Ketika DPR Menjadi Kantor Cabang Presiden
By Kisman Latumakulita
Jakarta FNN – “Untukmu yang duduk sambil diskusi. Untuk yang biasa bersafari. Di sana, di gedung DPR. Wakil rakyat kumpulan orang hebat. Bukan kumpulan teman-teman dekat. Apalagi sanak famili. Di hati dan lidahmi kami berharap. Suara kami tolong dengar lalu sampaikan. Jangan ragu, jangan takut karang menghadang. Bicaralah yang lantang, jangan hanya diam”.
“Di kantong safarimu kami titipkan. Masa depan kami dan negeri ini. Dari Sabang sampai Merauke. Saudara dipilih, bukan dilotre. Meski kami kenal siapa saudara. Kami tak sudi memilih para juara. Juara diam, juara he eh, juara ha ha ha. Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu siding soal raktat. Wakil rakyat bukan paduan suara. Hanya tahu nyanyian lagi setuju”.
Dua paragraf kalimat-kalimat di atas berasal dari lirik lagunya Iwan Fals. Penyanyi, yang sekaligus kritikus kepada kekuasaan Soeharto yang otoriter dan tirani. Judul lagunya “Surat Buat Wakil Rakyat”. Lagu yang diciptakan dan dinyanyikan Iwan Fals ini, direkam dan dirilis menjelang pemilihan umum tahun 1987.
Lagu ini diciptakan untuk mengkritik kinerja anggota dewan yang banyak tidur saat sidang-sidang DPR. Sayangnya, lagu ini sempat dicekal pemerintah Orde Baru. Lagunya tidak boleh ditayangkan di televisi. Karena pemerintah beranggapan lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” mengganggu stabilitas politik nasional.
Selain tidur, DPR juga tidak menonjol memperjuangan kepentingan rakyat. DPR ketika itu, yang isinya 75% pendukung utama pemerintah Orde Baru (Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI) lebih sebagai stempel pembenaran atas semua kemauan pemerintah. Apa saja kemauan rezim Soehato, hampir pasti 99% disetujui DPR.
Iwan Fals, banyak menciptakan lagu, yang bertujuan mengkritik kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, namun memanjakan pengusaha atau orang kaya. Selain Iwan Fals, kalangan sastrawan yang juga terbilang keras mengkrtik rezim Orde Baru ketika itu adalah W.S. Rendra. Penyair dengan julukan “Burung Merak” ini mengkritik permerintah melalui syair-syair sajaknya.
Entah karena kritikan dari Iwan Fals dan W.S. Rendra atau bukan, yang pasti setelah Pemilu tahun 1992, anggota DPR yang masuk ke senayan, banyak tokoh-tokoh yang kritis kepada pemerintahan Soehato. Malah anggota DPR yang galak-galak itu bukan saja dari partai non pemerintah, seperti PDI dan PPP. Namun ada juga dari Fraksi Golkar dan ABRI yang galak-galak.
Dari PPP ada singa sekalas Hj. Aisyah Amini, H. Ismail Hasan Metarium, H. Dja’far Sidiq, H. Imam Churmain, H. Muhammad Sulaiman dan Hamza Haz. Sedangkan Dari PDI, ada macan seperti Hj. Fatimah Ahmad, H. Ipik Asmasubarata, H. Yahya Nasution, Aberson Marle Sihaloho dan Sabam Sirait.
Hamza Haz, Yahya Nasution dan Aberson Marle Sihaloho terkenal sebagai "trio pakarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)". Menteri Keuangan J.B. Sumarlin dan Mar’ie Muhammad sering kewalahan di sidang-sidang komisi APBN jika menghadapi trio anggota dewan ini.
Terkadang asumsi-asumsi APBN yang bakal diajukan pemerintah, dua tiga bulan sebelumnya sudah bisa diprediksi oleh trio anggota DPR ini. Hasilnya, 85%-90% sama dengan yang diajukan pemerintah. Sebagai wartawan di bidang ekonomi, saya dan sesama teman wartawan, banyak mendapat informasi awal mengenai rencana asumsi APBN dari trio anggota dewan ini. Selain itu, kami juga mendapat informasi mengenai asumsi APBN dari Muhba Kahar Muang, Idra Bambang Oetoyo dan Dwie Riawenny Nasution dari Fraksi Golkar.
Dari kubu pendukung pemerintah, muncul para anggota DPR yang tidak kalah kritisnya. Dari Fraksi Golkar, ada Tadjudin Noer Said, Marzuki Darusman, Mubha Kahar Muang, Anang Adenensi, Indra Bambang Oetoyo, Iskandar Madji, Abdurrahman Rangkuti dan Umbu Mehang Kunda.
Dari Fraksi ABRI, tampil singa perempuan yang galak kepada pemerintah, Brigjen Polisi Rukmini. Ada juga Mayjen TNI Syamsudin. Meskipun menjadi anggota DPR yang ditunjuk oleh Mabes ABRI Cilangkap. Namun mereka menjadi anggota dewan yang bermutu dan berkelas. Mereka lebih memilih membela kepentingan rakyat. Akibnatnya, mereka sering berbenturan dengan para menterinya Soeharto. Mereka top, top top markotop.
Suatu waktu Kasospol ABRI, Letjen Harsudiono Hartas bercerita tentang cepanye dia mengingatkan Brigjen Rukmini dan Mayjen Syamsudin. Banyak menteri anggota kabinet Soerharto meminta tolong agar Kasospol ABRI bisa meredam atau menertibkan Rukmini dan Syamsudin.
Kata Hartas—panggilan akrab Kasospol ABRI, “Itu Rukmini dan Syamsudin kalau diingatkan, jawabnya sih enak didengar. Jawabnya siap,siap dan iya, iya. Namun begitu balik ke DPR, kambuh lagi mereka”.
Pemerintah Orde Baru memang sangat kuat dan dominan. Dengan mesin politik utama ABRI dan Golkar, pemerintah bisa berbuat apa saja jika mau. Contoh paling nyata adalah Waduk Kedung Ombo. Masyarakat satu Kecamatan bersama perangkat Desanya, semua diangkut keluar dari Kedung Ombo.
Namun warna perbedaan perdebatan di DPR terlihat sangat berbobot dan berkelas. Sebelum sampai pada persetujuan di sidang Paripurna, perdebatannya sangat bermutu dan argumentatif. Bagi yang menonton sidang-sidang di komisi DPR, banyak informasi penting dan bermutu yang bisa diperoleh.
Yang tidak bisa dilakukan DPR di kekuasaan eranya Orde Baru Cuma satu, “Penggunaan Hak Interpelasi”. Penggunaan hak DPR yang satu ini menjadi barang haram ketika itu. Namun tidak adanya penggunaan “Hak Ingterpelasi” bukanlah menjadi penghalang bagi lahirnya perdebatan yang bermutu dan berkelas di sidang-sidang komisi DPR. Enak bangat untuk didengar dan ditonton.
Dewan Produk Reformasi
DPR di era Orde baru tidak dapat menggunakan “Hak Interpelasi”, tentu saja dapat dipahami dan dimengerti dengan sangat jelas. Semuanya terang-berderang. Tidak ada yang abu-abu. DPR Hanya tukang stempel atas segala kebijakan dan kemauan rezim Orde Baru. Tidak lain. Hanya itu.
Keberadaan PPP dan PDI di DPR tidak mempunyai kekuatan untuk melawan maunya rezim Soeharto. Paling hanya bisanya walk out dari sidang sebagai bentuk protes dan penolakan. Hanya itu yang bisa dan sering dilakukan PPP dan PDI. Namun begitu, keluarnya PPP dan PDI dari ruang sidang, sama-sekali tidak merubah keputusan dewan. Karena prosentase PPP dan PDI paling banyak hanya 30%.
DPR periode 2014-2019 sekarang ini adalah DPR yang keempat sejak reformasi. DPR yang lahir dari produk demokrasi yang sangat bebas. Namun mereka juga menjadi DPR yang paling lemah kepada pemerintah di era reformasi. DPR yang lebih memilih membela maunya pemerintah daripada membela rakyat.
Lihat saja, masyarakat, dosen, mahasiswa dan siswa STM berdemonstrasi berhari-hari menolak revisi undang-undang KPK. Namun semua itu hanya dianggap sebagi pepesan kosong oleh DPR. Hasilnya, tok tok tok, revisi undang-undang KPK tetap jalan dan disahkan.
Begitu juga menyampaikan pengantar Nota APBN 2020 di DPR, Presiden Jokowi minta izin untuk memindahkan ibukota negara ke luar pulau Jawa. Tanpa lebih dulu melakukan perubahan atas undang-undang ibukota negara, DPR menyetujui keinginan pemerintah untuk memindahkan ibukota negara ke Pulau Kalimantan.
Belakangan ketika skandal korupsi Jiwasraya meledak, rakyat meminta DPR agar membentuk Pansus Jiwasraya. Namun DPR sepertinya tidak mau membentuk Pansus Jiwasraya untuk menyelidiki skandal yang merugikan BUMN asuransi Rp 17 triliun itu. Kabarnya, tidak dibentuknya Pansus Jiwasraya itu atas permintaan dan tekanan dari Istana Negara Maimun.
Setelah Jiwasraya, kini meledak lagi skandal korupsi di PT Asabri. Kerugian di Asabri diperkirakan mencapai Rp 21 triliun. Pelakunya masih hampir sama dengan mereka yang membobol Jiwasraya. Namun, lagi-lagi DPR tidak juga bergeming untuk segera membentuk Pansus Jiwasraya maupun Pansus Asabri. Atau Pansus Jiwasraya dan Asabri.
Rupanya untuk DPR periode sekarang, skandal korupsi dengan nilai hampir Rp 40 triliun, bukanlah sesuatu yang penting dan mendesak untuk dibahas dan diselidiki oleh pansus DPR. Tidak terlalu penting, atau karena angkanya tidak besar-besar amat. Mungkin saja kalo angkanya di atas Rp 100 triliun pun belum juga perlu untuk dibentuk pansus DPR.
Belom lama ini pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja. Dari draf PDF yang beredar di media sosial, RUU Omnibus Law ini akan merampok sejumlah kewenangan Pemerintah Daerah. Bahkan atas nama undang-undang ini, para Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih langsung oleh rakyat, bisa saja dipecat oleh pemerintah pusat.
Bukan itu saja. Eksekutif juga dapat mengambil alih sejumlah kewenangan Legislative dan Yudikatif hanya dengan memakai Peraturan Pemerintah (PP) berdasarkan mandat yang diberikan oleh undang-undang Omnibus Law. Atas nama penciptaan lapangan kerja, Presiden dapat saja menumpuk sejumlah kewenangan Pemerintah Daerah, Legislatif dan Yudikatif di tangannya.
Meskipun RUU ini bakal menampilkan wajah dan topeng baru kekuasaan yang sentralistik dan otoritarian. Namun kemungkinan besar RUU Omnibus Law bakal disetujui oleh DPR. Ya, memang sangat wajar dan bijak kalau RUU ini disetujui DPR. Apalagi DPR dalam posisi barunya sebagai Kantor Cabang Presiden dari Istana Negara Maimun. Selamat memasuki kekuasaan baru yang otoriter dan tirani.
Penulis adalah Wartawan Senior