Tidak Lockdown, Negara Tak Punya Uang Biayai Makan-Minum Rakyat?

By Dr. Margarito Kamis

Jakarta FNN – Senin (23/03). Innalillahi Wainnailaihi Roajiun. Saya sampaikan ke orang-orang, siapapun mereka, yang meninggal dunia, mati sebagai akibat terjangkit virus corona yang mematikan itu. Saya juga sampaikan belasungkawa, dan ucapan Innalillahi Wainnailaihi Roajiun ke Bapak-bapak Dokter yang meninggal dunia, setelah habis-habisan di tengah keterbatasan peralatan teknis, mengurus orang-orang yang terkena Corona laknat ini.

Mari, dari rumah. Kita do’akan selalu ibu-ibu dokter, bapak-bapak dokter serta ibu dan bapak-bapak perawat, paramedis senantiasa berada dalam lindungan Allah Subhanahu Wata’ala. Kita doa’kan mereka. Sebab tereka terdepan menyelamatkan nyawa saudara-saudara kita. Mereka pasti tak minta dihormati. Mereka pasti tak minta dido’ain. Tetapi marilah kita do’ain mereka. Hormati mereka.

Jangan sombong, jangan takabbur. Ini virus tak jelas bentuknya. Tetapi daya serangnya mematikan. Datangnya tak diundang, dan perginya hanya setelah diurusi dokter, atau ikhtiar diri sendiri. Jangan aneh-aneh, karena telah jelas belum tersedia obat andal melawan virus mematikan ini.

Mari patuh terhadap imbauan demi imbauan, terutama dari dokter, pemerintah dan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta. Apalagi imbauan ini telah menyandang sifat sebagai perintah official. Polisi sudah patroli di dijalan-jalan, dimana-mana. Jadi jangan bertingkah. Sampai dengan tanggal 22/3/2020 saja orang yang terjangkit virus berbahaya ini telah berjumlah 514 orang.

Jumlah yang mati juga bertambah 10 orang. Total yang meninggal dunai sudah diangka 48 orang. Sangat Mengerikan. Di DKI, orang yang terjangkit bertambah jadi 40 orang. Jawa Barat 4 orang. Jawa Timur 5 orang. Kalimantan 1 orang. Maluku 1 orang. Papua 2 orang (Republika.co.id 22/3/2020).

Ikhtiar, ikhitiar dan ikhtiar. Prioritaskan itu. Ikhtiar itu sama dengan ikut membantu mencegah penyebaran virus berbahaya ini. Ingat, tidak semua orang sama kemampuan keuangannya. Ada banyak yang pas-pasan. Uang juga susah saat ini. Lalu terkena corona? Subhanallah, saya tak bisa membayangkan derita mereka.

Kata para dokter yang bicara menurut ilmu mereka, rajin-rajinlah cuci tangan. Jaga jarak antar sesama. Patuhilah nasihat ini. Jangan membangkan, jangan sombong, jangan takabur. Menteri perhubungan saja kena. Anak Pak Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara juga kena. Walikota Bogor juga kena. Jadi? Jangan sombong, jangan takabur, jangan bertingkah.

Pemerintah telah beli obat, entah apa namanya, sehebat apa, dan entah darimana. Jutaan butir. Pemerintah juga sudah bereskan Wisma Atlit berkamar banyak di Kemayoran. Wisma ini akan dipakai mengurus orang-orang terjangkit virus ini.

Jangan tanya bagaimana kondisinya. Jangan tanya berapa banyak dokter dan tenaga kesehatan yang disiapkan disana. Memadai apa tidak, peralatan untuk dokter tercukupi apa tidak? Jauhkan pikiran dari godaan menanyakan bagaimana cara sampai di sana, di Wisma itu? Bagaimana prosedur mendapatkan pertolongan pertama? Pokoknya soal-soal itu jangan dipikirkan.

Tinggal saja dirumah. Jangan kemana-mana. Bagaimana bisa makan? Nah itu dia soalnya. Soal ini saya tak mampu mikir, apalagi punya jalan keluar. Ini masalah berat. Betul-betul berat. Ini Indonesia. Bukan Malaysia, Bukan Ferancis, bukan Australia, bukan Italia. Mereka itu, negara-negara yang tak punya Pancasila, tetapi lakukan lockdown. Kita? Jangan mikir itu. Itu urusan Presiden.

Kata Pak Jendral Doni, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona, dirinya telah diinstruksikan Presiden untuk tak ada lockdown (republika.co.id 21/3/2020). Lho ko Presiden sampaikan instruksi itu Pak Doni? Aneh. Ini janggal, tak masuk akal. Inilah soalnya. Ada apa Pak Presiden?

Terus terang, terasa berat mengatakan Presiden telah menyepelekan UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Tapi tak tersedia kata lain untuk itu. Bikin UU bersama-sama dengan DPR, ko begini jadinya. UU Nomor 6 Tahun 2018 kan jelas, lockdown “Pembatasan Sosial Berskala Besar” hanya bisa dilakukan oleh Presiden.

Kewenangan ini tidak bisa didelegasi. Tetapi ko kasih instruksi ke Pak Jendral Doni tak ada Lockdown? Memangnya Pak Doni mau lockdown? Tak mungkin. Apa Pak Presiden curiga sama Pak Jendral Doni? Apa Pak Presiden tak mengenal Pak Jendral Doni? Yang sangat santun dan terlihat sangat tawaddu itu?

Pak Presiden harus diberitahu bahwa Lockdown bisa dilakukan hanya oleh Presiden sendiri. Itu pun dilakukan setelah lebih dahulu Presiden deklarasi “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”. Darurat Kesehatan itu, bukan tanggap darurat menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Lockdown itu juga bukan darurat sipil, bukan darurat militer, bukan darurat perang menurut UU Darurat Nomor 23 Tahun 1959. Beda Pak Presiden.

Dalam Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, militer tak bisa apa-apa. Kewenangan pemerintahan sepenuhnya berada ditangan Presiden. Militer, dalam Kedaruratan Kesehatan Masyarakat malah tak dilibatkan menurut UU ini. Panglima, KASAD, KASAL, KASAU, semuanya tak punya wewenang dalam kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Apa yang dipikirkan Pak Presiden? Apa negara ini benar-benar tak punya cukup uang? Apa uang yang ada memang diplot hanya untuk infrastruktur dan pembangunan Ibukota negara yang baru saja? Apa uang yang ada hanya untuk interfensi pasar modal dan rupiah? Apa kalau uang negara yang tersedia saat ini dipakai membeli makan dan minum rakyat, akan mengakibatkan negara ini bangkrut?

Lockdown memang memiliki efek catastropicaly kemana-mana. Sangat explosive. Ekonomi bisa lumpuh, setidaknya sangat parah. Memang ini harus ditimbang betul. Tetapi terasa tak masuk akal bila penyelamatan kesehatan dan nyawa orang, harus diletakan pada level kedua setelah pertimbangan eksistensi ekonomi. Subhanallah.

Presiden tak boleh tiba saat, tiba akal. Tak boleh parsial Pak Presiden. Sudah lockdown, tapi tak mau bilang lockdown. Imbauan tak boleh keluar rumah, patroli di jalan-jalan, bubarkan orang di jalan-jalan, pembatasan jam operasi trans jakarta, pembatasan masuknya orang asing. Itu semua merupakan tindakan karantina. Itulah karantina “Pembatasan Sosial Berskala Besar”. Nama populernya itu Lockdown Pak Presiden.

Karantina itu telah memakan TKA asal China yang berjumlah 43 orang, setelah sebelumnya 49 TKA illegal asal Cihna di Kendari terbongkar dan dikarantina. Mereka yang 43 itu tak lolos tes kesehatan di Bandara Soeta. Ini namanya karantina di pintu masuk Pak Presiden. Pembatasan di perbatasan wilayah darat juga sama. Ini juga karantina di pintu masuk. Kerangkanya adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar. Ya lagi-lagi namanya Lockdown Pak Presiden.

Praktis lockdown itu sebenarnya telah terjadi secara parsial, diam-diam, dan tanpa didahului deklarasi Presiden tentang “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.” Jadi? Untuk apa beri instruksi tidak ada lockdown Pak Presiden? Aneh memang. Tapi, ya beginilah negeri kita ini.

Memang harus diakui, dengan karantina tanpa didahului “Deklarasi Kedaruratan Kesehatah Masyarakat” Lockdown, maka pemerintah tak harus tangung mengurus makan dan minum masyarakat. Beda dengan karantina yang didahului “Deklarasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”. Dalam soal ini, pemerintah harus tanggungjawab atas makan dan minum rakyat.

Ini negeri kita, baik ataupun buruk. Ini bukanlah Malaysia. Setelah Lockdown, Malaysia urus kehidupan rakyatnya. Bahkan mereka menyewa pesawat memulangkan rakyatnya yang ada di Iran dan India. Francis dan Utalia juga sama. Pemerintah mereka keluarkan uang untuk hidupi rakyatnya sehari-hari. Tentu saja ala kadarnya.

Amerika, negeri yang dituduh China dan Iran sebagai sumber virus ini malah lebih maju lagi. Negeri imperial ini punya politik bipartisan. Demokrat dan republik punya idiologi berbeda dalam memandang negara dan pemerintah. Haluan idiologis itu diimplementasi dengan sangat jelas dalam kehidupan nasional mereka di semua lini, termasuk di Kongres.

Sangat terbelah mereka. Tetapi mereka hebat dalam urusan menolong rakyatnya. Dalam soal ini, mereka jelas dalam semua aspeknya. Mereka bersatu, bahu-membahu menolong rakyat. Dalam urusan corona mematikan ini, Demokrat yang maju memprakarsai pembentukan UU yang akan dijadikan dasar pemerintah memberi insentif kepada rakyat. Terutama para pekerja.

Bill yang diprakarsai Demokrat itu namanya “The Families First Coronavirus Responses Bill”. Kongres setuju. Bill ini diterima dengan komposisi suara 363 berbanding 40. Trumph? Teken. Jadilah The Families First Coronavirus Responses Act (Vox.com, 14/3/2020). Top mereka.

Sudahlah, Amerika memang bukan tandingan kita dalam mengurus rakyatnya. Kita baru dilebel Amerika sebagai negara kaya. Tetapi itu cuma akal-akal mereka saja. Hebat, sejauh ini tak terdengar rakyat Indonesia meminta insentif pemerintah. Orang-orang miskin, dan pekerja serabutan di tengah musim tak boleh keluar rumah, di tengah corona ini pun patuh saja. Sami’na wata’na kepada pemerintah.

Semoga tak Lockdown itu semata-mata karena negara ini kekurangan uang. Lockdown bakal menyulitkan pemerintah, bakal membuat ekonomi berantakan. Semoga itu saja pertimbangannya. Tidak lebih dari itu. Bukan karena Presiden berpikir rakyat masih bisa makan. Semoga Presdie tidak takabur. Subhanallah, terlalu berat bila sampai takabur.

Mari saling menjaga, membantu dengan cara tidak kemana-mana. Berada di rumah saja, dan rajin cuci tangan. Jangan minta hand sanitazer, masker, infektan, chlorokuin, avigan dan lainnya. Jangan minta insentif pemerintah. Pemerinah lagi susah. Mari tawakkallah kepada Allah semata. Ikhlaskan semua ini pada-Nya. InsyaAllah rahmat-Nya selalu menyertai kita semua. Semoga.

Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

5200

Related Post