Mengapa Jokowi Tidak (Belum) Mau Lockdown?
Oleh Hersubeno Arief
Jakarta, FNN - Pemerintah pusat sampai saat ini memutuskan tidak akan melakukan lockdown. “Berpikir ke arah itu pun tidak,” kata Presiden Jokowi.
Namun melihat eskalasi penyebaran virus, cepat atau lambat langkah semacam itu mau tidak mau, suka tidak suka berani tidak berani, harus diambil. Setidaknya di Jakarta.
Apakah namanya pembatasan pergerakan, penutupan perbatasan, sampai pembatasan pergerakan secara total. Pokoknya harus ada langkah konkrit membatasi pergerakan manusia, agar tidak terjadi penularan virus corona.
Gubernur DKI Anies Baswedan sudah menyatakan akan mengambil langkah agresif perang terhadap corona.
Mengapa Jokowi keukeh dengan sikapnya. Padahal korban mulai berjatuhan? Sampai saat ini data resmi yang positif 309 orang dan meninggal dunia 25 orang.
Prosentase kematian di Indonesia menjadi tertinggi di dunia, 8%. Para tenaga medis sudah secara terbuka menyatakan tak akan sanggup menangani, bila sampai terjadi ledakan jumlah korban yang terpapar virus?
Sikap gamang Jokowi ini urusannya tak jauh-jauh dari power strugle. Perjuangan mempertahankan kekuasaan. Ada kekhawatiran yang sangat besar di internal Jokowi, krisis ini akan berdampak pada krisis konstitusi.
Jokowi harus benar-benar menimbang dan berhati-hati. Kalau salah langkah yang terjadi bukan hanya lockdown, tapi malah stepdown. Turun dari jabatan.
Pertimbangan utamanya pada aspek ekonomi dan sosial yang akan berdampak serius pada aspek politik.
Secara ekonomi dampak dari lockdown sangat serius. Dalam negara yang secara ekonomi normal dan sehat-sehat saja, virus corona bikin babak belur. Apalagi dengan perekonomian Indonesia yang fundamentalnya rapuh.
Katakanlah hanya dilakukan lockdown di Jakarta, namun dampaknya terhadap perekonomian nasional tetap akan sangat serius.
Ketika bicara Jakarta, berarti kita juga bicara daerah-daerah sekitarnya yang sering disebut sebagai megapolitan Jabodetabek. Kawasan Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang sebagian akan terdampak secara langsung.
Porsi Jakarta terhadap perekonomian nasional sebesar 75%. Peredaran uang terbesar juga wilayah ini. Ekonomi Jakarta mandek, ekonomi nasional juga mandek.
Total jumlah penduduk di Jabodetabek sekitar 30 juta. Pemerintah harus memastikan ketersediaan stok pangan selama lockdown berlangung. Satu bulan, dua bulan atau bahkan tiga bulan.
Tidak cukup hanya tersedia stok pangan. Persoalan berikutnya bagaimana bahan pangan itu bisa terdistribusi dengan baik, dan sampai secara merata kepada yang membutuhkan.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, ketika terjadi krisis selalu ada kelompok-kelompok, maupun perorangan yang mencoba mengambil keuntungan.
Yang harus benar-benar dipikirkan, puncak penyebaran corona diprediksi akan terjadi pada awal bulan Ramadhan. Saat kebutuhan pasok pangan meningkat tinggi.
Bagaimana dengan nasib para pekerja sektor informal. Tukang ojek, buruh, pedagang kecil, sopir angkot dll. Mereka hanya bisa makan kalau mereka bekerja. Bekerja hari ini, untuk makan hari ini.
Pemerintah harus menyiapkan semacam bantuan langsung tunai yang jumlahnya tidak sedikit. Jelas itu akan sangat membebani anggaran pemerintah yang saat ini telah mengalami defisit cukup parah, dan utang negara yang kian menggunung.
Belum lagi persoalan ikutan lainnya. Seorang sopir online mengirim surat terbuka kepada Jokowi, bagaimana nasib kredit mobil mereka bila sampai tidak bekerja. Perusahaan leasing akan menarik mobil mereka. Padahal pada mobil itulah periuk nasi mereka bergantung.
“Bagi kami dan jutaan rekan-rekan pengemudi lebih takut mati kelaparan daripada mati karena Covid 19. Mati kelaparan lebih menyakitkan dan memalukan Pak,” tulis sopir bernama Ganda Silalahi itu.
Berbagai persoalan ekonomi, terutama menyangkut nasib perut rakyat kecil itu bila tidak bisa diselesaikan dengan baik akan berdampak sosial serius.
Kejahatan meningkat, konflik horisontal dan tidak menutup kemungkinan terjadi kerusuhan sosial. Perut lapar tak bisa menunggu. Perut lapar tak bisa kompromi.
Perpaduan antara ekonomi negara yang kolaps, ketidakpuasan publik, dan munculnya kerusuhan sosial bisa berdampak serius secara politik. Ujung-ujungnya adalah tuntutan mundur Jokowi. Hal itu benar-benar harus dihindari.
Karena itu lah para buzzer pemerintah kompak menyerang siapapun yang menyuarakan pentingnya lockdown. Termasuk ketika ada pendukung Jokowi yang menyerukan lockdown. Langsung hajar tanpa ampun.
Kalkulasi ekonomi, sosial dan politik itu lah yang membuat Jokowi seperti mengulur waktu, melakukan conditioning, sambil berharap pada nasib baik. Siapa tahu karena Tuhan sayang kepada bangsa Indonesia, tiba-tiba penyebaran virus corona berhenti dengan sendirinya.
Coba perhatikan di media sosial. Para die hard Jokower di seluruh dunia bersatu padu —dalam dan luar negeri— mencari kambing hitam. Sasarannya siapa lagi kalau bukan Gubernur DKI Anies Baswedan.
Mereka menggoreng isu Anies sebagai pejabat yang menyebar ketakutan ke publik. Potongan pernyataan Anies bahwa pembatasan transportasi umum di Jakarta sebagai pesan efek kejut bagi warga Jakarta, disebar secara massif. Sejumlah pendukung Jokowi juga berencana berunjukrasa ke Balaikota DKI.
Dengan mendiskreditkan Anies mereka setidaknya akan mendapat dua keuntungan.
Pertama, mendapat kambing hitam. Sasaran tembak beralih dari Jokowi ke Anies.
Kedua, berhasil mendowngrade Anies yang saat ini mendapat panggung gemerlap karena kesigapannya menangani virus corona.
Masalahnya sampai kapan Jokowi bisa bertahan tidak melakukan lockdown, atau apapun namanya?
Jika terjadi ledakan jumlah yang positif corona —tanda-tanda dan kalkulasinya sudah sangat jelas— maka dipastikan ongkos politik yang harus dibayar Jokowi jauh lebih mahal. Sangat mahal malah. End
Penulis wartawan senior.