OPINI
Jokowi Ingkari Nahdliyin?
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pengangkatan Jend. TNI Purn. Fachrur Razi sebagai Menteri Agama menggantikan posisi Lukman Hakim Saifuddin. Lukman adalah kader Nahdlatul Ulama (NU) yang mewakili PPP. Lukman tidak terpilih lagi karena diduga terlibat korupsi. Yaitu korupsi yang melibatkan mantan Ketum PPP Romuharmuzy yang kini disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Politisi yang akrab dipanggil Romy ini juga kader NU. Mungkin inilah masalahnya mengapa posisi dan jatah NU “hilang”. Sementara dalam tradisi, Menag biasanya dijabat oleh perwakilan dari organisasi keagamaan seperti NU. Lepasnya kader NU dari posisi Menag yang selama ini menjadi jatah untuk NU telah membuat NU kecewa, terutama para kiai di daerah. Apalagi, Menag baru ini disebut-sebut adalah warga Muhammadiyah. Terkait penunjukan Fachrul Razi, Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU KH Robikin Emhas mengatakan, pihaknya menerima protes dari banyak kiai dari daerah. Menurutnya, banyak kiai di berbagai daerah merasa kecewa dengan keputusan Presiden Joko Widodo terkait jabatan Menag. “Saya dan pengurus lainnya banyak mendapat pertanyaan terkait Menag,” kata Robikin dalam keterangan tertulis. Seperti dilansir Kompas.com, Rabu (23/10/2019, 14:47 WIB), “Selain pertanyaan, banyak kiai dari berbagai daerah yang menyatakan kekecewaannya dengan nada protes,” ungkap Robikin. Menurutnya, para kiai paham bahwa Kemenag harus berada di garda depan dalam mengatasi radikalisme berbasis agama. Namun sayangnya, pemilihan pemimpin Kemenag tak sesuai dengan yang diharapkan dalam membentengi NKRI dari ajaran radikalisme. Para kiai sudah lama merisaukan fenomena terjadinya pendangkalan pemahaman agama yang ditandai merebaknya sikap intoleran. Bahkan, juga sikap ekstrem dengan mengatasnamakan agama. Semua di luar kelompoknya kafir dan halal darahnya. “Teror adalah di antara ujung pemahaman keagamaan yang keliru seperti ini,” kata Robikin. Karena dampak dari radikalisme itu sangat membahayakan, maka secara kelembagaan, NU sudah mengantisipasi dan mengingatkannya jauh-jauh hari. “Bahkan NU menyatakan Indonesia sudah kategori darurat radikalisme, di samping darurat narkoba dan LGBT,” tandas Robikin. Boleh jadi, dipilihnya Fachrur Razi sebagai Menag ini juga terkait dengan apa yang disebut sebagai “radikalisme” itu. Seperti kata Presiden Jokowi saat mengumumkan namanya, “Beliau (ditunjuk karena) urusan yang terkait dengan radikalisme, ekonomi umat, dan industri halal,” ungkapnya. Rasa kecewa juga disampaikan Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU Ridwan Darmawan. Dia mengaku heran tak satu pun kader NU yang dilirik Presiden Jokowi, meski sebelumnya muncul kabar Jokowi bakal menjadikan kader NU sebagai Menag. “Kami merasa kecewa dengan komposisi (susunan menteri) yang beredar hari ini, apalagi kita menurut informasi yang beredar Menteri Agama bukan dari NU,” ujar Ridwa dalam keterangan tertulis yang diterima awak media Rabu (23/10/2019). Ridwan menyebut, seharusnya Jokowi menghargai kontribusi warga NU saat ajang pemilihan presiden (Pilpres) 2019 lalu. Pasalnya, warga dan para Masyayikh NU berperan besar dalam memenangkan pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Menurut Ridwan, seharusnya Jokowi berkomitmen memberikan posisi Menag kepada kader NU. Apalagi, banyak kader NU yang pantas menjabat Menag, baik yang menjadi pengurus NU maupun yang berada di berbagai partai politik. Ridwan pun menyayangkan sikap Jokowi yang tidak menghargai “keringat” yang telah dikeluarkan warga nahdliyin. Seharusnya, Jokowi melihat siapa yang turut membantunya menjadi presiden untuk kedua kalinya. “Di NU sangat banyak pengurus dan tokoh yang berkualitas untuk mengisi pos Menag. Pak Jokowi bebas memilih, asal kader NU dan dekat dengan ulama, jika tidak diberikan ke NU saya yakin Presiden Jokowi bisa kualat,” tegas Ridwan. Bagi nahdliyyin, katanya, Menag dari kalangan NU adalah harga mati. “Jika tidak, ditunda saja pelantikan menterinya,” tegas Ridwan seperti dikutip Gelora.co, Rabu (23/10/2019). Ucapan Ridwan ini disampaikan sebelum pelantikan. Ketum DPP PKB Muhaimin Iskandar sendiri sebagai kader NU sebelumnya berharap dapat jatah 6 orang menteri, tapi ternyata cuma memperoleh 3 kursi. Menko Polhukam Mahfud MD, Menaker Ida Fauziah, dan Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar. “Dikadali” Jokowi? Menurut Prof. Sumanto Al Qurtuby, Kabinet Indonesia Maju yang telah diumumkan Presiden Jokowi, Selasa (23/10/2019), kali ini diisi atau didominasi oleh kalangan politisi, pengusaha, praktisi, dan tentara/polisi. Yang menarik, kabinet sekarang tidak ada yang dianggap sebagai “representasi NU” atau kalangan santri/pesantren. Ida Fauziyah dan Abdul Halim Iskandar dianggap “representasi” Muhaimin Iskandar (atau PKB), bukan NU. Oleh kalangan struktural NU, Mahfud sudah lama dianggap “bukan NU” atau “tidak cukup NU” atau “tidak memiliki komitmen terhadap NU”. Yang menarik adalah posisi Menag yang selama ini hampir dipastikan dipegang oleh “kader” NU tapi kini jatuh ke tangan seorang mantan jenderal yang, maaf, tidak jelas wawasan dan keilmuan keagamaannya hingga beredar meme di lingkungan NU: “Dibutuhkan pembimbing agama untuk Menteri Agama”. Fazhrul Razi dikenal sebagai “ahli strategi militer”. Mau ngapain di Kemenag? Mengatur strategi perang melawan “radikalisme Islam”? Menurut Sumanto Al Qurtuby, sarang kelompok Islamis radikal bukan di Kemenag, tapi di Diknas, BUMN, Kominfo, Kemenpan, atau mungkin Kemenhan. Kemenag isinya para santri yang justru selama ini berperang melaman kelompok “Islam radikal”. Sangat disayangkan kalau NU diabaikan alias “dicuekin” oleh Jokowi, Mega dan “lingkaran dalam” mereka. Padahal NU-lah yang selama ini menjadi “bamper,” “kopral” dan pejuang melawan barisan kadrun dan mugrun. NU yang sering memobilisasi massa menghadang mereka. NU juga yang sering menggelar istigatsah kubro besar-besaran membela Jokowi. NU juga yang “perang dalil” dan “perang pemikiran” melawan kelompok idiologis Islamis seperti HTI dan lainnya. Kenapa NU? Karena NU yang memiliki massa besar yang bisa menandingi mereka. Karena hanya para kader NU yang bisa “perang dalil” dan “perang kitab” dengan mereka. Yang lain nggak ada. Muhammadiyah sekalipun karena mereka nggak bisa ndalil dan mbaca Kitab Kuning. Bahkan banyak kader Muhammadiyah yang sudah “bermimikri” menjadi kadrun atau setengah kadrun. Jika Muhammadiyah saja nggak bisa ndalil apalagi “banteng”, pengusaha, tentara, politisi, dan polisi. Semoga NU tak kecewa dan tetap ikhlas dengan susunan kabinet ini, meskipun sudah habis-habisan membela Jokowi, meski sepertinya hanya dijadikan pendorong “truk mogok”, dan kalau truk sudah jalan, mereka ditinggal atau sebagai “tangga” dan “pion” saja. Bahkan, tulis Sumanto Al Qurtuby, dijadikannya Kiai Ma’ruf sebagai cawapres pun dianggap sebagai bagian dari “sasaran antara”, “tangga” dan “pion” ini. Semoga saja NU tetap eksis membela Tanah Air, meskipun tak mendapat “jatah” menteri. “Saya gak bisa membayangkan jika kader-kader NU: para ulama dan kiai pesantren ngambek dan mogok tak mau lagi “berperang” melawan kelompok Islamis radikal,” tegasnya. Apakah Wapres Ma’ruf Amin dinilai sudah cukup “mewakili” NU? Bukankah posisi Wapres itu setara dengan total jumlah menteri? Sedangkan posisi Presiden itu setara dengan Wapres plus para menteri? Sehingga, dengan kata lain, sudah seharusnya NU tak mempermasalahkan “tidak ada” menterinya dari NU. Lain halnya dengan Muhammadiyah yang hanya ada 5 kadernya menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju. Yaitu: Muhajir Effendi, Siti Nurbaya, Juliari Batubara, Nadiem Makarim, dan Fachrur Razi. Perlu dicatat, bahwa tidak ada satu pun kader PAN yang duduk di Kabinet Jokowi II tersebut! ***
Prabowo Saja Begini, Bagaimana Mau Memercayai yang Lain?
By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Prabowo Subianto (PS) adalah politisi dan negarawan yang integritasnya mendekati kesempuraan. Siang-malam dia memikirkan keutuhan NKRI. Kabarnya, tidak ada satu pun lawan bicara Prabowo yang bisa mengelak dari topik kebangsaan dan keadilan. Begitulah hebatnya kualitas Prabowo. Tidak terbantahkan. Kawan dan lawan politiknya paham itu. Dia tak pernah terdengar terlibat atau menyerempet korupsi. Bahkan apa yang ada pada dirinya selalu disumbangkan untuk kenyamanan orang lain, khususnya orang-orang yang berada di dalam satu lingkaran kerja dengannya. Prabowo selalu memikirkan orang lain. Cerita-cerita tentang ini tak ubahnya seperti derajat hadits shohih. Artinya, kisah-kisah yang bukan karangan belaka. Bukan omong kosong. Dia selalu menduhulukan kepentingan negara dan bangsa di atas keinginan pribadinya. Ketika dia berorasi tentang keadilan bagi seluruh rakyat, Prabowo membuktikannya dalam banyak pergaulan sosial atau lingkungan organisatoris. Tak berlebihan, bagi saya, kalau mau dikatakan bahwa Prabowo adalah “malaikat politik” Indonesia. Dia berintegritas. Bersih. Baik budi. Mendahulukan orang lain, dlsb. Sekarang, “malaikat politik” itu telah melepaskan predikat yang menggambarkan kemuliaan dan keksatrian dirinya. Dia tak sanggup sendirian menjadi “malaikat politik”. Prabowo mungkin merasa lebih mulia jika dia masuk ke dalam koalisi para “politisi trisula”. Padahal, selama ini pekikan-pekikan “jenderal lapangan” itu tidak pernah menunjukkan kemungkinan dia akan melepas predikat itu. Tapi, itulah yang dia lakukan. Dia tinggalkan para pendukungnya. Dengan alasan, ingin mendobrak dari dalam. Dengan jabatan Menteri Pertahanan, dia akan menjabarkan strategi besar (grand strategy) untuk melumpukan rencana jahat. Yang dijalankan oleh orang-orang yang sering dia sebut sebagai “pengkhianat”. Nah, seperti apa kira-kira kesimpulan Anda tentang langkah Pak PS itu? Sambil menunggu jawaban Anda, saya berpendapat bahwa situasi di Indonesia ini sudah sangat parah. Sangat hina. Sudah hancur-lebur. Saking rusaknya, Prabowo yang “putih-bersih” itu pun bisa menjadi begini. Bagaimana mungkin Anda bisa mempercayai para politisi lain? Poliltisi yang setulus dan sebaik Prabowo saja, bisa dengan enteng meninggalkan umat yang sangat percaya kepada dia. Bagaimana mungkin Anda bisa percaya kepada Jokowi, Megawati, Surya Paloh, SBY, Muhaimin Iskandar, Jusuf Kalla, Bambang Soesatyo, Airlangga Hartarto, Oesman Sapto Odang, Yusril Ihza Mahendra, Suharso Monoarfa, dlsb? Tidak mungkin! Tidak mungkin bisa dipercaya. Semuanya tak bisa dipercaya selain Prabowo. Itu pun Prabowo sebelum menjadi menteri Jokowi. Sekarang, Prabowo yang tulus dan jujur itu pun ikut lebur membubur. Wallahu a’lam. [] 24 Oktober 2019
Sri dan Luhut Jadi Menteri Lagi, Bagus Itu
Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo pagi tadi sudah mengumumkan dan melantik para menteri yang jadi pembantunya. Komentar dan respon pun berhamburan. Ada yang pro, juga kontra. Biasa. Seperti telah diduga sebelumnya, masuknya Prabowo Subianto dalam jajaran pembantu Joko menyita porsi lumayan dominan dalam parade komentar. Yang pro bilang, Prabowo masuk untuk memperbaiki dari dalam, untuk meningkatkan kualitas pertahanan dan kedaulatan NKRI dari rongrongan musuh eksternal, dan seterusnya, dan sebagainya. Sedangkan buat yang kontra, aneka respon tersebut bermuara pada tamsil macan yang sudah benar-benar menjadi kucing. Meong, meoong, meoooong.... Tulisan kali ini sama sekali tak hendak menyinggung perkara Prabowo. Saya sama sekali tidak tertarik. Komposisi tim ekonomi Kabinet Joko jilid dua justru lebih menarik. Posisi Menteri Keuangan yang kembali dijabat Sri Mulyani Indrawati, misalnya. Tak kurang menariknya adalah, Luhut Binsar Panjaitan, yang ternyata bukan saja tetap di posisinya sebagai Menko Kemaritiman. Dia bahkan dapat _job_ (baca: wewenang) tambahan, yakni investasi. Nomenklatur resminya, Menko Maritim dan Investasi. Gaya sekaligus powerful! Banyak pihak, khususnya ekonom garis lurus yang jauh-jauh hari sudah mengingatkan Joko, agar tidak memakai dua orang ini. Sebagai Menkeu, Sri Mulyani terbukti tidak mampu membuat ekonomi Indonesia meninggalkan angka ‘kutukan’ 5%. Selain itu, pejuang neolib di garda depan ini, juga selalu menerapkan prinsip investor first dalam penyusunan APBN dan kebijkan fiskalnya. Buat investor, khususnya asing, dia rajin mengobral berbagai keringanan bahkan pembebasan pajak. Sebaliknya, untuk UMKM, Sri justru hobi menggebuk mereka dengan berbagai pungutan. Prinsip mengutamakan investor yang diterapkan Sri bukanlah hal ganjil. Memang begitu karakteristik mazhab neolib. Siapa pun penganutnya, pasti akan mematuhinya. Apalagi bila yang bersangkutan punya posisi superpenting semisal menteri keuangan, tentu prinsip ini kian menemukan wujudnya. Ketatkan Anggaran Buktinya, ya Sri ini. Saat didapuk menjadi Menkeu di Kabinet Kerja tiga tahun silam, dia langsung melakukan pemangkas sejumlah pos anggaran. Dalihnya, untuk mengamankan APBN agar defisit tidak menganga lebar. Tidak tanggung-tanggung, perempuan ini memotong anggaran hingga Rp137 triliun di APBN. Para ekonom menyebut ini sebagai kebijakan pengetatan alias austerity yang pertama. Pos angaran apa sajakah yang kena gunting tajam Sri? Dalam tempo empat periode sekaligus (kuartal IV 2016-III 2017) pos Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib menjadi korban. Khusus di kuartal II-2017, sektor pengeluaran pemerintah ini tumbuh negatif, yaitu -0,03%. Padahal, ketiga pos ini terbukti menjadi penyumbang yang cukup dominan dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tahunan dari sektor tersebut terjun bebas dari 7% pada 2016, menjadi hanya 2% setahun berikutnya. Akibatnya, kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi keseluruhan juga turun dari 0,23% di tahun 2016 jadi cuma 0,07% pada 2017. Buat rakyat awam, tentu angka-angka tadi sangat asing. Namun dampaknya langsung mereka rasakan. Daya beli masyarakat anjlog dan mengurangi pembelian produk industri. Kalau sudah begini, tentu saja sektor industri pengolahan yang langsung berhubungan dengan daya beli masyarakat jadi lesu darah. Pertumbuhan industri pengolahan tembakau remuk-redam, dari 3,52% (2016) jadi -0,64% (2017). Begitu juga dengan tekstil dan pakaian tekstil (TPT) yang anjlok dari 8,7% (2016) ke 3,8% (2017). Hal serupa terjadi pada industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki yang terjun dari 9,4% (2016) ke 2,2% (2017). Angka-angka bertabur merah tadi bermuara pada PDB yang menciut dari 5,17% pada 2016 menjadi 5,07% di tahun 2017. Sri dan jajarannya juga terbukti gagal memanfaatkan faktor menggeliatnya sektor konstruksi dan real estat sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi. Kini, di kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi kembali mencetak posisi terendah dalam tiga tahun terakhir, 5,06%. Peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra, mencatat sejumlah kegagalan Sri sebagai Menteri Keuangan. Rasio pajak Indonesia hanya 9%-10%, termasuk yang terendah di kawasan Asia dan Afrika. Terjadi deindustrialisasi yang tak terbendung. Industri baja yang pernah menjadi andalan dan kebanggaan nasional, terus berdarah-darah digempur baja impor dari Cina. Bahkan Batam yang digadang-gadang sebagai kawasan industri unggulan hanya mampu tumbuh 2%. Sri selalu mengklaim APBN disusun dengan sangat prudent hingga sangat stabil. Padahal faktanya, APBN kita lumayan rentan. Defisit transaksi berjalan sangat besar, US$8,4 miliar. Belum lagi data yang ada menunjukkan 50% lebih surat utang Pemerintah dimiliki asing. Sedikit saja asing berulah dan melepas obligasi Pemerintah, kita bisa dibuat jungkir-balik karenanya. Masih tentang surat utang negara (SUN), sebagai pejuang neolib yang gigih, Sri selalu memberi kupon/bunga yang kelewat tinggi. Angkanya berkisar 2-3% lebih tinggi ketimbang negara-negara yang credit rating-nya di bawah Indonesia. Kalau saja Sri mau bersikap profesional, Indonesia sudah selayaknya memperoleh bunga jauh lebih murah ketimbang Filipina dan Vietnam, misalnya. Sayangnya, jangankan lebih murah, berusaha dapat bunga pada harga yang sama dengan kedua negara itu pun dia tidak lakukan. Lalu, kalau saja dia mau menegosiasikan ulang, tentu sangat bermanfaat. Tidak usah banyak, cukup 1,5% bunganya berhasil diturunkan. Maka, hasilnya setiap tahun kita bisa menghemat anggaran sekitar Rp29 triliun. Jumlah ini bisa dimanfaatkan untuk menambal BPJS kesehatan yang compang-camping. Tapi, lagi-lagi hal itu tidak dia lakukan. Memang watak neolib selalu lebih mengutamakan kepentingan majikan asing ketimbang kesejahteraan rakyatnya sendiri. Kebiasaannya mengobral surat utang dengan bunga supertinggi inilah yang amat menyenangkan para investor. Ini pula yang menjelaskan mengapa mereka tidak segan-segan menghadiahi Sri dengan gelar sebagai Menkeu terbaik dunia. Bukan itu saja, tangan-tangan asing yang tak terlihat pula yang menyelamatkan Sri dari pusaran kasus Bank Century yang menghebohkan itu. Padahal, di dalam negeri prestasi dan kinerjanya justru membuat perekonomian mandeg dan beban rakyat kian berat saja. Pada titik ini, gelar Menkeu ‘terbalik’ justru jauh lebih pas baginya. Kembalinya Sri di posisi Menkeu sudah hampir pasti buah dari titipan (tekanan?) Bank Dunia dan IMF. Paling tidak, kita bisa membaca hal ini sebagai upaya kompromi sekaligus kompensasi yang diberikan Joko atas keberatan Amerika terhadap kian dominannya pengaruh Cina pada periode pertama kekuasaannya. Sebagai petugas yang baik, Sri tentu akan menjalankan kehendak majikan asingnya, IMF dan Bank Dunia. Guna memastikan prinsip investor first berjalan dengan baik, sangat mungkin dia akan lebih eksesif dalam mengetatkan anggaran sebagai babak lanjutan. Semua itu dimaksudkan agar APBN punya dana yang cukup untuk membayar pokok dan cicilan utang yang tiap tahun mencapai Rp680an triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran infrastruktur yang dibangga-banggakan, dan anggaran pendidikan sebagaimana diamanatkan Undang Udang yang minimal 20%. Seperti yang sudah-sudah, Sri juga tidak akan peduli kalau untuk itu dia harus memangkas anggaran sosial berupa subsidi bagi rakyat. Itulah yang menjelaskan mengapa harga BBM, listrik, gas dan berbagai kebutuhan dasar rakyat terus melonjak-lonjak. Makelar Cina Kini, kita lihat sosok menteri ekonomi yang ‘cukup fenomenal’ lainnya, Luhut Binsar Panjaitan. Sepak terjangnya selama menjadi menteri terkesan serampangan. Semua hal dia urus. Akibatnya, banyak warga net alas netizen menjulukinya sebagai Menteri ASU (Atasi Segala Urusan). Hobinya yang suka cawe-cawe di luar tugas pokok dan fungsi (Tupoksi)nya itu, membuat Faisal Basri Faisal menghujaninya dengan kritik. Kebijakan Luhut dinilai kerap tumpang-tindih dengan kementerian-kementerian yang tidak ada kaitannya dengan sektornya. Contohnya, Luhut bernafsu sibuk di mobil listrik. Padahal, harusnya, program itu jadi domain Kementerian Perindustrian di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Luhut juga dikenal sebagai menteri yang China minded. Apa-apa Cina. Sedikit ada masalah, solusinya Cina. Dia pula yang rajin memakelari aneka proyek raksasa di negeri ini kepada para pengusaha asal Negeri Tirai Bambu. Bahkan, untuk mengatasi kemelut keuangan BPJS pun, si Opung lagi-lagi menawarkan perusahaan asal Cina sebagai solusi. Selain sebagai pejabat publik, Luhut juga dikenal sebagai pebisnis. Jaringan usahanya mengurita ke bidang pertambangan, energi, listrik, dan lainnya. Banyak pihak menuding pensiunan jenderal ini punya konflik kepentingan, terutama di area pertambangan dan listrik. Kita tentu masih ingat, bagaimana dia berupaya menghapuskan aturan kewajiban pengusaha menjual 25% batubaranya kepada PLN. Maklum, harga ekspor sedang supergurih. Dia juga yang sangat bernafsu menentang pemberlakuan harga domestik untuk batubara yang dijual ke PLN. Persoalannya kini, Joko ternyata mengabaikan semua saran dan masukan seputar figur calon menteri di periode kedua kekuasaannya. Banyak orang pun jadi uring-uringan, misuh-misuh. Tak Independen Buat saya justru sebaliknya. Sikap ndegil bin kopeg Joko ini justru bagus. Ini menunjukkan sebagai presiden dia sama sekali tidak independen. Soal Sri, misalnya, sulit dibantah bahwa posisinya kembali sebagai Menkeu adalah hasil permintaan (tekanan?) IMF dan Bank Dunia. Begitu pula dengan mempertahankan Luhut di posisi semula plus wewenang di bidang investasi juga menjadi konfirmasi betapa Joko telanjur jatuh dalam cengkeraman Cina. Dengan posisinya sebagai Menko Maritim saja Luhut sudah jadi calo bagi perusahaan-perusahaan Cina, kok. Apalagi setelah ada embel-embel investasi, dengan sendirinya dia password bagi kian derasnya serbuan pengusaha Cina ke sini. Perbedaan investor Cina dengan Jepang, Amerika, Eropa dan sejumlah negara lain adalah pada pola bedol desanya. Cina bukan cuma membuka pabrik atau membangun infrastruktur di sini, tapi juga menggerojok utang dengan jumlah fantastis, membawa bahan baku plus tenaga kerja di semua level. Kombinasi duet Sri dan Luhut dipastikan akan membuat Indonesia semakin tidak bisa kemana-mana. Pertumbuhan akan ajeg di kisaran 5% bahkan lebih rendah lagi. Mimpi Joko bahwa rakyat akan punya pengasilan Rp27 juta per bulan pada 2045 benar-benar akan jadi impian belaka. Sebaliknya, beban hidup rakat makin berat. Ketimpangan sosial kian menganga lebar. Kalau sudah begini, tinggal seberapa kuat rakyat menahan beban dan sabar. Tapi ekadar mengingatkan, sejarah Indonesia modern bercerita Soekarno dan Soeharto tumbang karena krisis ekonomi. Padahal, keduanya dikenal sebagai penguasa yang kuat. Sudah, gitu aja! Jakarta, 23 Oktober 2019
Kabinet Rekonsiliasi: Jokowi Bukan (lagi) Petugas Partai
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pengumuman kabinet Jokowi Jilid II mengirim satu pesan penting : Jokowi bukan lagi petugas partai, seperti pernah dinisbahkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati. Jokowi telah menjadi Presiden yang “mandiri.” Tidak mau didekte oleh partai, maupun ormas pengusungnya. Dia menyusun kabinet berdasarkan kepentingan taktis dan strategis politiknya. Tentu tetap mengakomodasi kepentingan partai pendukung, dan akuisisi terhadap lawan politik. Pesan tegas itu sangat terlihat bila kita mencermati komposisi kabinet yang baru saja diumumkan Jokowi, Rabu (23/10). Pertama, Jokowi memperkokoh posisinya sebagai Presiden dengan ditopang oleh dua kekuatan utamanya: Geng Luhut Binsar Panjaitan dan profesional dengan pilar utama geng alumni Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelum pembentukan kabinet banyak rumor dan spekulasi yang menyebutkan kemungkinan Luhut, tangan kanan Jokowi tidak akan masuk kabinet. Megawati tidak menyukainya. Spekulasi kian kencang seiring menguatnya peran Kepala BIN Budi Gunawan. Dia berhasil mempertemukan Prabowo dengan Jokowi, dan kemudian dengan Megawati. Alih-alih tergusur, Luhut tetap menduduki posisi lamanya sebagai Menko Maritim. Perannya kian besar karena ditambahi bidang investasi. Dengan peran baru itu posisi Luhut akan menjadi semakin kuat dan penting. Apalagi dikaitkan dengan kian besarnya investasi Cina yang masuk ke Indonesia. Bersama Luhut masuk juga seorang sekondan lamanya Jenderal (TNI) Fahrul Razi sebagai Menteri Agama. Pria Aceh ini satu angkatan dengan Luhut di Akabri 1970. Dalam dua kali pilpres, aktif sebagai ketua tim Bravo-5, tim pemenangan Jokowi yang dibentuk Luhut. Fahrul juga menjadi salah satu petinggi perusahaan milik Luhut PT Toba Sejahtera. Pilar lain pendukung Jokowi adalah para profesional. Erick Tohir yang menggantikan Rini M Soemarno sebagai Menteri BUMN. Kepala KSP Moeldoko, Menkop/UKM Teten Masduki, Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia, Mendikbud/Dikti Nadiem Makarim, Menkes Mayjen TNI Dr Terawan AP, Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro, Menteri Pariwisata Wisnuthama. Masuk dalam barisan ini adalah mantan Kapolri Tito Karnavian yang ditunjuk sebagai Mendagri. Tito pantas menduduki posisi sangat penting dan berpengaruh itu. Di bawah komandonya Polri punya andil besar dalam kemenangan Jokowi. Sementara sejumlah nama profesional yang masuk dalam geng alumni UGM adalah Menteri PUPR Basoeki Hadimulyono, Menhub Budi Karya Sumadi, Menlu Retno LP Marsudi, dan Mensesneg Pratikno. Dalam barisan ini juga bisa ditambahkan nama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Kedua, benar PDIP menjadi partai terbanyak mendapatkan kursi di kabinet seperti diinginkan Megawati. 5 kursi. Namun beberapa diantaranya tidak cukup prestisius. Pramono Anung dan Yasona Laoly tetap dalam posisi semula sebagai Mensekab dan Menkumham. Dua wajah baru Juliari P Batubara sebagai Mensos, IG Ayu Bintang Darmawati sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Sementara Mantan Mendagri Tjahjo Kumolo posisinya terdowngrade jauh. Dia hanya menjadi Menpan. Sebuah kementrian yang anggaran tahunannya kalah jauh dibanding dengan satu direktorat jenderal di Kemendagri. Anggaran Kemenpan tahun 2020 yang disetujui DPR hanya sebesar Rp 304, 310 miliar. PDIP masih dapat tambahan “satu pos baru” tapi secara tidak langsung. Jaksa Agung ST Baharuddin adalah adik kandung politisi PDIP TB Hasanuddin yang semula disebut-sebut disiapkan sebagai Menhan. Nama Kepala BIN Budi Gunawan yang semula diperkirakan akan menjadi orang kuat baru secara mengejutkan tidak muncul di kabinet. Kemungkinan dia tetap di pos semula. Tetap bermain di belakang layar. Dengan komposisi ini PDIP tidak menempati satu pun pos triumvirat (Menhan, Menlu, dan Mendagri). Ketiga pos ini menjadi sangat penting manakala terjadi kekosongan kekuasaan. Ketiga, Jokowi memberikan pos Menteri Pertahanan kepada Prabowo, namun menolak memberikan pos Menteri Pertanian kepada Waketum Gerindra Edhie Prabowo. Pos tersebut diberikan kepada Syahrul Yasin Limpo dari Nasdem. Edhie dipindahkan menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Jauh-jauh hari Gerindra memberi syarat hanya akan bergabung ke dalam kabinet bila mendapatkan pos di bidang pertahanan dan ketahanan pangan. Bila tidak, lebih baik di luar kabinet. Dengan hanya dua pos menteri, maka akuisisi politik terhadap Prabowo biayanya sangat murah. Keempat, Jokowi bisa tetap memaksa Nasdem dalam kabinet dengan kompensasi Menteri Pertanian yang semula diincar Gerindra. Nasdem juga mendapat jatah dua menteri lainnya, yakni Menkominfo Johny G Plate dan Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya. Bandingkan dengan posisi Nasdem sebelumnya. Mendapat jatah Jaksa Agung dan Menteri Perdagangan. Dua posisi sangat strategis yang disebut-sebut ikut menjadi penentu naiknya perolehan suara Nasdem pada Pemilu 2019. Sebelumnya Nasdem juga pernah mendapat pos sebagai Menteri Agraria. Kelima, Jokowi berani melanggar pakem baku yang selama ini disediakan untuk dua ormas terbesar NU dan Muhammadiyah. Pos Kemenag yang biasanya menjadi jatah NU diberikan ke seorang jenderal. Pos Mendikbud yang secara tradisional menjadi jatah Muhammadiyah diberikan ke bos Gojeg. Representasi NU cukup diwakili oleh PKB yang mendapat jatah tiga menteri: Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Menaker Ida Fauziah, dan Menteri Desa Abdul Halim Iskandar. Nama-nama tokoh NU seperti Yenny Wahid, Ketua Umum GP Anshor Yaqut Cholil Qoumas, dan Ipang Wahid tidak masuk kabinet. Padahal mereka ikut berkeringat. Pasang badan bela Jokowi. Ketua PB NU Said Agil Siradj juga sudah menyatakan siap menyetorkan sejumlah nama. Mungkin termasuk namanya sendiri. Sementara Muhammadiyah hanya kebagian satu pos, yakni Menko PMK Muhajir Effendy. Posisi tinggi tapi tanpa portofolio. Keenam, beberapa partai pendukung Jokowi yang tidak lolos parlemen gigit jari. Hanura, PSI, Perindo, PKPI, dan PBB Yusril tidak mendapat jatah. Termasuk dalam posisi ini Partai Demokrat dan PAN. Mereka tidak diajak masuk dalam kabinet. Kemungkinan kalau beruntung mereka akan mendapat jatah wakil menteri, kepala badan, atau jabatan-jabatan lain di luar kabinet. Dari komposisi tersebut Jokowi sudah menunjukkan posisinya. Para partai pendukung --termasuk PDIP-- boleh mengusulkan nama. Jadi tidaknya yang menentukan Jokowi dan orang dekat dalam lingkar kekuasaannya. Apakah mereka puas dan bisa menerima pembagian jatah di kabinet itu? Waktu yang akan berbicara. Satu pesan penting yang perlu diingat. Yang sudah masuk kabinet, jangan terlalu gembira. Yang belum masuk jangan terlalu sedih berlebihan. Apalagi sampai memaki-maki. Toh masih ada reshufle kabinet. Banyak berdoa saja. End
Memahami Langkah Politik Prabowo
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tampaknya dukungan Megawati kepada Prabowo kali ini sangat besar. Karena memang Megawati bergantung pada Prabowo untuk menyingkirkan SBY cs. “Prabowo benar. Memang tidak ada oposisi di Indonesia,” tulis Direktur The Global Future Institute Hendrajit. Dalam sejarah politik Indonesia sejak Orde Lama, memang tidak pernah ada yang namanya oposisi di Indonesia. Menteri-menteri pembantu Presiden Soekarno pun berasal dari berbagai partai politik yang ada ketika itu. Begitu pula semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Pak Harto juga punya menteri dari parpol. Seingat saya begitu. Maaf kalau ternyata ada yang salah dengan argumen saya itu. Begitu halnya masa Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Joko Widodo. Tidak ada partai oposisi! Yang ada hanyalah Partai Koalisi! Di luar Partai Koalisi inilah yang “diposisikan” sebagai “partai oposisi” secara verbal, bukan yuridis formal! Sikap kritis dari pengurus parpol atau masyarakat ditempatkan sebagai “oposisi”. Bisa jadi, itulah langkah yang kini dijalani Prabowo Subianto, Ketum DPP Partai Gerindra yang sudah ditawari Presiden Jokowi untuk membantu di bidang pertahanan. Apalagi, konon, Prabowo diberi “wewenang” oleh Megawati. Wewenang untuk bicara langsung dengan Presiden Jokowi dalam menentukan Kabinet Kerja II. Dengan kata lain, sebelum memutuskan nama-mana menteri, Presiden Jokowi harus bicara dulu dengan Prabowo. Itulah fakta politiknya. Santer tersiar kabar bahwa Mahfud MD akan dimasukkan sebagai calon Menko Polhukam. Isu ini bisa terjadi karena jebakan opini. Manuver Mahfud ini jelas salah satu jebakan opini yang termakan oleh Jokowi dan PDIP sendiri. Masuknya Mahfud sebagai Menko Polhukam seolah-olah dibarter dengan terdepaknya Agus Harimurty Yudhoyono dari calon Menpora adalah kemenangan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Genk-nya. Secara politik, Menpora lebih pas dijabat Prananda Prabowo, yang bersih dan cerdas. Bukan kader PDIP yang punya 6Catatan Dosa. Kalau AHY masuk Kabinet Jokowi II, berarti Mega memelihara harimau untuk Pilpres 2024. Harimau yang siap terkam Capres PDIP. Jabatan Menpora tidak bernilai strategis dibanding jabatan Menko Polhukam sebagai penentu kebijakan polhukam tertinggi dalam rezim proksi ini. Secara formal, NasDem dan Demokrat ini seolah-olah menjadi oposisi atas Jokowi. Tapi, kader-kader SBY-Luhut Binsar Panjaitan-Hendropriyono-Surya Paloh seperti Mahfud, Sri Mulyani dan lain-lain (di luar dari Joko Widodo-Ma’ruf Amin) berhasil masuk menjabat posisi strategis dalam Kabinet Jokowi II ini. Konon, atas rekomendasi Prabowo, Mahfud akan ditempatkan sebagai Jaksa Agung dengan tujuan besar untuk sikat para koruptor yang selama ini aman dan dilindungi. Karena itu, atas usulan Prabowo, Mahfud dipaksakan menjadi Jaksa Agung. Buat Prabowo situasinya gampang saja, koq. Kalau formasi kabinet mengecewakan, berarti agenda yang dibawanya ke Teuku Umar telah dinafikan. “Prabowo tinggal bilang, dengan segala hormat, saya pamit mundur Bu,” kata Hendrajit. Menjabarkan agenda dengan menempatkan orang yang pas di kabinet, bukan sekadar bagi-bagi kekuasaan. Tapi, “Bagaimana memasang orang yang ahli sekaligus mengerti ruh dari gagasan yang terumuskan pada agenda, maka wajar Prabowo akan all out.” “Termasuk saat meminta posisi Kemenhan,” lanjut Hendrajit. Kabarnya, hingga pada Senin, 21 Oktober 2019, malam di internal Prabowo masih terjadi perdebatan posisi yang nantinya harus dipilih yang pas antara Menko Polhukam atau Menhan. Kita masih ingat Mahfud sebagai tokoh yang menuduh para pemilih Prabowo mayoritas dari daerah basis radikalisme. Jika Mahfud ditunjuk sebagai Menko Polhukam, maka yang terjadi adalah anomali demokrasi dan politik Indonesia semakin menggila. Presiden bukan kader partai. Wapres bukan kader partai. Menko Polhukam bukan usulan dari partai. Menko Perekonomian bukan usulan dari partai. Partai pemenang pemilu dapat apa? Sebaiknya Budi Gunawan Menko Polhumkam, Rizal Ramli Menko Ekonomi. Itulah yang ada dalam benak pikiran Prabowo terkait usulan menteri-menteri Kabinet Jokowi II tersebut. Prabowo sendiri pernah cerita ihwal kisah dua pemimpin AS, Abraham Lincoln dan William Seward saat Rapimnas Gerindra di Hambalang, Bogor, Rabu (16/10/2019). Abraham selama hidupnya fight dengan Seward, tokoh yang lebih senior. Bahwa pada suatu ketika Abraham menyatakan ingin bertemu dengan Seward di kongres parlemen AS. Seward menolak bertemu, bahkan menyebut Abaraham sebagai monyet. Ia urung bertemu Seward. Bertahun-tahun kemudian, mereka terus bertarung secara politik hingga Abraham akhirnya terpilih menjadi presiden. Setelah terpilih, Abraham ternyata mau menawari William Seward untuk menjadi Menlu AS atau Secretary of State. Padahal, jabatan ini merupakan posisi ketiga terkuat di Amerika Serikat setelah presiden dan wakil presiden. Seward akhirnya tanya, “Lho kamu tahu kan saya benci banget sama kamu. Kenapa kamu menawarkan posisi menteri luar negeri ini kepada saya.” Jawaban Abraham justru mengejutkan dan membuka mata para penasihat dan pendukungnya, termasuk juga pendukung Seward. Menurut Abraham, ia dan Seward punya kesamaan, yakni cinta kepada AS. “Iya saya tahu kamu benci sama saya, bilang saya monyet dan saya juga benci banget sama kamu, tapi ada satu hal yang tidak bisa dibantahkan, dua dari kita memiliki kecintaan luar biasa kepada United States of America,” ungkap Sandiaga Uno. Menurut Sandi, Prabowo menyebut bahwa Abraham memerlukan masukan dari Seward. Ia membutuhkan Seward untuk menjadi orang terdekatnya. “Karena kecintaan kepada USA dan saya butuh masukan, bukan (masukan) ABS, asal bapak senang, bukan orang yang memberikan masukan yang ingin saya dengar. Saya butuh Anda sebagai orang terdekat dengan saya,” lanjut Sandi. *Mengapa Bergabung* Seorang teman wartawan senior mencatat, Indonesia saat ini sudah dalam kondisi “bahaya”, ibarat Siaga I, ancaman dari luar sudah kritis dan juga “perpecahan” di dalam negeri sudah menganga lebar, sehingga Indonesia mudah sekali diintervensi Asing. Ini yang rakyat tidak menyadarinya. Prediksi-prediksi ahli ekonomi dunia tentang kondisi Indonesia tahun depan menukik tajam karena ekonomi tidak berputar, dan pembangunan infrastruktur yang tidak mengenal skala prioritas. Maka langkah Prabowo adalah “Menyatukan Rakyat yang Terbelah” dengan membubarkan Kubu 01-02 dan pembubaran BPN setelah pemilu dilaksanakan. Karena dengan rakyat yang terbelah, adu domba berlangsung dan intervensi negara lain yang sudah di depan mata, sangat mudah dilakukan. Karena itu Prabowo melakukan konsoludasi dengan pihak-pihak yang dianggap masyarakat berlawanan, untuk merajut kembali persatuan dan untuk bersinergi dalam menghadapi musuh utama kita, yaitu intervensi asing. Bagaimanapun Prabowo tahu kapasitas Jokowi, tanpa dukungan dari SBY Cs dan kapasitas berpikir (baca: intelektualitas) Mega yang merupakan “atasan” Jokowi yang mendukung dan menentukan Jokowi. Bagaimanapun, Mega itu seorang ibu RT yang bisa maju karena dukungan suaminya (Taufik Kiemas), bukan karena kapasitasnya sendiri, maka perlu masukan wawasan tentang kondisi Indonesia yang sebenarnya saat ini, dan juga politik dalam negeri yang sebenarnya terjadi. Makanya, diterangkan semua dan kondisi darurat saat ini terhadap intervensi asing. Kondisi Mega sendiri saat ini merasa Genk SBY Cs, Surya Paloh, dan Taipan China lebih berperan terhadap Jokowi dan mengambil manfaat yang sangat besar ke Jokowi. Di sini Mega ingin merebut kembali pengaruhnya ke Jokowi. Ia merasa Jokowi itu bisa jadi Presiden karena dia sehingga dengan memegang Prabowo, Mega bisa menyingkirkan SBY Cs dan saat ini Mega bergantung pada Prabowo. Jokowi harus menuruti Mega! Makanya, ini terlihat oleh kita bagaimana sikap Mega yang tak menyalami Paloh dan di dalam perpecahan 01 terlihat SBY Cs bersatu melawan Mega dengan membuat gaduh di Papua. Jadi, manuver Prabowo masuk ke dalam disambut oleh Mega untuk menyingkirkan SBY Cs dan kelompok ketiga itu yang selama ini sangat memanfaatkan Jokowi untuk kepentingan bisnisnya, aseng, dan asing. Ini yang paling jahat. Ibarat Prabowo membedah isi perut Kubu 01. Bagaimana dengan kondisi Kubu 02, resiko yang harus ditanggung Prabowo, ulama yang tergabung dalam ijti’ma ulama. Kecewa dan mengambil sikap opisisi! Begitu juga PKS dan relawan yang “tidak mengerti” kondisi negara saat ini ada yang marah. Ada yang kecewa, tapi ini semua resiko karena prioritas utama adalah ancaman kedaulatan negara dari intervensi asing yang semakin nyata. Diharapkan, dangan Prabowo masuk di posisi yang sangat penting bagi keputusan-keputusan strategis untuk keamanan negara, paling tidak, pertama, negara lain yang bermaksud ingin mengintervensi berfikir sejuta kali dengan masuknya Prabowo dalam pemerintahan. Karena tidak bisa disetir dan tidak bisa diiming-imingi. Kedua, integritas Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh atas batas-batas wilayah dipandang lagi oleh negara-negara tetangga dan naik pamornya. Jadi, jangan main-main dengan Indonesia. Presiden bisa saja lemah tapi pertahanan negara kuat dan dipandang kembali bagi kawasan Asia Tenggara. Ketiga, kestabilan wilayah kembali naik. Papua bisa dikuasai kembali. Karena rakyat Papua sangat hormat pada Prabowo, begitu juga dengan rakyat Aceh. Mereka menganggap Prabowo sebagai sahabat rakyat Aceh. Bisa disimpulkan, keamanan negara bisa dipulihkan, dan SBY Cs bisa tidak berperan lagi. Keempat, hal lain sebagai efek kestabilan negara, maka ekonomi bisa ditata ulang dengan skala prioritas. Tampaknya dukungan Mega kepada Prabowo kali ini sangat besar. Karena memang Mega bergantung pada Prabowo untuk menyingkirkan SBY Cs. Kali ini Mega menyadari ancaman luar merupakan prioritas utama, sehingga Jokowi harus mengikuti konsep yang dibuat Prabowo. Dengan dukungan penuh Mega, yang punya massa itu adalah PDIP dan Gerindra dominan, SBY Cs “nol besar”. Mereka tak punya grass rooth, hanya semu. Buktinya, keluarga TNI lebih memilih Prabowo saat Pilpres lalu. Di seluruh Indonesia kompleks militer dimenangkan 02. Jadi, sebetulnya mereka itu “jenderal ompong”. Jadi di sini terlihat kepiawaian Prabowo dalam meneliti “sumber penyakit” dan mencoba menyembuhkan dari dalam. Semoga dengan niat baik dan tulus dari Prabowo itu, Allah SWT meridhoi sepak terjangnya dalam membenahi negara ini untuk kesejahteraan rakyatnya. Aamiin. ***
Semoga Prabowo Warisi Takdir Gadjah Mada
Oleh Agi Betha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sulit menuliskan ini tanpa menyebutkan nama. Tapi jika disebut nama, nanti UU ITE yang bekerja. Jadi biarlah ditulis seperti ini, kadang ada disebut nama kadang tidak. PRABOWO INGIN JADI MENHAN Akhir tahun 2016, di sela hingar bingar Pilkada DKI, saya bertemu teman lama yang cukup dekat dengan Pak Prabowo. Dia bercerita bahwa posisi 2 kutub berseberangan antara Presiden Jokowi dengan PS tidak akan terjadi, jika saja Jokowi mau menjadikan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan di kabinetnya. Saya kaget. Mosok PS mau jadi menterinya Pak Jokowi? Bukannya dia ambisi jadi presiden? Ingin menjadi orang nomor 1 di republik ini demi mewujudkan cita-cita besarnya? Teman ini lalu bertutur. Sesudah terpilih menjadi Presiden di 2014, Pak Jokowi pernah menawarkan jabatan menteri kepada Gerindra. Tapi PS tidak tertarik, karena departemen tersebut tidak strategis jika mau berkontribusi mengubah nasib Indonesia ke depan. Prabowo lalu membuat wacana negosiasi sendiri. Yakni jika Presiden Jokowi mau berikan jabatan Menteri Pertahanan kepadanya, maka ia mau bergabung dengan pemerintah. PS ketika itu terus terang nyatakan ingin memegang posisi penting sebagai Menhan, karena peningkatkan mutu pertahanan dan keamanan negara sudah teramat genting dilakukan. Kondisi pertahanan Indonesia sudah sangat rapuh, baik jika harus menghadapi invasi fisik, maupun perang ideologi berupa Proxywar yang masuk dari segala lini. PS tidak mau jabatan menteri basa-basi yang secara politik merupakan cara untuk membungkamnya, karena telah mau masuk ke lingkar kekuasaan. Namun ketika itu Jokowi menolak permintaan Prabowo. Sehingga Gerindra tetap jadi oposisi di periode pertama pemerintahan Jokowi. Jadi soal PS mau jadi Menhan adalah kabar usang. Yang baru justru soal Jokowi yang kini menyetujui. Menjelang Pilpres 2019, kembali santer beredar cerita incumbent kirim utusan ke Hambalang untuk menawarkan posisi lagi ke Prabowo. Kali ini jabatan cawapres yang diimingkan. Secara hitungan kasar, jika saat itu tawaran diterima, maka Jokowi-PS akan jadi paslon tak terkalahkan di Pilpres 2019. Undefeated. History maker. Tapi Prabowo emoh. Dia mengatakan, jika memang mau berbagi kekuasaan demi membenahi negara, kenapa dulu Jokowi tidak mau memberikan porsi Menhan kepadanya. Tawaran sebagai Cawapres itu jelas hanya untuk mendudukkan PS sebagai vote getter dan memuluskan jalannya pilpres. BANYAK YANG MENENTANG Jika di periode ke-2 kekuasaannya kini Jokowi setujui posisi Menteri Pertahanan untuk Prabowo, dipastikan banyak pihak yang menentang. Yaitu kelompok pro-Tiongkok, pro-Amrik, Australia, dan sebagian negara Asean yg terlihat baik di depan kita tapi diam-diam merasa Indonesia sebagai ancaman besar mereka. Di dalam negeri, usulan posisi Menhan kepada PS pasti ditentang oleh pimpinan partai (sudah gatel ingin sebut nama, tapi ingat UU ITE) yang menjadi boneka 9 Naga. Dirijek keras oleh si Fulan, pimpinan partai kesohor yang dikenal sebagai kepanjangan tangan Amrik dan pemilik portal online terkemuka. Juga ditolak oleh senioren jendral merah yang telah mengikat janji masa depan bersama RRC. PS KANTONGI RESTU DARI SIAPA? Kemarin sebuah media mainstream membocorkan bahwa rencana menjadikan PS Menhan, kabarnya belum didiskusikan dengan Surya Paloh, pemilik Nasdem sekaligus anggota koalisi pemerintah. Sementara Bu Mega yang lewat Diplomasi Nasgor sempat memanfaatkan PS untuk menohok kawan koalisinya, ternyata belakangan kembali ke aslinya. Mega tidak dukung PS naik ke Menhan. Ia keukeuh menyodorkan nama kader PDIP TB Hasanuddin, mantan Cagub Jabar. Sebelumnya Menhan memang jatah orangnya Mega. Dalam sejarahnya, Ryamizard memang pernah jadi ajudan Presiden Megawati. Jadi spekulasi umum bahwa Megalah yang mendukung PS jadi Menhan sebagai bagian dari diplomasi Nasgor, terbantahkan. Bahwa Mega nyaman bersekutu dengan PS, ternyata salah besar. Macetnya komunikasi antara Teuku Umar dengan Gondangdia selama lebih dari 1 tahun terakhir, tidak membuat Mega gentar. Retaknya koalisi penguasa tidak membuat Mega membentuk sekutu betulan dengan Prabowo. Mungkin karena polemik soal PDIP yang dulu kerja keras menaikkan Jokowi di 2014, tapi hanya tempati posisi yang kering di kabinet, kini sudah berlalu. Kursi penting yang dulu diisi partai lain yang kadernya memburu rente dengan terus lakukan imprat-improt itu, kini jadi rebutan. Sebentar saja Mega manfaatkan Prabowo untuk gertak sambal ke partai-partai kecil koalisinya, sesudah itu ia kembali labuhkan kesetiaan kepada kepentingannya sendiri. Jika benar bahwa tidak ada partai koalisi penguasa yang restui PS, lalu kenapa Presiden tetap akan jadikan PS Menhan? Jawabannya mungkin hanya Presiden Jokowi sendiri yang tahu. Yang jelas kali ini strategi pak presiden terpilih cukup cerdik. Demi selekasnya menyelamatkan kursi Menhan untuk Prabowo, Jokowi menempatkan PS di salah satu deretan teratas tokoh yg ia temui. Agar posisi itu terkunci. Digembok: Cekrek! Berharap tidak ada tangan kuat yang utak-atik lagi. Ini pertarungan urat syaraf. Maklum, Kemenhan adalah salah satu departemen dengan postur anggaran terbesar di APBN. Salah satu jabatan Triumvirat berdasarkan UUD bila presiden dan wakilnya jatuh di tengah jalan itu, memang terlalu menggiurkan. Jika Menkopolhukam urusi keamanan dalam negri, maka Menhan bertanggungjawab menyelamatkan NKRI agar tetap utuh dari segala jenis gangguan dari luar. Posisi yang seksi secara jumlah anggaran dan sangat kuat dari segi kekuasaan politik. MENGAPA PS INCAR POSISI MENHAN? Soal PS incar posisi Menhan itu, siapa yang tidak kaget? Malah anomali kalau tidak terkejut. Awalnya sayapun begitu. Tiga tahun lalu saya bertanya, "Kok PS yang musuh politik Jokowi malah inginkan posisi sebagai Menteri Pertahanan presiden?" Lalu pelahan jawabanpun datang. Selapis demi selapis membuka wawasan. Pertama saya beberapa kali bertemu Pak Sudrajat, mantan Cagub Jabar yang juga mantan atase pertahanan KBRI di AS dan mantan Dubes RI untuk RRC. Jenderal lulusan Harvard ini adalah narator yang baik, paham geopolitik, dan sangat cerdas. Ia paparkan soal OBOR dan Proxywar yang mengancam Indonesia, bahkan tanpa disadari sudah masuk di tengah kita. Ibarat rebutan kekasih, si pemuda Amerika dan jejaka China nafsu ingin sama-sama kuasai Indonesia, si perawan cantik bahenol nan kaya raya. Intinya Indonesia terancam jadi perawan yang mati di tengah. Berikutnya ramai soal teori Indonesia akan 'dibagi' menjadi 5 negara lewat skenario Barat, China, dan Israel, yang dinarasikan oleh seorang tokoh ekonomi. Kemudian ada kejadian-kejadian pelemahan Ulama dan Islam sebagai agama mayoritas yang dibenturkan dengan pluralisme. Berikutnya adalah intervensi kepada media yang dilakukan secara masif dan pemandulan fungsi pers. Lalu puncaknya Prabowopun ungkapkan bahwa Indonesia terancam bubar pada 2030. PS nekat katakan itu, meski tahu bahwa resikonya ia akan dicemooh. Sejak melihat rentetan peristiwa itulah saya paham kenapa PS ngebet banget ingin jadi Menhan. Dia ingin perjuangkan anggaran pertahanan dan keamanan agar tidak jadi bahan rayahan. Berkali-kali di berbagai diskusi, Prabowo terbuka menyatakan keheranannya. Kenapa anggaran yang sedemikian besar itu tidak mampu membeli alutsista yang diperlukan untuk pertahanan NKRI? Sebagai jenderal lapangan, sebetulnya PS tahu apa yang terjadi, paham jawabannya, dan mengerti apa yang harus dilakukan. Begitu banyak yang harus secepatnya dikerjakan oleh Menhan baru, jika ingin NKRI Harga Mati betul-betul diwujudkan. Jika negara terancam bubar jalan pada tahun 2030, tentunya bukan ujug-ujug terjadi di tahun itu juga. Bagai suatu penyakit mematikan, prosesnya tentu sudah dimulai jauh sebelumnya. Dan saat ini Prabowo berpacu dengan usianya sendiri. Ia tidak muda lagi. Jika tidak lakukan kini, maka belum tentu ada peluang lagi. Target besarnya adalah untuk mengeleminir 'Paradoks Indonesia', yakni negara kaya raya tapi rakyatnya masih banyak yang hidup miskin. Juga demi wujudkan 'Indonesia Menang', dengan cara mandiri pangan, mandiri energi dan mandiri air. Dua itu adalah judul buku PS yang selalu dia bawa dan bagikan ke mana-mana. JANJI PS YANG HARUS DITEPATI Jika benar nanti Indonesia miliki Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, maka keuntungannya adalah rakyat bisa menagih janji-janji kampanyenya. Setidaknya terhadap persoalan yang menjadi wewenang seorang Menhan. Selama ini di Hambalang, di stadion, di lapangan, dimanapun berada, Prabowo selalu menyerukan soal bagaimana selekasnya mengeleminir 'Paradoks Indonesia', yakni negara kaya raya tapi rakyatnya sangat banyak yang hidup miskin. Juga demi wujudkan 'Indonesia Menang', dengan cara mandiri pangan, mandiri energi dan mandiri air. Dua itu adalah judul buku PS yang selalu dia bawa dan bagikan ke mana-mana. Dalam narasi PS, soal Pertahanan Negara adalah pekerjaan menyeluruh. Ketahanan Pangan adalah bagian pokok dari kemampuan pertahanan Bangsa Indonesia. Revolusi Putih atau pembagian susu gratis untuk anak-anak sekolah adalah cita-citanya untuk menghapus stunting. Supaya tidak terjadi lost generation. Di skema Prabowo, setiap keluarga miskin nantinya harus dibantu memiliki hewan unggas sendiri. Kecukupan protein adalah salah satu kunci kecerdasan generasi baru. Ayam atau itik harus dipelihara sendiri, untuk memenuhi kecukupan gizi kaum papa di pelosok. Narasi itulah yang pada 2014 lalu membuat Pak Bondan 'Maknyus' Winarno nyatakan jatuh cinta kepada Prabowo. Katanya hanya Prabowo, capres yang peduli soal gizi rakyat dan miliki program detil soal itu. Kemudian Pak Maknyus menyurati PS, masuk jadi kader Partai Gerindra, bahkan sempat nyaleg. Atas keputusannya itu, Bondan yang juga dikenal sebagai wartawan investigasi senior, sempat melakukan perlawanan keras di twiter kepada para pembullynya. Jejak digitalnya masih tersimpan hingga sekarang. Selain soal perut, Prabowo juga selalu serukan bahwa kebutuhan hakiki yang wajib dimiliki oleh seorang manusia merdeka adalah tanah. Apalagi bumi Indonesia sangat luas, setara dengan puluhan negara Eropa yang disatukan. Jadi sewajarnya tiap keluarga harus memiliki tanah. Meski hanya sepetak, yang penting tanah itu ada rumah untuk dihuni, ada sejengkal lahan bakal ditanami singkong, serumpun sayur, dan menaruh unggas. Menurut Prabowo, cuma sesederhana itulah cita-cita dan arti kemerdekaan bagi jutaan orang miskin tanpa tanah, di bumi Indonesia yang kaya raya gemah ripah loh jinawi ini. Menurut PS, itu semua bisa diwujudkan dengan memakai lahan milik negara yang nganggur, untuk diolah menjadi area produktif. Lahan itu dipinjamkan sementara, agar rakyat miskin mampu menabung sampai terbeli tanahnya sendiri. Maka dalam teorinya, kelak tiap keluarga di Indonesia tidak perlu takut kelaparan meski terjadi invasi dan embargo makanan dari luar. Itulah ketahanan bangsa yang sesungguhnya. Pertahanan negara yang sebenarnya. Apakah soal pangan dan papan itu masuk dalam target yang diurusi seorang Menhan? Secara straight tidak. Tapi definisi secara makro, makna pertahanan adalah kesiapan menghadapi segala bentuk ancaman dari luar. Peperangan fisik maupun pertempuran ideologi. Jadi pemikiran dan eksekusinya tentu harus lintas departemen, tidak dapat dilakukan seorang Menhan. Pertahanan negara baru akan dapat maksimal jika soal stok senjata, peluru, personil, energi, makanan, air, dan kebutuhan pokok dalam negri lainnya tercukupi. Karena upaya Pertahanan dalam arti keadaan darurat peperangan, adalah termasuk menyiapkan seluruh rakyat sipil agar siap menghadapi segala sesuatu dan dampaknya. Teori tentara rakyat, harus jalan pada keadaan seperti itu. Kita tidak mungkin mengajak perut yang lapar dan pikiran yang depresi karena tekanan ekonomi, untuk memikirkan pertahanan. Apalagi melakukan perlawanan. Inilah makna People Power Bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Yang sangat ditakuti oleh negara-negara lain, baik di kawasan jiran maupun oleh negara adikuasa di seberang Lautan Pasifik. Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, kondisi rakyat yang sehat, kemampuan memproduksi sendiri pangan dan energinya, alutsista yang modern, siapa yang akan berani menihilkan Indonesia sebagai kekuatan besar dunia? Itulah kenapa Prabowo ingin jabatan Menhan sepaket dengan posisi Menteri Pertanian. Ia percaya Edhy Prabowo yang dididiknya soal pertanian selama ini dapat tek-tok mengerjakan PR besar ketahanan pangan dan pertahanan negara. Tapi sejauh ini, tampaknya impian PS kembali terjegal. Posisi Mentan hampir dipastikan mental, karena si tangan kuat tidak mau posisi strategis itu lepas ke lawan. Edhy Prabowo boleh jadi terlempar ke posisi Menteri Perikanan dan Kelautan. Prabowo jadi Blasteran Jika PS benar jadi Menhan, maka di dunia medsos ia akan jadi kampret blasteran cebong. Entah namanya jadi Cepret atau apa. Sementara pendukungnya di Pilpres kemarin boleh tetap jadi Kampret mandiri, atau juga ikut jadi blasteran. Namanya saja negara demokrasi, pastilah HAM dihormati. Hak Azasi Manusia, Hak Azasi Membully, maupun Hak Azasi Masabodo, boleh pilih mana suka. Dan konsekuensinya, PS harus bisa menerima dengan ikhlas hati kemauan pendukungnya yang kini tercerai berai, sebagai bagian dari akibat pilihan politiknya. Saya jadi apa..? Saya pilih membantu rakyat yang masih banyak memikirkan bagaimana cara mengisi perut laparnya, sehingga boro-boro mereka paham soal perebutan kursi kekuasan saat ini. Orang lapar harus pikirkan nasi, bukan mikir kursi. Lalu bagaimana soal nasib Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ke depannya? Ya kita doakan saja, semoga dia bisa seperti Patih Gadjah Mada, dimana jabatan Patih juga diartikan sebagai Mentri Utama. Meski bukan jadi raja, tapi Gadjah Mada lebih ngetop dari Hayam Wuruk. Gadjah Mada bekerja tak kenal menyerah. Ia berlayar ke seluruh penjuru negri, berperang menaklukkan musuh, bergerak menyatukan Nusantara, menepati sumpahnya untuk tidak 'menikmati kemewahan' sebelum berhasil menyatukan pulau-pulau dan suku-suku yang terbelah. Gadjah Mada lalu jadi legenda. Patungnya dibuat dan dikoleksi di mana-mana ratusan tahun sesudah ia mangkatpun, setiap orang tahu muka Gadjah Mada, meski belum tentu paham mana wajah Hayam Wuruk yang mengangkat dan mempercayakan jabatan kepada dirinya. Tulisan ini bukan pembelaan kepada PS. Hanya berusaha memahami jalan pikirannya, berdasarkan pengamatan atas apa yang dia ucapkan dan lakukan selama ini. #PikiranYangMerdeka
Ini Bukan Soal Pelantikan
Oleh Tony Rosyid (Pemerhati Bangsa) Jakarta, FNN - Lebay! Begitulah komentar sebagian rakyat terkait besarnya parade pasukan yang mengawal pelantikan Jokowi-Ma'ruf sebagai presiden dan wapres terpilih. 31.000 pasukan dengan peralatan perang termasuk tank berada di sekitar lokasi pelantikan. Pelabuhan dan supermarket dijaga ketat. Hiburan rakyat di lokasi car freeday dan monas ditutup. Bahkan demo dilarang sejak seminggu sebelum pelantikan. Berlebihan! Begitulah kira-kira persepsi publik yang muncul. Kenapa pasukan itu tidak dikirim ke Papua untuk melindungi sejumlah imigran yang dibantai dan dibakar hidup-hidup? Menjaga kantor bupati, kantor gubernur dan aset negara yang dirusak dan dibumi hanguskan? Begitulah diantara tanggapan yang banyak muncul di media sosial. Tentu, aparat punya alasan. Pertama, sebelum pelantikan Presiden-wapres terjadi demo besar-besaran, terutama dari kalangan mahasiswa. Ada bentrokan yang mengakibatkan dua mahasiswa mati dan beberapa lainnya luka-luka. Bahkan ada yang pecah tengkorak kepalanya. Jadi, aparat ingin memastikan pelantikan betul-betul aman. No demo, no keributan. Kedua, pelantikan presiden-wapres identik dengan pergantian pejabat. Kapolri dan Panglima adalah pejabat tinggi negara. Wajar jika mereka harus menunjukkan loyalitasnya kepada presiden. Loyalitas memiliki dua fungsi, yaitu fungsi tanggungjawab dan fungsi politik. Sampai disini, pengerahan pasukan mulai bisa dimengerti. Beda dengan 2014. Tak ada demo dan kekecewaan rakyat terhadap Jokowi. 2019 situasinya betul-betul berubah. Yang berbaris di jalan Gatot Subroto, Soedirman, Bundaran HI, Thamrin dan sekitarnya tak lagi rakyat, tapi aparat. Ini bukan pesta rakyat lagi, tapi pesta aparat dan pejabat. Memang beda! Isu pelantikan, dua-tiga hari kedepan diprediksi akan redup. Publik tak lagi membicarakannya. Justru ada hal penting yang nampaknya lepas dari perhatian rakyat. Apa itu? Pertama soal isi pidato Jokowi. Tak banyak tanggapan. Apakah karena rakyat sudah tak lagi percaya kata-kata Jokowi? Entahlah. Kedua, soal koalisi. Siapa saja yang akan dipercaya Jokowi untuk membantunya di kabinet? Dan dimana posisi Prabowo dan Surya Paloh? Begitu juga Tito Karnavian yang rumornya akan menjabat sebagai mendagri. Soal ini, kita perlu bahas dalam artikel tersendiri. 2014, lima tahun lalu, pidato Jokowi menyinggung soal demokrasi. Indonesia adalah negara demokratis ketiga di dunia, kata Jokowi. Sekarang? Setelah lima tahun negara ini dipimpin Jokowi, bagaimana nasib demokrasi? Tanyakan pada dosen, mahasiswa, pers dan ulama. Di benak mereka ada jawaban pastinya. Jangan tanya rektor, karena sejak dipilih oleh menteri, para rektor sudah berubah fungsi jadi agen kekuasaan 2019 kali ini Jokowi bicara lima hal. Pertama, pembangunan SDM. Kedua, pembangunan infrastruktur. Ketiga, penyederhanaan regulasi. Keempat, penyederhanaan birokrasi. Kelima, transformasi ekonomi. Point nomor 1,2 dan 5 itu program jangka panjang dan berkesinambungan. Pembangun SDM, infrastruktur dan transformasi ekonomi tak cukup hanya lima tahun. It's good, dan perlu didukung. Kendati faktanya, target dan janji pertumbuhan ekonomi 7-8 persen lima tahun lalu tak terbukti. Selama kepemimpinan Jokowi pertumbuhan ekonomi tak lebih dari 5 persen. Yang sedikit perlu dicermati adalah point nomor 2 dan 3. Penyederhanaan regulasi dan birokrasi. Ini mestinya bisa dikerjakan mulai tahun pertama di periode awal. Kenapa baru bicara sekarang? Apa susah dan kendalanya bagi presiden untuk menyederhanakan regulasi dan birokrasi di periode pertama? Gak sulit. Otoritas dan kekuasaan ada di tangan. Cukup dengan satu tanda tangan, semua beres. Hanya soal kebijakan. Kenapa tidak dilakukan? Ini yang jadi pertanyaan Terlambat! Meski terlambat, tetap lebih baik dari pada tidak sama sekali. Rakyat hanya perlu mengawasi apakah dua janji ini akan direalisasikan kedepan. Kenapa harus rakyat, bukan DPR? Ah, capres saja ikut koalisi, bagaimana sempat ngawasi? Mungkin hanya PKS. Itupun kursinya gak terlalu banyak. Sudah begitu, PKS terus diganggu dengan isu wahabi, khilafah dan Islam radikal. Cukup bayar 10-30 orang untuk demo setiap pekan di depan kantor PKS supaya konsentrasinya terganggu. Rakyatlah oposisi yang sesungguhnya ketika partai-partai yang seharusnya jadi oposisi memilih ikut koalisi. Gak tahan lihat kursi. Alasannya macam-macam. High politics-lah... demi keutuhan bangsalah... Ketinggian bahasanya bro! Lalu buat opini ada poros ketiga-lah.... Ada penumpang gelap-lah... Klasik! Dalam situasi seperti ini, rakyat terpanggil untuk menjadi oposisi. Diantara tugas rakyat adalah mengawasi kinerja pemerintahan lima tahun kedepan, termasuk program presiden yang diungkapkan dalam pidato pasca pelantikan Minggu, 20 Oktober kemarin. Melakukan kritik, bila perlu demo jika presiden mengambil kebijakan yang salah. Asal tak anarkis. Tak melanggar hukum. Tetap hati-hati. Pengalaman kemarin, banyak demonstran yang mati. Waspadah...waspadalah... Jakarta, 22/10/2019
Pembantu Jokowi Bernama Prabowo
Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Isu yang bertabur di media sosial tidak semua hoaks. Isu tentang Prabowo berminat menjadi Menteri Pertahanan pelan tapi pasti mulai menampakkan wujudnya. Pada Senin (21/10), Ketua Umum Gerindra ini mengaku diminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membantu pemerintah di bidang pertahanan. Capres yang selalu kalah ini berjanji akan bekerja sekeras mungkin memenuhi harapan yang diamanahkan padanya. "Saya akan bekerja sekeras mungkin untuk mencapai sasaran dan harapan yang ditentukan," kata Prabowo usai bertemu Jokowi di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Senin (21/10). Prabowo mengatakan telah mendapatkan arahan dari Jokowi. "Tadi beliau memberikan arahan, saya akan bekerja sekeras mungkin untuk mencapai sasaran dan harapan yang ditentukan," ujarnya. Senin sore itu, Prabowo datang ke Istana bersama Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Edhy Prabowo. Rupanya kini alur cerita sudah bisa ditebak. Sinyalemen kuat masuknya Prabowo dalam kabinet sudah terbaca ketika Gerindra tak mendapatkan satu pun kursi ketua komisi di alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal Gerindra merupakan partai dengan perolehan kursi ketiga terbanyak di pemilihan legislatif 2019. Lazimnya, pemenang ketiga dalam pemilu akan habis-habisan merebut posisi ketua komisi. Gerindra tak mungkin menyerah begitu saja melepas kursi ketua komisi, tanpa ada “imbalan” yang memadai. Biasanya pemenang ketiga mendapat jabatan strategis. Gerindra hanya mendapatkan kursi ketua Badan Legislasi dan ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), serta sembilan wakil ketua. Imbalan itu sudah mulai tampak. Awalnya, Jokowi ingin mendudukkan Prabowo Subianto sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Selain itu, Jokowi memberi isyarat pos yang bakal diberikan kepada Gerindra adalah menteri pertanian. Jabatan ini diplot untuk Edhy Prabowo. Belakangan, Prabowo merasa tak tertarik dengan tawaran itu. Apalagi posisi Wantimpres, disebut bukan posisi yang strategis untuk dirinya. Wantimpres tugasnya hanya menasihati presiden. Belum tentu juga nasihatnya diterima. Prabowo lebih tertarik posisi Menteri Pertahanan. Gerindra beralasan, Prabowo selama ini memiliki perhatian besar pada bidang pertahanan. Dalam beberapa debat Capres misalnya, Prabowo menyoroti soal pertahanan. Mulai dari persediaan amunisi, hingga lemahnya pertahanan nasional. Ada satu harapan lagi. Pengangkatan Prabowo sebagai menteri pertahanan juga diharapkan diikuti gelar jenderal kehormatan untuk mantan Pangkostrad itu. Dengan demikian bukan lagi Letnan Jenderal Purnawirawan, tapi Jenderal Kehormatan. Dengan empat bintang. Soal jenderal kehormatan ini bukan hal baru. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga mendapat jenderal bintang empat kehormatan saat menjadi menteri. Pada tahun 2004, saat era Megawati Soekarnoputri, pemerintah memberikan gelar jenderal bintang empat kehormatan pada Menkopolkam, Hari Sabarno, dan Kepala BIN, AM Hendropriyono. Di era Gus Dur, Agum Gumelar pun mendapat gelar jenderal kehormatan. Dulu, ada kebiasaan memberikan gelar jenderal penuh bagi para purnawirawan yang diangkat menjadi menteri. Hal ini tak dilakukan lagi di era SBY. Abraham Lincoln Publik tentu terkejut dengan kerelaan Prabowo menjadi menteri Jokowi ini. "Pak Prabowo yang tadinya menjadi lawan tanding Pak Jokowi di pilpres, mau turun level menjadi pembantu presiden terpilih. Entahlah apa yg terjadi, nggak nyandak otakku (tidak terpikirkan) permainan politik ginian. Koyok dagelan (candaan), tapi kok nggak lucu," cuit warganet berakun @Yoghie79. Rupanya, bagi Prabowo tidak masalah setelah keok nyapres berakhir menjadi menteri, walau bukan menteri koordinator. Wiranto juga bekas capres yang kalah. Dia dengan senang hati menerima jabatan Menko Polhukam. Dalam acara Rapat Pimpinan Nasional Gerindra di Hambalang Rabu (16/10), Prabowo sempat menyitir kisah Presiden ke-16 Amerika Serikat Abraham Lincoln yang memberikan jabatan penting ke rival politiknya, William Henry Seward. Posisi yang diberikan adalah Secretary of State (Menteri Luar Negeri) yang merupakan posisi terkuat ketiga setelah presiden dan wakil presiden. Posisi Menteri Luar Negeri ini juga termasuk triumvirat bersama Menteri Pertahanan dan Menteri Dalam Negeri. Mereka adalah tiga serangkai yang akan menjalankan pemerintahan dalam kondisi darurat jika presiden-wakil presiden berhalangan. Rupanya, cerita itu merupakan sinyal dari Prabowo kepada Jokowi. "Saya merasa yakin Prabowo masuk, karena ada beberapa sinyalemen kuat. Ada tanda-tanda alam," kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, kepada Tempo, Senin (21/10). Itu artinya, sinyal yang dikirimkan Prabowo berupa kisah Abraham Lincoln dan William Seward akan terwujud. End.
Pak Prabowo kok Anti Klimaks?
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Apa posisi Prabowo di kabinet Jokowi-Ma’ruf? Akhirnya mulai terbuka. Kalau kita menyimak penjelasan Prabowo, maka kemungkinan besar jabatan yang akan diembannya adalah Menteri Pertahanan. Bukan Menkopolhukam. Apalagi Menteri Utama. “Saya diminta membantu Bapak Presiden di bidang pertahanan,” ujar Prabowo setelah bertemu Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Senin (21/10). Seperti para calon menteri lainnya, Prabowo datang mengenakan kemeja putih. Bedanya dia tidak mengenakan celana warna hitam, tapi warna kaki. Seragam Partai Gerindra. Dia didampingi Edhy Prabowo salah satu orang dekatnya yang juga akan menjadi menteri. Pos yang akan ditempatinya kemungkinan besar adalah Menteri Pertanian. Posisi yang sudah lama diincarnya. Di media pernyataan Prabowo ditanggapi secara beragam. Namun mayoritas menyampaikan pernyataan yang seragam: Kecewa berat! Anti klimaks! Cobalah longok medsos dan berbagai platform percakapan. Isinya mulai dari sekadar joke, keluh kesah, sinisme, sampai caci maki. Dengan menjadi Menhan, level Prabowo sama dengan menteri lainnya sebagai pembantu presiden. Kesediaan Prabowo “hanya” menjadi Menhan, membuat sebagian pendukungnya yang masih bertahan, kecewa dua kali. Tapi sebelum kita lanjutkan soal posisi Prabowo di kabinet, sebaiknya kita pahami dulu anatomi pendukung Prabowo. Mereka secara garis besar terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang sama sekali tidak mau ada kompromi dengan Jokowi. Apapun posisinya, Gerindra masuk dalam kabinet, apalagi Prabowo menjadi salah seorang menteri, adalah bentuk pengkhianatan. Bagaimana mungkin Prabowo bergabung dengan pemerintahan yang dulu disebutnya sebagai antek asing dan bisa menjadi penyebab Indonesia bubar. Bagaimana mungkin bergabung dengan sebuah pemerintahan yang dia sebut menang dengan cara yang curang. Lebih parah lagi yang dicurangi, dia sendiri! Kedua, kelompok yang masih percaya masuknya Prabowo ke dalam kabinet membawa strategi tersembunyi, memecah kekuatan lawan dari dalam. Mereka sangat meyakini Prabowo adalah seorang perwira tinggi yang “ahli strategi.” Argumen kelompok kedua ini mendapat pembenaran dengan munculnya pernyataan dan manuver Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Nasdem akan menjadi oposisi. Namun Nasdem batal jadi oposisi. Hanya bluffing. Gertak sambal. Politisi Nasdem Syahrul Yasin Limpo pagi ini merapat ke Istana pakai baju putih. Dia memastikan Nasdem tetap bersama Jokowi. Kelompok pendukung ini percaya bahwa posisi Prabowo di kabinet sangat spesial. Menjadi semacam perdana menteri. Orang kedua setelah Jokowi, menggeser peran Wapres Ma’ruf Amin. Jadi ini semacam _power sharing_. Bagi-bagi kekuasaan 55-45% seperti pernah disebutkan oleh Amien Rais. Posisinya kira-kira seperti Menko Maritim Luhut Panjaitan pada Kabinet Jokowi Jilid I. Tapi lebih besar. Lebih berkuasa. Powerfull. Untuk berperan seperti itu, maka posisi Prabowo setidaknya harus menjadi Menko. Posisi yang pas dan cocok adalah Menkopolhukam. Atau kalau perlu nomenklatur kabinet diubah dengan membentuk pos Menteri Utama. Ketika mengetahui bahwa Prabowo, sekali lagi “hanya” menjadi Menhan, kelompok kedua ini ikut-ikutan kecewa. Posisi Prabowo akan berada di bawah Menko Polhukam. Sampai sekarang belum ada gambaran siapa yang akan menempati posisi ini. Kalau sampai posisi Menko Polhukam ditempati oleh figur yang lebih yunior dibandingkan Prabowo, maka posisinya kian terdowngrade. Sebutlah misalnya Moeldoko, atau Budi Gunawan. Secara kepangkatan mereka memang lebih senior dibanding Prabowo. Keduanya jenderal bintang empat, Prabowo bintang tiga. Hanya saja dari sisi angkatan, kedua jauh di bawah Prabowo. Moeldoko lulusan Akabri 1980, dan Budi Akpol 1983. Sementara Prabowo Akabri 1974. Lebih celaka lagi kalau ternyata pos itu ditempati kembali oleh Wiranto atau Luhut. Dipastikan Prabowo tidak bisa berkutik. Wiranto jenderal bintang empat. Pernah menjadi KSAD, Panglima TNI, dan beberapa kali menjadi Menko Polhukam. Dia lulusan Akmil 1968. Secara senioritas Prabowo kalah segalanya. Luhut lulusan Akabri 1970. Jenderal bintang empat kehormatan. Lebih senior dibanding Prabowo, dan jelas lebih jago bermanuver. Dengan posisi sebagai Menhan, Prabowo bisa mendapat kenaikan pangkat satu tingkat. Menjadi jenderal bintang empat kehormatan seperti Luhut. Kelompok ketiga adalah para trueb Pejah gesang nderek Prabowo. Sebagai jenderal senior, mereka percaya Prabowo pasti punya perhitungan dan kalkulasi sendiri. Kelompok ketiga ini sangat percaya, dengan masuk ke dalam pemerintahan, apalagi menjadi Menhan, maka pada waktunya Prabowo akan mengambil alih kekuasaan. Dilantik menjadi Presiden menggantikan Jokowi. Membawa Indonesia menjadi negara yang kuat dan maju. Dalam sistem ketatanegaraan kita, Menhan bersama Mendagri dan Menlu disebut sebagai Triumvirat. Tiga jabatan yang sangat menentukan manakala terjadi kekosongan kekuasaan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 (3) UUD 45 apabila terjadi kekosongan jabatan presiden dan wapres secara bersamaan, maka tugas kepresidenan dipegang oleh tiga menteri tersebut secara bersama-sama, sampai terpilih presiden dan Wapres difinitif. Secara konstitusional ketiga jabatan itu berbeda dengan menteri-menteri lain, bahkan termasuk jabatan Menko. Kalau toh tidak terjadi turbulensi politik. Jokowi mengakhiri masa jabatan kedua dengan mulus, kelompok true believers ini sangat meyakini posisi Menhan sangat strategis dan penting. Bisa menjadi modal untuk kembali maju pada Pilpres 2024. Prabowo bisa mewujudkan visinya Indonesia sebagai negara yang kuat secara militer. Disegani negara tetangga dan dunia. Bukan negara cemen. Hanya bisa bertahan selama tiga hari bila digempur musuh. Harapan ini tampaknya sulit terwujud melihat alokasi anggaran Kemenhan tahun 2020 sebesar Rp 127.4 trilyun. Anggaran sebesar itu harus dibagi dengan Mabes TNI, Mabes TNI-AD, AL, dan AU. Bandingkan dengan anggaran Polri tahun 2020 sebesar Rp 104.7 trilyun. Agak sulit membayangkan Prabowo melakukan terobosan-terobosan. Menggunakan dana non budgeter, seperti dia lakukan pada waktu dulu memimpin satuan-satuan TNI. Kali ini skala tanggung jawabnya jauh lebih besar. Urusan negara. Urusan TNI secara keseluruhan. Bukan satuan setingkat batalion, atau brigade. Dibandingkan kelompok pertama dan kedua, kelompok ketiga, kelompok hidup mati dukung Prabowo ini jauh lebih kecil. Mereka terdiri dari anggota partai Gerindra dan para simpatisannya. Bila benar akhirnya Prabowo menempati posisi sebagai Menhan, modal politiknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan pilpres lalu. Kita hanya bisa mengucapkan selamat bertugas. Hati-hati di jalan Pak. End
Seleksi Menteri, Jokowi Tak Sertakan Kiyai Ma’ruf
Padahal, sekali lagi, ruang kearifan konstitusional memungkinkan Kiyai Ma’ruf terlibat dalam seleksi calon menteri. Bukan mengangkat menteri. Sayang kemungkinan ini, entah tak teridentifikasi oleh Jokowi atau sengaja dibiarkan tak terdentifikasi. Dengan argumen yang tidak seorang pun mengetahuinya, telah menjauhkan Kiyai Ma’ruf untuk sekadar ikut membicarakan, dan mengenal mereka calon menteri. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Hampir empat bulan setelah penetapan dirinya sebagai calon presiden terpilih dalam pemilu memilukan, Jokowi Widodo, Presiden terpilih ini tidak juga membekali dirinya dengan gambaran tentang pemerintahan macam apa yang akan dibentuk kelak setelah diambil sumpahnya. Itu tercermin dari kenyataan pada hari Senin tanggal 21 Oktober ini. Satu demi satu manusia, mungkin calon menteri, diberitakan media online silih berganti mendatangi dirinya di istana presiden. Sebagian dari mereka yang dipanggil bukanlah orang baru dalam dunia politik, dan bukan pula orang yang tidak memiliki kedekatan dengan dirinya. Beberapa dari mereka dikenal luas sebagai orang yang telah memainkan peran membantu dirinya, dalam arti yang luas. Mereka diajak berdiskusi secara singkat dengan spektrum yang sebagian terlihat begitu luas. Kiyai Tak Disertakan Bila Jokowi dan Kiyai Ma’ruf telah memiliki peta pemerintahan yang akan dibentuk kelak setelah keduanya dilantik, maka pekerjaan menyeleksi menteri dapat dilakukan dengan lebih terukur. Dengan peta yang tersedia jelas, maka keduanya dapat secara bersama membayangkan siapa saja figur yang dapat diminta membantu keduanya. Kiyai Ma’ruf, dalam kerangka itu dapat ditugaskan mengerjakan pekerjaan seleksi, sejauh yang bisa. Sayangnya tidak terjadi, sehingga soal itu harus dikerjakan dalam waktu sesempit sekarang. Senin dan Selasa akhirnya menjadi hari yang sibuk dengan sejumlah orang dipanggil ke Istana menemui Presiden, membicarakan sebisanya hal-hal yang mungkin akan dimintai bantuan mereka untuk dikerjakan. Senin yang sibuk di Istana kepresidenan, juga menjadi Senin yang sibuk di kantor wakil presiden. Di kantor ini Kiyai Ma’ruf menerima memori kerja Pak Jusuf Kalla, mantan wakil presiden. Ini berlangsung hingga jam 10 pagi, dan waktu sesudahnya Kiyai Ma’ruf melakukan perjalanan kenegaraan ke Jepang. Ia mewakili Presiden menghadiri penobatan Kaisar Jepang. Praktis Kiyai Ma’ruf tidak disertakan oleh Presiden Jokowi dalam seleksi menteri. Mengapa tak disertakan? Jokowi secara konstitusi memang tidak diwajibkan menyertakan Pak Kiyai Ma’ruf, wakil presidennya dalam urusan, sebut saja seleksi menteri ini. Sekali lagi, tidak wajib. Toh konstitusi menempatkan kewenangan mengangkat menteri sepenuhnya pada presiden. Medan normatif konstitusi memang begitu. Medan mengangkat menteri adalah medan tunggal, yang tidak perlu dibagi dengan Waki Presiden. Mengangkat menteri, jelas wewenang konstitusional Presiden, bukan Wakil Presiden. Mengangkat adalah tindakan hukum, yang memiliki konsekuensi hukum. Hanya presiden, bukan wakil presiden yang dapat mengangkat menteri. Wakil Presiden memang hanya berfungsi membantu Presiden. Tetapi Wakil Presiden juga bukan pembantu biasa. Wakil presiden adalah pembantu dengan keistimewaan konstitusional yang khas. Hanya kepada Wakil Presiden, bukan menteri, Presiden bisa memandatkan kewenangan mengurusnya. Bukan mengatur, bila presiden dalam keadaan tertentu tidak dapat menyelenggarakan sendiri urusan itu. Tetapi lain betul dengan tindakan seleksi. Dalam konteks seleksi, presiden tidak dilarang menyertakan wakil presiden. Sayangnya Presiden telah memilih berdiri tegak, untuk tak mengatakan membiarkan kearifan konstitusi itu tersembunyi dalam gudang politik konstitusionalisme. Ia hanya berjalan tegak lurus di track normatif konstitusi. Presiden membiarkan Kiyai Ma’ruf, Wakil Presiden berjarak sejauh mungkin dalam urusan ini. Padahal, sekali lagi, ruang kearifan konstitusional memungkinkan Kiyai Ma’ruf terlibat dalam seleksi calon menteri. Bukan mengangkat menteri. Sayang kemungkinan ini, entah tak teridentifikasi oleh Jokowi atau sengaja dibiarkan tak terdentifikasi. Dengan argumen yang tidak seorang pun mengetahuinya, telah menjauhkan Kiyai Ma’ruf untuk sekadar ikut membicarakan, dan mengenal mereka calon menteri. Tahun-tahun Seremonial Kalau Presiden Jokowi bisa, bahkan harus berdiskusi dengan ketua-ketua partai yang membawa dirinya dan Kiyai Ma’ruf menjadi calon presiden dan wakil presiden, kenapa tidak dilakukan dengan Kiyai Ma’ruf, Wakil Presiden? Sehebat apapun ketua-ketua partai, mereka bukanlah figur tata negara dalam penyelenggaraan pemerintahan. Figur itu disandang oleh Wakil Presiden, Kiyai Ma’ruf. Membuka diskusi, sesingkat apapun antara Presiden dengan Ketua-Ketua Partai Politik, menunjukan Presiden telah tahu lebih dari siapapun bahwa konstitusi bukan satu-satunya instrumen politik paling tangguh dalam menyumbangkan pemerintahan yang memiliki kapasitas sebagai pemerintahan yang efektif. Tidak. Presiden dalam konteks itu juga tahu lebih dari siapapun, pemimpin sangat sering beralih, mengambil dari gudang politik, hal-hal non hukum mengonsolidasi pemerintahannya. Seperti telah dilakukannya sendiri, Presiden Jokowi mestinya tahu politik di alam demokrasi menyediakan kearifan sebagai sumbu utama, penyumbang datangnya pemerintahan yang berkapasitas, dan memungkinkan semua elemen di dalamnya solid mengakselerasi program dan kegiatan pemerintahan. Kearifan inilah yang semestinya dipanggil Pak Jokowi pada kesempatan pertama dan dimainkan dalam kerangka seleksi, bukan mengangkat menteri, dengan melibatkan Kiyai Ma’ruf. Mengesampingkan kearifan-kearifan demokrasi sebagai sebuah kekuatan tak tertandingi dalam menciptakan keharmonisan, yang merupakan kekuatan inti pemerintahan, jelas tidak membantu tumbuhnya iklim harmoni yang diperlukan untuk membuat pemerintahan solid. Menjauhkan Kiyai Ma’ruf sejauh mungkin dari urusan seleksi Menteri memang tidak bakal menjadi alarm datangnya politik menyalahkan tindakan itu. Tidak. Tetapi bukan disitu pangkal soalnya. Pangkal soalnya adalah terbunuhnya kearifan. Tetapi mungkin saja Kiyai Ma’ruf tahu level kearifan Presiden Jokowi, dan mungkin juga tahu bahwa tidak diperlukan tes kecil untuk memastikannya. Sebagai orang yang tidak terlalu asing dalam dunia politik, Kiyai Ma’ruf mungkin mengetahui bahwa tidak ada cara paling ampuh meminta, menghadirkan kearifan, selain yang terlihat. Toh kearifan yang selalu bersendikan pada kejujuran, dan kejujuran merupakan perkara tersulit untuk diminta dalam dunia politik riil. Kiyai Ma’ruf mungkin saja menerimanya sebagai hal biasa dalam politik. Itu sebabnya terlalu prematur mengajukan pernyataan konklusif bahwa Kiyai Ma’ruf, dalam lima tahun mendatang hanya akan diperlakukan oleh Presiden Jokowi sepenuhnya sebagai pembantu tanpa portofolio. Kenyataan dirinya tak dilibatkan dalam seleksi calon menteri, karena itu, juga tak bisa dijadikan basis mengajukan pernyataan hipotetikal bahwa seistimewa apapun status Kiyai dalam kerangka konstitusi, lima tahun mendatang hanya akan menjadi tahun-tahun yang sibuk dengan seremoni.* Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate