Sejak Kapan Agama Jadi Musuh Pancasila?
Sebuah Catatan Atas Pernyataan Kepala BPIP
Oleh Muhammad Wildan
Jakarta, FNN - Kembali pernyataan kontroversial lahir dari balik meja pemerintah. Dalam sebuah wawancara media, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) secara lugas menyatakan Agama ialah musuh Pancasila. Sebuah kesimpulan yang menurut penulis terkesan serampangan karena mengingkari sejarah Pancasila itu sendiri.
Bagi mereka yang mengerti sejarah tentu pernyataan ini sangat mudah dicari kelemahannya, cukup dengan membuka dokumen-dokumen sidang BPUPK 29 Mei-1 Juni 1945, menyebut tokoh-tokoh agama yang hadir dan menerima Pancasila pada sidang tersebut, atau dengan mengurai argumen-argumen yang dikemukakan oleh Bapak-bapak pendiri bangsa.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis sengaja tidak membahas pernyataan tersebut dengan argumentasi sejarah 1 Juni 1945, kita hormati saja pernyataan tersebut sebagai buah pikir seorang ilmuwan, terlepas dari kuat lemahnya argumen beliau.
Namun jika pernyataan tersebut kita terima sebagai sebuah argumen akademis, pertanyaannya ialah sejak kapan Agama bermusuhan dengan Pancasila?
Mari sedikit kita mencari jalan menjawab pertanyaan diatas, dengan terlebih dahulu kita benahi logika pernyataan kontroversial tersebut.
Pernyataan agama adalah musuh pancasila menurut hemat penulis bisa saja lahir dari logika yang memandang Agama dan Pancasila sama-sama bernilai absolut. Entah sama-sama bersumber dari wahyu Tuhan atau sama-sama dibawa oleh seorang nabi. jika benar demikian maka kedua elemen absolut tersebut nampaknya tidak mungkin dapat disatukan karena akan saling membunuh satu sama lain. Apa mungkin logika sedangkal ini yang dipakai oleh seorang akademisi yang masih berstatus rektor tersebut?
Baiklah, bagaimana jika pernyataan tersebut kita tambahkan sedikit redaksinya menjadi "Tafsir Agama adalah musuh Tafsir Pancasila". Maka pernyataan tersebut dapat diterima secara logika karena tafsir bersifat relatif dan bisa saling bertentangan.
Jika pembaca sudah bersepakat untuk menambah sedikit redaksi pernyataan tersebut, mari kita kembali ke pertanyaan awal yaitu, sejak kapan Tafsir Agama menjadi musuh Tafsir Pancasila? Apakah sejak masa awal kemerdekaan? Masa orde lama, orde baru, sejak Reformasi, atau sejak Rezim hasil Pemilu 2014?
Kita tentu tahu atau setidaknya pernah tahu bahwa diskursus agama versus pancasila bukan topik baru di republik ini. Wacana tersebut telah hidup diseminar-seminar, di berbagai kajian, mimbar dan berbagai forum diskusi sejak puluhan tahun yang lalu. Dimasa orde lama dan orde baru persinggungan tafsir agama dan tafsir pancasila tidak terlalu terasa dampaknya karena hanya berputar-putar dilingkaran elite, aktivis dan akademisi.
Adu tafsir tersebut kemudian makin terasa dampaknya sejak Pemilu 2014. Bahkan bukan hanya wacana, debat Agama versus Pancasila bahkan tumbuh menjadi konflik yang kongkrit hingga menyebabkan pembelahan luar biasa dalam masyarakat kita. Akibatnya masyarkat kita seolah terjebak dalam kerentanan sosial karena konflik tersebut gagal dimoderasi oleh negara. Salah satu bentuk kegagalan negara dalam memoderasi diskursus tersebut terlihat dari pernyataan kontroversial seorang pejabat negara yang digaji sedemikian besarnya yang sedang kita bahas ini.
Pemerintah yang harusnya tampil mengelola public discourse justru gagap dan seperti membangun demarkasi dengan memonopoli tafsir atas Agama dan Pancasila. Semakin berbahaya karena ditengah masyarakat muncul semacam kepercayaan bahwa Agama seolah tidak pancasilais dan pancasila seolah tidak agamis akibat kegagapan pemerintah tersebut.
Bagaimana mungkin kehidupan berwarganegara dapat tentram jika Pemerintah tetap berpijak diatas satu tafsir dan menghukum tafsir yang lain?
Akhirnya semoga pernyataan kontroversial semacam ini tidak lagi keluar dari kantor pemerintah dan semoga pemerintah kita berfokus membenahi persoalan-persoalan kongkrit yang lebih urgent untuk diselesaikan daripada menjadikan isu agama versus pancasila sebagai pelarian dari kegagalan membangun ekonomi.
Biarlah public discourse berkembang alamiah hingga mencapai sintesanya sendiri.
Penulis adalah Peneliti Sentra, Pusat Studi Politik dan Kebudayaan di Maluku Utara