Klenik Istana; Apes Jokowi di Kediri
Oleh Dimas Huda
Jakarta, FNN - Kudus dan Kediri adalah dua daerah yang amat penting bagi Indonesia. Sayang, tandem Kota Kretek ini dimitoskan “angker” bagi pejabat tinggi, termasuk presiden. Dua daerah ini adalah lumbung duit. Pada 2019, pabrik rokok di Kudus menyetor Rp31,79 triliun ke negara. Sedangkan Kediri setor Rp20,69 trilliun.
Lucunya, Kudus dan Kediri dianggap daerah yang perlu “dihindari” oleh pejabat tinggi. Dua daerah itu dimitoskan sebagai daerah “wingit”. Suci dan keramat. Juga angker. Pejabat tinggi, termasuk presiden, mesti menghindari dua daerah ini jika ingin kekuasaanya langgeng. Tak sedikit yang mempercayai mitos dan klenik seperti itu, tak terkecuali orang-orang terdidik di Istana, macam Menteri Sekretaris Kabinet, Pramono Anung.
Presiden Joko Widodo membatalkan kunjungannya ke Kediri atas saran orang-orang di sekelilingnya. "Terus terang saya termasuk yang menyarankan Bapak Presiden tidak ke Kediri. Saya yang menyarankan," kata Pramono di depan para kiai sepuh pengasuh Ponpes Hidsyatul Mubtadien, Lirboyo, Kediri, Sabtu (15/2). Menurutnya, Kediri merupakan wilayah yang “wingit” untuk didatangi presiden.
Pramono datang bersama Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, dan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono. Para pembantu presiden ini meresmikan rumah susun sewa atau rusunawa di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.
Pramono lalu mengungkap mitos, bahwa Presiden keempat RI, KH Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur sempat berkunjung ke Kediri. Setelah itu, ada gejolak di Ibu Kota hingga terjadi pelengseran Gus Dur dari kursi Presiden RI.
Menurut Pramono, wingit tersebut tidak berlaku untuk Wakil Presiden RI. Oleh karenanya, ia tidak pernah melarang Wakil Presiden, Ma'ruf Amin, apabila hendak berkunjung ke Kota Tahu tersebut. "Kalau Pak Wapres biasanya tidak apa-apa," sebutnya.
Kejujuran Pramono ini boleh jadi mengundang senyum sinis. Buktinya, linimassa Twitter pun langsung heboh oleh tagar #JokowiTakutKediri setelah itu. Warganet ramai menuliskan tagar tersebut melalui cuitannya. Kurang dari dua hari sejak Pramono menunjukkan kepolosannya itu, lebih dari 5.000 cuitan yang memakai tagar tersebut.
"Kutukannya cukup jelas, siapa kepala negara yang tidak suci benar masuk wilayah Kota Kediri maka dia akan jatuh," jelas Kiai Ngabehi Agus Sunyoto. Sebab ini kah #JokowiTakutKediri?. Ayo Pak Jokowi jangan percaya klenik #JokowiTakutKediri," kata @Raj4Purwa.
Sementara itu, warganet lain meminta agar Jokowi membuktikan kebenaran mitos tersebut. @husni80 mencuit, "Kenapa #JokowiTakutKediri. Padahal kediri kuat akan nuansa sejarah jaman dahulu ...Karena disanalah dahulu pasukan China dipermalukan. Jadi kenapa #JokowiTakutKediri. Kan selalu bangga dgn slogan ... Jas Merah, Jangan lupakan sejarah".
Kartikea Singha
Faktanya, mitos itu memang banyak yang percaya. Apalagi dengan dibumbui contoh presiden yang apes gara-gara menginjakkan kaki di Kediri. Konon, dari daftar enam presiden RI, hanya tiga presiden yang berani datang ke Kota Kediri yaitu, Sukarno, B.J. Habibie, Gus Dur dan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Tiga presiden ini dilengserkan sebelum jabatannya tuntas.
Jatuhnya orang nomor satu di Indonesia itu ada yang mengkait-kaitkan dengan kutukan Raja Kalingga, Kartikea Singha. Dalam Babad Kadhiri diceritakan dalam kutukannya itu, Kartikea mengatakan, setiap kepala negara yang tidak memiliki hati suci maka akan jatuh atau lengser.
Ada beberapa tempat di Kediri yang diyakini masyarakat tidak boleh dilewati oleh raja atau pun presiden. Daerah itu antara lain, Simpang Lima Gumul, Jembatan Lama, dan Sungai Brantas.
Gus Dur dilengserkan dari posisinya secara politik, tiga hari setelah melakukan kunjungan ke Pesantren Lirboyo Kediri. Tiga bulan pasca kunjungan ke Kediri, B.J. Habibie, juga harus merelakan jabatannya karena legitimasi pemerintahannya dianggap sangat lemah.
Hanya saja, mitos itu tidak berlaku bagi Presiden SBY. Ia pernah mengunjungi Kediri dan Blitar ketika terjadi letusan Gunung Kelud pada tahun 2007. Bukannya lengser, SBY malah kembali terpilih menjadi presiden kedua kalinya pada 2009.
Kudus
Selain Kediri, Kudus juga dianggap “wingit”. Bukan hanya presiden, para pejabat tinggi macam menteri juga mikir seribu kali untuk sekadar melewati Kota Kretek ini.
Pada 10 Agustus 2016, Jokowi membatalkan kunjungannya ke Pati juga gara-gara mitos seperti itu. Soalnya, jika melalui jalan darat, ke Pati berarti harus melalui Kudus, daerah “wingit” itu.
Kudus dianggap “keramat” terkait dengan cerita tentang Rajah Kolocokro atau Kalacakra. Ini adalah rajah yang dibuat Sunan Kudus untuk melindungi muridnya Harya Penangsang. Tujuan rajah tersebut dibuat agar para raja atau pemimpin kerajaan yang melewati menjadi rakyak biasa.
Konon, Sunan Kudus memasang rajah itu di pintu masuk Menara Kudus. Siapapun yang melewati pintu tersebut, apabila mempunyai kekuasaan, jabatan atau posisi yang tinggi, akan jatuh.
Rajah ini dipasang saat terjadi konflik politik di Kerajaan Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya. Sunan Kudus membuat Rajah Kalacakra diletakkan di gerbang masuk Menara Kudus. Siapapun yang melewati akan kehilangan kadigdayan. Diharapkan Hadiwijaya melewati rajah itu, ternyata dia lewat jalan lain. Justru Haryo Penangsang yang lalai, dan melewati gerbang tersebut. Celaka dia setelahnya.
Masyarakat luas mengaitkan hal itu dengan cerita rakyat bahwa Sunan Kudus telah memasang Rajah Kalacakra di gerbang atau pintu masuk menuju masjid yang juga bisa mengakses ke makam. Rajah itu, konon, mampu melemahkan semua kekuatan atau daya linuwih seseorang. Bahkan dipercaya, penguasa akan segera kehilangan kekuasaannya jika melewati rajah itu. Demikian pula bagi pejabat.
Hingga saat ini, cerita itu masih terus berkembang, dilestarikan dan dikukuhkan. Banyak pejabat dan politisi yang kemudian yang tidak mau ambil resiko setelah datang ke Masjid Menara Kudus akan kehilangan pengaruh dan kekuasaannya. Apalagi mereka juga tidak tahu di pintu yang mana dulu Sunan Kudus memasang doa saktinya.
Bahkan tak hanya di pintu itu. Memasuki kota Kudus dianggap sama risikonya. Oleh mereka yang percaya mitos ini lalu mengait-kaitkan jatuhnya Gus Dur juga karena datang ke Kudus. Kala itu, Gus Dur mengunjungi kiai sepuh di Kudus dan selang tak berapa lama ia harus lengser. Pada era Orde Baru, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef juga beberapa menteri lainnya, jatuh setelah mengunjungu Kudus.
Pada akhir September 2017, Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, nekat mendatangi Makam Sunan Kudus untuk mengikuti prosesi puncak Buka Luwur. Nyatanya, dia terpilih kembali. ”Lha sampeyan percaya? Percaya dengan hal itu (mitos pejabat akan lengser jika melewati gapura Menara Kudus)?” kata Ganjar Pranowo dengan nada agak tinggi saat ditanya wartawan terkait mitos tersebut.
Ganjar tidak menghiraukan mitos tersebut. Baginya, dia datang ke Menara Kudus dengan tujuan baik. Yakni menghormati prosesi Buka Luwur. Terlebih tradisi itu bisa terus berjalan hingga sekarang.
Sunan Kudus memang memasang rajah kalacakra. Tujuannya agar orang yang datang ke Masjid Menara Kudus, fokus untuk beribadah kepada Allah SWT. Caranya bagaimana? Dengan melepas semua nafsu dan keinginan untuk berkuasa. Jika tidak, maka kesaktian, jabatan, dan kedudukan si penggede akan hilang.
Kurang Percaya
Kembali ke Kediri. Pengasuh Ponpes Putra Putri HM-HMQ Lirboyo, KH. Abdullah Kafabihi Mahrus, berpendapat tidak ada kaitan antara presiden yang lengser dengan kunjungannya ke wilayah Kediri. "Ya kalau kami-kami itu, orang pesantren itu dalam hal-hal demikian ya kurang percaya. Kami lebih percaya dengan Allah," kata Kiai Kafabihi kepada Suara.com di kediamannya di Lirboyo, Senin (17/2).
Menurut Kafabihi, mitos seperti itu perlu diluruskan. Jika tidak, maka dikhawatirkan akan merusak akidah. "Kadang-kadang kita lupa dengan Allah, harus ada pelurusan," katanya.
Kalaupun masyarakat mempercayai mitos itu, Kiai Kafabihi meyakini ada penangkalnya. Caranya dengan berdoa dan bertawakal kepada Allah, dengan cara itu mitos tersebut dipastikan luntur. "Yang lebih kuasa, yang lebih segala-galanya adalah Allah. Kalau Allah tidak menghendaki, tidak akan terjadi," ucapnya.
Persoalannya adalah, Jokowi dan penghuni Istana lebih mempercayai mitos itu ketimbang penangkalnya.
Penulis wartawan senior.