OPINI
Wahai Para Taipan dan Konglomerat di Manakah Kau Berada?
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Presiden Jokowi sudah memutuskan tidak akan melakukan lockdown. Bagi yang paham, keputusan itu tidak mengagetkan. Sudah bisa diduga. Urusannya tidak jauh-jauh dari soal keterbatasan anggaran, namun punya ambisi gede di proyek mercusuar. Pemerintah tidak akan mampu menanggung beban dan konsekuensi anggaran bila harus melakukan lockdown? Sebenarnya tidak juga begitu. Hanya konskuensinya sangat besar. Di tengah ambisi rezim Jokowi yang gila-gilaan menggenjot proyek infrastruktur. Termasuk membangun ibukota baru. Kalau harus dialihkan ke biaya sosial dan ekonomi sebagai dampak mengatasi penyebaran corona, semuanya bisa berantakan dong. Bagaimana komitmen dengan para cukong? Bagaimana komitmen dengan negara donor? Terus warisan apa pula yang akan ditinggalkan oleh Jokowi? Infrastruktur tidak. Ibukota baru tidak. Ekonomi juga tidak. Kohesi bangsa berantakan. Semua itu harus dilupakan. Nah inilah yang jadi dilema besar. Tak perlu heran bila pemerintah tampak ragu, bingung, gagap dan walhasil membuat keputusan yang hanya bikin geleng-geleng kepala publik. Tapi marilah kita lupakan semua itu. Tak ada gunanya kita teriak-teriak: lockdown…lockdown. Teriak dan ngedumel korban terus bertambah. Fasilitas kesehatan sudah overloaded. Tenaga medis kewalahan. Sudah banyak dokter dan tenaga medis yang gugur karena alat pelindung diri (APD) tak memadai. Semuanya percuma. Kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah memang beda kok. Jadi untuk apa harus dipaksakan? Masak masih tidak paham juga? Lebih baik energi yang ada kita manfaatkan untuk hal-hal yang positif. Kalau pemerintah tidak juga melakukan lockdown, ambil inisiatif sendiri. Tak usah bepergian. Jaga jarak. Hindari kerumanan dan kegiatan berupa pengumpulan massa. Semua aktivitas cukup dilakukan di dalam rumah. Kalau semua melakukan langkah itu, kan sama juga dengan lockdown. Bila pemerintah tak mampu menyediakan anggaran untuk para pekerja formal yang terpaksa harus tetap bekerja, agar tetap makan, kita juga bisa mengambil inisiatif sendiri. Tidak usah besar-besar. Coba perhatikan lingkungan di sekitar. Siapa saja saudara, tetangga, para kaum fakir miskin yang kemungkinan bakal tidak makan. Kita bisa patungan. Kumpulkan kan duit, bahan pangan, minuman. Bagikan kepada mereka. Yang punya uang lebih, silakan borong sembako. Bukan untuk ditimbun. Bagikan kepada warga yang membutuhkan. Kalau ini menjadi gerakan nasional, Insya Allah tidak akan ada yang mati kelaparan. Lebih advance lagi bila kita juga bisa mengumpulkan dana untuk membantu para tenaga medis membeli alat pelindung diri (APD). Harganya sangat mahal. Hanya boleh sekali pakai. Jangan lupa juga perhatikan keluarga para pahlawan medis. Mereka ditinggalkan berhari-hari. Berjuang di medan tempur terdepan, mempertaruhkan nyawa. Tidak pulang ke rumah demi menyelamatkan nyawa saudara-saudara kita yang sakit. Demi nama baik bangsa di mata dunia. Sudah enam orang dokter yang gugur. Mereka adalah keluarga para pahlawan pejuang! Jangan sampai terlantar. Malu kita sebagai bangsa yang besar! Peran Para Pengusaha Kita patut juga mengapresiasi dan meneladani sejumlah pengusaha yang mengambil inisiatif menyumbangkan dananya. Pemilik kosmetik Wardah Nurhayati Subakat menyumbang sebesar Rp 40 miliar untuk peralatan medis di beberapa RS. Pengusaha Sandiaga Uno melalui program OK OCE menyediakan dana untuk keluarga yang para kepala keluarga positif corona. Pengusaha yang tergabung di KADIN bekerjasama dengan Yayasan Buddha Tzu Chi mengumpulkan dana untuk membeli alat test cepat corona. Targetnya dana yang terkumpul Rp 500 miliar. Pengusaha Tommy Winata melalui Yayasan Artha Graha Peduli membangun tiga rumah sakit lapangan yang lengkap di komplek SCBD Jakarta. Tapi mana aksi taipan dan konglomerat lain? Terutama yang namanya bertengger dalam 100 orang terkaya di Indonesia? Data yang dilansir oleh Political Economy and Policy Studies (PEPS) menyebutkan, harta empat orang terkaya Indonesia setara dengan lebih dari 100 juta orang miskin di Indonesia. Artinya apa? Kalau 100 orang ini kompak menyisihkan sebagian kecil saja hartanya. Sekali lagi hanya sebagian kecil saja, maka kita tidak perlu khawatir ada yang mati kelaparan karena tidak bekerja selama beberapa bulan. Ironisnya seperti yang disampaikan oleh Dirut PT Garuda Irfan Setia Putra, kita malah menghadapi sebuah anomali. Tiba-tiba penerbangan Garuda ke Singapura full. Mereka bahkan menambah frekuensi penerbangan karena tingginya permintaan. Banyak yang berbondong-bondong mengungsi ke negeri jiran itu. Padahal Singapura memberlakukan aturan ketat. Semua pengunjung harus menjalani karantina selama 14 hari. Mereka juga harus bisa menunjukkan bukti tempat tinggal tetap di Singapura. Dengan syarat ketat semacam itu, kita menjadi tahu kelompok mana yang mampu melakukannya. Mereka adalah orang-orang kaya, super kaya. Orang-orangnya ya itu-itu juga. Kelompok yang sering disebut sebagai the crazy rich. Kelompok yang kayanya gak ketulungan. Kita bisa gila membayangkannya. Buat mereka masa bodoh apa yang terjadi di Indonesia. Yang penting mereka sudah selamat sendiri. Nanti ketika Indonesia sudah aman, baru pulang. Kembali mengeruk kekayaan. Bukankah dalam situasi ekonomi yang kacau balau justru disitulah peluang besar buat mereka? Wahai para taipan dan konglomerat. Kemanakah dan dimanakah kau berada? End Penulis wartawan senior.
Para Rambo di Medan Perang Corona
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - "Innalillaahi wa inna ilaihi roji’uun...telah berpulang ke rahmatullaah, sejawat kami, adik kami, yg kami sayangi dan hormati, dr Hadio Ali Sp.S, pagi ini pukul 04.00, dg ARDS berat positif Covid 19.” “Semoga Allah memaafkan semua kesalahannya dan mengampuni dosa2nya, membebaskannya dari azab kubur, serta memberikan tempat terbaik baginya di surga, aamiin yaa robbal alamiin…” Pesan yang disampaikan dr Ani Hasibuan Sp.S di sebuah WAG itu dengan cepat menyebar. Ucapan bela sungkawa, duka cita, dan doa bersahut-sahutan. Hadio Ali Khazatsin dokter spesialis syaraf lulusan FK UI itu hanya salah satu dari tenaga medis yang meninggal dunia, setelah berjibaku di medan tempur menghadapi wabah Covid-19. Sebelumnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengakui tiga orang anggotanya meninggal dunia karena terpapar virus corona. Dua lainnya dokter senior ahli bedah dr Djoko Judodjoko asal Bogor, dan dr Adi Mirsa Putra juga dinyatakan meninggal dunia. Selain ketiga dokter itu seorang perawat di RSCM, Jakarta juga dilaporkan meninggal dunia. Gubernur DKI Anies Baswedan, Jumat (20/3) mengakui 25 orang petugas medis di Jakarta positif Covid 19, satu di antaranya meninggal dunia. Meninggalnya para petugas medis ini selain mengundang kesedihan, sekaligus mengundang keprihatinan dan kekhawatiran. Bayang-bayang bahwa bahwa kita tak akan pernah memenangkan pertempuran melawan corona, berada di pelupuk mata. Peristiwa itu menunjukkan betapa rentannya para petugas medis yang berada di medan tempur terdepan, perang menghadapi Covid-19. Selain karena faktor kelelahan, mereka harus menghadapi realitas keterbatasan fasilitas RS dan alat pelindung diri (APD). Mereka seperti Rambo —jagoan dalam film Holywood— yang harus bertempur tanpa senjata dan alat pendukung yang memadai. Jadilah Rambo yang loyo! Dalam situasi negara menghadapi bencana, tenaga medis —terutama para dokter— adalah aset penting yang harus benar-benar dilindungi. Mereka lah pasukan yang berada di garda terdepan. Bila sampai mereka kewalahan, apalagi tewas di medan laga karena tak terlindungi dengan baik, siapa yang akan membantu warga. Wabah akan menyerbu warga tanpa ampun. Jangan sampai ada yang anggap enteng, anggap remeh dan berkata, “ah kan baru tiga orang saja.” “ Ah itu kan risiko dari sebuah pilihan profesi.” Sejak awal para dokter sesungguhnya telah menyampaikan kekhawatirannya. Mereka tidak akan mampu mengatasi perang melawan corona, bila jumlah pasien meledak. “Bantu kami menahan laju penyebarannya. Bantu kami mengurangi jumlah korban,” ucap Jubir RS Persahabatan, Jakarta dr Erlina Burhan berulang-ulang pada program ILC TV One. Karena itu mereka sangat mendukung dan menyerukan adanya gerakan social distancing (menjaga jarak), menghindari kerumunan, dan mengurangi aktivitas di luar rumah. Syukur-syukur kalau pemerintah berani melakukan lockdown, setidaknya untuk Jakarta dan wilayah lain yang menjadi episentrum penyebaran virus. Ketika pemerintah sudah memutuskan tidak melakukan lockdown, masyarakat harus mengambil inisiatif sendiri. Tidak usah melow dan marah-marah. Negara tidak hadir melindungi rakyatnya. Toh kita sudah terbiasa Para tenaga medis telah melancarkan kampanye “ *Kami Tetap Di Rumah Sakit DEMI ANDA. Anda tetap di rumah DEMI KAMI.”* Apa sih susahnya? Sayangnya masih banyak masyarakat yang menganggap remeh. Banyak di antaranya yang menggunakan alasan keyakinan dan agama. Himbauan pemerintah, fatwa MUI dan himbauan para pemuka agama dianggap sebagai angin lalu. Seruan Presiden Jokowi untuk bekerja dan beraktivitas dari rumah, tak digubris. Ada yang masih bersikap santai, dan menganggap remeh persoalan. Mereka tetap berkeliaran dan beraktivitas seperti biasa. Kegiatan keagamaan tetap normal, mall dan pusat pertokoan tetap buka, pesta pernikahan tetap digelar. Di Samarinda seorang wakil walikota malah menggelar pesta pernikahan besar-besaran. Puluhan ribu orang diundang. Dia berkilah tawakal dan berserah diri kepada Allah SWT. Seorang netizen menyebut perilaku semacam ini sebagai COVIDIOT. Perpaduan antara virus Covid-19 dan kelakuan idiot. Egois dan dungu! Mereka tidak berpikir perilakunya bukan hanya membahayakan diri sendiri, tapi juga orang lain. Perilakunya bisa menyebabkan jumlah positif corona meningkat dan para tenaga medis tak mampu melayani. Perilaku Covidiot ini tentu saja tidak berlaku bagi para pekerja harian. Mereka yang hanya bisa makan bila tetap bekerja. Mereka dihadapkan pada pilihan: Tetap bekerja dan terpapar corona. Atau tidak bekerja, dan keluarga mati kelaparan. Tugas pemerintah untuk membantu dan memikirkannya. Pilihan Sulit Para ahli sudah mengingatkan kemungkinan jumlah penderita di Indonesia akan meningkat drastis. Fasilitas kesehatan dan tenaga medis tidak akan memadai. Dari ke hari jumlah yang positif terpapar dan meninggal dunia juga meningkat signifikan. Ada yang menduga jumlah sesungguhnya jauh lebih besar. Ada yang tak terdiagnosa dan tidak tercatat. Jangan sampai kita mengalami peristiwa memilukan seperti Itali. Para dokter dihadapkan pilihan sangat-sangat sulit. Mereka terpaksa memilih (filterisasi) pasien mana yang masih bisa diselamatkan dan mana yang tidak. Mereka tutup mata dan membiarkan pasien yang secara medis tak mungkin lagi diselamatkan. Biasanya yang menjadi korban filterisasi adalah pasien yang berusia tua. Seorang dokter disumpah untuk menghormati kehidupan. Satu nyawapun, bahkan sejak masih berbentuk janin harus dihormati. Namun ketika jumlah pasien membludak tak tertangani. Tenaga dan kemampuan terbatas. Nyawa mereka sendiri terancam. Apa yang harus dilakukan. Mereka terpaksa harus memilih. Sungguh sebuah dilema profesi yang sangat berat. Bukan hanya tragedi atas profesi kedokteran, tapi menjadi tragedi bangsa. End Penulis wartawan senior.
Stop, Jangan Jadi Agen Covid-19
Masker susah dan harganya selangit. Itu ujian bagi bangsa ini. Di saat-saat sulit selalu saja ada "iblis kapitalis datang beraksi". Bukannya nyumbang, malah cari keuntungan. Berharap pemerintah menertibkan. Lebih baik membagikan saja dengan gratis. Tidak sekedar janji. Duit dari mana? Pajak dari rakyat sudah dibayarkan pak! By Tony Rosyid Jakarta FNN – Minggu (22/03). Hanya 15 persen yang positif Covid-19 ketahuan gejalanya. Mungkin bisa batuk, sesak nafas dan demam. Ini gejala umum, kata orang medis. Sisanya sekitar 85 persen lagi, nggak ada tanda-tandanya. Jika angka positif Covid-19 day to day naik drastis, karena mereka memang tak dikenali gejalanya. Tahu-tahu sudah parah. Dua-tiga hari, pek dan mati. Terutama terhadap mereka yang daya tahan tubuhnya (imunnya) lemah. Usia 0-40 tahun, umumnya relatif kuat daya tahan tubuhnya. Meski tak menjamin. Di atas usia 40 tahun, rentan. Kenapa petinju disarankan pensiun usia 40 tahun, karena fisik sudah mulai melemah. Di atas usia 50, 60, 70 tahun, jauh lebih rentan. Ini bicara kondisi secara umum. Artinya, di atas usia 40 tahun mesti lebih waspada. Jaga stamina, hidup sehat dan lebih disiplin lagi. Usia 0-40 tahun? Tak menjamin fisik anda semuda usia anda. Apalagi jika anda perokok, suka begadang, jarang olah raga, asupan makanan tak bergizi, kerja lelah atau stres, maka akan rentan juga. Yang sehat? Jangan jadi agen virus. Anda kuat, dan daya tahan tubuh anda bagus, tapi anda membawa virus kemana-mana. Anda menularkan virus ke banyak orang. Diantara mereka mati gara-gara tertular dari anda. Dosakah? Pasti! Apapun agama anda, itu dosa sosial. Itu dosa kemanusiaan. Karena anda sengaja berkeliaran di luar, berinteraksi dengan banyak orang, bersalaman dan nongkrong yang tak perlu. Jika kita cinta bangsa ini, jangan menjadi agen virus. Caranya? Stay di rumah. Diem di rumah. Kecuali ada urusan dan kebutuhan super urgent. Itupun mesti dilakukan dengan cara-cara sehat. Apa cara yang sehat? Jangan bersentuhan dengan orang lain, meski salaman. Jaga jarak 1,5 meter. Upayakan pakai masker. Ini baru betul-betul "Pancasilais dan pro NKRI". Masker susah dan harganya selangit. Itu ujian bagi bangsa ini. Di saat-saat sulit selalu saja ada "iblis kapitalis datang beraksi". Bukannya nyumbang, malah cari keuntungan. Berharap pemerintah menertibkan. Lebih baik membagikan dengan gratis. Tidak sekedar janji. Duit dari mana? Pajak rakyat sudah dibayarkan pak! Cara murah dan paling aman memang stay di rumah. Keluar rumah hanya untuk keperluan yang sangat penting. Tapi, bagaimana dengan para pedagang kecil, uangnya hanya untuk hidup satu-dua hari? Dilematis! Memang, betul-betul dilematis. Pilih nyawa atau makan? Gak makan, mati juga. Disini pemerintah harus hadir. Sinergi pemerintah pusat dan daerah. Atasi mereka. Dari mana anggarannya? Dari pagu kegiatan lain. Batalkan, atau setidaknya kurangi anggaran-anggaran untuk kegiatan lain. Perjalanan dinas, studi banding, pembelian kebutuhan yang bisa ditunda tahun depan, hentikan pembangunan infrastruktur, dan seterusnya. Alokasikan dana-dana itu untuk tangani para pasien covid-19 dan dampak ekonominya. Termasuk untuk para perdagang asongan itu. Gak melanggar aturan? Ubah aturannya. Jangan rakyat mati karena kakunya aturan. Aturan dibuat untuk selamatkan dan sejahterakan rakyat. Bukan untuk bunuh rakyat! Kalau anggaran sudah disiapin, paksa rakyat stay di rumah. Bukan himbauan lagi. Instruksikan! Pemerintah buat aturan dan mekanismenya. Detail, lengkap, jelas dan pastikan tersosialisasikan ke rakyat. Dan yang terpenting, dijalankan! Sabtu kemarin ( 21/3) enam orang mati. Entah besok dan besoknya lagi. Tak banyak waktu bagi pemerintah untuk "istiharah" politik. Itu nanti. Lebih baik lakukan ikhtiar kesehatan dan ekonomi. Selamatkan dulu rakyat dengan merumahkan mereka untuk sementara waktu, sehingga tidak menjadi agen penyebaran dan korban covid-19 Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Corona Buka Mata Kita Kalau “Negara Miskin,Taipannya Kaya Raya”
By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Minggu (22/03). Jika kita googling "anggaran coronavirus", google memberitahu catatan mulut menteri keuangan beberapa hari terkahir soal anggaran coronavirus ke depan. Terkahir disebutkan sebesar Rp 62 triliun. Sebelumnya Rp 50 triliun, sebelumnya lagi Rp 27 triliun, sebelumnya lagi Rp 8,5 triliun dan sebelumnya lagi antara Rp 5-10 triliun. Roy Salam, dari Budget Center menutup hasil searching itu dengan mengatakan bahwa anggaran "Bencana Non Alam" sebagaimana akan ditetapkan oleh rezim Jokowi untuk kasus coronavirus tidak ada dalam klausul UU APBN 2020. Harus diubah undang-undangnya dulu. Nah, artinya rencana Sri Mulyani itu masih angan-angan saja. Angka-angka rencana anggaran yang terus meningkat. Namun tetap sebagai rencana berjalan seiring dengan meroketnya coronavirus di udara republik ini. Korban terus berjatuhan, frontliner alias jajaran medis rumah sakit mulai kewalahan. Juru bicara pemerintah si Fadjroel Rahman, eh bukan. Maksudnya juru bicara pemerintah untuk urusan Covid-19, Achmad Yurianto, hari demi hari muncul berwibawa di televise. Dia mengumumkan angka-angka kematian yang terus meninggi. Negara Republik Indonesia yang kata mulut-mulut elit kuasa sudah masuk negara besar jajaran G-20. Sudah dinyatakan oleh pemerintah Amerika sebagai negara maju. Juga sudah dinyatakan oleh PBB sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Indonesia sudah diprediksi menjadi negara terkaya keempat di dunia tahun 2050. Yang melakukan memprediksi tersebut adalah Pricewaterhouse Copeers. Akibatnya, Jokowi dan LBP memperkirakan rupiah meroket ke Rp 10.000 per dollar. Sekarang ketahuan belangnya, kalau Indonesia hanyalah negara miskin yang tak berdaya ketika diserang virus corona. Negara tetangga Malaysia tidak sedang menghitung rencana-rencana. Mereka sudah menetapkan anggaran perang coronavirus ini sebesar Rp 76 triliun atau setara dengan U$ 4,8 milyar. Angka ini untuk penduduk Malaysia sebanyak 32 juta jiwa. Tidak lebih banyak dari penduduk Jawa Barat. Mesir sudah menetapkan anggaran di atas Rp 100 triliun. Belanda menetapkan anggaran 65 milyar Euro yang setara dengan U$ 70 milyar dollar. Berapa nilai rupiahnya? Silahkan hitung saja sendiri. Negara Miskin, Taipannya Kaya Setelah ketahuan sebagai negara miskin, kita mengetahui yang kaya di Indonesia adalah taipan-taipan. Berbagai media telah memberitakan kebaikan-kebaikan taipan itu berjasa dalam mengatasi wabah ini. Sinar Mas Group, Adaro Energi, Artha Graha, Djarum, Agung Sedayu, Indofood, Puradelta, dan Triputra. Secara terpisah Charoen Poekpand Indonesia memberi batuan via Yarsi, Wardah Group ke beberapa rumah sakit, Sandi Uno ke Ok Oc. Yayasan Buddha Tzu Chi ke Nahdatul Ulama dan lain-lain. Bahkan berita-berita dan medsos di republik ini banyak mengunduh terima kasih Jack Ma, pengusaha RRC, sudah kirim bantuan ke mana-mana. Namun, dibalik kebaikan taipan-taipan tersebut, akhirnya kita mengetahui bahwa selama 75 tahun Indonesia merdeka, fungsi negara untuk melindungi segenap tumpah darah kita, telah diambil alih swasta. Sedangkan negara masih berdebat soal realokasi anggaran. Jika seorang menteri Republik Indonesia yang membawahi seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), membanggakan terima kasih pada swasta-swasta, maka negara telah kehilangan kebanggaan. Sejarah negara di Indonesia terkesan hampir berakhir. Fakta negara miskin sudah tidak usah dipungkiri lagi. Jangan ada lagi dusta diantara kita. Jangan ada puja sana puji sana, sukses sana sukses sini, berhasil sana berhasil sini. Kita juga tidak sedang menihilkan arti kebaikan orang orang kaya dalam situasi seperti ini. Semua kita anggap dan masukan saja dalam kerangka mereka punya maksud baik. Tanpa melupakan urusan perampokan Jiwasraya dan lain-lain. Lalu Bagaimana ke depan? Pembicaraan kita fokus tetap pada pertanyaan, kenapa 75 tahun Indonesia merdeka, negaranya masih miskin? Sedangkan taipan-taipannya yang kaya raya? Kekayaannya menyebar di dimana-mana. Menyebar sampai ke luar negeri. Kekayaannya tujuh turunan tidak habis-habis. Negara yang didesain oleh "founding fathers", Sukarno dan kawan-kawan, bukanlah negara yang miskin. Sedangkan para taipannya yang kaya raya. Negara yang didesain sejak mengusir penjajah kulit putih adalah untuk membuat semua orang-orang sawo matang alias pribumi menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Menjadi kaya di negerinya ini. Untuk itu langkah pertama Sukarno dan kawan-kawan selama 25 tahun pertama Indonesia merdeka, yaitu mengambil alih semua kekayaan yang dimiliki Belanda. Semuan kebon, hutan, tambang, ladang minyak, rel kereta api, airport, Java Bank, dijadikan m ilik Indonesia. Langkah kedua Sukarno dan kawan-kawan adalah membangun ekonomi sosialistik. Yakni membangun kekayaan kolektif bagi semua, oleh semua. Artinya kekayaan yang diciptakan bukan untuk segelintir orang. Juga bukan untuk dimiliki serta dikerjakan segelintir orang. Kini, setelah sekian lama kita merdeka, ternyata negara kita tidak menunjukkan arah sebagaimana founding fathers itu merencanakan. Ketimpangan kepemilikan asset, khususnya dalam situasi krisis, memperlihatkan rakyat tidak berdaya. Rakyat mirip pengemis di mata orang-orang kaya. Situasi ini adalah kekonyolan yang harus di ubah. Sebuah bangsa dan sebuah negara adalah eksistensi di atas semua institusi yang ada. Negara harus dijadikan ultimate goal penyerahan kedaulatan individual ke dalam kedaulatan kelompok besar, atau bangsa, atau negara. Jika penyerahan kedaulatan itu bisa dikalahkan oleh sub kedaulatan, seperti taipan-taipan ini, maka ke depan semua harus dirombak ulang. Penutup Wabah Coronavirus telah membuka mata kita sebagai negara yang tidak berdaya. Sesungguhnya sudah tidak berdaya untuk memenuhi janji membangun rumah-rumah hancur gempa di Lombok. Gelontorkan uang untuk selamatkan nyawa manusia terlambat sekali, dibandingkan berbagai negara lain di dunia. Untuk negara sedang seperti Malaysia dan Mesir saja, susah bisa ditandingi. Apalagi negara kaya seperti Belanda dan Amerika. Akhirnya, negara mengundang swasta untuk mengatasi situasi buruk yang ada. Kita tak perlu berprasangka negatif atas kebaikan swasta-swasta ini. Namun kita tidak boleh membiarkan negara di bawah kendali swasta. Sebab, swasta itu pasti hukum kebaikannya adalah prinsip ekonomis "dengan modal sekecil- kecilnya, untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya". Alasan lainnya, bahkan mungkin yang utama, negara adalah ultimate goal dari penyerahan kedaulatan individual. Tidak ada gunanya negara jika kedaulatan individu sudah diambilnya. Sayangnya, negaranya tak berdaya untuk menyelamatkan kedaulatan indidual tersebut. Ke depan, jika wabah coronavirus berhasil mereda, kita harus mendorong negara dan bangsa kita dikembalikan oada cita-cita pendiri bangsa (founding fathers) kita. Negara adalah satu satunya tempat perlindungan segenap tumpah darah kita. Pesan ini dimuat dalam konstitusi. Sebuah jalan sosialistik. Atau bisa juga mengambil arah sesuai jalan Habib Rizieq Sihab, Negara Bersyariah. Yang jelas negara harus ubber alles, di atas taipan-taipan swasta. Bukan di bawahnya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Don't Be Stupid, Indonesia
Oleh Tiar P. Guilliano Jakarta, FNN - Kesalahan atau kekeliruan Italia yang berakibat fatal hingga mengakibatkan ribuan warganya terjangkit virus COVID-19, dengan angka kematian 627 per 24 jam. Hari ini mencapai 3400 jiwa dengan prediksi akan terus bertambah, bukanlah tragedi kemanusiaan yang bisa dipandang sebelah mata! "This .. this is like the end of the world.. for all citizens, Tiarrr...!!" Seru RW, jurnalis sekaligus News Anchor TV Euronews dalam obrolannya dengan saya via video call. Dia agak geregetan karena reaksi saya dilihatnya terlalu datar ketika topik kami mulai mengarah pada kebijakan yang ditempuh Pemerintah Indonesia, tidak segera mengambil kebijakan lockdown seperti negara-negara lain, dan hanya menghimbau warganya untuk Social Distancing. Itu pun suara Jakarta. Daerah lain adem ayem alias cuek bebek. Italia negara yang sudah maju dan modern saja akhirnya kewalahan mengatasi pandemi virus Corona. Setiap hari rumah sakit harus menerima pasien baru sekaligus kematian yang jumlahnya sampai ratusan orang. Sementara tim medis yang dikerahkan dari seluruh negeri satu persatu mulai bertumbangan. Jika bukan karena keletihan ya pasti tertular! Belum lagi jenazah-jenazah yang disimpan di ruangan selama berhari-hari karena harus antri untuk dikremasi, dan kurangnya stock peti mati pun jadi penghambat utama. Hal ini membuat para petugas pemakaman nyaris depresi, dan ikut tumbang, terutama di perfektur Bergamo yang paling banyak makan korban Corona. Mayat- mayat diletakkan begitu saja di ruang terbuka, hanya dibungkus plastik, saking fully book-nya kamar penyimpanan jenazah. Menurut teman saya ini, tingkat kematian di Indonesia akan jauh lebih mengerikan dari pada Italia dalam beberapa hari ke depan, mengingat lambannya tindakan preventif dari awal juga meremehkan hal-hal kecil yang membuat sesuatu berakibat fatal. Dan ketika seluruh negara di dunia menutup diri demi mencegah penyebaran semakin luas, Indonesia akan ditinggal sendiri. Waduuh..!! Saya jelas worry teramat sangat. Tapi ya saya harus bagaimana?! Lagian siapa sih saya ini?! Saya 'kan bukan pejabat, bukan anggota dewan yang terhormat, bukan kader partai hantu blau, apalagi bukan tokoh masyarakat yang suaranya tentu ada yang mendengar. "I'm nobody, Ross," kalimat itu berkali-kali saya tekankan. Dgn harapan teman saya akan bisa memahami betapa sulitnya untuk hidup sehari-hari bagi warga+62, apalagi bersuara di rezim now. Ibarat benang kusut, terlalu kompleks dan ruwet problematika Indonesia. Bahkan bisa jadi hati nurani pemangku kekuasaannya sudah karatan. Jangankan masalah virus mematikan yang jelas bukan berasal dari dalam negeri, wong kematian 700 anggota KPPS di Pilpres kemarin saja cuma lalu bersama angin. Terlampau murah harga nyawa manusia di negeri +62. Ketidakadanya sikap transparan dan informatif pemerintah terhadap ancaman wabah Corona, membuat rakyatnya yang sudah susah masih harus bergelut dengan maut tanpa perlindungan. Rakyat bagai budak yang cuma diperas tenaganya setiap hari, dimanipulasi kepolosannya, dan hanya diberi perhatian semu manakala suara dibutuhkan saat pemilihan. Yang lebih menjengkelkan lagi ada pejabat yang serius mau mencegah penyebaran virus kian meluas demi keselamatan warganya, malah dibilang retorika politik. Ajang cari panggung. Hadeuuh.. pingin banget rasanya saya nyiram air panas ke mulut manusia-manusia yang kualitas otak dan hatinya in-teleekkk macam itu. Bukannya yuuk duduk bersama bahu membahu gelontorkan dana buat kepentingan tim medis, menjamin kebutuhan pokok rakyat biar rakyat merasa gak sendirian, jika memang kas negara kosong tak ada dana untuk menanggulangi wabah virus eh, ini baru ada wacana potong gaji bagi para pejabat saja mereka sudah mati-matian menolak. Pakai dalih masih kurang pula. Dasar!!! Namun menurut teman saya sikap pasif saya justru salah. Dia tahu saya aktif di sosmed, jadi seharusnya lebih gigih menekan, minimal sekali gencar menyuarakan secara masif agar Indonesia segera mengambil sikap tegas dengan me-lockdown wilayahnya. Ajak para netizen utk bersatu dan bersuara lantang demi kebaikan bersama. "Don't be stupid!" Dia mengingatkan, "Italy suffers from neglect..!!" Iya juga sih. Dan sekarang membuat cemas negara-negara tetangganya. Meskipun, ini saya bukan membela mati-matian ya. Sebenarnya Pemerintah Italia cukup cepat bereaksi ketika ditemukan tiga orang turis China terjangkit virus di Roma. Pemerintah sudah amat transparan dan informatif. Tapi emang dasar org Italia terkenal santai, dihimbau tinggal di rumah malah keluyuran terus. Kalau gak ngobrol di warkop kayaknya kurang asik. Walhasil orang yang sudah positif kena virus Corona menulari orang lain lagi tanpa disengaja. Lalu warga di daerah yang telah dinyatakan Red Zone ramai-ramai kabur ke daerah yang aman dengan naik transportasi umum. Bayangkan, berapa org yg sudah mereka tulari? Barulah setelah Pemerintah menindak tegas dengan denda €206-350 atau kurungan tiga bulan bagi warga yang keluar rumah tanpa sertifikat sehat atau Surat Autocertificatezione mereka mulai patuh. Nah, apakah kita akan mengikuti jejak Italia? Kalau saya siih, mengutip syair lagu dari Ebiet G. Ade: Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau, Alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Mari kita coba bertanya pada rumput yang bergoyang. Mumpung kita masih diberi waktu..! Note: Right or wrong is our country. Ayolaah kita semua tumbuhkan kesadaran utk turuti anjuran Pemerintah tinggal di rumah dan bekerja di rumah untuk sementara waktu.. Jangan kayak saya keluyuran terus! Penulis wartawan senior.
Komisi III DPR Harus Bongkar Mafia TKA China, Bukan Salahkan Polisi
By Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Sabtu (21/030). Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), yang mengepung Indonesia hari-hari ini mengawali penyebarannya dari Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei, Republik Rakyat China (RRC). Entah karena itu atau bukan, tetapi Donald Trump, Presiden Amerika Serikat menyebut “Virus China”. Terang saja China protes. Trumph dianggap tidak memahami pengorbanan rakyatnya, berjuang menyelamatkan ummat manusia. Trumph malah dianggap rasis. Dan Trump? Ya seperti biasanya, tak peduli dengan omongan orang lain. Trump mungkin saja jengekel, karena virus itu mengganggu ketenangan hidup rakyatnya. Sama dengan Amerika, negerinya Trumph itu, di Indonesia, negeri yang dipimpin Jokowi setelah memenangkan pemilu mematikan sekitar tujuh ratusan Petugas Pemungutan Suara (PPS) juga sedang oleh dikepung virus mematikan ini. Sama dengan China, rakyat Indonesia juga terlihat panic. Setidaknya was-was menghadapi virus ganas ini. China boleh bernapas lega. Karena kecenderungan fatal yang dibawa virus ini terlihat mulai terkendali. Kota Wuhan perlahan-lahan terlihat hidup kembali. Tetapi Indonesia? Semakin Gawat. Kecenderungan wilayah penyebarannya meluas. Dari ke hari dalam seminggu jumlah kasus orang terinfeksi terus meninggkat. Yang mati juga terlihat sama, meningkat. Yang sembuh ada juga. Celakanya, di tengah mengganasnya serangan yang virus mematikan ini, eh pekerja-pekerja asal China malah datang. Setelah transit di Thailand, mereka masuk ke Indonesia. Masuknya melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dari Jakarta, mereka yang berjumlah 49 orang tersebut terbang ke Kendari, Sulawesi Tenggara melalui Bandara Haluoleo. Terang saja dan normal saja, kalau orang-orang Kendari, bahkan siapapun yang ada di Bandara malam itu terpana, terperanga, heran atau apapun namanya. Ko, bisa-bisanya mereka dating, di tengah virus mematikan yang berawal dari negerinya. Virus tersebut sekarang lagi mengepung negeri ini. Mereka lenggang kangkung datang untuk bekerja di PT Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI) yang berlokasi di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. PT VDNI adalah perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergerak di bidang industri pengalohan atau pemurnian biji nikel (smelter). Perusahaan milik China ini sudah beroperasi sejak 5-6 tahun yang lalu. Terdorong oleh rasa itu atau bukan, normal saja kalau orang mengambil foto. Tentu saja ambil fotonya diam-diam atas pekerja illegal asal China itu. Logis saja orang menganggap aneh atau apapun namnya dengan kedatangan mereka. Bagaimana tidak aneh, negerinya sendiri belum benar-benar beres dari virus. Sementara negeri kita sedang terkepung oleh virus yang memeatikan ini, eh mereka malah datang. Logis bila orang tak habis piker dengan kenyataan ini. Foto diri tibanya 49 TKA China di Bandara Haluoleo lalu viral. Difoto dan diviralkan oleh Hariono yang ketika itu berada di bandara Haluoleo. Hebohlah jagad media sosial. Sial bagi Harjono. Malam itu juga Harjono ditangkap oleh Polisi Militer (PM) Lanud Bandara Haluoleo. Selanjutnya, Harjono diserahkan ke Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara untuk dimintain keterangan lebih lanjut. Kabarnya, ada orang meminta kepada Kapolda agar Harjono ditahan. Namun menurut sejumlah sumber, Kapolda tidak mau mengiayakan permintaan tersebut. Sebagai Polisi beneran, maksudnya polisi yang profesional, Kapolda jelas tak bisa menahannya. Enak aja main minta orang ditahan. Tahan itu kalau peristiwanya benar-benar ada. Melakukan perbuatan melawan hukum yang memiliki sifat kejahatan, cukup alat bukti, ada saksi-saksinya, dan orang yang menjadi calon tersangka itu waras, tidak sinting, tidak gila. Tidak bisa asal tahan begitu saja. Kalau semua syarat-syarat itu terpenuhi baru bisa ditahan. Itu hanya bisa dilakukan setela diperiksa secara professional. Ini malah datang-datang minta ditahan. Enak aja. Ini bukan negara bandit. Ini negara hukum, malah negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Ini negara punya KUHAP. Nah di KUHAP itulah yang mengatur syarat-syarat untuk bisa menahan seseorang. PT VDNI Tampung TKA Ilegal Eh tindakan pemeriksaan itu, juga viral di media sosial. Lalu seperti terskenario, ramai-ramai orang salahkan Kapolda Sulewesi Tenggara. Ada yang minta agar Kapolda harus dicopot lah, beginilah, begitulah. Macam-macam. Ganas betul nadanya. Terus-terusan begitu dalam beberapa hari. Kewarasan orang terlihat melayang, dan hilang seketika. Tak lagi mampu berpikir cermat. Komisi III DPR malah lebih galak lagi. Rencananya mau minta penjelasan ke Kapolri, kelak setelah reses. Keras betul nadanya. Modalnya ya hanya Polda periksa seseorang yang memviralkan foto kedatangan TKA asal China. Cuma hanya itu. Payah betul DPR kita ini. Belakangan setelah heboh pemeriksaan itu, barulah diketahui mereka adalah TKA illegal asal China. Negeri yang miliki Wuhan sebagai Ibu Kota Hubei RRC. Tempat asal-muasalnya virus mematikan ini bermula. Mestinya Komisi III memiliki kepekaan politik kelas tinggi. Mestinya Komisi III bergegas membuka kotak Pandora tentang hal-ihwal pekerja asal China di PT VDNI. Mestinya Komisi III menghidupkan memori tentang adanya sekitar 5.000–10.000 TKA China di Sulawesi Tenggara, yang selama ini menggunakan fasilitas Visa Kunjungan untuk bekerja di PT VDNI. Praktek penggunaan fasilitas Visa Kunjungan untuk bekerja di VDNI sudah berlangsung lama sekali. Sudah bertahun-tahun sejak PT VDNI berdiri di Kabupaten Konawe. Kabarnya, praktek ini diback up sepenuhnya anggota menteri di Kabinet Jokowi sekarang. Namanya Menteri ASU (Atasi Semua Urusan). Seharusnya, praktek busuk dan illegal, yang sudah berlangsung dan bertahun-tahun ini yang dibuka oleh Komisi III DPR. Praktek ini sepintas terlihat banyak tenaga kerja asing di Indonesia. Namun tidak ada pemasukan kepada negara dari TKA China yang menggunakan Visa Kunjungan tersebut. Kalau TKA China itu masuk resmi sebagai pekerja, maka mereka wajib membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 100 dollar per orang setiap bulan. Praktek kotor inila yang wajib untuk dibuka dan dibongkar oleh Komisi III DPR. Bukan malah main langsung-langsung minta penjelasan ke Kapolri. Ah, payah juga ni Komisi III. Bukan Negeri Bandit & Cukong Apa yang salah dari pemeriksaan Harjono di Polda Sultra itu? Apakah peristiwa mengambil foto itu tidak ada? Apakah Harjono sampaikan informasi yang sifatnya mengarang bebas dotcom atau menyebarkan informasih hoax? Apa mengambil foto itu adalah rekayasa Polisi semata? Apa pengambilan foto dan menyebarkannya itu tidak pernah ada? Apakah Polisi yang menangkap Harjono situkang foto itu? Kalau pengambilan foto yang akhirnya viral itu tidak ada, maka bagaimana bisa mengetahui peristiwa kedatangan TKA Ilegal China itu bisa muncul di media sosial? Bagaimana memastikan semuanya itu? Dengan cara apa? Kalau tidak memeriksa, lalu pakai cara apa untuk mengetahuinya? Gebuk buk-buk? Begitu yang harus dilakukan oleh Polda? Enak aja, main salah-salahin Polda Sultra. Dengan atau tanpa klarifikasi Polda lebih dahulu ke Kepala Bandara Halueleo. Polda juga mengecek PT VDNI sebagai pengguna 49 TKA asal China. Pihak PT VDNI maupun Bandara Haluoleo memberikan jawaban yang seragam kepada Polda Sultra bahwa, “benar mereka akan bekerja di PT VDNI. Mereka bukan tenaga kerja baru di PT VDNI, tetapi yang baru selesai melakukan pernjangan Visa di Jakarta”. Kepala Imigrasi Imigrasi Sultra ketika dikonfirmasi Polda hari itu sedang tidak berada di Tempat. Jawabannya Kepala Imigrasi sedang berada di Jakarta. Informasih yang akurat dan sahih mengenai 49 asal-usul TKA asal China hanya datang dari Otoritas Bandara Haluoleo dan PT VDNI. Sampai disini, Polda Sultra berhak untuk memeriksa siapapun. Syaratnya, harus ada sebuah peristiwa, yang diduga sebagai peristiwa pidana. Ada orangnya yang diduga sebagai pelaku peristiwa tersebut. Sampai di situ titik. Begitulah cara hukum berbicara dan bekerja. Persoalan Imigrasi punya data yang berbeda, itu persoalan lain. Itu persoalan otoritas Imigrasi, baik yang di Jakarta maupun Wilayah Sulawesi Tenggara. Bukan lagi persoalan Polisi. Polisi baru bisa masuk ke persoalan itu bila diminta oleh otoritas imigrasi. Sebaliknya, bila ada peristiwa, yang diduga Polisi sebagai peristiwa pidana, maka dengan atau tanpa laporan masyarakat atau siapapun, Polisi berhak mengambi tindakan hukum, memeriksa. Jadi? Mari hidupkan kewarasan kita. Untuk apa? Supaya negeri ini perlahan-lahan berkembang jadi negeri beradab dalam urusan hukum. Negeri ini tidak menjadi negeri gossip hukum. Juga agar negeri ini tidak jadi negeri bandit-banditan. Tidak menjadi negeri cukong-cukongan hukum. Hukum itu memerlukan otak dan hati. Hukum memanggil kedua hal itu pada setiap detik kehidupan ini. Hukum itu tidak bisa ditegakan pakai emosi. Pakai sentiment ini dan itu. Politik yang diminta hukum adalah politik yang dapat ditakar nalarnya. Punya argumen, punya parameter objektif. Politik jenis itulah yang menjadi fondasi terbentuknya kehidupan hukum dan politik yang sehat. Politik yang menghasilkan masyarakat yang Baldatun Tayyibatun Warobbun Gafur. Begitu titah alamiah hukum. Sindikat TKA Ilegal China Komisi III saya sarankan buka mata. Buka hati dan hidupkan kepekaan politik mengenal soal TKA China ini, termasuk cara penanganan Corona ini. Komisi III harus tahu lebih jelas peristiwa ditolaknya TKA asal China yang kembali masuk ke Indonesia pada tanggal 19 Maret lalu. Ini adalah peristiwa kedua setelah peristiwa pertama. Saya sebut peristiwa 49 TKA heboh itu. Mengapa saya minta itu? Karena ada tiga hal. Pertama, pada peristiwa kedua, yaitu peristiwa tanggal 19 Maret, Otoritas Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta menolak masuk 43 TKA Asal China. Apa penyebabnya? Dilansir oleh RMol, 19/3/2020, mereka tidak lolos tes kesehatan dari otoritas kesehatan Bandara Soeta. Kedua, apa dasar tes kesehatan itu? Menurut Gidam seperti dilansir RMol pada tanggal yang sama, dasar tindakan itu adalah Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.7 Tahun 2020 Tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal Dalam Upaya Pencegahan Masuknya Virus Corona. Peraturan ditetapkan dan ditandangani pada tanggal 22 Februari 2020 lalu. Gidam juga menjelaskan, berdasarkan sertifikat kesehatan Bandara Soeta, mereka tolak 43 TKA asal China. Keputusan ini diambil berdasarkan rekomendasi otoritas kesehatan Bandara. Gidam menegaskan lebih jauh berdasarkan Visa yang dimiliki mereka menggunakan jenis Visa B.211, yaitu dalam rangka uji coba calon tenaga kerja asing di Indonesia. Ditambahkan juga, 43 TKA warga negara China itu datang ke Indonesia, lagi-lagi melalui atau transit di Thailand. Mereka diduga akan bekerja di PT VDNI di Konawe, Sulawesi Tenggara. Tuan-tuan Komisi III yang hebat-hebat harus tahu, bahwa Permenkumham No. 7 diatas menggantikan Peraturan Menteri Hukumham No. 3 Tahun 2020 Tentang Penghentian Sementara Bebas Visa Kunjungan, Visa dan Pemberian Izin Tinggal Keadaan Terpaksa Bagi Warga Negara Republik Tiongkok. Ketiga, apakah peraturan ini tidak berlaku untuk 49 TKA Ilegal asal China, yang berdasarkan pemeriksaan Tim Pemeriksa Kemenaker, yang dinyatakan oleh Dita Indahsari, Staf Khusus Menaker, illegal itu? Apakah 49 orang itu beres kesehatannya? Apa mereka bebas dari virus Corona mematikan itu? Apa mereka punya sertifikat kesehatan dari otoritas kesehatan Bandara Soeta? Tuan-tuan hebat di Komisi III DPR. Tuan-tuan harus gunakan kemuliaan politik yang tuan-tuan punyai untuk lebih cermat. Tuan-tuan perlu lebih cerdas lagi dari kecerdasan yang tuan-tuan sudah punyai untuk mengenali fenomena TKA asal China ini? Tidakkah tuan-tuian dapat mengetrti bahwa dalam waktu yang berjarak dekat, telah datang 92 orang TKA asal China? Apa tuan-tuan punya data akurat tentang jumlah TKA Asal China di Kendari? Apa tuan-tuan juga punya data akrat TKA asal China yang ada di Morowali, Sulawesi Tengah? Apa tuan-tuan juga punya data TKA asal China di Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara? Apa tuan-tuan juga punya data TKA asal China di Pulau Obi, Halmahera Seltan, Maluku Utara? Ah, tuan-tuan jangan sok jagoan pada soal pemeriksaan Polda terhadap Harjono, anak yang sudah menjadi Pahlawan itu? Tuan harus lebih jauh mengenal Permenkumham di atas. Corona menyarang, membabi buta, dan ganas. Orang-orang Indonesia lalu disuruh tinggal di rumah, tetapi Menteri Hukumham membikin kebijakan itu. Apa tuan-tuan tak punya kepekaan? Sudahlah tuan-tuan, waraslah. Tindakan Polda Sultra itu, tidak bisa dengan alas an apapun, atau sengaco apapun, mau diaggap salah, dan tidak masuk akal. Karena itu, tuan-tuan minta penjelasn ke Pak Kapolri. Susdahlah, mari kita gunakan akal waras, agar bangsa ini tetap menjadi yang waras di tengah Corona yang ganas dan mematikan ini. Penulis adalah Wartawan Senior
Satu Persatu Mati di Jakarta, Siapa Yang Salah?
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (21/03). Pek... Pek... Pek... Tumbang dan mati. Ini terjadi di China, Itali dan beberapa negara lain. Di Indonesia? Boleh jadi hanya menunggu waktu. Sudah 369 positif Covid-19. Sembuh 17 orang dan 32 meninggal. Cukup tinggi angka kematiannya. Sekitar 8,6 persen. Bandingkan dengan di Wuhan China, asal covid-19. 80.928 positif Covid-19. 70.420 sembuh. 4.245 meninggal. Hanya sekitar 4 persen. Secara medis, penanganan Rumah Sakit di China lebih baik dari Indonesia. Sementara tingkat penularan covid-19 punya pola yang sama di semua negara. Super cepat. Lihat angkanya, mula-mula Cuma 2 orang positif Covid-19 di Depok. Lalu 19, kemudian 27, naik lagi jadi 34, terus naik jadi 69, besoknya sudah 96, lalu 117, kemudian 134, naik 227, terus bertambah jadi 311. Dan kemarin sudah tembus angka 369. Besok? Dan besoknya lagi? Apakah termasuk anda yang tertular dan yang menularkan? Korban covid-19 terbanyak di Jakarta. 215 orang positif dan 17 orang meninggal. Sudah 13 orang yang sembuh. Untuk saat ini, yang meninggal lebih banyak dari yang sembuh. Di daerah lain bagaimana ? Belum ada yang sembuh. Dan covid-19 sudah sampai di seluruh Jawa, Bali, beberapa daerah Sumatera Sulawesi, dan Kalimantan. Tanggal 22 Januari, hampir dua bulan lalu, ketika di Indonesia belum ada pasien positif Covid-19, Anies kumpulkan jajaran Pemprov DKI. Untuk apa? Untuk koordinasi dan konsolidasi. Menyiapkan tenaga medis, alat medis dan SOP. Tujuannya, untuk menghadapi dan menangani wabah covid-19. Dinas kesehatan DKI konferensi Pers. Tanggal 29 Pebruari, Anies, atas nama gubernur DKI mengeluarkan Ingub terkait persiapan menghadapi wabah covid-19. Anies dibully. Di berbagai media sosial Anies dicaci maki. Dianggap telah membuat kegaduhan di masyarakat. Bikin panik orang! Kata mereka yang kebenciannya sudah diubun-ubun. Eskalasi kemarahan terhadap Anies juga semakin tinggi. Apa kesalahan Anies? Karena Anies memiliki data tentang penyebaran covid-19. Anies ahli di bidang statistik. Dan pernah menjadi asisten profesor untuk bidang statistik sewaktu kuliah di Amerika. Dibantu data dari ahli medis, Anies mulai hitung tingkat penyebaran covid-19. Pakai angka-angka. Ternyata, sangat cepat dan dahsyat penyebarannya. Di tengah para menteri dan staf istana bespekulasi bahwa Indonesia bebas covid-19, Anies justru siapkan jajaran pegawai pemprov DKI untuk menghadapi penyebaran covid-19. Tak tanggung- tanggung, Anies keluarin Instruksi Gubernur (Ingub) dan konferensi pers. Kenapa Anies melakukan itu? Karena Anies memastikan bahwa covid-19 akan masuk ke Jakarta. Anies punya data medis terkait covid-19, dan telah menghitung secara statistik penyebaran virus mematikan ini. Ini hitungan ilmiah, bukan hipotesis "nasi kucing" atau "imajinasi tropis". Saat itu, Anies dianggap penghayal kelas berat. Namun, dua hari berikutnya, yaitu tanggal 2 Maret, presiden Jokowi mengumumkan ada 2 orang di Depok yang positif Covid-19. Dan setelah itu, angkanya terus naik. Hari demi hari. Begitu juga orang yang mati. Berbagai rencana terukur telah dibuat Anies. Tutup semua tempat wisata dan CFD, batalkan event-event publik, batasi jam buka restoran, liburkan sekolah, dan anjuran kepada seluruh masyarakat DKI untuk jauhi kerumunan dan stay di rumah. Langkah Anies kemudian diikuti oleh wilayah dan daerah yang lain. Kecuali meliburkan sekolah, walikota Solo mengawali sehari sebelum Jakarta. Tetapi, jalanan di Jakarta masih ramai. Aktifitas perkantoran tetap berjalan. Di situlah covid-19 bergentayangan. Satu persatu positif. Sebanyak 17 orang mati dalam jangka waktu kurang dari dua pekan. Anies kurangi alat transportasi. Sebaliknya, ganjil genap dihentikan. Tujuannya? Supaya masyarakat Jakarta sadar, jangan pakai transportasi umum lagi! Resiko tinggi tertular dan menularkan. Terminal Busway maupun stasiun MRT/LRT berjubel orang. Gerutu, marah, bully, maki-maki dan sumpah serapah kepada Anies berhamburan keluar di media dan medsos. Anies tahu itu pasti akan terjadi. Masyarakat gak siap stay di rumah untuk bersama-sama menghindarkan diri jadi agen penularan covid-19. Ada otoritas yang nggak siap. Ini soal roda ekonomi. Lalu mengingatkan Anies. Besoknya, Anies normalkan transportasi publik. Anies tak mau benturan dengan otoritas manapun. Kontra-produktif. Langkah berikutnya, Anies minta masjid, wihara, gereja, kelenteng dan tempat-tempat ibadah yang lain untuk sementara tutup. Himbauan penutupan tempat ibadah itu, tentu saja setelah Anies konsultasi dan dengar pendapat dengan perwakilan dari para tokoh agama. Melalui surat edaran, Anies menghimbau masyarakat Jakarta beribadah sementara waktu di rumah masing-masing. Heboh lagi. Tuduhan macam-macam berhamburan. Tempat ibadah ditutup, kenapa Mall nggak ditutup? Bgitu komentar sebagian orang. Anda semua, tanpa terkecuali, bisa beribadah di rumah. Tetapi, apakah masyarakat Jakarta sudah semuanya siap belanja dari rumah? Online? Kalau super market dan mini market ditutup mendadak, sementara persediaan kebutuhan rumah tangga tak ada, apa yang akan terjadi? Penjarahan! Paham? Tidak sampai disitu, 20 Maret kemarin Anies resmi menetapkan Ibu kota dalam keadaan tanggap darurat bencana. Konsekuensinya, Anies menutup semua usaha hiburan dan rekreasi, seperti diskotik, Bar, Spa, karaoke, dan lain-lain. Anies juga menghimbau kepada hotel-hotel untuk membatalkan event-event yang mendatangkan kerumunan orang banyak. Para pengusaha juga diminta untuk merumahkan para pekerja, setidaknya meminimalkan jumlah pekerja dan kegiatannya. Setelah semua langkah preventif ditempuh. Penutupan sejumlah usaha dilakukan, himbauan disampaikan, dan informasi sangat transparan, lalu korban terus bertambah dan makin banyak. Begitu juga yang meninggal, maka siapa yang bertanggung jawab? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Bravo Anies, What Next Jokowi?
By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Jakarta (20/03) Never too late. Tidak ada yang terlalu terlambat. Kita harus mengacungkan jempol pada Anies, karena langkahnya diapresiasi Pemerintah Pusat. Sebagaimana dikatakan Achmad Yurianto, jubir pemerintah urusan Covid-19. Untuk urusan penanganan wabah ini di Jakarta, mereka sudah sepenuhnya menyerahkan pada Anies. Langkah Anies secara sistematis dan terukur, yang mengarah nyaris Lockdown. Terakhir dengan keberhasilan menunda ibadah selama dua minggu, yang didukung oleh tokoh-tokoh agama. Anies juga meminta warga Jakarta tinggal di rumah. Tidak keluar Jakarta selama tiga minggu, sesuai panduan internasional menangani pandemik ini. Sebelumnya langkah-langkah Anies adalah mengumumkan sebaran wilayah penderita covid-19. Anies Membuat Call Center Covid-19, mengalokasi budget APBD untuk itu, serta memperbanyak rumah sakit dan tenaga medis melayani orang berpotensi suspect coronavirus. Anies mengumumkan potensi transportasi KRL Jabotabek sebagai sumber penyebaran. Lalu meliburkan sekolah, menunda ujian akhir sekolah, dan menyiapkan pusat-pusat Karantina di Keluarahan. Gubernur DKI juga mengerahkan BUMD menjual masker yang sebelumnya hilang dipasaran, dan membuat "Serangan Kejutan" mengurangi jumlah operasi busway dan MRT. Model penanganan wabah yang dilakukan Anies Baswedan ini, yang telah diapresiasi Pemerintah Pusat. Ditambah dengan rencana Pemerintah Pusat meningkatkan kapasitas peralatan medis, termasuk alat rapid test, menunjukkan kalau langkah penanganan wabah ini ke depan sudah bisa mempunyai sistem kerja secara nasional. Artinya negara hadir di tengah masyarakat mengahadapi penyebaran Cironavirus. Jika negara sudah hadir, namun masyarakat masih kurang disiplin, maka tingkat berikutnya, seperti yang dilakukan di Francis, yaitu memberlakukan Lockdown. Apa Langkah Berikutnya? Dalam konteks penangan wabah an sich, jika model Jakarta dapat diadopsi menjadi model nasional. Mengingat Jakarta adalah epicentrum pandemic ini, maka bahu-membahu dalam penanganan wabah ini harus dijadikan titik balik bersama. Bahwa kita siap menghadapi wabah ini bersama-sama. Tentu dengan resiko yang besar, mengingat masih adanya unsur elit rezim Jokowi yang belum bersinergi. Ulasan saya selanjutnya bergeser pada dampak ekonomi yang dihadapi masyarakat. Kenapa? Karena dampak yang terjadi juga bersifat langsung dan mengerikan bagi perekonomian masyarakat. Pada hari ini dan kemarin, kita melihat persoalan baru di masyarakat. Komunitas pengemudi online Jawa Barat, Posko Jabar, barusan membriefing saya bahwa penutupan berbagai tempat wisata, hiburan, dan berbagai aktifitas di Bandung dan sekitarnya, telah membuat penghasilan anggota mereka 2.900 orang terhempas. Sebanyak 2.800 orang diperkirakan gagal membayar cicilan kepada leasing bulan depan. Kemarin lalu, Ketua Induk Koperasi Pasar, memberitahu saya bahwa penyediaan stok bahan makanan penting dan sembako, akan terkendala dengan kemampuan Inkoppas menebus pembelian barang. Menurutnya, jika pemerintah berusaha mengendalikan pembelian barang, namun terjadi "deadlock" di sisi supply, maka situasi kacau di pasar-pasar tradisonal akan terjadi. Situasi ekonomi lainnya yang kita sudah lihat melalui media, terbentang berbagai potensi kesulitan antara lain, kenaikan dollar terhadap rupiah sekitar 15-17% dalam waktu mendadak, akan menyulitkan penyediaan bahan baku impor, seperti gandum, bahan farmasi dan tekstil. Akibatnya harga2 pangan, sandang dan obat-obatan akan melambung. Urusan dollar dan hancurnya harga-harga saham membuat kemampuan perusahan-perusahaan juga semakin sulit. Menggunungnya hutang dan menurunnya revenue. Ini pada akhirnya akan membebani kemampuan membayar upah buruh, THR dan kesejahteran lainnya. Kondisi yang lebih buruk lagi adalah akan ada gelombang Pemutusan Hubangan Kerja (PHK) beberapa bulan ke depan. ILO (International Labor Organization) telah memperkirakan 25 juta orang di dunia akan kehilangan pekerjaan akibat dari Coronavirus. Berbagai negara telah menyiapkan uang untuk menghindari kehancuran ekonominya. Stimulus paket ini bahkan sudah dijalankan di beberapa negara. Francis menyediakan stimulus paket ekonomi sebesar U $45 milyar atau setara dengan Rp 720 triliun. Sedang Amerika kemarin, untuk pase dua sekarang, telah disetujui U$ 104 milyar atau setara dengan Rp 1.664 triliun. Uang-uang ini digunakan untuk membayar orang-orang pekerja yang tidak bekerja karena sakit atau lainnya selama musim wabah. Di Hongkong, sejak Februri lalu telah diberikan uang sebesar U$1.200 atau setara dengan Rp 19.200.000 sebagai subsidi bagi semua orang dewasa di sana. Indonesia, sebagai bangsa yang suka terlambat, masih menghitung berapa uang yang bisa dialokasikan untuk dampak ekonomi wabah ini. Bahkan dampak wabah ini dari sisi non ekonomi, seperti anggaran untuk "rapid test", baru ada kemarin, dan Prabowo baru mau terbang ke Sanghai membeli alat itu. Sri Mulyani memperkirakan dapat merelokasi anggaran APBN untuk daerah sebesar Rp 50 Triliun. Jika anggaran ini meliputi juga untuk soal wabah sendiri, maka kemungkinan anggaran paket stimulus ekonomi hanya setengahnya. Saat ini Sri Mulyani baru mengeluarkan Rp 8,5 Triliun sebagai langkah stimulus fase satu. Stimulus fase dua yang sedang berlangsung dilakukan dengan insentif pajak. Dalam diskusi saya per WA tadi dengan anggota Banggar DPR RI Mulyadi, sebaiknya selain pandangan dia untuk membelokkan semua atau sebanyak-banyaknya anggaran infrastruktur ke urusan wabah dan dampaknya. Saya juga mengusulkan saya agar anggaran pilkada Tahun 2020 diambil juga. Pesta pilkada ditunda dulu, maka kita dapat menyediakan uang lebih dari seratus triliun. Seratus triliun itu setara dengan pengeluaran Mesir, yakni sebesar U$ 6,4 milyar. Sesama negara yang tidak terlalu maju ekonominya. Itupun bisa Jika Jokowi ikhlas tidak memikirkan lagi ambisi-ambisi untuk infrastrukturnya. Sisi fiskal ini dengan skala seratusan triliun, bisa membantu langkah-langkah makro ekonomi yang dijalankan Bank Indonesia. Dengan uang itu pemerintah, baik di pusat maupun di daerah sudah dapat meramalkan dampak ekonomi atas setengah lockdown saat ini. Selain itu, perlu memikirkan biaya untuk mempertahankan daya beli masyarakat, subsidi pangan dan keperluan rakyat lainnya. Penutup Anies telah membangun model penanganan wabah Coronavirus yang diapresiasi Pemerintah Pusat. Meski terlambat, tidak ada yang terlalu terlambat. Lalu bagaimana nasib ekonomi kita? Meski tetap terlambat, dalam mengantisipasi dampak ekonomi ke depan, niat Jokowi dari sisi fiskal sudah terlihat. Namun, niat ini harus diproses dalam sensitifitas mendesak. Kita tidak perlu berpikir mendesak untuk Omnibus Law misalnya. Namun lambat dalam menentukan jumlah stimulus fiskal. Kita juga harus mengumumkan moratorium Ibukota baru. Bahkan kemungkinan menunda pilkada 2020. DPR juga harus berperan aktif untuk menghitung. Di Amerika misalnya, sudah masuk pada pengajuan pase ketiga dalam stimulus ini. Baik kubu Demokrat maupun Republik ("seperti Kadrun dan Kodok") bekerjasama secara cepat. Rakyat setelah menuju tenang, isu wabah corona akan masuk pada kegelisahan isu ekonomi. Ini tidak main-main. Hantaman keras pada pengemudi Online yang akan sulit bayar cicilan ke leasing. Hantaman THR dan buruh sebulan lagi di depan mata. Semua adalah pekerjaan besar. Apakah bulan depan pemerintah mampu menganggarkan jaminan kredit bagi ojek Online agar motornya tidak disita leasing? Semoga pemerintah mampu memberi ketenangan ekonomi bagai rakyat kecil. Tentu dengan uang stimulus ekonomi diangka lebih dari seratusan triliun rupiah. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Butuh Pangkopkamtib Corona
Sekarang ini waktunya semua komponen anak bangsa bersatu padu. Merapatkan barisan, bahu membahu menghadapi corona. Jangan sampai muncul kesan, ada yang mencari dan mencuri panggung. Sebaliknya, juga jangan sampai ada yang merasa dan khawatir panggungnya dicuri. By Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Jum'at (20/03). Indonesia memasuki darurat corona. Bukan hanya karena eskalasi korban yang terpapar maupun yang meninggal dunia. Namun juga karena kesemrawutan penanganannya. Komunikasi publik pemerintah sangat buruk. Rakyat bingung. Siapa sebenarnya yang harus didengar dan dipercaya? Siapa omongannya yang bisa dipegang dan perintah siapa yang harus dituruti? Presiden Jokowi sebelumnya menyatakan tak akan melakukan lockdown. Berpikir ke arah itu pun tidak. Mendagri Tito Karnavian bahkan secara khusus menemui Gubernur DKI Anies Baswedan . Tito mengingatkan bahwa kewenangan lockdown ada di pemerintah pusat. Tiba-tiba saja Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan virus corona Ahmad Yurianto menyatakan, pemerintah pusat menyerahkan sepenuhnya penanganan virus corna di Jakarta kepada gubernur. Pemerintah tidak akan intervensi. “Lha katanya sudah otonomi daerah. Ya silakan gubernur sebagai penguasa daerah mengatur semua itu,” tegasnya. Apakah kewenangan penuh itu juga termasuk lockdown? Soal ini tidak begitu clear. Publik menangkapnya secara berbeda. Sejauh ini yang ditangkap publik Anies Baswedan cenderung untuk melakukan lockdown. Hal itu tersirat dari berbagai pernyataannya. Termasuk sikapnya yang akan mengambil langkah agresif melawan corona. Sebelumnya dalam Rapat Terbatas dengan tim Gugus Tugas Covid -19, Jokowi meminta agar segera dilakukan test cepat (rapid test) dengan cakupan yang lebih besar untuk deteksi dini kemungkinan warga terpapar virus. Rapid test nampaknya menjadi pilihan Jokowi untuk menghindari opsi lockdown. Namun Kepala Gugus Covid-19 Letjen TNI Doni Monardo mengakui pemerintah belum memiliki alat tersebut. Masih harus didatangkan dari berbagai negara. Belakangan juru bicara Kementrian BUMN menyatakan sebagian peralatan rapid test sudah tiba. Namun rumah sakit rujukan yang ditunjuk harus membelinya. Jauh sebelum Menkes Terawan diminta puasa bicara oleh istana, komunikasi dan pesan yang sampai kepada publik lebih kacau lagi. Ada kesan meremehkan dan menganggap enteng persoalan. Beberapa pekan menghilang dari publik, Terawan kembali bikin heboh. Dia tampil dalam teledrama sembuhnya pasien 1,2 dan 3. Terawan membawa bingkisan oleh-oleh berupa jamu dari Jokowi. Teledrama itu dikecam publik dalam dan luar negeri. Simpang siur informasi dan komunikasi publik yang acak-kadut semacam itu harus segera diakhiri. Publik harus mendapat kepastian. Siapa sebenarnya yang sekarang ini menjadi pemimpin? Siapa yang paling bertanggungjawab sepenuhnya atas perang terhadap corona. Sekarang ini waktunya semua komponen anak bangsa bersatu padu. Merapatkan barisan, bahu membahu menghadapi corona. Jangan sampai muncul kesan, ada yang mencari dan mencuri panggung. Sebaliknya, juga jangan sampai ada yang merasa dan khawatir panggungnya dicuri. Para buzzer pemeritah harus ditertibkan. Tidak perlu lagi mengadu domba Anies Baswedan dengan Jokowi. Tak perlu lagi mencari-cari kesalahan Anies karena khawatir bakal menyerobot panggungnya Jokowi. Pendukung Anies juga tak perlu terlalu membangga-banggakan kinerjanya. Biarkan dia bekerja. Sebab tanggungjawabnya sangat berat. Jakarta adalah episentrum corona. Keberhasilan mengatasi corona di Jakarta, sama dengan menyelesaikan sebagian besar masalah Indonesia. "Pangkopkamtib" Corona Belajar dari pengalaman Orde Baru ketika mengalami situasi darurat, perlu sebuah lembaga dengan kewenangan yang kuat. Lembaga itu juga harus dipimpin oleh figur yang kuat. Presiden Soeharto ketika itu membentuk dan menunjuk seorang Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Seorang Pangkopkamtib punya kewenangan penuh mengendalikan situasi dan mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu secara cepat tanpa hambatan birokrasi. Yang harus benar-benar diperhatikan dan dijaga, dia tidak boleh dan jangan sampai menyalahgunakan kekuasaan seperti masa Orba dulu. Harus diawasi secara ketat jangan sampai terjadi pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM. Celah sekecil apapun adanya pelanggaran hukum dan HAM harus ditutup. Saat ini Jokowi sudah menunjuk Kepala BNPB Letjen Doni Monardo sebagai Kepala Gugus Tugas Covid-19. Melihat situasinya sudah darurat, alangkah baiknya tugas dan kewenangannya itu diperluas. Menjadi semacam "Pangkopkamtib" penanganan virus Corona. Tugasnya selain menjadi kepala gugus tugas penanganan virus corona, Doni juga bisa menjalankan peran koordinasi menjaga ketertiban dan keamanan, manakala opsi lockdown diberlakukan. Jokowi tinggal terima bersih saja. Latar belakang militernya memungkinkan dia bisa dengan mudah berkoordinasi dengan TNI maupun Polri. Dia sangat paham kebutuhan dan pengerahan pasukan. Sejauh ini kinerja Doni cukup bagus. Dia bisa sangat baik bekerjasama dengan Anies Baswedan. Doni juga tak banyak bicara dan mengundang kegaduhan. Ketika bertemu Anies dia menyerukan semua kalangan untuk mengakhiri perdebatan yang tak ada ujungnya. “Kita tidak perlu kita buang-buang energi lagi. Kita kerjakan yang prioritas. Yang bisa kita kerjakan,” tegasnya. End Penulis adalah Wartawan Senior.
Betul Juga, Kita Hanya Bisa Berdoa Hadapi Corona
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Jum'at (20/03). Semoga tidak terjadi. Tak terbayangkan kalau Indonesia akhirnya diamuk virus Corona (Covid-19) dengan ribuan kasus. Kira-kira siap apa tidak sistem pelayanan darurat negara ini? Wallahu a’lam. Gubernur DKI Anies Baswedan kemarin (19/3/2020) mengatakan bahwa Jakarta sekarang menjadi episentrum penyebaran Corona. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un! Jakarta menjadi pusat reproduksi dan distribusi virus ganas itu. Tidak ada yang tahu berapa banyak orang yang selama seminggu ini keluar-masuk Jakarta. Dari berbagai daerah. Mereka ini boleh jadi telah menjadi ‘transmitter’ (pengantar) Corona ke tempat-tempat lain. Baik itu yang berbatasan langsung dengan Jakarta maupun daerah-daerah yang lebih jauh. Situasinya akan sangat seram. Mengerikan. Jika itu sempat terjadi. Jika jumlah penyandang virus ganas ini mencapai angka seribuan, belasan ribu, puluhan ribu, dan seterusnya. Bayangan suram ini bukan soal kualitas tenaga medis kita. Bukan. Dari sisi kapabilitas dan kapasitas individual para dokter, perawat, paramedis Indonesia sama sekali tidak disangsikan. Mereka, insyaAllah, sama hebatnya dengan orang-orang di negara maju. Yang sangat meragukan adalah kesiapan fasilitas kesehatan dan manajemen darurat. Di acara ILC 17/3/2020, terungkap bahwa fasilitas dan peralatan medis untuk menangani darurat Corona masih jauh dari kuantitas dan kualitas yang diperlukan untuk menangani pasien dalam jumlah besar, pada saat bersamaan. Dr dr Erlina Burhan, seorang pakar paru-paru yang bekerja di RS Persahabatan, Jakarta, mengatakan di RS ini hanya ada 11 ruang isolasi. Banyak pasien Corona yang menunggu antrian isolasi. Terkuak pula bahwa salah satu dari seratusan RS rujukan Corona di Indonesia, yaitu sebuah RS di Padangsidempuan, Sumut, sama sekali tidak punya ruang isolasi. Kalau ini adalah gambaran tentang RS-RS di pelosok negeri, tentu sangat memperihatinkan. Jika jumlah positif Corona melonjak drastis, maka sistem pelayanan kesehatan bisa jadi akan ‘overwhelmed’. Megap-megap. Penuh-sesak. Banyak yang memperkirakan akan ada penambahan signifikan jumlah positif Corona. Dr Erlina berkali-kali menekankan perlunya tindakan segera untuk menahan laju pertambahan pasien positif Corona. Mengingat jumlah ruang isolasi yang tidak mencukupi. Salah satu cara memperlambat penyebaran Corona adalah tindakan pembatasan ‘population movement’ (pergerakan orang). Tetapi, anehnya, ketika ada pemerintah daerah yang memberlakukan ini, banyak orang yang tidak paham. Dan kemudian marah-marah. Pemerintah pusat sendiri tampak enggan mengambil langkah pengekangan pergerakan penduduk (movement restriction). Istilah “lockdown” saja diperdebatkan panjang-lebar. Dibawa berputar-putar. Dikatakan istilah itu tidak ada di dalam UU-lah, dsb. Mereka katakan, yang ada adalah ‘karantina wilayah’. Bukan ‘lockdown’. Perdebatan yang absurd. Yang tidak diperlukan hari ini. Yang sangat dibutuhkan adalah mempersempit ruang gerak virus Corona. Yang diperlukan adalah tindakan agresif memburu virus itu. Dengan cara memperbanyak testing Corona. Khususnya melakukan testing masif di titik-titik penularan. Kemudian memperbanyak ruang isolasi di RS-RS. Pemerintah Indonesia sebetulnya ‘beruntung’. Dalam arti, ada waktu yang cukup untuk belajar dari krisis Corona di China, Korea Selatan, Iran, Italia plus Eropa secara keseluruhan. Tetapi, kita malah sibuk mencurigai Anies Baswedan. Dia dicaci-maki dengan sangkaan mau cari panggung. Mau cari ‘political gain’ dari krisis ini. Sangkaan yang berlebihan. Kesimpulan akal keruh. Miris melihat kelakuan para pejabat tinggi Indonesia hari ini, plus gerbong buzzer mereka. Di antara mereka itu, banyak yang mencoba meremehkan amukan Corona. Menkes Terawan Agus Putranto sendiri sempat busung dada. Dia katakan Difteria saja tidak masalah, apalagi Corona. Kemudian, banyak petinggi yang ‘asbun’ soal obat penangkal virus itu. Macam-macam! Kalau begini, betul juga bahwa kita hanya bisa berdoa menghadapi Corona. Seperti dianjurkan oleh Menkes. Gamang dan ngilu rasanya melihat langkah-langkah pemerintah pusat. Belum lagi soal tranparansi tentang informasi penyebaran. Dan juga manajemen daruratnya.[] Penulis adalah Wartawan Senior.