Iuran BPJS Batal Naik, Pemerintah Tarik Suntikan Dana?
Oleh Mochamad Toha
Jakarta, FNN - Mungkinkah Menkeu Sri Mulyani tetap ancam tarik suntikan dana Rp 13,5 triliun dari BPJS, setelah Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan Judicial Review (JR) atas kenaikan iuran BPJS melalui Presiden lewat Perpres Nomor 75 Tahun 2019?
Jika Sri Mulyani tetap ngotot dan benar-benar menarik dana Rp 13,5 triliun dari BPJS, jelas ini suatu “pembangkangan” hukum karena tidak menghormati putusan MA tersebut. Presiden Joko Widodo bisa langsung memecatnya sebagai Menteri Keuangan.
Seperti dilansir Kompas.com, Selasa (18/02/2020, 15:19 WIB), dalam Rapat Gabungan yang meminta agar iuran untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri BPJS Kesehatan batal dinaikkan, Menkeu menanggapi permintaan anggota DPR.
Menkeu mengatakan, pihaknya bisa saja menarik kembali dana Rp 13,5 triliun yang sudah disuntikkan ke BPJS Kesehatan untuk membayarkan iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) pemerintah pusat dan daerah yang naik dari Rp 23.500 menjadi Rp 42.000.
Selain itu, Menkeu juga menyesuaikan iuran Peserta Penerima Upah (PPU) pemerintah, yaitu TNI, POLRI dan ASN yang ditanggung oleh pemerintah di mana tarifnya menjadi 5 persen dari take home pay sebesar Rp 8 juta menjadi Rp 12 juta.
Pasalnya, BPJS Kesehatan berada dalam kondisi keuangan defisit mencapai Rp 32 triliun pada 2019.
“Jika meminta Perpres dibatalkan maka Menkeu yang sudah transfer Rp 13,5 triliun 2019 saya tarik kembali,” ujar Sri Mulyani ketika memberikan penjelasan kepada anggota DPR di Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Sri Mulyani mengatakan, dalam memberikan jaminan sosial kepada masysarakat, pemerintah juga perlu memerhatikan kondisi keuangan negara. Ditambah lagi, pemberian jaminan sosial terutama dalam hal kesehatan perlu dilakukan secara berkelanjutan.
Namun demikian, BPJS Kesehatan sebagai lembaga yang memberikan pelayanan tersebut justru mencatatkan defisit sejak 2014.
“Sejak program jaminan sosial dilaksanakan 2014 BPJS terus mengalami defisit dengan tren semakin besar tiap tahun. Itu semua harus diakui karena fakta. Tahun 2014 defisit Rp 9 triliun, kemudian disuntik Rp 5 triliun. Tahun 2016 turun Rp 6 triliun dan disuntik Rp 6 triliun,” ujar dia.
Jumlah defisit tersebut kembali meningkat pada 2017 yang sebesar Rp 13 triliun dan pada 2018 sebesar Rp 19 triliun.
Menurut Sri Mulyani, dengan kondisi saat ini BPJS Kesehatan belum mampu memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran kepada mitra kerjanya yaitu rumah sakit. Padahal banyak pula rumah sakit yang sedang dalam kondisi sulit.
“Sistem BPJS kita tidak mampu memenuhi kewajibannya dari sisi kewajiban pembayaran. Padahal disebutkan BPJS maksimal 15 hari membayar. Namun banyak kewajiban BPJS Kesehatan yang bahkan sampai lebih dari 1 tahun tidak dibayarkan,” ujar Sri Mulyani.
“Banyak rumah sakit mengalami situasi sangat sulit,” jelas dia. Tampaknya, desakan politis anggota DPR tersebut tidak mempan. Pemerintah tetap saja melanjutkan keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut.
Berdasarkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019, iuran Kelas III dinaikkan menjadi Rp 42,000 per bulan dari Rp 25,500. Kelas II dinaikkan menjadi Rp 110,000 dari Rp 51,000. Dan, Kelas I dinaikkan menjadi Rp 160,000 dari semula Rp 80,000.
Bagi banyak peserta, kenaikan iuran ini sangat membebani mereka. Tetapi, pemerintah tidak mendengarkan keluhan rakyat. Pemerintah membuat dan memberlakukan kebijakan secara otoriter. Kenaikan tersebut dinilai tidak wajar.
Namun, pada Senin (9/3/2020), MA membatalkan kenaikan iuran yang harus mereka bayar sejak 1 Januari 2020. MA mengabulkan gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang dilayangkan awal Desember 2019.
Komunitas mengatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sangat tidak masuk akal. Melalui Advokat Muhammad Sholeh, SH, Kusnan Hadi, seorang pedagang kopi, mengajukan JR ke MA terkait Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tersebut.
Menurut Sholeh, kenaikan iuran ini dianggap memberatkan. Pasalnya, besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan mencapai dua kali lipat dari tarif sebelumnya.
“Kami menggugat Perpres 75/2019 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan karena situasi ekonomi saat ini masih sulit. Tidak pas kalau kenaikan sampai 100 persen," ujar Sholeh melalui pesan singkat yang dilansir dari CNNIndonesia.com, Sabtu (2/11/2019).
Sholeh mengatakan, kenaikan iuran BPJS ini memberatkan warga khususnya yang tinggal di daerah. Sebab, terdapat perbedaan penghasilan orang yang tinggal di Jakarta dengan sejumlah daerah di Indonesia lainnya. Padahal kenaikan iuran ini berlaku secara nasional.
“UMK di Jakarta sebutlah Rp 4 juta, sementara di daerah ada yang cuma Rp 2 juta. Maka menyamakan kenaikan ini memberatkan warga yang ada di daerah,” katanya.
Kenaikan iuran ini, lanjut Sholeh, juga tidak diiringi dengan pelayanan maksimal dari rumah sakit. Selama ini pasien yang berobat dengan BPJS Kesehatan kerap ditolak karena sejumlah persyaratan administrasi.
Sementara pihak BPJS Kesehatan sendiri juga tak pernah mengambil sikap atas permasalahan tersebut. “Selama ini BPJS tidak pernah mendampingi pasien di rumah sakit. Banyak orang sakit yang ditolak karena tidak bawa rujukan berjenjang dan BPJS diam saja,” ucap Sholeh.
Menurut Sholeh, pemerintah sebaiknya membubarkan BPJS Kesehatan jika memang tak bisa dikelola dengan baik. Apalagi, selama ini BPJS Kesehatan cenderung merugi hingga triliunan rupiah.
Sholeh berharap MA membatalkan Perpres tersebut dan mengembalikan pada Perpres Nomor 82 Tahun 2018.
“Ketika rugi dibebankan ke peserta BPJS. Lebih baik bubarkan saja dan kembali ke sistem lama di mana pemerintah hanya menanggung orang miskin ketika sakit, bukan seperti BPJS yang mensubsidi orang kaya yang sakit,” tuturnya.
Apa yang diharapkan Sholeh, ternyata dikabulkan MA. MA mengabulkan JR Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan tersebut. Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020.
“Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata juru bicara MA, hakim agung Andi Samsan Nganro saat berbincang dengan Detik.com, Senin (9/3/2020).
Majelis hakim diketuai Supandi, anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi. Menurut MA, Pasal 34 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan Pasal 23 A, Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat 3 UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
“Bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial. Bertentangan dengan Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 171 UU Kesehatan,” tegas majelis.
Pasal yang dinyatakan batal dan tidak berlaku berbunyi:
Pasal 34
(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp 42.OOO,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O.
Dengan dibatalkannya pasal di atas, maka iuran BPJS kembali ke iuran semula, yaitu:
a. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas 3
b. Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas 2
c. Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas 1
Sebelumnya, Presiden Jokowi telah menandatangani Perpres 75 Tahun 2019 yang memuat ketentuan iuran baru BPJS Kesehatan. Beleid itu mengatur iuran untuk kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu per bulan per peserta.
Sementara, untuk kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu, dan kelas I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu. Secara persentase, kenaikan rata-rata mencapai 100 persen.
Kebijakan ini menuai protes dari berbagai kalangan, masyarakat, pengamat, hingga serikat pekerja. Semoga putusan MA ini melegakan mereka!
***
Penulis wartawan senior.