RUU Omnibus Cipta Kerja VS Pancasila, “Dimana BPIP Ngumpet?”

By Margarito Kamis

Jakarta FNN - Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP), entah apa penyebabnya, sejauh ini tidak mendatangi rakyat Indonesia dengan pikiran-pikiran mereka tentang artikulasi Pancasila dalam RUU Omnibus Cipta Kerja. Padahal dalam kenyataannya, RUU multispektrum ini, telah menarik begitu banyak pikiran kritis. Langgamnya jelas, kelak bila diterima jadi UU, diyakini bakal menyengsarakan. Bukan bakal menyenangkan rakyat.

Menariknya, BPIP telah begitu bergairah memasuki panggung bernegara dengan serangkaian gagasan. Setidaknya pikiran-pikiran kritisnya. Itu terlihat di pekan-pekan sebelumnya. Jadilah pekan-pekan itu sebagai pekan yang gaduh. Gaduh karena pikiran-pikiran yang terlontar, terlihat tidak terkerangkakan secara konseptual.

Tetapi apapun itu, soalnya sekarang adalah mengapa BPIP diam dalam isu RUU Cipta Kerja ini? Apa karena kegaduhan yang melilit BPIP beberapa waktu lalu itu menjadi penyebab terbesarnya? Apakah BPIP memandang Pancasila hanya relefan dibicarakan, sejauh menyangkut tindak-tanduk sebagian atau seluruh ummat Islam?

Apa Pancasila hanya dibicarakan dalam konteks radikalisme, intoleransi dan sejenisnya yang diasosiasikan secara signifikan pada Ummat Islam? Apa Pancasila hanya relefan dibicarakan untuk memastikan integrasi sosial ditengah pluralisme? Bila hanya itu relefansinya, apakah BPIP hendak mereduksi level Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup, filsafat berbangsa dan bernegara?

Sebagai dasar negara, sebagai filsafat bernegara dan sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, Pancasila tidak bisa direduksi sekadar sebagai timbangan terhadap tindak-tanduk sosial dan kultural individu atau kelompok. Tidak bisa. BPIP, layak dibayangkan, harus memasuki isu hukum. Beralasan BPIP menakar setiap RUU. Bukan hanya RUU ini, tetapi juga UU lain dengan Pancasila.

Dalam konteks itu, BPIP perlu berurusan dengan teknis penalaran hukum atas teks dalam pasal, ayat dan huruf RUU atau UU. BPIP perlu menakar level nilainya, level meta yuridisnya dan konsekuensi-konsekuensi implisitnya. Khusus meta yuridis, harus dikatakan dimanapun, selalu bertalian dengan nilai-nilai fundamental. Bukan pasal demi pasal atau UU itu saja, melainkan juga pandangan hidup sebuah bangsa di balik pasal-pasal tersebut.

Pancasila dengan kelima silanya itu harus. Dengan demikian, diterima tanpa reserve sebagai genus nilai dalam pembentukan hukum. Pada konteks itu, BPIP layak mendemonstrasikan pikiran-pikiran brilian megenai derajat nilai kemanusiaan dalam pasal demi pasal RUU ini.

BPIP mesti dapat memastikan bahwa kemanusiaan yang dikonsepkan RUU ini senafas dengan nilai kemanusiaan yang terkonsep dalam Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Bukan kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab.

Menciptakan lapangan kerja, yang secara konstitusional tertakdir sebagai kewajiban pemerintah. Sepintas terlihat hebat. Tetapi tidak cukup hanya sampai disitu. Mengapa? Pancasila mengharuskan lapangan kerja yang tercipta itu menjadi sarana idiologis untuk “mengadabkan” manusia Indonesia. Poin idiologisnya adalah lapangan kerja yang diciptakan itu harus membuat pekerja mampu menghasilkan kehidupan yang adil, beradab dan bermartabat.

Rasanya agar konsep kemanusiaan yang adil dan beradab itu teralisasikan, bukan didengungkan begitu saja oleh BPIP. Untuk itu, BPIP harus memiliki kriteria idiologis tentang, misalnya konsep kerja yang menurut satuan waktu. Konsep kerja satuan waktu ini terlihat dari rumusan waktu kerja, seminggu sekian jam atau sehari sekian jam.

Konsep itu melahirkan konsekuensi kerja “jam-jaman.” Hebat bila BPIP dapat memproyeksikan konsekuensi legal dan teknisnya. Konsekuensi teknis legal yang saat ini dapat dibayangkan adalah korporasi dapat secara bebas dan leluasa menggunakan pasal “bekerja berdasarkan jam-jaman.” Ini masalahnya. Apakah konsep ini senafas dengan kriteria idiologis Pancasila? Apakah BPIP memiliki criteria itu?

Yang saya maksudkan dengan kriteria idiologis adalah konsep itu harus menghasilkan kepastian bagi setiap pekerja merencanakan kehidupannya. Dengan merencanakan kehidupan masa depannya, maka mereka dapat hidup dengan level martabat dan adab yang diimpikan Pancasila. Masalahnya, apakah BPIP memiliki kriteria dan penalaran yang khas tentang itu?

BPIP, mesti mempertimbangkan apakah logis “bekerja jam-jaman”? Tetapi kepada pekerja tidak diberikan, misalnya hak pensiun atau pesangon? Andai dianggap logis. Tidak diberi hak pensiun atau pesangon, karena sifat kerjanya adalah yang jam-jaman. Bukan bekerja secara permanen, maka soal idiologis segera muncul.

Apa itu soalnya? Soalnya adalah beradabkah membangun sistem kerja yang tidak berkepastian bagi pekerja? Beradabkah menciptakan lapangan kerja bagi setiap orang yang memasukinya, tetapi tidak memilki dasar untuk membayangkan, apalagi merencanakan kehidupan masa depannya?

Konseptualisasi kerja jam-jaman, harus diakui, telah menjadi hal biasa dalam tatanan kerja universal. Terlihat jelas pola itu disajikan sebagai salah satu cara paling tepat dan unggul. Yang memungkinkan sebagian negara, terutama liberal ke level ekonomi hebat. Liberalisasi tenaga kerja asing terlihat biasa saja dalam konteks ini.

Korporasi, asing maupun dalam negeri, akan menerima sistem ini sebagai sistem yang hebat. Mereka terbebas dari berbagai kewajiban yang selama ini teridentifikasi memberatkan. Masalahnya, pasal 27 dan pasal 33 UUD 1945 menggariskan prinsip khusus yang harus dituruti oleh pemerintah.

Pasal 27 mengharuskan pemerintah menomorsatukan Warga Negara Indonesia. Menyediakan mereka pekerjaan yang layak bagi perikemananusiaan dan perikeadilan. Perikemanusiaan dan perikeadilan yang dibayangkan sebagai cara menghasilkan kehidupan yang beradab dan bermartabat. BPIP harus dapat memastikan bahwa pemerintah merealisasikannya.

Tidak itu saja. BPIP harus pada setiap saat memastikan pemerintah membangun sistem ekonomi yang selaras dengan konsep kekeluargaan, ya "gotong royong". Tidak yang lain. Pasal 33 UUD 1945 sangat jelas dalam soal itu. Pasal ini juga jelas membebani pemerintah dengan kewajiban menciptakan sistem ekonomi yang tidak merusak lingkungan sekitar, termasuk tidak merusak masyarakatnya.

Lebih jauh menurut pasal 33 UUD 1945, juga mengharuskan pemerintah menciptakan sistem ekonomi yang efisien. Tetapi efisiensi yang digariskan pasal 33 UUD 1945 adalah efisiensi yang tidak “memberangus” nilai keadilan. Efisiensi tipikal ini tidak memiliki makna lain selain “efisiensi” yang menghidupkan perikemanusiaan. Praktis ini eifisiensi berkarakter idiologi Pancasila.

Efisiensi jenis itu jelas bukan efisiensi liberal. Bukan juga efisiensi klasik maupun modern, yang bertumpu pada kebebasan berkontrak. Konsep kekebasan berkontrak, khas liberal, klasik maupun modern bertumpu pada otonomi individu. Dalam konsep ini, otonomi individu tertakdir menjadi genusnya dan kekebasan berkontrak menjadi sui generisnya sendiri, dan hanya itu dalam karakter ikutannya. Ini bukan pola hubungan hukum hubungan kerja khas yang dikehendaki oleh pasal 33 UUD 1945.

Bila BPIP memiliki kehendak memasuki isu hukum, maka menarik menantikan bagaimana BPIP menjelaskan dengan langgam kongklusif nama RUU ini. Namanya RUU Cipta Kerja, tetapi isinya mencakup berbagai isu. Itukah yang menjadi soal? Tidak. Yang menjadi soal adalah bagaimana BPIP menjelaskan genus RUU ini, dan sui generisnya.

Sesuai namanya, maka cipta kerja harus dianggap dan diterima sebagai genus RUU ini. Tetapi mengapa terdapat pengaturan mengenai investasi, izin dan lain sebagainya ikut menjadi materi muatan yang bersifat integral dalam RUU ini?

Apakah pemerintah menggunakan penalaran berdasarkan genus proximum et diferentiam spesificam? Terus terang nalar ini cukup sulit diterapkan dalam RUU ini. Mengapa? Izin lingkungan, Amdal, dan sertifikasi halal misalnya, jelas bukan satu bentuk terdekat sui negeris. Bukan pula “diferentiam spesificam” pada konsep cipta kerja.

Sungguh terlihat banyak kekaburan penalaran menyertai RUU ini. Soal ini logis dibayangkan sebagai masalah dasar RUU ini. Mengapa? RUU ini, kelak setelah menjadi UU tidak bakal menghasilkan kepastian hukum. Padahal kepastian hukum menjadi jantung dari hukum. Watak objektif dari hukum terletak ada kepastian hukum. Sekali watak ini hilang, maka yang muncul adalah tindakan sewenang-wenang.

BPIP pada titik itu, logis untuk memasuki isu ini. Tentu saja dengan menggunakan atau menyodorkan pertimbangan dan penalaran idiologis yang berbasis Pancasila. Pancasila yang tidak mungkin memberi toleransi pada kesewenang-wenangan. Pasti itu tidak mungkin. Tetapi kesewenang-wenangan itu sangat mungkin bisa terjadi, karena kekaburan konsep dasar dari RUU ini.

BPIP mau tidak mau harus menemukan cara. BPIP harus keluar untuk menyelaraskan RUU ini, khususnya materi muatan dalam pasal, ayat dan huruf, dengan nilai-nilai kebesaran Pancasila. BPIP tidak boleh hanya jago dalam berwacana sekitar radikalisme dan intoleransi.

BPIP harus mengerti lebih dari siapapun di Indonesia bahwa UU merupakan cara sebuah bangsa menciptakan tatanan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya ada hak dan kewajiban yang menemukan bentuknya yang kongkrit. Akhirnya mari menantikan pikiran-pikiran BPIP tentang Pancasila yang terkait dengan RUU ini.

Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

2839

Related Post