satu model perkiraan penerimaan perpajakan yang selama ini diterapkan oleh pembuat kebijakan ekonomi, baik di DPR maupun di Kementerian Keuangan. Tampaknya kebijakan dibuat selalu overestimate terhadap target penerimaan perpajakan. Yang sebagiannya disumbangkan oleh simplifikasi terhadap simpulan posisi tax ratio ketimbang menelisik kinerja sektor ekonomi. Dari sisi fundamental APBN, shortfall atau target yang besar itu memang masih bisa dimitigasi resikonya. Bahkan dengan pendekatan mitigatif yang ekspansif sekalipun. Sebab, harus diakui, sejak periode SBY hingga Jokowi, penguatan fondasi struktural APBN kita memang cukup solid. Namun, shortfall perpajakan tetap merupakan suatu masalah serius yang mesti dilihat secara seksama. Kinerja penerimaan yang serial seperti itu menyalakan lampu kuning bagi kita semua. Khususnya para pembuat kebijakan di bidang ekonomi. Shortfall yang menunjukkan dua hal sekaligus. Fatiguenya fiskus dalam menyasar para objek pajak. Sementara kelelahan yang sama, juga dialami oleh objek pajak dan wajib pajak. Di level fiskus, kelelahan ini muncul karena sumber daya fiskus yang semakin ketinggalan. Perangkat administratif yang sudah mulai kadaluarsa. Selain itu, fondasi regulasi yang semakin tidak sesuai lagi dengan perkembangan objek pajak atau potensi objek pajak. Sumber daya yang dimiliki fiskus, terutama yang berkaitan dengan sumber daya manusianya, memang sudah waktunya diperkuat. Dari segi kuantitas, pertumbuhan SDM fiskus dalam sepuluh tahun terakhir sangat jauh dari ratio yang paling konservatif sekalipun. Rationya yang normal adalah 1 : 1.590 terhadap populasi dan 1 : 936 terhadap wajib pajak. Demikian juga dengan kualitas. Perkembangan sektor-sektor baru perekonomian yang justru sedang mengalami booming. Untuk itu, sopistikasi praktek ekonominya, juga membutuhkan kualitas SDM fiskus yang sebanding. Perangkat administratif perpajakan juga mengalami hal yang sama. Administrasi perpajakan masih menyulitkan fiskus dalam berinteraksi dengan perkembangan objek pajak. Ringkasnya, selain kantor atau tempat layanan perpajakan yang belum memadai, juga insentif administratif terhadap kinerja fiskus yang tidak sebanding dengan besarnya effort yang dibutuhkan. Dari sisi regulasi, sudah dua belas tahun lebih, dan terakhir kali kita melakukan overhaul menyeluruh terhadap regulasi perpajakan. Memang ada produk minor regulasi sektor perpajakan. Tetapi sifatnya lebih sektoral dan terbatas. Kebutuhan overhaul menyeluruh adalah kebutuhan yang pasti seiring dengan perkembangan sektor- sektor perekonomian. Sementara kelelahan yang dialami oleh objek pajak dan juga wajib pajak disumbangkan oleh sluggishnya perekonomian. Lapisan tarif yang juga tidak lagi kompetitif. Selain itu, perlu intensifikasi basis pajak dan untaxable objek pajak. Saya berani mengatakan dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa melebihi 5,5% saja, maka situasi shortfall ini akan menjadi makanan tahunan APBN kita. Shortfall akan persisten dan iminen. Karenanya, target pajak yang ekspansif dan optimis menjadi tidak rasional dan realistis. Dalam soal tarif, sudah jamak dimahfumi bahwa tariff bracket perpajakan kita sudah menjadi disinsentif bagi perekonomian kita sejak 12 tahun lalu. Terutama sewaktu kita melakukan overhaul, penetapan tarif itu, lebih mempertimbangkan dampaknya terhadap postur penerimaan negara dan rendahnya tingkat kepatuhan perpajakan Wajib Pajak (WP) kala itu. Ketika itu, besar tarif tidak seelastis dibanding sekarang terhadap kinerja ekonomi. Karenanya di tahun-tahun awal penerapan tarif perpajakan pasca overhaul, selain kinerja ekonomi yang positif, eksetensifikasi dan intensifikasi pajak tidak negatif terhadap kinerja perekonomian. Sedangkan intensifikasi basis pajak juga demikian. Fenomena yang terjadi pasca kebijakan Tax Amnesty adalah over regulasi pada basis pajak yang sama. Ekspansi berbau draconian terhadap wajib pajak, karena perburuan target yang irasional, menyasar hingga sektor sensitif seperti sektor keuangan dan perbankan. Objek pajak mengalami distress dan wajib pajak mengalami disinsentif yang jamak sekali dalam percakapan harian. Terakhir, masalah untaxable objek pajak. Terutama karena masalah ini terjadi pada sektor-sektor baru. Khususnya yang berbasis ekonomi digital. Selain itu, inversi perpajakan yang belum memadai antisipasinya dari sisi regulasi. Sebagai penutup. Saya hanya ingin menegaskan tentang perlunya kita sama-sama melihat ketimpangan ekonomi yang makin melebar. Kondisi ini disertai dengan pelemahan pertumbuhan kualitas kelas menengah yang taxable. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Bisnis dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Matinya Keadilan Sosial, Catatan Awal Tahun
By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Keluhan Said Aqil Siradj (SAS) beberapa hari lalu tentang matinya keadilan sosial, disampaikan beliau pada acara haul leluhurnya di Cerebon, dihadapan puluhan ribu massa kaum Nahdatul Ulama (NU). SAS memperkuat keluhan yang sama yang beberapa tahun belakangan ini disampaikan Habib Rizieq Sihab. Keduanya mewakili mayoritas ummat Islam di Indonesia, yang artinya juga mewakili mayoritas rakyat Indonesia. Dalam pidatonya tersebut, SAS menyampaikan bahwa oligarki (kapitalis) mengambil hampir semua kesempatan ekonomi di tanah air. Mereka oligarki kapitalis tidak menyisakan rakyat kebanyakan, kecuali sebagai penonton dan "kuda tunggangan" dalam peraihan kekuasaan. Habibi Rizieq, berbeda dengan SAS. Habib Rizieq langsung mengarahkan istilah oligarki pemilik modal ini dengan sebutan “Sembilan Naga”. Atau menurut Christian Chua, sebagai China kapitalis. Karena faktanya oligarki modal di Indonesia tidaklah berbeda dengan Cina kapitalis tersebut. Apa yang disampaikan SAS ini telah diteliti Professor Amy Chua, Yale University, dalam "World on Fire", 2003, yang menyebutkan demokratisasi dan free market ekonomi yang masuk ke negara-negara seperti Indonesia. Dimana etnik minoritis menguasai ekonomi, membuat jurang ketimpangan semakin dalam. Chua meneliti puluhan negara, di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Christian Chua, dalam "Chinese Big Business in Indonesia: The State of Capital", 2006. Sebuah disertasi, bukan hanya sejalan dengan temuan Amy Chua. Bahkan saat ini China kapitalis, bukan saja menguasai ekonomi, namun paska reformasi mereka telah menguasai negara. Christian Chua menggambarkan transisi Cina kapitalis dari masa "Bureaucratic capitalism" di era orde baru. Lalu masa "Oligarchic Capitalism" sekitar tahun 80-an sampai 1998, dan masa selanjutnya "Plutocratic Capitalism". Dimana kekuatan Cina kapitalis yang awalnya berlindung pada politico-bureaucrat, akhirnya saat ini memiliki kekuatan lebih unggul. Dalam demokrasi, awalnya para kapitalis shock karena harus terlalu banyak menawarkan konsesi kepada pusat kekuasaan yang menyebar. Namun, sejalan dengan demokrasi yang bersandar pada politik uang, maka sandaran politik kekuasaan kembali kepangkuan para kapitalis. Plutocrary artinya "the rule of wealth". Dalam politik, "plutocratic capitalism" maksudnya negara yang dikendalikan orang-orang kaya. Kadangkala istilah lain yang mirip adalah "Corporatocracy", untuk menunjukkan korporasi besar yang nengendalikan negara. Bukan individual-individual pengusaha. Kecepatan dan percepatan akumulasi asset para kapitalis ini, diteliti oleh Jeffrey Winter (2013) dan Arif Budimanta ( 2017). Menurut Budimanta, pada tahun 2016, Material Power Index (MPI) dari 40 orang terkaya di sini mencapai 548.000. Sedangkan di Singapore 46.000 dan Malaysia 152.000. MPI ini ukuran kekayaan para kapitalis dibandingkan rata-rata pendapatan penduduk (GDP perkapita). Menurut Jeffrey kesenjangan kekayaan kaum oligarki ini dengan rata-rata rakyat, di Indonesia, merupakan yang terburuk di dunia. Sebagai catatan tambahan, Oxfam, sebauh NGO Inggris, merilis riset 4 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk termiskin (2017). Pada tahun 2019, LPS mencatat 0,2% pemilik rekening di bank, menguasai 63,8% total simpanan bank. Professor Amy Chua berbeda dengan Christian Chua dalam melihat persoalan ketimpangan di Indonesia ini. Amy Chua melihat unsur etnisitas dalam pendekatannya, sebaliknya Christian Chua melihatnya dalam pendekatan struktural. Pendekatan Christian yang struktural lebih melihat peranan modal dalam hirarki kekuasaan. Bagi Christian Chua, dalam sistem Kapitalisme, siapa yang mengontrol modal maka dialah yang mengendalikan negara tersebut. Dan negara adalah alat para kapitalis untuk menggandakan keinginan mereka. Mengendalikan bisa langsung maupun bisa dengan menunjuk "manajer" untuk mengelola negara itu untuk sesuatu yang sudah diatur kaum kapitalis. SBY dan Arab Springs Pada pidato akhir tahunnya, mantan Presiden SBY, mengingatkan Jokowi untuk berhati2 akibat situasi ekonomi memburuk. SBY mencatat bahwa jumlah pengangguran dan setengah pengangguran, atau bekerja "part time" berada pada kisaran 36, 5 juta jiwa. Angka ini sangat besar. Sementara kemampuan pemerintah menurunkan jumlah pengangguran hanya 1% dalam 5 tahun. "Arab Springs" atau gejolak sosial (social unrest) seperti yang terjadi di negara2 Arab, beberapa tahun lalu, dipicu oleh kenaikan harga2 ketika pengangguran tinggi. Saat ini pemerintah menaikkan iuran BPJS dan segera menaikkan tarif listrik dll. Dan menurut SBY ini bisa memicu gejolak sosial tersebut. SBY, menurut data pertumbuhan di halaman World Bank. org, adalah satu-satunya presiden Indonesia yang spektakuler menaikkan GDP di atas 200 billon dollar pada tahun 2010. Rata-rata kenaikan tertinggi, misalnya saat ini, hanya sebesar 70 billion dollar saja setahun. World Bank sendiri mencatat SBY sendiri telah berhasil menurunkan jumlah populasi berpendapatan rendah (per capita expenditure per day < or = $ 2) dari 62,2% (2003) menjadi 43,3 (2010). Sedangkan "middle income" ($2-$10) jumlahnya naik dari 37,7% (2003) menjadi 56 5% (2010). Dengan reputasi di atas, tentu saja SBY dan kritikannya menjadi penting bagi kita melihat bahaya yang mengancam selama ini dan tahun depan. Sebuah gejolak sosial tentu selalu merupakan resultante gejolak politik dan ekonomi. Gejolak politik umumnya bukan terletak pada ukuran kestabilan elit, melainkan pada frustasi sosial yang parah. Frustasi sosial ini bersumber pada kebencian massa rakyat pada sebuah rezim (seperti kasus awal Arab Springs di Tunisia). Sedangkan gejolak ekonomi terjadi manakala pertumbuhan ekonomi memburuk dan kehidupan ekonomi semakin sulit. Apakah SBY melihat ini begitu dekat? Korupsi dan Hedonisme Skandal korupsi Jiwasraya yang diduga merugikan perusahaan negara puluhan triliun rupiah menjadi simbol kebusukan elit kekuasaan saat ini. Pada saat reformasi di mulai 20-an tahun lalu, pemerintahan bersih dan "peti mati" merupakan simbol penting yang utama. Saat ini, korupsi kelihatannya menjadi fenomena biasa dari orang-orang yang berkuasa. Korupsi Jiwasraya ini mengapa menjadi penting dibincangkan? Karena unsur kesengajaan dalam merugikan perusahaan negara tersebut nampak nyata. Menariknya lagi, pembobol Jiwasraya ini, salah satunya, mempunyai kedudukan penting sebagai bagian dari organ di kantor Kepala Staf Presiden Republik Indonesia. Pada saat ini rakyat tidak terlalu percaya lagi dengan agenda pemberantasan korupsi. Khususnya setelah presiden dianggap ikut melumpuhkan KPK, di mana DPR yang didominasi rezim, melakukan perubahan UU KPK. Sementara di waktu lainnya, presiden memberi Grasi pada terhukum koruptor, eks Gubernur Riau, beberapa waktu lalu. Perkembangan pesat korupsi saat ini diikuti dengan berkembangnya prilaku hedonis dikalangan elit kekuasaan. Skandal direksi Garuda dalam dimensi barang luxurious, seperti Harley Davidson dan Brompton dan dimensi sex, merupakan bentuk hedonis kaum elit kita. Tentu saja lomba pamer elit ini terjadi dibanyak elit lembaga negara, meski presidennya pada kampanye selalu dikatagorikan merakyat. Kecenderungan perilaku korupsi dan hedon kelihatannya berbanding lurus dengan penguasaan negara oleh kalangan orang-rang kaya. Lembaga DPR-RI yang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kekayaan ratusan miliyar, menteri-menteri yang super kaya, dan lain-lain, menjadikan suasana "gemerlapan" di elit lebih mewakili kemiripan dengan elit-elit Francis dahulu ketika dikendalikan raja dan para Baron. Tantangan ke Depan Suara Said Aqil Sirodj dan Habib Rizieq Sihab, apalagi ditambah suara SBY sudah menunjukkan buruknya situasi kita saat ini. Situasi itu meliputi, apa tujuan bernegarakita? Dan apakah ada jalan baik di depan? Tujuan bernegara adalah menghadirkan Keadilan Sosial kepada seluruh rakyat, apakah mau di NKRI harga mati maupun di NKRI harga "bargain". Negara dalam bingkai kapitalisme, seperti pidato Ketum Nasdem, Surya Paloh, beberapa bulan lalu di Universitas Indonesia? Jika kapitalisme mendominasi tata kelola bernegara dan sistem ekonomi, maka pasti akan membuat yang kaya semakin kaya. Yang miskin juga semakin terpinggirkan. Negara tidak mempunyai makna sama sekali apabila grafik pemerataan tidak membaik dari waktu ke waktu. Apabila SBY, misalnya, pernah menunjukkan perubahan signifikan dari grafik pemerataan, perlu diteliti lebih lanjut, sejauh apa "cost" yang dibayarkan untuk itu? Jika "cost" nya terlalu besar, maka kita harus mencari alternatif berbelok dari jalan kapitalisme yang kita lalui. Untuk mengganti jalan kapitalisme ini, baik ala barat maupun pro Beijing, maka diperlukan jalan revolusioner. Karena kita harus menghancurkan struktur yang dikuasai oligarki saat ini. Christina Chua mengatakan "a removal of this oligarchy from power would require a new system, which, however, can only be realised if the general hierarchies of power turned upside down, as it only happens through revolutions". Perubahan ketimpangan ekonomi di barat, dalam Thomas Pikkety on Capital, yang ditelitinya sepanjang 1810-2010, salam 200 tahun, ada benturan ideologi dan perang dunia di eropa, yang mampu menggeser ketimpangan dari Gini Rasio 0,7 menjadi sekitar Gini Rasio 0,3 selama 200 tahun itu. Dimana ada jalan damai dalam menciptakan keadilan sosial (Shared Prosperity)? Untuk urusan ini, maka Said Aqil dan Habib Rizieq harus memulai membicarakan serius langkah-langkah strategis pada isu-isu keadila sosial tersebut. Tentu juga semua tokoh-tokoh nasionalis. Penutup Akhir tahun 2019 kita tandai dengan duka. Pernyataan ketua umum NU tentang oligarki menguasai Indonesia, adalah situasi memalukan dari bangsa yang lahir melalui revolusi sosial. Faktanya, saat ini, cukong-cukong bukan lagi bekerja diam, secara politik, seperti di masa orde baru. Sekarang mereka tampil memimpin negara. Itu adalah keniscayaan demokrasi. Problemnya adalah kekuatan elit rakyat seperti elit NU, yang dipimpin Said Aqil, kurang mendapat kepercayaan, apakah mereka akan benar-benar melakukan perhitungan ulang dalam membenahi arah bangsa ke depan, ataukah hanya sekedar memanas-manasi situasi sosial, yang bertujuan jangka pendek. Meskipun motif Said Aqil bisa kita kesampingkan, namun persoalan yang mempunyai fakta, seperti ketimpangan sosial dan kekuasaan oligarki, Cina kapitalis, harus ditata dalam sistem ketatanegaraan yang menjamin keadilan sosial ke depan. Misalnya, ketika Said Aqil menyinggung adanya kapitalis yang memiliki 5 juta hektar tanah di Indonesia. Lalu bagaimana cara untuk membatasinya? Namun, sekali lagi, tentu saja rakyat harus terus bergerak mencari solusi, agar keadilan sosial menemukan jalannya di Indonesia. #Selamattahunbaru2020 Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle