OPINI

Hati-hati, Islam Itu Milik Allah Subhanahuwata'ala

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Saya yakin Anda mengamatinya dengan saksama. Sedang ada upaya untuk memojokkan Islam dan umat Islam. Khususnya umat Islam garis lurus. Ada konspirasi untuk menjelek-jelekkan umat Islam. Yang bertujuan agar umat Islam merasa risih dengan Islam. Mereka rekayasa berbagai peristiwa yang membuat persepsi tentang Islam menjadi buruk. Islam akan dilihat radikal. Ektrem. Suka tindak kekerasan. Tidak toleran. Sangar, dlsb. Sejalan dengan rekayasa persepsi negatif itu, mereka berupaya melakukan desain ulang Islam. Membolak-balik ajaran Islam dengan kedok naskah akademik. Menerbitkan buku-buku ilmiah populer yang menyesatkan dengan bungkus Islam sejuk. Mereka ingin melihat umat Islam yang ‘compatible’ (bisa cocok) dengan segala macam budaya dan syahwat kemanusiaan. Yaitu, umat Islam yang toleran. Sehingga, tidak ada lagi “bagiku agamaku, bagimu agamamu”. Mereka ingin sekali menciptakan kondisi “agamaku adalah agamamu, agamamu adalah agamaku juga”. Ini yang mereka sebut toleransi. Umat Islam tidak lagi beridentitas. Umat Islam harus seperti mereka. Mereka ingin agar umat Islam di masa depan tidak lagi menutup aurat. Tidak lagi sholat. Tidak lagi hirau dengan halal-haram. Tidak lagi mengenal pernikahan, dlsb. Mungkinkah konspirasi kalian akan sampai ke titik ini? Itu sepenuhnya tergantung pada kehendak Allah SWT. Yang pasti, seperti dijanjikan Allah, Dia sendirilah yang langsung menjaga Islam. Allah mengatakan, Dia rihdo (suka, senang, rela) kepada Islam. Karena ridho kepada Islam, tentulah Allah juga ridho kepada umat Islam. Oleh sebab itu, Allah pasti juga akan menjaga dan melindungi umat Islam. Seperti dijudulkan di atas, hamba-sahaya hanya ingin menyampaikan kepada semua orang, baik yang mengimani al-Quran maupun yang tidak, bahwa Islam itu milik Allah SWT. Bukan milik para ustad. Bukan juga milik para ulama. So, be careful. Hati-hatilah. Be thoughtful. Renungkanlah. Nah, pesannya apa? Pesannya sangat jelas dan lantang. Yaitu, mau kalian buat apa pun terhadap Islam, kalian akan berhadapan langsung dengan Allah SWT. Bukan berhadapan dengan para ulama. Juga bukan para ustad atau kiyai yang akan menghadang kalian. Tapi, Allah langsung. Mereka ini, para ulama, ustad, kiyai, bisa saja kalian habisi. Jika Allah izinkan. Tapi, mungkinkah cahaya Islam kalian padamkan? Mustahil itu. Allah berjanji bahwa itu pasti tidak bisa kalian lakukan. Kalian bisa mencoba macam-macam cara untuk mereduksi Islam. Tapi, Allah “terlanjur” bersumpah bahwa dia tidak akan membiarkan usaha kalian berhasil. Malahan, Allah menegaskan bahwa Dia akan menyempurnakan cahaya itu walaupun kalian lawan sekeras-kerasnya. Sekarang, kalian lakukan segala macam upaya untuk merusak Islam dan umat Islam. Ada kampanye sitgmatisasi negatif seperti membingkai orang Islam sebagai pelaku terorisme. Islam radikal, ekstremis, intoleran, dll. Termasuk juga upaya untuk menjadikan kalimat Tauhid sebagai momok yang harus dijauhi oleh orang Islam. Dengan berbagai cara, kalian berusaha agar kalimat Tauhid tidak lagi diusung. Tidak lagi diteriakkan. Terus, ada pengekangan dakwah seperti pembubaran pengajian, daftar ustad radikal, larangan mengundang ustad-ustad garis lurus, intimidasi, dll. Kalian lakukan juga upaya penyempitan edukasi Islam, termasuk penghapusan cerita-cerita perang jihad di zaman Rasulullah SAW dari buku sejarah Islam. Lalu, ada yang mencoba menyelipkan pesan-pesan pluralisme lewat buku bacaan untuk anak sekolah atau bacaan umum. Dan banyak lagi cara lainnya. Bahkan ada cara yang keji, yang sangat kotor. Termasuk, patut diduga, skenario penghancuran generasi muda Islam melalui pengedaran narkotika. Banyak yang menjadi pemakai narkoba .Penghancuran akhlak melalui inseminasi gaya hidup bebas. Ada pula upaya pengajaran konsep Islam Nusantara. Tujuannya agar kaum muslimin di Indonesia mempraktekkan Islam dengan konten dan kemasan lokal. Kalian dukung para propagandis yang menyampaikan berbagai narasi keliru tentang Islam. Sampai ada liberalis yang berani mengatakan bahwa hafiz (penghafal) al-Quran itu tidak lagi diperlukan karena sekarang sudah banyak alat bantu digital. Ada pula yang berani membuat thesis doktoral bahwa perzinahan tidak haram. Sedikit-banyak, kerusakan akibat skenario kalian itu memang terjadi juga. Banyak orang Islam yang tak suka Islam garis lurus. Banyak yang memakai identitas liberal. Hidup bebas seperti yang kalian ajarkan. Mengamalkan seks sejenis atau hidup bersama pasangan berkelamin sama. Banyak juga yang termakan oleh propaganda kalian. Di front lain, kalian juga sangat aktif mempersekusi dan mengkriminalisasikan para ulama, ustad, kiyai, maupun habaib. Karena mereka ini pengawal Islam. Kalau mereka dikurung di penjara, maka Islam akan berhenti bersinar. Mereka ketakutan. Sehingga umat menjadi lemah. Begitulah sangkaan kalian. Bisakah ini terjadi? Bisa, kalau Allah izinkan. Untuk kalian pahami, umat Islam dan para ulama serta ustad hanyalah pion-pion Allah saja. Mereka itu bidak-bidak lemah. Bisa dijebloskan ke penjara setiap saat sesuai keinginan kalian. Tapi, ingat! Allah bisa bikin umat Islam dan para ulama yang sangat lemah itu menjadi sangat kuat. Allah berkuasa untuk itu. Konsep, rencana dan strategi kalian, bisa berbalik. Allah telah berjanji tentang itu. Allah berjanji akan menghancurkan kalian. Sebagaimana Dia hancurkan musuh-musuh-Nya terdahulu. Jadi, kalau ada niat kalian untuk membendung, mengerdilkan, mereduksi atau menjelek-jelekkan Islam, urusannya pasti langsung ke langit. Sebab, Islam itu milik Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Hati-hatilah! [] 13 Oktober 2019

Pernyataan Wiranto Yang Mengiris Luka di Atas Duka

Tulisan ini tidak ada kaitannya dengan berita penusukan Wiranto di Banten. Karena tulisan ini dibuat dab sudah direalase secara meluas empat hari sevrlumnya (6 Oktober 2019). Penjelasan ini perlu disampaikan karena banyak pembaca yang mempertanyakan serta mengaitkannya dengan insiden di Banten itu. Terima kasih Oleh Jacob Ereste Jakarta, FNN - Pernyataan yang dikatakan tidak sengaja oleh Wiranto dalam kapasitasnya sebagai publik figur mengiris luka. Pejabat publik yang seharusnya paling perduli dan kompeten pada masalah bencana. Sungguh amat sangat melukai rasa duka kemanusiaan. Pernyataan Wiranto yang mengatakan bahwa saudara kita yang tengah didera oleh bencana alam di Maluku itu sepatutnya mendapat perhatian. Seharusnya pertolongan hingga bantuan dalam bentuk apa saja. Petolongan yang dapat diberikan agar derita yang sedang mereka rasakan bisa ikut kita ringankan. Jika tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka, setidaknya jangan lagi menambah beban psikologis. Yang bisa melemahkan daya juang dan daya tahan mereka untuk tetap tabah dan bertahan. Yang bisa membuat mereka tegar mengatasi musibah yang sedang dialami sampai sekarang. Pernyataan dalam konfrensi pers termasuk rilis atau bahkan wawancara dengan Wiranto itu sulit untuk dicerna akal sehat. Sebagai pernyataan yang tidak disengaja. Sehingga dengan begitu bisakah pernyataan Wiranto itu dimaafkan? Torehan yang telah melukai luka duka. Yang sedang mereka rasakan akibat bencaba alam itu sungguh tidak patut diucapkan oleh seorang pejabat selevel Menkopolhukam. Pernyataan tersebut sungguh sangat sulit untuk dimaafkan. Permintaan maaf Wiranto usai menyebut pengungsi Maluku yang sedang dilanda bencaba itu menjadi beban bagi pemerintah. Penyataan tersebut tidak cuma mengesankan yang enggan dari pihak pemerintah untuk memberi bantuan. Tetapi juga seperti hendak melepas tanggung jawab sebagaimana jaminan yang jelas tertera dalam kesepakatan serta keyakinan kita pada UUD 1945 yang asli. Pengungsi Maluku itu harus dan wajib menjadi perhatian negara. Suatu kepedulian kita sebagai bangsa yang menganut falsafah Pancasila. Disitulah esensinya kita Gotong Royong ! Pernyataan Wiranto yang dimuat secara meluas dalam medis masss itu sungguh sangat menyakitkan. Bagaimana mungkin seorang pejabat publik yang sangat kompeten untuk menangani masalah rakyat menyatakan pada saudara kita yang terkena musibah bencana itu. Penyataan itu sangat tidak patut. Mereka yang masih berada di tempat pengungsian itu dikatakan sebagai beban pemerintah. Blunder yang dibuat oleh Menkopolhukam itu, menyebut pengungsi Maluku sebagai bebani pemerintah. Sungguh tidak etis dan tidak berprikemanusiaan. Wiranto memang sudah meminta maaf atas pernyataannya tersebut. Tetapi apakah bisa begitu saja penyelesaiannya. Karena hati yang terluka, tidak mungkin segampang itu menghapusnya. Bisa saja Wiranto mentakan bahwa tidak hendak menyakiti hati siapa-siapa. Tetapi coba tanyakan kepada para korban yang masih bersedih serta saudara mereka yang juga ikut merasakan duka yang sangat mendalam itu. Apa perasaan mereka dengan pemintaan maaf Wiranto tersebut Pernyataan culas serupa itu jelas tidak cuma mengganggu perasaan masyarakat di Maluku. Tetapi sungguh lebih dari itu sangat mengiris hati. Termasuk perasaan kami sebagai saudara mereka yang tidak langsung terlanda bencana alam tersebut. Dampak psikologisnya jelas sangat menghujam dalam Pak Wiranto. Menoreh luka di atas duka yang belum mereda. Padahal esensi dari Pancasila itu seperti kata Bung Karno adalah sikap gotong royong. Sikap bersama-sama dalam susah dan senang. Sementara pemerintah yang dicerminkan oleh sosok seorang Menkopolhukam justru sebaliknya. Sungguh tragis dan menyedihkan sekali. Sebab akibatnya, rakyat semakin paham pada watak yang sesungguhnya. Watak yang tengah menjangkiti pejabat di negeri ini. Penulis adalah Pemerhati Ruang Publik

Batalnya Acara Muslim United & Warisan Feodalisme Keraton Yogja

Saya kira diera modern, dan era penuh keterbukaan ini, Sultan Yogja tidak boleh lagi mempraktikkan kejemawaan. Gaya pemimpin yang sarat dengan feodalisme. Apalagi, Sultan hari ini sedang mengalami kemelut tahta. Jika Sultan mangkat, tahta Keraton Yogja tidak mungkin diwariskan kepada puteri-puteri Sultan. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Acara Muslim United #2 yang sedianya diselenggarakan di Masjid Gedhe Kauman Jogja dikabarkan batal. Penyebabnya, Raja Jogja tidak memberi izin. Tidak jelas apa yang menyebabkan Sultan menolak mengeluarkan izin Kegiatan Muslim United #2 yang bertajuk 'Sedulur Saklawase'. Namun, menurut Panitia Pelaksana dari Presidium Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Syukri Fadholi, menduga penolakan itu karena pihak Keraton menerima informasi yang salah. Sebab menurutnya banyak beredar informasi yang menyebutkan bahwa kegiatan Muslim United diisi oleh orang-orang berpaham radikal. Sebelumnya pihak otoritas keraton Yogja melalui KGPH Hadiwinoto sempat mengeluarkan surat yang memperbolehkan panitia Muslim United menggunakan Alun-alun Utara sebagai tempat kegiatan. Namun surat itu akhirnya dicabut lagi. Awalnya, atas dasar surat yang sempat dikeluarkan KGPH Hadiwinoto itu akhirnya pihak panitia mempersiapkan segala hal. Panitia menyebut persiapan sudah 80 persen sebelum akhirnya dilarang oleh pihak Keraton Yogja. Klimaksnya, hari ini Sabtu (12/10) panitia kelabakan. Panitia terpaksa harus memindahkan keseluruhan agenda yang telah dipersiapkan sejak lama menuju Masjid Jogokariyan. Kondisi inipun belum menjamin kepastian agenda dapat terselenggara tanpa gangguan aspek legalitas dari rezim. Pihak Keraton enggan menyebut alasan pencabutan surat yang dikeluarkan KGPH Hadiwinoto, dan akhirnya sultan juga tidak mengeluarkan izin. Sultan juga diam, tak mengunggah secuil pun alasan mengapa tidak memberikan izin, dan sama sekali tidak mengindahkan persiapan panitia yang sudah mengeluarkan banyak energi untuk acara ini. Sedianya, sejumlah ulama dan aktor ternama akan hadir dalam acara tersebut, di antaranya Ustaz Abdul Somad, Ustaz Hanan Attaki, Ustaz Derry Sulaiman, Ustaz Felix Siauw, hingga Arie Untung. Namun energi panitia untuk menghadirkan para ulama ini tidak membuat Sultan dan pihak keraton jogja, merasa iba dan terketuk hatinya untuk memberikan izin. Sebelumnya, Pengageng Kawedanan Hageng Panitrapura, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono menjelaskan tidak dikabulkannya izin karena atas pertimbangan keamanan, mengingat situasi nasional tengah banyak demonstrasi. Namun alasan ini tentu sangat absurd, karena kegiatan Muslim United tidak atau bukan dalam bentuk demonstrasi atau unjuk rasa. Alasan ini juga bertentangan dengan pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur Jogja, saat terjadi aksi masif demo mahasiswa jogja ke Jakarta, beberapa waktu yang lalu. Sultan mengaku tak bisa melarang mahasiswa untuk menyuarakan aspirasinya ke Jakarta. Hanya saja Sultan HB X mengimbau agar tak anarkis. Sultan menyatakan ikut demonstrasi adalah hak warga masyarakat. Karenanya Sultan tidak bisa melarang dan mempersilakan. Asal tidak melakukan perusakan saja. Demonstrasi dengan tertib sesuai dengan izin yang diberikan. (24/9). Andaikan benar alasan penolakan pemberian izin karena faktor keamanan, atau pertimbangan keamanan. Atau mungkin juga terkait maraknya demonstrasi dan ujuk rasa, sebagaimana yang diungkap Pengageng Kawedanan Hageng Panitrapura, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono. Tentu Sri Sultan selaku Raja Jogja tidak akan mempersilakan mahasiswa jogja demo ke Jakarta. Karena itu, alasan tidak keluarnya izin karena pihak Keraton menerima informasi yang salah. Beredar informasi yang menyebutkan bahwa kegiatan Muslim United diisi oleh orang-orang berpaham radikal. Padahal justru yang lebih dominan dan reasonable, menjadi sebab batalnya acara Muslim United di Yogja tersebut. Padahal, sampai hari ini tidak jelas apa yang dimaksud radikal ? Siapa yang punya wewenang menyematkan label radikal ? Atas dasar apa seseorang, apalagi ustad sekelas Ustaz Abdul Somad, Ustaz Hanan Attaki, Ustaz Derry Sulaiman, Ustaz Felix Siauw, hingga Arie Untung dilabeli radikal ? Apakah ada kasus Ustaz Abdul Somad ngebom ? Ustaz Hanan Attaki menusuk pejabat ? Ustaz Derry Sulaiman menggorok dan membakar hidup-hidup orang seperti tragedi di Wamena ? Ustaz Felix Siauw membubarkan pengajian ustadz yang lain ? Yang ada, Ust Felix yang sering jadi korban pembubaran. Apalagi Arie Untung, artis yang taubat dan hijrah ke jalan Islam ini apakah layak disebut radikal ? Alasan yang paling bisa dicerna selain tudingan radikal kepada penyelenggara dan ustadz-ustadz penceramah Muslim United. Juga alasan kejumawaan. Warisan feodalisme keraton Yogja yang terus dilestarikan. Diuri-uri. Alasan ini terkonfirmasi melalui pernyataan Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Kridhamardawa, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro, yang dengan jumawa mengatakan Keraton tidak perlu menjelaskan alasan tidak dikabulkannya izin acara tersebut. Suami Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu itu berdalih Masjid Keraton tempat acara tersebut merupakan Kagungan Dalem atau milik keraton. Dalam kaidah fiqh Islam yang disebut masjid itu milik umat, milik publik, tidak sah dan batal kedudukan seseorang, individu, atau institusi yang mengaku atau mengklaim sebagai pemilik masjid. Secara fiqh, demi hukum masjid menjadi domain publik. Adapun status individu atau institusi hanya diberi amanah mengelola masjid, itu sifatnya pelayanan, administrasi, bukan mendaku hak masjid sebagai miliknya. Demikian pula, status masjid Gedhe Kauman itu milik umat, milik publik, bukan milik keraton. Keraton hanya berkedudukan sebagai pelayan, administrator, untuk melayani rakyatnya. Bahkan, istana keraton kesultanan jogja itu milik rakyat, karena raja jogja itu juga raja rakyat. Bukanlah status Sultan itu karena pengakuan dari rakyat? Bukan sekedar pemberian trah dari nenek moyang? Andaikan, sultan mewarisi tahta sementara rakyat menolak mengakui kekuasan Sultan. Apakah sultan masih berkuasa? Saya kira diera modern, dan era penuh keterbukaan ini, Sultan Yogja tidak boleh lagi mempraktikkan kejemawaan. Gaya pemimpin yang feodal. Apalagi, Sultan hari ini sedang mengalami kemelut tahta. Jika Sultan mangkat, tahta Keraton Yogja tidak mungkin diwariskan kepada puteri-puteri Sultan. Jika Sultan mau merubah Pangeran. Mengubah trah singgasana diteruskan putri raja, Sultan tak cukup mengeluarkan Sabda Pandita Ratu. Sultan butuh dukungan dan legitimasi umat. Jika Sultan zalim kepada umat. Sultan memimpin dengan gaya jemawa dan ego mempertahankan tradisi feodalisme keraton, Sultan akan dijauhi umat. Sultan akan ditinggalkan oleh rakyat. Wahai Sultan. Jika memang dirimu mengemban amanah agama (selain amanah pemerintahan), kenapa dirimu tega mempersulit syiar agama Islam melalui acara Muslim United ? Bertaubatlah Sultan, mumpung ajal belum menjemput. Penulis adalah Wartawan Senior

Pak Jokowi, Maluku Masih NKRI Kan?

Inilah fakta diskriminatif yang tak terbantahkan. Maluku terus dianaktirikan, dan entah kapan akan berakhir. Padahal bila ada bencana, kehadiran Pak Presiden tidak saja memastikan proses penanganan bencana oleh negara telah berjalan baik. Tetapi yang lebih penting adalah memberikan spirit, kekuatan moral dan psikologis kepada masyarakat Maluku. Bahwa dalam menghadapi bencana ini mereka tidak sendiri. Negara harus benar-benar hadir sebagai perwujudan perintah konstitusi. Oleh Ikhsan Tualeka Jakarta, FNN - Bapak Presiden yang terhormat. Kalau mau diresapi dengan dalam, sebagai putra timur dari Maluku, saya merasa bahwa ada sesuatu yang mengganjal. Terutama dalam konteks hubungan relasi antara pemerintah pusat (Jakarta) dengan masyarakat Maluku. Ada banyak fakta yang dapat mengkonfirmasi anggapan itu. Sebagai contoh nyata. Baru-baru ini, pembantu utama bapak, Menkopolhukam, Wiranto, melakukan konferensi pers tentang Maluku. Wiranto didampingi oleh Menteri Dalam Negeri, Panglima TNI, Kapolri dan sejumlah pejabat negara lainnya. Dengan menggunakan fasilitas negara, Wiranto mengatakan “pengungsi yang banyak di Maluku dapat menjadi beban pemerintah”. Bagi kami orang Maluku, luar biasa pernyataan Menkopolhukam Wiranto ini. Betapa tidak, karena Wiranto menyampaikan ini dalam kegiatan resmi Negara. Pernyataan yang sangat kontraproduktif itu, tentu adalah sikap resmi institusi negara. Bukan pribadi penyataan pribadi. Kenyataan ini menambah daftar panjang praktik, dan sikap diskriminatif pemerintah pusat kepada masyarakat Maluku. Tentu akan terlalu panjang untuk diulas dalam surat ini. Minimnya alokasi anggaran untuk Maluku. Tidak adanya regulasi spesifik sebagai landasan membangun dan mengangkat Maluku yang notabene memiliki karakteristik berbeda dengan daerah-daerah lain untuk dari lembah kemiskinan. Contoh ini adalah sedikit dari daftar panjang itu. Perlakuan yang tidak adil itu bisa dilihat dari bagaimana respon Pak Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan terhadap becana gempa yang terjadi di Maluku. Sampai sekarang Pak Jokowi belum juga datang menyambangi Maluku. Meski hingga catatan ini dibuat, gempa masih terus terjadi, dengan korban mencapai lebih dari 50 orang meninggal. Sedangkan yang mengungsi mencapai 100.000 ribu orang dan 6.523 unit rumah yang rusak Bandingkan dengan bencana disejumlah daerah lain. Dengan korban yang relatif lebih sedikit seperti gempa di Banten, banjir bandang di Garut, meleutusnya gunung Sinabung di Sumatera Utara, kebakaran hutan di Palangkaraya. Pada bencana alam di daerah lain,Pak Presiden langsung datang. Malah sehari setelah kejadian atau bencana terjadi, Pak Jokowi datang lengkap dengan jajaran pembantu bapak. Bahkan ada juga Pak Jokowi berkantor di lokasi bencana. Dengan kehadirin Pak Presiden yang cepat di lokasi bencana bisa ditafsirkan bermacam-macam. Orang bisa saja beranggapan itu karena jarak antara Istana Negara dengan lokasi-lokasi bencana relatif dekat. Memudahkan untuk malukan mobilisasi ke lokasi bencana. Itu tentu alasan klasik, karena bukankah Maluku juga masih masuk wilayah Indonesia? Dengan demikian Maluku berhak mendapat perhatian yang sama dari kepala negaranya. Dengan fasilitas yang dimiliki negara, tentu jarak bukan satu masalah. Apalagi ada pesawat kepresidenan. Ataukah Pak Presiden takut karena informasi dari para pembisik kalau gempa tremor masih terjadi walau dalam dalam skala yang lebih kecil? Kalau bapak takut akan gempa kecil itu, kami maklumi. Walau kamiu agak kecewa karena sebelumnya kami yakin Pak Jokowi seorang kesatria. Inilah fakta diskriminatif yang tak terbantahkan. Maluku terus dianaktirikan, dan entah kapan akan berakhir. Padahal bila ada bencana, kehadiran Pak Presiden tidak saja memastikan proses penanganan bencana oleh negara telah berjalan baik. Tetapi yang lebih penting adalah memberikan spirit, kekuatan moral dan psikologis kepada masyarakat Maluku. Bahwa dalam menghadapi bencana ini mereka tidak sendiri. Negara harus benar-benar hadir sebagai perwujudan perintah konstitusi. Pak Presiden, datanglah. Kunjungilah anak-anak bangsamu yang tertimpa bencana di Maluku. Apalagi secara politik Maluku adalah provinsi yang berkontribusi dalam kemenangan bapak di dua kali perhelatan Pilpres. Kehadiran Pak Presiden tentu saja akan mengkonfirmasi analisa lembaga-lembaga otoritas terkait yang menyatakan tak akan ada gempa lebih besar lagi dari 6,5 Magnitude yang terjadi sebelumnya. Kondisinya relatif aman, sehingga Presiden perlu datang. Dengan Pak Presiden mengunjungi korban gempa di Maluku, akan turut membahwa pesan kebangsaan bahwa negeri para raja ini adalah bagian integral bangsa. Maluku yang berhak mendapat perhatian yang sama dengan daerah lain dari negara. Bukan dibiarkan menghadapi bencana sendiri tanpa kehadiran Negara yang diwakili Pak Preasiden Pak Jokowi, hanya satu kalimat untuk merangkum semua isi surat ini, “Sambangilah korban bencana di Maluku. Mereka juga adalah warga bangsa. Mereka jangan dikecewakan”. Kami orang Maluku tidak sedang mengemis kepada pemerintah pusat. Kami hanya sedang menagih tanggungjawab negara untuk mendapat perlakuan yang sama dengan daerah lain. Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center (MCC)

Istri Dandim atau Pidato Panglima TNI yang Jatuhkan Martabat Prajurit?

Tidak ada elemen mahasiswa yang menolak pelantikan Jokowi, atau ingin menggagalkan pelantikan Jokowi. Lantas, kenapa penglima TNI membawa TNI ke ranah politik praktis ? Bukankah TNI itu wajib netral ? Bukankah TNI itu alat negara, bukan alat kekuasaan ? Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Kapendam XIV Hasanuddin, Kolonel Inf Maskun Nafik menyebut Dandim 1417 Kendari, Kolonel Hendi Suhendi dicopot karena postingan istri soal Menko Polhukam Wiranto. Postingan istri Dandim Kendari itu dinilai menjatuhkan martabat prajurit Jika ditilik dari sisi redaksi, postingan istri Dandim ini sama sekali tidak menyebut mengatasnamakan institusi TNI, tidak pula menyebut nama sosok tertentu secara tegas. Boleh dibilang, status Facebook istri Dandim ini hanyalah bentuk ungkapan batin yang terjaga dalam koridor hukum. Postingan istri Dandim Kendari itu hanya mengatakan 'Jangan cemen pak,...Kejadianmu tak sebanding dengan berjuta nyawa yg melayang'. Ungkapan ini, tergolong ungkapan hiperbola (makna yang di lebih-lebihkan) tanpa mempersonifikasi kepada individu tertentu. Redaksi 'jangan cemen pak' itu bisa ditujukan kepada semua orang dengan panggilan Pak, bisa Pak lurah, Pak camat, Pak RT, Pak Tani, Pak Bayan, dan Pak Pak lainnya. Redaksi 'Pak' ini tidak bisa diarahkan dan ditujukan secara khusus kepada Wiranto. Jika ada yang merasa itu ditujukan kepada Wiranto, itu merupakan tafsiran bukan konteks bahasa tegas yang dituju oleh redaksi. Adapun postingan kedua, juga sifatnya netral. Sebuah nasehat untuk mengingatkan peristiwa yang pernah terjadi di negeri ini. Posting-an kedua, tertulis 'Teringat kasus pak setnov,.. bersambung rupanya, pake pemeran pengganti'. Dalam postingan kedua, juga tidak ada kata yang menyebut nama Wiranto. Coba kita bandingkan, jika tafsiran postingan itu dianggap menjatuhkan martabat prajurit dengan pidato khusus panglima TNI. Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, lengkap bersama jajaran komando TNI membuat rekaman video yang meminta siapa pun dapat menyampaikan aspirasi di negara demokrasi ini. Dalam video itu juga muncul ultimatum, siapa pun yang melakukan tindakan anarkis, inkonstitusional, cara-cara yang kurang baik, termasuk ingin menggagalkan pelantikan presiden dan wapres terpilih hasil pemilu, akan berhadapan dengan TNI. Pertanyaannya, sejak kapan tupoksi TNI itu menjaga pelantikan Presiden ? Dan siapa yang dimaksud panglima TNI ingin menggagalkan pelantikan ? Jika merujuk peserta aksi demo karena konteks pidato penglima itu terjadi setelah demo masif mahasiswa, demo itu menuntut pencabutan UU KPK, menolak RUU KUHP. Tidak ada elemen mahasiswa yang menolak pelantikan Jokowi, atau ingin menggagalkan pelantikan Jokowi. Lantas, kenapa penglima TNI membawa TNI ke ranah politik praktis ? Bukankah TNI itu wajib netral ? Bukankah TNI itu alat negara, bukan alat kekuasaan ? Sikap panglima TNI ini lah sebenarnya yang bisa ditafsirkan menjatuhkan martabat prajurit, menjatuhkan wibawa TNI. Tentara yang seharusnya menjadi Abdi Rakyat terkesan berubah menjadi Andi penguasa (baca: Jokowi). Saya kira, persoalan status Facebook istri Dandim ini juga tidak perlu ditindaklanjuti dengan pencopotan jabatan Dandim, apalagi akan memproses pidana di peradilan umum. Kalau mau merujuk UU ITE (UU No. 19/2016 Jo. UU No. 11/2008), melanggar pasal apa ? Pasal 28 ayat (2) tentang menyebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA ? Dimana unsur-unsurnya ? Ngawur saja memaksakan menyidik perkara ini dengan pendekatan UU ITE. Saya kira pejabat era now harus hati-hati mengeluarkan statement dan tindakan. Justru heboh pencopotan Dandim dan rencana akan memproses istri prajurit ke ranah pidana umum inilah yang merupakan tindakan yang menjatuhkan martabat prajurit. Masak prajurit dibuka aibnya keruang publik hanya karena status Facebook ? Dandim Kendari bukan pengkhianat, tidak memberontak, tidak disersif dalam tugas, tidak korup, tidak melawan perintah atasan, tidak gagal melindungi rakyat dari ancaman musuh, tidak terlibat politik praktis. Kok begitu amat sanksinya ? Saya kira, institusi TNI tidak boleh lebai menyikapi peristiwa ini. TNI wajib membedakan mana isu politik dan mana isu Sapta Marga Prajurit. TNI harus netral, TNI alat negara bukan alat kekuasaan. Penulis adalah Wartawan Senior

Pak Wiranto Ditusuk, Kok Malah Banyak yang Bersyukur?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Confirm. Masyarakat kita sedang sakit parah. Terbelah sangat dalam. Yang satu mendoakan, menginginkan, bahkan melakukan sesuatu yang buruk untuk yang lain. Bila keburukan itu benar-benar terjadi, banyak yang bersuka cita. Membesar-besarkannya. Menganggap doanya terkabul. Allah SWT telah membalas keburukan itu dengan balasan yang setimpal. Peristiwa penusukan Menkopolhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto di Menes, Pandeglang, Banten mengkonfrmasi hal itu. Di medsos banyak yang mengucapkan rasa syukurnya. Joke, meme, spekulasi, dan teori konspirasi bermunculan. Ada juga yang menduga ini hanya semacam sandiwara. Settingan. Semacam reality show. Ada memang yang sedih, bahkan kecewa. Mengapa luka tusuknya tidak cukup dalam. Mengapa Wiranto tidak terluka parah, atau mati sekalian! Ngeri banget! Suara-suara semacam itu sudah dipastikan muncul dari kelompok yang selama ini berseberangan dengan pemerintah. Atau setidaknya berseberangan secara personal dengan Wiranto. Sebagai balasan, situs seword.com yang dikenal sebagai pendukung Jokowi membuka kotak pengaduan. Mereka meminta pembacanya melaporkan bila menemukan netizen yang bersuara negatif, nyinyir atas Wiranto. Status yang nyinyir, lengkap dengan biodata dan fotonya —kalau ada— akan dipajang dan dilaporkan ke polisi. Mengapa bangsa ini menjadi kehilangan empati, pendengki dan menginginkan keburukan, bahkan kalau perlu mencelakakan dan saling membinasakan? Apakah hanya rakyatnya yang sakit? Atau mereka sebenarnya merupakan cermin dari perilaku para pemimpinnya. Di militer ada semacam kredo: Tidak ada prajurit yang salah. Yang salah komandannya. Filsuf dan negarawan zaman Romawi Marcus Tulius Cicero dalam sebuah orasinya pernah menyatakan: Ikan busuk dimulai dari kepalanya. Belajar dari pengalaman para pedagang ikan. Kalau mau selamat, tidak busuk semua. Kepalanya harus segera dipotong. Kebusukan suatu negeri, berawal dari kebusukan para pemimpinnya. Jadi harus dipotong dari pucuk pimpinannya. Sebaliknya Sayidina Ali Bin Abi Thalib pernah berkata: pemimpin yang buruk, merupakan cermin dari rakyatnya. Ketika seorang pemuda menggugat Ali mengapa pada masa pemerintahannya situasinya tidak sebaik pada masa Khalifah Abu Bakar, dan Umar Bin Khattab? Khalifah Ali menjawab singkat : Karena pada masa Khalifah Abubakar dan Umar, rakyatnya seperti saya. Dan pada masa pemerintahan saya, rakyatnya seperti kamu! Sebuah pemerintahan yang brengsek, adalah cermin sebuah masyarakat yang brengsek pula. Mengapa memilih pemimpin yang brengsek?! Dalam khasanah pemikiran Islam dikenal sebuah kalimat bijak: Kalian akan dipimpin oleh orang seperti kalian! Nah lho……. Kita semua harus introspeksi. Mengapa semua ini terjadi. Tidak bisa langsung menuding bahwa rakyat kita brengsek. Begitu juga sebaliknya. Di media sosial ucapan-ucapan Wiranto yang dimuat media kembali bertebaran. Ketika ada prajurit TNI yang tewas di Nduga, Papua, dia minta agak tidak perlu dibesar-besarkan. “Risikonya memang seperti itu,” ujarnya. Wiranto benar. Risiko seorang prajurit yang bertugas di daerah rawan, apalagi medan tempur: _kill or to be killed._ Membunuh atau dibunuh. Tapi ya tidak perlu disampaikan ke publik. Sensitif lah terhadap Keluarga prajurit. Ketika terjadi gempa di Ambon, Wiranto dikutip pernah menyatakan, agar para pengungsi segera kembali ke rumah, supaya tidak jadi beban pemerintah. Ucapan yang membuat warga Ambon gondok alang kepalang. Selain tidak sensitif, ucapan itu juga menunjukkan sebagai pejabat publik tidak punya empati. Lebih jauh lagi tidak paham tugas dan tanggung jawabnya. Tugas negara, tugas pemerintah mengurus rakyatnya. Jangan dianggap beban. Kalau tidak mau dibebani rakyat, ya jangan jadi pejabat pemerintah. Nah ketika sekarang Wiranto ditusuk orang, netizen membalas. “Tidak perlu dibesar-besarkan.” “Risikonya sebagai pejabat keamanan memang seperti itu.” “Segera keluar dari RSPAD. Jangan jadi beban pemerintah!” Bagaimana memahami sikap bangsa kita saat ini? Konsep the other yang diperkenalkan oleh filsuf kontemporer Perancis Emmanuel Levinas, atau liyan dalam bahasa Jawa, tidak cukup memadai untuk menggambarkannya. Dalam bahasa Jawa, liyan, orang lain, merupakan konsep berpikir, yang satu merasa lebih unggul dan lebih benar dibanding yang lain. Tanpa sadar orang Jawa sering menyebut sesuatu yang tidak benar, sebagai tidak “njawani.” Tidak Jawa. Realita yang terjadi saat ini bukan hanya soal yang satu merasa superior dengan yang lain. Bangsa kita adalah bangsa yang terbelah. Tidak percaya satu dengan lainnya. Curiga satu dengan yang lain. Merasa paling benar dan yang lain selalu salah. Apapun yang dilakukan pihak lain, tidak ada yang benar. Beda dengan sikap kritis yang harus tetap menjunjung obyektivitas. Perlu keberanian untuk mengakui dan mengambil langkah konkrit. Presiden, pejabat pemerintah, berhentilah melakukan Framing, lebeling, pelakunya terpapar kelompok radikal, ISIS dan entah stigma apalagi. Berhentilah mengklaim merasa paling Pancasila, dan paling NKRI. Pasti akan ada reaksi balik. Akan ada perlawanan. Semua itu hanya akan memperparah pembelahan masyarakat. Peristiwa penusukan Wiranto harusnya menjadi sebuah alarm yang bersuara sangat nyaring. Ada yang salah dengan bangsa ini. Kita sedang menuju jurang kehancuran. Kita, rakyat, para pemimpin, terutama Presiden Jokowi harus segera mengambil langkah konkrit! end

Tentang Arteria Dahlan (PDIP): Bisa Jadi Dia...

By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kemarin tertunda berkomentar tentang Pak Arteria Dahlan. Gara-gara ada berita besar. Tentang Pak Wiranto. Arteria menghardik Pak Prof Emil Salim di acara Mata Najwa (9/10/2019). Dia tunjuk-tunjuk Pak Emil tanpa ragu sedikit pun. Tak ragu bahwa cara dia itu tidak menunjukkan akhlak seorang wakil rakyat. Nah, pagi ini mumpung ada waktu berkomentar tentang kegarangan Arteria. Mengapa Arteria menjadi tak sopan kepada Pak Emil? Mengapa politisi PDIP ini berperangai sombong? Ada hal-hal yang mungkin belum kita pahami tentang Arteria Dahlan. Pertama, bisa jadi dia menunjuk-nunjuk Pak Emil Salim sambil mengatakan pakar ekonomi itu sesat, karena dia sedang menjalankan misi rahasia untuk menghancurkan PDIP. Siapa tahu. Lho, kok disebut menghancurkan? Karena, kesombongan yang dipertontonkan oleh Arteria itu mendapat reaksi geleng-geleng kepala dari publik. Patut diduga dia sedang bersekongkol untuk membusukkan PDIP. Sikap Arteria yang angkuh itu bisa merugikan citra elektoral PDIP. Tapi, faktor ini mungkin tidak punya dasar yang kuat. Masa iya Banteng sejati mau menghancurkan partainya? Tak mungkinlah. Kedua. Kalau yang pertama tak mungkin, berarti Arteria memperlihatkan karakter aslinya: sombong, angkuh, arogan, dan sejenisnya. Jika ini benar, tentu bagus juga kita katakan kepada beliau bahwa piala kosombongan yang paling terkenal dalam sejarah manusia masih dipegang oleh fir’aun. Baik. Kalau misalnya Arteria tidak bermaksud mau menghancurkan PDIP dan tidak juga bermaksud menunjukkan kesombongan, terus apalagi? Ada yang ketiga. Boleh jadi dia sedang mencari perhatian pimpinan partainya. Barangkali saja Arteria mendapat info bahwa pimpinan PDIP diam-diam sedang melaksanakan tes kemampuan arogansi. Mungkin Arteria merasa sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk memamerkan kemampuan berdebat sangar dan angkuh di depan publik. Yang keempat, boleh jadi Arteria sedang stress karena utang atau karena hal yang lain. Jadi, kita tak tahu pasti apa penyebab Arteria tersulut dan begitu geram melihat Prof Emil Salim. Yang jelas, Pak Emil yang telah berusia 89 tahun masih tampak segar. Tak kelihatan stress. Tak tampak ada noda korupsi di wajah beliau. Mungkin inilah yang membuat Pak Emil lebih santai dalam berdiskusi. Sedangkan Arteria tampak garang. Cemberut. Siap menerkam. Dan sangat marah kepada Pak Emil yang ikut berjuang melawan sikap PDIP yang ingin melemahkan KPK. [] 11 Oktober 2019

Habis Manis Buzzer Dibuang

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Habis manis sepah dibuang. Begitulah jika orang makan tebu. Hanya manisnya saja yang diisap, sedangkan sepahnya dibuang. Makna ungkapan ini bisa macam-macam. Misalnya, dibuang setelah tidak dipakai lagi. Bisa juga diterjemahkan, disimpan pada saat diperlukan saja, dan dibuang jika tidak diperlukan lagi. Bisa juga dimaknai, selagi masih digunakan dirawat dengan baik, tetapi bila tidak dipergunakan lagi dicampakkan begitu saja. Begitulah nasib buzzer. Teranyar tentu saja buzzer Jokowi. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut aktivitas para buzzer pendukung Presiden Joko Widodo saat ini merugikan presiden terpilih periode 2019-2024 itu. Dibilang habis manis sepah dibuang, karena buzzer itulah pasukan militan Jokowi di media sosial kala pemilihan presiden kemarin. Mereka rajin memproduksi hoaks dan menyerang lawan-lawan politik Jokowi. Kini Jokowi sudah menang. Ia merangkul kekuatan lawan. Sampai kini, para buzzer masih asyik menjalankan tugasnya. Mereka menggonggong pada saat Jokowi memutuskan menyetujui revisi UU KPK. Berbagai hoaks ditebar. Sampai pada akhirnya, Istana memandang permainan para buzzer sudah kelewatan. Mereka akan dibubarkan. Maknanya, alokasi anggaran untuk buzzer dihentikan. Suplai dana dari Istana ke buzzer ditutup. Dunia medsos tentu akan lebih tentram tanpa buzzer bayaran seperti itu. Maklum saja, gara-gara buzzer yang rajin menyebar hoaks, sulit membedakan mana yang benar mana yang salah. Mereka mahir memutar balikkan fakta. Mereka juga berisik. Para buzzer sangat lihai mengelola fitnah dan kebohongan sebagai isu publik. Para tuyul modern ini sangat bersemangat mengotori ruang publik dengan fitnah dan pembodohan. Siapa Buzzer Istana Itu? Menarik, kesimpulan yang diambil tokoh pers Ilham Bintang dalam tulisannya berjudul “Ada Buzzer Istana Di ILC TVOne”, yang ditayangkan CeknRicek Rabu (9/10). Ilham menyorot aksi Ali Mochtar Ngabalin dalam acara ILC Selasa malam (8/10) itu. Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden ini dinilai begitu agresif mengagitasi publik. Seringkali menyerobot kesempatan berbicara pembicara lain. Dia mendemonstrasikan politik “belah bambu”. Yang satu (pihak Presiden Jokowi) diangkat setinggi langit, sedangkan Budi Setyarso yang mewakili Tempo, “diinjak” habis sampai rata dengan tanah. “Dari adegan itu kita bisa simpulkan itulah Buzzer Istana sesungguhnya. Kenapa kita repot-repot mencarinya selama empat jam diskusi ILC?” tulisnya. Menurut Ilham, sebagai pejabat negara rasanya sangat tidak etis Ngabalin mempertontonkan gaya otoriter di saat mencoba meyakinkan publik mengenai gaya egaliter Presiden Jokowi. “Paradoksal,” tegasnya. Paradoks Ngabalin ini bukan hanya tidak etis, tetapi cukup memenuhi unsur pidana yang diatur dalam UU ITE. Mengintimidasi dan memperkusi lawan debat, ditambah pula dengan sumpah terkutuk. Buzzer bertajuk Ngabalin versi Ilham Bintang, tentu berbeda dengan buzzer di dunia medsos. Buzzer berasal dari bahasa Inggris yang mempunyai arti lonceng, bel atau alarm. Bisa juga dibilang kentongan. Alat tradisional tempo dulu yang sering digunakan untuk mengumpulkan warga pada saat ada pengumuman atau berita penting. Buzzer, influencer atau rain maker maknanya tak jauh beda. Influncer adalah orang yang mampu mempengaruhi pengikut, sehingga memberikan efek buzz di media sosial. Hanya saja, menurut Dahnil Anzar Simanjuntak dalam ILC, buzzer menyebar informasi dan gagasan bukan orisinil dari pikirannya. Sementara influencer menyampaikan gagasan dari hasil murni pikirannya. Buzzer menyebar informasi hoaks dari mereka yang membayar. Soal bayar membayar ini dalam dunia buzzer, menurut juru bicara Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto ini, seperti pasar gelap. Namanya saja pasar gelap, hanya sedikit yang tahu. Namun semua itu bisa dinilai dari pola kerja mereka. Arahnya ke mana. Siapa yang menggerakkan. Singkat cerita, buzzer dalam makna negatif, adalah sekelompok orang yang dibayar untuk kepentingan politik tertentu dengan tugas membuat dan menyebar fitnah untuk menjatuhkan lawan politik. Buzzer boleh juga disamakan dengan pembunuh bayaran. Mereka membunuh menggunakan diksi-diksi yang kasar. Mereka menyerang orang-orang yang bersifat krisis. Mereka kelompok yang terorganisasi. Senjata Makan Tuan Pasukan medsos yang oleh Tempo disebutnya pendengung. Namun, belakangan kata “pendengung” oleh sebagian pegiat medsos dirasa terlalu lembut sehingga diganti “penggonggong”. Pendengung dan penggonggong bahkan pengembik, punya maksud sama. Fungsinya seperti makna buzzer: lonceng, bel atau alarm. Ngung … untuk pendengung. Gukguk .. untuk penggonggong. Mbik… untuk mengembik. Pendengung untung lebah. Penggongong untuk anjing. Pengembik untuk kambing. Silakan dipilih, mana yang enak saja. Toh, semua bikin berisik. Tak hanya para tetangga yang terkena dengungan, gonggongan dan embikan itu. Sang pemilik rupanya juga kena dampak yang sama. Ibaratnya, senjata makan tuan. Wajar saja jika Jokowi akan mengevaluasi keberadaan buzzer itu. "Buzzer-buzzer itu harus ditinggalkanlah. Pemilu juga sudah selesai. (Gunakan) Bahasa-bahasa persaudaraan, kritik, sih, kritik tapi tidak harus dengan bahasa-bahasa yang kadang-kadang enggak enak juga didengar," ucap Moeldoko. Menurutnya, pada saat ini, para buzzer pendukung Jokowi justru melakukan cara-cara yang bisa merugikan pemerintahan Jokowi sendiri. Ia pun meminta buzzer-buzzer Presiden Jokowi di sosial media untuk tidak terus-menerus menyuarakan hal-hal yang justru bersifat destruktif. "Dalam situasi ini relatif sudah enggak perlu lagi buzzer-buzzeran. Yang diperlukan adalah dukungan politik yang lebih membangun, bukan dukungan politik yang bersifat destruktif," tergasnya. Merasa terdesak, belakangan para penggogong secara membabi buta menyerang pakar drone emprit Ismail Fahmi di Twitter. Serangan itu dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif. Ismail Fahmi diserang karena dialah yang membocorkan asal hoaks oleh buzzer Jokowi. Ismail dengan teknologi drone emprit melakukan kerja secara profesional. Drone emprit membongkar kelakuan buzzer Jokowi ketika menyebarkan hoaks ambulans berisi batu dan bensin sampai grup whatsApp anak STM buatan oknum polisi. Mengundang Iba Pengakuan Moeldoko ini seperti membenarkan ulasan dua ilmuwan Oxford, Samantha Bradshaw dan Philip N Howard. Keduanya membuat laporan bertajuk The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Ilmuan ini membeberkan bahwa pemerintah menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik. Pemerintah dan partai-partai politik juga memanfaatkan pihak swasta atau kontraktor serta politikus untuk menyebarkan propaganda serta pesan-pesannya di media sosial. Alat yang digunakan adalah akun-akun palsu yang dioperasikan oleh orang-orang dan oleh bot. Berdasarkan isinya, konten-konten yang disebarkan oleh pemerintah dan partai politik di Indonesia terdiri dari dua jenis: informasi yang menyesatkan media atau publik dan yang kedua, memperkuat pesan dengan terus-menerus membanjiri media sosial dengan tagar. Para buzzer, menurut penelitian itu, dikontrak oleh pemerintah atau partai politik tidak secara permanen. Mereka lazimnya dibayar di kisaran harga Rp1 juta sampai Rp50 juta. Para buzzer ini bergerak di tiga media sosial utama, Facebook, Twitter, Instagram, serta di aplikasi pesan WhatsApp. Sementara itu, Peneliti Center for Innovation Policy and Governance (CIPG), Rinaldi Camil, menyebut pendapatan buzzer politik di media-media sosial bisa setara upah minimum regional (UMR). “Buzzer di wilayah DKI Jakarta dapat menerima upah hingga Rp3,9 juta per bulan dengan jam kerja delapan hingga sepuluh jam sehari,” ujarnya seperti dikutip Antara, Maret lalu. Seorang koordinator buzzer, dapat mengantongi Rp6 juta per bulan. Angka itu cukup menggiurkan di saat ekonomi sulit saat ini. Banyak penganggur terdidik yang terjerumus dalam dunia buzzer. Kini, buzzer Jokowi akan jadi korban PHK. Sepertinya menyedihkan. Mengundang iba. Padahal harusnya mereka ikut menikmati kemenangan Jokowi di periode kedua ini. "Kekuasaan periode kedua belum dimulai, tapi Buzzers sudah dibuang alias disingkirkan alias diapkir. BPJS naik 100%, Tarif ini tarif itu naik. Honor hilang. Gimana nasib para Buzzer, ya...? Ckckck kasihan," cuit Tengku Zulkarnain, Senin (7/10). Tentu saja cuit Tengku Zul itu hanya sindiran saja. Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menyarankan para buzzer untuk tetap aktif menjalankan tugasnya lantaran hal itu dirasa bisa mempengaruhi keputusan kakak pembina buzzer. "Serang terus sana sini, mana tahu kakak pembina berubah pikiran. Ya nggak?," imbuhnya. Tengku Zul, tidak menyebut siapa Kakak Pembina yang dimaksud. Namun di kalangan pegiat medsos sudah tahu sama tahu, yang dimaksud Kakak Pembina adalah Moeldoko. Jika benar begitu maka: buzzer menggonggong, kakak pembina berlalu. Biarlah begitu. Kini, adalah saat yang tepat untuk buzzer taubat. Dalam perspektif Islam, mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunjingkannya adalah perbuatan keji yang diumpamakan dengan memakan bangkai saudara sendiri. Bahkan perilaku fitnah disebut lebih keji dari pembunuhan.

Lelaki Berludah Api dan Polisi

Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ninoy Karundaeng saat ini adalah orang yang paling berbahaya di Indonesia. Dia ‘berludah api’. Apa pun yang keluar dari mulutnya membakar segalanya. Dan, itu adalah berarti bencana. Siapa pun yang namanya disebut Ninoy, bakal mengalami musibah dan sengsara. Ya, Ninoy korban amuk massa di sekitar Pejompongan Jakarta Pusat yang diselamatkan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) al Falah itu, kini benar-benar sakti mandraguna. Dia juga bak bocah manja yang tengah merayakan ulang tahun, yang segala keinginannya dipenuhi orang tuanya. Apa pun yang diinginkannya langsung diamini Polisi. Tidak tanggung-tanggung, 13 nama disebutnya, 13 nama itu pula yang langsung dicomot Polisi dan menyandang status tersangka. Dan, jangan lupa, tiga dari 13 itu adalah emak-emak. *Menculik itu salah, tapi...* Merujuk kasus Ninoy ini, di grup-grup percakapan _what apps_ (WA) ada yang nyeletuk, menculik itu suatu kesalahan. Tapi melepaskan orang yang diculik adalah kesalahan yang lebih besar lagi. Rupanya apes tengah menyergap sejumlah pengurus DKM masjid al Falah Pejompongan. Mereka melakukan beberapa ‘kesalahan’. Pertama, para pengurus masjid itu ‘bersalah’ karena TIDAK (dengan huruf besar) menculik Ninoy. Yang terjadi, justru mereka menyelamatkan _buzzer_ alias anjing penggonggong Istana itu dari amuk massa. Cerita dan latar belakang peristiwa ini sudah berseliweran di grup-grup WA dan ranah media sosial. Jadi, tak perlu lagi saya ulangi di sini. Masih dalam tuduhan menculik, nasib (paling) apes sepertinya dialami Sekjen Persaudaraan Alumni 212, Bernard Abdul Jabbar. Pasalnya, justru Bernard yang menyelamatkan anjing penggongong Istana itu dari amuk massa. Bahkan, meminjam kalimat Jubir PA 212 Habib Novel Bamukmin, Ninoy berutang nyawa kepada Bernard. Tapi, begitulah. Ninoy telah menyebut nama Bernard. Maka jam 3 dini hari, di jalan tol dalam perjalan pulang dari Lampung, mobil Bernard dipepet lima mobil Polisi. Dia ditangkap tanpa selembar pun surat perintah penangkapan ditunjukkan saat kejadian. ‘Kesalahan’ para DKM yang kedua, mereka memperlakukan Ninoy dengan baik, memberi makan dan minum. Bahkan mereka menyewakan mobil untuk mengantar pria yang tulisan-tulisannya di medsos sarat dengan tenebaran kebencian, hoax, dan fitnah kepada tokoh dan ummat Islalm itu pulang ke rumah. (Mana ada penculik melepaskan yang diculik, menyewakan mobil untuk mengangkut motor yang bersangkutan, dan mengantarkan pulang sampai ke rumah korbannya?) ‘Kesalahan’ ketiga, ya itu tadi, pengurus DKM melepaskan Ninoy. Maka, jadilah orang ini berludah api. Kebiasaannya menebar fitnah dan kebencian di dunia maya, kini wujudkan di dunia nyata, di hadapan Polisi. Serunya lagi, aparat berbaju cokelat yang oleh kalangan demonstran dan aktivis disebut Wercok alias wereng cokelat itu pun mengamini apa pun semburan ludah Ninoy. *Ninoy vs anjing* Masih ingat pepatah, menolong anjing terjepit menggigit? Maksudnya, anjing yang ditolong setelah lepas justru menggigit si penolong. Seperti itukah Ninoy? O, tidaaaak. Dia lebih hina lagi. Coba perhatikan, si anjing yang telah ditolong dari keterjepitannya itu menggigit penolongnya dengan moncongnya sendiri. Tapi Ninoy? Manusia rendah ini menggigit para penolongnya dengan menggunakan ‘moncong’ Polisi. Maka, jadilah para penolong tadi ditangkapi Polisi dan diganjar status tersangka. Ninoy juga tidak peduli dengan Bernard yang telah menyelamatkan nyawanya. Pendukung Jokowi garis keras itu dengan sengaja melupakan adegan saat dia berterimakasih serta mencium tangan Bernard karena nyawanya diselamatkan dari amuk massa. Bagaimana dengan surat pernyataan bermaterai yang menyatakan, “ _saya telah ditolong dan diselamatkan oleh DKM masjid al Falah dan Tim Medis serta warga._”? Di surat pernyataan itu, lelaki hina dina tersebut juga menulis, “ _Saya tidak akan menuntut dan mempermasalahkan kejadian ini, dan semua sudah diselesaikan dengan baik_.” Bahkan, menjelang akhir surat pernyataannya, pria yang ternyata derajatnya lebih rendah daripada anjing ini menulis, “ _Saya juga mengucapkan terima kasih kepada DKM masjid al Falah dan Tim Media serta warga_.” Semua kalimat tersebut sama sekali tak bermakna. Di hadapan Polisi dengan gampang Ninoy mengatakan, bahwa surat pernyataan itu dibuat karena terpaksa, di bawah tekanan dan paksaan pihak lain, walau pun dia juga menulis “ _Demikian surat pernyataan ini saya buat berdasarkan kesadaran tanpa paksaan dari pihak mana pun._” Dan, lagi-lagi, polisi mengamini apa pun kata Ninoy. Kekesalan ummat Islam terhadap Ninoy khususnya ini membuat di grup-grup WA dan medsos berseliweran meme yang berbunyi, “ _Jika ada buzzer penghina Allah dan RasulNya yang dilindungi aparat, habisi saja tanpa jejak. Jangan ada saksi maupun bukti. Paham kaan...!?”_ Ummat marah, wajar saja. Ninoy si anjing penggonggong Istana yang ditolong malah menebar fitnah kepada orang-orang yang menolongnya. Sudah begitu, patut diduga Polisi menjadikan skandal ini sebagai pintu masuk menangkapi ulama dan aktivis ummat yang kritis terhadap penguasa. Polisi begitu sigap memproses kasus yang dianggap pelakunya melibatkan ummat atau tokoh Islam dan aktivis kritis. Tapi pada saat yang sama, sangat lambat bahkan enggan memproses laporan jika pelakunya para anjing penggonggong Istana atau mereka yang pro penguasa. Ditolaknya laporan atas fitnah yang ditebar Denny Siregar atas ambulans Pemprov DKI yang dituding membawa batu dan bensin, adalah contoh terang-benderang ketidakadilan Polisi. Dengan seabreg fakta yang ada, tidak heran bila pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf, menyatakan sejak dipimpin Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Polri telah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga penegak hukum dan telah berubah menjadi bumper Parpol pendukung Pemerintah. Saya hanya ingin mengingatkan, bahwa segala sesuatu ada masanya. Kali ini, boleh saja Ninoy dan kawanan anjing penggonggong Istana sedang berpesta-pora. Saat ini boleh jadi polisi sedang di atas angin. Tapi, sekali lagi semua ada waktunya. “... dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami *pergilirkan* di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). Dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir), serta agar sebagian dari kamu dijadikanNya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (TQS Ali Imron [3]:140). Ingat, tidak ada pesta yang tak berakhir. Begitu juga dengan kalian! Oya, satu lagi, siapa pun kalian, jika beriman dan punya Tuhan, tentu kalian paham dan yakin, bahwa setiap perbuatan baik dan buruk di dunia ini, sekecil apa pun, pasti akan mendapat balasan di akhirat. Dah, gitu ajah! [*] Jakarta, 10 Oktober 2019

Akankah Kerusuhan di Ekuador Menjalar ke Asia?

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ekuador bergolak. Pemantiknya adalah berbagai isu yang terkait dengan problem ekonomi dan keuangan. Nah, inikah titik awal resesi ekonomi dunia yang diramalkan itu? Wallhu a’lam! Sudah tujuh hari ini berlangsung protes rusuh di Ekuador, sebuah negara Amerika Latin. Kerusuhan melanda ibukota, Quito. Puluhan ribu warga penduduk asli datang menyerbu Quito. Akibatnya, presiden negara yang berpenduduk 16.5 juta itu terpaksa memindahkan kantornya ke kota pelabuhan, Guayaquil –150 kilometer dari ibukota. Rakyat Ekuador menentang kebijakan pemerintah Presiden Lenin Moreno. Dia menghapus subsidi BBM, memotong gaji sektor publik, dan menaikkan pajak. Moreno menggantikan Presiden Rafael Correa dalam pilpres 2017. Harga BBM naik lebih 100% sejak subsidi dicabut Kamis lalu. Kebijakan “austerity” (penghematan) ini dilakukan sebagai persyaratan dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menstabilkan keuangan Ekuador. Dalam beberapa dekade ini, aksi protes penduduk asli (indigenous) berhasil menggulingkan tiga presiden di Ekuador. Laporan-laporan menyebutkan, ratusan orang ditahan dalam aksi protes yang disertai tindak kekerasan itu. Saking besarnya aksi protes rakyat, Presiden Moreno mengumumkan keadaan darurat. Tetapi tindakan ini tak berhasil menghentikan aksi rakyat. Aksi-aksi protes ini membuat Ekuador lumpuh total. Sekarang, stabilitas negara itu terancam. Aksi kerusuhan tidak hanya berlangsung di ibukota, tetapi juga kota-kota lain. Penguasa memberlakukan larangan keluar malam mulai pukul 17.00. Ekuador sudah lama mengalami masalah keuangan. Sejak masa kekuasaan Rafael Correa, negara kaya minyak ini masuk ke dalam jebakan utang RRC. Sudah USD11 miliar uang China dikucurkan. Ternyata, tak cukup. Ekuador minta tambahan. Pinjaman itu dicairkan sekitar 2015. Dengan bunga tinggi. Sebelumnya, China mengerjakan proyek pembangkit listrik tenaga air dengan biaya USD2.2 miliar. Seperti di Indonesia, pembuatan bendungan untuk proyek listrik ini dikerjakan oleh para teknisi China. Sektor perminyakan Ekuador pun telah dikuasai China. Hampir 90% ekspor minyak negara ini dikirim ke RRC sebagai pembayar utang. China membangun dan mengoperasikan pabrik penyulingan minyak besar di dekat kota Manta. Biayanya cukup besar. Kapasitasnya juga besar. Dengan uang pinjaman miliaran dollar, Ekuador dipaksa menjual minyaknya kepada RRC. Alberto Acosta, mantan menteri energi pada era Correa, menyindir keras kehadiran China di Ekuador. Acosta mengatakan, “Persoalannya ialah kami mencoba menggantikan imperialisme Amerika Serikat dengan imperialisme China.” “China itu belanja ke segenap penjuru dunia, menukar duit mereka menjadi sumber tambang dan investasi. Mereka tidak hanya datang membawa uang dan teknologi, tetapi sekaligus bunga tinggi,” kata Acosta kepada New York Times belum lama ini. Sebagaimana Ekuador, banyak negara lain yang kini mulai dilanda kesulitan ekonomi. Atau bahkan sudah lama mengalami masalah ekonomi. Dalam laporan yang berjudul “Trade and Development Report 2019”, organisasi perdagangan dan pembangunan PBB (UNCTAD yaitu United Nations Conference on Trade and Development) memperingatkan tentang resesi ekonomi tahun depan (2020). Badan ini mengatakan, isyarat resesi itu sangat jelas dan berbahaya. Dalam banyak contoh di masa lalu, resesi ekonomi bisa menjadi penyebab instabilitas politik dan krisis kepercayaan terhadap penguasa. Di Asia, banyak negara yang bisa rentan gara-gara resesi. Termasuk Indonesia. Pada 1998, Presiden Suharto lengser karena krisis keuangan. Karena krisis utang. Pada waktu ini, Indonesia kembali mengalami jumlah utang pemerintah dan swasta yang bisa memicu krisis keuangan. Begitu pula dengan banyak negara di benua-benua lain. Pertanyaannya, mungkinkah kerusuhan seperti di Ekuador menjalar ke kawasan Asia? Jawabannya: tidak seorang pun menghendaki itu terjadi. Untuk Indonesia, apakah pemerintah telah mengambil ancang-ancang untuk menghadapi kemungkinan gangguan ekonomi-keuangan (resesi) seperti yang diprediksi oleh UNCTAD? Seharusnya, tanpa ditanya pun mereka selalu siap. Periode kedua Presiden Jokowi bisa saja dilanda krisis yang bersumber dari tumpukan utang. Membayar cicilan 300-400 triliun rupiah per tahun tampaknya bukan beban yang ringan. Jika resesi ekonomi juga melanda Indonesia tahun depan (2020), persoalan yang muncul bisa sangat serius.[] 10 Oktober 2019