Corona Menakutkan, Kapan Presiden Deklarasi Darurat Kesehatan?
By Dr. Margarito Kamis
Jakarta FNN – Jumat (19/03). Tidak ada alasan sekecil apapun yang bisa dipakai menyatakan Presiden tidak bekerja menangani Corona Virus Disease 2019 (Covid 19). Dalam kenyataan terbaru, Presiden telah menerbitkan Kepres Percepatan Penanganan Virus Corona. Melalui Kepres ini Presiden telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona. Itu langkah bagus.
Tetapi apakah cukup dan tepat jika dilihat dari sudut hukum? Terlalu sulit mengatakan cukup dan tepat secara hukum? Mengapa? UU No. 6 Tahun 2028 Tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab mengurus kesehatan masyarakat”.
UU ini, bila mau diperiksa secara cermat, ditemukan kenyataan bahwa kewenangan pemerintah daerah menangani virus baru muncul manakala dilibatkan oleh Pemerintah Pusat. Sayangnya, sejauh ini belum terlihat tindakan pelibatan yang diprakarsai pemerintah. Disitu masalahnya.
Apakah dengan demikian Pemda-Pemda harus berdiam diri? Membiarkan warganya mengurus sendiri kesehatan mereka di tengah wabah virus? Jelas tidak. Gubernur Baswedan, Gubernur Emil, Gubernur Ganjar dan Gubernur Khofifah, tentu tidak bisa berdiam diri. Para Gubernur ini harus mengambil tindakan pemerintahan sebisa mungkin untuk menjamin warganya bahwa “mereka ada dan bekerja”.
Menariknya, Gubenur Baswedan terlihat berada di fornt terdepan. Sangat progresif dan responsif dalam menangani dan menghadapi virus berbahaya ini. Anies, Gubernur DKI yang bercitarasa Indonesia ini mendemonstrasikan tindakan pemerintahan sedemikian cemerlangnya. Anies menutup tempat-tempat wisata milik Pemda DKI. Tidak sampai disitu saja, Anies juga meliburkan sekolah, dan membebaskan ganjil-genap kendaraan roda empat.
Berhenti disitu? Tidak juga. Gubernur ini bergerak cepat menyiapkan rumah-rumah sakit untuk menangani pasien corona. Imbauan demi imbauan dikeluarkan. Mulai dari imbauan untuk sholat di rumah, mengurangi interaksi di luar rumah, tidak bepergian ke tempat-tempat umum, dan belakangan membatasi jam operasional Bus Trans Jakarta. Semuanya menumpuk menandai tindakan-tindakan hebatnya sebagai Kepala Pemerintahan DKI.
Apakah Gubernur ini akan melangkah lebih jauh? Lebih progresif yang setara dengan intensitas warganya terinfeksi virus ini sehingga melakukan lockdown, pembatasan berskala besar di wilayah DKI? Saya tidak berani berspekulasi. Mengapa? Ini soal kewenangan. Dan siapapun yang mempelajari UU No. 6 Tahun 2018 tahu, ini kewenangan Pemerintah Pusat. Bukan Pemerinah Daerah.
Pasal 10 UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekerantinaan Kesehatan jelas mengatur Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Mengapa pasal ini harus dirujuk? Penetapan Kedaruratan Kesehatan menjadi prasyarat. Salah satunya, pemerintah melakukan “Pembatasan Bersakala Besar” atau Lockdown.
Tetapi justru disitulah letak masalah sebenarnya. Mengapa baru sekarang bicara kewenangan Pemerintah Pusat? Sejauh apakah kewenangan Pemerintah Pusat itu? Sebatas menentukan “pembatasan berskala besar”? UU No. 6 Tahun 2018 yang disebut di atas, jelas mengatur sejumlah wewenang Pemerintah Pusat.
Pasal 5 ayat (1) UU ini mengatur Pemerintah Pusat bertanggung jawab menyelenggarakan kekarantinaan kesehatan di pintu masuk dan di wilayah secara terpadu. Ayat (2) mengatur dalam menyelenggarakan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat dapat melibatkan Pemerintah Daerah.
Kapan Pemerintah Pusat menunaikan perintah yang terkandung dalam pasal 5 di atas? Menurut ayat (3) Pasal 10 UU ini, Pemerintah Pusat harus terlebih dahulu menilai keadaan kesehatan masyarakat. Dalam penilaian ini, Pemerintah Pusat harus memastikan jenis penyakit, pola endemik dan faktor risiko yang dapat menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Masalahnya sekarang adalah apakah skema tindakan pemerintahan menurut UU ini diikuti Presiden? Sejauh ini tidak tersedia berita yang menunjukan pemerintah telah melakukan penilaian atas wabah dan penyakit berikut risikonya. Tetapi harus diakui, dalam kenyataannya pemerintah telah melakukan tindakan yang dalam sifatnya memastikan jenis pernyakit dan risiko yang ditimbulkan.
Apa konsekuensinya? Cukup alasan hukum Pemerintah Pusat menetapkan, dalam makna menyatakan keadaan kesehatan masyarakat berstatus darurat kesehatan. Penetapan ini harus memiliki bentuk hukum. Bentuk hukumnya bisa berupa Keputusan Presiden. Isinya menyatakan keadaan masyarakat di wilayah tertentu misalnya berstatus Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Pernyataan itu menjadi dasar Pemerintah Pusatr melakukan tindakan teknis yang diperlukan menurut UU ini. Apa tindakan teknisnya? Menurut pasal 15 ayat (1) tindakan yang harus dilakukan Pemerintah Pusat adalah melakukan kekerantinaan kesehatan di pintu masuk dan di wilayah melalui kegiatan pengamatan penyakit dan faktor risiko Kesehatan Masyarakat terhadap alat angkut, orang, barang, dan/atau lingkungan serta respon terhadap kedaruratan Kesehatan Masyarakat dalam bentuk tindakan Kekarantinaan Kesehatan.
Sayangnya, sejauh ini Pemerintah Pusat tidak menyatakan keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat. Tetapi pemerintah melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, yang sifatnya sama dengan menilai dan mengidentifikasi jenis penyakit “virus” dan risiko yang ditimbulkannya.
Itu terlihat. Salah satunya, pemerintah melakukan tindakan isolasi warga Indonesia yang kembali dari China dan Jepang. Mereka ditempakan di pulau Natuna dan Sebaru. Apakah tindakan itu dapat dikategorikan menurut UU ini sebagai tindakan karantina?
Jawabannya ya, sebagai tindakan karantina. Menurut pasal 15 ayat (2) tindakan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. karantina, isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi. b. Pembatasan Sosial Berskala Besar. c. disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap alat Angkut dan Barang; dan/atau d. penyehatan, pengamanan dan pengendalian terhadap media lingkungan.
Dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada status kedaruratan kesehatan masyarakat, dilakukan karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit atau pembatasan sosial berskala besar oleh pejabat karantina kesehatan.
Khusus pembatasan sosial berskala besar, menarik mengenali pengaturan dalam pasal 59. Pada ayat (1) pasal ini mengatur pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respon kedauratan kesehatan masyarakat. Ayat (2) Pembatasan sosial berskala besar bertujuan mencegah penyebaran penyakit kedarutan kesehatan masyarakat yang sedang terjadi antar orang di satu wilayah.
Menurut ayat (3) pasal ini Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja. b.pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum. Faktanya sebagian dari tindakan ini telah terjadi di Jakarta, dilakukan oleh gubernur, bukan presiden.
Bagaimana teknis pelaksanaannya? Menurut pasal 60 UU ini teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau PP. Mungkin PP yang diperintahkan pasal ini dapat disifatkan sebagai protokol penanganan. Perihal PP, juga diperintahkan pasal-pasal lain. Bahkan pasal lain juga memerintahkan Peraturan Menteri.
Apakah PP dan Peraturan Menteri dimaksud telah tersedia? Bila PP dan Peraturan Menteri yang diperintahkan pembentukannya tersedia, dapat disifatkan sebagai protokol, maka penanganan terhadap virus ini dapat dilakukan secara sistimatis, terukur dan menjanjikan ketenangan masyarakat. Dapat dipastikan terjadi koneksi dan sinerji produktif antara Pemerintah Pusat dengan daerah.
Bagaimana bila protokol itu belum tersedia? Pemerintah Pusat hanya perlu bertindak layaknya pemerintah, berpijak sebisa mungkin pada UU ini. Dengan begitu maka dapat tercipta sinergi Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Saya tidak tahu, apakah protokol itu telah tersedia atau belum. Faktanya, terlihat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bekerja sendiri-sendiri.
Apa sebenarnya yang mengakibatkan pemerintah tak kunjung menyatakan kedaruratan Kesehatan Masyarakat? Sulit ditemukan nalarnya. Tetapi harus diakui pernyataan itu memiliki konsekuensi hokum yang juga berat.
Pasal-pasal 52, 53 dan 55 UU ini jelas mengatur konsekuensinya. Menurut pasal-pasal ini, dalam hal pemerintah menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat diikuti dengan penetapan, misalnya karantina wilayah, Pembatasan Berskala Besar atau karantina Rumah, maka muncullah sejumlah konsekuensinya.
Konsekuensi, salah satunya Pemerintah Pusat memikul atau menanggung seluruh biaya kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak di wilayah yang terkarantina. Bahkan terdapat konsekuensi lainnya. Pemerintah harus menyediakan semua fasilitas kesehatan dan membebaskan masyarakat dari biaya, apapun untuk penyembuhan atau identifikasi kesehatan mereka. Tidak logis, dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat, pemerintah membebani biaya kepada masyarakat.
Berat memang konsekuensinya. Itu sebabnya Presiden mungkin memiliki kesulitan untuk mempertimbangkan tindakan deklarasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Sebab secara normatif, pernyataan kedaruratan kesehatan masyarakat dari Presiden bersifat imperatif menurut UU ini.
Tetapi harus diakui, suka atau tidak, Presiden harus memperhitungkan efeknya terhadap kehidupan ekonomi dan ketersediaan anggaran. Pentingkah pertimbangan itu? Jelas penting. Sama pentingnya dengan memastikan rakyat tidak terus terkapar virus mematikan ini. Apalagi sampai nyawa mereka harus melayang.
Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate