OPINI
DPD Diharapkan Tampil Atasi Persoalan Daerah
Oleh Dr. Ismail Rumadan Jakarta, FNN – Berbagai gejolak politik dan sosial di masyarakat saat ini sangat membutuhkan perhatian serius dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Besama dengan lembaga legislative lainnya DPD dilantik hari ini 1 Oktober 2019. Namun berbagai persoalan kini telah menanti DPD di depan mata Munculnya berbagai permasalahan di daerah-daerah seperti, kabut asap di sumatera yang tidak kunjung reda akibat kebakaran hutan. Ada konflik sosial secara horisontal dan vertikal di Papua yang semakin memanas dengan pembatantain terhadap para pendatang non-Papua di Wamena. Masalah pengungsi akibat gempa yang terjadi Ambon. Masalah lainnya adalah merebaknya aksi demontrasi mhasiswa baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. Semua persoalan ini tentu saja sangat membutuhkan perhatian serius dari semua pihak terkait. Pemerintah seperti tampak kewalahan menyelesaikan manangani dan menyelesaikan masalah-masalah ini. Untuk itu, peran penting dan strategis dari DPD sebagai lembaga yang mewakili kepentingan daerah-daerah sangat diperlukan Aksi-aksi deminstrasi mahasiswa yang muncul dan marak di Jakarta dan daerah belakangan ini, lebih banyak menyoroti dan mempersoalkan sikap pemerintah dan DPR mengenai revisi undang-undang KPK. Pemerintah seperti kewalahan dan kebingungan menemua jalan keluas untuk menghentikan aksi-kasi deminstrasi mahasiswa. Malah belakangan pelajar SMA dan SMP mulai ikut-ikutan berdemonstrasi. Pemerintah hari ini terkesan gagal memahami inti permasalahan yang terjadi didaerah. Akibatnya, terkadang langkah atau kebijakan yang ditempuh utuk mengatasi permasalaahan di daerah tidak tepat. Pemerintah tidak mampu menyuguhkan solusi yang tepat bagi penyelesaian permasalahan di daerah. Oleh karena itu, harapan sepenuhnya kini sesungguhnya mulai tertuju pada para senator daerah yang baru terpilih. Karena mereka para anggota DPR sesunghuhnya merupakan representasi dari daerah-daerah sebagaipemilik sebenarnya daerah-daerah Indonesia. DPD tentu saja lebih mengerti dan memahami kondisi dan kepentingan daerah-daerah saat ini. Jangan sampai di kemudian anggota DPD yang baru terpilih ini terjebak pada kepentingan politik praktis sematar. Sehingga hal-hal yang tidak perlu untuk diributkan atau diperdebatkan diantara DPD, malah menjadi perdebatan sengit yang tidak berkesudahan. Berbagai permasalahan yang kini muncul dan berekembang daerah yang seharusnya menjadi perhatian para anggota DPD, malah tidak diperhatikan. Sekarang terlihat masihg adanya perdebatan para anggota DPD terkait soal tata tertib (Tatib) Anggota DPD. Padahal Tata Tertib ini sudah disepakati dan ditetapkan melalui beberapa kali persidangan. Perdenatan-perdebatan yang tidak perlu ini sebaiknya dihindari. Kesepakan yang sudah dicapai melalui keputusan Pleno Badan Kehormatan, sudah seharusnya dipatuhi. Toh kesepakatan yang sudah dicapai mengenai tata tertib tentu saja melalui pembahasan-pembahsan yang panjang. Tujuannya baik, demi untuk perbaikan kinerja kelembagaan DPD ke depan. Arah dan perubahan tatib ini dapat dipahami sebagai untuk memaksimalkan tugas dan fungsi anggota DPD kedepan. Jika ada kekurangan, tentu dalam prosesnya nanti dapat diperbaiki. Inti permasalahannya adalah bagaimana agar anggota DPD ini bisa bergerak cepat merespon permasalahan-permasalahan daerah yang kian komplieks. Saat ini oleh emerintah terkesan tidak mampu mengatasinya. Pada kondisi seperti inilah peran penting dan strategis dari DPD sangat dibutuhkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. DPD sudah sharusnya tampil untuk mengambil momentum saat ini. DPD harus menunjukan jati dirinya kepada masyarakat dan daerah bahwa DPD ada hadir untuk mereka. Jangan sampai DPD masih terkesan hanya sebagai lembaga pelengkap saja tanpa punya fungsi dan kontribusi di tengah masyarakat. DPD harus menjadi corong bagi kepentingan rakyat di daerah. Karena DPD diisi oleh para tokoh penting dari daerah masing-masing. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berkualitas dan dipercaya masyarakat. Mereka mempunya pengaruh yang kuat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu para anggota DPD jangan sampai terjebak pada perdenatan-perdenatan yang tidak sustansial. Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta
Jokowi Makin Kalang Kabut
Munculnya tagar #MenyesalMemilihJokowi menunjukkan semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi. Bahkan, dari internal kekuasaan. Oleh Mangarahon Dongoran (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - TULISAN saya sebelumnya berjudul, "Jokowi Sumber Masalah," banyak mendapatkan cibiran dari pendukungnya. Saya sudah menduga akan seperti itu. Jokowi Makin Kalang Kabut, ini pun saya pastikan dianggap para pendukungnya sebagai usaha memojokkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Bahkan, bisa jadi mereka menuduh saya memfitnah, memprovokasi, dan sederet sebutan lainnya. Saya tidak akan ambil pusing. Saya hanya berusaha menyuarakan hati nurani dan fakta-fakta terkini. Saya hanya ingin mengkritìsi, seperti yang saya lakukan di rezim Orde Baru, era BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan era Jokowi. Jokowi Makin Kalang Kabut! Ibarat pepatah, "Maju kena, mundur kena!" Kenapa? Karena rencananya mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang) tentang UU KPK yang baru, mendapat penolakan dari PDIP, partai utama pendukungnya maju pada pemilihan presiden. Akhirnya Jokowi serba salah! Lagi-lagi pepatah mengatakan, "Ibarat buah si malakama, dimakan mati ibu, tidak dimakan mati ayah." Mengapa? Coba saja pembaca lihat dan saķsikan berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini (kecuali di Papua- rusuh karena tuntutan merdeka). Sejak awal demosntrasi yang dilakukan mahasiswa dan pelajar SMK-- ee mereka lebih suka disebut pelajar STM -- selalu diakhiri dengan rusuh atau kalimat paling tepat, bukan rusuh, tetapi perang saudara dengan polisi. Jokowi serba salah! Demonstrasi yang marak dalam beberapa hari belakangan ini di berbagai kota menuntut agar DPR tidak mensyahkan RUU KUHP dan beberapa RUU lainnya. Juga tuntutan agar UU KPK dibatalkan, karena isinya jelas melemahkan lembaga antirasuah itu dalam memberantas korupsi. RUU KUHP dan beberapa RUU sudah ditunda. Ketika ditunda, pemerintah berharap demo berkurang. Akan tetapi, kenyataannya, demo terus terjadi di berbagai tempat. Paling lucu dan mengherankan, baru sekarang ada pelajar ikut demo dengan atribut sekolahnya. Mereka terutama pelajar STM (Sekolah Teknik Menengah). Mereka lebih suka disebut pelajar STM ketimbang SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Mungkin mereka kesal, karena nama SMK "dicatut" jadi bahan jualan politik lewat mobil Esemka. Jokowi serba salah! Jika melihat perkembangan situasi terakhir, masyakat pun semakin pesimistis keadaan semakin baik. Bahķan ada tagar yang muncul di medsos #MenyesalMemilihJokowi. Entah siapa yang membuatnya. Akan tetapi, itu bukti semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi. Jokowi dan jajarannya berharap, setelah RUU KUHP ditunda DPR, demo mereda. Apalagi, Jokowi sendiri sebelumnya meminta agar DPR menunda pengesahannya. Akan tetapi, harapan agar demo berkurang dan tensi politik turun, hanya tinggal harapan. Faktanya demo semakin kencang. Tensi politik akan terus naik, baik menjeĺang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, 20 Oktober 2019 maupun seterusnya. Jokowi serba salah! Ah itu kan menurut penulisnya. Asumsi itu bisa benar dan bisa salah. Akan tetapi, fakta yang bicara. Ketika Jokowi meminta bertemu dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se Indonesia, mereka menolaknya. Sama seperti 1998, saat demonstrasi mahasiswa marak, Soeharto juga meminta bertemu BEM se Indonesia. Akan tetapi, mereka (BEM) menolaknya. Lalu bagaimana dengan peserta demonstrasi pelajar STM? Mereka tidak dikoordinir oleh OSIS atau Organisasi Siswa Intra Sekolah. Lalu siapa nanti yang akan mewakili mereka jika diminta bertemu Presiden? Toh, teman-teman mereka juga menjadi korban kekerasan aparat kepolisian. Paling kepala sekolah atau pengurus yayasan dipanggil dinas pendidikan setempat. Akan tetapi, pemanggilan itu tidak logis. Sebab, para pelajar itu melakukan aķsinya di luar jam belajar. Artinya, aksi demo para pelajar itu sudah berada dalam tanggungjawab keluarga dan lingkungan. Kalaupun kepala sekolah dan pemilik yayasan dipanggil, yang ada adalah pembinaan kepada mereka. Jawabannya, "Pasti dibina.! Toh, selama ini, tanpa demo pun, kepala sekolah bersama guru-guru dan staf sekolah sudah membina para pelajar. Kalau tidak ada pembinaan, tidak mungkin mereka sekolah, naik kelas dan bahkan nanti lulus 100 persen. Jokowi serba salah! Bisa benar bisa salah. Akan tetapi fakta yang bicara. Ketika Jokowi menerima 45 orang yang dianggap sebagai tokoh bangsa (maaf yang diterima umumnya pendukung Jokowi), kepercayaan masyarakat sudah terus berkurang. Sama, ketika Soeharto menerim beberapa tokoh untuk membentuk Komite Reformasi. Jokowi menerima di Istana Kepresidenan, Pak Harto juga menerima di tempat yang sama. Perbedaannya, Jokowi mempertimbangkan Perpu UU KPK yang baru disahkan DPR. Sedangkan 1998, tokoh yang diundang langsung menolak pembentukan Komite Reformasi yang diusulkan Soeharto. Pak Harto menginginkan cendekiawan Muslim Nurcholis Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur menjadi Ketua Komite Reformasi yang diisi sejumlah tokoh. Namun, Cak Nur menolaknya. Akhirnya Komite Reformasi gagal dibentuk dan situasi negara semakin memburuk dan terpuruk. Jokowi serba salah! Kenapa? Kalaupun akhirnya menebitkan Perppu terkait UU KPK yang baru, ia tetap menghadapi masalah besar. Para pendemo tidak akan diam dengan "hadiah" Perppu itu. Luka hati para pendemo tidak akan terobati dengan Perppu itu. Sebab, sudah semakin banyak korban di pihak pendemo, banyak yang ditahan dan bahkan dua mahasiswa tewas ditembus peluru. Kalau tuntutan sudah dipenuhi, mestinya demo berhenti. Akan tetapi, faktanya berbeda. Tuntutan agar RUU KUHP dan sejumlah RUU lainnya yang tidak disetujui DPR, tapi kok masih demo. Bukankah tuntutan pendemo itu sudah sejalan dengan keinginan Jokowi dan aparatur pemerintahannya? Akan tetapi kok masih demo. Jokowi serba salah! PDIP sebagai pengusung utama Jokowi dalam dua kali Pilpres jelas menolak Perppu dikeluarkan. Alasannya, kalau Perppu mudah dikeluarkan, itu berbahaya. Lebih baik mereka yang tidak setuju membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akan tetapi, kepercayaan masyarakat terhadap MK masih rendah, terutama pasca putusan MK atas hasil Pilpres yang baru lalu. Jokowi serba salah! Kenapa? Ya, karena persoalan yang muncul tidak lagi sekadar KPK yang terus dilemahkan lewat UU yang baru. KPK adalah 'anak kandung' reformasi 1998. Reformasi yang juga diawali demonstrasi yang menyebabkan empat mahasiswa tewas di ujung peluru tajam. Jokowi tidak sekadar serba salah, tetapi semakin kalang kabut! Mengeluarkan Perppu salah, tidak mengeluarkan pun lebih salah lagi. **
Pemerintah Alpa dengan Tragedi Kemanusiaan di Papua
Sudah 32 orang meninggal dari suku Bugis dan Minang. Mereka menjadi korban pembantaian etnis oleh masyarakat asli Papua. Sementara negara dan pemerintah masih sibuk dengan mengurus demonstrasi mahasiswa. Pemerintah hanya sibuk urus kekuasaannya. Sementara persatuan dan kemanusiaan yang mengancam NKRI ditutup oleh tebalnya kabut asap ban mobil dan semprotan gas air mata untuk mempertahankan kekuasaan Oleh Dr. Ahmad Yani, SH. MH. Jakarta, FNN - Tindak kekerasan di Wamena, Papua, menimbulkan puluhan korban meninggal. Ratusan orang lainnya luka-luka. Ratusan rumah dan fasilitas umum hancur. Kekerasan tersebut terakumulasi dari protes sosial yang berujung pada separatisme. Duka dan kematian yang menelan korban para pendatang. Umumnya dari suku Minang dan Bugis, serta suku-suku lainnya yang hidup di papua menyayat hati kita. Negara absen, Negara tidak dalam duka ini. Ada ratusan ribu orang pendatang yang hidup di Tanah Papua. Bahkan mungkin juga jutaan orang, seperti yang dikemukakan oleh ulama asal Papua, Uatdz Fadlan Garamatan. Orang Papua juga hidup di wilayah lain dalam negara Indonesia. Semua warga negara hidup rukun, damai dan tidak separatis. Saling kasih sayang mewarnai kehidupan kita, karena kita berada dalam naungan NKRI. Tindakan separatis dalam bentuk apapun tidak dibenarkan dalam negara Indonesia. Pemerintah wajib hadir dan membela setiap warga negara yang memperoleh perlakuan rasis itu. Sebab, negara menjamin setiap orang untuk hidup menurut agama, keyakinan dan kulturnya masing-masing. Tidak boleh ada warga negara yang diperlakukan secara diskriminatif dengan alasan apapun. Setiap daerah yang terintegrasi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Inilah komitmen kita bernegara. Komitmen ada sejak kita berbangsa dan bernegara tahun 1945. Komitmen ini juga berlaku semenjak Papua menyatakan diri bergabung dalam NKRI tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Namun apa yang terjadi di Wamena, Papua, berupa pemnatai terhadap pendatang Minang dan Bugis, bukan lagi tindakan yang biasa-biasa. Ini sudah menjadi kejahatan yang sangat luar biasa. Ini sudah pembantaian etnis (genosida) terhadap para pendatang di daerah itu. Perasaan "kebencian" orang Papua terhadap pendatang sudah tidak bisa dibenarkan lagi menurut hukum apapun. Apakah itu hukum Indonesia, maupun Hukum Internasional. Kelompok separatis yang diprovokasi oleh Benny Wenda sangat beringas. Mereka mencabik-cabik perasaan kemanusiaan kita. Mereka menghancurkan keharmonisan bernegara kita. Tragisnya, pada saat yang bersamaan, negara diam tanpa sikap apapun terhadap kejahatan kemanusiaan itu. Meskipun kita tetap mengakui, banyak masalah yang belum bisa diatasi oleh pemerintah dalam rangka pemerataan pembangunan di Papua. Namun kita tidak bisa membenarkan dengan alasan yang sama atas pembunuhan terhadap sesama warga negara. Kalau masalah kesenjangan menurut saya, Orang Papua harus menuntut kepada pemerintah. Bukan membantai sesama warga negara. Dengan alasan apapun juga pembantaian itu adalah kejahatan terhadap rasa dan nilai kemanusiaan kita. Jalan Pemerintah Situasi kemanusiaan yang memburuk di Papua hari ini, tidak bisa hanya diselesaikan dengan kata "harap tenang" atau "pace, mace, sabar". Butuh langkah konkrit untuk mengatasi ini. Negara harus hadir melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Begitulah perintah konstitusi kita pada Pembukaan UUD 1945 Pemerintah Jokowi harus belajar dan berkaca pada sejarah. Bagaimana cara menyelesaikan konflik daerah seperti di Papua tersebut. Misalnya, ketika Perdana Menteri Mohammad Natsir menyelesaikan masalah tuntutan rakyat Aceh. Peristiwa itu tertadi pada tanggal 22 Desember 1950. Hasil dari kongres PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan Mosi DPRD Aceh, yang meminta untuk menjadi Provinsi Sendiri. Bukan lagi bagian dari Provinsi Sumatra Utara. Mohammad Natsir sebagai Perdana Menteri, dengan didampiungi KH Masjkur beserta rombongan, mengunjungi Kutaraja, Banda Aceh pada tanggal 22-23 Januari 1951. Tujuannya, untuk berdialog dengan Gubernur Aceh Tengku Daud Beureueh, Ulama PUSA dan Anggota DPRD Aceh serta Rakyat Aceh. Dialog antara rombongan Natsir dengan wakil-wakil Aceh yang berujung kebuntuan atau deadlock. Kerana Aceh tetap pada pendiriannya, yaitu menjadi provinsi sendiri. Tidak mau menjadi bagian atau bergabung dengan Sumatra Utara. Dalam kebuntuan tersebut, akhirnya Natsir menyampaikan kepada Tengku Daud Beureueh, besok saya balik ke Jakarta. Setiba di Jakarta, saya segera menghadap Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno, untuk mengembalikan Mandat sebagai Perdana Menteri. Karena telah Gagal untuk mencapai kesepakatan antara Pemerintah Pusat dengan saudara-saudaraku di Aceh. Daud Beureuh kaget dan terheran dengan pernyatan Natsir tersebut. Daud Beureuh lalu menanyakan apa alasan Natsir mengembalikan mandat sebagai Perdana Menteri kepada Presiden Soekarno? Natsir menjelaskan, karena saya telah gagal mencapai kesepakatan antara pemerintah pusat dan saudara-saudaraku di Aceh. Sebab, kalau Aceh masih tetap saja berkeras, dan Pemerintah Pusat juga bersikeras, maka Pemerintah Pusat akan mengambil tindakan tegas, termasuk mengirim pasukan tentara apabila Aceh tetap dengan pendiriannya. "Saya tidak mau menyaksikan peristiwa 'perang saudara' itu terjadi. Karena Aceh telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam mendukung proklamasi kemerdekaan, dan mempertahankan negara proklamasi. Saya tidak ingin itu terjadi pada saat saya masih menjabat Perdana Menteri, “kata Natsir kepada Daud Beureuh. Mendengar ucapan Natsir itu, Tengku Daud Beureueh, terdiam dan tertekun sejanak. Setelah itu dengan tarikan nafas panjang, Daud Beureuh meminta kepada Natsir untuk menunda kepulangannya ke Jakarta beberapa hari. Karena besok, Daud Beureuh akan segera mengumpulkan Ulama PUSA dan DPRD untuk membicarakan permasahan ini. Setelah diadakan pertemuan kembali dengan rombongan Natsir, Tengku Daud Beureueh, Ulama PUSA dan DPRD, akhirnya Aceh menerima jalan kompromi yang ditawarkanNatsir. Yaitu setuju pembentukan propinsi sendiri yang terpisah dengan Sumatra Uatara. Namun melalui mekanisme dan prosedur yang ada, karena pemerintah pusat masih terikat dengan perjanjian RIS. Dengan demikian, pembentukan provinsi sendiri bagi Aceh bisa dilakukan, namun dengan lebih dulu merubah undang-undang. Dan itu masih memerlukan waktu. Apa yang dilakukan oleh M. Natsir dalam menangani persoalan Aceh ini dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah Jokowi sekarang. Natsir siap meletakkan jabatannya sebagai perdana Menteri kalau gagal mendamaikan Aceh. Kepribadian seperti itu harus tertanam dalam diri pemerintah sekarang. Upaya yang dilakukan Perdana Menteri Natsir dengan turun langsung memperudingkan masalah Aceh adalah merupakan sikap pemimpin yang mau menyelesaikan konflik. Bukan seperti sekarang ini, setengah hati menangani masalah Papua. Akibatnya, korban berjatuhan tanpa kehadiran negara., Penanganan konflik lokal tidak bisa di serahkan kepada pemerintah daerah. Apalagi kelompok separatis tidak lagi berkompromi dengan pemerintah pusat. Mereka juga ingin keluar dari NKRI dengan alasan membentuk negara sendiri (merdeka). Artinya, tidak ada pintu untuk dialog lagi. Untuk melindungi warga negara pendatang di Papua, pemerintah harus mengerahkan kekuatan militer yang besar. Konflik Papua di sudah melewati komunikasi yang panjang. Namun pemerintah pusat tidak serius melakukan perubahan-perubahan. Akibatnya, pintu dialog antara Papua dan Jakarta tertutup. Kemarahan orang Papua itu bukan lagi kemarahan vertikal kepada pemerintah pusat, melainkan sudah menjadi kekejaman rasial horizontal antara orang Papua asli dengan pendatang. Yang terjadi sekarang adalah "perang" antar warga negara. Negara dan pemerintah dimana? Sudah 32 orang meninggal dari suku Bugis dan Minang. Mereka menjadi korban pembantaian etnis oleh masyarakat asli Papua. Sementara negara dan pemerintah masih sibuk dengan mengurus demonstrasi mahasiswa. Pemerintah hanya sibuk urus kekuasaannya. Sementara persatuan dan kemanusiaan yang mengancam NKRI ditutup oleh tebalnya kabut asap ban mobil dan semprotan gas air mata untuk mempertahankan kekuasaan. Negara Alpa Rakyatberhak meminta pertanggungjawaban pemerintah atas keamanan dan kenyamanan kehidupan mereka dari negara di dalam negara. Kenapa pemerintah dan negara tidak hadir untuk memberikan perlidungan kepada rakyat? Apakah pemerintah tidak melihat adanya pembantaian ini? Pemerintah terlalu sibuk untuk mengurus kursi kekuasaan. TNI dan Polri sebagai kekuatan penjaga kemanan NKRI ikut-ikutan sibuk pula dalam mengawal kursi kekuasaan. Contohnya, TNI menyatakan mengancam siapa saja yang ingin menggagalkan pelantikan presiden terpilih. Siapa yang ingin menggagalkan pelantikan presiden akan berhadapan dengan TNI. Luar biasa TNI sekarang Sementara persoalan yang mengancam kedaulatan bangsa dan membuat tercabik-cabiknya NKRI terjadi di depan mata. NamunTNI dan Polri tidak memiliki sikap apapun. Sehingga sebagai warga Negara, kita patut bertanya, kepada siapa kita harus meminta pengamanan? Rakyat Indonesia di Papua, dan ribuan orang di Wamena dalam keadaan tertekan dan terancam oleh gerakan separatis. Kenapa negara dalam hal ini Presiden, Para Menteri, TNI, Kepolisian, tidak memiliki sikap dan langkah apapun untuk memberikan keamanan kepada warga negara yang terancam nyawanya? Dimana dan kemana saja lembaga-lembaga negara ini menyembunyikan diri. Saya sendiri sangat menyayangkan absenya pemerintah pusat dalam melindungi warga negara di Papua, khususnya Wamena. Begitupun dengan Din Syamsuddin yang juga menyesalkan respon aparat keamanan dan penegakan hukum yang sangat lamban dan tidak adil. Dapat disimpulkan bahwa negara tidak hadir membela rakyatnya. Negara gagal menjalankan amanat konstitusi yakni melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal senada juga disampaikan oleh Syahganda Nainggolan yang menyebutkan bahwa pemerintah Jokowi tidak hadir dalam persoalan kemanusiaan di Wamena Papua. Pemerintah Jokowi terlalu disibukkan oleh persoalan demonstrasi di Jakarta. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah Jokowi lalai dalam melindungi warga Negara, dan alpa dalam setiap persoalan bangsa. Separatis Melanggar HAM Gerakan Papua Merdeka bukan lagi sebatas jargon semata. Bendera Bintang Kejora juga bukan lagi sebatas bendera adat masyarakat Papua. Tetapi itu sudah berubah menjadi symbol dan lambang separatisme di Indonesia. Benny Wenda sebagai pimpinan gerakan separatis Papua wajib untuk bertanggungjawab atas kematian 32 orang Minang dan Bugis di Wamena. Bahkan masih ada ratusan korban luka-luka. Selain itu, ratusan rumah serta fasilitas umum yang dibakar. Keamanan warga negara disana adalah tanggung jawab pemerintah. Pada tahap ini negara dan pemerintah wajib bertanggungjawab atas persoalan pembantain yang menimpa warga negara Indonesia di Tanah Papua. Keamanan dan nyawa mereka adalah tugas negara menjaganya. Pemerintah saatnya menyatakan bahwa gerakan Operasi Papua Merdeka adalah gerakan separatis, yang telah melanggar HAM. Gerakan ini juga telah mengkhianati prinsip-prinsip dasar negara Pancasila dan hukum kemanusiaan Internasional. Pemerintah jangan menganggap urusan Papua sebagai hal yang biasa. Kalau sudah tidak mampu merekatkan bangsa, lebih baik menyatakan sikap. NKRI sedang dalam bahaya, dan perlu pemimpin yang punya komintmen, keberanian, kecerdasan dan independen dalam menyelesaikan semua problem bangsa sekaran ini. Semoag saja bisa berhasil. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Dosen Fak. Hukum dan Fak. Ilmu Sosial Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta
Indonesia Menuju Police State
Jadi, keberpolitikan kepolisian tidak diragukan lagi. Tidak disangsikan bahwa “political police force” (kepolisian yang politis) adalah ciri yang sekarang melekat di tubuh Polri. Institusi milik seluruh rakyat dan yang seharusnya hanya mengabdi untuk seluruh rakyat itu, berubah menjadi milik penguasa. Berubah menjadi alat pribadi penguasa untuk menyukseskan misi politik mereka. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Apa itu ‘police state’? Terjemahan langsungnya adalah ‘negara polisi’ atau ‘negara kepolisian’. Terus, apa defenisinya? Menurut kamus Oxford, negara polisi adalah “a totalitarian state controlled by a political police force that secretly supervises the citizens' activities”. Lebih kurang artinya adalah, “sebuah negara totaliter yang dikuasai oleh kepolisian yang politis, yang secara rahasia mengawasi aktivitas warga negara”. Dan menurut Wikipedia, “A police state is a government that exercises power arbitrarily through the power of the police force.” Artinya, “negara polisi adalah suatu pemerintahan yang menjalankan kekuasaan sewenang-wenang melalui kekuasaan kepolisian.” Apakah Indonesia saat ini bisa disebut ‘police state’? Jawabannya, masih belum. Tetapi, sedang dalam perjalanan menuju ke sana. On the way menuju negara polisi. Indikasinya apa? Indikasinya bisa anda lihat apakah kepolisian di Indonesia sudah memiliki karakteristik (ciri) yang tersurat maupun yang tersirat di dalam kedua definisi di atas. Di dalam definisi pertama (Oxford), kata kuncinya adalah “politcal police force”. Yaitu, “kepolisian yang politis”. Maksudnya adalah, ‘kepolisian yang terkooptasi ke dalam kegiatan politik dan digunakan untuk kepentingan politik penguasa’. Apakah Polri di bawah pimpinan Jenderal Tito Karnavian cocok dengan definisi ini? Apakah Polri telah menjadi ‘political police force’? Menurut hemat saya, iya. Coba saja anda buat check-list (daftar) keanehan sepak-terjang kepolisian dalam agenda politik nasional. Berpolitikkah polisi, atau tidak? Memihakkah polisi kepada misi pribadi Jokowi, atau tidak? Tak usahlah kita elaborasikan jawaban untuk dua pertanyaan ini. Anda semua pasti bisa merasakan. Anda telah menyaksikan sendiri ‘behaviour’ (perilaku) kepolisian di masa kepresidenan Jokowi. Coba Anda ingat kembali bagaimana perilaku para petugas kepolisian di semua level dalam menyikapi proses pemilihan presiden 2019. Mulai dari masa prakampanye sampai masa kampanye pilpres. Kapolri membawa polisi memihak Jokowi. Tidak semua personel kepolisian setuju memihak, tetapi mereka tidak bisa menentang secara terbuka. Jadi, keberpolitikan kepolisian tidak diragukan lagi. Tidak disangsikan bahwa “political police force” (kepolisian yang politis) adalah ciri yang sekarang melekat di tubuh Polri. Institusi milik seluruh rakyat dan yang seharusnya hanya mengabdi untuk seluruh rakyat itu, berubah menjadi milik penguasa. Berubah menjadi alat pribadi penguasa untuk menyukseskan misi politik mereka. Sekarang, coba kita cermati definisi ‘negara polisi’ menurut Wikipedia. Yaitu, “pemerintah yang menjalankan kekuasaan sewenang-wenang melalui kepolisian”. Nah, menurut anda, apakah Polri hari ini pas dengan definisi itu? Agaknya sulit untuk dibantah memang. Lihat saja apa yang dilakukan oleh polisi dalam menghadapi orang-orang yang beroposisi. Polisi suka menggunakan pasal-pasal ITE untuk hal-hal sederhana. Sedikit-sedikit hoax. Sedikit-sedikit ujaran kebencian, dan lain sebagainya. Belakangan, definisi versi Wikipedia ini tampak dari cara polisi menangani aksi-aksi protes damai apalagi yang tak damai. Kita masih ingat cara polisi menangani aksi 21-22 Mei 2019. Mereka menggunakan cara-cara yang brutal, dengan alasan diserang oleh demonstran. Hebatnya, pernyataan seperti ini diterima begitu saja oleh media massa mainstream. Begitu juga dalam menghadapi rangkaian unjuk rasa revisi undang-undang KPK, RKUHP dan beberapa RUU lainnya dalam sepekan ini. Sekian banyak rekaman video menunjukkan kekajaman dan kebrutalan polisi terhadap para pendemo, yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar. Polisi menjadi sangat arogan. Termasuk ketika mereka mengejar para pendemo di Makassar, sampai ke dalam masjid. Sejumlah personel kepolisian masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu mereka. Meskipun mereka meminta maaf, kasus ini menunjukkan kepongahan polisi. Ini semua memperlihatkan bahwa Indonesia di masa sekarang ini sedang dalam proses menuju “negara polisi” (police state). Para penguasa cenderung sewenang-wenang. Kesewenangan itu dijalankan, antara lain, melalui kekuasaan kepolisian. Persis seperti yang didefinisikan oleh Wikipedia tadi. Kalau praktik-praktik kekuasaan seperti hari ini berlanjut, bisa jadi Indonesia akan terperangkap menjadi “police state”. Bahaya ini bisa dicegah oleh DPR kalau mereka benar-benar membawa suara rakyat. Sayangnya, DPR juga membiarkan proses menuju “negara polisi” itu. Media massa juga seharusnya bisa ikut mencegah, kalau mereka berfungsi dengan baik dan senantiasa independen. Sayangnya, 90 persen media massa membuang akal sehat mereka mengenai masalah ini. Penulis adalah Wartawan Senior
Mengapa Polisi Beringas?
Sekarang, sebutan angkatan bersenjata itu lebih layak dilekatkan kepada polisi. Karena mereka bisa keluar membawa senjata dengan bebas. Anggota TNI, yang justru asli angkatan bersenjata, armed forces, malah tidak boleh membawa-bawa senjata. Oleh Kavil Yamin Jakarta, FNN - Sebagai wartwan senior (pernah jadi wartawan Indonesian Observer, Kantor Berita Francis AFP, dan terakhir Kantor Berita Fhilipina PNA) saya punya beberapa kawan polisi. Semuanya enak untuk berkawan. Bahkan beberapa di antara mereka adalah sahabat dekat. Karena itu, saya jadi heran melihat kebringasan polisi dalam menangani aksi massa mahasiswa dan pelajar belakangan ini. Jangankan kepada pengunjuk rasa yang ‘panas’, kepada pengunjuk rasa yang tertib dan santun pun, seperti aksi 22 Mei lalu, mereka tetap beringas. Saya ingat sewaktu menjadi mahasiwa demonstran di Bandung dulu. Setiap rapat-rapat, kumpulan dan pembicaraan kami, kami tau sekali-kali ada intel polisi nyamar jadi mahasiwa. Pura-pura lewat lah. Pura-pura duduk dekat kami lah. Sebagai tindak balasan, kami pun sekali-kali mengirim intel kami ke pihak polisi. Semancam kontra-intelijen. Caranya tak usah diceritakan di sini. Dari intel kami itulah, kami tau bahwa cara penanganan aksi itu tidak sama. Pengerahan polisi untuk menangani suatu unjuk rasa biasanya didahului oleh laporan intel tentang rencana dan besaran aksi. Bila rencana dan besaran aksi itu masih terhitung di bawah kendali polisi, maka yang keluar adalah perintah penanganan standar. Hanya menjaga dan mencegah tindak pengrusakan atau keributan. Persenjataan pun cukup tameng dan pentungan. Bila ada laporan bahwa jumlah massa besar dan berpotensi kerusuhan, maka peralatan pun lebih lengkap, antara lain penyemprot gas air mata. Dan yang tak kurang penting, semacam asupan obat penambah semangat dan keberanian. Penangkapan dan penanganan keras biasanya dilakukan secepat mungkin sebelum massa bertambah besar. Karena semakin besar massa, semakin sulit ditangani dan risiko kerusuhan semakin tinggi. Intel kami waktu itu mengetahui yang diminum sebelum bergerak ke lapangan itu adalah pil BK, atau amphetamin. Tahun 80-an, pil ini suka diminum bareng vodka atau minuman beralkohol lain oleh anak-anak Bengal. Bawaannya jadi berani dan beringas. Jadi kalo berantem ga bakalan lari. Nah, bayangkan kalo obat ini diminum polisi yang mau menangani unjuk rasa. Dibekali senjata api berlaras panjang pula. Mereka tak akan ragu menembak, memukul, tak peduli sasaran lemah atau tak berdaya. Korban sudah tergeletak sekalipun, masih ramai-ramai dihajar juga. Korbannya bisa sampai geger otak, bahkan meninggal dunia. Rasa tega dan kasihan sudah menguap ke langit. Untunglah pada zaman kami, polisi dipersenjatai terbatas. Paling tinggi pistol. Itupun penggunaannya tak sembarangan. Harus ada laporan berapa peluru yang keluar, berapa yang kena sasaran. Kalau masih ada sisanya, harus dikembalikan. Sehingga, kalau pun ada korban, jarang sekali korban nyawa. Paling benjol-benjol kena pentungan. Kalau sampai ada korban nyawa, sudah dipastikan bakal menjadi masalah besar bagi seisi negeri ini. Sekarang, 5-6 nyawa yang melayang, korban berdarah-darah. Polisi masih aman-aman saja. Paling balik menuduh demonstran. “Mereka itu perusuh” atau “mereka itu ditunggangi”. Cara inilah yang biasa digunakan sebagai bentuk pembelaan diri. Lainnya adalah untuk cuci tangan. Sekarang, sebutan angkatan bersenjata itu lebih layak dilekatkan kepada polisi. Karena mereka bisa keluar membawa senjata dengan bebas. Anggota TNI, yang justru asli angkatan bersenjata, armed forces, malah tidak boleh membawa-bawa senjata. Tragisnya, senjata yang diberikan kepada polisi lebih lengkap dan mutakhir daripada yang diberikan kepada TNI. Orang tau, senjata yang dibawa itu ada auranya. Bila anda bermental lemah tapi menenteng senapan canggih, keberanian anda meningkat drastis. Orang yang menenteng senjata, bawaannya ingin nantang orang aja. Tapi itu bila mentalnya masih lemah. Yang bermental kuat dan dewasa, malah menghindar untuk membawa senjata. Kalau pun harus membawa senjata, itu karena kewajiban semata. Itupun dia berusaha menyamarkannya, supaya tidak menimbulkan ketaknyamanan dan ketakutan bagi orang lain. Pil BK ya. Awas jangan ketuker sama pil KB. Pil BK ini terdiri dari beberapa jenis. Antara lain barbiturate, bromazepam (lexotan), diazepam (valium), flunitrazepam (rohypnol), nitrazepam (mogadon) dan nitradiazepam (nipam). Mengkonsumsi pil BK dengan dosis tinggi mengakibatkan penurunan kesadaran, dan mudah marah. Selian itu, mendorong pemakainya untuk berani melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukannya ketika sadar penuh. Setelah sadar penuh, sipemakai umumnya tidak ingat hal-hal yang dikatakan atau dilakukannya selama terkena pengaruh obat tersebut. Obat ini banyak disalahgunakan karena harganya relatif terjangkau. Jenis lain adalah nuvigil. Pil BK jenis ini bisa membuat sipemakai tetap terjaga dan awas selama tiga hari. Bahkan bisa sampai sepekan. Karena khasiatnya inilah, nuvigil kadang-kadang digunakan oleh militer AS agar tetap awas terhadap musuh. Bila obat untuk militer itu digunakan untuk polisi, maka tingkat keawasan yang ditimbulkannya seperti kewaspadaan terhadap musuh dalam perang. Setiap saat bisa membantai, menembak. Meski yang dihadapinya adalah mahasiwa , ustadz, tenaga medis, atau anak-anak SMK, eeeh, STM. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior
Pembantaian Orang Padang dan Bugis, Serta Runtuhnya Negara di Papua
Kejadian kerusuhan di Wamena ini bisa dibilang aparat keamanan sebagai elemen terpenting negara gagal mengantisipasi kejadian ini. Dari kejadian ini, muncul pertanyaan kita, apakah masih ada perlindungan dari negara kepada warga negara? Bagaimana negara memberikan kepastian atas nasib orang-orang non Papua di tanah Papua? Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun. Kita telah berduka besar atas wafatnya 32 orang pendatang di Papua. Jumlah tersebut, terdiri dari 10 orang Padang dan 22 orang Bugis. Sangat tragis, memilukan dan menyesakan dada, karena beberapa diantaranya dibakar. Pada tanggal 23 September lalu, ada korban setelah dipanah. Setelah itu korbannya dibacok, dan dibakar di sebuah pasar di Wamena. Sebuah priklaku dan perbuatan yang sangat biadab, bahkan tidak berprikemanusiaan. Wamena adalah sebuah kota kecil di wilayah Republik Indonesia. Sampai hari ini Indonesia sebagai Negara, masih dengan Jokowi sebagai presidennya. Kita semua tertutupi oleh kejadian keji ini, karena sibuk dengan gerakan mahasiswa di DPR, di pusat ibukota Jakarta. Persoalan rusuh di Wamena bukanlah suasana perang, dimana Tentara dan Brimob melawan pasukan Benny Wenda, ketua Papua Merdeka. Bukan juga perang melawan kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, perbuatan keji ini adalah pembantaian makhluk hidup yang tidak berdosa. Pembantain terhadap rakyat Indonesia di tanah airnya sendiri. Akar Persoalan Ketegangan di Papua selama ini membesar karena menyangkut keinginan rakyat Papua untuk merdeka. Paska insiden di Asrama Mahasiswa Papua, di Malang, dan Surabaya. Ketika itu mahasiswa Papua diejek secara rasis dengan sebutan monyet. Akibatnya, rakyat Papua bangkit dan bergerak di seluruh tanah mereka, dengan meneriakkan kata merdeka. Kebencian rakyat Papua selama ini sebenarnya bersumber dari kesenjangan sosial antara masyarakat pendatang dan masyarakat pribumi asli. Kekerasan HAM yang ditenggarai terus berlangsung dari aparatur Negara. Bersamaan waktunya, muncul kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua bahwa masuknya Papua ke dalam NKRI pada tahun 1969 melalui Papera (Penentuan pendapat rakyat) masih menysihkan sejumlah masalah. Kesenjangan sosial itu bersifat horizontal diantara masyarakat. Masalah HAM yang bersifat vertikal antara rakyat terhadap negara memunculkan kesadaran baru di akar rumput rakyat Papua. Kenyataan ini terkait dengan bangkitnya kesadaran regional masyarakat Melanesia di wilayah pasifik. Misalnya, Fiji, Vanuati dan Salomon Ketika masalah rasis ini mencuat bulan lalu di asrama mahasiwa Papua di Surabaya dan Malang, telah menjadi pemicu yang menggerakkan pembangkangan rakyat di Papua. Stabilitas kemanan dan politik di Papua mencapai titik terendah. Instabilitas Papua direspon Jokowi dengan mengundang beberapa tokoh-tokoh Papua ke Istana. Sayangnya, Gubernur Papua Lukas Enimbe dan beberapa elit Papua meradang terhadap pertemuan Jokowi dengan tokoh-tokoh Papua. Gubernur Lukas menyatakan orang-orang yang diundang Jokowi ke Istana tidak mempunyai kredibilitas mewakili persoalan Papua. Mereka hanya mewakili kepentingan pribadi dan kelompok mereke. Pendekatan Jokowi selain dialog yang tidak representatif, Jokowi juga mengirim Panglima TNI dan Kapolri ke Papua. Targetnya, Panglima TNI dan Kapolri dapat meredam gerakan-garakan perlawanan rakyat Papua, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Namun, belum sebulan dari kunjungan kedua pimpinan aparatur keamanan ini ke Papua, tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan terjadi di Wamena. Kerusuhan di Wamena yang berkarakter kebencian terhadap masyarakat pendatang ternyata tidak diantisipasi aparat keamanan. Kejadian kerusuhan di Wamena ini bisa dibilang aparat keamanan sebagai elemen terpenting negara gagal mengantisipasi kejadian ini. Dari kejadian ini, muncul pertanyaan kita, apakah masih ada perlindungan dari negara kepada warga negara? Bagaimana negara memberikan kepastian atas nasib orang-orang non Papua di tanah Papua? Gerakan Rakyat ke Rakyat Kematian balita berusia 4 tahun, dan anak kecil 8 tahun diantara orang-orang non Papua yang terbunuh, menunjukkan kebencian rakyat asli Papua terhadap pendatang sangat kental dan berdimensi luas. Kita pernah mengalami kondisi yang sama di masa lalu, ketika orang-orang Jawa diusir dari Aceh. Peristiwa ini terjadi ketika Gerakan Aceh Merdeka mulai bergolak di Aceh. Pembantaian dengan cara penuh kebencian terhadap pendatang Padang dan Bugis, menunjukkan bahwa bangsa Padang, Bugis dan non Papua lainnya, harus mempunyai orientasi baru dalam melindungi diri. Yakni tidak lagi bersandar hanya pada negara . Orang Padang, Bugis dan non Papua ini juga harus menulis surat ke PBB agar menghukum Benny Wenda, OPM dan juga pemerintahan Indonesia atas kegagalan melindungi orang-orang sipil tak berdosa. Hal ini untuk mencegah adanya gerakan yang berkatagori Genocide, alias pembasmian etnis. Kebencian rakyat asli Papua atas pernyataan rasis yang mereka terima dari segelintir orang di Malang dan Surabaya, tidak boleh serta merta mengantarkan mereka membenci orang-orang non Papua di sana. Sebab, orang-orang Indonesia yang pergi ke Papua bukanlah kelompok bersenjata maupun kelompok pembenci rakyat Papua. Mereka adalah orang-orang yang merasa bahwa mencari rejeki adalah usaha yang tidak mengenal batas wilayah. Catatan Akhir Kita sangat terpukul dengan pembantaian etnis non asli Papua, yang terjadi di Wamena. Jokowi tidak boleh mentolerir pembantaian ini. Masalah vertikal dapat didekati dengan berbagai dialog, namun pembantaian etnis haruslah dilakukan dengan kekuatan negara, "at all force dan at all cost." Langkah inilah yang harus segera dilakukan negara. Disamping itu, gerakan antar rakyat Papua dan Non Papua untuk mengeliminir kebencian harus juga dilakukan secara langsung. Inisiatif rakyat ke rakyat langsung antar etnis tanpa menunggu negara hadir. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Institute
Dilema UU KPK, Jokowi Tinggal Sendirian atau "Lengser"?
Etika politik dan pemerintahan itu mengandung misi kepada setiap pejabat. Tujuannya, agar elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati. Selain itu, siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral. Kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Ketika berlangsung demonstasi mahasiswa di Jakarta, diantara corat-coret yang ada di jalan, terlihat sebuah coretan menarik: “Jokowi Kemana??” Pertanyaan nakal pun muncul. Apakah Jokowi sudah meninggalkan Jakarta? Ach, tak mungkin! Jokowi yang dimaksud adalah Presiden Joko Widodo. Jika melihat aksi demo yang menolak beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ditolak rakyat tersebut, apakah Jokowi bakal mundur sebagai Presiden periode 2014-2019, yang berakhir pada 19 Oktober 2019? Ataukah malah tetap memaksa bertahan hingga bersama Ma’ruf Amin, Jokowi akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024? Saya pernah menulis, “Berdasar UUD 1945, Jokowi Tidak Boleh Dilantik!” di Pepnews.com. Dasar hukumnya adalah pasal 6A UUD 1945. Sesuai pasal 6A UUD 1945, mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi. Selian itu, tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang kurang dari ataiu di bawah 20 persen. Paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tidak menang secara nasional (menurut versi KPU dan MK), tapi keduanya menang di 26 provinsi. Tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang dua point versi UUD 1945. Sedangkan Jokowi hanya satu poin. Solusinya:,MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo – Sandi. Bukan melantik Jokowi – Ma’ruf. Jika MPR ngotot melantik Jokowi, itu jelas melanggar UUD 1945. Rangkaian pertemuan Prabowo dengan Presiden Jokowi, dilanjutkan pertemuan Prabowo dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Prabowo. Setelah itu, dengan mantan Kepala BIN AM Hendropriyono, perlu dicermati. Pasti ada tujuannya. Kabarnya, setelah bertemu dengan Hendro, Prabowo juga akan bertemu dengan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Adakah pembicaraan yang sangat penting dalam pertemuan-pertemuan tersebut? Sudah pasti ada! Baik Jokowi, Megawati, maupun Hendro dan SBY, sebenarnya sudah tahu. Meski paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dinyatakan sebagai pemenang Pilpres, 17 April 2019. Namun ternyata berdasarkan UUD 1945 mereka tidak bisa dilantik. Kalau Jokowi – Ma’ruf tetap dilantik, maka MPR justru melanggar konstitusi (pasal 6A UUD 1945 itu). Karena itu, kedudukan UUD 1945 ditempatkan di posisi tertinggi sumber hukum. Sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Artinya, kalau ada aturan perundang-udangan yang bertentangan dengan UUD 1945, maka bisa dinyatakan batal demi hukum. Secara hukum, MPR wajib patuh pada perintah UUD 1945, karena kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Semua undang-undang, Peraturan, Keppres, dan Kepmen wajib patuhi UUD 1945. Yang bertentangan dengan isi UUD 1945, harus dibatalkan atau gagal demi hukum. Inilah yang dibahas ketika pertemuan Prabowo dengan Megawati, Hendro, dan SBY nantinya. Tak hanya itu. Melansir Tribunnews.com, Kamis (15 Februari 2018 09:54), anggota BPIP Mahfud MD yang juga pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta dalam sebuah talkshow di televisi swasta menyatakan “kalau sudah mendapat cemoohan masyarakat, menurut TAP MPR No.6 Tahun 2001, seorang pemimpin kalau sudah tidak dipercaya masyarakat, kebijakannya dicurigai menimbulkan kontroversi, enggak usah menurut hukum, saya belum salah gitu. Mundur!” Begitu pula halnya yang tercantum dalam Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Persoalan etika, moral dan norma harus ditempatkan di atas kaidah-kaidah hokum yang berlaku. Bakan yang terjadi sebaliknya. Etika politik dan pemerintahan itu mengandung misi kepada setiap pejabat. Tujuannya, agar elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati. Selain itu, siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral. Kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata karma. Dalam perilaku politik yang toleran. Tidak berpura-pura, tidak arogan, serta jauh dari sikap munafik. Tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Jokowi Sendirian Tidak salah, kalau dalam demo mahasiswa terkait Revisi undang-undang KPK dan sebagainya itu, kemudian terselip tuntutan agar Jokowi mengundurkan diri. Dan, untuk tuntutan terkait undang-undang KPK, sepertinya Jokowi akan terbitkan Perpu KPK. Isinya membatalkan revisi undang-undang KPK atau menuundanya. Legislasi reviews dan judicial reviews kemungkinan besar tidak jadi direkomendasi. Artinya, yang akan dilakukan untuk meredam demo mahasiswa adalah tetap diterbitkan Perpu KPK. Salah satu alasan politiknya, presiden tidak tahu jika revisi undang-undang KPK tidak ada dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Karena Prolegnas merupakan syarat hukum untuk proses penerbitan undang-undang dan revisi undang-undang. Sampai disini, yang kalah adalah DPR. Konsekuensi dan resiko jika penerbitan Perppua adalah Jokowi akan ditinggalkan oleh partai-partai pengusungnya. PDIP, Golkar, PPP, PKB, dan NasDem sebagai parpol yang memotori revisi undang-undang KPK akan membelakangi Jokowi. Sampai disini Jokowi berpotensi akan sendirian dalam memimpin pemerintahnya lima tahun ke depan. Apalagi, seperti disampaikan Megawati sebelumnya bahwa “PDIP lebih nyaman dengan koalisi barunya”. Partai Gerindra adalah koalisi barunya PDIP. Makanya, pertemuan Prabowo dengan Megawati tersebut merupakan sinyal bahwa Jokowi akan ditinggalkan oleh PDIP. Mantan Ketua KPK yang juga Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan, persetujuan Istana terhadap DPR untuk revisi undang-undang KPK sebagai bukti tindakan radikal. Sikap ini juga sebagai bentuk penghianatan Presiden bersama DPR terhadap daulat rakyat. Wajar jika kemudian ada tuntutan Jokowi harus turun. Karena dianggap telah melakukan pengkhianatan bersama DPR. Dalam tiga pekan terakhir ini isu politik memang berpusat di DPR dan Jokowi. Misalnya, isu revisi undang-undang KPK, RUU KUHP, RUU Pesantren, RUU P-KS, RUU Pertanahan dan beberapa RUU sensitif lainnya, yang menuai banyak perdebatan. Demonstrasi mahasiswa juga tak hanya di Jakarta, tetapi merambah di beberapa kota besar Indonesia. Korban berjatuhan. Dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari Immawan Randi dan M. Yusuf Kardawi menjadi korban tewas. Mereka berdua ikut demo dan unjuk rasa mahasiswa yang digelar di depan DPRD Sulawesi Tenggara, Kamis (26/9/2019). Sebelumnya, dalam aksi mahasiswa di DPR RI, seorang korban mahasiswa Universitas Al Azhar bernama Faisal Amir, kini masih dirawat di RS Pelni Petamburan, Jakarta. Faisal disebut-sebut sebagai keponakan dari Menham Ryamizard Ryacudu. Kembali ke soal undang-undang KPK di atas. “Mengapa undang-undang KPK hasil revisi dibatalkan?” tanya Ketum DPP IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) Bambang Sulistomo kepada Pepnews.com. Menurut putra Pahlawan Bung Tomo itu, adanya badan pengawas sebenarnya menisbikan sendiri hasil seleksi yang ketat dari kehormatan dan integritas sebuah panitia seleksi, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga kepresidenan. “Artinya, pimpinan KPK hasil seleksi itu dianggap tidak dipercaya oleh lembaga-lembaga yang memilihnya sendiri. Sudah pasti badan pengawas akan mencampuri pokok-pokok perkara yang akan digarap KPK,” tegasnya. Mas Bambang menilai, ini sangat berbahaya. Sebab tidak ada contoh di manapun, sebuah badan pengawas bisa mencegah penegak hukum untuk mengumpulkan bukti-bukti tindakan korupsi. Apalagi, kelahiran undang-undang KPK hasil revisi tersebut dianggap para pakar hukum sudah cacat konstitusi. “Mumpung undang-undang KPK hasil revisi itu sampai hari ini belum ada informasi telah ditandatangani oleh lembaga kepresidenan, sebagaiknya batalkan saja demi keutuhan NKRI!” Sebuah pilihan yang sulit bagi Jokowi. Diteruskan akan berhadapan dengan mahasiswa! Tak diteruskan dengan Perpu KPK, bakal ditinggal Parpol Koalisi. Apalagi, BEM se-Indonesia menolak undangan pertemuan dengan Presiden Jokowi. Penolakan ini sebagai pertanda Jokowi sudah tidak dihargai lagi sebagai Presiden. Tentu, lebih bijak jika Jokowi mundur. Karena kepemimpinannya sudah “dicemooh oleh rakyat sendiri”. Penulis adalah Wartawan Senior
Papua Yang Terluka Dalam Nestapa
Disamping itu, konsensus politik 1969 yang disebut Pepera dilaksanakan di bawah tekanan Indonesia. Pelaksanaan Pepera dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila, yakni Musyawarah Mufakat. Sistem ini tentu saja berbeda dengan standar internasional yang menganut one man one vote sesuai New York Agreement. Oleh Natalius Pigai Jakarta, FNN - Jika kita berbicara mengenai Papua, kita selalu asosiasikan dengan kekerasan, kebodohan, ketelanjangan, kemiskinan. Seakan-akan Papua identik dengan dunia kelam, dan penuh masalah. Papua juga mengandung sekelumit masalah yang mengancam integritas nasional. Saban hari media massa nasional, sukar sekali memuat berita-berita mengenai keberhasilan, kesuksesan, dan harapan kehidupan masa depan masyarakat Papua. Sebuah harapan dan keinginan yang mampu membawa mereka ke dalam tatanan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang sejahtera, aman dan tenteram. Apakah pandangan kita terhadap Papua dengan konotasi yang minus ,dan negativ adalah ungkapan atas realitas masyarakat Papua saat ini? Maka pertanyaan, siapakah yang harus paling bertanggungjawab atas keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan tersebut? Ada kecendrungan upaya integrasi yang dibangun dengan sikap represi militer para pejuang trikora ternyata sebatas integrasi Sumber Daya Alam (The Natural Resources Integrated). Sementara manusianya diabaikan merana di atas kelimpahan kekayaannya sendiri. Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan keinginan Soekarno, yang ingin memerdekakan manusia Papua agar mereka menjadi tuan di atas tanah mereka sendiri. Pemikiran di atas inilah yang mendorong saya untuk menyampaikan bagaimana kita memandang persoalan Papua secara komprehensip. Mesikipun kita telah memberikan Otonomi Khusus Papua. Namun tragedi demi tragedi kian menambah duka lara, jeritan-rintian, ratapan, kesedian, dan akibat penculikan dan pemunuhan oleh klik-klik misterius. Pasukan berlaras lalu-lalang saban hari, dari petang dan pagi. Adalah sia-sia meskipun upaya simpatik melalui Otonomi Khusus yang diberikan bertepatan dengan Hari Natal bukanlah sebagai sebuah “Kado Natal” yang merupakan ritualitas tertinggi agama. Sesungguhnya Papua Barat sebuah negeri yang terluka dalam nestapa akhibat penetrasi kapitalisme yang diikuti oleh penetrasi Kekuasaan Negara (Hegemini Militer dan Sipil). Apabila pemerintah mau menyelesaikan persoalan Papua secara mendalam dan menyeluruh, maka berhentikan semua sistem pendudukan melalui berbagai cara, termasuk pemekaran. Persoalan di Papua akan lebih baik bila menyelesaikan dua persoalan mendasar yakni. Pertama, peninjauan kembali terhadap realitas sejarah disertai berbagai persoalan HAM, termasuk “rasisme” yang merupakan bagian dari penyelesaian politik. Kedua, penyelesaian disparitas regional, terutama kapasitas sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Trauma Yang Masih Berbekas Konflik politik di Papua ini tidak begitu saja jatuh dari langit. Ada akar historisnya, dan akar historis tersebut tidak jarang bermula dari sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari sejarah kolonialisme. Yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda dan imperialis Indonesia (dianggap). Integrasi politik atas wilayah Papua hingga kini masih belum mantap. Kenyataan ini disebabkan klaim Indonesia dan Belanda terhadap Papua. Klaim tersebut, baik melalui jalur diplomasi maupun juga konfrontasi. Dipenuhi dengan sikap kooporatif antar penguasa ketika itu. Sikap yang dilahirkan hanya demi membendung kepentingan dan pengaruh ideologi komunisme internasional. Kebetulan ideologi komonis yang tidak simpatik di lubuk hati orang Papua. Proses integrasi politik tidak pernah melibatkan rakyat Papua. Dari setiap perundingan, rakyat Papua hanya bertindak sebagai objek. Bukan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan. Lebih ironis lagi adalah pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No. 1541 (XV)) tahun 1960. Dimana pada waktu yang bersamaan, di Papua Barat telah menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan. Disamping itu, konsensus politik 1969 yang disebut Pepera dilaksanakan di bawah tekanan Indonesia. Pelaksanaan Pepera dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila, yakni Musyawarah Mufakat. Sistem ini tentu saja berbeda dengan standar internasional yang menganut one man one vote sesuai New York Agreement. Alasan Indonesia bahwa penyelenggaraan musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan peradabaan hidup yang masih primitive. Anggapan ini merupakan pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution No. 1514 (XV) yang menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya harus diakhiri. Dengan demikian, alasan belum adanya kesiapan dari kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan Pepera yang menggunakan sistem Muasyawarah Mufakat itu adalah munculnya ancaman serius dari kelompok yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak itu pemerintah Jakarta mulai memantapkan labilitas integrasi politik dengan menempatkan orang Papua di dalam kubangan hegemoni negara. Karena itulah sepanjang berintegrsi dengan Indonesia, rakyat berontak melalui berbagai aksi kerusuhan. Berbagai pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan, yang semuanya ditujukan kepada objek yang sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang luar Papua). Pendatang dianggap merupakan bagian integral dari kesatuan komunitas politik bangsa Indonesia. Pembunuhan terhadap orang sawo matang, sebagaimana terjadi hari-hari ini di Wamena dan beberapa wilayah di Papua adalah ekspresi perlawanan terhadap Jakarta. Kenyataan ini merupakan uangkapan rasa kekecewaan serta kebencian dari trauma historisme dan sejarah. Trauma penderitaan bangsa Papua (the history of sadness) terhadap pemerintah negara-kebangsan Indonesia. Oleh karena itu, saya menawarkan agar diberikanlah opsi kepada rakyat Papua Barat untuk membuktikan sejauh mana keinginan nurani mereka. Merupakan suatu upaya menegakkan demokrasi yang tentu saja akan mendapat simpati dunia. Kita lihat Kanada, yang selalu memberi opsi kepada negara bagian Quebec yang berbahasa La Francophonie, keturunan Ferancis. Namun selalu saja gagal, dan akhirnya tidak mendapat simpati dunia. Disparitas Ekonomi dan Sosial Tidak dapat disangkal bahwa rakyat Papua kaya akan sumber daya alam. Namun sesungguhnya mereka adalah yang termiskin di abad ini. Kita mulai menentukan tolak ukur kemiskinannya dengan kain kebaya (busana Jawa kampong). Namun orang Papua sedang berada dalam ketelanjangan koteka (busana Papua Gunung) dan keterisolasian (The stone age period society in 21t century). Kondisi masyarakat jaman batu, di abad ke dua puluh satu dulu. Kalau kita tinjau kembali kebijakan pembangunan di Papua sejak awal integrasi, maka ternyata jauh dari paradigma pembangunan yang sebenarnya. Karena misi pembangunan yang sarat dengan nuansa politis. Hal ini terlihat pada kebijakan pemerintah Jakarta yang memfokuskan perhatian pada pembangunan sosial dan ekonomi yang dilaksanakan secara politis. Sejak tahun 1963-1969 di masa transisi, ada nuansa pembangunan. Misaslnya, pendirian sekolah-sekolah, dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi (Universitas Cendrawasih). Pembangunan sarana dan prasarana infrastuktur, pengembangan sumber daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di pos-pos pemerintahan. Namun seluruh kebijakan sosial ekonomi dikendalikan oleh militer dengan adagium binomialnya, yakni Keamanan dan Pembangunan. Militer menjadi panglima dalam seluruh pengambilan keputusan akhir. Pembangunan dengan program task forces dan bantuan dana Fundwi serta ADB. Sayangnya, dana-dana tersebut dialokasikan ke dana pertahanan dan keamanan. Dampaknya adalah dana untuk pembangunan sosial dan ekonomi sesungguhnya diabaikan. Karena itu tidak mengherankan sampai bila pada saat ini rakyat Papua berada dibawah garis kemiskinan. Implikasinya adalah pemerintah mengabaikan pembangunan sosial ekonomi. Pertimbangannya, orang Papua tetap berada pada kondisi stagnan agar dikemudian hari terjadi perubahan jumlah populasi. Misalnya, tingkat harapan hidup diperpendek. Selian itu, tinggkat pertumbuhan diperlambat. Angka juga kematian bertambah. Epidemi penyakit merajalela, menuju uniformitas etnik, kultural, kesenian, ermasuk juga sistem sosial budayanya. Maka adagiun unitarianisme unity in diversity menjadi legenda dan imajinasi di abad ke 20 yang berlalu. Namun hal ini bisa diatasi dengan pelaksanaan kebijakan secara serius dan sungguh-sungguh. Perlu Good Will dan Political Will Akankah Indonesia tetap berkibar? Atau akankah Papua Barat tetap bertahan? Ini adalah sederatan pertanyaan yang sangat signifikan dengan dinamika politik bangsa ini. Ancaman serius sudah mulai berdatangan dari wilayah-wilayah yang memiliki trauma historisme di masa lampau. Kondisi yang serius ini disertai dengan ketertinggalan di bidang sosial ekonominya. Adakah niat baik dikandung anda untuk mengoreksi kesalahan masa lampau? Juga menentukan kebijakan yang tepat, cepat dan menentukan untuk mengobati duka lara, tangisan, ratapan, rintihan dan harapan mereka? Siapa yang pernah membayangkan bahwa Uni Sovyet, negeri adikuasa sebagai pengendali persenjataan nuklir pengembangan strategis, nuclear deterrent yang disebut MAD (Mutual Assured Destruction): dengan "trisulanya" (TRIAD), yang memiliki rudal balistik luncur darat antar benua. Mempunyai kapal-kapal selam berudal nuklir (polaris), dan armada pemboman strategis, disertai persenjataan terlengkap lainnya, bisa saja bubar seperti sekarang ini. Saya berfikir ada dua kemungkinan bagi Indonesia di masa datang. Pertama, Indonesia menjadi sebuah negara demokratis yang disertai labilitas integrasi politiknya tinggi. Kedua, menjadi ukiran sejarah abad mendatang. Sriwijaya adalah kerajaan nusantara pertama runtuh. Kemudian muncul kerajaan Majapahit sebagai kerajaan nusantara kedua juga runtuh. Pada pertengan abad ke 20, muncul sebuah negara yang memiliki wilayah kartografis. Juga menyerupai kedua kerajaan di atasnya, yakni Indonesia Raya. Maka, baik Sriwijaya, Majapahit dan Indonesia Raya menjadi sebuah legenda dan romantisme sejarah anak cucu manusia Nusantara. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dan Pembela Orang Lemah
Selamat Jalan “Pahlawan Gerakan Mahasiswa Millenial” Randi dan Yusuf
Semestinya kematian Randi dan Yusuf menjadi peringatan dini, dan bahan evaluasi tentang buruknya menghelola pemerintah mengelola demokrasi dan perbedaan pendapat. Buruknya kekuasaan yang menutup telinga dari suara publik. Saluran politik yang disumbat dengan pendekatan represif hanya akan membuat gelombang perlawanan kekuatan masyarakat sipil yang makin bertambah lebih besar. Oleh Andi W. Syahputra Jakarta, FNN - Senjata itu akhirnya memakan korban. Randi, mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari tewas. Rendi meninggal karena tertembus timah panas. Polisi telah merenggut nyawanya Randi. Sontak sore itu wajah gerakan mahasiswa Indonesia berduka. Selang beberapa jam kemudian, M. Yusuf Kardawi, seorang mahasiswa di kampus yang sama mengalami nasib serupa. Yusuf tewas akibat besetan benda tajam yang dilecutkan kepada dirinya. Ketika itu Yusuf ikut melakukan aksi demonstrasi tolak rancangan KUHP dan revisi undang-undang KPK di Kendari, kemarin sore (26/9/2019). Kedua mahasiswa itu gugur sebagai martir. Peristiwa 26 September 2019 boleh jadi merupakan tonggak yang mempercepat akumulasi resistensi mahasiswa terhadap kekuasaan Jokowi. Segera selepas DPR mensahkan revisi undang-undang KPK, dan mengandekan pembahasan rancangan KUHP dalam Paripurna pekan kemarin itu. Rezim Jokowi telah menggilas kelompok yang dianggap menolak kemauan penguasa. Utamanya para mahasiswa. Perlakukan aparat keamanan yang tidak manusiawi terhadap mahasiswa membuat mereka bergemuruh. Mahasiswa menolak kehadiran aparat yang bertindak represif terhadap demonstrasi mereka. Tidak cuma itu. Bersama kelompok masyarakat lain terutama pelajar STM, mahasiswa sebetulnya gerah melihat kelakuan Jokowi yang mulai otoriter dan represif. Tidak seperti biasanya, dengan wajah yang murah senyum dan ramah. Jokowi kini mulai memainkan kartu kekerasan dalam menindak kelompok yang berbeda haluan dengan pemerintah. Pada penghujung periode pertama kekuasaannya, Jokowi yang boleh dibilang masih balitatersebut, pelan-pelan mulai menampakkan wajah tak ramah kepada yang berlawanan. Melalui operasi-operasi intelejen, penguasa memberangus oposisi, dan gencar melakukan politik belah bambu. Sedianya gerakan mahasiswa 2019 yang diproklamirkan di tengah hiruk-pikuk aksi serentak di 17 kota 25 September 2019. Gerakan ini muncul selepas mereka tidur panjang. Semula hanya dimaksudkan sebagai moral force tanpa sedikitpun menyentuh kekuasaan Presiden. Mereka hanya hendak mengawal para wakil rakyat agar tak gegabah dalam mensahkan undang-undang yang akibatnya punya konsekuensi serius di masa depan pemberantasan korupsi. Dua rancangan undang-undang itu dinilai banyak mengekang kebebasan wilayah privat. Sebaliknya, meringankan hukuman penjara bagi para koruptor maling uang rakyat. Selain itu, membuka celah intervensi negara terhadap wilayah kehidupanpribadi. Semua rencana aturang tersebut dinilai akan membreidel kehidupan mereka kelak. Mereka sadar bahwa 10 -20 tahun ke depan, mereka akan tampil sebagai penerus kepemimpinan. Mereka tak ingin masa depannya dibajak. Kesadaran inilah yang kemudian memunculkan gerakan “Gejayan Memanggil” dan berikutnya diikuti oleh aksi-aksi besar di 17 kota seantero Republik ini. Gerakan yang tak hanya dikuti oleh civitas akademika. Aksi mahasiswa juga mendapat restu dari orang tua mereka. Tidak salah bila seorang aktivis senior panutan sempat berujar, “telah lahir gerakan mahasiswa milenial 2019”. Aksi demonstrasi 25 September 2019 yang merupakan puncak protes, sekaligus kebangkitan mahasiswa mileneal itu faktanya berakhir tragis. Beberapa kota ketika aksi demonstrasi berlangsung damai, aparat keamanan melakukan provokasi dan tindakan represif terhadap mereka. Walaupun demikian, tidak ada perlawanan berarti dari para mahasiswa. Tindakan represif itu rupanya terus dilanjutkan dalam penanganan aksi-aksi demonstrasi pada hari-hari berikutnya. Puncaknya adalah Randi dan M. Yusuf Kardawi menjadi kado pahit bagi gerakan mahasiswa milenial. Mereka berdua gugur akibat perlakuan kasar dan represif aparat keamanan yang semestinya menjaga aksi-aksi mereka dengan penuh kesabaran dan penghormatan terhadap HAM. Atas nama stabilitas, tindakan represif boleh dilakukan. Tujuannya untuk menopang kekuasaan Jokowi dalam hari-hari lima tahun ke depan. Kekuasaan yang semula dinilai berwajah santun ternyata menyimpan bara kekereasan yang brutal dan bringas. Tindakan represif yang brutal dan bringas pemerintah Jokowi tidak hanya dalam menghadapi aksi-aksi mahasiswa kemarin saja. Beberapa kasus dalam suasana Pemilu, tindakan represif yang brutal dan bringas juga dilakukan. Sebut saja, peristiwa rusuh 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu. Ratusan warga sipil hilang dan puluhan diantaranya meninggal diterjang timah panas. Tentu kita tak berharap tindakan represif yang brutal dan bringaas itu langgeng digunakan dalam aksi-aksi mahasiswa ke depan. Randi dan M. Yusuf Kardawi adalah martir pertama bagi gerakan milenial. Kematiannya akan menjadi inspirasi perlawanan baru. Bahkan mungkin bisa menjadi rusuh politik pertama dalam sejarah pergerakan mahasiswa milenial pada era Jokowi. Semestinya kematian Randi dan Yusuf menjadi peringatan dini dan bahan evaluasi tentang buruknya pemerintah mengelola demokrasi dan perbedaan pendapat. Buruknya kekuasaan yang menutup telinga dari suara publik. Saluran politik yang disumbat dengan pendekatan represif hanya akan membuat gelombang perlawanan kekuatan masyarakat sipil yang makin bertambah lebih besar. Kapanpun perlawanan itu akan meletup dalam bentuk lain. Bisa berupa amuk, rusuh, dan amarah publik yang tak terduga sebelumnya. Intrik politik dari lingkar dalam kekuasaan yang tak mampu terselesaikan secara terbuka juga menjadi salah satu pemicu. Intrik ini akan melahirkan aksi main tikam belakang, yang sejatinya menjadi penyebab semua persoalan hari ini. Karena itu, reformasi politik 1998 adalah berkah yang tak boleh kita ingkari. Korupsi adalah komitmen bersama segenap bangsa yang mesti dilawan dengan tegas dan ketat. Sengkarut ekonomi dan politik tak dengan sendirinya pupus, kendati pemberantasan korupsi diketatkan. Dengan menggunakan pilihan politik demokrasi, sebuah persoalan bangsa bisa diatasi. Diselesaikan melalui mekanisme terbuka, adil dan penghormatan terhadap HAM. Pada panggung demokrasi itu, kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai penyeimbang dan alat koreksi. Kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat juga mendapat termpat yang mulia di panggung demokrasi. Oleh sebab itu, siapapun yang berkuasa hari ini jangan pernah bermimpi mengembalikan Indonesia ke masa lalu. Jangan pernah membunuh demokrasi dengan timah panas sebagai alat represif. Budayakan bangsa ini menyelesaikan setiap perbedaan pendapat dengan dialog. Bangsa ini butuh tokoh-tokoh muda kritis berintegritas untuk menyampaikan pesan kebangsaan. Untuk menuntaskan pekerjaan rumah reformasi yang belum tersentuh dan terselesaikan. Selamat jalan wahai “Pahlawan Gerakan Mahasiswa Millenial” Randi dan M. Yusuf Kardawi. Semoga adinda berdua khusnul khotimah di sisi Allah SWT, amin amin amin. Penulias adalah Praktisi Hukum dan Mantan Aktivis ‘98
Aturan Yahudi Menghancukan Rumah Tangga Indonesia
By Mohammad Naufal Dunggio Jakarta, FNN - Betapa bernafsunya para penghancur NKRI. Dengan segala cara mereka berupaya mau menghancurkan bangsa Indonesia. Bukan hanya dari sisi penegakkan hukum terhadap para koruptor, tetapi juga pada aturan berumah tangga. Mereka berusaha mengcopy dan menciplak semua aturan-aturan Yahudi. Dan dengan atas nama Hak Asasi Manusia (HAM), mereka bawa aturan-aturan Yahudi ke Indonesia untuk menjadi undang-undang Sekitar 21 tahun lalu, tepatnya di tahun 1998, sewaktu masih sekolah di Amerika, atas saran dan usaha teman warga Indonesia, ada keinginan penulis untuk membawa keluarga tinggal di Amrika. Tetapi rencana tersebut urung dilaksanakan. Karena ada urusan perundang-undang di Amerika yang menyatakan istri bisa penjarakan suami kalau memaksa istri melakukan hubungan suami istri. Nah bisa bahaya saya. Namun itulah orisinil aturan Yahudi yang dipraktekan di Amerika. Sehingga keharmonisan dan kesakralan rumah tangga sangat jarang ditemukan di Amerika. Sebab dengan aturan itu, banyak wanita atau para isteri di Amerika menjadi durhaka sama suaminya. Dan akibatnya, angka kumpul kebo jangan tanya lagi. Namun demikian, ada satu fenomena menarik yang terjadi disana. Yaitu para pria Amerika, umunya Afro Amrika senang menikah dengan wanita Indonesia yang eks Tenaga Kerja Wanita (TKW). Yang lebih menakjubkan lagi adalah para pria Amerika itu mengikuti agama istrinya, yakni dengan masuk Islam. Mereka kalau bikin acara untuk kumpul-kumpul untuk silaturahmi, selalu di hotel bintang lima. Penulis pernah bertanya kepada salah satu staf KBRI di Washinton, “kenapa para wanita kita bisa seperti itu”? Mereka sangat dimuliakan oleh suaminya orang Aemrika tersebut? Staf KBRI itu menjawab bahwa “para wanita kita itu pintar dalam melayani suami, seperti dalam aturan Islam”. Bukan seperti wanita sini yang pakai aturan Yahudi. Wajar saja kalau suami mereka begitu sangat memuliakan istrinya yang asli Indonesia. Kebetulan penulispun menyaksikan sendiri suasana tersebut secara langsung. Karena mereka suka panggil penulis untuk mengisi acara-acara pengajian di peguyuban mereka. Anehnya, di Amerika sendiri masyarakatnya sudah merasa bosan dan jenuh dengan aturan Yahudi ini. Kita malah sok-sokan mau menerapkan aturan sampah ini di Indonesia. Alasan yang digunakan adalah mereka berlindung dibalik isu hak asasi manusia. Yang lebih menyedihkan lagi, para wanita berjilbab tampil di depan sebagai agen utama penerapan aturan iblis ini, bangga mengaku-ngaku diri Islam. Inilah salah satu cara ingin menghancurkan rumah tangga rakyat Indonesia. Terutama rumah tangga kaum muslimin. Aturan-aturan Yahudi mereka bawa ke negeri ini dan dipaksakan jadi undang-undang melalui anggota DPR yang rakus dengan duit, karena sudah mau habis masa jabatannya. Undang-undang ini sama berbahaya dengan kebodohan merevisi undang-undang tentang KPK. Dua-duanya ingin menghancurkan peradaban yang beradap di negeri ini. Untuk itu, kita bangsa Indonesia harus melawan dengan segala cara untuk menggagalkan penerapan kedua undang-undang tersebut. Perlawanan juga wajibn dilakukan juga terhadapa rancangan undang-undang lain yang merugikan rakyat Indonesia. Tidak terkecuali terhadap rancangan undang-undang yang mengatur denda Rp 10 juta bila binatang peliharaan berkeliaran bebas di luar rumah. Sehingga mulai sekarang merka yang pelihara ayam pun harus hati-hati, karena bisa kena denda Rp 10 juta. Denda terhadap ayam yang berkeliaran Rp 10 juta. Sedangkan perbuatan memaksa istri berhubungan badan (perkosa istri) juga bisa dipenjara selama 12 tahun. Jadi, ayam berkeliaran dan perkosa bini hukumannya begitu berat. Sungguh undang-undang yang bernuansa primitive, karena merendahkan derajat manusia yang sudah dimuliakan oleh Sang Maha Memuliakan manusia, Allah SWT. Persoalan demi persoalan menyesakan kini menguras akal sehat rakyat Indonesia di rezim ini. Persoalan seakan tak henti-hentinya datang silih berganti. Kalau sudah begini, ini rezim harus dihentikan kalau Indonesia mau maju. Kalau Indonesia mau meminimalisir masalah. Namun bila yang mau tetap bertahan dengan kondisi ini, maka biarkan saja rezim ini berlanjut dua priode. Tunggu kehancuran bangsa ini. Semoga tidak terjadi dan berakhir sampai disini. Hanya kepada Allah jualah kita berserah diri. Wallahu A'lam bissawab ... Penulis adalah Ustadz Kampong