OPINI

Surat Terbuka buat Presiden Joko Widodo, INPRES BPJS? JANGAN. PLEASE, DEH!

Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pak Presiden Joko Widodo, saya mau tanya, kabarnya sampeyan tengah menyiapkan Instruksi Presiden (Inpres) yang menetapkan penunggak iuran BPJS Kesehatan tidak bisa mengakses pelayanan publik. Benarkah? Pak Joko, kabarnya, aturan ini bakal mengatur penunggak iuran BPJS Kesehatan tidak akan bisa memperpanjang paspor, SIM, mengurus anak sekolah, tidak bisa mengajukan kredit perbankan, hingga tak bisa mengurus administrasi pertanahan. Benarkah? Kata Direktur Utama PT BPJS Fahmi Idris, Inpres yang bakal sampeyan terbitkan itu kabarnya bertujuan untuk meningkatkan kolektibilitas iuran BPJS Kesehatan. Benarkah? Draft Inpres itu, kabarnya, tengah disiapkan Kantor Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Benarkah? Mas Joko (biarkan saya memanggil sampeyan dengan mas, biar terasa ‘lebih akrab’. Lagi pula, selisih usia kita tidak terpaut jauh, kan? Cuma sekitar lima tahun saja. Dan, yang lebih penting lagi, memanggil presidennya dengan ‘mas’ bukanlah pelanggaran hukum apalagi dituding terpapar radikalisme. Betul begitu, kan, mas?), saya ingin sedikit mengingatkan sampeyan. Pertama, bahwa iuran BPJS itu pada hakekatnya adalah premi asuransi yang dibayarkan peserta kepada perusahaan penyelenggaranya. Di belahan bumi mana pun, tidak ada secuil pun aturan yang mewajibkan rakyatnya ikut asuransi, apalagi membayar premi kepada perusahaan. Kedua, di belahan dunia mana pun, premi asuransi bukanlah pajak dan atau pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Untuk dua jenis pungutan kepada rakyat tersebut, ada dasar hukumnya. Kita menyebut itu dengan Undang Undang. Salah satunya, UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Mungkin ada UU Perapajakan yang lebih baru, saya _Ndak tahu. Barangkali sampeyan bisa tanya sama Sri Mulyani, Menteri Keuangan terbalik negeri ini. _Ndak_ sulit, kan, mas Joko tanya kepada si mbak yang jadi anak buah sampeyan itu? Oya, saya juga mau mengingatkan sampeyan, mas Presiden, bahwa UU itu produk bersama antara Pemerintah dan DPR. Sampayan pasti tahu, kenapa pemerintah harus melibatkan DPR dalam membuat UU, kan? Ndak perlulah saya mengajari lagi, lha wong sampeyan pasti lebih tahu daripada saya. Ketiga, bahwa karena bukan pajak atau PNBP maka negara sama sekali tidak boleh memaksa rakyat membayar. Apalagi ini cuma premi perusahaan asuransi. Kalau negara sampai memaksa rakyat membayar, lalu apa bedanya pemerintahan sampeyan sekarang dengan Kompeni saat menjajah Indonesia? Maaf, lho ya, kalau saya langsung menyebut Kompeni. Maksudnya supaya lebih jelas saja dan ndak bertele-tele. Keempat, jika mas Joko jadi menerbitkan Inpres sanksi bagi pelanggar iuran BPJS tidak bisa memperolah layanan publik, ini kan lebih zalim lagi. Mosok sebagai Presiden sampeyan akan memerintahkan aparat negara menolak rakyat yang mau memperpanjang SIM, Paspor, mengurus anak sekolah, akses perbankan, hingga tak bisa mengurus administrasi pertanahan hanya karena menunggak iuran BPJS. Jangan begitulah, mas. Bukankah tugas aparat dan birokrasi negara memang untuk melayani rakyatnya? Saya ingatkan mungkin saja sampeyan lupa, bahwa menunggak iuran BPJS bukanlah tindakan kiriminal. Lha wong mereka yang jelas-jelas melanggar hukum saja masih berhak memperoleh pelayanan publik, kok. _Ndak_ percaya, lihat saja rekam jejak orang-orang di Senayan itu. Beberapa dari mereka (untuk tidak menyebut ‘banyak’) yang tersangkut masalah hukum? Tidak tanggung-tanggung, mereka mencuri uang rakyat dalam jumlah puluhan miliar, ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah! Atau, mungkin sampeyan akan mengelak dengan mengatakan, lho orang-orang terhormat di Senayan itu belum terbukti secara hukum melakukan korupsi. Begitu? Alahhhh..., mas Joko, sampeyan lebih tahu permainan dan campur aduk antara soal hukum dan politik di negeri ini ketimbang saya. Kelima, kalau sampeyan jadi juga menerbitakn Inpres ini, mas Joko bisa diakegeorikan melanggar UU, lho. Minimal, sampeyan melanggar prosedur penerbitan peraturdan dan perundangan. Sebab, setiap aturan yang isinya memungut uang rakyat harus berbentuk UU, harus dibuat bersama-sama DPR. Lalu, pungutan itu harus benar-benar masuk ke kas negara, bukan kas perusahaan. Apalagi kalau tujuan diterbitkannya aturan tersebut hanya untuk memperbaiki kolektibilitas iuran BPJS. Keleru, mas, keleru! Keenam, sampeyan pasti masih ingat tujuan para bapak pendiri bangsa ini membentuk Indonesia, kan? Kalau lupa atau ndak sempat mencari referensinya, ini saya kutipkan paragraf keempat Pembukaan UUD 1945, konstitusi kita: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa..." Jadi mas Joko, bapak-bapak pendiri bangsa membentuk negara yang amat kita cintai ini antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Nah, bagaimana mungkin rakyat bisa sejahtera kalau mereka tidak bisa bekerja narik ojek atau jadi sopir karena tidak bisa memperpanjang SIM hanya disebabkan telat membayar iuran BPJS? Bagaimana rakyat bisa cerdas kalau anak-anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah hanya karena orang tuanya telat membayar iuran BPJS? Bagaimana kesejahteraan rakyat meeningkat, kalau mereka tidak bisa mengakses kredit perbankan untuk memulai atau mengembangkan usaha hanya karena menunggak iuran BPJS? Bagaimana rakyat bisa menjual lahan atau rumahnya, hanya karena telat membayar iuran BPJS? Padahal, bisa jadi mereka menjual lahannya yang cuma seuprit untuk melunasi tunggakan iuran BPJS. Ketujuh, saya ingin mengingatkan sampeyan, bahwa negara bertanggung jawab menjamin kesehatan seluruh warga negara. Ini amanat konstitusi, lho. Silakan baca pasal 34 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, “ negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.” Jadi, berdasarkan konstitusi kita yang dalam sumpah jabatan sampeyan harus junjung tinggi itu, jelas-jelas Pemerintah wajib menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Wajib! Jangan pula kewajiban ini Pemerintah manipulasi dengan membentuk perusahaan asuransi yang menarik premi dari rakyat, wajib plus sanksi-sanksinya pula! Saya serius, kalau sampai Inpres tertsebut terbit, artinya sampeyan bisa disebut melanggar UU bahkan konstitusi kita. Agar tidak lupa, dalam sumpah jabatan, mas Joko mengucapkan ini: “ Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban sebagai Presiden/Wakil Presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan semua undang-undang dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.” Mas Joko, sumpah ini serius banget, lho. Berat! Karena siapa pun Presidennya yang mengucapkan sumpah ini, artinya dia sudah berjanji kepada rakyat Indonesia. Melanggar sumpah ini, bisa berujung pada pemakzulan. Sesuai Konstitusi kita, Presiden juga bisa diberhentikan di tengah jalan. Jadi, di negeri ini memakzulkan Presiden dan atau Wapres di masa jabatannya bukanlah tindakan inkonsititusional. Pasal Pasal 7A, menyebutkan: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Tapi, ah sudahlah. Aturan main pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya di pasal-pasal berikutnya dibuat begitu rumit, njelimet, berbelit. Singkat kata, nyaris tidak mugkin! Apalagi dengan komposisi anggota DPR sekarang, semuanya jadi nyaris mustahil! Tapi sebagai orang beragama, saya yakin sampeyan pasti paham dan mengerti benar, bahwa sumpah ini juga disaksikan para malaikat juga Allah Tuhan Yang Maha Berkuasa lagi Maha Perkasa. Allah akan minta pertanggungjawaban pelaku sumpah ini di akhirat kelak. Allah juga telah sediakan balasan, baik siksa yang amat pedih maupun ganjaran kenikmatan, atas orang yang bersumpah ini. Dan, semua balasan itu abadi, kekal, tidak berkesudahan. Tidak seperti masa jabatan di Indonesia yang maksimal hanya dua periode alias 10 tahun. Sungguh suatu sumpah yang tidak boleh dan bisa dianggap main-main. Atau, barangkali, maaf, sampeyan berpendapat, ah itu kan di akhirat. Masih lama. Masih bisa tobat, minta ampun kepada Allah. Tunggu dulu. Tidak ada yang tahu, kapan kiamat akan terjadi. Jangankan kiamat, setiap kita pun, tentu saja, termasuk sampeyan, tidak tahu kapan akan mati. Siapa yang bisa menjamin, sampeyan akan tetap hidup setelah menandatangani Inpres tersebut? Ndak ada, kan? Kalau sebagai Presiden sampeyan mau membantu menyelamatkan BPJS, masih ada bahkan banyak cara lain. Misalnya, sepertinya yang dipaparkan ekonom senior Rizal Ramli. Dia punya jurus-jurus jitu untuk menyelematkan BPJS tanpa harus memberatkan rakyat. Ndak perlu saya ulang di surat terbuka ini. Sampeyan bisa perintahkan staf untuk googling untuk mencarinya. Jadi, mas Joko please, deh, jangan terbitkan Inpres superngawur itu. Kalau semua ini terjadi, kasihan saya, saudara saya, tetangga saya, kenalan saya. Kasihani penduduk Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Papua, dan peduduk ratusan pulau lain. Kasihanilah kami, mas. Kasihanilah rakyat Indonesia! Dah, gitu aja! [*] Jakarta, 15 Oktober 2019

Deklarasi Oposisi Rocky Gerung, Siapa Mau Bergabung?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Manuver dan pilihan politik Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo membuat Rocky Gerung “ingkar” janji. Tanpa menunggu pelantikan presiden, dia sudah mengumumkan sikapnya: Oposisi terhadap Prabowo! Rocky bahkan berjanji akan berkeliling Indonesia, mengajak para kampret (mantan pendukung Prabowo) bergabung bersamanya. “Benar. Deklarasi sebagai oposisi terhadap Prabowo terpaksa saya majukan,” ujar Rocky dalam tayangan perdana resonansi.tv ( berbasis youtube ) Selasa (15/10). Bagi yang tidak paham konteks dan sikap politiknya, keputusan Rocky ini agak membingungkan. Pada kampanye pilpres lalu Rocky berjanji. "Pak Prabowo akan saya kritik 12 menit setelah dia dilantik, catat jejak digital hari ini," kata Rocky di hadapan ribuan alumni perguruan tinggi pendukung Prabowo-Sandi di Gedung Padepokan Pencak Silat TMII, Jakarta Timur, Sabtu (26/1/2019). Apa lacur ternyata Prabowo kalah. Seharusnya tidak ada pelantikan. Seharusnya Prabowo tetap bersama kampret. Bersama Rocky menjadi oposisi. Mengkritik pemerintah. Bukan dikritik. Namun melihat manuvernya dalam beberapa hari terakhir, semakin meyakinkan publik, Prabowo tidak akan pernah menjadi oposisi. Tidak akan timbul tenggelam bersama rakyat, seperti yang dia janjikan. Safari politiknya menunjukkan dia telah menjadi bagian terpenting dari pemerintahan Jokowi. Menjadi aktor utama mewakili kepentingan Megawati dan Jokowi. Jumat (11/10) Prabowo bertemu dengan Jokowi di Istana. Saat itu dia mengaku memenuhi undangan Jokowi. Kepada media secara diplomatis Prabowo menyatakan siap membantu Jokowi bila dibutuhkan. Namun seandainya tidak berada di kabinet, Gerindra akan loyal sebagai penyeimbang. Bukan oposisi. Basi-basi politisi yang sudah basi! Setelah bertemu Jokowi, Ahad malam (13/10) Prabowo melanjutkan safari politiknya. Secara mengejutkan dia bertandang ke rumah Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Sebelumnya sulit membayangkan kedua figur ini bisa bertemu. Apalagi kemudian saling rangkul, peluk, tertawa bersama dan mengaku punya banyak kesamaan pandangan. Prabowo selama ini secara terbuka menyatakan ketidak-sukaannya terhadap Surya Paloh. Dia selalu menolak diwawancarai oleh Metro TV milik Surya. Prabowo menyebut Metro TV tidak punya akhlak dan pencetak kebohongan. Sebaliknya Metro TV juga selalu memberitakan Prabowo secara miring. Termasuk dalam editorialnya sebagai sikap resmi redaksi. Hubungan keduanya seperti anjing dan kucing. Seperti tokoh kartun legendaris Tom and Jerry. Tak pernah akur. “Permusuhan” keduanya terus berlanjut. Pada saat Prabowo bertemu Megawati dalam diplomasi nasi goreng, pada saat yang sama Surya menggelar pertemuan dengan Gubernur DKI Anies Baswedan. Setelah itu Surya maupun media miliknya Metro TV dan Media Indonesia mulai menyuarakan pentingnya oposisi. Surya juga mulai melakukan kritik dan bersuara miring terhadap beberapa kebijakan pemerintahan Jokowi. Pada pelantikan anggota DPR RI (2/10) terjadi drama politik yang cukup menarik. Mega tidak menyalami Surya. Padahal Surya sudah berdiri menyambutnya. Mustahil pertemuan Prabowo dengan Surya kali ini tanpa sepengetahuan dan restu Megawati. Mereka saat ini telah menjadi satu paket yang solid. Pemilihan ketua MPR adalah salah satu contohnya. Gerindra akhirnya sepakat mendukung Bambang Soesatyo sebagai ketua MPR setelah Prabowo menemui Megawati. Padahal sebelumnya mereka ngotot mengajukan Ahmad Muzani. Sehari kemudian, Senin malam (14/10) Prabowo bertemu dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Setelah itu dia juga direncanakan akan bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Pertemuan Prabowo dengan para ketua umum partai pendukung Jokowi ini tentu saja sangat menarik dan menimbulkan tandatanya. Dalam kapasitas apa, dan apa pula kepentingannya? Prabowo tampaknya telah mendapat peran baru. Dia menjadi semacam mediator mempertemukan kepentingan Megawati sebagai pemegang saham mayoritas pemerintah, dengan para partner pemegang saham lainnya. Safari politik itu juga sekaligus menjadi semacam pemberitahuan resmi kepada partai-partai pendukung pemerintah. Bahwa saat ini dia yang mengendalikan permainan. Bila tidak mencapai titik temu, maka seperti dikatakan Rocky, bisa terjadi kampret mengusir cebong. Menjadi Perdana Menteri “Kelihatannya Prabowo akan menjadi semacam Perdana Menteri. Menjalankan peran yang selama ini dimainkan Luhut Panjaitan. Bahkan lebih besar,” ujar Rocky. Rocky mendapat informasi Prabowo akan menempati posisi sebagai Menkopolhukam, sesuai dengan latar belakang dan keahliannya. Bukan posisi Wantimpres seperti yang selama ini diduga. Dengan posisinya tersebut, Prabowo juga akan mengambil alih peran Wapres Ma’ruf Amin, termasuk dalam diplomasi internasional. Peran itu selama ini dijalankan oleh Wapres Jusuf Kalla dan tidak mungkin dimainkan Ma’ruf. Hanya saja dalam catatan Rocky kemungkinan besar Prabowo akan menghadapi persoalan, terutama catatan lamanya yang berhubungan dengan kasus HAM. Bila itu bisa diatasi, maka dia akan menjadi tokoh nomor dua di republik ini setelah Jokowi. Besarnya peran Prabowo itu tak lepas dari kepentingan politik Ketua Umum PDIP Megawati. “ Dia merasa lebih nyaman, dan sudah paham luar dalam soal Prabowo,” ujar Rocky. Megawati ingin mengamankan kepentingan politik dan keberlangsungan kekuasaannya pasca Jokowi. Prabowo merupakan sekutu politik yang paling tepat dibandingkan ketua umum partai lain, termasuk Surya. Pertemuan Prabowo dengan para ketum parpol menjadi semacam negosiasi, bagi-bagi kapling di kabinet. Pos-pos penting dan strategis secara politik dan menghasilkan uang dikuasai oleh Megawati dan Prabowo. Sementara pos-pos kabinet yang menghabiskan uang, silakan dibagi-bagi ke parpol lainnya. Baku atur, cincai di antara para oligarki. Tinggal rakyat bingung sendiri. Baik pemilih Jokowi, maupun Prabowo cuma bisa melongo. Akal sehat mereka tidak bisa mencerna. Mereka masih gontok-gontokan. Para politisi junjungan mereka rangkul-rangkulan, bagi kapling rezeki dan kekuasaan. Tak perlu ada oposisi, sehingga mereka bebas tanpa kontrol, melakukan apa saja. “Beli nomor 1, kok dapatnya nomor 2. Promo Berlaku Selama 5 Tahun.” Begitulah meme menggambarkan suasana hati rakyat. Getir dan bikin kita hanya bisa tersenyum kecut. Demokrasi khas ala Indonesia. Ala Nusantara! Tanpa representasi parpol sebagai oposisi di DPR, rakyat akan berhadapan langsung dengan pemerintah. Hanya dengan PKS sebagai oposisi, perannya tidak signifikan. “Bila situasi ekonomi dan politik memburuk, sulit terhindarkan munculnya DPR jalanan. Anak-anak STM bisa kuasai kabinet,” terang Rocky. Itulah pentingnya rakyat yang tetap berakal sehat bergabung. Menjadi kekuatan kontrol dan kritis terhadap pemerintah. Apakah Rocky Gerung bersedia menjadi pemimpinnya? End

Nggak Butuh Prabowo, Nyampah-nyampahin Negeri Aja

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Urat malu para politisi terlalu tipis sehingga mudah putus. Prabowo Subianto mungkin salah satunya. Capres yang selalu kalah ini belakangan menghiasi layar kaca. Ia bersafari ke Istana sampai ke rumah ketua parpol. Publik menduga, tujuannya satu: kursi menteri “demi nusa dan bangsa”. Langkah Prabowo ini bisa dibilang tak tahu malu, karena Prabowo sudah jelas-jelas kalah dalam pemilu dan pilpres kemarin. Bisa-bisanya ia ikut berebut kursi menteri. Dengan dalih demi nusa dan bangsa pula. Pretttt. Padahal, akibat dari tindakan Prabowo ini justru akan buruk bagi nusa dan bangsa. Jika sampai Gerindra dan Prabowo berkoalisi dengan pemerintah, maka pemerintahan mendatang tanpa penyeimbang. Oposisi mati. Itu buruk bagi demokrasi. Di sisi lain, sikap Prabowo juga mengecewakan sebagian besar pendukungnya. Pantas saja, jika Rocky Gerung bertekad akan “road show” berkeliling Tanah Air untuk mengajak “kampret” –pendukung Prabowo-Sandi dalam pilpres kemarin-- beroposisi pada Ketua Umum Gerindra itu. Tokoh yang memopulerkan kata-kata ‘dungu” ini juga mengajak “cebong” –pendukung Jokowi-Makruf Amin—untuk menolak masuknya Prabowo ke dalam barisan pendukung pemerintah. “ Nggak butuh tokoh seperti dia, nyampah-nyampahin negeri aja,” tandasnya. Merapatnya Prabowo ke Jokowi mengundang banjir cemoohan dari pendukungnya. Prabowo bilang rekonsiliasi demi bangsa dan negara. Agar bangsa ini tidak lagi terbelah. Dia beranggapan bermesraan dengan penguasa, serta merta para pendukungnya bakal ikutan mesra. Seorang pensiunan wartawan, Balya Nur menulis, Prabowo terlalu pede. Percaya diri. Dia mengingatkan pendukung Jokowi dengan pendukung Prabowo sangat berbeda. Pendukung Jokowi adalah mereka yang habis-habis mendukung bekas Wali Kota Solo ini karena sosoknya. Pokoknya walau langit runtuh, Jokowi harga mati. Lain lagi dengan pendukung Prabowo. Mereka mendukung Ketua Umum Gerindra ini karena nilai. Bukan sosoknya. Kini, Prabowo sudah membuang nilai itu, sehingga ia sudah meninggalkan pendukungnya. Cara yang ia tempuh pun sangat menyakitkan dan juga memalukan. Prabowo lupa bahwa dirinya didukung oleh Ijtima Ulama. Ada nilai-nilai islami pada nilai program pada capres Prabowo-Sandi, kala itu. Kini, para pendukung Prabowo yang didorong oleh nilai itu sudah membaca, Prabowo jauh dari nilai-nilai tersebut. Selain membangun koalisi dengan pemerintah, Prabowo dan Gerindra sudah menunjukkan bahwa dirinya memang tidak pantas didukung umat Islam. Setidaknya ada dua parameter soal itu. Pertama, Gerindra menunjuk Rahayu Saraswati Djojohadikusumo untuk tampil membaca doa di acara resmi sidang paripurna MPR. Rahayu adalah keponakan Prabowo. Dia perempuan, selain itu juga nonmuslim. Untung Ketua MPR Zulkifli Hasan mengambil alih dengan membaca doa pendek. Gerindra protes dan keluar ruang sidang. Mereka menuduh Zulkifli Hasan intoleran. Padahal, Ketua MPR itu telah menyelamatkan Gerindra. Kalau sampai terjadi Rahayu membaca doa, sudah pasti akan ramai di medsos. Sejak zaman Bung Karno sampai zaman Jokowi, tidak ada pada acara resmi kenegaraan, pembacaan doa diserahkan kepada perempuan dan nonmuslim. Bahkan sejak zaman Soeharto pada masa dia tidak mesra dengan umat Islam juga tidak ada. Sampai zaman Jokowi yang dituduh sebagai era liberal juga nggak ada. Bukan mereka nggak paham soal toleransi. Mereka paham soal kepatutan. Mereka tidak mau menyinggung perasaan mayoritas. Itu baru namanya toleransi. Kedua, Gerindra berencana memperjuangkan RUU PKS atau Penghapusan Kekerasan Seksual. Itu bisa dicermati dari semangatnya Rahayu Saraswati memperjuangkan hal itu. Padahal para ulama yang tergabung dalam ijtima ulama menentang sebagian pasal pasal dari RUU PKS. Dari dua parameter ini saja jelas bahwa Prabowo telah membuat para pendukungnya menyesal telah memperjuangkan dirinya waktu pilpres yang lalu. Lebih dari itu, eks pendukung Prabowo juga malu. Malu karena pilihannya dulu tidak punya malu. Kembali ke soal rekonsiliasi. Prabowo menyebut bahwa langkah itu dilakukan agar tidak ada perpecahan anak bangsa hanyalah pemanis bibir saja. Sepanjang penguasa adil pada rakyatnya, rakyat tidak akan terbelah. Kalau rakyat merasa penguasa tidak adil, mereka tetap akan protes. Apalagi jika buzzer pro penguasa terus saja memanas-manasi. Presiden terpilih adalah milik rakyat bukan hanya milik relawan. Selama masih ada relawan pro penguasa, selama itu pula rakyat tidak merasa memiliki presiden. Dan akan terus terbelah. Rakyat di satu sisi, buzzer pemerintah di sisi lain. End

Jangan Cemen, Berlaku Adil-lah, Jenderal!

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sanksi pencopotan jabatan Dandim 1417 Kendari Kolonel Kav Hendi Suhendi hanya karena postingan istrinya, Irma Purnama Dewi Nasution, soal penusukan Menko Polhukam Wiranto di Kabupaten Pandeglang, Banten, justru menyalahi Undang-Undang. Yakni, UU No 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Menurut Kapendam XIV Hasanuddin Kolonel Inf Maskun Nafik, postingan istri Dandim Kendari itu dinilai TNI AD menjatuhkan martabat prajurit. Di mana letak pelanggaran Dandim? Cermati, postingan Irma Nasution itu hanya mengatakan, “Jangan cemen pak,…Kejadianmu tak sebanding dengan berjuta nyawa yg melayang”. Ungkapan hiperbola (makna berlebihan) ini jelas tanpa mempersonifikasi kepada individu tertentu (Wiranto). Tulisan “jangan cemen pak” itu bisa ditujukan kepada semua orang pria yang dipanggil Pak! ‘Pak’ ini tidak bisa diarahkan dan ditujukan secara khusus kepada Wiranto. Kalau ada yang merasa itu ditujukan kepada Wiranto, itu tafsiran bukan konteks bahasa. Dalam postingan kedua berupa sebuah nasehat untuk mengingatkan peristiwa yang pernah terjadi dialami mantan Ketua DPR Setya Novanto. Posting-an kedua tertulis “Teringat kasus pak Setnov,.. bersambung rupanya, pake pemeran pengganti’. Untuk postingan kedua itu, juga tidak ada kata yang menyebut nama Wiranto. Jika sampai ke peradilan umum, peluang untuk lolos dari tudingan ujaran kebencian sangatlah besar. Jaksa pun tidak akan gegabah menuduh Irma Nasution melanggar UU ITE. Jika “tindak pidana” Irma Nasution ini dikaitkan dengan jabatan suaminya sebagai Dandim Kendari, di mana letak pelanggaran disiplin militer Kolonel Hendi? Bukankah UU 25/2014 itu hanya berlaku bagi anggota TNI, bukan istri tentara (anggota Persit)? Meski secara yuridis formal belum diproses hingga vonis hakim, KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa sudah menjatuhkan sanksi kepada Kolonel Hendi dan seorang anggotanya. Keduanya dihukum karena istri mereka mem-posting soal penusukan Wiranto di medsos. Boleh jadi, sebagai istri Dandim Kendari, Irma Nasution sering mendengar keluh-kesah para istri anggota Kodim Kendari terkait dengan kesulitan ekonomi yang dialami mereka. Mereka tidak berani bicara terbuka. Di sinilah Irma Nasution kemudian “bicara”. Jenderal Andika mengatakan pihaknya menindak suami mereka. Kolonel HS dan Serda Z disebut telah memenuhi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 yaitu Hukum Disiplin Militer. “Sehingga konsekuensinya kepada Kolonel HS tadi sudah saya tandatangani surat perintah melepas dari jabatannya dan akan ditambah dengan hukuman disiplin militer berupa penahanan selama 14 hari, penahanan ringan selama 14 hari,” ujarnya. “Begitu juga dengan Sersan Z, telah dilakukan surat perintah melepas dari jabatannya dan kemudian menjalani proses hukuman disiplin militer,” lanjut Jenderal Andika. Nasib yang sama juga menimpa anggota POMAU Lanud Muljono Surabaya. Peltu YNS dicopot dan ditahan karena istrinya mengunggah opini negatif terkait penusukan Menko Polhukam Wiranto. Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsma Fajar Adriyanto mengatakan, Peltu YNS mendapat teguran keras, dicopot dari jabatan dan ditahan dalam rangka penyidikan oleh Pomau karena melanggar UU 25/2014 tentang Hukum Disiplin Militer. “Dalam urusan politik, posisi prajurit TNI AU dan keluarganya (Keluarga Besar Tentara-KBT) sudah jelas, netral. Oleh karena itu, KBT dilarang berkomentar, termasuk di media sosial yang berdampak pendiskreditan pemerintah maupun simbol-simbol negara,” ujarnya. Menurutnya, FS telah menyebarkan opini negatif terhadap pemerintah dan simbol negara dengan mengunggah komentar yang mengandung fitnah, tidak sopan, dan penuh kebencian kepada Menko Polhukam Wiranto yang terluka karena serangan senjata tajam di medsos. FS sudah dilaporkan ke Polres Sidoarjo karena melanggar UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal Penyebaran Kebencian dan Berita Bohong. “KBT yang kedapatan melanggar, dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku,” katanya saat dihubungi iNews.id, Jumat (11/10/2019). Sebenarnya hak politik bagi para istri prajurit TNI sudah pernah dikeluarkan oleh Panglima TNI semasa Moeldoko. Mantan Panglima TNI yang kini menjadi Kepala Staf Presiden (KSP) itu telah mengeluarkan kebijakan baru dengan memberi izin dan mengembalikan hak politik bagi para istri prajurit TNI. Mereka bisa menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih. Dalam Surat Telegram Panglima TNI Nomor: ST/1378/XI/ 2014 pada 24 November 2014 disebutkan, istri para prajurit TNI diperbolehkan untuk melakukan kegiatan politik sehingga nanti ada yang bisa menjadi bupati atau gubernur. ”Di dalam UU, yang dilarang berpolitik praktis itu prajurit TNI, sedangkan bagi istri prajurit TNI tidak ada larangan dan hal tersebut diperbolehkan,” tandas Pembina Utama Dharma Pertiwi ini pada acara HUT ke-51 Dharma Pertiwi di Balai Sudirman, Jakarta. Hal ini sudah masuk dalam agenda program sekaligus mempertegas dan memperjelas posisi istri prajurit TNI dalam politik. Tugas pokok Panglima TNI adalah tugas komando, yakni menyiapkan pasukannya agar siap tempur, menjaga dan meningkatkan kesejahteraan, serta menjaga dan memelihara kesejahteraan prajurit dan keluarganya. Rencana pemberian izin kepada istri prajurit TNI untuk bisa memenuhi hak-hak politiknya seperti dipilih dan memilih dalam pemilu sudah lama menjadi bahan kajian di Mabes TNI. Namun, rencana itu baru terwujud pada masa Panglima Jenderal Moeldoko. Pakar Hukum Prof. DR. Suteki SH MHum dalam tulisannya mencoba mencari tahu pasal mana yang mengatur bahwa apabila seorang istri anggota TNI melakukan pelanggaran hukum maka suaminya turut menanggung kesalahan. “Bahkan harus dihukum double, yaitu dicopot jabatannya, dikurung dalam sel 14 hari, serta belum lagi istrinya akan diajukan di peradilan umum. Kalau saya lihat misi UU Hukum Disiplin Militer adalah Pembinaan,” katanya. “Mengapa bukan aspek ini yang diutamakan melainkan terkesan “pembinasaan”,” lanjut Prof. Suteki yang menggugat Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang karena mengalami peristiwa serupa akibat dugaan mal administrasi. Pembianan oleh seorang atasan itu penting, sehingga tidak keburu menjatuhkan hukuman disiplin pegawai. “Saya dapat merasakan kepedihan anggota TNI itu, karena juga mengalami pencopotan jabatan karena diduga melakukan perbuatan melanggar disiplin pegawai.” Kasus seorang istri yang diduga melakukan pelanggaran hukum lantas berakibat dicopot dan dihukumnya suami yang anggota TNI itu. “Saya kira hukuman itu tidak adil dan cenderung menimbulkan rasa gelisah, resah pada anggota lainnya,” ungkap Prof. Suteki. Rasanya memang tak mungkin semua suami anggota TNI itu bisa mengawasi tindak-tanduk perilaku istrinya selama 24 jam. Para istri juga memiliki kelompok atau relasi dengan warga bangsa lain, apalagi sekarang eranya medsos. “UU Nomor 25 Tahun 2014 setahu saya hanya mengatur hukum disiplin yang melibatkan militer atasan dan bawahan. Bawahan yang dimaksud tidak termasuk istri dan anaknya,” ungkap Prof. Suteki. Sebagai Bawahan, seorang TNI itu juga manusia yang harus pula dilindungi hak-hak asasinya untuk diperlakukan adil dan tak sewenang-wenang. “Misalnya dihukum tanpa kesalahan yang dilakukannya secara langsung,” tegasnya. Menurut Prof. Suteki, sangat janggal bila ada prinsip tanggung renteng dalam penjatuhan hukuman terhadap suami TNI atas dugaan penggaran hukum yang dilakukan oleh istrinya. “Seandainya pun itu diatur dalam UU maka secara tegas saya nyatakan hal itu tidak adil dan cenderung terjadi pelanggaran atas HAM,” tegasnya. Jadi, mustahil suami anggota TNI dapat memastikan bahwa apa yang dilakukan oleh istrinya selalu dalam koridor hukum. Lalu, adilkah bila seorang anggota TNI dihukum disiplin dan kurungan ketika istrinya diduga melakukan pelanggaran hukum yang juga belum terbukti di depan pengadilan? Adilkah? Inikah yang disebut Pidana Tanggung Renteng padahal tidak ada unsur penyertaan suami TNI pun dalam dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh istrinya. “Saya tidak setuju kesalahan jempol istri, suami kena hukuman administrasi. Jika tujuannya untuk pelajaran bagi suami istri lain, ya cukup pidanakan istri yng berbuat salah,” komentar Advokat Muhammad Sholeh, SH. Meski belum diproses secara hukum, sebanyak 52 pengacara yang tergabung dalam kantor pengacara Supriadi & Co di Kota Kendari siap mendampingi istri Kolonel Hendi itu. Opini publik sudah menunjukkan empati kepada Irma Nasution, Kolonel Hendi, dan kawan-kawan. Pada intinya, publik menghendaki TNI tetap pada jalurnya dan tidak ikut mempermainkan hukum. Jadi, berlaku adil-lah, jenderal. Jangan cemen! ***

Faizal Assegaf Layak Wakili Maluku & Reformis di Kabinet

Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Sudah 41 tahun lebih, tidak ada putra Maluku yang duduk di kabinet sebagai menteri di NKRI ini. Putra Maluku terakhir yang duduk di kabinet adalah Profesor Dokter Gerrit Augustinus Siwabessy sebagai Menteri Kesehatan di tahun 1978. Kalau boleh bertanya, ‘apa salah dan dosa kami orang Maluku dan Maluku Utara kepada NKRI ini Pak Jokowi? By Kisman Latumakulita Tinggal enam hari lagi. Tepatnya hari Minggu depan, tanggal 20 Oktober, entah jam berapa, Pak Jokowi akan dilantik menjadi presiden Indoneia. Dan ini adalah periode kedua Pak Jokowi menjabat sebagai presiden. Baru Pak Jokowi lah yang menyamai rekor yang dicapai oleh Jendral Kehormatan TNI Purnawirawan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden Indonesia di era reformasi. Menjawab pertanyan wartawan di Istana Negara Jumat lalu 11 Oktober 20, Pak Jokowi memastikan bakal ada putra Papua yang duduk di kabinet. Pak Jokowi juga memastikan anggota kabinet bakal segera diumumkan setelah dilantik sebagai presiden. Bisa saja di hari yang sama. Namun bisa juga diumumkan pada hari-hari berikutnya. Soal pengumuman dan penyusunan anggota kabinet adalah kewenangan mutlak Pak Jokowi sebagai presiden. Khusus untuk kewenagan presiden yang satu ini, dipastikan hampir semua komponen bangsa sudah mengerti dan memahaminya. Semua dapat menerimanya sebagai hak presiden yang tidak bisa diganggu-gugat oleh siapapun . Istilah kerennya, disebut dengan “Hak Proregatif Presiden”. Menjadi hak mutlak Pak Jokowi juga untuk memastikan bakal ada wakil dari Papua di kabinet. Namun bagimana dengan wakil dari Maluku dan Maluku Utara. Sekedar mengingatkan saja, bahwa dua daerah ini menjadi pemegang saham pendiri republik ini Pak Jokowi. Dua daerah ini juga adalah satu diantara sepuluh provinsi yang mendirikan republik ini tahun 1945. Jong Ambon juga ikut menandatangani deklarasi “Sumpah Pemuda” tahun 1928. Bersama-sama dengan Jong Java, Jong Sumatera, Jong Selebes, Jong Borneo, yang mendeklarasikan “Sumpah Pemuda” sebagai cikal-bakal kemerdekaan Negara Indonesia. Sedangkan Papua itu baru menjadi bagian dari Indonesia pada 58 tahun yang lalu Pak Jokowi Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Maluku dan Maluku Utara melalui Kesultanan Tidore juga menyumbangkan sepertiga wilayah kekuasaanya masuk ke dalam Indonesia. Jadi, sepertiga wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekarang ini adalah kontribusi dari kami orang Maluku dan Maluku Utara, (ketika dulu masih menjadi satu provinsi). Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Tanpa harus menepuk dada bahwa kita bernegara dengan Pancasila dan UUD 1945 hari ini adalah karya putra Maluku Johanes Latuharharhary. Hampir saja kita menjadi Negara Indonesia khilafah sejak bedriri tahun 1945. Kalau saja anak Maluku J. Latuharhary dan A.A. Maramis tidak mengancam Bung Karno dan Bung Hatta agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dicoret. Ancamannya adalah Maluku dan Minahasa akan berpisah dari Indonesia. Dua daerah ini mau merdeka mendirikan negara sendiri, jika tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak dicoret dari Dasar Negara Pancasila. Pertanyaannya, apakah Maluku dan Maluku Utara masih bagian dari NKRI Pak Jokowi? Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Selian sebagai pendiri bangsa ini, sejak awal tahun 1800-san Kapitan Pattimura sudah tampil memimpin perlawanan kepada penjajah. Begitu juga dengan Sultan Nuku dari Kesultanan Tidore. Sultan Nuku yang terkenal dengan sebutan “Jou Barakati”, dana nama remajanya adalah Muhammad Amiruddin tersebut, telah memimpin pertempuran melawan penjajah sejak masih remaja (sebagai Kapita). Salah satu alasan utama Bung Karno memasukan Papua menjadi bagian dari NKRI, karena Papua adalah wilayah kekuasaan Sultan Nuku. Cerita ini bisa dibaca di risalah sidang-sidang Badan Usaha Persiapan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Adalah Muhamad Yamin, salah satu anggota PPKI dan BPUPKI ketika itu yang paling ngotot memasukan Papua sebagai bagian dari wilayah Indonesia Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Papua baru secara resmi menjadi dari NKRI 58 tahun yang lalu. Sedangkan Maluku dan Maluku Utara ikut mendirikan NKRI ini sebagai pemegang saham utama. Pemegang saham pendiri. Bahkan Pancasila yang hari ini kita pakai sebagai dasar Negara adalah hasil revisi dari putra Maluku Johannes Latharhary. Sebelumnya adalah Piagam Jakarta Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Sudah 41 tahun lebih, tidak ada putra Maluku yang duduk di kabinet sebagai menteri di NKRI ini. Putra Maluku terakhir yang duduk di kabinet adalah Profesor Dokter Gerrit Augustinus Siwabessy sebagai Menteri Kesehatan di tahun 1978. Kalau boleh bertanya, ‘apa salah dan dosa kami orang Maluku dan Maluku Utara kepada NKRI ini Pak Jokowi? Bukan itu saja Pak Jokowi. Kabinet Kerja yang enam hari lagi akan berakhir ini, ada sedikitnya dua puluh lima menteri berasal dari suku Jawa. Tiga menteri lagi berasal dari suku Sunda. Tujuh orang menteri berasal Sumatera, termasuk Aceh. Dua orang menteri berasal dari suku Bugis-Makasar. Satu berasal dari suku Bali. Satu lagi berasal dari suku Papua. Pelaku Reformasi Jika Pak Jokowi berkenan meningikutkan putra Maluku sebagai anggota kabinet, maka menurut saya Faizal Assegaf lebih layak dan pantas. Faizal Assegaf, salah satu tokoh reformasi 1998 yang berasal dari Maluku. Tokoh reformasi asal Maluku lainnya adalah Wahab Talaohu dan Haris Rusly Moti Tidak ada putra Maluku yang lebih berkeringat di Gerakan Reformasi 1998, selain tiga orang ini. Mereka bertiga ketika itu tampil menjadi aktor utama yang berhadap-hadapan dengan moncong senjatanya Wiranto di semua sudut Jakarta dan Yogyakarta. Mereka bersama-sama dengan Adian Napitupulu, Mashinton Pasaribu, Fahri Hamzah, Rama Pratama, Andi Rahmat, Bernat dan lain-lain. Resikonya adalah ditangkap atau ditembak dengan laras senjata dari anak buahnya Wiranto ketika itu Berkali-kali Pak Jokowi mengatakan akan melibatkan anak-anak muda untuk duduk di kabinet sebagai menteri. Rencana tersebut merupakan kebijakan yang sangat tepat dan strategis. Bahkan bisa dibilang sangat keren dan berkelas. Karena perubahan peradaban di muka bumi ini tidak pernah dimpimpin oleh orang tua. Perubahan selalu saja dimotori oleh anak-anak muda sebagai aktor utama. Sampai di sudut itu, menurt hemat saya, Faizal Assegaf yang paling memenuhi syarat menjadi anggota kabinet Pak Jokowi untuk periode kedua. Selain dari kalangan muda, pelaku dan aktor utama gerakan reformasi 1998, Faizal Assegaf juga adalah putra Maluku, yang lahir di Negeri Geser, Kabupaten Seram Bagian Timur, dan besar di Namlea Pulau Buru. Pak Jokowi adalah presiden yang lahir sebagai buah dari Gerakan Reformasi 1998. Tokoh-tokoh lain dari Maluku dan Maluku Utara, tidak ada yang berkeringat di Gerakan Reformasi 1998. Malah, sebaliknya menentang Gerakan Reformasih 1998. Kebetulan saya menjadi saksi pelaku, maupun wartawan yang mencatat dan menyasiksikan peristiwa reformasi tersebut dari meni ke menit, jam ke jam dan hari ke hari. Pada rangkaian pilpres kemarin, Faizal Assegaf, bersama-sama dengan Lanyala Mahmud Mataliti, yang sekarang Ketua DPD RI ikut berkeringat memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin di daerah Jawa Timur sebagai tim pemenangan. Penulis adalah Wartawan Senior Asal Maluku & Maluku Utara

212 Melawan, Mengumumkan Perang dan Tak Akan Rekonsiliasi dengan Kezaliman

Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Keliru besar, jika Prabowo -setelah merapat ke Jokowi- mengumumkan tidak ada lagi oposisi. Salah mutlak, bagi rezim ketika mampu menekuk kekuatan oposan partai berarti telah aman untuk berbuat sesukanya, zalim terhadap rakyat. Pada acara munajat 212 di masjid Sunda Kelapa (13/10), dengan tegas Ust Slamet Ma'arif selaku ketua PA 212 menyatakan tidak akan pernah rekonsiliasi dengan kezaliman, tidak akan pernah rekonsiliasi dengan kecurangan, tidak akan pernah rekonsiliasi dengan ketidakadilan, tidak akan pernah rekonsiliasi dengan penindasan. Pernyataan ini, bukan mewakili pribadi Ust Slamet namun mewakili segenap elemen pergerakan khususnya gerakan Islam, yang bergerak di luar partai politik. Jelas, ini tamparan keras bagi rezim juga bagi kubu Prabowo. Pernyataan ini menegaskan, Prabowo tak memiliki secuilpun kendali pada elemen pergerakan Islam. Dukungan pergerakan Islam, ulama, habaib, kepada Prabowo saat Pilpres, bukanlah dukungan taklid buta sebagaimana dukungan Gerindra kepada ketua umumnya. Karena nilai perjuangan, semangat melawan kezaliman, perlawanan pada kecurangan dan penolakan para perilaku ketidakadilan menjadi nilai yang menyatukan umat dan melabuhkan dukungan politik pada Prabowo. Saat Prabowo menepi, keluar dari nilai yang diadopsi umat, kemudian meninggalkan nilai perjuangan dengan merapat dan berharap mendapat bagian kursi kekuasan, meninggalkan keengganan pada kecurangan seraya justru melegitimasi kecurangan dengan proyek rekonsiliasi abal-abal, menjadi sebab Prabowo berada pada satu kubu dengan rezim dan mengambil posisi berhadap-hadapan dengan umat. Rezim Jokowi akan mengkalkulasi nilai rekonsiliasi Prabowo sangat rendah, dimana rekonsiliasi ini tak meredam perlawanan umat. Karenanya, rezim khususnya PDIP akan sangat berhati-hati membagi kursi kepada Gerindra. Sebab, jika Gerindra begitu mudah mengkhianati rakyat yang mendukungnya, mengabaikan fatwa ulama yang membelanya, apa sulitnya bagi Prabowo kelak meninggalkan PDIP jika Gerindra membaca peluang untuk menguasai kekuasaan ? Kalkulasi ini, yang nampaknya akan membuat PDIP pelit membagi kursi, sebagaimana PDIP tdk ridlo posisi ketua MPR RI diberikan pada Muzani. PDIP lebih Happy bersama Golkar, karena Golkar dipandang lebih gentle sebagai mitra koalisi dan sejak awal telah berdarah mendukung Jokowi. Sementara itu, pertarungan politik ini belum akan berakhir. Gerakan 212 akan terus melawan, karena perjuangan 212 bukan atau tidak sekedar mengantarkan seseorang untuk duduk di tampuk kekuasan. Gerakan 212 diilhami oleh Ruh Islam, Ruh bela Islam, Ruh bela ulama. Karenanya, 212 akan terus berjuang hingga Islam bertengger pada tampuk kekuasan, hingga fatwa ulama menjadi penuntun jalannya roda kekuasan, hingga keadilan dan kesejahteraan benar-benar wujud dengan diterapkannya hukum Islam. Penangkapan Sekjen PA 212 Ust Bernard Abdul Jabar adalah penghinaan terhadap gerakan 212. Tindakan ini, justru menyulut api perlawanan dan meningkatkan Ghiroh semangat Islam. Selamat datang di era baru pertarungan, selamat datang pertarungan gerakan politik kepartaian melawan gerakan politik keumatan. Selamat datang, di era pertarungan politik pencitraan, politik kekuasaan, melawan politik kejujuran, politik keumatan yang membawa misi melayani kepentingan umat berdasarkan nilai-nilai wahyu ilahi. [].

Jokowi di Negara Hukum Yang Compang-Camping

Tak terasa putaran waktu pelaksanaan Undang-Undang ITE telah membawa negara hukum mengingkari moralitasnya sendiri. Nurani dan moralitas negara hukum demokratis tersingkir jauh. Negara hukum demokratis menjadi sangat angkuh. Terlalu kuat membentengi jalan pulang ke moralitas intinya. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Pak Jokowi telah menulis jejak kepresidenannya dalam memimpin pelaksanaan Undang-Undang Dasar, Undang-Undang dan Peraturan. Sebentar lagi Pak Jokowi akan kembali menulis jejak baru dalam memimpin pelaksanaan Undang-Uundang Dasar, Undang-Undang dan Peraturan. Pak Jokowi akan menulisnya disepanjang garis pemerintahannya lima tahun yang akan datang. Semua yang telah ditulisnya sepanjang hampir lima tahun ini tersaji begitu telanjang. Semuanya dapat dilihat, dan dinilai. Juga dapat diberi warna setegas dan sejelas mungkin. Bagaimana Pak Jokowi melihat dan menilai? Bila mungkin, semua pelaksanan hukum yang telah ditulisnya sendiri, itu satu perkara. Itu juga perkara Pak Jokowi sendiri. Pentingkah Pak Jokowi mengetahui, menilai dan menimbang semua yang telah ditulis itu? Mungkin ya. Apakah penilaian itu membawa dirinya menyangkal kenyataan yang menyajikan pada level yang cukup terang. Bahwa tampilan pelaksanaan hukum selama hampir satu periode sejauh ini cukup buruk? Pak Jokowi bisa menyanggahnya. Andai Pak Jokowi menyanggah kenyataan saat ini, Pak Jokowi berpapasan dalam penilaian yang berbeda begitu dalam, antara dirinya dengan rakyat. Jelas tidak memungkinkan keduanya bertemu pada titik yang sama. Pak Jokowi, tidak mungkin diminta mengambil langkah manis mengubah, atau mewarnai pelaksanaan hukum dimasa akan datang dengan menyisipkan moralitas ke sisi-sisi intinya. Berubah Total Pak Jokowi, entah mengeluh atau justru mengungkapkan fakta tak terbantahkan. Telah menyatakan dalam sebuah kesempatan belum lama ini, bahwa perusahaan-perusahaan yang keluar dari Cina, tidak masuk ke Indonesia. Mereka pergi ke negara lain, sepperti Vietnam, Malaysia dan lainnya. Pada negeri-negeri itulah mereka menaruh uangnya. Sayangnya, Indonesia tak dilirik oleh mereka. Padahal Indonesia sekarang ini, dengan Pak Jokowi sebagai pemimpinnya, sangat membutuhkan uang. Apakah Indonesia sedang menerima atau sedang dihukum oleh kapitalis-kapitalis rakus tersebut? Sebagi akibat dari ketidakonsistenan menerapkan hukum di bidang investasi? Apakah ketidakkonsistenan itu menghasilkan birokrasi korup. Boleh jadi iya. Kapitalis disepanjang garis politik hukum barat, memang tak mengenal rugi. Mereka hanya dan harus terus untung. Untuk urusan untung, kelompok penghisap paling mematikan ini memang selalu begitu. Mereka meminta dengan cara yang khas kepada semua pemerintah untuk menciptakan birokrasi yang menguntungkan mereka. Titik. Begitulah kelakuakan mereka di semua negara. Bila keinginannya tidak dipenuhi, mereka bakal menghukum dengan cara yang selalu tipikal. Tetapi menariknya, negara-negara yang sedang melarat selalu didapati meratapi kepergian mereka. Kelompok ini, tidak bisa diharapkan bicara tentang hal-ihwal kemanusiaan. Mereka juga tidak bisa diharapkan bicara hukum yang tak pilih kasih. Itu tidak bisa. Tidak usah menggelengkan kepala, karena kelompok ini tidak bakal terusik pemilu yang acak kadul. Juga tak usah meminta mereka bicara kematian ratusan petugas PPS pada pemilu yang menghasilkan Pak Jokowi sebagai presiden terpilih. Mustahil meminta kelompok ini mendesak Pak Jokowi mengusut tuntas peristiwa memilukan itu. Jangan bermimpi mereka menantikan peradilan atas kasus-kasus itu. Sudahlah, itu lain perkara. Perkara menjijikan dalam konteks negara hukum demokratis adalah orang gila. Orang yang tiba-tiba muncul dan berulah ditengah musim pemilu. Jijik karena, entah bagaimana, mereka tahu orang hendak ke masjid, menyerang dalam kadar sebagai orang gila. Orang gila tak bisa dihukum, tentu saja. Jadilah seperti cerita fiksi politik dan hukum gila-gilaan. Berlalu, hilang begitu saja. Kenyataan ini muncul di tengah semua orang memimpikan negara ini harus memperbaiki moralitas berhukum. Impian itu seharusnya membawa negara semakin muncul dengan jaminan berkelas untuk rakyat memperoleh rasa aman. Sial, entah bagaimana, malah tercipta lagi fenomena lain. Negara menjadi begitu sangat terampil dan energik melaksanaan hukum dalam Undang-Undang ITE. Padahal Undang-Undang ini cukup menyengsarakan. Betul jangan main fitnah. Sebab fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Fitnah itu juga pekerjaan orang-orang yang mati hatinya. Tak terasa putaran waktu pelaksanaan Undang-Undang ITE telah membawa negara hukum mengingkari moralitasnya sendiri. Nurani dan moralitas negara hukum demokratis tersingkir jauh. Negara hukum demokratis menjadi sangat angkuh. Terlalu kuat membentengi jalan pulang ke moralitas intinya. Politik terus berproses dalam negara hukum demokratis. Dalam tampilan empiris yang berubah, dan beralih menjadi negara hukum tak lagi demokratis. Setidaknya menjadi compang-camping. Terminologi penghinaan juga menjadi begitu jamak. Pernyataan tidak simpati terhadap satu peristiwa, apalagi ada korbannya, bisa bermakna “fitnah.” Setelah difitnah, lalu datanglah derita untuknya. Akan diterkam dalam Undang-Undang ITE. Membuat dan menyebarkan sebuah vidio berisi peristiwa yang belum terang hukumnya, bisa juga menghasilkan derita. Didatangi oleh kekuasaan yang namanya Undang-Undang ITE. Tampilan empiris negara hukum semakin terasa tak demokratis. Mengkristal dengan laju yang tidak biasanya. Demonstran terlihat menjadi musuh hukum. Boleh jadi paling berbahaya. Demonstran main keras, hukum main keras. Demonstran mesti luka-luka dan maaf, mati. Itu yang terjadi pada demo tolak hasil pemilu Mei lalu dan demo tolak RUU KPK akhir September kemarin. Sangat Susah Konstitusi tidak berubah. Itu sudah jelas. Tetapi meja politik sedang berubah drastis. DPR tak lagi terbelah. PAN dan PKS, dua partai ini jelas tidak bakal bisa mengubahnya. Pengambilan posisi sebagai oposisi, tidak bakal membawa mereka menjadi penantang. PAN dan PKS, saya cukup percaya, tidak bakal bisa menggoda kawan sebelah untuk main keras secara konstitusi mengubah hukum yang tak demokratis menjadi demokratis. Itu sangat tidak mungkin bisa terjadi. Rintangan politik yangbukan hukum, melampaui modal yang mereka punyai. Berat meminta negara hukum tak demokratis berubah menjadi negara hukum demokratis lima tahun akan datang. Unifikasi di tubuh DPR, tak memungkinkannya. DPR suka atau tidak, juga telah terunifikasi dengan pemerintah. Pengawasan mau disuarakan dari jalan? Negara hukum demokratis sekalipun selalu kaya menyediakan dalam gudang tersembunyinya begitu banyak cara menjinakan. Untuk front negara hukum modern – negara kesejahteraan- yang juga digariskan dalam UUD 9145, rakyat baru saja dikagetkan dengan Inpres kenaikan iuran BPJS. Tidak bisa berkelit. Ada sanksi menyertainya. Peserta BPJS tidak bisa apa-apa. Harus tunduk. Nantinya kalaupun tarif dasar listrik meminta untuk disesuaikan, rakyat pun hanya bisa menggerutu. Tetapi harus capat-cepat berhenti menggerutu. Apalagi menuangkan gerutuannya ke medsos. Ingat, ada monster yang setiap saat bisa dipakai pemerintah untuk mengejar mereka yang bergerutu di medsos. Monster itu bernama Undang-Undang ITE. Atas nama negara hukum dimasa depan, hukum akan ditempatkan pada rangking teratas di meja kebijakan pengelolaan semua soal negara ini. Negara bisa saja selalu benar. Rakyat benar? Nanti dulu. Bisakah negara dengan hukum seperti itu berpacu dalam percaturan beradab dan bermartabat memanusiakan rakyat? Itu soal yang paling rumit. Negara hukum tak demokratis bisa lebih angkuh memproduksi diskriminasi. Membebek pada pluralisme dan toleransi konyol khas Amerika. Lalu apa? Seperti Amerika dan Barat di sepanjang front kampanye pluralisme dan toleransi. Langit dan cuaca sosial politik lima tahun mendatang mungkin didominasi saja oleh streotipe-streotipe yang busuk. Streotipe-satreotipe tersebut bisa berupa anti pluralism, intoleran, radikal dan sejenisnya. Gerak kompleks politik dan ekonomi, seperti dituliskan dalam sejarah negara ini di tahun 1966, tentu di tengah kerumitan. Akan membawa negara hukum semakin tak demokratis. Semakin compang-camping. Hukum pada saatnya nanti tampil dengan moralitas rendahan. Keadilan menjadi sangat khas. Seperti barang bagus yang susah untuk didapat rakyat. Tragisnya, kondisi ini menjadi hal yang biasa-biasa saja. Tersaji sebagai takdir politik yang tak dapat dielakan. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Arteria Pernah Mengaku Takut Disadap

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Arteria Dahlan kembali "bikin ulah" dengan menyebut Prof. Emil Salim sebagai "sesat". Keruan saja, ucapannya itu mendapat hujatan netizen dengan menyebutnya "sombong" dan "tidak beradab". Nama politikus PDIP Arteria Dahlan mencuat pertama kali saat RDP Komisi III DPR dengan Jaksa Agung M. Prasetyo soal travel umroh bodong, Rabu (28/3/2018). “Yang dicari jangan kayak tadi bapak lakukan inventarisasi, pencegahannya, Pak,” katanya. “Ini Kementerian Agama bangsat, Pak, semuanya, Pak!” lanjut Arteria dengan nada tinggi. Reaksi atas pernyataan Arteria yang memaki Kementerian Agama dengan ucapan “bangsat” itupun diterima Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. “Sejak sore tadi (kemarin) saya banyak sekali menerima ungkapan kemarahan dari jajaran Kemenag dari berbagai daerah atas adanya ungkapan tersebut,” ucapnya. Bahkan, ia sempat mempertanyakan kosakata bangsat oleh Arteria yang dialamatkan ke jajarannya. Lukman menyarankan Arteria untuk meminta maaf. “Saran saya, agar tak menimbulkan permasalahan yang makin rumit, sebaiknya yang bersangkutan bersedia menyampaikan permohonan maaf atas ungkapannya itu,” kata Lukman. Mengutip keterangan Lukman kepada detikcom, Kamis (28/3/2018), atas makian dari Arteria itu, Lukman mengaku menerima banyak pesan yang mengungkapkan kemarahan atas makian bangsat dari politikus PDIP tersebut. Lukman mempersilakan masyarakat menilai pengggunaan kosakata bangsat oleh Arteria pada pemerintah itu. “Silakan rakyat menilai sendiri pilihan kosakata yang digunakan oleh salah seorang wakilnya itu,” ujarnya. Reaksi datang dari Dewan Pengurus Wilayah Perkumpulan Guru Madrasah (DPW PGM) Indonesia Jabar. Melalui suratnya Nomor: 015/B/SEK DPW-PGM JBR/IV/2018, organisasi profesi guru Madrasah ini menyatakan keberatan dan tersinggung atas ucapan dari Arteria. “Ungkapan Saudara Arteria Dahlan tidak mencerminkan sikap, perilaku dan tutur kata yang mulia sebagai seorang anggota DPR RI yang seharusnya menjadi teladan masyarakat dan terhormat,” tulis Ketua Umum DPW PGM Indonesia Jabar H. Heri Purnama, MPd I. DPW PGM Indonesia Jabar meminta Arteria untuk menyampaikan secara terbuka di muka umum permintaan maaf kepada jajaran Kemenag dan semua lembaga binaan Kemenag di seluruh tanah air dan tidak mengulang kejadian yang sama. Arteria Dahlan adalah anggota DPR RI Fraksi PDIP asal Dapil VI Jatim. Lahir di Jakarta pada 7 Juli 1975, Arteria ini seorang pengacara dan pemilik Kantor Hukum Arteria Dahlan Lawyers. Arteria adalah Ketua Badan Bantuan Hukum dan Advokasi DPP PDIP. Ia menangani perkara pilkada calon-calon dari PDIP, antara lain Rieke Dyah Pitaloka dan Teten Masduki pada Pilkada Jabar 2013, AA Ngurah Puspayoga dan Pilkada Bali 2013 serta Effendi Simbolon dan Djumiran Abdi pada Pilkada Sumut 2013. Arteria dilantik menjadi Pejabat Antar Waktu (PAW) DPR-RI periode 2014-2019 pada 23 Maret 2015 menggantikan Djarot Syaiful Hidayat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama. Pada masa kerja 2014-2019 Arteria duduk di Komisi II yang membidangi Pemerintahan Dalam Negeri, Otonomi Daerah, Aparatur & Reformasi Birokrasi dan Kepemiluan. Arteria meniti karirnya di bidang hukum. Jejak digital mencatat, Arteria aktif berorganisasi di asosiasi pengacara dan menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal DPP Serikat Pengacara Indonesia (DPP SPI). Arteria juga aktif menjadi advokat di kasus-kasus dan organisasi yang sarat dengan konflik. Pada Pemilu Legislatif 2014, namanya tercatat sebagai salah satu dari sembilan caleg PDIP. Ia maju bersama Pramono Anung Wibowo, Djarot Saiful Hidayat, Eva Kusuma Sundari, Budi Yuwono, Rina Yuniarti, Erjik Bintoro, Marhaen Djumadi, dan Mistinah. Arteria Dahlan maju caleg PDIP Dapil Jatim VI. Saat itu, terdapat 9 kursi di dapil ini bakal diperebutkan 105 DPR RI. Dapil Jatim VI meliputi Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Blitar. Arteria baru “terpilih” setelah Djarot Saiful Hidayat meninggalkan Senayan menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta menggantikan Basuki Tjahaja Purnama yang dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta “warisan” Jokowi. Dari 105 caleg di Dapil Jatim VI ini, 51 orang berdomisili di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Arteria, termasuk salah satu caleg yang bukan berasal dari Dapil Jatim VI. Berbeda dengan Djarot yang pernah menjabat Walikota Blitar. Sejak menjadi anggota DPR RI, Arteria mulai menunjukkan “sikap kritis” sebagai legislator. Salah satunya, mengkritisi institusi KPK ketika di-Pansus-kan pada 2017 lalu yang masa kerja Pansus Angket DPR atas KPK selesai pada 28 September 2017. Kompas.com menulis, di akhir masa kerja, Pansus Angket tak lagi mengkritisi institusi KPK sebagai lembaga penegak hukum. Pansus Angket KPK saat itu malah menuduh Ketua KPK Agus Rahardjo terindikasi korupsi. Menurut mereka, Agus diduga terlibat dalam kasus korupsi saat menjabat sebagai Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Hal itu dikatakan dalam konferensi pers Pansus DPR di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (20/9/2017). “Kami temukan indikasi penyimpangan di internal LKPP yang saat itu pimpinannya adalah Agus Rahardjo,” ujar Arteria. Agus diduga terlibat korupsi pengadaan alat berat penunjang perbaikan jalan pada Dinas Bina Marga di Provinsi DKI Jakarta, pada 2015. Suara vokal Arteria Dahlan saat menjadi anggota Pansus KPK itulah yang membuat namanya “terkenal”. Terakhir, dengan bahasa “bangsat”, ia mengkritisi Kemenag terkait travel “umrah bodong”. Sayangnya, Arteria tidak berani bangsatin KPK. Mungkinkah Arteria takut pada KPK jika ia harus ucapkan kosakata “bangsat” pada lembaga antirasuah itu? Mengapa ia begitu gethol menolak kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK? Jejak digital mencatat, Arteria pernah mengaku takut disadap KPK. Mungkin karena latar belakangnya sebagai seorang pengacara itulah yang membuat perilaku dan bahasa Arteria terbiasa melontarkan umpatan seperti “bangsat”. Ketika RDP Arteria bisa bertindak layaknya hakim di pengadilan yang “mengadili” pejabat pemerintah. Kompas.com, Selasa (26/09/2017, 16:56 WIB) menulis “ketakutan” itu. Ia khawatir dengan kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. Arteria minta KPK bisa membeberkan secara gamblang prosedur dan mekanisme penyadapan yang dilakukan selama ini. Tidak sulit telusur latar belakang mengapa politisi PDIP Arteria Dahlan begitu gethol serang KPK dan terakhir, Prof. Emil Salim, mantan Menteri LH era Presiden Soeharto, dengan kata “sesat”. Dari jejak digital news, Arteria pernah mengaku takut disadap KPK! “Kapan instruksi sadap dilakukan, kapan memberikan alat sadap, alat sadap (itu) kan terbatas alatnya, kapan mereka melakukan penyadapan, terus atas dasar apa,” kata Arteria dalam rapat Komisi III DPR RI dengan KPK di Jakarta, Selasa (26/9/2017). Menurutnya, jika tidak dijelaskan secara detail, maka akan muncul anggapan bahwa seolah-olah ada penyadapan yang sah sebagaimana diatur Undang-undang dan penyadapan yang tidak sah. “Jangan sampai ini kita pikir ada penyadapan yang sah dan tidak sah,” kata politisi yang baru terpilih menjadi anggota DPR RI itu. Arteria mengaku takut menjadi korban penyadapan, jika benar ada penyadapan yang tidak sah. Apalagi KPK akhir-akhir gencar melakukan OTT. “Takut kita. Jangan-jangan saya disadap. Kita enggak tahu melalui yang tidak resmi (sah),” ujar Arteria. Selain dia, beberapa anggota Komisi III lainnya juga kembali menyoal kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK. Masalah penyadapan ini selalu dipermasalahkan dari waktu ke waktu. Berkali-kali pula KPK menyatakan bahwa penyadapan selama ini sah dan telah diaudit. Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief sebelumnya merasa heran dengan sikap para anggota Dewan itu. Padahal, kata Laode, semua lembaga penegak hukum memiliki kewenangan penyadapan. Ia mengatakan, putusan MK atas Pasal 5 Undang-Undang ITE terkait penyadapan tidak serta-merta menghilangkan kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. Menurutnya, KPK tetap membutuhkan kewenangan penyadapan dalam memberantas korupsi. Sebab, lanjut Laode, kewenangan penyadapan seperti di KPK juga dimiliki oleh lembaga pemberantasan korupsi di hampir semua negara. Ia pun menegaskan, KPK selalu melakukan penyadapan sesuai dengan aturan yang berlaku. KPK juga tidak pernah menyebarkan hasil sadapan ke publik, kecuali yang terkait perkara dan didengarkan di pengadilan. Laode mengungkapkan, hasil penyadapan ini hanya berhubungan dengan kasus-kasus. Jadi, “Siapa yang mendengarkan ya hanya penyelidik dan penyidik KPK dan ketika disampaikan di pengadilan,” tegasnya. Jadi, jelas sekali, mengapa Arteria ikut andil “serang” KPK. Adakah yang disembunyikan Arteria sehingga “takut” disadap KPK? ***

Kolonel Hendi Suhendi : Prajurit, Suami & Ayah Sejati

Sebagai seorang ayah, kelak anak-anak sang Kolonel Hendi akan tahu bahwa ayahnya adalah seorang prajurit sejati. Suami sejati dan sang ayah sejati. Sejarah akan mengungkap, bahwa ayahnya bukan seorang pengkhianat negara. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Akhirnya, Kolonel Kav Hendi Suhendi resmi dicopot dari jabatan Dandim 147/Kendari, Sultra. Kolonel Hendi menerima keputusan pencopotan jabatan karena postingan sang istri soal penusukan Wiranto. Sebagai seorang prajurit sejati, sang Kolonel siap salah. Sebab doktrin prajurit itu, komandan tidak pernah salah. Sebagai prajurit, sikap legawa yang ditunjukan, menggambarkan betapa dia mampu menjaga marwah dan wibawanya sebagai seorang prajurit. Menjaga wibawa institusi TNI. Padahal Kolonel Hendi diperlakukan tidak adil. Dipaksa menanggung beban atas kesalahan yang tidak diperbuatnya sendiri. Diperhinakan marwahnya sebagai perwira TNI. Sebagai seorang calon jendral TNI. Karena putusan sanksi diumumkan secara terbuka dihadapan public oleh komandannya. Bahkan, Kolonel Hendi menanggung beban tanggungjawab atas perbuatan sang istri yang belum bisa dibuktikan kesalahannya. Belum ada penyelidikan. Belum juga ada penyidikan. Belum ada pembuktian secara hokum atas kesalahan yang diperbuat. Belum juga ada putusan hakim yang menyatakan Kolonel Hendi bersalah. Toh dia telah menanggung konsekuensi hokum yang berat di rezim Jokowi. Dimana asas praduga tak bersalah itu hanya berlaku bagi mereka yang pro kepada penguasa saja. Sebagai suami sejati, dia sanggup 'MIKUL DUWUR MENDEM JERO'. Dia begitu melindungi sang istri. Belahan jiwanya, dan ibu dari anak-anaknya. Ia merangkul sang istri, memperlakukannya selayaknya istri. Tidak terbesit rasa marah dan kesal, atas musibah yang menimpanya. Hari-harinya Kolonel Hendi harus dihabiskan di jeruji besi untuk masa tahanan selama 14 hari ke depan. Sang Kolonel juga harus mempersiapkan ketangguhan mental sang istri untuk menghadapi ujian diperkarakan oleh komandan sang Kolonel di peradilan umum nanti. Nampaknya, komandan sang Kolonel ini tidak cukup puas hanya dengan melihat dirinya masuk sel selama 14 hari. Tetapi sang komandan juga ingin melihat istri dari sang Kolonel masuk bui. Sebagai seorang ayah, kelak anak-anak sang Kolonel Hadi ini akan tahu bahwa ayahnya adalah seorang prajurit sejati. Suami sejati dan sang ayah sejati. Sejarah akan mengungkap, bahwa ayahnya bukan seorang pengkhianat negara. Tak mudah untuk bersikap kesatria. Apalagi dalam kubangan kekuasaan zalim di era Jokowi. Semua kritik terhadap rezim ditafsirkan kebencian, ditafsirkan SARA, dan ditafsirkan hoax. Sementara kedunguan akut yang menopang rezim, dianggap Pancasilais dan berbhineka tunggal ika. Secara zahir memang berat. Sangat berat untuk melepaskan jabatan jika tidak atas kesadaran karena amanah. Bagi sebagian besar orang saat ini, jabatan adalah tuhan baru yang dipuja-puja. Jabatan juga dikejar dengan menghalalkan segala cara. Suara pembelaan umat dan rakyat kepada Kolonel Hadi nyaring dank eras. Internal TNI, secara umum jelas akan berpihak pada kebenaran dan sikap kesatria Kolonel Hadi. Namun kekuasan saat ini sedang mengintensifkan represifme untuk memaksa rakyat memberikan ketaatan pada rezim. Rezim ini tak peduli. Apakah ditaati karena cinta, atau terpaksa taat karena takut. Yang penting bagi rezim ini adalah rakyat diam. Rakyat tidak ribut, dan nurut saja meskipun terus dizalimi. Sabar Pak Kolonel, karakter anda telah menujukan pribadi seorang calon jenderal sejati. Semoga, ujian ini tak mengurangi apapun kecuali menambah iman dan naiknya derajat anda sekeluarga, Amin amin amin ya robbal ‘alamain. Penulis adalah Wartawan Senior

Pak KASAD, TNI Bukan Alat Kekuasaan Loh

Suasana kebatinan TNI itu sama dan senapas dengan suara rakyat. Kalau terasa ada yang salah, pasti rakyat juga ikut merasakan. Kaum emak, termasuk istri tentara itu juga manusia biasa. Isteri tentara itu bukan robot. Mereka juga memiliki pikiran dan perasaan. Wajar saja mereka bersuara atas adanya anomali yang terjadi di negeri ini. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Miris, institusi TNI juga ikut-ikutan 'terpapar' kedunguan rezim. Padahal, publik berharap TNI masih bisa mengayomi rakyat. Apalagi setelah polisi terbukti 'gagal' menjalankan fungsinya sebagai pengayong pelayan dan pelindung masyarakat sipil. Belum lama ini, KSAD Jenderal Andika Perkasa menjatuhkan sanksi kepada dua anggota TNI AD. Keduanya dihukum karena istri mereka mem-posting soal penusukan Menko Polhukam Wiranto di media sosial. Sederhananya, dua anggota TNI ini dihukum hanya karena 'gosipan' emak-emak. Terlepas apapun konten yang diunggah, cara menghukum yang dipublikasikan terbuka kepada publik, bukanlah cara untuk mendidik, membina, dan menjaga marwah bawahan. Jika benar harus dihukum, tentu hukuman itu khusus untuk diketahui internal. Celakanya, hukumannya pun double pula Pak KASAD. Selain dicabut dari jabatan, dua anggota TNI berpangkat Kolonel dan Sersan ini juga disanksi sel 14 hari. Bahkan, tidak puas dengan sanksi internal, IPDN yang merupakan istri Komandan Kodim Kendari Kolonel HS dan LZ istri Sersan Dua berinisial Z, juga diarahkan ke ranah peradilan umum. Apakah seperti ini perilaku komandan terhadap anak buahnya? Mendapat masalah dari luar saja, komandan sedapat mungkin menjaga dan melindungi marwah anggotanya. Komandan juga sekaligus memberi arahan dan pembinaan. Bukan main langsung copot, terus dimasukan ke dalam sel. Setelah itu istrinya dibawa ke pengadilan umum. Apa yang mau dipertontonkan dari peristiwa ini ? Mau menebar teror kepada seluruh korps TNI agar menutup mulut atas semua keanehan di negeri ini ? Lantas, jika 'urusan gosip' saja dikenai sanksi, bagaimana dengan kondisi di Papua ? Apa tidak cukup alasan untuk dicopot petinggi AD disana ? Karena mereka dipandang 'gagal' mengamankan wilayah ? Pak KASAD, cukup penglima TNI saja yang tak paham tupoksi TNI. Sehingga berdiri dengan gagah, berdeklamasi untuk melindungi Jokowi. Saya ingatkan saja, TNI itu milik rakyat bukan milik Jokowi. TNI itu alat negara, bukan alat kekuasaan. Lantas, jika model penindakan anggota seperti ini apa Pak KASAD akan dicintai bawahan ? Prajurit itu kalau bertugas 'Toh Nyowo', taruhan nyawa boss. Jangan hanya karena urusan 'gosip emak-emak', lantas komandan tega menunjukan sikap jemawa. Suasana kebatinan TNI itu sama dan senapas dengan suara rakyat. Kalau terasa ada yang salah, pasti mereka juga ikut merasakan. Kaum emak, termasuk istri tentara itu juga manusia biasa. Isteri tentara itu bukan robot. Mereka juga memiliki pikiran dan perasaan. Wajar saja mereka bersuara atas adanya anomali yang terjadi di negeri ini. Kalaupun itu melanggar, juga cukup diingatkan saja. Tidak perlu langsung mencopot jabatan suami. Penjarakan suami, dan tuntut emak-emak istri tentara ke peradilan umum. Coba fikirkan, istri anggota TNI diperkarakan di ranah peradilan umum, hanya karena dipersoalkan oleh komandan suaminya. Ini kan miris sekali Pak KASAD. Pak KASAD. Banyak senior bapak yang gemas, tatapi masih menahan diri. Jangan paksa, rasa tidak ridho untuk dizalimi itu meledak menjadi aksi nyata. Teraktualisasi dalam bentuk tindakan. Terukurlah, dan pakai nurani TNI dan rakyat dalam mengambil tindakan. Tidak semua apa yang diinginkan penguasa, harus anda penuhi. Meskipun posisi anda saat ini juga hadiah dari penguasa. Ingatlah, bagaimana susah payah anda meniti karier di militer. Kalau anggota TNI diberikan sanksi karena berbuat salah itu akan terima. Tapi kalau disanksi karena tendensi, disanksi karena politik itu berbahaya. Apalagi anda berikan sanksi karena ingin menyuarakan nurani. Itu lebih berbahaya lagi Pak KASAD. Sekali lagi, kami segenap rakyat mendukung TNI. Kami mencintai TNI sebagai anak kandung rakyat. Kami juga berharap, agar TNI tetap berpihak kepada rakyat. Ingat, TNI itu lahir dan dibesarkan dari rahim umat dan rakyat. Karena itu, jangan mendurhakai umat dan rakyat Pak KASAD. Penulis adalah Wartawan Senior