OPINI
Jokowi Apakan Itu Partai-Partai Non DPR dan NU?
Sekarang bukan waktunya meminta mereka memahami sekali lagi kesulitan dari Pak Jokowi. Sekarang Pak Jokowi sudah menjadi Presiden. Keadaan mutakhir memperlihatkan arus kecil membawa Pak Jokowi ke suatu perspektif klasik dalam politik. Perspektif itu adalah mereka telah bersama-sama dengan Pak Jokowi mencapai tujuan menjadi presiden. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Urusan apa dan dengan siapa? Urusan dengan partai politik tertentu, dan Nahdatul Ulama (NU). Mereka tak diperlakukan sama dengan partai-partai lain. Sampai sejauh ini tanpa ada penjelasan dari Pak Jokowi. Entah kenapa demikian? Apakah hanya karena mereka tidak memiliki kursi di DPR, atau ada hal lainnya? Juga tidak jelas. Serba gelap. Kenapa mereka tak diangkat menjadi menteri atau diberikan jabatan lain? Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, jumlah kementerian memang terbatas. Tetapi kenapa juga tidak menggunakan keterbatasan tersebut untuk memprioritaskan mereka? Kenapa hanya memprioritaskan yang lain? Lalu juga dengan mereka yang tidak berpartai? Tak ada penjelasan yang selayaknya dari Pak Jokowi. Telah Bekerja Dilihat dari sudut pandang hukum, cara pembentukan kabinet dalam sistem presidensial, memang berbeda dengan parlementer. Sistem presidensial menyerahkan kewenangan pembentukan kabinet sepenuhnya pada presiden secara personal. Partai tidak diikutkan dalam urusan yang satu ini. Beda betul dengan sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, ini partai-partai, tentu saja yang memiliki kursi di DPR, yang sedari awal berkoalisi dengan Pak Jokowi, ikut membicarakan masalah menteri di kabinet. Dalam makna partai ikut menentukan formasi kabinetnya Pak Jokowi. Tetapi soalnya tidak disitu. Ini bukan soal hukum. Ini persoalan politik. Penentuan mengenai siapa, dan dapat apa, itu adalah soal politik, dan bukan hukum. Mengapa sebagian partai, bukan hanya diikutkan, tetapi dijatahi jabatan. Sementara sebagian partai yang lain tidak dijatahi jabatan? Toh dalam kenyataannya, mereka telah menjadi lebih dari Jokowi dan Kiyai M’ruf. Sepanjang jalan dalam pelaksanaan kampanye yang bergelombang dan berat, mereka telah memperlihatkan kesungguhannya untuk memenangkan Jokowi dan Ma’ruf Amin. Lagi-lagi, ini bukan masalah hukum. Namun ini sepenuhnya masalah politik. Merekalah yang menyukseskan Pak Jokowi menjadi presiden. Pada merekalah Presiden berhutang. Hutangnya pasti sangat tak bisa diperhitungkan. Mereka telah bersekutu, setidaknya menjadi pendukung non ideologis Pak Jokowi dengan segala emosinya. Mereka bukan sekutu asal-asalan. Mereka sekutu yang paling top. Apalagi sayap NU. Politik memang dunianya tersendiri. Dunia yang bisa saja sangat kejam. Dunia ini, seperti Churchil, pria yang pernah menjadi PM Ingris pada perang dunia kedua dulu. Pria yang sangat bergairah menghadapi tantangan. Terkadang mengabaikan yang detail. Churchil juga mudah mengubah kebijakan lukiskan sebagai dunia yang membuat seseorang bisa mati berkali-kali. Disitulah bedanya dengan perang, katanya. Dalam perang orang hanya mati sekali. Sementara dalam politik, bisa mati berkali-kali. Itukah yang sedang dipaksa untuk dialami partai-partai ini dan NU? Diabaikan setelah bekerja, tanpa adanya penjelasan? Padahal mereka adalah fungsionaris-fungsionaris utama partai-partai yang berkelas lebih dari kubu pendukung Pak Jokowi. Orang-orang ini terlihat jelas dalam semua hal. Mereka telah tampil paling depan untuk berbicara dalam banyak tingkatan isu aktual. Mereka juga arif dalam banyak hal. Apakah mungkin karena mereka arif itulah, sehingga menjauhkan mereka dari hasrat menjadi lawan untuk Pak Jokowi sepagi ini? Kearifan mereka, mungkn dapat diharapkan tidak membuat mereka mempertalikan politik dengan harga diri. Ketika politik dan harga diri dipertalikan. Atau politik dilihat sebagai permainan yang melibatkan harga diri, emosi dan fanatisme, maka goresan kecil sekalipun terhadap mereka, sama dengan memanggil badai datang secepat kilat. Begitulah yang tersirat dari kata-kata bijak,” satu lawan menjadi terlalu banyak dari seribu kawan”. Rumit Memang Partai-partai ini dan NU pasti tidak meminta jabatan apapun, dalam pemerintahan Pak Jokowi. Saya sangat yakin itu. Itu dapat dipastikan. Toh dulu, hampir setiap saat mereka secara terbuka mengatakan memberikan bahwa dukungan yang mereka berikan kepada Pak Jokowi tanpa syarat. Apalagi harus memegang jabatan ini atau itu. Mereka, saya menduga, juga tidak sedang menyuruh dengan cara yang khas agar Pak Jokowi memahami mereka. Betapa politik tidak pernah terlepas dari kredo “kami berikan apa dan apa imbalannya”. Mereka adalah orang-orang yang sangat tahu bahwa dunia politik tidak pernah cukup jauh dari permainan siapa yang menunggangi siapa? Walaupun demikian, saya cukup yakin bahwa mereka sangat tahu politik juga bukan dunia yang tidak terjalin dengan kebijakanaan dan kearifan. Politik sangat membutuhkan sisi kebijakan dan kearifan tersebut. Disitulah Jokowi seharusnya berada. Rumit memang. Tetapi serumit itu sekalipun, Pak Jokowi harus menemukan cara solusi untuk dapat menyenangkan mereka. Pemecahan yang menyenangkan itu tidak berbentuk meminta mereka untuk memahami kesulitan Pak Jokowi. Sudah terlalu lama. Bahkan terlalu sering selama kampanye, mereka memahami Pak Jokowi. Juga memahami Kiyai Ma’ruf. Sekarang bukan waktunya meminta mereka memahami sekali lagi kesulitan dari Pak Jokowi. Sekarang Pak Jokowi sudah menjadi Presiden. Keadaan mutakhir memperlihatkan arus kecil membawa Pak Jokowi ke suatu perspektif klasik dalam politik. Perspektif itu adalah mereka telah bersama-sama dengan Pak Jokowi mencapai tujuan menjadi presiden. Pak Jokowi pasti sangatlah mengetahui itu. Dan politik sangat mengharuskan presiden untuk tahu tentang keinginan mereka. Sebab faktanya mereka sudah bekerja siang dan malam, dan tertatih-tatih untuk menjadikan Pak Jokowi menjadi Presiden. Haruskah memberikan mereka jabatan? Padahal mereka juga tidak meminta. Namun apa iya? Apa Pak Jokwi tak mengetahui bahwa bagi partai politik, berada dalam kekuasaan pemerintahan itu menjadi sejenis kehormatan. Ini memang gengsi yang kecil. Soal ini memang sangat krusial. Karena semua kementerian telah terisi. Jabatan lain juga sudah terisi. Berhentikan mereka yang sedang menjabat? Apa alasannya? Mereka juga, dengan cara yang minimal sekalipun telah bekerja membawa Pak Jokowi menjadi Presiden. Bentuk lembaga baru untuk mereka? Oke saja. Tetapi duit sedang susah. Hutang sedang terus digali. BPJS kesehatan sudah dinaikan. Kerumitan-kerumitan kecil itu, dalam kenyataannya berhimpit dengan formasi kabinet yang jauh dari segaris dengan kearifan konstitusional selama bertahun-tahun. Kearifan konstitusional itulah yang membuat PP Muhammadiah dan PB NU bertahun-tahun berada pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama. Kini kedua ormas terbesar di Indonesia itu tersingikir dari dua kementerian tersebut. Padahal NU, setidaknya melalui sayapnya, seperti juga partai-partai sudah habis-habisan di sepanjang jalan kampanye pilpres yang berat. Pantaskah NU harus menemukan kenyataan yang pahit ini? Yaitu tersingikir dari puncak Kementerian Agama? Akankah semua kerumitan itu menghasilkan jalan terjal bagi Pak Jokowi? Yang bisa dijelaskan, urusan Pak Jokowi dengan mereka jauh dari selesai. Memecahkannya sangat rumit. Namun tidak segera memecahkannya juga lebih rumit lagi. Bembiarkannya, sama saja dengan membuat spektrum politik menjadi serba negative ke depan. Rumit, tapi tidak kusut memang. Akankah Pak Jokowi mendatangi mereka dengan paket pemecahan masalah yang menyenangkan? Dan apakah selaras dengan keadaan bangsa ini? Infrastruktur tak punya hati. Manusia punya hati yang bisa merasa. Juga punya emosi dan punya mimpi. Terburu-buru akan menghasilkan solusi yang rapuh. Tetapi berlama-lama justru dapat memanggil fenomena James Comey, Direktur FBI yang disingkirkan Trump dari jabatannya. Anda tahu? Comey muncul di depan Komite Inteljen DPR menjahit secara rapih berbagai cerita tentang isu keterlibatan Rusia dalam pemilu yang menghasilkan Trump sebagai Presiden. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Guru Besar Marah, Nadiem Hanya Setara Dengan Guru Paling “Dlosor”
Taruhlah prestasi inovatifnya Nadiem adalah dengan buat aplikasi GoJek. Kategori kompleks menurut peraturan bersama Mendikbud dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), angka kredit Nadiem hanya 4 x 1. Maka total Kum (Komulatif) angka kredit Nadiem adalah 154. Angka kredit ini hanya cukup untuk naik pangkat dari guru pertama golongan IIIa ke guru pertama yang golongan IIIb. Oleh M. Juhri Jakarta, FNN - Bila Guru Besar itu Jenderal, maka Mendikbud Nadiem yang baru dilantik ini masih berpangkat Letenan. Bagi sebagian orang, hal itu tak soal. Alasannya bisa saja nanti Nadiem lebih hebat dari para Guru Besar. Tetapi yang begini jangan ditanya ke militer atau polisi. Sebab bisa ditempeleng. Mana mau Jenderal dipimpin oleh panglima yang pangkatnya hanya seorang Letenan. Oh, ternyata itu sama. Guru Besar juga begitu sebenarnya. Meraka Marah. Ya para Guru Besar marah. Hanya mereka tak bersuara, karena rejim ini terbukti represif. Beberapa profesor yang kritis di periode pertama Jokowi berkuasa, banyak yang diamputasi dari tugas pengabdian akademiknya. Bukan hanya Guru Besar yang gelar akademisnya profesor yang marah. Banyak pemangku kepentingan pendidikan, termasuk emak-emak juga marah. Mereka tidak suka dengan pengangkatan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Memang, pengangkatan Nadiem sesuai dengan janji Jokowi di periode pertama yang mau mengangkat Mendikbud dari Persastuan Guru Reoublik Indonesia (PGRI). Nadiem juga PGRI. Malah Nadiem pendiri malah. Tetapi, Nadiem bukan dari organisasi guru pejuang atau PGRI. Nadiem berasal dari Persatuan Gojek Republik Indonesia. PGRI juga yang oleh pejabat Malaysia saja dianggap "hina”. Flashback ke cerita lama. Dulu, di sebuah perguruan tinggi negeri, mahasiswanya ogah lulus hanya karena rektornya belum profesor. Banyak mahasiswa dilama-lamain kuliahnya menunggu rektornya berganti dengan professor. Tidak masalah harus menghabiskan waktu tujuh tahun di kampus menunggu rektor profesor. Meskipun sang rektor bergelar S1 Belanda. Dokterandur di jaman dulu sudah sangat hebat. Mahasiswa tidak mau ternoda ijazahnya dengan tandatangan rektor yang hanya bergelar dokterandus tanpa embel-embel gelar profesor. Meskipun untuk itu mereka rela berlama-lama, hanya mengambil empat Satuan Kreditr Semester (SKS) untuk satu semester lagi. PPL atau KKN yang bisa diambil dalam satu semester, dipisah menjadi sendiri-sendiri. Untuk semester berikutnya 7 SKS metodologi penelitian dan seminar. Lalu lanjut ke semester berikutnya, yaitu skripsi yang ditempuhnya bisa dua semester. Kalau strategi berlama-lama ini susah dipenuhi, maka mahasiswa merubah strategi. Mahasiswa biasanya memilih mengambil cuti dua semester tidak berturut-turut. Dulu, cara ini bisa dilakukan, karena SPP hanya Rp 60.000 per semester. Ya demi ijazah harus ditandatangani oleh rector yang bergelar profesor. Kalau sekarang, berlama-lama di bangku kuliah, bisa membuat bangkrut orang tua. Saking mahalnya biasa kuliah per semester. Gambaran para mahasiswa itu, kini menjadi kegundahan yang melanda para calon Guru Besar. Betapa tidak, nanti Surat Keputusan (SK) pengangkatan Guru Besarnya ditandatangani oleh oknum yang setara dengan pangkat guru paling "dlosor", alias paling bawah. Dengan persyaratan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang dinaikkan, maka pangkat paling dlosor itu bukan hanya guru SMP dan SMA saja. Namun guru SD juga dlosor. Malah tidak sedikit guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-Kanak (TK) yang sudah S1, pangkatnya sekarang setara dengan golongasn IIIa. Jadi kalau Mendikbud Nadiem Makarim yang usianya 35 tahun ini diangkat PNS, maka termasuk Aparat Sipil Negara (ASN) yang baru diangkat. Nilai angka kreditnya 100 untuk pendidikan yang S1 bergelar BA. Sedngkan S2-nya yang bergelar MBA, angka kreditnya 50. Jadi total kreditnya baru 150. Itu pun harus memperoleh persyaratan penyetaraan lulusan luar negeri. Taruhlah prestasi inovatifnya Nadiem adalah dengan buat aplikasi GoJek. Kategori kompleks menurut peraturan bersama Mendikbud dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), angka kredit Nadiem hanya 4 x 1. Maka total Kum (Komulatif) angka kredit Nadiem adalah 154. Angka kredit ini hanya cukup untuk naik pangkat dari guru pertama golongan IIIa ke guru pertama yang golongan IIIb. Bandingkan dengan profesor pemula, Pembina Utama Madya yang golongan IVd. Profesor pemula yang naik dari doktor atau gelar S3, sudah jadi syarat pendidikan formal dengan Kum angka kreditnya 850. Sedangkan Kum 1.050 wajib untuk guru besar dengan pangkat Pembina Utama golongan IVe. Itu pun dengan syarat minimal 35% adalah pengajaran, dan 45% penelitian. Tidak boleh lebih 10% pengabdian dan tidak boleh lebih 10% penunjang. Syarat penting yang sering menjadi kendala diangkatnya dosen sebagai Guru Besar adalah tulisan di jurnal Internasional yang berindeks scopus. Nilai angka kreditnya harus memenuhi 0,15 yang masuk kategori Q3 atau Q4. Dengan mengikuti angka kredit di Perguruan Tinggi ini, maka jabatan yang paling pas untuk Nadiem Makarim hanya Asisten Ahli, dengan pangkat Penata Muda Tingkat I golongan IIIb. Jabatan ini juga termasuk yang paling dlosor di antara sesame dosen. Jauh di bawah Guru Besar yang dipimpinnya. Aneh memang, sebab professor Pembina Utama akan dibina oleh Mendikbud yang masih Asisten Ahli. Soal Mendikbud yang belum profesor ini sebenarnya bukan hal baru. Dulu, Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro menjadi profesor setelah menjadi Mendikbud. Tetapi mendongkraknya tidak terlalu menimbulkan kecemburuan yang besar, karena dari usia dan pengabdiannya mencukupi. Mendikbud kelahiran Pamekasan ini bertutur dalam Buku Biografinya berjudul “Sepanjang Jalan Kenangan”. Seperti ini Wardiman berujar “ketika itu, Wardiman sudah sepuluh tahun memperoleh gelar doktor dari Technische Hogeshool (TH) Delft Belanda. Namun ditegor oleh BJ Habibie, ‘Man, kenapa tidak sekalian menjadi profesor?” Kata Wardiman, yaya hanya mengangguk dan tersenyum. Saat itu, saya menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Saya pun menanyakan tentang persyaratan untuk diangkat menjadi guru besar. Staf Wardiman di Depdikbud mengatakan, Kum saya sudah melebihi kriteria sebagai guru besar. Wardiman lalu menghubungi Rektor Universitas Padjajaran. Apakah tidak keberatan menjadi tempat bagi promosi gelar profesor bagi saya? Wardimana minta ditetapkan sebagai Guru Besar, dan akan menyampaikan orasi ilmiah dalam upacara pengukuhannya sebagai Guru Besar tahun 1994. Padahal Wardiman diangkat menjadi Mendikbud untuk periode 1993 – 1998. Namun untuk Mendikbud Nadiem hanya yang setara dengan pangkat atau golongan guru dan dosen yang paling dlosor ini, yaitu Asisten Ahli. Kalau langsung diangkat sebagai professor, akan menimbulkan gonjang-ganjing pada tatanan kepangkatan fungsional di Kemendikbud. Bisa saja sebagai pemegang kuasa, Nadiem bisa saja "meminta" Perguruan Tinggi (PT) memberinya gelar Guru Besar Kehormatan, seperti Puan Maharani, yang diprotes oleh Guru Gesar. Atau mungkin seperti SBY yang mendapat gelar profesor tidak tetap. Entah apa maksudnya dengan profesor tidak tetap tersebut. Apa guru besar belum permanen? Bisa saja gelar Guru Besarnya berubah-ubah. Kadang bisa mengecil, kadang juga bisa membesar. Bila MenPan-RB mempersyaratkan dosen dengan angka kredit yang ketat sebagai ukuran kualitas dosen dan perguruan tinggi. Dipastikan Mendikbud Nadiem sebagai pimpinan para rektor, para guru besar tidak memenuhi standar mutu. Dengan begitu, seharusnya MenPAN-RB mengkategorikan Kemendikbud sebagai kementerian yang tidak bermutu dari sisi reformasi birokrasi. Dengan syarat yang begitu berat tersebut, Jokowi sama sekali tidak bertenggang rasa dengan para profesor di Indonesia, karena mengangkat Nadiem menjadi Mendikbud. Karena untuk menjadi professor itu, tidak mudah. Tahun lalu 2018 lalu, ada 2.750 dosen tidak memenuhi syarat sebagai guru besar. Sedangkan dengan karya inovatif Gojek tersebut, sebanarnya banyak guru besar yang tidak kalah hebatnya. Banyak Guru Besar yang menjadi memegang banyak hak paten. Sementara ijazah luar negeri pun tidaklah memperoleh pengakuan penyetaraan di dalam negeri. Seharusnya, dengan diangkatnya Nadiem menjadi Mendikbud, maka sepertinya semua syarat-syarat untuk menjadi Guru Besar juga harus dibebaskan. Guru dikembalikan kepada kenaikan pangkat otomatis berkala. Dihitung dari tahun pengabdian sang guru. Perguruan Tinggi juga perlu diberikan kebebasan bebas sebebasnya. Mereka bisa sesuka sukanya saja mengangkat sesorang menjadi Guru Sesar. Toh, sama seperti Pak Jokowi yang suka-sukanya mengakat Nadiem sebagai Mendikbud. Kata orang Jawa seenak udele dewe. Penulis adalah Wartawan Senior
PKS Dalam Pelukan Surya Paloh
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Picture of the week! Foto Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh berpelukan erat dengan Presiden PKS M Sohibul Iman, layak dinobatkan sebagai “Foto pilihan pekan ini.” Foto keduanya dalam pose berpelukan ala teletubbies, beredar secara cepat di medsos. Lengkap dengan berbagai komentar. Komentar yang muncul kebanyakan mengundang senyum. Ada juga yang membuat meme. Foto itu disandingkan dengan foto Prabowo sedang berwelfie ria bersama Megawati dan Puan Maharani. Captionnya: Cinta yang tertukar! Secara visual, foto yang diabadikan ketika Surya Paloh berkunjung ke kantor DPP PKS itu memang sangat kuat. Apalagi tafsir politiknya. Jauh lebih menarik dan multi tafsir. PKS adalah satu-satunya partai yang sejak awal menyatakan oposisi terhadap Jokowi. Sementara Nasdem partai pendukung Jokowi yang berkali-kali menyatakan siap menjadi oposisi. Walau akhirnya tetap masuk kabinet, dan menempatkan tiga orang menteri. Dari sisi positioning, secara politis keduanya berada dalam kubu berseberangan. Sebelumnya sulit membayangkan mereka akan berpeluk-ria, apalagi sampai membuat beberapa kesepakatan. Tapi itulah fenomena politik kontemporer Indonesia. Tempat adagium bahwa politik sebagai the art of possibility benar-benar diterapkan. Kemungkinannya bahkan jauh melampaui apa yang dapat kita bayangkan. Beyond our imagination. Prabowo saja bisa masuk kabinet Jokowi dan menjadi Menhan. Mengapa pula Surya Paloh dan Sohibul Iman tidak bisa berpeluk-mesra dan membuat blok baru oposisi? Gak perlu baper Pertemuan antara Surya Paloh dan Sohibul Iman ini kian menyadarkan kita, jangan terlalu baper dalam melihat politik Indonesia. Ojo kagetan. Ojo gumunan. Dengan begitu kita tidak perlu kaget, marah, apalagi sakit hati ketika tiba-tiba tokoh atau partai yang kita dukung berubah haluan di tengah jalan. Woles saja. Namanya juga politisi. Mari kita simak beberapa fakta dan fenomena berikut ini: Pertama, batas antara penguasa dan oposisi sangat kabur. Bisa saja oposisi kemudian bergabung dengan penguasa. Sebaliknya yang berada dalam pemerintahan karena kepentingannya kurang/tidak terakomodasi, berancang-ancang menjadi oposisi. Kedua, karena adanya kepentingan yang sama, pemerintah dan oposisi bisa saling bahu membahu dan saling mendukung. Tidak peduli suara pemilih, suara rakyat. Pengesahan UU KPK adalah contoh nyata. Semua fraksi di DPR sepakat mendukung, kendati mendapat perlawanan keras dari masyarakat, mahasiswa dan pelajar. Imbalannya semua fraksi mendapat jatah kursi wakil ketua MPR, termasuk PKS. Caranya dengan mengubah Pasal 15 UU Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Ketiga, kabinet besar dan gemuk Jokowi berpotensi pecah di tengah jalan. Kabinet yang dimaksudkan membuat semua happy, “disini senang, dis senang,” berubah menjadi “di sini senang, di sana berang.” Banyak yang tidak puas dengan pembagian jatah kursi di kabinet. Nasdem sudah menyatakan secara terbuka. Mereka keberatan dengan masuknya Gerindra, apalagi mendapat pos penting sebagai Menhan. Keempat, Jokowi tampaknya harus sudah bersiap-siap menghadapi oposisi yang cukup kuat di DPR, termasuk dari partai pengusungnya. Nasdem sudah mengisyaratkan kemungkinan akan menjalin kerjasama dengan PKS di DPR. PDIP juga tampaknya tidak puas dengan pembagian jatah kursi di kabinet. Apalagi Luhut Panjaitan ternyata masih berperan besar di pemerintahan. Bukan tidak mungkin PDIP juga akan menjadi oposisi terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Oposisi di DPR akan kian besar dengan tidak diakomodasinya PAN dan Demokrat di kabinet. Kelima, tiga tahun, atau paling lambat dua tahun jelang Pemilu 2024 sudah mulai terbentuk konfigurasi kekuatan politik baru. Parpol pendukung Jokowi bisa bubar jalan, atau setidaknya mulai mencari jagoan masing-masing. Pertemuan PKS dan Nasdem bisa menjadi indikator mulai terbentuknya embrio baru koalisi parpol pada Pilpres 2024. Pertemuan ini bisa dilihat sebagai sebuah lanjutan dari pertemuan Surya Paloh dengan Gubernur DKI Anies Baswedan beberapa waktu lalu. Waktu dan kepentingan politik akan menentukan apakah kemesraan ala *_teletubbies_* itu berlanjut sampai 2024, atau hanya manuver sesaat. Publik pasti belum lupa bagaimana Prabowo dan Surya Paloh juga baku rangkul menjelang pembentukan kabinet. Saat itu Surya menyatakan kepentingan negara di atas kepentingan parpol. Ternyata Nasdem menyabot kursi Menteri Pertanian yang sudah lama diincar Gerindra. Sebaliknya Gerindra yang mematok harga mati kursi Mentan, tetap bersedia masuk kabinet dengan kompensasi kursi Menteri Kelautan dan Perikanan. end
Radikalisme Said Aqil Siroj
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Pimpinan utama organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdatul Ulama, Said Aqil Siroj, kemarin, sebagai mana diberitakan berbagai media, meminta kita menghormati dan mendoakan Imam Besar Front Pembela Islam Habib Rizieq Sihab (HRS) . Ini berita pertama yang melibatkan suara ketua umum NU itu sejak Jokowi melantik menteri agama dari kalangan eks militer dan menugaskannya untuk membasmi radikalisme. Suara Said Agil ini tentunya menambah besar polemik dan diskursus radikalisme di Indonesia. Sebab, yang diminta untuk dihormatinya adalah tokoh paling radikal di Indonesia. Sebelumnya kita mendengar pandangan Professor Din Syamsudin, mantan ketua umum Muhammadiyah, terkait penugasan Jokowi yang utama pada menag soal radikalisme ini, agar pemerintah mengganti kementerian agama menjadi kementerian urusan radikal. Dan isu radikal itu harus mempertimbangkan dimensi lain selain agama, seperti radikalisme ekonomi, dll. Sebelumnya juga ekonom Dr. Rizal Ramli telah mensinyalir bahwa isu radikalisme ini sengaja dimainkan rezim Jokowi untuk menutupi situasi perekonomian nasional yang bobrok dan akan semakin buruk. Adhi Masardi, mantan juru bicara Gus Dur, dalam tulisannya "Isu Radikal, Permainan Politisi Lokal", menekankan kekonyolan permainan isu ini. Menurutnya ini seperti anak kecil yang dimarahi orang tuanya lalu keluar rumah dan melempari rumahnya sendiri, alias merusak rumahnya sendiri dan memalukan di mata tetangga. Margarito Kamis, dalam "Jokowi Bicara Radikalisme" (fnn. co.id), menyoroti bahayanya Jokowi memainkan isu radikalisme ini tanpa difinisi/konsep yang jelas soal radikalisme ini. Jokowi disebutkan bisa saja membelakangi konstitusi. Sebab, sebelum konsep itu mempunyai landasan hukum yang tegas, isu itu dapat menyasar kepada kebencian tehadap umat Islam. Suara Said Aqil ini mengandung beberapa pesan penting yang perlu kita kaji, 1) penghormatan terhadap HRS adalah penghormatan terhadap tokoh yang paling radikal di Indonesia- dalam perspektif rezim Jokowi selama ini. 2) NU arus utama menganulir sikap sikap mereka sebelumnya terhadap pandangan dan aksi FPI maupun 212, yang selama ini dikecamnya. 3) mendoakan dan menghormati HRS dapat berarti mendukung radikalisme gerakan HRS. Mispersepsi Radikalisme Radikal adalah sebuah kata latin "radic" yang berarti dalam atau keakar-akarnya. Sebuah pandangan radikal dikaitkan dengan konsep transformasi sosial yang dalam, sampe keakar2nya. Di barat, kosa kata ini awalnya dilabelkan pada gerakan kiri dan komunis yang ingin mengganti sistem negara kapitalis barat menjadi sosialistik. Namun, label itu kemudian disematkan juga pada gerakan2 lain yang prinsipnya menghancurkan sistem sosial yang dominan. Di Amerika misalnya, gerakan supermasi kulit putih (white supremacy), juga dilabeli dengan radikal. Alex Schmid, dalam "Radicalization , De-Radicalization, Counter-Radicalization: A Conceptual Discussion and Literature Review", 2013, mengemukakan perbedaan konsep antara radikal dan ekstrimis. Radikal dapat dengan kekerasan dan tanpa kekerasan, namun radikal merupakan kelompok "open-minded" atau berpikir terbuka, sebaliknya ekstrimist mempunyai pandangan sempit atau "closed minded", yang cenderung meyakini sesuatu kebenaran dalam versi dia sendiri (mono-causal interpretation) serta cenderung menganjurkan kekerasan. Radikal cenderung bisa demokratik dan "historically," tend to be more open to rationality and pragmatic compromise.. " Sebagai professor bergengsi dalam bidang radikalisme dan terorisme, Schmid menyarankan agar pembahasan soal radikalisme ini mengaitkan konteks agar tidak "misleading" dalam membuat kesimpulannya. Seraphin Alava et. al dalam "Youth and Violent Extrimism On Social Media: Mapping The Research", UNESCO, 2017, juga menyarankan pentingnya penggunaan isu radikalisme dalam konteks nasional tertentu. Di China, misalnya, radikalisme dan ekstrimisme hanya diarahkan pada orang-orang Uighur atau radikalisme lebih diidentikkam dengan separatisme. Di Indonesia, penggunaan kata radikal, ekstrimis dan teroris seringkali tertukar dan tidak merujuk pada suatu definisi yang pasti. Sehingga ini membahayakan dalam agenda aksi pemerintah menangani keselamatan warganya. Di Mana Bahayanya? Agenda aksi pemerintahan Jokowi. membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tanpa melalui pengadilan dalam kacamata barat disebut sebagai "illiberal democracy". Suatu cara yang diasumsikan sebagai praktik non demokrasi dalam menegakkan atau mempertahankan demokrasi. Dalam sepuluh tahun pemerintahan SBY, misalnya, semua kejahatan politik berakhir melalui pengadilan. Karena dalam demokrasi hakim adalah orang terakhir yang menyatakan "kebenaran". Dan HTI tidak terbukti di pengadilan melakukan kekerasan. Bersamaan dengan pembubaran HTI, rezim Jokowi jilid satu terindikasi menyasar pada pembubaran FPI. Pemerintahan Jokowi saat itu mengulur-ulur perpanjangan ijin ormas FPI dikementerian dalam negeri. Bahaya yang dimaksudkan di atas adalah antara "illiberal democracy" dan "freedom of speech & freedom to organize" dapat semakin kabur, tergantung dari kacamata sempit rezim penguasa. Dan ini akan mungkin mendorong negara menjadi "state-actor terrorism". Kejahatan negara terhadap rakyatnya setidaknya mulai terindikasi dengan penemuan-penemuan Amnesti Internasional, LBH, Kontras dll bahwa negara bertanggung jawab atas kematian dan kekerasan yang dialami demontran yang menolak hasil pemilu pada 21-22 Mei 2019 dan mahasiswa yang menolak revisi UU KPK lalu. Berbeda dengan urusan terkait ormas Islam itu, pengamat barat, khususnya kelompok Indonesianis di Australia, melihat rezim Indonesia yang berkuasa saat ini sudah kembali menjadi rezim otoritatian (Authoritarian-turn), sebagai mana dinyatakan professor Aspinal dkk dari Australia National University. Radikal dalam konteks nasional tertentu dapat di musuhi oleh sebuah negara, namun dapat dipahami komunitas human rights internasional, terutama terkait aksi membela diri kelompok masyarakat dari kekerasan negara (state-actor terrorism). Kelompok bersenjata di Irlandia, IRA, misalnya, beberapa dekade lalu, mendapatkan dukungan berbagai kelompok internasional, khususnya Gereja Katolik, karena dianggap mempertahankan diri dari kekejaman pemerintah dan dukungan Inggris kala itu. Begitu juga kelompok bersenjata di Papua, yang melakukan kekerasan terhadap penduduk Indonesia non Papua dan militer/polisi, mendapat dukungan internasional, khususnya komunitas masyarakat Israel, Australia, Ingrris, negara-negara pasifik dan Amerika. Untuk menghindari mispersepsi pada konsep radikalisme, kembali perlu melihat konteks dalam lingkup sosial politik nasional yang sedang berlangsung. Radikal dalam konteks nasional tertentu dapat di musuhi oleh sebuah negara, namun dapat dipahami komunitas human rights internasional, terutama terkait aksi membela diri kelompok masyarakat dari kekerasan negara (state-actor terrorism). Kelompok bersenjata di Irlandia, IRA, misalnya, beberapa dekade lalu, mendapatkan dukungan berbagai kelompok internasional, khususnya Gereja Katolik, karena dianggap mempertahankan diri dari kekejaman pemerintah dan dukungan Inggris kala itu. Begitu juga kelompok bersenjata di Papua, yang melakukan kekerasan terhadap penduduk Indonesia non Papua dan militer/polisi, mendapat dukungan internasional, khususnya komunitas masyarakat Israel, Australia, Ingrris, negara2 pasifik dan Amerika. Melihat radikalisme dalam konteks sebuah bangsa akan melengkapi pemahaman atas mana yang benar benar menjadi musuh bersama sebuah bangsa dan mana yang hanya menjadi komoditas politik kekuasaan tertentu. Penutup Said Aqil telah mendoakan dan menghormati Habib Rizieq. Habib Rizieq Sihab adalah manusia paling radikal di Indonesia. Karena perjuangan HRS adalah untuk merombak struktur sosial yang dikuasai segelintir ologarki, khususnya menurut dia Sembilan Naga. Rizieq bersumpah akan menjadikan sembilam naga menjadi sembilan cacing. Dan gerakan Rizieq mendapat apresiasi besar dari ummat Islam. Masa lalu organisasi FPI yang pro kekerasan, selama 5 tahun terakhir ini berkembang ke arah demokrasi. Yakni melibatkan diri pada kontestasi politik via pemilu dan pilkada. Meskipun pergeseran ini belum menghilangkan luka dan keraguan kelompok2 minoritas atas FPI, yang dipersepsikan masih memasukkan kekerasan dalam aksinya. Sejauh ini kita sudah melihat radikalisme itu dapat tanpa kekerasan tapi dapat juga dengan kekerasan. Namun radikalisme tidak harus mengarah pada ekstrimisme. Ekstrimisme, seperti gerakan Abubakar Baasyir, misalnya, tidak juga sama dengan gerakan radikalisme HRS. Radikalisme mengutuk teorisme sedangkan ekstrimisme dapat mendorong ke arah terorisme. Pertanyaan besar kemudian, bagaimana jika ulama pimpinan utama Nahdatul Ulama mendukung dan mendoakan Habib Rizieq Sihab? Bagaimana lebel yang harus diberikan pada Said Aqil Siroj? Ini merupakan misteri dari radikalisme Said Aqil Siroj tentunya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Jokowi Bicara Radikalisme
Negara hukum demokratis, mengharuskan terminologi atau konsep “radikalisme dan intoleransi” dibuat secara jelas. Dan itulah, saya duga, suka atau tidak menjadi inti pandangan Pak Din Syamsudin dan Zainut Tauhid Sa’adi, Wamen Kemenag ini. Oleh Margarito Kamis Jakarta, FNN - Pemerintah dimanapun selalu memiliki perangkat resmi dan tidak resmi. Tugasnya, memonitor, mengumpulkan, menganalisis setiap inci realitas bangsanya. Setelah itu memproyeksi realitas baru. Apa saja yang dilakukan ke depan. Pemerintahan Jokowi juga memiliknya. Berbekal itu atau tidak, Presiden Jokowi membuat pernyataan tak terukur pada dua kesempatan berbeda. Pernyataan itu dalam intinya, tentang Kementerian Agama (Kemenag) mengurusi radikalisme dan intoleransi. Dikemukakan pertama kali pada saat pelantikan menteri-menterinya. Diulang lagi pada hari berikutnya pada saat rapat perdana kabinetnya. Katanya sesaat setelah pelantikan menteri “ke-9 Bapak Jenderal Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. Ini urusan (Menag) berkaitan dengan radikalisme, ekonomi ummat, industri halal. Saya kira, dan terutama haji berada di bawah beliau (CNNIndonesia.com, 24/10). Sehari setelah itu, Presiden menyatakan kembali dalam rapat perdana kabinet. Kata Presiden, “kita ingin berkaitan dengan radikalisme, yang berkaitan dengan intoleransi, betul-betul secara kongkrit bisa dilakukan oleh Kementerian Agama”. Dipilihnya Jendral (Purn) Fachrul Razi menjadi menteri agama, menurut Presiden karena mantan wakil panglima TNI 1999-2000 itu memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah radikalisme, yang saat ini tengah menjadi keresahan di publik (Wowkeren, 25/10).” Insyaa Allah Menjadi politisi bukan pekerjaan rumit. Sejauh tersedia bakat untuk itu. Misalnya, bersedia menanggung cercaan, hinaan dan sejenisnya. Toh politik tidak seluruhnya berputar pada kemampuan membuat hal-hal yang tidak mungkin berubah menjadi mungkin. Begitu pula sebaliknya. Politik malah lebih sering terlihat sebagai seni membuat konflik berputar dalam kendali. Pada garis kehendak yang ditetapkan. Apa yang Jokowi masksudkan radikalisme dan intoleran itu? Dengan pemahaman apa ia memasuki isu radikalisme dan intoleransi tersebut? Tidak ada yang mengetahuinya. Tetapi apapun itu Presiden Jokowi telah memperlihatkan relasi determinan agama. Determinan yang terlihat mengarah kepada Islam. Karena dengan radikalisme dan intoleransi itulah, yang sekarang mengakibatkan penyataan membahana membelah realitas kemesraan tradisional Nahdatul Ulama (NU) dengan Muhammadiah dengan kementerian ini. Pak Din, professor pintar dan berintegritas top ini pun menanggapinya. Kata Pak Din, seharusnya Kemenag bukan memberantas hal semacam itu. Kemenag memiliki peranan yang jauh lebih luas untuk membangun moralitas bangsa. Kemenag jangan disalahfungsikan, sebab radikalisme tidak hanya di seputaran agama. Radikalisme tidak hanya radikalisme keagamaan. Lebih jauh, disini terlihat Pak Din menempatkan, membawa isu itu ke dalam alam konstitusionalisme. Pak Din menguraikan dalam nada kritis bahwa “kenapa tidak boleh disebut radikalisme ekonomi ? Yang melakukan pelarian dan kekerasan pemodalan? Yang menimbulkan kesenjangan ekonomi, jurang antara yang kaya dan miskin. Dalam penilaian kritisnya, Pak Din menamakan radikalisme ekonomi. Kenapa tidak radikalisme politik? Kata radikalisme itu agak “tendensius” tanda petik dari saya. Karena lebih banyak ditekankan kepada umat Islam. (Teropongsenayan, 24/10). Jalan Pak Din memang bukan jalan Kiyai Robikin, salah seorang fungsionaris PB NU. Kiyai Robikin memperlihatkan kemiripan pandangan NU dengan Presiden mengenai bahaya radikalisme. Tetapi kemiripan ini tidak cukup membuat NU puas. Setidaknya kiyai-kiyai NU di daerah tidak nyaman dengan pernyataan Presiden masalah radikalisme. Karena bukan orang NU itulah menurut Kiyai Robikin, banyak kiyai-kiyai di daerah yang menyatakan protesnya (Kumparan, 24/10). Kiyai Robikin tak mungkin memasuki area ini tanpa alasan. Tetapi Jokowi, entah karena keluhan NU atau bukan, sehari setelah pengangkatan Menteri Agama, mengangkat KH Zainut Tauhid Sa’adi menjadi Wakil Menteri Agama. Kiyai Zainut dikenal luas memiliki jejak positif dalam urusan keummatan. Beliau tahu seluk-beluk perasaan ummat Islam. Kapasitasnya yang hebat memudahkan Pak Wamen menemukan cara pemecahannya. Pak Wamen sontak menyodorkan gagasan silaturrahim dengan para kiyai dan Ormas keagamaan. Menurutnya, ini harus sudah terlaksana sebelum benar-benar merancang program dan kegiatan kementerian ini. Bisa memunculkan penilain yang membelah di mayarakat. Sebab (isu radikalisme), dalam penilaiannya bisa menyebabkan kontroversi di masyarakat. Menguraikannya menjadi pekerjaan yang harus segera dilakukan oleh Kemenag (Republika.co.id, 25/10). Pak Wamen benar. Terminologi radikalisme dan intoleransi itu sangat tidak jelas. Apa konsepnya? Apa objeknya? Apa bentuknya, dan apa unsurnya? Serba tak jelas parameternya. Terlihat sejauh ini hanya diserahkan ke dunia politik. Pak Wamen juga benar, jika silaturrahim adalah wahana terindah untuk menghidupkan rasa sebagai sesama hamba Allah. Dan saya cukup yakin Pak Jendral Fachrul juga menyukai silaturrahim di lintasan yang indah ini nantinya. Insyaa Allah. Waktu Menjadi Hakim Mengandalkan hukuman dalam merespon tindak-tanduk radikalisme dan intoleransi, sejauh ini bukan pilihan utama Jokowi. Apalagi belom jelas detail konsep itu secara hokum. Walaupun lebih dipertautkan dengan agama,khususnya Islam. Namun yang bisa dikatakan Pak Presiden tampkanya lebih memilih komunikasi dan silaturahmi. Pak Presiden terlihat cukup jelas lebih memerlukan langkah non hukum. Tetapi justru disitulah letak soalnya. Dimana letak soalnya? Negara hukum demokratis mengharuskan kejelasan yang sejelas-jelasnya setiap terminologi atau konsep yang dijadikan sebagai basis tindakan pemerintahan. Konsep dan detailnya yang tidak jelas. Tetapi dijadikan sebagai basis kebijakan negara, maka harus dikatakan sama dengan main politik. Negara hukum demokratis mengharuskan terminologi atau konsep “radikalisme dan intoleransi” dibuat secara jelas. Dan itulah, saya duga, suka atau tidak menjadi inti pandangan Pak Din Syamsudin dan Zainut Tauhid Sa’adi, Wamen Kemenag ini. Membuat jelas konsep radikalisme dan intoleransi adalah cara konstitusional memotong, membelenggu, mengisolasi tindakan main lebel, main tuduh. Presiden Jokowi, saya duga, jauh dari kehendak melebel Islam dengan radikalisme dan intoleransi. Saya percaya itu, lebih dari yang bisa dibayangkan. Tetapi bukan disitu soalnya. Soalnya tanpa konsep yang jelas, terukur pada detail dan unsur-unsurnya. Tetapi menjadikannya sebagai isu utama tindakan pemerintahan, sama dengan menyatakan telah ada radikalisme dan intoleransi. Hanya berdasarkan defenisi Presiden. Sebaik-baiknya niat Presiden memberangus radikalisme, Presiden juga dituntut untuk memiliki pijakan terukur secara hukum. Negara hukum demokratis, sekali lagi, mutlak mengharuskan konsep-konsep radikalisme dan intoleransi dirumuskan terlebih dahulu dalam hukum. Rumusannya, harus selaras dengan nalar keadilan. Harus terukur dalam semua aspek detailnya. Juga harus selaras dengan nilai-nilai hebat, agung, fundamental yang melembaga dalam kearifan-kearifan bangsa yang hebat ini. Negara hukum demokratis, juga mengharuskan diciptakannya lingkungan yang civilized. Bebas dari rasa takut, apapun jenisnya. Tetapi ketakutan mendadak yang tak terukur, tidak bisa diambil dan dijadikan basis kebijakan hukum. Ketakutan mendadak dan tak terukur, hanya menghadirkan legitimasi murahan. Semua itu, karena derajat kesesuaiannya tidak kokoh. Jangan lupa legitimasi ditunjuk konstitusionalisme sebagai standar utama membuat hukum. Juga standar utama menciptakan daya adaptasi tindakan pemerintahan dengan semua nilai yang hebat dari bangsa ini. Jokowi jelas tidak tendensius. Tetapi agak sulit untuk tak mengatakan Jokowi terlihat membelakangi perspektif konstitusionalisme sehat. Mengapa? Pernyataannya terlihat kongklusif. Juga muncul di tengah ketiadaan konsep hukum tentang radikalisme dan intoleransi. Bukan tak bisa, tetapi bukan itu cara mengendorsnya. Apalagi rasio yang menyertainya begitu tipis. Cara yang dipilih itu, entah dengan atau tanpa detail pertimbangan pada semua aspeknya, punya konsekuensi. Pak Jokowi terlihat membawa dirinya menjadi orang tak terlatih mengenal kearifan konstitusionalisme sehat mengurus pemerintahan. Bicara pendek memang bisa, tapi tak menyertakan argumentasi konstitusionalisme sehat adalah perkara mengerikan. Apakah Presiden telah cukup yakin DPR yang telah menjelma menjadi mahluk paling bijaksana menggunakan kewenangan pengawasan konstitusionalnya? Sehingga DPR juga tak memperhatikan detail konsekuensi pernyataannya? Entahlah. Presiden, boleh jadi memiliki keyakinan bahwa DPR telah lebih dewasa. DPR bisa membawa diri memahami pemerintahan Jokowi saat ini. Boleh jadi juga DPR untuk alasan itu, selalu dapat menerima semua tindakan pemerintahan Pak Presiden. Lebih jauh Presiden mungkin telah cukup yakin berada dan berurusan dengan hanya satu realitas. Bukan dua realitas yang pernah terbentang begitu lebar. Yang sempat teridentifikasi secara terburu-buru, sehingga hampir membelah bangsa ini. Realitas tunggal itu, semoga beralasan. Lebih dari itu, mungkin menjadi modal untuk menggerakan lebih cepat, tetapi terukur. Bukan liar pemerintahan ini. Tetapi sehebat itu sekalipun, Presiden diminta untuk bijaksana mengelola pemerintahannya. Presiden, untuk kepentingan kearifan pemerintahan konstitusional, tak boleh terlihat menjadi pemicu tindak-tanduk rasisme, intoleransi dan radikalisme dalam semua dimensinya. Itu jelas tidak boleh. Karena itu merupakan hal terhebat untuk segala zaman. Presiden juga tak boleh menjadi pemicu kontroversi, apapun isunya. Agar terhindari dari semua itu dan tidak ternilai tendensius, indah sekali bila Presiden bergegas merumuskan konsep detail radikalisme dan intoleransi itu. Mari Presiden. Kami semuya menantikannya. Waktu yang akan datang menjadi hakim, memberi kualifikasi pada dirinya sebagai Presiden untuk semua itu. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Univesrsitas Khairun Ternate
Menteri “Bernoda” Korupsi (2): Halim Iskandar dan Ida Fauziyah?
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Selain nama Mendagri Tito Karnavian dan Menteri BUMN Erick Thohir, nama Abdul Halim Iskandar, kakak Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar yang menjabat Mendes PDTT dan Menaker Ida Fauziah, ternyata “bernoda” korupsi juga. Keduanya adalah politisi PKB pimpinan Ketum DPP PKB Muhaimin Iskandar. Sayangnya, kedua politisi PKB itu pernah “berurusan” dengan KPK. Meskipun mereka diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi. Ini dibenarkan oleh pihak KPK. Menurut Jubir KPK Febri Diansyah, Halim Iskandar dan Ida Fauziyah itu pernah dipanggil dan diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang berbeda. Beberapa orang memang pernah diperiksa KPK sebagai saksi dalam sejumlah perkara terpisah. “Saya kira itu juga sudah terbuka ya informasinya,” kata Febri seperti dilansir RMOL.id. Halim Iskandar pernah diperiksa dalam kasus dugaan gratifikasi dari kasus pencucian uang Bupati non-aktif Nganjuk Taufiqurrahman. Sedangkan Ida Fauziyah terkait kasus dugaan korupsi pelaksanaan Haji 2012 sampai 2013 untuk tersangka eks Ketum PPP Surya Darma Ali. Mantan Menteri Agama ini pun sudah divonis Pengadilan Tipikor Jakarta. “Ada beberapa kasus yang berjalan saat itu, seperti suap dan gratifikasi Bupati Nganjuk dan juga kasus korupsi haji yang melibatkan Menteri Agama sebelumnya,” ujar Febri, mengutip Law-justice.co, Rabu (23/10/2019 08:30 WIB). “Memang ada beberapa nama yang kita tahu terkait dengan beberapa kasus korupsi yang pernah ditangani KPK. Namun, mereka memang baru diperiksa sebagai saksi sejauh ini,” ungkap Febri. Halim Iskandar Jejak digital Abdul Halim Iskandar yang “bernoda” korupsi masih terekam. Terkait dirinya yang pernah dipanggil KPK, Halim Iskandar menyatakan sudah clear dan ia tidak terlibat. “Semua clear, enggak ada masalah,” ujarnya, mengutip Kompas.com. Seperti dilansir Kompas.com, Selasa (22/10/2019), dirinya sempat berurusan dengan KPK pada 2018. Dia dipanggil sebagai saksi terkait penyidikan perkara tindak pidana pencucian uang dengan tersangka mantan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman. Seperti dilansir Liputan6.com, Selasa (22 Okt 2019, 15:09 WIB), “Ya saya kenal, waktu di Jombang ya, sudah,” ujar Abdul Halim usai diperiksa di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa 31 Juli 2018. Halim Iskandar tidak menampik kerap bertemu dengan mantan Bupati Nganjuk tersebut. Namun, menurut Ketua DPW PKB Jawa Timur itu, perkenalan dan pertemuannya dengan Taufiqurrahman hanya sebatas kaitan sebagai pengurus partai. “Dia kan orang Jombang. Dia (Bupati Nganjuk Taufiqurrahman) aktif di Golkar, saya di PKB. Kenal sebagai pengurus partai. Sudah itu saja,” kata Halim Iskandar. Taufiqurrahman sendiri merupakan tersangka penerimaan gratifikasi terkait proyek-proyek di Nganjuk. Taufiqurrahman yang diduga KPK menerima gratifikasi Rp 5 miliar selama 2013-2017. Nama mantan Ketua DPRD Jatim periode 2014-2019 itu sempat pula secara tersirat sebagai “kerabat” Muhaimin Iskandar yang sedang digadang-gadang agar maju dalam bursa cagub Jatim 2018. Makanya Ketum PKB ini sedang membutuhkan logistik. Hal itu terungkap dari pengakuan terpidana kasus suap proyek infrastruktur Musa Zainuddin yang menyeret Muhaimin Iskandar dalam pusaran perkara yang membelitnya. Seperti dikutip Tempo, Sabtu (19/10/2019), Muhaimin dituding terima duit fee Rp 6 miliar. Selain dituding menerima duit, Muhaimin disebut juga berupaya menggagalkan permohonan justice collaborator (JC) kadernya tersebut. Awal Oktober lalu, 3 penyidik KPK memeriksa Musa. “Saya diperiksa atas surat permohonan sebagai JC,” kata Musa. Kepada Tempo, Musa mengatakan penyerahan uang itu merupakan respons atas percakapan bersama Jazilul beberapa bulan sebelumnya. Saat itu, Sekretaris Fraksi PKB Jazilul Fawaid mengatakan Muhaimin Iskandar sedang membutuhkan logistik untuk mendorong kader PKB agar maju dalam bursa cagub Jatim 2018. Nama yang sedang digadang-gadang saat itu adalah kerabat Muhaimin. Ternyata, kerabat ini tidak lain adalah Abdul Halim Iskandar, kakak Muhaimin Iskandar yang belakangan batal maju dalam kontestasi Pilgub Jatim 2018. Surat JC Musa yang diperoleh Tempo menyebutkan sebagian besar uang dari para pengusaha itu diserahkan kepada Jazilul. Jumlahnya jauh lebih besar dari uang yang ia terima, yakni Rp 6 miliar. “Yang di tangan saya cuma Rp 1 miliar,” ujar Musa. Musa menjalani hukuman selama 9 tahun karena terbukti menerima suap sebesar Rp 7 miliar untuk meloloskan proyek infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Maluku dan Maluku Utara Tahun Anggaran 2016. Setelah anggaran diketuk, Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir menemui Musa. Abdul Khoir mengaku tertarik menggarap proyek pembangunan jalan Taniwel-Saleman, Maluku, senilai Rp 56 miliar. Mantan anggota Komisi Infrastruktur Dewan Perwakilan Rakyat dari PKB itu ditahan sejak Februari 2017. Uang tersebut berasal dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir, kontraktor proyek, yang lebih dulu dihukum Pengadilan Tipikor Jakarta. Musa mengatakan penyidik ingin mengkonfirmasi surat permohonan menjadi JC Musa yang diajukan pada sekitar Juli 2019. Musa juga membuka kronologi aliran dana suap Rp 7 miliar yang selama ini tak terungkap di pengadilan dan pemeriksaan. Belakangan, Musa mengaku duit suap itu tidak dia nikmati sendiri, tapi mengalir ke sejumlah koleganya di PKB, termasuk ke Muhaimin. Berbeda dengan keterangan di persidangan, aliran dana suap dari Abdl Khoir ternyata tak berhenti di tangan Musa. Musa mengaku menutupi peran para koleganya lantaran menerima instruksi dari dua petinggi partai. Keduanya menekan Musa agar menutupi keterkaitan uang itu dengan para petinggi PKB. Mereka mengatakan, Ketum PKB Muhaimin Iskandar berpesan agar kasus suap itu berhenti di Musa. “Saya diminta berbohong dengan tidak mengungkap peristiwa sebenarnya,” ucap Musa. Imin – panggilan akrab Muhaimin – kini menjabat Wakil Ketua DPR. Ida Fauziah Selain Abdul Halim Iskandar, jejak digital serupa yang “bernoda” korupsi juga mengarah ke Ida Fauziah, politikus PKB yang diangkat Presiden Joko Widodo menjabat Menaker dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) 2019-2024. Pada medio 2014, Ida Fauziah yang saat itu anggota Komisi VIII DPR pernah diperiksa KPK terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pelaksanaan Haji 2012 sampai 2013 yang mengarah kepada Komisi VIII DPR. “Diperiksa untuk tersangka SDA (Surya Dharma Ali, mantan Menag saat itu),” tulis Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha, melalui pesan singkat, Senin (18/8/2014). Selain Ida, KPK juga turut menjadwalkan memeriksa Anggota Komisi VIII Fraksi Demokrat, Muhammad Baghowi, Soemintarsih Muntoro (Anggota Komisi VIII DPR Fraksi Hanura), dan bekas Ketua Komisi VIII Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Jazuli Juwaini. Kemudian, mantan Direktur Jenderal Pelaksanaan Haji dan Umrah Anggito Abimanyu buat kesekian kalinya juga diperiksa sebagai saksi. Dalam kasus tersebut, ketika itu KPK baru menetapkan seorang tersangka yaitu mantan Menag SDA. Tetapi uniknya, dalam surat perintah dimulainya penyidikan tercantum kalimat “SDA dan kawan-kawan”. SDA disangka melanggar pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana. Praktik korupsi yang mereka lakukan ditengarai terjadi di berbagai lini. Seperti: pengadaan penginapan, transportasi, dan katering. Selain itu, diduga SDA juga menyalahgunakan kuota Panitia Pelaksanaan Ibadah Haji serta memanipulasi Sistem Komputerisasi Haji. Apakah kedua menteri asal PKB ini akan diproses KPK hingga pengadilan Tipikor Jakarta, seperti mantan Menpora Imam Nahrawi? ***
AKBP Idham Azis Pernah Terkena Sanksi Karena Kasus Perjudian
Dikhawatirkan pengusaha tidak berani menanamkan modalnya di tanah air karena takut berhadapan dengan “Naga Sembilan”. Hanya karena “Naga Sembilan” punya hubungan kedekatan masa lalu dengan Kapolri. Kasian, pemerintahan Pak Jokowi juga dengan sendirinya jadi tersandra secara investasi. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN – Pada tahun 2004, kalangan enternal polisi dan dunia perjudian di tanah air dibikin heboh. Penyebabnya Kapolri ketika itu Jendral Polisi Drs. Da’i Bachtiar marah besar. Akibatnya, Kapolri Da’i mencopot sejumlah perwira menengah polisi jabatannya masing-masing. Mereka yang dicopot dari jabatanya tersebut, umumnya bertugas di jajaran Polda Metro Jaya. Para perwira menengah Polda Metro Jaya yang dicopot itu, dipindahkan ke polda-polda di daerah Indonesia Timur dan Indonesia Tengah. Mereka ditempatkan di Papua, Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Mereka dicopot dari jabatannya, karena danggap membiarkan perjudian marak dan telanjang mata terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Padahal perjudian dengan dalih apapapun adalah pelanggaran terhadap pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 303 KUHP ini di kalangan pelaku perjudian tanah air, sering disebut dengan “Pasal San Kong San. Bahasa cinanya San yang berarti angka tiga. Kong artinya angka nol atau kosong, dan San lagi tetap artinya tiga. Akibatnya, Telegram Rahasia (TR) Kapolri Da’i Bachtiar untuk mencopot dan memindahkan sejumlah perwira menengah dari Polda Metro Jaya ke Indonesia Timur dan Indonesia Tengah itu, terkenal dengan nama “TR San Kong San”. Ada juga yang menyebutnya dengan TR 303. Yang lain menamakannya TR perjudian. Satu diantara perwira menengah Polda Metro Jaya yang terkena atau ikut terdampak dari terbitnya “TR San Kong San” adalah Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Drs. Idham Azis. Calon Kapolri pengganti Tito Karnavian ini dipindahkan Da'i Bachtiar ke Polda Sulawesi Tengah. Jabatan Idham Azis ketika itu adalah Wakapolres Metro Jakarta Barat. Sebelum menjabat sebagai Kapolres Metro Jakarta Barat, Idham Azis menjabat Kasat Jatanras atau biasa disebut Kasatum. Organ di bawah Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Kasatum Polda Metro Jaya ketika itu adalah penanggung jawab lapangan semua kegiatan perjudian dan prostitusi. Aturan bakunya, Kasatum harus memastikan tidak ada kegiatan perjudian dengan dalih apapun, dan dalam bentuk apapun yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Namun jika ada kegiatan perjudian secara terbuka, maka dipasatikan penyebabnya ada dua kemungkinan. Kemungkinan Pertama, perjudian ketika itu memang marak, dan terbuka di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Siapapun bisa bermain judi dengan gampang dan bebas. Penulis sering ikut menyaksikan dan menemani teman yang bermain judi di beberapa tempat perjudian. Namun bisa saja kegiatan perjudian berlangsung dengan bebas dan terbuka. Tetapi tanpa sepengetahuan Kasatum Polda Metro Jaya dan jajaran kepolisian di bawahnya. Artinya, perjuadian yang terjadi adalah ilegal atau liar. Sayangnya, para bandar judi tidak ditindak, sehingga membuat Kapolri Da’i Bachtiar harus marah besar. Kemungkinan Kedua, perjudian memang berlansung, namun liar. Artinya, ada perjudian tanpa izin. Namun bisa saja perjudian tersebut hanya bisa berjalan dengan leluasa, karena sepengetahuan jajaran Kasatum Polda Metro Jaya. Artinya, ada yang tau sama taulah. Bahasa kerennya ada yang hengky pengky. Walaupun demikian, setiap saat mereka bisa juga ditangkap atau tempat judinya ditutup bila diperlukan . Secara struktur, seharusnya AKBP Drs. Idham Aziz tidak perlu terkena sanksi atau terdampak “TR San Kong San”. Sebab jabatan Idham adalah Wakapolres Metro Jakarta Barat. Wakapolres tidak memiliki kaitan komando langsung terhadap kegiatan perjudian di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Barat. Kewenangan tersebut hanya ada pada Kapolres atau Kasat Serseum Polres Metro Jakarta Barat. Palaksana lapangannya adalah Kanit Voice Control (VC). Bawahan dari Kasat Serseum Polres Metro Jakarta Barat Kapolri Jangan Tersandara Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang menjadi bandar perjudian di wilayah hukum Polda Metro Jaya didominasi oleh kelompok “Naga Sembilan”. Mereka juga yang sekarang mengontrol lebih dari separuh roda perputaran ekonomi nasional. “Naga Sembilan” pula yang mengendalikan separuh sistem hukum kita sekarang. Sayangnya, mereka tidak pernah berwujud atau nongol ke permukaan Rasanya sangat sulit bagi siapapun untuk bisa menang di Polisi, Jaksa dan Pengadilan, jika berperkara dengan “Naga Sembilan”. Kekuasaan dan kekuatan hukum sebesar apapun, sepertinya tidak bisa untuk menghukum kedigjayaan “Naga Sembilan”. Apa jadinya bila Kapolri kita nanti adalah orang yang pernah bersentuhan dengan “Naga Sembilan”? Siapa pelaku binis negeri ini atau investor asing yang berani berperkara secara hukum melawan anggota kelompok “Naga Sembilan”? Kenyataan ini akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan iklim usaha dan investasi di tanah air. Paling kurang selama satu tahun tiga bulan ke depan. Selama kurun waktu Idham Azis menjabat sebagai Kapolri. Kita tidak ingin Kapala Polisi Indonesia disandra oleh para pengusaha hitam. Jangan juga sampai Kapolri kita dikendalikan oleh kelompok “Naga Sebilan”. Kapolri, siapapun orangnya harus terbebas dari pengaruh mavioso. Sebab kalau sampai Kapolri punya beban masa lalu dengan para mavioso perjudian dan prostitusi, maka itu pertanda buruk. Kasian sekali perjalanan bangsa ini untuk lima belas bulan ke depan. Dikhawatirkan kalangan pengusaha tidak berani menanamkan modalnya di tanah air, hanya karena takut berhadapan dengan kelompok “Naga Sembilan”. Hanya karena “Naga Sembilan” mempunyai kedekatan hubungan di masa lalu dengan Kapolri. Kasian juga bagi pemerintahan Pak Jokowi, karena dengan sendirinya jadi tersandra secara investasi. Padahal Indonesia sekarang membutuhkan investasi dalam yang jumlah sangat besar. Indonesia butuh invetasi, baik dari dalam negeri maupun asing. Tujuannya, untuk bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas 6% setiap tahun. Untuk itu, dibutuhkan pejabat bidang hukum yang lumayan-lumayan bersihlah. Semua neraca dan indikator ekonomi Indonesia sekarang ini merah. Defisit neraca perdagangan merah sangat besar. Bahkan defisinya terbesar sepanjang Indonesia, sejak merdeka tahun 1945. Nilai defisitnya antara U$ 8-9 miliar dollar. Selain itu, neraca pembayaran juga merah. Begitu pula dengan necara penerimaan dari pajak, yang juga merah. Semua indikator ekonomi Indonesia yang lemah dan merah tersebut, telah mendorong Pak Jokwi harus melakukan kompromi politik dengan rivalmya Prabowo Subianto. Tujuannya, agar tercipta iklim politik yang kondusif. Targat akhirnya adalah masuknya investasi, terutama dari luar negeri dalam jumlah yang besar, sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 6% setiap tahun. Namun keinginan yang mulia tersebut, ternyata belum cukup Pak Jokowi. Masih dibutuhkan pejabat di bidang hukum yang tidak punya rekam jejak masa lalu dengan pengusaha hitam. Mereka adalah para penguasa yang dulu mengendalikan bisnis perjudian dan prostitusi. Tentu saja mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Apalagi marasa memiliki kedekatan emosional dengan Kapolri nantinya. Jika pejabat bidang hukum punya jejak masa lalu dengan para mavioso dan pengusaha hitam, dikhawatirkan akan menyulitkan Pak Jokowi dalam merealisasikan program “Revolusi Mental dan Nawa Cita”. Kecuali jika pada periode kedua ini, Pak Jokowi tidak lagi mengutamakan pelaksanaan program “Revolusi Mental dan Nawa Cita”. Pak Jokowi, ketika “TR San Kong San” tersebut keluar dulu, sangat mungkin Pak Jokowi tidak mengetahuinya. Karena tahun 2004 Pak Jokowi baru mulai perisiapan menjadi Walikota Solo periode pertama. Mungkin juga Pak Jokowi sedang sibuk-sibuknya mengurus modrenisasi Pasar Kliwer Solo. Pak Jokowi baru masuk Jakarta tahun 2012, untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Kebetulan saja ketika itu, penulis adalah wartawan senior dari Majalah Hukum dan Politik. Semoga fakta dan informasi ini bermanfaat bagi pimpinan dan anggota Komisi III DPR. Sebab mulai Rabu besok ini Komisi III DPR melakukan rangkain uji kepatutan dan kelayakan terhadap Komjen Polisi Drs. Idham Azis sebagai calon Kapolri Terakhir, tulisan ini bukanlah karena adanya kebencian atau suka dan tidak suka penulis kepada pribadi Komjen Polisi Drs. Idham Azis untuk menjadi Kapolri. Bukan juga sebagai upaya untuk menghalangi atau menjegal Idham Azis menjadi Kapolri, Tulisan ini hanya sebagai sumbangan kecil dari pengetahuan dan pemahaman penulis sebagai anak bangsa. Hanya karena masih punya kepedulian kepada bangsa dan negara. Tulisan ini juga sebagai bentuk kecil dari cinta penulis kepada bangsa. Menurut penulis, bangsa ini sedang tidak aman secara ekonomi dan hukum. Berdosa sekali kalau penulis tidak meyampaikan fakta ini kepada publik. Kepada Pak Jokowi dan Komisi III DPR. Paling kurang, mudah-mudahan saja ketika menjadi Kapolri nantinya, Jendral Polisi Drs. Idham Azis lebih hati-hati dalam memimpin intitusi kepolisin. Insya Allaah, Amin amin amin Penulis adalah Wartawan Senior
Ekonomi dan Korupsi, Bukan Radikalisme!
Oleh Edy Mulyadi *) Jakarta, FNN - Saya seharusnya marah kepada Presiden Joko Widodo dan para menterinya. Ada beberapa alasan penting kenapa saya layak marah kepada mereka. Antara lain, sebagai rakyat dan pembayar pajak saya berhak berharap punya Presiden dan menteri yang benar-benar profesional, mengerti tugas dan fungsinya, serta berintegritas. Sebagai Presiden, Joko tidak membuktikan dirinya seorang profesional. Buktinya, dia abai terhadap kapasitas dan kapabilitas para pembantunya. Di periode kedua kekuasaannya, dia masih saja memilih orang-orang yang terbukti gagal menjalankan tugasnya. Sri Mulyani, Luhut Binsar Panjaitan, dan Airlangga Hartarto, misalnya. Mereka adalah barisan pejabat publik yang terbukti gagal tapi kembali dipercaya menghela perekonomian, agar negara maju dan rakyat sejahtera. Mantan pengusaha mebel itu juga mengabaikan aspek integritas yang harus melekat pada para pembantunya. Dari 34 menteri, ada sembilan yang pernah terseret kasus korupsi. Mereka adalah Airlangga Hartato (Menko Perekonomian), Agus Gumiwang (Menteri Perindustrian), Tito Karnavian (Menteri Dalam Negeri), Luhut Binsar Panjaitan (Menko Maritim dan Investasi), dan Ida Fauziah (Menteri Ketenagakerjaan). Empat nama lainnya, Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia), Abdul Halim Iskandar (Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi), Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian), dan Zainudin Amali (Menteri Pemuda dan Olah Raga). Ekonomi jeblok Pada tulisan kali ini, saya tak hendak menyentuh aspek hukum yang menyeret sembilan nama tadi pada kasus korupsi. Joko dan para hulubalangnya akan gampang mengelak, dengan mengatakan semuanya belum terbukti di pengadilan. Tentu saja, argumen itu benar. Tapi siapa pun tahu, di negeri ini politik bisa mengendalikan dan mempermainkan hukum. Jadi, sudahlah... Sejatinya, masalah yang kini Indonesia hadapi adalah ekonomi yang jeblok. Pertumbuhan yang macet. Utang yang tembus Rp5.000 triliun. Terjadi deindustrialiasi yang tak terbendung. Pengangguran yang membangkak dan lapangan kerja yang entah untuk siapa. Kita juga mengalami kemiskinan yang tak kunjung turun secara berarti. Harga-harga yang terus melambung. Pajak yang mencekik. Joko sepertinya tahu benar fakta ini. Tapi pada pidato pelantikannya, dia telanjur mengumbar mimpi, bahwa pendapatan rakyat Indonesia bakal mencapai Rp27 juta per bulan. Pertanyaanya, apakah dia tahu bahwa agar penduduk berpendapatan Rp27 juta per bulan pada 2045, itu artinya Indonesia harus tumbuh 7,5% sampai 8% setiap tahun berturut-turut selama 26 tahun ke depan? Padahal, fakta menunjukkan selama lima tahun terakhir (dan itu artinya, selama pemerintahan Joko periode pertama) ekonomi kita cuma berkutat di angka 5%? Stigma radikalisme Tapi, entah karena bisikan siapa, Joko kini sibuk mengalihkan perhatian rakyat pada isu radikalisme. Itulah sebabnya, para menterinya rajin menggonggong soal ini di kementerian masing-masing. Dan, yang membuat darah naik ke ubun-ubun, tudingan radikalisme para pejabat publik tersebut diarahkan kepada Islam dan ummat Islam. Bahkan, Fachrul Razi yang jadi menteri agama pun mengaku secara khusus mendapat perintah dari mantan Walo Kota Solo itu untuk memerangi radikalisme. Razi, misalnya, begitu diangkat langsung proklamasi bahwa dia bukanlah menteri agama Islam. “Saya adalah Menteri Agama Republik Indonesia. Di dalamnya ada agama-agama lain,” ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (23/10). Tapi anehnya, tak lama berselang, dia langsung menebar ancaman kepada para ustadz dan penceramah yang dianggapnya menebar radikalisme dan perpecahan. Pertanyaan mendasar buat Razi, katanya anda bukan menteri agama (hanya) Islam melainkan juga agama-agama lain, tapi kenapa tudingan radikalisme dan perpercahan bangsa hanya anda tujukan kepada para ustad dan kyai? Bagaimana dengan para pendeta di gereja, biksu di vihara, tokoh agama di pura dan lainnya? Apa menurut anda mereka pasti tidak radikal? Lalu parameter radikal seperti apa? Apakah ustadz yang menyampaikan dalil Qur'an dan Sunnah kepada kaum muslimin masuk katagori radikal? Bagaimana dengan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu? Apakah ini juga pasal ini termasuk radikal? Setali tiga uang, Mahfud MD yang diangkat sebagai Menko Politik Hukum dan Keamanan pun berkoar seputar memerangi radikalisme. Profesor hukum tata negara ini terbilang rajin menebar stigma negatif kepada Islam dan ummatnya. Bahkan sikap ‘permusuhannya’ kepada agamanya sendiri telah tampak jauh sebelum diangkat sebagai menterinya Joko. Masih ingat ketika dia mengatakan, Prabowo menang di provinsi-provinsi yang radikal? Narasi yang dikembangkan sesaat usai dilantik jadi menteri, sama dengan Razi, soal masjid yang dia stigma jadi ajang penyebaran kebencian. Sebetulnya sangat mengherankan, jika seorang Mahfud yang berlatar belakang madrasah dan nahdiyin bisa begitu memusuhi Islam. Itu barangkali seorang warganet beragama nasrani Sad Ronin @wawat_kurniawan menulis, “pak @mahfudmd kalau anda tidak yakin agama yang anda yakini itu benar dan baik serta pembawa kedamaian, mending ikut saya pak ke gereja.” Pengalihan isu Heboh narasi radikalisme yang dinyanyikan para menteri baru tentu bukan tanpa sebab. Tokoh nasional Rizal Ramli menenggarai hal ini sebagai upaya pengalihan isu dari ketidakmampuan pemerintah mengatasi masalah ekonomi yang nyungsep. “Setahun ke depan agaknya akan digoreng terus isu 3R (radikalisasi, radikulisasi & radikolisasi),” tulis RR, begitu dia biasa disapa, di akun twitternya @RamliRrizal, Ahad (27/10). Pada titik ini, kemarahan rakyat, terutama yang beragama Islam, memang layak disemburkan kepada Joko, tim ekonomi, khususnya Machfud dan Razi. Sebagai orang Islam, sudah semestinya saya akan mengerahkan semua kemampuan dan sumber daya yang saya miliki agar bisa melaksanakan semua ajaran Islam. Ini wajar dan normal. Sewajar dan senormal warga negara Indonesia yang beragama lain. Dan, kini rezim Joko menjadikan Islam dan ummatnya sebagai musuh yang musti ditumpas. Wahai penguasa, kalau benar orang Islam radikal, tentu tidak akan ada WNI yang beragama selain Islam karena semua sudah dibunuhi olang orang Islam. Tidak ada rumah ibadah selain masjid dan mushola karena yang lain sudah dirubuhkan oleh orang Islam. Faktanya justru sebaliknya. Kendati muslim mayoritas, agama lain bisa tumbuh dan berkembang secara baik. Pemeluk agama lain bukan cuma dilindungi dan dihormati, mereka bahkan bisa dan boleh meraih puncak jenjang karir dalam pangkat dan jabatan. Tak terhitung jumlah kepala daerah, jenderal dan menteri yang beragama bukan Islam. Soal toleran dan cinta mati NKRI, ummat Islam sudah khatam, bahkan sejak negara ini belum berdiri. Sebagian besar, kalau tidak disebut semua, pahlawan beragama Islam. Banyak dari mereka yang ulama, kyai, dan santri. Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Sentot Alibasyah, dan lainnya jelas berpakaian ulama. Dengan pidato menggelegar dan berulang menyebut Allahu akbar, Bung Tomo menggelorakan semangat jihad arek-arek Suroboyo mengusir tentara sekutu dari Surabaya. Hasilnya, sekutu pergi walau harus ditebus dengan lebih dari 6.000 anak muda yang mati syahid, in sya Allah. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Hasjim Asyhari, Ahmad Dahlan, Agus Salim, Natsir, Wahid Hasyim, Kasman, Abikusno, Roem, Soepomo, dan teramat banyak yang lain adalah muslim. Lalu, apakah mereka ngotot menghendaki dan memaksa Islam sebagai dasar negara? Tidak, kan? Cuma segitu? Mosok profesor sekelas Mahfud tidak bisa melihat kenyataan ini? Mosok jenderal seperti Razi tidak tahu fakta ini? Terus terang, selain marah saya kasihan kepada kalian. Profesor dan jenderal kok cuma segitu! Jadi, sudahlah. Berhentilah rezim ini menebar stigma radikalisme terhadap Islam dan ummat Islam. Masalah yang Indonesia hadapi sama sekali bukan radikalisme. Masalah kita adalah ekonomi yang terpuruk, pendapatan rakyat merosot, beban hidup yang teramat berat. Problem superberat lain adalah korupsi. Korupsi yang begitu massif telah merenggut hak-hak rakyat. Jangan lupa, para pelaku korupsi adalah merekaa yang selama ini paling nyaring berteriak saya pancasila, NKRI harga mati. Mereka itulah yang radikal yang sesungguhnya. Baiknya mulai sekarang, kalian bekerja bahu-membahu meningkatkan ekonomi kita. Joko dan kabinetnya harus ekstra sungguh-sungguh memerangi korupsi. Bukan sebaliknya malah melemahkan KPK. Dengan begitu, barulah kita boleh berharap rakyat bisa hidup sejahtera! [*] Jakarta, 29 Oktober 2019 Edy Mulyadi, wartawan senior
Menag Ketemu UAS, Mau Memeriksa Hadits Yang Sensitif?
Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Menteri Agama Jenderal (Purn) Fachrul Razi dikabarkan akan menemui penceramah kondang Ustaz Abdul Somad (UAS). Pertemuan tersebut merupakan bagian dari agenda Fachrul untuk merangkul segenap komponen masyarakat demi kepentingan bangsa. (28/10). Sebelumnya, Menag menegaskan agar ustadz-ustadz tidak menyampaikan konten ceramah yang memuat ayat atau hadits sensitif. Pertemuan ini, tentu menimbulkan praduga publik tentang rencana eksekusi para ustadz agar lolos verifikasi unsur 'sensitif' di dalam penyampaian ayat maupun hadits. Menag mengakui UAS memiliki peran dan berjuang untuk bangsa. Meskipun, dia juga memiliki penilaian ada satu dua butir ceramahnya yang menurutnya tidak pas. Menag mengaku memiliki kewajiban untuk menyampaikan itu. Pada artikel yang berjudul 'REZIM JOKOWI SEMAKIN REPRESIF TERHADAP ULAMA ?' penulis telah membuat analisis adanya pola baru yang memungkinkan bagi rezim untuk melakukan sejumlah 'intimidasi struktural', memaksa ulama untuk masuk 'meja perundingan' yang telah dipersiapkan rezim. Dalam negosiasi perundingan itulah, para ulama akan dihadapkan pada tiga opsi utama : Pertama, para ulama kritis yang menyampaikan sejumlah dalil untuk mengoreksi rezim, baik dalil dari al Quran maupun as Sunnah diminta untuk menarik diri dari aktivitas dakwah amat ma'ruf nahi munkar, serta menjadi satu kesatuan bersama rezim untuk mensyiarkan sejumlah dalil yang akan mengokohkan kedudukan rezim. Kedua, jika ulama kritis tidak mau menjadi ulama yang mendukung rezim, yang melegitimasi kekuasaan rezim dengan mencari kutipan dalil Al Quran maupun AS Sunnah, agar memilih diam dan fokus menyampaikan dakwah tentang akhlak dan kebajikan persoanal individual. Ketiga, ulama yang masih tetap nekat berdakwah dan menjelaskan syariah apa adanya, tetap mengutip dalil dari Al Quran dan AS Sunnah tanpa pilah pilih, tetap mengoreksi kezaliman rezim dan menolak melegitimasinya, akan diancam dengan sejumlah konsekuensi, termasuk akan dikriminalisasi. UAS nampaknya akan menjadi ulama pertama yang ditarget rezim. Pertemuan ini, merupakan langkah negosiasi untuk memaksa UAS memilih satu diantara tiga pilihan. Mau tunduk kepada rezim dan menerima sejumlah kompensasi, memilih untuk tiarap (diam), atau ditekan dan dikriminalisasi jika masih melawan rezim. Jadi, pertemuan Menag dengan UAS bukan untuk memferifikasi hadits yang disampaikan UAS. Sebab, secara keilmuan bisa apa Fahrur Razi dibandingkan UAS kalau bicara hadits ? Atau Menag mau menggunakan tangan kekuasaan untuk memberi stempel hadits yang disampaikan UAS sensitif ? Ini merupakan aksi nyata bahwa rezim memang ingin membungkam dakwah Islam, rezim menjadi pihak yang menyeleksi hadits berdasarkan arogansi kekuasaan. Berdalih ceramah sensitif, ayat sensitif, hadits sensitif, rezim akan mengunci dan menutup rapat syiar dakwah dan agama Islam menggunakan otoritas kekuasaan. Karenanya, semua ustadz, ulama, mubaligh, advokat, akademisi, tokoh Islam dan segenap umat Islam wajib bergandengan tangan untuk saling melindungi. Semboyan umat harus berani menjadi martir bagi ulama, sementara ulama siap menyongsong Syahid demi menjaga kemuliaan Dien Islam. Ya Allah, selamatkanlah umat dan agama ini. Amien. [].
Bicara Radikalisme, Jangan Lupa Korupsi dan UU KPK
By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tudingan dan labelisasi radikalisme terhadap umat Islam, dipastikan tidak akan berhenti. Para penguasa rakus, oligarki berbasis uang, golongan anti-Islam, kekuatan asing dan entah siapa lagi, akan berkolaborasi memusuhi Islam dan umat Islam. Ini akan terus berlangsung. Mereka itu dibantu oleh kelompok-kelompok liberal dan sekte sesat. Mereka akan senantiasa melakukan “concerted effort” (tindakan berjemaah) untuk melecehkan, meremehkan dan melemahkan umat Islam. Kalau melemahkan Islam, pasti tidak mungkin. Karena Islam itu urusan Allah SWT. Yang mereka lakukan adalah langkah-langkah untuk memojokkan umat Islam. Supaya umat tak berkutik. Agar umat ketakutan. Sekali lagi, proyek ini akan berlanjut dan berkepanjangan. Sebab, proyek ini adalah sumber uang dan sumber utang. Baik. Saat ini, kita sudah cukup bernarasi tentang rencana busuk mereka untuk menghancurkan umat Islam. Kita semua sudah paham apa tujuan mereka. Dan kita pun sudah hafal gerak-gerik mereka. Cukuplah itu. Sekarang, kita kembali ke isu korupsi. Kita harus kembali mempersoalkan langkah terkutuk pemerintah dan DPR dalam melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Presiden Jokowi belum juga menerbitkan Perppu yang membatalkan pemberlakuan UU KPK hasil revisi. Boleh jadi juga tak akan pernah diterbitkan. Jangan sampai kita lupa pada masalah yang sangat urgen ini. Korupsi dan KPK perlu kita pertanyakan terus. Radikalisme tak akan pernah selesai. Sangat mungkin isu radikalisme itu, hari ini, sengaja diapungkan (being afloated) agar publik lupa dengan penghancuran KPK. Supaya publik tidak ingat dengan pembunuhan terhadap KPK. Kalangan mahasiswa sudah menyampaikan tuntutan kepada pemerintah agar membatalkan UU KPK hasil revisi. Sebab, UU ini jelas diolah untuk menjadikan KPK sebagai “singa ompong” dan tak berkuku. KPK bakal dikendalikan oleh Dewan Pengawas (DP) yang akan dibentuk oleh pemerintah atau DPR, atau oleh keduanya secara bersama-sama. DP adalah borgol yang diikatkan ke tangan KPK. Badan antikorupsi ini tidak bisa lagi melakukan penyadapan telefon secara bebas. Harus diizinkan dulu oleh Dewan. Kalau penyadapan tidak dibolehkan, itu berarti selesailah kisah-kisah heroik KPK dalam melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan). Dengan kehadiran DP, tampilan KPK berubah total. Wajah lembaga antikorupsi itu menjadi kunyu, gembel, loyo. Matanya kabur. Kupingnya pekak. Ototnya lisut. Tak bertenaga. Begitulah gambaran tentang KPK di bawah UU hasil revisi. KPK dihajar habis oleh DPR. Dalam kondisi lungai, KPK dibawa oleh Presiden Jokowi ke klinik bedah plastik untuk ganti kelamin. Agar tidak lagi garang. Masih adakah peluang untuk menyelamatkan KPK dari bedah plastik? Kelihatannya masih bisa. Kalau kita semua berperan. Mari kita persoalkan terus pemberantasan korupsi yang kini dilemahkan oleh DPR. Terutama oleh PDIP. Kenapa PDIP? Karena merekalah yang paling keras bersuara di DPR agar KPK dihancurkan.[] 29 Oktober 2019