"Pemotongan” Dana Pensiun Aparatur Negara, Dalih Tutupi Miss-management Proyek Infrastruktur?
Oleh Mochamad Toha
Jakarta, FNN - Kebijakan Presiden Joko Widodo mengalihkan uang pensiun dari Taspen dan Asabri ke BPJS Tenaga Kerja (TK) menuai kontroversi. Para pensiunan diyakini bakal terkena potongan rata-rata sebesar Rp 300 ribu.
Karena ada pemotongan ini, perwakilan pensiunan PNS, TNI, dan Polri menggugat Presiden ke Mahkamah Konstitusi. Sesuai amanat Undang-undang Sistem Jaminan Sosial, kebijakan ini akan diterapkan paling lambat pada 2029, seiring berkurangnya jumlah pensiunan.
Sebuah pertanyaan mengemuka: ada apa dengan pengelolaan jaminan sosial dan asuransi di Indonesia? Dan, mengapa Jokowi terkesan buru-buru mengalihkan dana pensiun ke BPJS TK, ketika manajemen BPJS sedang menjadi sorotan masyarakat?
Kebijakan baru tentang uang pensiunan dikeluarkan Presiden Jokowi. Namun, kebijakan ini membuat was-was pensiunan dan pegawai yang akan pensiun. Sebab, hal ini akan merugikan mereka.
Rencananya, pemerintah meleburkan pengelolaan dana pensiun pegawai negeri sipil (PNS) dari PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS TK atau Ketenagakerjaan.
Hal ini dinilai bakal merugikan, karena pemotongan dana pensiun itu dan manfaat lain yang sangat tinggi sehingga pensiunan PNS yang sudah bekerja dan mengabdi kepada negara tak memperoleh manfaatnya.
Akhirnya sejumlah pensiunan yang tak terima atas kebijakan Presiden Jokowi itu menggugat melalui MK. Menurut Andi Muhamad Asrun, kuasa hukum dari 18 orang (terdiri dari 7 orang pensiunan dan sisanya principal), hal ini berdampak pada kerugian konkret dan tidak konkret.
Andi menjelaskan, pensiunan dengan pelapor seorang PNS dengan gaji pokok paling rendah Rp 1.560.800, ketika jaminannya dialihkan ke BPJS TK, maka nominal uang pensiun yang diperoleh menyusut cukup ekstrem, bahkan sampai Rp 300.000.
Hal ini juga terjadi pada PNS dengan gaji tertinggi Rp 4.425.900. “Kemudian (PNS/pelapor) gaji yang tertinggi Rp 4.425.900 akan berubah menjadi Rp 3,6 juta. Jadi, ada penurunan yang signifikan dan ini tidak dijawab sampai sidang kemarin,” tegasnya.
Pensiunan berharap masalah tersebut teratasi dan tidak menimbulkan ketidakpastian akan perolehan pensiun bekas abdi negara. “Peraturan pemerintah ini tidak sinkron dan mau diputuskan paling lambat tahun 2029. Kalau paling lambat, artinya kan bisa saja besok bisa kapan-kapan tergantung pemerintah,” katanya.
Merunut UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, Asabri dan Taspen harus melebur ke BPJS-TK paling lambat pada tahun 2029.
“Para pemohon merasa saat ini mendapat keuntungan dari Taspen dan sudah real. Kenapa sesuatu yang sudah real dicoba dikonversi ke sesuatu yang tidak real. Mereka ini berhak mendapat kepastian, tapi dilanggar, makanya diuji. Harapannya dikabulkan ya,” jelasnya.
Adapun beberapa pasal yang digugat adalah pasal 57 huruf f, pasal 65 ayat 2 dan pasal 66. Ini dinilai bertentangan dengan pasal 28 h ayat 3 dan pasal 34 ayat 2 UUD 45.
Dalam pasal 28 h ayat 3 UUD 45 menyatakan setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat. Sementara pasal 34 ayat 2 UUD 45, negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu.
Putusan pada 1998 memperkuat kehadiran PT Taspen, tertuang dalam 98/PU/15XV/2017 dan putusan MA Nomor 32P/HUM/2016. “Jelas menyatakan, PT Taspen itu memiliki dasar hukum yang kuat, kalau itu dihilangkan maka kerugian operasional akan hilang,” jelasnya.
PT Taspen itu masuk sebagai perusahaan jasa keuangan BUMN dalam pengawasan Panja Industri Jasa Keuangan yang dibentuk Komisi XI DPR RI belum lama ini. Dirut PT Taspen ANS Kosasih menyebut, jika pihaknya dipanggil, itu tidak akan menjadi masalah.
Hal ini mengingat dana pensiun anggota DPR akan dibayarkan oleh Taspen. “Lha, kalau Taspen kita dipanggil ya datang, kita hargai itu. Wajar saja kok karena pensiunan DPR yang bayar Taspen,” lanjut ANS Kosasih, mengutip TribunJatim.com, Kamis (13 Februari 2020 08:55).
“Kita juga punya kesempatan untuk menyampaikan kepada Bapak Ibu di DPR, dananya aman kok, pasti prudent,” kata Kosasih di Menara Taspen, Senin (27/1/2020). Menurut Kosasih, DPR memang berkepentingan dalam mengetahui kinerja PT Taspen.
Namun, saat ditanya peleburan PT Asabri dan PT Taspen ke BPJS TK, Kosasih menyebut itu adalah wewenang Kementerian BUMN. “Yang itu gini, kan itu masih dibicarakan di tingkat atas. Kami sih ikut pemegang saham,” ungkap Kosasih.
“Kan Taspen bukan punya kita. Taspen kan punya RI jadi tanya ke stakeholder (Kementerian BUMN),” jelasnya. Kosasih menyebutkan, sebagai pengelola PT Taspen, pihaknya juga tidak berwenang menjawab hal itu.
Tapi, ia mengaku tanggung jawabnya hanya sebatas mengelola dan memperoleh imbal hasil yang baik. “Kita enggak berwenang jawab itu ya. Kita cuma kelola dan alhamdulillah dapat imbal hasil yang baik,” ungkapnya.
Sebelumnya, DPR Komisi XI membentuk Panja yang menyoroti kinerja beberapa perusahaan jasa keuangan. Antara lain, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), AJB Bumiputera 1912, PT Asabri (Persero), PT Taspen (Persero), dan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk.
Reaksi keras datang dari Adhie Massardi lewat akun Twitter-nya @AdhieMassardi. Jubir era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menilai, kebijakan Presiden Jokowi memotong uang pensiun merupakan bentuk perampokan.
“Kalau dipotong seenaknya, namanya perampokan,” kata Adhie Massardi di akun Twitter-nya @AdhieMassardi. Kata Adhie, uang pensiun bukan hibah dari pemerintah atau pemberi kerja.Tapi uang pegawai/pekerja yang dipotong tiap bulan.
“Uang pensiun ada UU-nya. Wajib disisihkan dan ditempatkan perusahaan asuransi pensiun,” papar Adhie, seperti dilansir SuaraNasional.com, Jum’at (14/2/2020).
Biayai Proyek
Menurut Koordinator Komunitas Relawan Sadar (Korsa) Amirullah Hidayat, Pemerintah berlaku zalim dengan menggunakan dana BPJS Ketenagakerjaan (atau dikenal BPJS TK) untuk pembangunan infrastruktur.
“Itu suatu tindakan yang tidak manusiawi dan penghinaan yang dilakukan terhadap buruh,” kata Amirullah Hidayat. Seperti diberitakan, BPJS Ketenagakerjaan telah menginvestasikan Rp 73 triliun pada proyek infrastruktur per Januari 2018.
Melansir RMOL.com, Senin (26/3/2018), investasi tersebut adalah investasi tidak langsung yaitu dalam bentuk surat utang (obligasi) yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Seperti diketahui, BPJS Ketenagakerjaan diperuntukkan untuk pekerja atau buruh sebagai Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Pensiun (JP).
“Bukan untuk dijadikan pembangunan infrastruktur. Bila ini terlaksana maka buruh harus melakukan perlawanan atas kebijakan ini, jika perlu buruh melaporkan kebijakan ini ke pengadilan internasional sebab ini jelas-jelas pelanggaran HAM yang nyata,” ujar Amirullah.
Menurutnya, tidak ada alasan yang masuk logika menggunakan duit buruh untuk membangun infrastruktur, sebab pembangunan infrastruktur itu tanggung jawab pemerintah. Jika memang pemerintah tidak sanggup membangun infrastruktur, “jangan dipaksakan!”
“Janganlah buruh yang dikorbankan untuk nafsu pemerintahan Jokowi ini,” lanjut Amirullah.
Ia mengatakan, buruh mengeluarkan keringat siang malam hanya untuk mencari uang guna membayarkan BPJS setiap bulan.
“Tapi uangnya dimanfaatkan untuk yang tidak ada kaitan dengan kepentingan dengan buruh, ini sama saja pemerintah Jokowi mengeksploitasi para buruh, ini adalah suatu tindakan yang menyedihkan,” tambah Amirullah.
Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah bagaimana memberi penghargaan terhadap buruh, seperti dengan menyetop buruh kasar Asing (TKA) masuk ke dalam negeri. Bukan memanfaatkan uang buruh.
Tampaknya, untuk menutupi dana Rp 73 triliun yang sudah dipakai untuk membiayai proyek infrastruktur itu, sehingga Presiden Jokowi perlu membuat “kebijakan” potong uang pensiun PNS, TNI, dan Polri ini.
Jangan-jangan rencana pemerintah meleburkan pengelolaan dana pensiun dari PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS TK itu hanya dalih guna menutupi Rp 73 triliun tersebut?
Penulis wartawan senior