Stop, Jangan Jadi Agen Covid-19
Masker susah dan harganya selangit. Itu ujian bagi bangsa ini. Di saat-saat sulit selalu saja ada "iblis kapitalis datang beraksi". Bukannya nyumbang, malah cari keuntungan. Berharap pemerintah menertibkan. Lebih baik membagikan saja dengan gratis. Tidak sekedar janji. Duit dari mana? Pajak dari rakyat sudah dibayarkan pak!
By Tony Rosyid
Jakarta FNN – Minggu (22/03). Hanya 15 persen yang positif Covid-19 ketahuan gejalanya. Mungkin bisa batuk, sesak nafas dan demam. Ini gejala umum, kata orang medis. Sisanya sekitar 85 persen lagi, nggak ada tanda-tandanya.
Jika angka positif Covid-19 day to day naik drastis, karena mereka memang tak dikenali gejalanya. Tahu-tahu sudah parah. Dua-tiga hari, pek dan mati. Terutama terhadap mereka yang daya tahan tubuhnya (imunnya) lemah.
Usia 0-40 tahun, umumnya relatif kuat daya tahan tubuhnya. Meski tak menjamin. Di atas usia 40 tahun, rentan. Kenapa petinju disarankan pensiun usia 40 tahun, karena fisik sudah mulai melemah.
Di atas usia 50, 60, 70 tahun, jauh lebih rentan. Ini bicara kondisi secara umum. Artinya, di atas usia 40 tahun mesti lebih waspada. Jaga stamina, hidup sehat dan lebih disiplin lagi.
Usia 0-40 tahun? Tak menjamin fisik anda semuda usia anda. Apalagi jika anda perokok, suka begadang, jarang olah raga, asupan makanan tak bergizi, kerja lelah atau stres, maka akan rentan juga.
Yang sehat? Jangan jadi agen virus. Anda kuat, dan daya tahan tubuh anda bagus, tapi anda membawa virus kemana-mana. Anda menularkan virus ke banyak orang. Diantara mereka mati gara-gara tertular dari anda.
Dosakah? Pasti! Apapun agama anda, itu dosa sosial. Itu dosa kemanusiaan. Karena anda sengaja berkeliaran di luar, berinteraksi dengan banyak orang, bersalaman dan nongkrong yang tak perlu.
Jika kita cinta bangsa ini, jangan menjadi agen virus. Caranya? Stay di rumah. Diem di rumah. Kecuali ada urusan dan kebutuhan super urgent. Itupun mesti dilakukan dengan cara-cara sehat.
Apa cara yang sehat? Jangan bersentuhan dengan orang lain, meski salaman. Jaga jarak 1,5 meter. Upayakan pakai masker. Ini baru betul-betul "Pancasilais dan pro NKRI".
Masker susah dan harganya selangit. Itu ujian bagi bangsa ini. Di saat-saat sulit selalu saja ada "iblis kapitalis datang beraksi". Bukannya nyumbang, malah cari keuntungan. Berharap pemerintah menertibkan. Lebih baik membagikan dengan gratis. Tidak sekedar janji. Duit dari mana? Pajak rakyat sudah dibayarkan pak!
Cara murah dan paling aman memang stay di rumah. Keluar rumah hanya untuk keperluan yang sangat penting. Tapi, bagaimana dengan para pedagang kecil, uangnya hanya untuk hidup satu-dua hari?
Dilematis! Memang, betul-betul dilematis. Pilih nyawa atau makan? Gak makan, mati juga. Disini pemerintah harus hadir. Sinergi pemerintah pusat dan daerah. Atasi mereka.
Dari mana anggarannya? Dari pagu kegiatan lain. Batalkan, atau setidaknya kurangi anggaran-anggaran untuk kegiatan lain. Perjalanan dinas, studi banding, pembelian kebutuhan yang bisa ditunda tahun depan, hentikan pembangunan infrastruktur, dan seterusnya. Alokasikan dana-dana itu untuk tangani para pasien covid-19 dan dampak ekonominya. Termasuk untuk para perdagang asongan itu.
Gak melanggar aturan? Ubah aturannya. Jangan rakyat mati karena kakunya aturan. Aturan dibuat untuk selamatkan dan sejahterakan rakyat. Bukan untuk bunuh rakyat!
Kalau anggaran sudah disiapin, paksa rakyat stay di rumah. Bukan himbauan lagi. Instruksikan! Pemerintah buat aturan dan mekanismenya. Detail, lengkap, jelas dan pastikan tersosialisasikan ke rakyat. Dan yang terpenting, dijalankan!
Sabtu kemarin ( 21/3) enam orang mati. Entah besok dan besoknya lagi. Tak banyak waktu bagi pemerintah untuk "istiharah" politik. Itu nanti. Lebih baik lakukan ikhtiar kesehatan dan ekonomi. Selamatkan dulu rakyat dengan merumahkan mereka untuk sementara waktu, sehingga tidak menjadi agen penyebaran dan korban covid-19
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa