OPINI
Mantan Wamen ESDM. Archandra, "Eksploitasi Migas Skema Gross Split"
Menurunya produksi minyak dalam negeri ini pertanda bahwa ada persoalan serius dalam pengelolaan sektor migas entah itu di "Pertamina, SKK Migas dan BPH Migas” yang pasti, ketiga elemen dibawah Dirjen Migas Kementrian ESDM ini. Tau, apa penyebabnya? Oleh. M. Hassan Minanan Jakarta, FNN– Sebelum kita mulai, “boleh tidak kita sepakat bahwa forum ini hanya dalam rangka edukasi”. Bukan dalam rangka mempertentangkan polemik internal kabinet Pak Jokowi-Maaruf yang lagi ramai diperbincangkan. Begitulah kalimat penegasan yang santun oleh Mantan Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar. Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra menyampaikan hal tersebut, ketika menjadi pembicara pada talk-show bidang Pengembangan Sumber Daya Alam (PSDA) Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI) yang diselenggarakan, di sekeretariat PB HMI Jalan Sultan agung No.25A Jakarta. Rabu, 4 Desember 2019 kemarin. Arcandra yang juga konseptor gross split ini mengingatkan sampai hari ini Tuhan hanya memberi ilmu kepada manusia yang sangat terbatas, sehingga kemampuan “teknologi” manusia untuk menghasil minyak itu baru 40 - 50%. Kapan mencapai 100% ? hanya Tuhan-lah yang tahu. Kapan ilmunya diturunkan hingga bisa mencapai 100% Catatan risert dunia cadangan minyak Indonesia sebanyak 3,2 miliar barel atau 0,2%” yang paling besar itu Venezuela 302,8 miliar barel. Sementara cadangan gas Indonesia sebanyak satu setengah dari total cadangan dunia, Itulah data yang dikutip oleh Arcandra. "Dalam pandangan Arcandra Tahar, kebutuhan energy Indonesia mencapai 1,4 juta barel per hari, sementara produksi Indonesia sekitar 750 ribu barel per hari untuk memnuhi kebutuhan tersebur maka Inport Indonesia antara 600 ribu". Pungkasnya. Skema Gross Split Pada kesempatan tersebut, Archandra juga mengingatkan tentang skema lelang migas oleh pemerintah sejak 2015-2019. Terkait efisiensi biaya eksploitasi migas. Pertama cost recovery dan kedua gross split. Targetnya, mendatangkan investor untuk berinvestasi pada blok migas dalam negeri. Skema Gross Split sendiri pertama kali diusulkan melalui Permen ESDM No.8 Tahun 2017 yang diterbitkan pada tanggal 13 Januari 2017. Gross Split adalah skema perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas) antara Pemerintah dan Kontraktor Migas yang di perhitungkan di muka. Melalui skema gross split, Negara akan mendapatkan bagi hasil migas dan pajak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sehingga penerimaan Negara menjadi lebih pasti. Perlu diketahui pada tahun 2015-2016, skema cost recovery sama sekali sepi dari peminat. Blok migas yang dilelang pada 2015 nol 2016 nol, tidak laku. Baru di 2017, berkat dukungan dari Komisi VII DPR RI Pemerintah mengganti skema kontrak bagi hasil menjadi gross split baru ada lima wilayah kerja yang laku untuk dikelola. Jumlah wilayah kerja yang laku itu kemudian bertambah lagi menjadi sembilan blok pada 2018 seiring dengan tetap digunakannya skema gross split hingga oktober 2019 laku tiga blok. “jadi kalau ada yang menanyakan skema gross split begini hasilnya (2015, 0. 2016, 0. 2017, 5. 2018, 9. 2019, 3)” Prosentase pembagian antara PSC Gross Split dan PSC Cost Recovery sebenarnya memiliki sifat yang sama yaitu dua-duanya berfluktuasi. Tidak tetap dan sama sepanjang kontrak 30 tahun. Hanya yang membedakan adalah variabel yang berpengaruh. Dalam PSC Gross Split jauh lebih banyak variabel yang mempengaruhi dibandingkan dengan PSC Cost Recovery (Katadata.co.id) Dua skema pemerintah ini, merupakan pilihan sebagai stimulus dan motivasi. Prinsipnya kerjasama untuk saling dukung-mendukung, bergotong royong demi mencari manfaat bersama dan bukan mencari kelemahan apalagi menunggangi. Pemerintah jangan lemah dan lengah menuju tujuan kesejahteraan rakyat, mensejahterakan rakyat itu adalah mimpi Negara yang merdeka.
Majelis Taklim Ordonnantie
Oleh: Hanibal W Y Wijayanta Jakarta, FNN - Dengan iming-iming dana, semua Majelis Taklim kini harus terdaftar di Kantor Kementerian Agama. Mengapa harus mengulang Goeroe Ordonnantie di masa Hindia Belanda? “Ketika sejarah berulang, hal tak terduga selalu terjadi, dan akhirnya kita menyadari, betapa manusia tidak pernah belajar dari pengalaman…” Pernyataan filsuf Irlandia George Bernard Shaw di awal abad 19 itu terbukti pekan lalu, ketika Kementerian Agama mengeluarkan sebuah beleid baru. Sebab ternyata beleid itu hanyalah pengulangan dari apa yang pernah terjadi di masa Hindia Belanda. Beleid baru Kementerian Agama itu adalah Peraturan Menteri Agama No 29 tahun 2019. Peraturan terdiri dari enam Bab dengan 22 pasal, dan mengatur tentang Majelis Taklim. Pada pasal 1 dijelaskan bahwa Majelis Taklim adalah lembaga atau kelompok masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan Islam non formal sebagai sarana dakwah Islam. Pada pasal 2 disebutkan, Majelis Taklim mempunyai tugas meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agam Islam. Lalu pada pasal 3 diuraikan, dalam melaksanakan tugas, Majelis Taklim menyelenggarakan fungsi: pendidikan agama Islam bagi masyarakat; pengkaderan ustadz dan/atau ustadzah, pengurus, dan jemaah; penguatan silaturahmi, pemberian konsultasi agama dan keagamaan; pengembangan seni dan budaya Islam; pendidikan berbasis pemberdayaan masyarakat; pemberdayaan ekonomi umat; dan/atau pencerahan umat dan kontrol sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara, pada pasal 4 disebutkan bahwa Majelis Taklim mempunyai tujuan: meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam membaca dan memahami Al-Qur’an; membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia; membentuk manusia yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan kompregensif; mewujudkan kehidupan beragama yang toleran dan humanis; dan memperkokoh nasionalisme, kesatuan, dan ketahanan bangsa. Pada pasal 5 dijabarkan: perseorangan, kelompok orang, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, masjid, dan mushala dapat mendirikan majelis taklim. Semua seolah-olah baik-baik saja. Dalam pasal-pasal itu pemerintah tampak memberi kebebasan kepada warga untuk mengelola pendidikan Islam di tengah masyarakat secara mandiri. Tapi tunggu dulu. Lihat pasal 6 ayat 1! Majelis Taklim ternyata, harus terdaftar pada Kantor Kementerian Agama. Lalu pada ayat 2 dijelaskan: Pendaftaran Majelis Taklim dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis oleh pengurus kepada Kepala Kantor Kementerian Agama atau melalui Kepala KUA Kecamatan. Lalu, pada pasal 7 diterangkan tentang keharusan dokumen kelengkapan permohonan. Jika dokumen permohonan pendaftaran lengkap, menurut pasal 8, Kepala KUA Kecamatan menyampaikan dokumen pendaftaran kepada Kantor Kementerian Agama. Lalu berdasarkan pasal 9, setelah berkas dinyatakan lengkap, Kepala Kantor Kementerian Agama menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Majelis Taklim. Surat Keterangan Terdaftar berlaku lima tahun, dan dapat diperpanjang. Perpanjangannya harus mengikuti prosedur birokrasi yang diatur dalam pasal 10, dan bisa ditolak. Pasal selanjutnya, pasal 11, 12, 13, 14, 15, 16, dan 17, termasuk di dalam BAB III tentang Penyelenggaraan. Bab ini memerinci tentang soal administratif penyelenggaraan Majelis Taklim. Isinya lebih bersifat umum, meliputi pengurus dan struktur kepengurusan Majelis Taklim, ustadz dan/atau ustadzah pembina dan pembimbing Majelis Taklim, jemaah, tempat kegiatan, serta materi dan metode pengajaran di Majelis Taklim. Tak ada yang janggal dalam pasal-pasal ini. Nah, klausul menarik kembali muncul pada BAB IV tentang Pembinaan. Sebab, pada pasal 18, ayat 1, diterangkan bahwa pembinaan Majelis Taklim dilaksanakan oleh Direktur jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi; dan Kepala Kantor Kementerian Agama. Sedangkan ayat 2 menjelaskan: Pembinaan meliputi aspek, kelembagaan, manajemen, sumber daya manusia, dan materi. Lalu, pada pasal 19 diuraikan: Majelis Taklim melaporkan kegiatan kepada Kepala Kantor Urusan Agama atau melalui Kepala KUA Kecamatan setiap akhir tahun, paling lambat tanggal 10 Januari tahun berikutnya. Kepala KUA Kecamatan lalu menyampaikan laporan kegiatan Majelis Taklim itu kepada Kepala Kantor Kementerian Agama. Sebagai bumbu penyedap, iming-iming menggiurkan dimunculkan dalam BAB V, yakni tentang Pendanaan. Sebab, menurut pasal 20 disebutkan bahwa, pendanaan penyelenggaraan Majelis Taklim dapat bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah, serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Iming-iming itu pula yang diungkap Menteri Agama Jenderal (Purn.) Fachrul Razi usai Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-53 UIN Imam Bonjol di Padang, Jumat (29/11/2019) lalu. Kata Fachrul, aturan pendaftaran Majelis Taklim dibuat untuk memudahkan Kemenag dalam memberikan bantuan. “Supaya kita bisa kasih bantuan ke majelis taklim. Kalau tidak ada dasarnya nanti kita tidak bisa kasih bantuan,” ujarnya. Karena itu, kata Fachrul, beleid baru yang sudah diundangkan sejak 13 November 2019 itu sangat baik. “Tujuannya positif sekali,” kata bekas Wakil Panglima TNI itu. Ia membantah dugaan jika peraturan dibuat untuk mencegah masuknya aliran radikal ke majelis taklim. “Tidak. Saya tidak melihat sesuatu yang aneh di majelis taklim,” ujarnya. Boleh saja Menteri Agama berkilah, namun, beberapa organisasi Islam langsung mempertanyakannya. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haidar Nasir menganggap pemerintah terlalu mengatur ranah aktifitas keumatan di akar rumput. Ketua PB NU KH Abdul Manan Gani menganggap peraturan itu akan merepotkan majelis taklim, ustadz, maupun jamaah. Wakil Ketua Persatuan Islam Jeje Zainudin menilai, aturan ini adalah justifikasi untuk mengawasi pengajian. Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia menganggap implementasi PMA tak akan efektif. Fakta selanjutnya yang akan berbicara. Sebab, meski tidak selalu sama dan sebangun, ummat Islam di negeri ini sudah beberapa kali mengalami peristiwa yang hampir mirip dengan situasi dan kondisi terakhir ini, serta mendapati peraturan yang mirip dengan peraturan yang baru keluar ini. Meski pelaku dan intensitasnya sedikit berbeda, perulangan sejarah adalah sebuah keniscayaan. Pemerintah Orde Baru juga pernah menerapkan kebijakan keras kepada ummat Islam. Dengan dalih keamanan dan ketertiban, pada era 1970-1980-an, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) mengeluarkan Surat Izin Mubaligh (SIM). Mubaligh, ustadz, kiai, maupun ajengan yang tak mengantongi SIM, bisa diberhentikan khotbahnya, diturunkan dari mimbar, atau bahkan diciduk dan diinapkan di tahanan Kodim atau Laksus (Pelaksana Khusus) Kopkamtib daaerah. Pada tahun 1978, Departemen Agama juga pernah mengeluarkan peraturan untuk mengawasi dakwah. Misalnya, Peraturan Menteri Nomor 44 Tahun 1978, Peraturan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 1978, dan Peraturan Pengganti Nomor 3 Tahun 1978. Berdasarkan aturan-aturan itu, isi khotbah yang akan disampaikan kepada lebih dari 300 orang jemaah, termasuk lewat radio, harus disaring dan diseleksi lebih dulu oleh Departemen Agama. Hal yang sama pernah terjadi pula di masa Hindia Belanda. Salah satu kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang menekan ummat Islam adalah Goeroe Ordonnantie atau Peraturan Pemerintah tentang Guru. Goeroe Ordonnantie pertama dikeluarkan tahun 1905. Guru yang dimaksud di sini adalah guru agama Islam. Sebab, dengan Ordonansi ini, Pemerintah Hindia Belanda mewajibkan setiap guru agama Islam meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum mulai bertugas sebagai seorang guru agama. Goeroe Ordonnantie digagas pemerintah Hindia Belanda pasca pemberontakan petani Banten, 1888. Saat itu, –tahun 1890— Karel Frederik Holle, Penasehat Kehormatan Urusan Pribumi di Departemen Layanan Sipil (Adviseur Honorair voor Inlandsche Zaken bij het Departement van Binnenlandsch Bestuur) menyarankan agar pendidikan agama Islam diawasi. Sebab, kata Holle, pemberontakan petani Banten dimotori para haji dan guru-guru agama. Sejak itu terjadi perburuan para guru agama, ustadz, kiai, dan ajengan di Pulau Jawa. Demi penyeragaman pengawasan guru-guru agama Islam, Holle menyarankan agar Bupati melaporkan daftar guru di daerahnya tiap tahun. Pada 1904, Snouck Hurgronje –pengganti Holle— mengusulkan agar pengawasan guru-guru agama meliputi izin khusus dari Bupati, daftar guru dan muridnya, sementara pengawasan oleh Bupati harus dilakukan suatu panitia. Setahun kemudian, lahirlah peraturan tentang pendidikan agama Islam yang terkenal dengan nama Goeroe Ordonnantie. Ordonansi berlaku di Jawa-Madura kecuali di Yogyakarta dan Solo, dan diundangkan dalam Staatsblaad 1905 nomor 550. Salah satu isi Goeroe Ordonnantie yang dimuat dalam Staatsblaad 1905 nomor 550, antara lain adalah: Seorang guru agama Islam baru dibenarkan mengajar bila sudah memperoleh izin dari Bupati. Izin itu baru diberikan apabila guru agama itu jelas-jelas bisa dinilai sebagai “orang baik”, dan pelajaran yang diberikannya tidak bertentangan dengan keamanan ketertiban umum. Guru agama Islam juga harus mengisi daftar murid, di samping harus menjelaskan mata pelajaran yang diajarkannya. Bupati atau instansi yang berwewenang boleh memeriksa daftar itu sewaktu-waktu. Guru agama Islam bisa dihukum kurungan maksimum delapan hari atau denda maksimum dua puluh lima rupiah, bila mengajar tanpa izin, atau lalai mengisi atau mengirimkan daftar itu; atau enggan memperlihatkan daftar itu kepada yang berwewenang, berkeberatan memberikan keterangan, atau enggan diperiksa oleh yang berwewenang. Dua dasa warsa berselang, Goeroe Ordonnantie 1905 yang mewajibkan guru-guru agama Islam meminta “izin praktek”, dinilai kurang efisien. Sebab, laporan tentang guru agama dan aktivitasnya –yang secara periodik dilaporkan Bupati— dinilai kurang meyakinkan. Di samping itu, situasi politik masa itu dinilai sudah tak lagi memerlukan “pemburuan” guru agama. Maka, pada tahun 1925 dikeluarkanlah Goeroe Ordonnantie yang baru. Berbeda dengan Goeroe Ordonnantie pertama, Goeroe Ordonnantie kedua hanya mewajibkan guru agama melaporkan diri dan kegiatan mereka, bukan lagi meminta “izin praktek”. Namun kedua ordonansi ini sama saja fungsinya: menjadi media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di negeri ini. Beleid baru ini tak hanya berlaku di Jawa-Madura saja. Sejak Januari 1927, Goeroe Ordonnantie kedua juga diberlakukan di Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, dan Lombok. Pada tahun tiga puluhan Goeroe Ordonnantie kedua berlaku pula di Bengkulu. Dalam prakteknya, seperti Goeroe Ordonnantie pertama, Goeroe Ordonnantie kedua juga bisa dimanfaatkan untuk menghambat pengajaran Islam, meski itu bukan tujuan yang tercantum dalam ordonansi. Karena itu, beberapa pimpinan organisasi Islam mengeluh. Ketua Umum Muhammadiyah H. Fachruddin mengatakan, sejak diumumkannya ordonansi itu, berbagai rintangan ditimbulkan untuk menghalangi kemajuan dan penyebaran Islam di Indonesia. Maka, pada Kongres Al-Islam di Bogor, 1 – 5 Desember 1926, organisasi-organisasi Islam yang dimotori Muhammadiyah, menolak pengawasan pendidikan agama dengan Ordonansi baru ini. Bahkan dalam Kongres XVII, 12 – 20 Februari 1928, Muhammadiyah dengan keras menuntut agar Goeroe Ordonnantie ditarik kembali. Kaum muslimin Sumatera Barat juga menentang, ketika pemerintah Hindia Belanda hendak menerapkan Goeroe Ordonnantie kedua di sana. Tahun 1935, Snouck Hurgronje masih berpendapat, Goeroe Ordonnantie perlu dipertahankan meski dengan beberapa perubahan. Namun, situasi telah berubah, dan nasehat Snouck Hurgronje, arsitek Goeroe Ordonnantie 1905, sudah tak ampuh lagi. Goeroe Ordonnantie akhirnya kehilangan urgensi dan akhirnya menghilang dari peredaran. Lalu, haruskah kita mengulang hal yang sama? Penulis wartawan utama.
Anggota DPR RI. M. Sarmuji; Bersama Merawat Persatuan Indonesia
Dinamika yang berkembang dalam masyarakat akhir-akhir ini, pertanda bahwa perlu adanya instrumen yang dapat digunakan untuk menyamakan presepsi, mindset dan rasa toleransi bersama, hal itu membuahkan asas atau pijakan yang tak lain ialah kepentingan ideologi kita (Pancasila). Oleh. M. Hassan Minanan Jakarta, FNN – Founding fathers kita, telah final menyusun konsep pemersatu dari kurang lebih 13.466 pulau dan 750 suku bangsa yang tersebar seluruh Indonesia. Bahwa Pancasila adalah dasar Negara dan Pancasila merupakan payung dari UUD 1945 yang menjadi sumber dari segala sumber hukum Negara. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI. M. Sarmuji menyampaikan hal tersebut, saat menjadi pembicara pada sosialisasi empat pilar Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) di Gedung Serbaguna Wonodadi, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Rabu 4 Desember 2019. Dalam pandangan Anggota Dewan Praksi Golkar kepada 150 warga yang hadir sebagai peserta sosialisasi tersebut. Pilihan Pancasila sebagai dasar negara tentu mempunyai nilai yang kuat. Itulah sebabnya, para Founding Fathers menyebut pancasila sebagai Philosophische Grondslag, sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sampai pada titik ini Sarmuji menyatakan. Titik tolak multietnik dan dimensi multikulture yang menyertainya untuk mempertegas bahwa pancasila tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Indonesia, pancasila itu adalah ruh eksistensi Indonesia. Menurut Sarmuji Pancasila telah mempersatukan kita. Karena kita memiliki satu pandangan dengan saudara-saudara kita di Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Jawa, Bali, Maluku dan pulau lainnya menjadi satu kesatuan. Menumbuhkan rasa kebersamaan Nasionalisme, mengajarkan kita untuk saling mencintai diantara kita. Pancasila juga mengajarkan kita untuk hidup saling mengasihi diantara sesama manusia. Istilah Bhineka menjadi tunggal ika menjadi landasan melalui sidang BPUPKI & PPKI secara musyawara mufakat, kemudian menjadi sila ke-3 Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia". Dan UUD 1945 sebagai konstitusi yang mengatur Bangsa dan Negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah masa lalu, posisi perjuangan dan pejalanan masa depan akan mengikat kita. Untuk itu, jangan sampai ada pihak yang bisa memisahkan kita. Sebab kita bisa bersama-sama dalam mencitapkan pilar-pilar yang saling menghormati, menyayangi dan mencintai diantara kita. Tujuannya, mendukung kebaikan bersama bagi generasi yang akan datang. Butuh Kedewasaan Pada kesempatan itu, Sarmuji juga mengingatkan. Meskipun Pancasila tetap tegak berdiri mengawal pelaksanaan roda pemerintahan, tetapi dari masa ke masa sejak awal kemerdekaan hingga hari ini mempunyai corak atau konfigurasi politik yang berbeda-beda. Pancasila yang sesungguhnya menjadi dasar, asas, atau pijakan dalam pelaksanaan birokrasi yang demokratis justeru pada masa Orde Baru, jaman Soeharto berkuasa penggunaan kata “Pancasila” mengalami overdosis atau terjadinya kekacauan epistemologis pada konteks politik. Sehingga, meskipun tindakan-tindakan inkonstitusi sekalipun dilandasi atau didalilkan simetris dengan Pancasila. Kegaduhan dan kericiuan terus mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Beragam isu yang menjadi reaksi masyarakat, hal itu merupakan dampak dari konflik yang masuk ke dalam nilai. Sehingga menambah muatan pertarungan bahkan dengan prinsip survivel of the fittest memicu terbelahnya sosial menimbulkan potensi masing-masing pihak bertahan atas nilai dan keyakinannya sendiri-sendiri. Adnan Buyung Nasution mengatakan ada tiga kelompok ideologis yang bertarung dalam debat Badan Konstituante (Lembaga Pembentuk UUD) sepanjang tahun 1955-1957. Buyung mengatakan itu dalam “The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia 1992, yang berbasis disertasinya di Universitas Utrecht Belanda. Ketiga kelompok tersebut adalah, kelompok Pancasila yang diwakili oleh Partai Nasional Indoensia (PNI), Kelompok Islam oleh Masyumi dan Nahdatul Ulama dan Kelompok Sosial-Ekonomi oleh Partai Murba Dan Partai Buruh (fnn.co.id) Berdasarkan latar belakangnya, secara psikologis hal itu tidak sekedar melahirkan rasa tidak tentram dan tidak nyaman, kemampuan untuk mengatur, mengurus, mengelolah dan mendaya-gunakan selaga potensi yang dimiliki ada jejak langkah yang telah jauh keluar koridor dalam mebangun presepri dan mindset masyarakat. Serta tidak sungguh-sungguh berupaya menjalankan amanah kekuasaan, dalam keberpihakan kepada seluruh rakyat. Inilah rekayasa adudomba yang dirasakan rakyat. Perjalanan “panjang dan gelap gulita” itu terus terjadi, selama kita tidak menyadari bahwa pancasila dan Undang-Undang Dasar kita, nyaris disobek-sobek oleh bangsa Negara luar alias aasiing. Bila ada yang muncul sebagai panglima, yang menjalankan amanat sesuai Pesan pancasila dan UUD 2945 benar-benar dihadang tanpa ada celah. seperti kata para pakar, Negara kita sedang berada dalam sebuah kapal rusak. Itulah Indonesia. Barangkali tidak salah mengatakan, katanya Mpu Tantular “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dharma Mangrwa” berbeda warna kulit, dan rambut alias beraneka ragam namun tetap tunggal jua. Adalah penegasan loyalitas tunggal pada ibu pertiwi. Upaya menata dan merumuskan kembali sistem nilai dan jejaring sosial itu bisa dilakukan pada beberapa strata sosial, kalau pemulihan nilai belum terselesaikan di tingkat nasional pun juga sulit di tingkat provinsi. Maka, hal itu bisa dilakukan pada tingkat komunitas pedesaan, serta lingkup keluarga supaya hubungan tetap terjaga dengan baik. Dilihat dari banyak komunitas pedesaan yang mampu membangun rasa kebersamaan, rasa persaudaraan dan terlihat seperti acuh dan tak mau tahu dengan segala urusan Negara atau media sosisal yang heboh. Hal itu merupakan gejala yang mana sebagian besar warga negara telah kehilangan panutan, kerana nilai-nilai telah larut ke lautan bebas. tetapi dalam kondisi begini bukan berarti tak ada harapan. harapannya ada pada komunitas pedesaan dan keluarga. Semoga, segala ikhtiar untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang kuat, utuhdan dan tidak mudah terpecah selalu ada solusi yang terbaik kedepannya. *Penulis adalah Wartawan Yunior*
Silaturrahim, Cara Kapolri Idham Meredam Perbedaan
By Kisman Latumakulita Jakarta, FNN – Rasulullaah SAW bersabda waman kaana yu’minu billaahi walyaumil akhir, falyashil rahimahu. Artinya, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia menyambung tali silaturrahim”. Pada Hadits yang lain Rasulullaah SAW bersabda man ahabba an yubsatha lahu fii rizkihi wayunsaa’a lahu fii atsarihi falyashil rahimahu. Artinya, “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menjalin hubungan silaturrahim”. Jendral Polisi Idham Azis dilantik sebagai Kapolri pada Jum’at, 1 November 2019 di oleh Presiden Jokowi. Setelah dilantik di Istana Negara, ba’da sholat Jum’at itu juga Kapolri silaturrahim ke Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto di Jalan Medan Merdeka Barat. Kunjungan itu untuk membangun sinergitas TNI-Polri dalam menjaga keamanan di dalam negeri. Pada hari pertama, minggu pertama bertugas sebagai Kapolri, Senin siang 4 November 2019, Jendral Idham bersilaturrahim ke Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di jalan Rasuna Said, Kuningan. Kunjungan ke KPK juga untuk membangun kebersamaan dan sinergitas. Bergandengan tangan antara Polisi dan KPK dalam rangka penegakan dan pencegahan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Kondensat Rp 37,8 Triliun Mangkrak Setelah bersilaturrahim ke Panglima TNI dan KPK, Senin sore masih di tanggal yang sama, 4 November 2019, giliran Kapolri Idham silaturrahim ke Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kejaksasaan Agung, jalan Sisingamangaraja. Kunjungan ke Kejaksaan Agung ini adalah kunjungan ketiga Idham sebagai Kapolri ke instansi vertikal pemerintahan dan negara. Silaturrahim ke Jaksa Agung menjadi penting bagi Jendral Idham. Kapolri paham betul cara dan pola penangan perkara yang ditangani polisi, pasti berujung di pemeriksaan jaksa. Targetnya agar perkara yang disidik polisi bisa cepat dan lancar sampai dengan disidangkan di pengadilan. Sebagai orang reserse dan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Idham sangat paham pentingnya membangun hubungan yang indah, asyik, dan harmonis dengan jajaran kejaksaan. Sudah benar Idham berkunjung ke Kejaksaan Agung. Sebab sampai sekarang, masih banyak perkara yang ditangani polisi mangkrak di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Lamanya perkara yang tertahan di semua tingkatan jajaran kejaksaan bisa bertahun-tahun. Tergantung kemauan jajaran kejaksaan, apakah mau dibawa ke pengadilan atau tidak. Salah satu kasus besar yang masih mangkrak di Kejaksaan Agung sampai sekarang adalah kasus korupsi kondensat. Kasus ini mengakibatkan kerugian keuangan negara USD 2,7 miliar dollar. Jika dihitung dengan kurs yang berlaku sekarang Rp 14.000 per dollar, maka nilainya setara dengan Rp 37,8 triliun. Sangat besar dan fantastis untuk ukuran kasus korupsi. Kasus korupsi kondensat ini disidik Bareskrim Polri sejak Juni 2015. Sudah empat tahun lebih mangkrak di gedung Bundar. Dimulai ketika itu Kabareskrim dijabat Komjen Polisi Budi Waseso (Buwas). Sampai dengan Idham Azis menjabat Kabareskrim, tercatat sudah lima Kabareskrim yang menangani skandal mega korupsi ini. Setelah Buwas, Kabareskrim berikutnya adalah Komjen Polisi Anang Iskandar. Setelah itu, Komjen Polisi Aridono Sukmanto dan Komjen Polisi Arief Sulistyanto. Sedangkan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) yang menangani perkara ini sudah tiga orang. Pertama Jampidsus R. Widyo Pamono. Setelah itu Arminsyah yang sekarang menjabat Wakil Jaksa Agung. Terakhir adalah Jampidsus Adi Toegarisman, yang masih menjabat sekarang. Meskipun Adi Toegarisman sudah berkali-kali mengatakan kasus korupsi kondensat U$ 2,7 miliar dollar ini sudah lengkap atau P-21. Namun sampai sekarang belum juga dilimpahkan ke pengadilan. Padahal, dua dari tiga orang telah ditetapkan polisi sebagai tersangka, yaitu Raden Priyono dan Djoko Harsono dari BP Migas. Mereka berdua juga sudah pernah ditahan. Namun sekarang mereka berdua sudah dibebaskan lagi tanpa disidangkan. Tinggal pemilik PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) Honggo Wendratmo yang masih buron. Sampai sekarang polisi belum menemukan Honggo. Tidak adanya Honggo, dijadikan alasan oleh Jampidsus untuk tidak menerima pelimpahan perkara tahap dua, tersangka dan lainnya. Jampidsus sepertinya tidak mau membawa kasus korupsi kondensat ini ke pangadilan. Padahal persidangan tanpa kehadiran tersangka (in absensia) sudah sering digelar di pengadilan Indonesia. Fakta adanya persidangan in absensia ini bisa dilihat pada persidangan-persidangan kasus yang terkait dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). NU dan Muhammadiyah Setelah silaturrahim ke Panglima TNI, Pimpinan KPK dan Jaksa Agung, Selasa 12 November 2019, giliran Kapolri Idham bersilaturrahim ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di jalan Kramat Raya Jakarta Pusat. Nahdatul Ulama adalah Organisasi Kemasyarakatan (Ornas) terbesar di Indonesia. Sangat tepat sebagai Kapolri baru, Idham berkunjung ke markasnya kaum nahdliyin tersebut. “Kunjungan ke Ketua Umum PBNU sudah merupakan tradisi dari setiap Kapolri baru. Sebagai orang yang diberikan amanat untuk melanjutkan estafet kepemimpinan di Polri, kunjungan seperti ini sudah menjadi tradisi yang berjalan baik dari para Kapolri pandahulu. Tradisi yang sudah baik ini, tentu saja sangat baik dan bermanfaat kalau dilanjutkan oleh kami para yunior, “ ujar Idham Azis. “Besarnya komitmen jamaah nahdiyin untuk mengawal dan menjaga keutuhan NKRI juga tidak perlu diragukan lagi,“ kata Kapolri Idham. Apalagi selama ini Polri sangat merasaklan besarnya bantuan PBNU dalam membawa Indonesia menuju arah yang lebih baik, aman, damai, tenteram, dan tertib. Polri juga tidak mungkin bisa bekerja sendirian tanpa bantuan dari ormas-ormas keagamaan seperti PBNU. Setelah itu, pada Kamis 21 November 2019, giliran Kapolri bersilaturrahim ke kantor Pusat Da’wah Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Pada silaturrahim ini Kapolri didampingi Kepala Badan Intelijen Keamanan (Kabaintelkam) Komjen Agung Budi Maryoto, Kepala Devisi Propam Irjen Listyo Sigit, Wakabaintelkam Irjen Suntana, Kepala Devisi Humas Irjen Muhammad Iqbal, Staf Ahli Bidang Sosial Budaya Irjen Muhammad Fadil Imron dan Staf Ahli Bidang Politik Irjen Nico Afinta. Kapolri diterima oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Dari pengurus PP Muhammadiyah yang ikut mendampingi Ketua Umum Haedar Nashir menerima silaturrahim Kapolri dan rombongan, antara lain Sekretaris Umum Abdul Mu’ti, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas, Syafiq Mughni dan pengurus yang lainnya. Dari lima kunjungan silaturrahim ini, ke Panglima TNI, Pimpinan KPK, Jaksa Agung, PBNU dan PP Muhammadiyah, terlihat kalau Kapolri Idham punya misi terselubung. Paling kurang Kapolri mencoba membangun kelancaran komunikasi antara Polri dengan lembaga-lembaga vertikal di luar Polri. Tampaknya Kapolri sangat sadar bahwa meredam sekecil apapun setiap perbedaan diantara sesama anak bangsa jauh lebih penting dan lebih baik. Sebab perbedaan dan masalah dapat timbul kapan saja setiap saat. Cara meredam yang lebih baik, lebih ampuh, dan lebih efektif adalah dengan rajin-rajin menjalin silaturrahim di antara sesama anak bangsa. Lebih gampang dan mudah, dari pada masalah yang timbul tersebut sudah membesar. Yang juga tidak kalah penting dari safari silaturrahim itu, tentu Kapolri Idham tidak lupa mengajak lembaga dan institusi yang dikunjungi agar sama-sama menjaga dan memperkuat rumah besar kita NKRI. Selian itu, ikut mengawasi proses penegakan hukum agar dapat bejalan dengan cepat, tepat, efektif, dan murah sesuai ketentuan yang berlaku. Hukum jangan sampai ditegakkan dengan membolak-balik, yang seharusnya benar menjadi salah. Sebaliknya, membuat yang salah menjadi tampak benar. Tidak ada persoalan bermasyarakat yang tak bisa diselesaikan dengan media silatutrrahim. Sebab dengan silaturrahim, masalah yang tadinya membeku bisa menjadi cair. Yang tadinya kusut bisa terurai dan yang tadinya macet bisa menjadi lancar lagi. Semunya bisa diatasi hanya dengan membangun tali silaturrahim. Sebab manfaat dari silaturrahim itu akan memperpanjang umur dan memperumudah rezeki (memperlancar urusan pekerjaan). Wallaahu alam bishawab. Penulis adalah Wartawan Senior
Sebentar Lagi Sperma Terpapar Radikalisme
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Beberapa hari lalu, Wapres Ma’ruf Amin mengatakan ada sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) yang terpapar radikalisme. Ma’ruf mengatakan itu setelah dia berkunjung ke berbagai daerah. Wapres berkata, banyak sekolah yang masih menggunakan bahan ajar yang mengandung unsur radikalisme. Bahan ajar itu lolos hingga ke tangan anak-anak, bahkan tak jarang dijadikan sebagai soal ujian. Pernyataan ini dikutip beberapa media online. Pernyataan Ma’ruf ini mendapat reaksi keras dari kalangan pengelola PAUD. Ada yang mempertanyakan kriteria bahan ajar radikal yang dimaksudkan Ma’ruf. Misalnya, banyak PAUD yang menghafalkan nama 25 nabi kepada anak-didik. Apakah ini digolongkan bermuatan radikal. Kemudian, ada pula pelajaran merakit mainan Lego. Radikalnya di mana? Terlepas dari rasa heran kalangan pengelola PAUD, kita harus mengacungkan jempol kepada Wapres. Ini baru hebat. Program pembasmian radikalisme yang disusun dan dieksekusi pemerintah, benar-benar komprehensif. Menyeluruh jangkauannya. “No stone will be left unturned”. Alias, tidak akan ada ceruk atau celah yang tak diamati. Semua akan disasar dan disisir. Sekolah PAUD juga akan dicecar. Setelah menemukan radikalisme di tingkat PAUD, kelihatannya tak lama lagi para penguasa akan mengejar radikalisme sampai ke jenjang usia yang lebih awal dari usia PAUD. Tapi, apakah ada yang lebih dini usianya dari anak-anak PAUD? Ada! Yakni, sebelum anak-anak itu menjadi manusia. Tepatnya, ketika masih dalam bentuk sperma. Jadi, bisa saja nanti akan keluar sinyalemen atau pernyataan bahwa sperma umat Islam banyak yang terpapar radikalisme. Artinya, aksi pemberantasan radikalisme akan sampai ke pengujian sperma. Kalau ini menjadi kenyataan, maka para calon pengantin laki-laki muslim akan diwajibkan memeriksakan sperma. Untuk mengetahui apakah sperma mereka pernah bersentuhan dengan bahan-bahan radikal. Kalau ada sperma yang positif radikal, kemungkinan akan diharuskan mengikuti pendidikan deradikalisasi sperma. Guna memastikan agar pengaruh radikalisme di kalangan sperma sudah terkikis. Terpaksalah nanti pemerintah memberlakukan ketentuan pemeriksaan sperma secara rutin. Supaya program ini sukses, bagus juga dibentuk Densus Sperma. Bisa jadi nanti Wapres Ma’ruf menginstruksikan agar Densus Sperma di seluruh Indonesia menyediakan kursus Cegah Radikalisme Sperma. Kemudian detasemen ini akan ditugaskan mengeluarkan SK-SBR (Surat Keterangan Sperma Bebas Radikalisme). Kita tunggu saja bagaimana jadinya.[] 4 Desember 2019 Penulis wartawan senior.
Reformasi Dan Raibnya Aset Pertamina (Bagaian-1)
Selama orde reformasi berjalan, Pertamina semakin mengecil. Aset-aset Pertamina banyak yang berpindah tangan. Nilai aset Pertamina juga semakin mengecil diantara deretan BUMN di tanah air. Aset Pertamina sekarang hanya separuh dari aset PLN. Tak sampai sepertiga dari aset perbankkan BUMN. Padahal tak ada logikanya semua perusahaan itu bisa mengalahkan kekayaan Pertamina. By Salamuddin Daeng Jakarta, FNN - Hampir dipastikan tidak ada satupun konglomerat sekarang ini yang bukan bagian dari kekuasaan Orde Baru. Dan hampir dipastikan bahwa tidak ada satu konglomerasi di era Orde Baru yang tidak menumpang dan menyusu pada Pertamina. Semua oligarki taipan di tanah air sekarang ini, awalnya adalah mereka yang mempunyai koneksi dengan bisnis pertamina. Ricard Robinson dalam bukunya Indonesia The Rise of Capital (1986) menulis bahwa "Pertamina telah menjadi faktor terbesar bagi perkembangan kapitalis domestik di masa orde baru. Dikarenakan mereka para kapitalis demostik itu sebagai kelompok terbesar bagi kontrak penyediaan barang dan jasa. Hampir semua kontrak-kontrak konstruksi, kebutuhan manufacturing serta jasa-jasa industri, dikusai oleh para kapitalis demostik. Kebangkitan seluruh pebisnis besar di tanah air terhubung dan terkoneksi dengan pekerjaan di pertamina. Mereka mendapatkan alokasi belanja proyek dari pertamina. Sebelum dipreteli oleh reformasi, seluruh dunia tau kalau Pertamina adalah perusahaan yang sangat kaya. Aset pertamina sangat besar. Tidak hanya di Indonesia, namun juga tersebar di negara negara maju. Pertamina pernah memiliki kantor cabang di New York, Tokyo, Hongkong, Singapura dan London. Namun satu persatu hilang entah kemana. Lebih dari 40 tahun Pertamina menjadi penopang keuangan negara dan kehidupan oligarki politik Indonesia. Tidak ada satupun pebisnis dan konglomerasi besar yang lahir di Indonesia tanpa peran Pertamina. Semua mendapatkan order pekerjaan dari Pertamina. Mereka raksasa bisnis tanah air, bahkan yang ada sekarang ini, mengawali bisnis mereka dari tetesan pertamina. Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang besar, sebagian dibangun dengan modal awal dari pertamina. Krakatau Steel, Inalum, Perusahaan Petrocrmical, Industri Pupuk, Bulog, dan lain sebagainya dimodali dari investasi Pertamina. Alat Bubarkan Pertamina Pertamina adalah pionir bisnis dari berbagai macam sektor usaha. Ada usaha properti, perhotelan, perumahan, rumah sakit, pendidikan, penerbangan jasa pengangkutan, dan telekomunikasi. Tidak ada usaha sejenis yang bisa melebihi kampuan Pertamina sampai saat ini. Pertamina menguasai ratusan ribu hektar tanah yang tersebar di seluruh kota kota besar. Pertamina juga menguasai ratusan ribu hektar kawasan hutan. Terlibat dalam pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan dan berbagai sarana infrastruktur lainnya. Sampai sekarang ini boleh dikatakan gurita dan jaringan usaha tersebut masih di bawah kepemilikan Pertamina. Namun telah dikuasai secara illegal oleh kelompok usaha di luar Pertamina. Padahal Pertamina adalah penopang utama pembangunan berencana Orde Baru hingga awal orde reformasi. Namun setelah reformasi berlangsung, tiba tiba saja Pertamina menjadi kere. Melalui UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas) Pertamina dipreteli kewenangannya. Migas nasional yang sebelumnya dikuasai Pertamina berpindah ke tangan swasta. Produksi migas dari Pertamina langsung merosot tajam. Aset-aset Pertamina mulai hilang satu persatu. Tak hanya konsesi migas Pertamina yang hilang. Entah mengapa, aset Pertamina yang lain seperti tanah, properti, kapal tengker, anak anak perusahaan di luar negeri, juga hilang satu persatu. Selama orde reformasi ini berjalan, Pertamina semakin mengecil. Aset-aset Pertamina banyak yang berpindah tangan. Nilai aset Pertamina juga semakin mengecil diantara deretan BUMN di tanah air. Asset Pertamina sekarang, hanya separuh dari aset PLN. Tak sampai sepertiga dari aset perbankkan BUMN. Padahal tak ada logikanya semua perusahaan itu bisa mengalahkan kekayaan Pertamina. Sekarang Pemerintah Daerah (Pemda) juga mulai ikut ikutan merampas aset-aset Pertamia. Pemda melakukan itu dengan berbagai cara. Apalagi para taipan dan konglomerat memang pengincar aset Pertamina melalui tangan Pemda setempat. Sebagai contoh kasus, baru-baru di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, yakni Jalan Hauling milik Pertamina terancam berpindah tangan ke swasta. Jalan sepanjang 60 kilometer tersebut diincar oleh berbagai pihak untuk disewakan ke pengusaha tambang batubara. Dengan senjata otonomi daerah, rupanya Pemda dapat mengambil alih aset-aset Pertamina. Rupa-rupanya reformasi dengan berbagai modus dan operandinya, adalah strategi dan alat untuk membubarkan Pertamia. Dengan demikian, maka perlahan-lahan, namun pasti aset aset Pertamina bakal berpindah tangan kepada para birokat, oligarki politik, dan kepada para taipan. Reformasi ternyata hanya dimaksudkan untuk "menghapuskan aset dan kekayaan Pertamina. Selanjutnya mencatatkannya sebagai kekayaan para oligarki taipan". Semua itu telah berlangsung secara sangat halus dan sophisticated. (bersabung) Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Masih 212: Pencekalan Membuat Posisi Habib Semakin Kuat
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Acara Reuni 212 kemarin berlangsung tanpa HR Shihab. HR mengatakan beliau tidak bisa pulang ke Indonesia karena dicekal Arab Saudi atas permintaan pemerintah Indonesia. Sedangkan para penguasa negera ini mengatakan, tidak ada inisiatif pencekalan dari Jakarta. Siapa yang Anda percaya? Silakan simpulkan sendiri. Pertanyaan penting dari pencekalan HR Shihab adalah: siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Para penguasa Indonesia mungkin merasa pencekalan HR Shibah akan membuat gerakan 212 melemah dan akhirnya bisa pupus. Artinya, pemerintah diuntungkan. Hampir pasti, begitulah harapan penguasa. Big mistake! Salah besar anggapan ini. Dan salah besar tindakan pencekalan itu. Pencekalan merugikan pemerintah. Mengapa? Karena umat Islam akan terus membicarakan ini. Kesan negatif umat terhadap pemerintah akan senantiasa menggantung bagaikan awan hitam. Dan kesan negatif itu malah akan semakin pekat. Akan semakin keraslah keyakinan umat bahwa pemerintah memang berlaku zalim. HR Shihab telah menunjukkan dokumen otentik tentang inisiatif pemerintah Indonesia untuk mencekal Imam Besar. Di acara 212 kemarin (2/12/2019), HRS dengan lantang mengimbau lewat video-conference agar pemerintah menghentikan kebohongan. Agar pemerintah tidak lagi berbohong. HRS tidak ragu mengatakan bahwa pemerintah berbohong dalam hal pencekalan atas dirinya. Pernyataan ini sangat serius dan menohok. Tidak mungkin Habib berani mengatakan itu kalau dia tidak punya bukti yang kuat. Para pejabat pemerintah bolak-balik membantah. Ada kesan para penguasa kocar-kacir untuk menjelaskan soal pencekalan itu. Apalagi pemerintah Saudi (cq Duta Besar mereka di Jakarta) sudah pernah menjelaskan dengan bahasa yang lugas bahwa Saudi siap memulangkan HR ke Indonesia kalau penguasa di sini mau menerima. Secara implisit pemerintah Saudi mengatakan pemerintah Indonesia-lah yang tidak mau menerima Habib. Keinginan para penguasa bahwa HR Shihab akan menjadi lemah, tampaknya “jauh panggang dari api”. Pencekalan ini, sebaliknya, hanya akan memperkuat posisi politik Habib. Publik semakin yakin bahwa HR5 telah menjadi figur yang sangat dicemaskan oleh para penguasa. Dan faktanya, Mendagri Tito Karnavian belum lama ini mengatakan, setelah 01 dan 02 bersatu, kini tinggal gerakan 212 yang menjadi masalah. Tentu saja gerakan 212 itu identik dengan Habib. Pencekalan akan menguntungkan Habib dalam banyak hal. Pertama, Habib terkesan dikeroyok oleh para penguasa Indonesia. Posisi seperti ini membangkitkan semangat publik untuk mendukung gerakan 212 lebih kuat lagi. Sebagai contoh, begitu banyak jemaah umrah yang menyempatkan diri untuk menjumpai HR5. Padahal, para penguasa bermaksud melemahkan Habib dan 212 dengan cara “mengasingkan” Imam Besar itu. Kedua, kalangan pemerintah dan publik di Arab Saudi semakin paham peranan Habib dalam menyatukan umat Islam di Indonesia. Mereka mengerti bahwa HR5 benar-benar memperjuangkan keadilan bagi semua orang tanpa kecuali. Penguasa dan publik Saudi menjadi tahu bahwa Habib dan gerakan 212 adalah kelompok yang sedang melawan skenario jahat untuk menghancurkan negara, khususnya umat Islam. Ketiga, pencekalan itu membuka lebar mata khalayak. Publik menjadi tahu dan percaya tentang adanya konspirasi besar dan kuat yang sedang diarahkan ke umat Islam. Indikasi ini tampak dari kebijakan pemerintah yang saat ini didominasi oleh isu radikalisme. Publik, terutama umat Islam, memperhatikan dengan saksama tindakan berlebihan yang dialakukan pemerintah. Seperti menerbitkan SKB 11 Menteri untuk mengawasi perilaku radikal ASN dan CPNS. Juga ada perintah Wapres Ma’ruf Amin agar polisi mengawasi masjid. Kemudian ada sinyalemen radikalisme yang dikatakan melanda anak-anak setingkat PAUD. Jadi, pemerintah melakukan kesalahan kalkulasi. Pencekalan HRS yang semula dimaksudkan untuk meredupkan ketokohan Habib dan gerakan 212, yang terjadi malah sebaliknya. Dan, semakin lama drama ini berlangsung, akan semakin buruk dampaknya bagi pemerintah. Karena itu, langkah yang terbaik bagi penguasa ialah menerima kepulangan HR Shihab. Dan dari ini besar kemungkinan bisa dibangun rekonsiliasi nasional secara menyeluruh.[] 3 Desember 2019 Penulis wartawan senior.
Bahaya Korporasi Global Dibalik Gagasan Presiden Tiga Periode
Konstitusi memang selalu diandalkan untuk dijadikan pijakan oleh semua negara. Tetapi kontitusi membutuhkan politisi arif dan bijak untuk menjaga dan mengawalnya. Sebab setiap waktu, sesuai arus naik kepentingan korporasi menguasai sumberdaya alam, konstitusi bisa diinjak-injak oleh para politisi. By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Presiden Indonesia, entah apa pertimbangan spesifiknya, sedang digagas untuk, tentu kelak, memegang jabatan selama tiga periode berturut-turut. Hebatnya masa jabatannya pun digagas untuk diubah, dalam makna diperpanjang. Buka lima tahun lagi, tetapi tujuh tahun. Bahkan ada yang mewacananakan delapan tahun. Siapa yang pertama memetik seluruh keuntungan? Terutama keuntungan ekonomi dari perpanjangan masa jabatan itu? Rakyat kecil dalam sejarahnya, hanya berdaulat selama lima menit dan lima meter persegi. Jalan untuk mereka bisa terjalin dengan presiden terpilih telah tertutup, bahkan jauh sebelum pemilu berakhir. Jangankan presiden terpilih, hasil pemilu pun tidak dapat mereka kontrol. Itulah mereka rekyat kecil. Status politik dan konstitusional mereka sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan suara hanya dagangan semata. mereka disimbolkan sebagai penentu siapa berkuasa dan seluruh aspek lainnya, juga tidak lebih dari sekadar retorika belaka. Bukan mereka yang berdauat secara empiris. Korporasi besarlah yang mengambil alih semua kedaulatan itu. Korporasi besar inilah (sekarang konglomerat), dalam sejumlah kasus muncul sebagai kelompok yang berdaulat secara empiris. Bukanlah rakyat kecil yang suaranya didengar pada kesempatan pertama oleh pembuat kebijakan. Mereka para konglomerat itu sangat cerdas dalam semua aspek. Terlalu lincah, licin dan kuat untuk semua urusan. Sumberdaya Ekonomi Perang dunia pertama, bahkan perang dunia kedua bukan perang membebaskan negara-negara dari penjajahan. Kalau pun soal itu menjadi pertimbangan, perangsang utama perang-perang itu adalah penguasaan terhadap sumberdaya ekonomi. Perang dunia pertama misalnya tidak pernah jauh dari perebutan kekayaan alam dari penguasa Turki Otoman di sepanjang garis teritorinya. Disintegrasi kekuasaan Turki Otoman disempurnakan pada perang dunia kedua. Bukan apa-apa, tetapi perang dunia pertama itu tidak cukup memberikan keuntungan besar kepada Amerika. Keuntungan besar dari dari perang dunia pertama lebih banyak diperoleh Inggris dan Perancis. Apapun itu, dalam kenyataanhya garis batas teritori disepanjang bekas teritori Turki Otoman, kelak perlu ditata lagi. Dalam identifikasi Charlote Bennet, sebagian mengikuti garis aliran pipa minyak. Perang dunia adalah perang dengan dan untuk mendapatkan minyak, tulis Charlote Bannet. Sembari mengenalinya, satu hal yang pasti negara-negara baru, harus membentuk konstitusi. Seperti Jerman dan Turki pada perang dunia pertama. Konstitusi-konstitusi negara baru pecahan Turki Otoman harus mengadopsi sejumlah prinsip, dalam sebutan mereka adalah “pencerahan”. Konstitusi negara-negara baru juga harus memberi jaminan tentang hak asasi manusia dan hal lain dalam semangat yang sejenis. Tetapi ini bukan hal yang terbilang penting dan hebat. Hal hebat adalah negara dan keuasaan Turki Otoman itu harus terpecah-belah, dan terciptalah negara-negara baru, seperti yang terlihat hari ini di kawasan Timur-Tengah. Penciptaan negara baru adalah jalan baru, ke sumberdaya alam minyak. Pada konteks ini pembentukan Undang-Undang Dasar (UUD) sebuah Negara harus menjadi kepentingan korporasi atau konglomerat. Begitu juga sebuah negara atau perubahan UUD sebuah Negara. Setiap pembentukan dan perubahan UUD harus dalam identifikasi korporasi. Hanya boleh dilakukan jika kepentingan mereka terakomodasi. Kepentingannya selalu spesifik. Yang spesifik itu tidak pernah jauh dari melapangkan jalan ke penguasaan atas sumberdaya alam, dan sumberdaya ekonomi lainnya. Kepentingan-kepentingan korporasi tersebut disamarkan sedemikian canggihnya. Sehingga tak mudah untuk bisa diidentifikasi oleh politisi dengan kampuan pas-pasan. Politisi yang tak tahu dan sadar kalau mereka telah dibeli oleh para korporasi. Para korporasi sangat cerdas dalam penyamaran. Karena yang nantinya muncul ke permukaan bukan dari kalangan korporasi. Yang muncul adalah organisasi yang berkedok demokrasi dan hak asasi, dengan orang yang terlihat independen. Mereka juga berbaju tradisional keilmuan. Melemahkan satu organ di satu sisi, dan memperkuat organisasi lain disisi lainnya adalah cara dan pola berpikir mereka koporasi. Pada tahun 1970-an, di Amerika Serikat misalnya, muncul ide mengubah bentuk pertanggung jawaban anggota parlemen. Kongres hendak dibuat tidak lagi bertanggung jawab kepada konstituen mereka. Center for the Study of Democratic Institution (CSDI) misalnya, menurut John Coleman menyebarkan ide-ide yang akan mendatangkan reformasi social. Jenis reformasi yang lebih liberal, dengan demokrasi sebagai idiologinya. Salah satu kegiatannya adalah merancang konsep konstitusi baru Amerika Serikat, yang akan bersifat monarkis dan sosialis seperti Denmark. Sampai tahun 1973 mereka telah sampai pada draf konstitusi ke 35. Dalam draf ini mereka menjamin hak lingkungan. Inti amandemen ini dalam menguasai basis industri Amerika. Organisasi-organisasi ini tidak bekerja secara sembunyi-sembunyi. Diskusi, seminar, roundtable, public opinion adalah sedikit dari serangkaian kegiatan dan cara mereka lakukan. Dengan opini publik lawan disudutkan, ditenggelamkan. Argumen lawan dijadikan parody. Kuasai Pemerintah UUD sebuah bangsa adalah cara bangsa itu mengindetidikasi dirinya, dan nasibnya dalam semua aspek. Bagaimana bangsa dan rakyatnya itu dibawa? Bagaimana cara rakyat diurus? Termasuk di dalamnya sumberdaya alamnya ditangani menjadi isu-isu utama dalam UUD. Untuk tujuan itu, maka ketepatan penataan kekuasaan, muncul menjadi hal yang esensial dalam semua UUD. Menariknya, organisasi-organisasi berkedok internasional, atas penyebaran gagasan hak asasi manusia, demokrasi dan semua derifasinya begitu bergairah. Mereka sangat bersemangat “dalam istilah memberi bantuan” kepada negara-negara tersebut. Amerika Latin misalnya, merupakan contoh terbaik bagaimana organisasi-organisasi berkedok internatsional bermain. Mereka menyiapkan bergam isu tentang reformasi konstitusi. Organization of American State (OAS) misalnya, menyelenggarakan serangkaian rountable di Santiago Chile dalam rangka reformasi konstitusi. Tidak hanya mereka, Institute for Democracie and Electoral Assitance (IDEA) juga bergabung untuk isu yang sama. Latin American Public Opinion Orgazation (LAPOP), Latin Barometero Corporation dan Canadian International Cooperation Agency (CIDA), pada kesempatan lain juga masuk dalam isu yang sama di Amerika Latin. Tetapi mengapa America Latin yang telah terdemokratisasi menurut skema barat, tidak juga stabil? Uruguay, Bolivia, Kolumbia, Venezuela, Chile, untuk menyebut beberapa saja, mereka tidak stabil. Masa jabatan presiden yang telah ditetapkan batas waktunya menurut skema barat, menjadi berantakan. Itu yang sudah terjadi. Ambil saja misalnya di Venezuel, Biolivia dan Uruguay. Mahkamah Konstitusi yang ditetapkan dalam konstitusi menurut skema sangat demokrasi mutakhir. Dalam kasus Bolivia, Uruiguai dan Venezuela menjadi tukang stempel presiden. Mahkamah-mahkamah ini membenarkan perpanjangan masa jabatan presiden. Orang-orang seperti Chaves, Fujimori dan Evo Morales berkuasa melampaui masa jabatan presiden yang ditetapkan dalam konstitusi. Penguasa, bukan rakyat yang menit ke menit mengurus semuan urusan Negara. Pemerintah menjadi satu-satunya figur yang mendefenisikan semua hal dalam semua aspek bernegara. Pemerintah adalah sumber segala kebijakan dalam semua aspek. Mengontrol pemerintah, presiden atau perdana menteri, sama saja dengan mengontrol pembuatan kebijakan negara. Mengontrol kebijakan negara sama dengan mengontrol dan mengendalikan alokasi serta distribusi sumberdaya, politik dan ekonomi. Bagaimana melakukannya? Mudah. Semua sistem politik modern menyediakan pemilu sebagai cara mengisi jabatan itu. Semua sistem hukum pemilu mempertalikan suara “hak memberikan suara atau memilih” dengan “hak memberi sumbangan” kepada kandidat presiden atau perdana menteri. Itulah sebabnya memberikan sumbangan, in toto, tidak bisa dinyatakan sebagai perbuatan terlarang. Pemilu atau pemilihan, terbukti dalam sejarah sebagai urusan yang seluruh aspeknya terhubung dengan uang, uang dan uang. Hukum tata negara positif tak bisa menyanggahnya. Inilah persoalannya. Bawalah sumbangan tersebut ke kas kampanye dan kas pelantikan presiden, maka jalan untuk mendekat ke presiden dan perdana menteri semakin terbuka luas. Hukum tata negara dan ilmu politik memang menyebut itu sebagai sumbangan. Bukan sebagai jual beli kekuasaan. Tapi tabiat politik menunjukan secara jelas. Politik praktis selalu berputar di lingkaran inti balas budi, quid pro quo. Tidak ada makan siang yang gratis. Setelah sumbangan diberikan, kebijakan yang menguntungkan harus dibuat. Siapa yang paling bisa memberi sumbangan? Rakyat kecil? Mungkin juga. Tetapi tidak seberapa pengaruhnya. Yang berada dalam jangkauan memberi sumbangan, dalam jumlah di luar jangkauan rakyat kecil, tidak pernah lain kecuali perorangan berstatus kapitalis dengan korporat besarnya. Tidak ada yang lain, selain dari mereka para korporasi atau konglomerat tersebut. Hanya mereka yang bisa memberikan sumbangan dengan angka-angka yang pantastis dan mencengangkan. Setelah semuanya berlalu, maka giliran penguasa yang mulai bekerja politik quid pro quo, untuk balas budi. Impeachment terhadap presiden Trumph pada saat ini membuka sejumlah isu sumbangan. Terlihat sumbangan menjadi tali pengikat pertemanan, bahkan kebijakan. Presiden yang punya kebijakan menjanjikan keuntungan besar, tetapi belum terealisasi, harus dipastikan realisasinya. Hambatan konstitusional, harus disingkirkan secara konstitusional. Caranya, ya mengubah UUD. Tidak perlu bikin UUD baru. Cukup pasal yang menghambat saja yang disingkirkan. Itu saja. Tetapi apakah isu penambahan masa jabatan presiden dari lima tahun ke 7 (tujuh) tahun dan presiden menjabat selama tiga periode berturut-turut yang menggema saat ini harus dikerangkakan pada perspektif itu? Jokowi, presiden dua periode ini terlihat tidak menyenangi isu itu. Apakah korporasi global berdiam diri dalam soal ini? Korporasi adalah entitas paling cerdas. Mereka memiliki cara yang sangat canggih. Mereka tak teridentifikasi, sehingga membuat siapapun keluar dan masuk ke dalam kekuasaan, semudah setiap orang menghirup udara. Tidak friendly dengan mereka, sama dengan mengundang bencana. Jabatan bisa melayang. Pemilu yang diidentifikasi curang di Indonesia sama sekali tidak mengusik mereka. Tetapi pemilu curang di Bolivia, membuat OAS bergerak. Rakyat turun ke jalan, dan presiden incumbent tersingikir. Begitulah politik dan ekonomi bertali-temali dengan tata negara dalam urusan masuk dan keluar seseorang dalam jabatan presiden. Konstitusi memang selalu diandalkan untuk dijadikan pijakan oleh semua negara. Tetapi kontitusi membutuhkan politisi arif dan bijak untuk menjaga dan mengawalnya. Sebab setiap waktu, sesuai arus naik kepentingan korporasi menguasai sumberdaya alam, konstitusi bisa diinjak-injak oleh para politisi. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Pak Polisi, Berhentilah Mendustai Rakyat
Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - Polda Metro Jaya memprediksi tidak ada peserta reuni aksi 212 yang berasal dari luar kota. Polda menyebut peserta hanya dari sekitar Jakarta. Paling dari sekitar Jakarta. "Tidak ada, tidak ada. Peserta luar kota paling dari sekitar Tangerang saja. Kita masih berkoordinasi dengan panitia," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Yusri Yunus kepada wartawan di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, Minggu (1/12/2019). Ucapan tersebut keluar dari Kabid Humas Polda Metro Jaya. Yang nota bene Yusri adalah juru bicara polisi di Metro Jaya. Kalimat itu keluar dari seorang perwira polisi. Bukan dari oknum polisi. Omongan itu keluar menjelang Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad Sollohu alaihi wassalam dan Reuni 212. Ketika membaca keterangan Yusril Yunus di media resmi. Bukan di media sosial-- FB, WA, IG dan Twiter, saya merasa sedih dan kasihan sama ini polisi. Kenapa? Karena dalam pikiran saya, dan kenyataan yang terjadi selama ini, peserta reuni 212 selalu datang meluber dari bergagai daerah, antar pulau, dan bahkan dari beberapa negara. Yang datang di reuni 212 bukan hanya umat Islam, tetapi juga pemeluk agama lain (Nasrani, Hindu, Budha, Kong Ghu Chu) dan tokoh-tokoh agamanya. Mungkin yang tidak ada wakilnya hanya dari komunis dan aliran kepercayaan. Karena sebetulnya mereka sangat benci ajaran agama (apa pun), terlebih ajaran Islam yang mengedepankan kedamaian dan kesejukan. Selama ini polisi seringkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan ngawur, alias tidak sesuai kenyataan. Apalagi menyangkut hajatan 212. Betul Yusril Yunus mengatakan, memprediksi atau memperkirakan. Akan tetapi, mestinya bicara logis dan berpikiran jernih. Jangan asal bunyi atau asbun. Walaupun tidak suka atau kurang suka dengan acara 212, yang insya Allah tiap tahun akan diperingati, jangan asal bunyi begitulah. Mestinya walaupun hanya prediksi, mohon jangan membuat perkiraan yang ngwur seperti itulah. Walaupun prediksinya pasti salah, namun dekatkan sedikilah pada kebenaran. Walapun tidak benar-benar amat juga. Insy Allah saya akan berusaha untuk selalu hadir di reuni 212. Saya dan teman-teman yang tinggal di Tangerang alhamdulillaah kali ini hadir . Oke, saya dan teman adalah bagian dari Jakarta dan sekitarnya. Artinya, anggap saja Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi adalah sekitar Jakarta. Meski beda provinsi. Akan tetapi, apakah Serang, Cilegon, Lebak, Pandeglang, Cianjur, Bandung, Ciamis dan Cirebon masih disebut dari sekitar Jakarta juga? Oke, kita anggap saja masih sekitar Jakarta. Pertanyaannya, apakah Lampung, Jambi, Bengkulu, Padang (Sumatera Barat), Pekanbaru (Riau), Sumut dan Aceh masih juga disebut sekitar Jakarta? Apakah, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Madura, NTT, Kalimantan dan Sulawesi masih sekitar Jakarta? Apa yang menjadi ukuran dari sekitar Jakarta pak polisi? Kenapa saya bertanya seperti itu? Sebab, sejak seminggu sebelum acara Senin, 2-12-2019 diadakan, sudah banyak peserta yang berangkat ke Jakarta. Mereka berangkat, sekaligus mengunjungi saudara atau famili yang ada di Jakarta dan sekitarnya (Bodetabek). Mereka ke Jakarta (tidak sedikit bersama keluarga), juga sekaligus rekreasi. Mungkin polisi, khususnya pak Yusril Yunus tidak percaya. Akan tetapi, cobalah buka dan baca media resmi yang sudah memberitakan keberangkatan peserta sehari atau dua hari sebelumnya. Misalnya, yang berangkat dari Surabaya dan Madura. Mungkin polisi belum percaya dan memprediksi yang datang itu masih dari Jakarta dan sekitarnya. Bisa benar, jika parameter atau ukuran sekitarnya tidak jelas. Ibarat rumah, kan harus jelas ukuran yang menjadi tetangga kita. Kalau ukuran tetangga suka-suka, maka saya yang tinggal di Kota Tangerang pun bisa disebut tetangga teman saya Kisman Latumatulita yang tinggal di wilayah Jakarta Selatan. Jika ukuran Jakarta dan sekitarnya tidak jelas, alias suka-suka yang bicara, maka Sabang dan Merauke pun bisa masuk. Akan tetapi, jika ukuran Jakarta dan sekitarnya berdasarkan akal sehat dan bukan dungu, maka selama ini hanya Bodetabek. Polisi, berhentilah berdusta! Mengapa saya membuat judul seperti itu? Karena saya khawatir semakin banyak masyarakat yang benci dan tidak percaya kepada polisi. Padahal, masih banyak polisi-polisi yang baik. Setahu saya, masih banyak polisi-polisi yang suka dengan berdusta. Cobalah baca kembali berita- berita ke belakang. Banyak ucapan polisi yang seakan-akan menjadi propaganda pemerintah. Padahal, sejatinya polisi itu netral -- walaupun merupakan bagian dari pemerintah (bagian dari yudikatif). Polisi mestinya tidak mengeluarkan keterangan atau pernyataan yang berbau bohong kepada masyarakat. Masih ingat peristiwa Trisakti 1998. Saya masih ingat dan menyimpan keterangan Kapolri waktu itu Jendral Polisi Dibyo Widodo yang mengatakan, aparat di lapangan tidak membawa peluru tajam. Oke, karena waktu itu Polri masih di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) - sekarang TNI. Pernyataan Kapolri itu bisa dimaklumi. Akan tetapi, dalam peristiwa 21 dan 2 2 Mei 2019 yang lalu. Juga peristiwa turunnya anak-anak SMK (mereka lebih senang disebut anak-anak STM), polisi juga mengatakan, anggota yang bertugas di lapangan tidak dibekali dengan peluru tajam. Akan tetapi, kenyataannya ada korban yang meninggal dunia karena peluru tajam. Lalu siapa yang membawa peluru tajam tersebut? Tentu, polisilah yang lebih tahu akan masalah tersebut. Kita percaya polisi yang paling mengetahui hal itu. Polisi, berhentilah berdusta! Kembali ke Reuni 212 yang diprediksi tidak diikuti peserta dari luar Jakarta, kecuali Jakarta dan sekitarnya. Sebagai wartawan senior saya mencoba langsung mengecek di lapangan. Yang saya lakukan hanya survei kecil-kecilan, karena saya tidak percaya dengan keterangan polisi. Kenyataan di lapangan sangat jauh berbeda. Saya bertemu dengan keluarga yang datang dari Madura. Saya bertemu dengan pasangan suami-istri yang datang dari surabaya dengan menggunakan sepeda notor, berplat nomor L. Saya bertemu dengan peserta dari Rangkasbitung, Lebak, Provinsi Banten. Untuk yang ini saya ambil foto dan sempat saya catat namanya. Terus terang saya tidak memeriksa KTP mereka. Saya percaya mereka tidak berbohong. Apalagi seorang peserta dari Rangkasbitung, TB. Royani Tirtawijaya yang menurut penuturannya berusia 80 tahun. Datang dari Rangkas sendirian pake kereta api, dan nyambung di stasiun Tanah Abang serta Manggarai. Lalu turun di Staiun Juanda. "Dari Juanda saya jalan kaki ke sini (Monas)," kata pria yang memakai tongkat itu ketiķa berbincang-bincang dengan saya di depan panggung utama. TB Royani pun memperlihatkan kepada saya kartu yang dikalungkang di leher dengan simbol mudah jatuh. Saya juga sempat ngobrol dengan peserta yang datang dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ada juga yang datang dari Banjarmasin, Makassar. Kalau begitu prediksi Yusril Yunus tidak tepat. Bahkan, walaupun prediksi, tetapi prediksinya cenderung bohong, atau mendekati kebohongan. Apalagi, keterangan itu disampaikan beberapa jam sebelum pergantian tanggal 1 ke tanggal 2 Desember 2019. Ketika polisi memberikan keterangan tentang prediksi, peserta reuni akbar 212 yang bukan dari Jakarta dan sekitarnya sudah masuk Jakarta. Sebagian menginap di hotel, di rumah saudara, di masjid dan tempat-tempat penampungan yang disediakan panitia. Penulis adalah Wartawan Senior
Reuni 212, Apakah Masih Perlu?
Bagi pegiat demokrasi yang jujur, seharusnya keberadaan alumni 212 patut disyukuri. Bukan malah dimusuhi hanya karena adanya perbedaan latar belakang dan keyakinan beragama. Sebab mereka adalah simbol tetap hidupnya kelompok masyarakat madani (civil society). Kelompok yang melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah. Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Senin 2 Desember 2019, Reuni Akbar Alumni 212 akan kembali digelar di Lapangan Monas, Jakarta. Acara digelar bersamaan dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dan diberi tajuk Maulid Agung. Banyak yang mempertanyakan urgensinya, perlunya reuni itu digelar setiap tahun. Apalagi di tengah upaya “rekonsiliasi,” menyatukan kembali anak bangsa yang terbelah sangat dalam, pasca Pilpres 2019. Bagi yang tidak sepakat dengan reuni, kegiatan itu hanya akan mengganggu proses “rekonsiliasi” yang tengah diupayakan pemerintah. Mendagri Tito Karnavian secara terbuka menyatakan alumni 212 menjadi penghambat terwujudnya stabilitas nasional. Kendati disampaikan secara berseloroh, apa yang diucapkan Tito haruslah dilihat sebagai sikap resmi pemerintah. Bercanda, tapi serius. Pemerintah masih tetap menganggap alumni 212 sebagai ganjalan terbesar. Kelompok yang sampai aekarang belum/tidak bisa ditaklukkan. Semacam duri dalam daging. Sebagai mantan Kapolri, tentu Tito sangat paham betul dengan siapa dia berurusan. Gerakan ini tidak mudah bisa dipatahkan dan ditundukkan. Tidak bisa ditakut-takuti, juga tidak bisa dikooptasi. Mereka berbeda dengan kubu pendukung Prabowo. Lepas dari ketidak-sukaan pemerintah, menarik untuk mempertanyakan apakah urgensi dari reuni tersebut? Bagi pegiat demokrasi yang jujur, seharusnya keberadaan alumni 212 patut disyukuri. Bukan malah dimusuhi hanya karena adanya perbedaan latar belakang dan keyakinan beragama. Sebab mereka adalah simbol tetap hidupnya kelompok masyarakat madani (civil society). Kelompok yang melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah. Hanya kelompok yang berani menyatakan TIDAK, ketika semua instrumen demokrasi nyaris mati suri dan membebek terhadap apapun keinginan pemerintah. Tanda-tanda negara ini dibawa menjauh dari demokrasi tampak sangat nyata. Tanda-tanda bahwa negara ini ingin kembali dibawa ke praktik kekuasaan otoriter sudah di depan mata. Ada upaya secara sistematis mengembalikan pemilihan presiden ke MPR. Ada upaya nyata menjadikan Jokowi sebagai presiden “seumur hidup.” Upaya itu dibungkus dengan wacana memperpanjang masa jabatan dari 5 tahun menjadi 8 tahun. Mengubah pembatasan masa jabatan dua periode menjadi tiga periode. Bila upaya tersebut sukses, tidak tertutup kemungkinan tidak ada lagi pembatasan masa jabatan presiden seperti pada masa Orde Baru, dengan dalih kembali ke UUD 45. Pemerintah melangkah terlampau jauh memasuki aktivitas privat masyarakat. Yang lebih memprihatinkan pemerintah terkesan terjangkit dan mengembangkan wacana Islamophobia. Wacana perang terhadap radikalisme dikembangkan sedemikian rupa dan sasaran utamanya adalah umat Islam. Akibatnya, kegiatan majelis taklim harus terdaftar. Polisi disebar untuk mengawasi masjid-masjid yang diduga sebagai tempat penyebar kebencian. Pemerintah juga menerbitkan SKB 11 Menteri untuk mencegah paham radikalisme di kalangan aparatur sipil negara (ASN). Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan masa depan demokrasi Indonesia, ketika tidak ada lagi elemen kritis yang terorganisasi. Dalam konteks inilah reuni alumni 212 menemukan urgensinya. Harus terus ada kelompok yang menyuarakan sikap kritis terhadap pemerintah. Mereka harus terus dirawat. Dijaga soliditasnya. Jangan pandang mereka sebagai kelompok berbahaya yang harus terus dimusuhi. Jadikan mereka partner di luar pemerintahan untuk menjaga demokrasi kita tumbuh sehat dan kuat. Demokrasi dapat tegak berdiri tanpa oposisi, adalah ilusi. End Penulis adalah Wartawan Senior