OPINI
Negara Dalam Keadaan Darurat
By Dr. Ahmad Yani SH. MH. Jakarta, FNN – Indonesia menjadi negara yang sombong terhadap penyebaran virus Corona. Saat negara-negara lain mulai panik, petinggi negeri ini justru berkomentar seperti orang yang lagi berkomedi. Mulai minum jamu, deterjen membunuh Corona. Indonesia negeri tropis, tidak bisa di masuki Corona dengan berbagai alasan. Semuan itu bentuk keangkuhan yang membawa malapetaka. Kelambatan tersebut terutama karena ‘sungkan’ takut menyinggung Tiongkok. Pejabat-pejabat Indonesia menolak menerima kenyataan bahwa Corona sudah semakin menghawatirkan. Meski Pemerintah Pusat sangat lambat dan acuh-tak acuh, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan cepat dan tanggap menghadapi virus tersebut. Anies Baswedan sangat cepat merespons kasus Corona setelah warga negara Indonesia yang tinggal di Depok terpapar. Walaupun akhirnya Anies diserang dan dibully. Bahkan ada menteri yg ikut-ikutan juga untuk membully Anies. Pemerintah Pusat sibuk mengatasi “hoax”. Bukan mengatasi penyebaran virus. Sampai orang yang merekam kedatangan Warga Cina di Sulawesi Tenggara diperiksa polisi dengan tuduhan hoax. Padahal WNA Cina itu benar-benar datang dari Cina. Ini berbeda dengan Presiden Duterte yang memecat pegawai yang membiarkan orang cina masuk ke wilayah Filipina. Demikianlah cara Pemerintah Pusat menghadapi Corona, yaitu menghadapi orang yang menyebarkan berita virus tersebut. Seakan-akan dengan cara itulah pemerintah bisa mengatasinya. Padahal virus corona sudah ada di tengah kita. Corona bergerak cepat dalam masyarakat. Tetapi ternyata pemberantasan “hoax” justru mempercepat laju penyebaran Corona virus. Sudah 227 orang terkena virus, 19 orang meninggal. Menurut beberapa sumber, yang riil, tetapi tidak terpublikasi sudah mencapai 4.000 orang lebih yang terpapar. Virus sudah menghinggap di banyak orang, kepanikan kian memuncak. Sampai saat ini kita sebagai rakyat tidak mendapatkan informasi yg cukup. Tentang keganasan Corana. Propinsi dan kabupaten mana yang banyak penyebarannya? Rumah sakit mana yang sudah ditunjuk untuk memeriksa, mengobati, mengisolasi, merawat yang sudah positif tertular Corona? Sementara kewaspadaan pemerintah hanya untuk dirinya sendiri, yaitu bagaimana melindungi diri dari protes masyarakat. Pemerintah sibuk memberantas hoax untuk menjaga kelangsungan kekuasaannya, tetapi tidak peduli terhadap keselamatan warga negaranya. Kepanikan Global Kepanikan muncul di mana-mana. Negara-negara mulai mengantisipasi dengan melakukan lockdown secara teritorial. Arab Saudi menutup perjalanan umrah. Malaysia, 31 Maret memutuskan lockdown guna menghentikan penyebaran Corona. Manila dilockdown dan diumumkan langsung oleh Presiden Duterte. Bersamaan itu Duterte melarang masyarakat berkumpul. menutup semua sekolah. Prancis mengumumkan lockdown 15 hari. Italia juga melakukan lowdown di beberapa wilayah. Beberapa negara lain sudah mulai pula melakukan lockdown. Banyak negara menghadapi kepanikan global yang luar biasa. Aksi lockdown di berbagai negara tidak diikuti oleh Indonesia. Masih sempat Indonesia menerima pariwisata asing, khususnya Cina.Ada 47 warga Cina masuk di Konawe. Tampaknya Pemerintah Indonesia lebih takut kehilangan investasi daripada keselamatan 270 juta warga negaranya. Pemerintah hanya peduli pada kehendaknya sendiri. Sementara rakyat harus mendapatkan risiko besar dari penyebaran virus corona ini. Setelah virus itu tersebar, kita bisa pasrah. Persediaan alat medis dan berbagai fasilitas kesehatan yang masih terbatas. Kita hanya menunggu waktu kalau pemerintah masih bersikap menutup-nutupi gejala ini demi untuk kepentingannya. Ini masalah serius dan berbahaya. Darurat Kesehatan Indonesia hari ini sudah mulai darurat Kesehatan Nasional. Kasus yang terus meningkat. Penyebaran yang sangat cepat, membuat kepanikan rakyat yang luar biasa. Aksi lockdown terjadi di berbagai daerah. Pemerintah Daerah mengambil langkah cepat, meski Pemerintah Pusat masih sibuk mengurus hoax. Kondisi ini mengkhawatirkan. Perang melawan Corona sudah dimulai. Semua orang di daerah kini mengunci dan mengisolasi diri dari penyebaran Corona. Kampus, pondok pesantren, sekolah, kantor dan seluruh aktivitas publik dihentikan. Masyarakat memutus hubungan sosialnya untuk sementara dengan keluarga, tetangga, kerabat, teman, sahabat, dan orang dekatnya. Ditengah kepanikan rakyat Indonesia, warga negara Cina yang menjadi sumber Pendemi Corona justru diberi keleluasaan masuk di Indonesia. Padahal dalam kondisi pendemi yang sangat cepat ini pemerintah harus mencegah masuknya Warga Negara Asing seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain. Negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh Tumpah darah Indonesia. Masyarakat berhak mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin Dalam Undangundang nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, bahwa kemajuan teknologi transportasi dan era perdagangan bebas dapat berisiko menimbulkan gangguan kesehatan. Penyakit baru atau penyakit lama yang muncul kembali dengan penyebaran yang lebih cepat, dan berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat, sehingga menuntut adanya upaya cegah tangkal penyakit dan faktor risiko kesehatan yang komprehensif dan terkoordinasi, serta membutuhkan sumber daya, peran serta masyarakat, dan kerja sama internasional. Karantina Kesehatan merupakan upaya mencegah keluar atau masuknya penyakit yang menyebabkan kedaruratan kesehatan Masyarakat. UU No. 6 ini telah memberikan definisi yang jelas tentang darurat Nasional. Tugas negara sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945 “melindungi segenap warga Indonesia dan tumpah darah Indonesia”. Pemerintah wajib menjamin keselamatan warga negara. Karantina kesehatan adalah jalan yang paling mungkin untuk dilakukan dengan tegas, mengingat kondisi penyebaran pendemi Corona semakin ganas. Upaya-upaya yang ada sekarang ini masih sangat jauh dari yang sudah dilakukan oleh negara-negara lain. Bersyukur kita, Pemerintah Daerah cepat melakukan lockdown untuk mengantisipasi penyebaran Corona, meski Pemerintah Pusat melarang untuk melakukan lockdown itu secara sepihak. Penanganan pendemi yang penyebarannya begitu cepat tidak bisa menunggu sikap lambat Pemerintah Pusat. Krisis Nasional Pendemi Corona akan berefek pada beberapa hal. Pertama, krisis ekonomi yang memang sudah mulai terlihat di awal tahun 2020. Sekarang sudah semakin nampak. Nilai tukar rupiah yang semakin anjlok dan kondisi ekonomi semakin lesu. Ancaman resesi terus menghantui Indonesia. Krisis ini akan merambat pada krisis politik dan krisis sosial yang mulai terlihat. Seperti kata Rizal Ramli, ekonomi Indonesia terus anjlok karena salah kelola. Bukan hanya karena Corona. Tetapi akibat mabuk utang dan pengetatan makro. Ekonomi hanya tumbuh 4% tahun 2020. Kalau tindakan terhadap corona effektif, ekonomi hanya akan anjlok lagi -1%. Tapi jika tidak effektif, ekonomi akan anjlok -2% lagi. Kondisi ini memperkuat hitungan Syahganda Nainggolan bahwa, selesai Corona bisa-bisa rezim ini jatuh. Bahkan Syahganda menghitung hari kapan kejatuhan rezim ini, disebabkan pengelolaan yang amatiran. Pengelolaan yang amatiran inilah termasuk yang membawa virus ini berkembang cepat di Indonesia. Sebagai warga negara, kita wajib menjaga kesehatan dengan memperbanyak ibadah dan doa, serta menghindari keramaian. Sembari melihat perkembangan ekonomi yang kian anjlok dan aksi lockdown yang sudah mulai diterapkan pemerintah daerah. Rasanya beban untuk menghadapi Corona ini sangat dirasakan rakyat kecil yang menggantung nasibnya pada penjual-penjual keliling dan lain-lain. Bisa juga kondisi ini membawa pada krisi bahan makanan pokok. Negara wajib memikirkan terjaminnya penyediaan kebutuhan dan kelangsungan hidup masyarakat. Mungkin krisis keuangan bagi rakyat kecil sudah mulai terasa dengan adanya Corona ini. Pemerintah wajib memikirkan bagaimana krisis keuangan itu bisa diatasi untuk menghindari wabah kelaparan di tengah masyarakat kecil. Kita berharap dan berdoa semoga wabah ini cepat berlalu. Rakyat Indonesia selamat dari wabah ini, sehingga kita semua dapat hidup seperti biasanya di kemudian hari. Insaa Allah kita bisa melewati ini dengan menerapkan pola yang dianjurkan berbagai pihak dalam menangkal penyebaran Corona ini. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Politisi, Praktisi Hukum, Dosen Fakultas Hukum dan Fisip UMJ.
Corona Menakutkan, Kapan Presiden Deklarasi Darurat Kesehatan?
By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Jumat (19/03). Tidak ada alasan sekecil apapun yang bisa dipakai menyatakan Presiden tidak bekerja menangani Corona Virus Disease 2019 (Covid 19). Dalam kenyataan terbaru, Presiden telah menerbitkan Kepres Percepatan Penanganan Virus Corona. Melalui Kepres ini Presiden telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona. Itu langkah bagus. Tetapi apakah cukup dan tepat jika dilihat dari sudut hukum? Terlalu sulit mengatakan cukup dan tepat secara hukum? Mengapa? UU No. 6 Tahun 2028 Tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab mengurus kesehatan masyarakat”. UU ini, bila mau diperiksa secara cermat, ditemukan kenyataan bahwa kewenangan pemerintah daerah menangani virus baru muncul manakala dilibatkan oleh Pemerintah Pusat. Sayangnya, sejauh ini belum terlihat tindakan pelibatan yang diprakarsai pemerintah. Disitu masalahnya. Apakah dengan demikian Pemda-Pemda harus berdiam diri? Membiarkan warganya mengurus sendiri kesehatan mereka di tengah wabah virus? Jelas tidak. Gubernur Baswedan, Gubernur Emil, Gubernur Ganjar dan Gubernur Khofifah, tentu tidak bisa berdiam diri. Para Gubernur ini harus mengambil tindakan pemerintahan sebisa mungkin untuk menjamin warganya bahwa “mereka ada dan bekerja”. Menariknya, Gubenur Baswedan terlihat berada di fornt terdepan. Sangat progresif dan responsif dalam menangani dan menghadapi virus berbahaya ini. Anies, Gubernur DKI yang bercitarasa Indonesia ini mendemonstrasikan tindakan pemerintahan sedemikian cemerlangnya. Anies menutup tempat-tempat wisata milik Pemda DKI. Tidak sampai disitu saja, Anies juga meliburkan sekolah, dan membebaskan ganjil-genap kendaraan roda empat. Berhenti disitu? Tidak juga. Gubernur ini bergerak cepat menyiapkan rumah-rumah sakit untuk menangani pasien corona. Imbauan demi imbauan dikeluarkan. Mulai dari imbauan untuk sholat di rumah, mengurangi interaksi di luar rumah, tidak bepergian ke tempat-tempat umum, dan belakangan membatasi jam operasional Bus Trans Jakarta. Semuanya menumpuk menandai tindakan-tindakan hebatnya sebagai Kepala Pemerintahan DKI. Apakah Gubernur ini akan melangkah lebih jauh? Lebih progresif yang setara dengan intensitas warganya terinfeksi virus ini sehingga melakukan lockdown, pembatasan berskala besar di wilayah DKI? Saya tidak berani berspekulasi. Mengapa? Ini soal kewenangan. Dan siapapun yang mempelajari UU No. 6 Tahun 2018 tahu, ini kewenangan Pemerintah Pusat. Bukan Pemerinah Daerah. Pasal 10 UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekerantinaan Kesehatan jelas mengatur Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Mengapa pasal ini harus dirujuk? Penetapan Kedaruratan Kesehatan menjadi prasyarat. Salah satunya, pemerintah melakukan “Pembatasan Bersakala Besar” atau Lockdown. Tetapi justru disitulah letak masalah sebenarnya. Mengapa baru sekarang bicara kewenangan Pemerintah Pusat? Sejauh apakah kewenangan Pemerintah Pusat itu? Sebatas menentukan “pembatasan berskala besar”? UU No. 6 Tahun 2018 yang disebut di atas, jelas mengatur sejumlah wewenang Pemerintah Pusat. Pasal 5 ayat (1) UU ini mengatur Pemerintah Pusat bertanggung jawab menyelenggarakan kekarantinaan kesehatan di pintu masuk dan di wilayah secara terpadu. Ayat (2) mengatur dalam menyelenggarakan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat dapat melibatkan Pemerintah Daerah. Kapan Pemerintah Pusat menunaikan perintah yang terkandung dalam pasal 5 di atas? Menurut ayat (3) Pasal 10 UU ini, Pemerintah Pusat harus terlebih dahulu menilai keadaan kesehatan masyarakat. Dalam penilaian ini, Pemerintah Pusat harus memastikan jenis penyakit, pola endemik dan faktor risiko yang dapat menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Masalahnya sekarang adalah apakah skema tindakan pemerintahan menurut UU ini diikuti Presiden? Sejauh ini tidak tersedia berita yang menunjukan pemerintah telah melakukan penilaian atas wabah dan penyakit berikut risikonya. Tetapi harus diakui, dalam kenyataannya pemerintah telah melakukan tindakan yang dalam sifatnya memastikan jenis pernyakit dan risiko yang ditimbulkan. Apa konsekuensinya? Cukup alasan hukum Pemerintah Pusat menetapkan, dalam makna menyatakan keadaan kesehatan masyarakat berstatus darurat kesehatan. Penetapan ini harus memiliki bentuk hukum. Bentuk hukumnya bisa berupa Keputusan Presiden. Isinya menyatakan keadaan masyarakat di wilayah tertentu misalnya berstatus Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Pernyataan itu menjadi dasar Pemerintah Pusatr melakukan tindakan teknis yang diperlukan menurut UU ini. Apa tindakan teknisnya? Menurut pasal 15 ayat (1) tindakan yang harus dilakukan Pemerintah Pusat adalah melakukan kekerantinaan kesehatan di pintu masuk dan di wilayah melalui kegiatan pengamatan penyakit dan faktor risiko Kesehatan Masyarakat terhadap alat angkut, orang, barang, dan/atau lingkungan serta respon terhadap kedaruratan Kesehatan Masyarakat dalam bentuk tindakan Kekarantinaan Kesehatan. Sayangnya, sejauh ini Pemerintah Pusat tidak menyatakan keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat. Tetapi pemerintah melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, yang sifatnya sama dengan menilai dan mengidentifikasi jenis penyakit “virus” dan risiko yang ditimbulkannya. Itu terlihat. Salah satunya, pemerintah melakukan tindakan isolasi warga Indonesia yang kembali dari China dan Jepang. Mereka ditempakan di pulau Natuna dan Sebaru. Apakah tindakan itu dapat dikategorikan menurut UU ini sebagai tindakan karantina? Jawabannya ya, sebagai tindakan karantina. Menurut pasal 15 ayat (2) tindakan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. karantina, isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi. b. Pembatasan Sosial Berskala Besar. c. disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap alat Angkut dan Barang; dan/atau d. penyehatan, pengamanan dan pengendalian terhadap media lingkungan. Dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada status kedaruratan kesehatan masyarakat, dilakukan karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit atau pembatasan sosial berskala besar oleh pejabat karantina kesehatan. Khusus pembatasan sosial berskala besar, menarik mengenali pengaturan dalam pasal 59. Pada ayat (1) pasal ini mengatur pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respon kedauratan kesehatan masyarakat. Ayat (2) Pembatasan sosial berskala besar bertujuan mencegah penyebaran penyakit kedarutan kesehatan masyarakat yang sedang terjadi antar orang di satu wilayah. Menurut ayat (3) pasal ini Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja. b.pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum. Faktanya sebagian dari tindakan ini telah terjadi di Jakarta, dilakukan oleh gubernur, bukan presiden. Bagaimana teknis pelaksanaannya? Menurut pasal 60 UU ini teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau PP. Mungkin PP yang diperintahkan pasal ini dapat disifatkan sebagai protokol penanganan. Perihal PP, juga diperintahkan pasal-pasal lain. Bahkan pasal lain juga memerintahkan Peraturan Menteri. Apakah PP dan Peraturan Menteri dimaksud telah tersedia? Bila PP dan Peraturan Menteri yang diperintahkan pembentukannya tersedia, dapat disifatkan sebagai protokol, maka penanganan terhadap virus ini dapat dilakukan secara sistimatis, terukur dan menjanjikan ketenangan masyarakat. Dapat dipastikan terjadi koneksi dan sinerji produktif antara Pemerintah Pusat dengan daerah. Bagaimana bila protokol itu belum tersedia? Pemerintah Pusat hanya perlu bertindak layaknya pemerintah, berpijak sebisa mungkin pada UU ini. Dengan begitu maka dapat tercipta sinergi Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Saya tidak tahu, apakah protokol itu telah tersedia atau belum. Faktanya, terlihat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bekerja sendiri-sendiri. Apa sebenarnya yang mengakibatkan pemerintah tak kunjung menyatakan kedaruratan Kesehatan Masyarakat? Sulit ditemukan nalarnya. Tetapi harus diakui pernyataan itu memiliki konsekuensi hokum yang juga berat. Pasal-pasal 52, 53 dan 55 UU ini jelas mengatur konsekuensinya. Menurut pasal-pasal ini, dalam hal pemerintah menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat diikuti dengan penetapan, misalnya karantina wilayah, Pembatasan Berskala Besar atau karantina Rumah, maka muncullah sejumlah konsekuensinya. Konsekuensi, salah satunya Pemerintah Pusat memikul atau menanggung seluruh biaya kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak di wilayah yang terkarantina. Bahkan terdapat konsekuensi lainnya. Pemerintah harus menyediakan semua fasilitas kesehatan dan membebaskan masyarakat dari biaya, apapun untuk penyembuhan atau identifikasi kesehatan mereka. Tidak logis, dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat, pemerintah membebani biaya kepada masyarakat. Berat memang konsekuensinya. Itu sebabnya Presiden mungkin memiliki kesulitan untuk mempertimbangkan tindakan deklarasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Sebab secara normatif, pernyataan kedaruratan kesehatan masyarakat dari Presiden bersifat imperatif menurut UU ini. Tetapi harus diakui, suka atau tidak, Presiden harus memperhitungkan efeknya terhadap kehidupan ekonomi dan ketersediaan anggaran. Pentingkah pertimbangan itu? Jelas penting. Sama pentingnya dengan memastikan rakyat tidak terus terkapar virus mematikan ini. Apalagi sampai nyawa mereka harus melayang. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Virus China Lebih Menakutkan Dibanding Flu Burung
Oleh Mangarahon Dongoran Apakah masih menunggu makin banyak rakyat yang jadi korban baru melakukan lockdown? Ya, rakyat butuh tindakan nyata, bukan bualan dengan menyodorkan jamu atau susu kuda liar yang semakin liar. Jakarta, FNN - LIMA belas tahun yang lalu, tepatnya Selasa sore 12 Juli 2005, seorang auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Iwan Siswara Rafei meninggal dunia karena flu burung. Hampir seluruh koran menjadikannya sebagai berita utama. Iwan meninggal dunia di sebuah rumah sakit swasta di Tangerang setelah beberapa hari dirawat sekembali bertugas dari Hongkong dan India. Di rumah sakit yang sama, juga dirawat anak keduanya yang bernama Sabrina Nurul Aisyah, di ICU. Keduanya dirawat dengan gejala yang sama. Sebelum Iwan meninggal dunia, putrinya yang masih balita, Thalita Nurul Azizah, meninggal pada Sabtu 9 Juli 2005, di ICU RS Harapan Kita, Jakarta. Sehari setelah kepergian Iwan, atau Kamis 14 Juli 2005, Sabrina yang dirawat di ICU akhirnya menghadap Sang Khalik. Itu artinya tiga orang dalam satu keluarga yang tinggal di Villa Melati Mas Serpong, Tangerang itu menjadi korban pertama flu burung di Indonesia. Saat peristiwa itu terjadi saya ditugaskan kantor untuk meliput ke rumah duka. Padahal, peristiwa itu lebih pada liputan kesehatan, sedangkan saya lebih banyak bertugas di bidang ekonomi dan politik, meskipun pernah meliput di Departemen Kesehatan (sekarang Kementerian Kesehatan). Pertimbangannya ada dua. Pertama, "Pikiran Rakyat" Bandung tempat saya bekerja ketinggalan pemberitaannya di hari pertama (koran lain sudah menjadikannya berita utama). Padahal, ada kiriman berita dari Biro Jakarta, tapi redakturnya tidak menurunkannya. Akibatnya, pagi-pagi menurut Kepala Biro Jakarta, Satrio Widianto, ia dimarahi Pemred PR Yoyo Siswaya Adiredja. Karena itu, selesai dimarahi lewat telefon, Satrio menghubungi saya agar melakukan peliputan sebaik mungkin untuk menutupi ketinggalan itu. Saya harus membuat laporan dalam bentuk berita yang dijadikan berita utama dan juga pop news. Pertimbangan kedua, karena saya juga tinggal di daerah Tangerang. Jarak dari rumah saya ke rumah duka kurang lebih 6 km. Ya, Rabu 13 Juli 2005, saya sudah berada di lokasi. Saya ingin memberitakan selengkap mungkin. Saya wawancarai tetangga Iwan. Juga saya wawancara jamaah masjid di villa tersebut, karena Iwan juga menjadi jamaahnya. Hampir sepekan saya bolak-balik ke rumah duka tanpa sedikit pun rasa khawatir dan was-was. Apalagi, saat meliput, rumah duka juga didatangi Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Seingat saya, Menkes yang datang beserta rombongan tidak memakai masker. Padahal, flu burung selain bisa terjangkit dari burung (termasuk ayam), juga bisa menular dari manusia. Saya sama sekali tidak memakai masker. Membeli makanan dan minuman di sekitar rumah duka saya lakukan seperti biasa. Tidak ada sedikit pun rasa khawatir. Padahal, yang kena flu burung waktu itu juga terus bertambah dengan penyebaran di berbagai wilayah Indonesia. Kini, virus corona sedang mewabah. Rasa khawatir saya sangat tinggi. Upaya melindungi saya dan keluarga saya lakukan. Ya, saya tidak tahu mengapa rasa khawatir itu tinggi. Apakah karena penyebarannya yang begitu cepat dan ganas atau karena sudah ada korban meninggal dunia di Pondok Aren, Banten yang jaraknya sekitar 6 kilometer dari rumah saya. Virus corona atau Covid-19 sedang menjadi penyakit yang mewabah di berbagai belahan dunia. Awalnya, penyakit yang disebut berasal dari kelelawar itu mewabah di kota Wuhan, RR China pada awal tahun ini. Penularannya yang cepat membuat pemerintah komunis China mengunci Wuhan, sehingga praktis menjadi kota mati. Lockdown yang diterapkan di Wuhan ternyata tidak mampu membendung penyebaran Virus China itu. Covid-19, tidak hanya menyebar cepat di Wuhan, tetapi beberapa daerah lainnya di China. Tidak hanya di China. Virus tersebut akhirnya menjalar ke beberapa negara, seperti Korea Selatan, Iran, Israel, Italia, Singapura, Malaysia dan termasuk Indonesia. Ada negara yang belum terimbas Covid-19, tapi sudah melakukan antisipasi lebih awal dengan tidak membolehkan warga asing masuk ke negaranya dan melarang warga negaranya keluar melancong. Arab Saudi, misalnya, telah melakukan langkah antisipasi lebih awal. Sejak 28 Februari 2020, negara kerajaan ini telah menyetop atau menghentikan pelayanan Visa Umroh dan Turis. Hingga sekarang, Tanah Suci masih belum bisa dikunjungi umat Islam yang ingin melaksanakan Ibadah Umroh. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintahnya sudah melakukan langkah antisipasi sejak awal? Jika dirunut, tentu tidak. Yang melakukan langkah antisipasi justru pemerintah daerah, terutama DKI Jakarta. Sedangkan pemerintah pusat menganggap virus China ini persoalan kecil yang bisa diatasi dengan mudah dan enteng. Misalnya, dengan minum jamu, minum susu kuda liar, seperti yang dianjurkan Presiden dan Wakil Presiden. Buktinya, 49 WNA China masih bisa melenggang masuk melalui Thailand (setelah dikarantina 14 hari), lewat Bandara Sukarno-Hatta kemudian terbang ke Kendari, Sulawesi Tenggara. Bahkan, Menko Maritim Luhut B. Panjaitan masih membela mati-matian bahwa kedatangan mereka legal. Sedangkan Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari menyebutkan 49 WNA China itu ilegal dan harus dideportasi. Ilegal karena tidak memiliki izin kerja, melainkan izin sebagai turis. Dalam konteks wabah Covid-19, bukan semata-mata legal dan ilegal yang dipersoalkan. Walaupun legal dan mereka membawa surat keterangan bebas Covid-19, mestinya pemerintah melarang mereka masuk. Mestinya Presiden Joko Widodo memerintahkan menterinya agar tidak membolehkan pendatang dari China masuk ke Indonesia. Apakan surat keterangan sehat itu menjamin bahwa mereka benar-benar sehat dan bersih dari wabah ini? Apakah ada jaminan mereka tidak tertular lagi setelah mengantongi surat bebas Covid-19? Saya kira tidak ada jaminan, karena vaksin Covid-19 juga belum ada yang diumumkan secara resmi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Healt Organization/WHO). Katanya sih sudah ada vaksinnya belakangan ini, tetapi sepanjang WHO belum mengumumkan secara resmi, vaksin itu belum bisa dipertanggungjawabkan keampuhannya. Korban Berjatuhan Masyarakat masih menunggu sikap pemerintah untuk melakukan lockdown. Sebab, masyarakat khawatir Covid-19 semakin mengganas dan memakan korban jiwa terus-menerus. Faktanya, sejak Joko Widodo mengumumkan pertama kali pada Senin, 2 Maret 2020 ada dua warga yang terkena Covid-19, jumlah korban terus bertambah. Sebelum pengumuman pun sebenarnya sudah santer kabar yang menyebutkan ada warga Indonesia yang tertular Covid-19. Jika mengacu pada keterangan pemerintah, wabah ini semakin mengerikan karena jumlah korban meninggal dunia yang bertambah cepat. Sampai Kamis, 19 Maret 2020 pukul 12.00, jumlah penderita Covid-19 yang meninggal dunia sudah 25 orang. Angkanya melonjak dari sehari sebelumnya yang berjumlah 9 orang. Sedangkan yang positif tertular virus corona menjadi 309 orang. Dengan angka 25 orang meninggal dunia, praktis selama 17 hari, rata-rata korban virus China ini 1,4 jiwa per hari sejak diumumkan kasus pertama pada 2 Maret 2020. Adapun penyebaran 25 korban meninggal dunia adalah; Bali satu orang, Banten satu orang, DKI Jakarta 17 orang, Jawa Barat satu orang, Jawa Tengah tiga orang, Jawa Timur satu orang dan Sumatera Utara satu orang. Ya, Virus China ini sangat menakutkan dan mengerikan. Dengan melihat angka korban yang terus bertambah, apakah Presiden Joko Widodo masih tidak mau melakukan lockdown? Atau masih menunggu semakin banyak rakyat yang menjadi korban, baru mengambil langkah lockdown? Ya, rakyat menunggu tindakan nyata, bukan bualan dengan menyodorkan jamu semata atau susu kuda liar yang semakin liar. ** Penulis, Wartawan Senior
Pandemi Corona: Terinspirasi Kisah Fiksi atau Buah Akal-akalan China?
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Pada 2011 lalu Amerika Serikat telah membuat film berjudul “Contagion” yang dibintangi oleh Matt Damon, Jude Law, Gwyneth Paltrow, dan Kate Winslet. Film ini bercerita tentang Coronavirus yang isinya kurang lebih persis dengan kejadian saat ini. Sebuah film Amerika yang dirilis 9 tahun lalu itu berbicara tentang Coronavirus yang mulai menyebar dari China ke seluruh dunia! Hal yang paling aneh adalah bahwa pada akhir film ternyata penyebab infeksi adalah kelelawar. “Dengan alasan yang sama bahwa penyakit ini menyebar sekarang!” kata Direktur Eksekutif The Global Future Institute (GFI) Prof. Hendrajit. Tak hanya film saja yang bercerita tentang Virus Corona atau COVID-19 itu. Ada sebuah buku yang diterbitkan pada 1981, mungkin hanya “meramalkan” wabah pandemi yang sedang dihadapi dunia pada 2020. Yang membuat heboh, “ramalan” itu ternyata tidak meleset sama sekali! World of Buzz mengutip SCMP yang baru-baru ini memposting sebuah artikel tentang buku berjudul The Eyes of Darkness yang berbicara tentang laboratorium militer China di Provinsi Wuhan, China. Dikutip dari tulisan tersebut, laboratorium itu menciptakan virus sebagai bagian dari program senjata biologisnya. Bagian menakutkan dari kisah ini adalah virus itu bernama Wuhan-400, yang menunjuk pada Covid-19 yang pertama kali berasal dari Wuhan, China. Pertanyaannya, mungkinkah buku ini murni kebetulan atau penulisnya menulis “ramalan” itu sejak 39 tahun yang lalu? Sebuah buku yang diterbitkan pada 1981 mungkin awalnya hanya “meramalkan” wabah pandemi yang sedang dihadapi dunia pada 2020! Penulis asal AS, Dean Koontz, menulis tentang seorang ibu bernama Christina Evans yang melakukan perjalanan untuk mengetahui nasib putranya, Danny, apakah masih hidup atau meninggal selama berkemah. Dia kemudian berhasil melacak anaknya ke fasilitas militer tempatnya ditahan setelah secara tidak sengaja terinfeksi mikroorganisme buatan manusia yang dibuat di pusat penelitian di Wuhan. Kutipan dari buku tersebut menunjukkan percakapan antara Christina dan seorang pria di laboratorium tempat putranya ditahan: “Saya tidak tertarik dengan filosofi atau moralitas perang biologis,” ujar Tina. “Saat ini aku hanya ingin tahu bagaimana Danny bisa berada di tempat ini.” “Untuk memahami itu,” jawab Dombey, “Anda harus kembali dua puluh bulan.” Pada saat itulah seorang ilmuwan China bernama Li Chen membelot ke AS, membawa rekaman disket tentang senjata biologis baru paling penting dan berbahaya dari China pada dekade terakhir. Mereka menyebut barang-barang itu “Wuhan-400” karena dikembangkan di laboratorium RDNA mereka di luar Kota Wuhan, dan itu adalah strain mikroorganisme buatan manusia yang terdiri dari empat ratus yang dibuat di pusat penelitian. Pusat penelitian yang dibicarakan buku ini bisa merujuk ke Institut Virologi Wuhan, yang merupakan tempat satu-satunya laboratorium biosafety level empat di China. Laboratorium ini memiliki klasifikasi laboratorium tingkat tertinggi yang mempelajari virus paling mematikan dan terletak 32 km dari tempat Covid-19 saat ini pertama kali pecah. “Anda mungkin pernah mendengar teori konspirasi bahwa Covid-19 adalah buatan manusia dan kemungkinan besar telah keluar dari laboratorium virologi Wuhan. Namun, teori ini telah ditolak secara luas,” tulisnya. Kutipan lebih lanjut dari buku ini mengungkapkan virus sebagai “senjata sempurna” karena tidak dapat bertahan di luar host selama lebih dari satu menit. “Wuhan-400 adalah senjata yang sempurna. Itu hanya menimpa manusia. Tidak ada makhluk hidup lain yang bisa membawanya. Dan seperti sifilis, Wuhan-400 tidak dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia yang hidup selama lebih dari satu menit.” “Yang berarti, ia tidak dapat mencemari objek secara permanen atau seluruh tempat seperti yang dapat dilakukan antraks dan mikroorganisme ganas lainnya,” demikian kutipan di buku itu. “Dan ketika tuan rumah virus kedaluwarsa, Wuhan-400 dengan sendirinya lenyap sesaat kemudian, begitu suhu mayat turun di bawah delapan puluh enam derajat Fahrenheit. Apakah Anda melihat keuntungan dari semua ini?” Pengacara Albert Wan, yang mengelola toko Bleak House Books di San Po Kong, mengatakan bahwa Wuhan dikenal sebagai tempat berbagai fasilitas penelitian ilmiah. Menurutnya, penulis cerdas seperti Koontz akan mengetahui semua ini dan menggunakan sedikit informasi faktual ini untuk menyusun cerita yang meyakinkan dan meresahkan. “Itu karena Wuhan-400,” kata Wan. Dean Koontz bukan satu-satunya penulis yang “memprediksi” wabah Covid-19. Menurut The Sun Daily, penulis Amerika Sylvia Browne menerbitkan sebuah buku pada 2008 berjudul End of Days: Predictions and Prophecies About the End of the World. Buku tersebut juga bicara tentang penyakit terkait pernafasan yang akan menyebar di seluruh dunia. Buku ini bahkan menyebutkan bahwa itu akan terjadi pada 2020. “Pada sekitar tahun 2020, penyakit seperti pneumonia yang parah akan menyebar ke seluruh dunia, menyerang paru-paru dan saluran bronkial dan menolak semua perawatan yang ada,” begitu tulis buku ini. “Hampir lebih membingungkan daripada penyakit itu sendiri adalah fakta bahwa penyakit itu akan tiba-tiba menghilang begitu saja, menyerang lagi 10 tahun kemudian, dan kemudian menghilang sepenuhnya,” demikian buku itu. Tidak salah kalau Presiden AS Donald Trump sempat menuding, Covis-19 itu sebagai virus buatan China, dan Trump menyebutnya dengan nama “Virus China”. Ini yang membuat China meradang, dan menuding justru virus ini buatan AS. Vaksin Corona Melansir Viva.co.id, Rabu (18 Maret 2020 | 15:02 WIB), ada kabar baik di balik bencana mewabahnya Virus Corona di dunia. China mengaku sudah berhasil melakukan penelitian dan menemukan vaksin untuk menyembuhkan virus ini. Vaksin obat corona itu ditemukan dalam penelitian yang dilakukan Akademi Epidemiologi yang dipimpin ilmuwan bernama Chen Wei. Hal itu diungkapkan duta besar China untuk Riyadh, Chen Weiqing, Rabu 18 Maret 2020. Menurutnya, informasi yang diterimanya ilmuwan China telah melakukan penelitian klinis dan tinggal melakukan percobaan terhadap manusia saja. Chen menuturkan, vaksin yang ditemukan dipastikan sudah sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan internasional. Hal itu cukup menggembirakan, karena setelah diuji kepada manusia, vaksin obat corona akan dapat diproduksi secara massal. Perlu diketahui, China merupakan negara tempat pertama kali corona ditemukan. Lebih dari 80 ribu penduduk China terinfeksi virus ini dan 3 ribu orang telah meninggal dunia. Meski begitu 67 ribu lebih berhasil disembuhkan. Sampai saat ini tak cuma China yang mengklaim telah menemukan vaksin corona, Amerika juga telah mengklaim hal yang sama. Malahan Israel telah jauh-jauh hari mengeluarkan klaim menemukan vaksi obat corona. Sementara dari data Coronavirus Covid-19 Global Cases by the Center for Systems Science and Engineering (CSSE) at Johns Hopkins University, hingga saat ini sudah 198 ribu orang di dunia yang terinfeksi corona, hampir 8 ribu meninggal dunia dan 81 ribu sembuh. Mengutip Indozone.id, Rabu (18 Maret 2020 10:22 WIB), China memamerkan suka cita karena mampu mengatasi virus corona di pusat wabah, Kota Wuhan. Para dokter yang bertugas menangani pasien terjangkit virus corona pun membuat perayaan pada Minggu (15/3/2020). Tak hanya itu. Rumah sakit sementara yang sengaja dibangun untuk mengatasi pasien corona pun ditutup. Dalam video yang banyak beredar di medsos dan telah dilihat jutaan kali secara online itu, para pekerja melepaskan masker mereka satu per satu saat kamera melewati mereka, untuk menandai momen tersebut seperti yang dilaporkan The Independent. Sebelumnya pada awal Februari lalu, pemerintah China telah membangun 14 rumah sakit baru dalam waktu singkat. Semua RS itu dikhususkan untuk tempat merawat pasien Covid-19. Dari 14 rumah sakit itu, dua di antaranya ada di Wuhan. Perayaan itu juga dilakukan karena penutupan RS itu menandakan adanya penurunan jumlah kasus baru di China dari wabah yang sudah ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO itu. Pada Sabtu, para pimpinan di sektor kesehatan mengatakan, hanya ada 13 kematian baru dan hanya ada 11 kasus baru. Kasus ini termasuk kasus import (imported cases), yang terdeteksi pada orang-orang yang baru datang dari negara-negara lain yang terkena dampak. Secara total per Rabu (18/3/2020), jumlah kasus infeksi virus corona di China ada sebanyak 80.894 kasus dengan 3.237 kematian dan 69.614 sembuh. Secara global, ada 194.412 kasus dengan 7.984 kematian dan 82.762 orang sembuh, tulis Worldometers info coronavirus. China memang terbilang sukses tangani virus Corona. Mungkinkah sebelum virus corona ini mewabah, China sudah menyiapkan Vaksin anti Corona juga? *** Penulis wartawan senior.
Mengapa Jokowi Tidak (Belum) Mau Lockdown?
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pemerintah pusat sampai saat ini memutuskan tidak akan melakukan lockdown. “Berpikir ke arah itu pun tidak,” kata Presiden Jokowi. Namun melihat eskalasi penyebaran virus, cepat atau lambat langkah semacam itu mau tidak mau, suka tidak suka berani tidak berani, harus diambil. Setidaknya di Jakarta. Apakah namanya pembatasan pergerakan, penutupan perbatasan, sampai pembatasan pergerakan secara total. Pokoknya harus ada langkah konkrit membatasi pergerakan manusia, agar tidak terjadi penularan virus corona. Gubernur DKI Anies Baswedan sudah menyatakan akan mengambil langkah agresif perang terhadap corona. Mengapa Jokowi keukeh dengan sikapnya. Padahal korban mulai berjatuhan? Sampai saat ini data resmi yang positif 309 orang dan meninggal dunia 25 orang. Prosentase kematian di Indonesia menjadi tertinggi di dunia, 8%. Para tenaga medis sudah secara terbuka menyatakan tak akan sanggup menangani, bila sampai terjadi ledakan jumlah korban yang terpapar virus? Sikap gamang Jokowi ini urusannya tak jauh-jauh dari power strugle. Perjuangan mempertahankan kekuasaan. Ada kekhawatiran yang sangat besar di internal Jokowi, krisis ini akan berdampak pada krisis konstitusi. Jokowi harus benar-benar menimbang dan berhati-hati. Kalau salah langkah yang terjadi bukan hanya lockdown, tapi malah stepdown. Turun dari jabatan. Pertimbangan utamanya pada aspek ekonomi dan sosial yang akan berdampak serius pada aspek politik. Secara ekonomi dampak dari lockdown sangat serius. Dalam negara yang secara ekonomi normal dan sehat-sehat saja, virus corona bikin babak belur. Apalagi dengan perekonomian Indonesia yang fundamentalnya rapuh. Katakanlah hanya dilakukan lockdown di Jakarta, namun dampaknya terhadap perekonomian nasional tetap akan sangat serius. Ketika bicara Jakarta, berarti kita juga bicara daerah-daerah sekitarnya yang sering disebut sebagai megapolitan Jabodetabek. Kawasan Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang sebagian akan terdampak secara langsung. Porsi Jakarta terhadap perekonomian nasional sebesar 75%. Peredaran uang terbesar juga wilayah ini. Ekonomi Jakarta mandek, ekonomi nasional juga mandek. Total jumlah penduduk di Jabodetabek sekitar 30 juta. Pemerintah harus memastikan ketersediaan stok pangan selama lockdown berlangung. Satu bulan, dua bulan atau bahkan tiga bulan. Tidak cukup hanya tersedia stok pangan. Persoalan berikutnya bagaimana bahan pangan itu bisa terdistribusi dengan baik, dan sampai secara merata kepada yang membutuhkan. Belajar dari pengalaman sebelumnya, ketika terjadi krisis selalu ada kelompok-kelompok, maupun perorangan yang mencoba mengambil keuntungan. Yang harus benar-benar dipikirkan, puncak penyebaran corona diprediksi akan terjadi pada awal bulan Ramadhan. Saat kebutuhan pasok pangan meningkat tinggi. Bagaimana dengan nasib para pekerja sektor informal. Tukang ojek, buruh, pedagang kecil, sopir angkot dll. Mereka hanya bisa makan kalau mereka bekerja. Bekerja hari ini, untuk makan hari ini. Pemerintah harus menyiapkan semacam bantuan langsung tunai yang jumlahnya tidak sedikit. Jelas itu akan sangat membebani anggaran pemerintah yang saat ini telah mengalami defisit cukup parah, dan utang negara yang kian menggunung. Belum lagi persoalan ikutan lainnya. Seorang sopir online mengirim surat terbuka kepada Jokowi, bagaimana nasib kredit mobil mereka bila sampai tidak bekerja. Perusahaan leasing akan menarik mobil mereka. Padahal pada mobil itulah periuk nasi mereka bergantung. “Bagi kami dan jutaan rekan-rekan pengemudi lebih takut mati kelaparan daripada mati karena Covid 19. Mati kelaparan lebih menyakitkan dan memalukan Pak,” tulis sopir bernama Ganda Silalahi itu. Berbagai persoalan ekonomi, terutama menyangkut nasib perut rakyat kecil itu bila tidak bisa diselesaikan dengan baik akan berdampak sosial serius. Kejahatan meningkat, konflik horisontal dan tidak menutup kemungkinan terjadi kerusuhan sosial. Perut lapar tak bisa menunggu. Perut lapar tak bisa kompromi. Perpaduan antara ekonomi negara yang kolaps, ketidakpuasan publik, dan munculnya kerusuhan sosial bisa berdampak serius secara politik. Ujung-ujungnya adalah tuntutan mundur Jokowi. Hal itu benar-benar harus dihindari. Karena itu lah para buzzer pemerintah kompak menyerang siapapun yang menyuarakan pentingnya lockdown. Termasuk ketika ada pendukung Jokowi yang menyerukan lockdown. Langsung hajar tanpa ampun. Kalkulasi ekonomi, sosial dan politik itu lah yang membuat Jokowi seperti mengulur waktu, melakukan conditioning, sambil berharap pada nasib baik. Siapa tahu karena Tuhan sayang kepada bangsa Indonesia, tiba-tiba penyebaran virus corona berhenti dengan sendirinya. Coba perhatikan di media sosial. Para die hard Jokower di seluruh dunia bersatu padu —dalam dan luar negeri— mencari kambing hitam. Sasarannya siapa lagi kalau bukan Gubernur DKI Anies Baswedan. Mereka menggoreng isu Anies sebagai pejabat yang menyebar ketakutan ke publik. Potongan pernyataan Anies bahwa pembatasan transportasi umum di Jakarta sebagai pesan efek kejut bagi warga Jakarta, disebar secara massif. Sejumlah pendukung Jokowi juga berencana berunjukrasa ke Balaikota DKI. Dengan mendiskreditkan Anies mereka setidaknya akan mendapat dua keuntungan. Pertama, mendapat kambing hitam. Sasaran tembak beralih dari Jokowi ke Anies. Kedua, berhasil mendowngrade Anies yang saat ini mendapat panggung gemerlap karena kesigapannya menangani virus corona. Masalahnya sampai kapan Jokowi bisa bertahan tidak melakukan lockdown, atau apapun namanya? Jika terjadi ledakan jumlah yang positif corona —tanda-tanda dan kalkulasinya sudah sangat jelas— maka dipastikan ongkos politik yang harus dibayar Jokowi jauh lebih mahal. Sangat mahal malah. End Penulis wartawan senior.
Apakah Menkes Sedang Buat Kontes Virus Corona?
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Agak susah juga menggambarkan tindakan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang memamerkan tiga pasien eks-positif Corona. Yang dipamerkan adalah kasus 01, kasus 02 dan kasus 03. Terawan berfoto bersama ketiganya di depan para wartawan sambil menyerahkan jamu racikan Jokowi. Apa tujuan Pak Menteri? Apakah kita sedang menyelenggearakan kontes virus Corona? Kontes siapa yang bisa bertahan? Untuk mencari juara 1, juara 2, juara 3? Kalau tujuan Terawan memamerkan mereka untuk meyakinkan rakyat bahwa Corona tidak berarti maut, itu berarti beliau merasa orang lain tidak bisa mencerna statistik Corona. Mungkin Terawan menganggap orang lain tak tau tentang persentase kesembuhan Corona di seluruh dunia. Cukuplah kesembuhan ketiga eks-positif itu diberitakan secara natural oleh media massa. Apa adanyna saja. Tidak harus ketiganya diolah dulu oleh tim tatarias supaya tampilan kesembuhannya semakin gembira-ria. Bagaimanapun juga kesembuhan itu adalah berita penting. Pastilah disiarkan. Terawan lupa bahwa persoalannya bukan sembuh atau tidak. Yang dicemaskan orang adalah, apakah mereka akan tertular atau tidak? Apakah mereka bisa mendapatkan perawatan yang standar atau tidak? Dan, apakah Corona akan menyebabkan puluhan ribu orang terjangkit atau tidak? Bahwa per hari ini 80,200 orang sembuh dari 202,000 kasus positif Corona di dunia, semua orang tahu. Orang juga tahu kasus 01, kasus 02 dan kasus 03 sembuh. Orang pun tahu si kasus 01 sempat marah-marah karena identitas pribadi dirinya dan ibunya sempat tersiar akibat kecerobohan pemerintah. Jadi, tidaklah terlalu perlu memajang foto pasien Corona sembuh di media massa. Terasa berlebihan. Overdosis. Kesembuhan itu bukanlah prestasi jabatan. Bukan juga hasil kontes. Semoga Pak Terawan tidak merasa ancaman Corona sudah reda setelah tiga selebriti itu lolos.[] 18 Maret 2020 Penulis wartawan senior.
Berpulangnya Jhon Titaley, Anak Ambon Penjual Kopi Keliling
By Ikhsan Tualeka Jakarta FNN – Rabu (18/03), Sama sekali beta seng mengenal atau pernah bertemu dengan anak muda ini. Tetapi dia adalah korban kesekian dari anak-anak muda Maluku yang mati sia-sia di perantauan. Mati ketika sedang menjual kopi keliling di jalanan. Mati karena harus meninggalkan kampung atau daerahnya yang miskin dan banyak pengangguran. Padahal daerahnya kaya akan sumber daya alam. Mati karena tak mampu bersaing akibat indeks pembangunan manusia yang rendah. Mati karena stigma orang Ambon (Maluku.red) adalah preman. Iya, tanpa bermaksud menggeneralisir. Tetapi sangat mungkin Jhon Titaley sang penjual kopi keliling di Mall Tangerang City yang meninggal, 16 Maret 2020 adalah dampak dari ketertinggalan selama ini. Ketertinggalan yang harus mendesaknya berjualan kopi dari gerobak butut hingga menemui ajal. Padahal ikan di Ambon kemarin sampai naik ke daratan. Jhon Titaley meninggal karena dianiaya oleh oknom anggota TNI dan oknom Anggota Pemuda Pancasila, hingga tak berdaya. Video pemukulan terhadap Titaley pun beredar luas di media sosial. Titaley yang sendirian tanpa perlawanan. Dia dipukul. diinjak dan ditendang hingga tak berdaya. Orang-orang yang ada di sekitar, nampak hanya menonton saja. Setelah selesai melakukan penganiayaan terhadap Titaley, para pelaku akhirnya melarikan diri. Meninggalkan Titaley terkapar. Beruntung, karena lokasi penganiayaan berada tepat di depan Mall Tangerang City. Saat itu karyawan ada yang menolong korban, serta melarikannya ke Rumah Sakit Umum Kota Tangerang untuk mendapatkan pertolongan pertama. Sayang, nyawa Titaley tak tertolong. Dia akhirnya meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil. Sebelum aksi pengeroyokan terhadap Titaley, ada bentrok yang terjadi antara kelompok Ali dan anak buahnya yang berasal dari Ambon dengan oknom anggota TNI di salah satu kafe di Tangerang. Beberapa jam kemudian oknom anggota TNI dan oknom Pemuda Pancasila kembali dengan beberapa rekan mereka di Mall Tangerang city. Mereka hendak mencari Ali dan anak buahnya. Namun orang yang dicari tidak ada yang kelihatan. Akhirnya Jhon Titaley sang penjual kopi keliling yang tidak tau apa-apa, menjadi sasaran penganiayaan. Sebagai bentuk luapan emosi para pelaku hanya karena Jhon Titaley berkulit hitam atau gelap. Ini kasus yang kesekian. Terlalu panjang daftarnya, hingga orang tak begitu peduli lagi bila ada kejadian yang begini. Ini juga mengingatkan beta pada pengalaman sekira tujuh tahun lalu. Juga di salah satu Mall di Tanggerang, disela-sela mengikuti pelatihan peneliti tata kolela pemerintahan. Salah satu peneliti asal Nusa Tenggara Timur ditahan oleh security Mall tersebut, dengan tuduhan pencurian. Ternyata tidak terbukti. Usut punya usut, ternyata dia ditahan karena diduga mirip dengan pelaku “Ambon” yang lolos. Lagi-lagi hanya karena kulitnya yang gelap. Kembali ke kasus yang menimpa Jhon Titaley. Sebelum dianiaya, Titaley sempat ditanya oleh para pelaku bahwa apakah kamu adalah anak buah Ali? Titaley membantah, dan mengatakan bukan bagian dari kelompok manapun. Akan tetapi mereka yang sudah dirasuki emosi, dan dalam jumlah lebih banyak, langsung mengeroyok hingga Titaley tak berdaya alias tak sadarkan diri di tempat. Setelah Titaley dilarikan ke rumah sakit, istrinya langsung menuju Polres Metro Tangerang untuk membuat laporan. Polisi kemudian dengan cepat memproses laporan tersebut dan bertindak cepat melacak identitas dan keberadaan para pelaku. Akhirnya, polisi mengantongi identitas para pelaku yang ternyata itu adalah oknom anggota TNI dan dari organisasi Pemuda Pancasila. Dini hari di Polres Metro Tanggerang,kuasa hukum dari keluarga Jhon Titaley telah berkoordinasi dengan penyidik. Untuk perkara yang terkait dengan anggota TNI, segera dilimpahkan ke Denpom Jaya I Tangerang untuk segera diproses sesuai dengan kewenangan institusi TNI. Sementara yang dari masyarakat sipil ditanggani oleh kepolisian. Kita semua tentu berharap kasus ini dapat di tangani dengan serius hingga tuntas. Semua yang terlibat harus diberikan hukuman yang setimpal. Namun ini juga jadi pelajaran bagi kita semua untuk tidak lagi menyelesaikan masalah hanya di hilir. Tetapi mau membenanahi problem harus dari hulu. Saatnya sumber daya manusia dan lapangan pekerjaan untuk orang Maluku diperhatikan. Agar tidak ada lagi orang Maluku yang menjadi korban karena stigama. Akibat dari pilihan pekerjaan yang keras dan menyerempet bahaya, hingga saudara yang tak bersalah pung menjadi korban sia-sia, hanya karena berkulit gelap dan berperawakan dari timur. RIP saudaraku Jhon Titaley. Katorang semua do’akan semoga Ale tenang di sisi Tuhan, dan keluarga, terutama istri dan anak-nya diberikan penghiburan. Bagi yang mau menyantuni korban, malam ini jenazah Titaley dipulangkan ke Ambon. Mari sama-sama kita ringankan keluarga korban, anak muda petarung hidup di ibu kota ini. Penulis adalah Pemerhati Kawasan Indonesia Timur
Surat Terbuka Dokter Tifauzia: Tahukah, Pak Presiden?
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Yth. Presiden Indonesia Dan 271 juta Rakyat Indonesia Nasib Dokter dan Praktisi Kesehatan karena COVID-19 Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Ada pihak paling rentan terhadap Covid-19, dan mereka, saat ini, Terpaksa mau merawat pasien Covid-19, dengan jumlah kasus, Lebih Dari Yang Dilaporkan Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Sudah Puluhan (bahkan mungkin sudah Ratusan) Dokter, Petugas Kesehatan, dan Staf Rumah Sakit yang Sudah Positif dan atau menjadi Suspect Covid-19, di seluruh Rumah Sakit yang ditunjuk, di Jakarta, dan di berbagai Daerah di Indonesia, ada Dokter dan Perawat yang sudah meninggal karena Covid-9. Ada Profesor dan Dokter Spesialis Konsultan yang sudah koma di ICU karena Covid-19. Ada yang berbagai ruang Isolasi dengan pasien yang dirawatnya, ada yang diminta Isolasi di rumah, karena Rumah Sakit sudah kehabisan tempat isolasi. Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Karena BPJS, Dokter Spesialis dibayar Rp 6.000 rupiah per pasien per hari, Dokter Umum dibayar Rp 2.000 rupiah per pasien perhari bahkan Residen (Calon Spesialis) yang menjadi Garda Terdepan Penanganan Covid-19 ini adalah Martir sesungguhnya, dan mereka atas nama Undang-Undang, Seseperpun Tidak Dibayar. Dengan bencana Covid-19 ini, bahkan tak ada sedikitpun insentif tambahan bagi mereka semua ini, yang bekerja 36 jam, 48 jam, bahkan 72 jam tanpa tidur, bahkan melebihi kemampuan nadi dan nafasnya. Karena itu, Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Saat ini sudah ada mulai ada tindakan Penolakan Pasien Covid-19, dengan berbagai alasan masuk akal, ketersediaan bed (karena harus isolasi maka pasien Covid-19 ini menghabiskan 1 ward sendiri, dan pasien lain jadi kehilangan hak untuk dirawat). Dan pasien Covid-19 ini Biayanya Tidak Ditanggung BPJS!!! Catat itu baik-baik!!! Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Apa yang terjadi kalau sampai Dokter dan Petugas Rumah Sakit Menolak Merawat Pasien Covid-19? Pasien Covid-19 akan berkeliaran di jalanan tanpa tahu harus kemana! Dan Itu Sudah Terjadi! Kondisi ini yang justru Mengharuskan #Lockdown dilakukan sesegera mungkin. Jangan Anda menunggu Jubir menyampaikan jumlah kasus melebihi 1.000 baru Bapak umumkan #Lockdown. Saat ini Angka Resmi kasus yang dilaporkan per hari Senin 16 Maret 2020 sejumlah 137 kasus. Itu artinya Angka Riil di lapangan adalah sejumlah 3.699 kasus (berdasarkan angka agregat Covid-19 sebesar 27 kali antara kasus yang terperiksa secara aktif dan kasus riil yang tidak diperiksa). Dengan angka resmi yang dilaporkan, saja, per hari ini Selasa, 17 Maret 2020, jumlah kasus resmi akan sekitar 268 kasus (dengan kasus riil berjumlah 7,836 di luar Rumah Sakit) saja saat ini, Rumah Sakit sudah pasti akan Menolak Pasien! Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Saat ini Italia sebagai negara besar, maju, dan kaya, Dokter dan Praktisi Kesehatan, sebagian sudah mengibarkan bendera putih karena tak sanggup lagi merawat pasien dan mengetahui dirinya adalah individu yang paling rentan saat ini untuk terkena Covid-19, dan mereka telah Menyaksikan Dengan Mata Kepala Sendiri, teman-teman mereka para Dokter dan Perawat yang menderita di ruang ICU dan Isolasi. Apa yang terjadi saat ini di Italia adalah, Mereka Sudah Memilih Pasien Mana Yang Harus Mereka Rawat, dan membiarkan Pasien Yang Punya Harapan Hidup Kecil untuk meninggal dengan begitu saja. Apakah itu artinya mereka tidak punya hati nurani! Tidak! Itu adalah Protokol Penanganan Pasien Dalam Keadaan Bencana. Siapa yang punya harapan hidup lebih tinggi dia akan diprioritaskan, dan siapa yang punya harapan hidup kecil, akan dibiarkan menjemput ajal. Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Dokter di Italia dan Jerman dan Perancis dan Inggris mampu menolak pasien, Sama Dengan Dokter di Indonesia. Tidak Sama dengan Dokter di China. Kenapa? Karena kalau sampai Dokter dan Petugas Kesehatan menolak pasien, mereka bisa ditembak! Padahal Pemerintah China sudah menggelontorkan dana 20.000 Triliun untuk penanganan Covid-19 ini. Dokter dan Petugas Kesehatan Rumah Sakit Indonesia saat ini bisa serentak menolak merawat Pasien! Kenapa? Karena sejak 5 tahun terakhir dengan penerapan BPJS, mereka ini adalah Buruh Kerja Rodi dengan bayaran menyedihkan dan kerja dengan fasilitas terbatas. Lalu masih ditambah lagi mereka mau Bapak wajibkan untuk merawat Pasien Covid-19 dengan taruhan nyawa sendiri dan keluarga? No Way! Untuk Bapak ketahui, Dan 271 juta rakyat Indonesia, Saat ini, sebagian besar Rumah Sakit di Indonesia menderita bleeding akibat defisit miliaran hingga ratusan miliaran karena BPJS ngemplang bayar. Untuk menyediakan masker yang layak pakai di Rumah Sakit saja tak ada dana dan kemampuan, bahkan saat ini Para Dokter dan petugas kesehatan terpaksa menggunakan Masker Kain yang tentu saja sangat tidak aman mencegah Covid-19. Sementara, sampai dengan hari ke 14 sejak terjadinya Pandemi Covid-19, belum ada satupun berita Pemerintah cq Kemkes siap menyediakan dana sejumlah sekian khusus untuk penanganan Covid-19. Bisakah Bapak bayangkan Dan 271 rakyat Indonesia bayangkan Orang yang berstatus Positif Covid-19 akan berkeliaran di jalanan dan rumah. Mayat-mayat bergelimpangan di Rumah Sakit, di rumah, bahkan di jalanan. Dan itu Sudah Terjadi di Italia! Negara besar dan kaya raya! Cobalah sekali ini saja 271 Rakyat Indonesia Pakailah nalar dan hati nurani Anda semua. Kalau Anda terjangkit Covid-19, dan Tidak Ada Satupun Rumah Sakit mau merawat Anda, Apa yang akan Anda lakukan? Tifauzia Tyassuma (Dokter, Peneliti, Penulis) Presiden AHLINA Institute (Diposting 05.43 WIB, 17 Maret 2020) *** Penulis wartawan senior.
Lockdown, Ada Apa Antara Jokowi dan Anies Baswedan?
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Selasa (17/3) Mendagri Tito Karnavian menemui Gubernur DKI Anies Baswedan. Tito mendapat tugas menyampaikan pesan khusus Presiden Jokowi : Lockdown adalah kewenangan pemerintah pusat! Kedatangan Tito ini tentu sangat menarik dan menimbulkan tafsir politik. Mengapa Presiden Jokowi harus secara khusus menyampaikan pesan itu kepada Anies? Sehari sebelumnya, Senin (16/3) dalam jumpa pers di Istana Bogor, Jokowi sudah menegaskan hal itu. "Kebijakan lockdown, baik di tingkat nasional dan tingkat daerah, adalah kebijakan pemerintah pusat,” tegasnya. Apa itu tidak cukup? Tampaknya ada kekhawatiran, instruksi Jokowi mulai tidak didengar oleh kepala daerah. Selain Jakarta, sejumlah daerah sudah mulai melakukan lockdown secara terbatas. Termasuk Solo yang dulu pernah dipimpin Jokowi. Tak lama setelah pertemuan itu, terungkap ada “pesan” lain yang disampaikan Jokowi. Tim Siaga Covid-19 DKI dirombak. Ketua Tim Siaga Covid-DKI Catur Laswanto menyatakan Tim Tanggap COVID yang telah dibentuk Pemprov DKI Jakarta diselaraskan dan disesuaikan dengan Keppres 7/2020. Namanya berubah menjadi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di DKI Jakarta. Strukturnya dan komposisinya juga dirombak total. Gugus Tugas itu diketuai oleh Ketua Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNBD) yang dijabat oleh Sekda. Anggotanya semula hanya berisi para kepala dinas (SKPD) DKI, sekarang ditambah TNI, Polri dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Apa artinya semua itu? Sebagai kepala daerah Anies tak bisa lagi bebas menentukan kebijakannya. Semuanya harus seizin pemerintah pusat. Langkah pemerintah melakukan sentralisasi penanganan pandemi global ini jelas menimbulkan pertanyaan sekaligus kekhawatiran. Ini merupakan langkah mundur! Sejak merebaknya virus corona, banyak kalangan yang meragukan dan mempertanyakan kualitas dan kemampuan pemerintah pusat. Bukan hanya dari kalangan domestik, namun juga komunitas internasional. Semuanya bersumber pada rendahnya kualitas dan kapasitas kepemimpinan Jokowi dan para pembantunya. Menganggap remeh persoalan, dengan kebijakan yang berubah-ubah. Sangat terlihat pemerintah pusat ragu-ragu, gagap bin bingung menghadapi persoalan. Sebaliknya Anies Baswedan menunjukkan kualitas dan kapasitas kepemimpinan yang kuat dan tanggap dalam menghadapi bencana. Pujian mengalir untuk Anies dan Pemprof DKI. Hal ini bila terus dibiarkan akan menimbulkan fenomena “matahari kembar.” Yang satu bersinar terang. Sementara yang satunya mulai tenggelam di balik awan gelap virus corona. Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli bahkan secara lugas menyebut Indonesia sebagai negara tanpa pemimpin. “A Nation Without Leader,” tegasnya mengutip pernyataan tokoh senior Jawa Barat Tjetje Hidayat Padmawinata. Dilema Jokowi Virus corona sebagaimana ditulis oleh Benjamin Bland seorang peneliti dari lembaga think tank Lowy Institute, Sidney membongkar sisi kelemahan Jokowi. “Pemerintahannya bersifat ad hoc dan pemikirannya kurang strategis,” tegas Bland. Respon awal Jokowi, tulis Bland, sangat mengkhawatirkan, sementara tindakan dan ucapan Menkes Terawan sering kontroversial. Signal buruk inilah yang ditangkap oleh publik di Indonesia maupun komunitas internasional. Semuanya jadi terang benderang. Tak bisa lagi ditutup-tutupi dengan pencitraan, apalagi pengerahan buzzer. Penyebaran virus corona dan jumlahnya penderitanya yang sangat besar di Jakarta, menjadi dilema besar bagi Jokowi. Dia dihadapkan pada pilihan sulit antara lockdown atau tidak? Pilihannya tidak sesederhana : Dimakan mati Bapak. Tidak dimakan mati Ibu! Bila mengacu kepada besarnya jumlah penduduk, potensi sebarannya yang begitu massif, keterbatasan fasilitas dan tenaga medis, sesungguhnya tidak ada pilihan lain, kecuali lockdown. At all cost. Jumlah penduduk Jakarta lebih dari 10 juta jiwa. Belum lagi bila dihitung dengan lebih dari 2 juta pekerja komuter dari Jabodetabek. Saat ini di semuapq kecamatannya telah terdapat warga yang positif corona, atau setidaknya suspect corona. Secara eksponensial penyebarannya dipastikan akan sangat besar. Jakarta bisa jadi kuburan massal. Ada yang memperkirakan jumlah korbannya bisa lebih besar dari Italia bila pemerintah salah mengantisipasinya. Sangat Mengerikan! Kementerian Kesehatan sudah mengisyaratkan akan adanya lonjakan jumlah penderita. Sudah dapat dipastikan Jakarta yang akan paling menderita. Sebaliknya bila harus melakukan lockdown, Jokowi harus sangat mempertimbangkan kalkulasi ekonomi dan anggaran negara yang terbatas. Lockdown jelas tidak sesederhana kita menutup pintu. Semuanya langsung beres. Ada cost ekonomi, sosial dan politik yang kudu dihitung cermat. Inilah ujian sesungguhnya bagi Jokowi. Bisakah dia membuktikan tudingan banyak kalangan, bahwa dia pemimpin yang tidak punya kapasitas dan kualitas, salah besar? Anda ingin dikenang oleh dunia seperti apa Pak Jokowi? Nyawa jutaan rakyat Indonesia menjadi taruhannya. End Penulis adalah Wartawan Senior.
Mengisolasi Diri Dua Minggu Itu Cost Paling Murah
Kalau anda ternyata malah sekalian positif Covid-19. Hidupmu tambah runyam. Iya kalau sembuh. Kalau tidak sembuh, lalu malah wassalam. Siapa yang paling menderita ? Keluargamu. Kalau anda kepala keluarga atau tulang punggung keluarga, berarti terputus nafkah untuk mereka. Keluargamu akan pontang-panting mencari nafkah setelah anda nggak ada. Anda juga nggak bisa lagi mendampingi anak-anak tumbuh besar. Rugi banget, banget dan banget. By Lily Bertha Kartika Jakarta FNN - Sulit sekali menjadi kompak dan bersatu dalam mengatasi situasi krisis, selama orang masih berkeras untuk ada dalam zona nyamannya. Diminta mengisolasi diri sendiri selama dua minggu di rumah saja, malah keluyuran. Diminta meliburkan karyawannya dan bekerja di rumah, kecuali pelaku bisnis tertentu, masih hitung-hitungan juga untung rugi. Ketika dilakukan pembatasan transportasi untuk tujuan mengurangi penumpukan orang yang bisa memperbesar risiko penularan, malah mau baku hantam dalam antrian. Lalu para kompor, yang bahkan ada jurnalis senior, dosen, dan kaum cendikiawan ikut meramaikan suasana dengan bilang "coba aja si pembuat kebijakan berdesakan di bus dan rasakan gimana sengsaranya. "Juga komentar, nggak pakai otak. Emang dia pikir semua bisnis bisa dikerjakan di rumah?". Padahal sebelum mengambil keputusan itu, Gubernur Anies sudah berkonsultasi dengan banyak pihak dari asosiasi profesi. mulai dari ahli kesehatan sampai pelaku bisnis. Simulasi juga sudah dilakukan. Datanya juga lengkap, sehingga dampaknya bisa diukur. Bicara soal dampak dalam satu kasus, tentu yang harus diantisipasi adalah dampak yang paling berbahaya diantara sekian banyak dampak yang timbul. Penumpukan orang bukannya tidak dipikirkan sebagai risiko. Tetapi dalam kasus Covid-19 seperti sekarang, yang lebih penting diantisipasi adalah penularan virus yang sedemikian cepatnya itu. Isolasi memang bukan keputusan untuk menyenangkan semua pihak, tetapi untuk menyelamatkan semua pihak. Kalau dihitung jangka pendek, kerugian pasti banyak, terutama waktu dan uang. Tiba-tiba semua kebiasaan berubah. Hidup menjadi tidak nyaman. Takut dan banyak ketidakpastian. Tetapi dalam jangka panjang, isolasi justru cost paling murah dibanding jika korban terus bertambah. Coba anda pikirkan. Kalau harus dirawat berminggu-minggu di rumah sakit. Berapa waktu produktivitas kerja yang terbuang? Berapa waktu yang habis untuk ngantri dan melewati semua pemeriksaan ini dan itu? Berapa biaya yang habis dan lain-lain? Anda bahkan beneran nggak bisa pergi kemanapun. Tidak bisa berinteraksi dengan keluarga. Nggak bisa meeting dengan siapapun. Bandingkan besarnya ketidaknyamanan yang hilang jika dibanding kita patuh untuk bekerja di rumah dan mengisolasi diri sementara waktu. Toh, selama isolasi sementara di rumah, kita masih bisa meeting online. Masih bisa bercengkerama dengan keluarga. Jadi, sebenarnya ini soal ego saja. Sejauh mana kita mau repot mengatur ulang bisnis. Mengatur rutinitas dan segala kenyamanan yang selama ini sudah melekat, yang kemudian dipaksa menyesuaikan dengan situasi krisis ini. Sangat ribet, bikin kesal dan tidak nyaman itu sudah pasti. Kalau memilih menyesuaikan diri dan bersabar, kondisi ini akan pulih lebih cepat. Kenyamanan kita juga berangsur akan kembali. Sementara kalau terus rewel dan manja, tidak akan banyak kondisi yang berubah, dan akan makan waktu lebih lama untuk kondisi ini pulih seperti sedia kala. Belum lagi kalau anda ternyata malah sekalian positif Covid-19. Hidupmu tambah runyam. Iya kalau sembuh. Kalau tidak sembuh, lalu malah wassalam. Siapa yang paling menderita ? Keluargamu. Kalau anda kepala keluarga atau tulang punggung keluarga, berarti terputus nafkah untuk mereka. Keluargamu akan pontang-panting mencari nafkah setelah anda nggak ada. Anda juga nggak bisa lagi mendampingi anak-anak tumbuh besar. Rugi banget, banget dan banget. Percayalah, ketika anda rewel dan menolak bekerjasama dalam situasi krisis seperti sekarang, harga yang kelak harus dibayar akan sangat mahal. Kalau saya, mendingan tinggal kalem di rumah selama dua minggu. Simpel, tetapi menyelamatkan diri sendiri dan orang banyak. Sudahlah, berhenti bermanja-manja. Gunakan saja otak untuk mikir dengan jernih. Sadari saja dengan sederhana bahwa anda sedang diselamatkan. Penulis adalah Wartawan Senior