Kasihanilah Si Corona
Oleh Hersubeno Arief
Jakarta, FNN - Jahat mana virus Corona atau para oligarki? Sekelompok orang yang mengendalikan bisnis dan kekuasaan di Indonesia.
Kalau Anda sudah sempat membaca tiga regulasi yang baru diterbitkan pemerintah, pasti tidak akan ragu menjawab.
Ketiganya adalah Perppu No 1 Tahun 2020 Tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem. Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, dan Keputusan Presiden (Keppres) Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat,
Dibandingkan dengan oligarki, virus Corona tidak ada apa-apanya. Cemen. Oligarki lebih mengerikan, lebih jahat berkali-kali lipat.
Mereka lebih pandai memanfaatkan situasi. Memanfaatkan kekacauan, ketakutan publik. Menarik keuntungan di tengah kemalangan.
Menjadikan Corona sebagai kambing hitam, menimpakan kesalahan sepenuhnya kepada virus made in China itu. Padahal sesungguhnya dari mereka lah segala kekacauan negara ini bermula.
Beda sekali dengan Corona. Sebagai mahluk Tuhan, dia hanya mengikuti “nalurinya.”
Mencari inang, yang bisa menjadi induk tempat berkembang biak. Itu pun dia tidak berdaya ketika manusia disiplin menjaga jarak. Menjaga kebersihan.
Dia hanya bisa melompat sejauh 1-2 meter. Kalau gagal, lama-lama dia akan mati sendiri.
Para oligarki bisa masuk dan hinggap kemana-mana. Usianya juga sangat panjang. Berpindah dari satu penguasa-ke penguasa lainnya.
Mengatur apa yang harus dilakukan oleh pemerintah. UU dan aturan mana yang harus diterbitkan, dan mana yang tidak. Siapa yang harus dikorbankan, dan siapa yang harus diuntungkan.
Munculnya tiga aturan tadi, semakin membuka mata publik, ada pintu belakang di istana. Pintu yang digunakan lalu lalang, oleh orang-orang yang lebih dipercaya Presiden, dibandingkan para menterinya.
Coba cermati kronologinya. Menko Polhukam Mahfud MD pada Jumat (27/3) menyatakan pemerintah sedang mempersiapkan Perppu tentang Karantina Wilayah.
Empat hari kemudian, Selasa (31/3) Presiden Jokowi mengumumkan Peraturan Pemerintah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Bukan Perppu Karantina seperti dikatakan Mahfud. Perppu justru diterbitkan untuk mengamankan kepentingan korporasi. Menjamin kepastian hukum bagi para pengambil kebijakan.
Kesimpulan publik, omongan Mahfud tidak bisa dipegang. Toh dia hanya pembantu. Setiap saat bisa dipecat. Ada pembisik lain yang lebih didengar, dipercaya, dan sarannya dilaksanakan Presiden.
Merekalah yang membiayai, mengantar, dan menjaganya agar tetap dalam tampuk kekuasaan.
Menyelundupkan Pasal
Selasa (2/4) Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menkumham Yasona Laoly menyerahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Perppu tersebut ke DPR.
Hampir dapat dipastikan DPR akan menyetujuinya. Perppu akan segera berlaku secara efektif. Tinggal ketok palu.
Selain tidak adanya oposisi yang kuat. Sudah menjadi rahasia umum, tangan-tangan oligarki menjangkau sangat jauh di parlemen. Mereka menempatkan pion-pionnya, sebagai proxy di gedung wakil rakyat.
Mencermati pasal demi pasal dalam Perppu No 1 Tahun 2020, PP dan Kepres Corona, koalisi masyarakat sipil, pegiat pemerintahan yang bersih, atau siapapun yang masih waras, hanya bisa geleng-geleng kepala.
Ada kesan kuat pemerintah memanfaatkan situasi krisis untuk memuluskan agenda terselubung. Menuai “berkah” di tengah musibah.
Ada pasal-pasal di RUU Omnibus Law yang diselundupkan dalam Perppu. Pasal yang lebih menguntungkan dunia usaha dan banyak ditolak.
Alokasi dananya juga tidak fokus pada pemberantasan virus. Tidak fokus pada penyelematan kesehatan.
Yang lebih memprihatinkan, ada pasal yang disiapkan secara cerdik, untuk mengamankan para pemegang otoritas dan kebijakan. Mereka tidak bisa dijerat hukum manakala terjadi penyimpangan.
Pasal penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), yang semula masuk di RUU Omnibus Law, ditarik ke Perppu.
Pemerintah menurunkan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22%. Kemudian turun lagi menjadi 20% pada tahun berikutnya.
Tarif ini berlaku mulai tahun ini, lebih cepat dari usulan awal yang dimasukkan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Dalam rancangan Omnibus Law, penurunan baru akan dimulai pada 2021.
Sikap pemerintah sejak awal konsisten. Lebih mementingkan ekonomi, ketimbang keselamatan dan nyawa rakyat, juga terlihat dari alokasi anggaran yang disediakan.
Dari total Rp 405, 1 triliun yang dianggarkan, hanya Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan. Meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter.
Yang terbesar justru anggaran untuk pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun. Rp 70,1 stimulus perpajakan dan kredit usaha rakyat. Selebihnya sebesar Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial.
Akar penyebab persoalan, yakni sektor kesehatan hanya mendapat porsi 18.5%. Selebihnya digunakan untuk mengatasi dampaknya.
Sebagai konskuensi dari adanya anggaran baru tersebut pemerintah memperlebar defisit anggaran. Dari semula 3% menjadi 5.07%.
Apa artinya? Pemerintah leluasa menambah utang baru. Utang yang sudah menjadi _life style_ pemerintah.
Utang yang akan diwariskan pada pemerintahan berikutnya. Utang yang akan diwariskan kepada anak cucu kita.
Corona benar-benar menjadi dewa penyelamat bagi pemerintah. Jauh sebelum wabah melanda, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah berkali-kali menyatakan defisit anggaran anggaran akan semakin melebar.
Pada bulan November 2019 Sri Mulyani sudah mengingatkan defisit anggaran akan mencapai 2 sampai 2.2%. Dalam APBN 2019 dipatok 1.87%.
Alasannya karena perlambatan ekonomi global dan melesetnya penerimaan pajak. Sekarang Corona yang menjadi alasan.
“Berkah” lain yang dituai oligarki, sebagian dari mereka akan segera bebas dari penjara. Menkumham Yasona Laoly mengusulkan narapidana lansia berusia di atas 60 tahun dibebaskan. Usulan itu sudah disetujui Presiden.
300 orang napi koruptor, bersiap-siap menghirup udara bebas. Banyak diantara mereka adalah politisi, petinggi negara, dan kroninya.
Kalau sudah begini, kita hanya bisa mengelus dada. Kasihan sekali kau Corona.
Di seluruh dunia menjadi musibah. Ditakuti, menjadi momok yang menakutkan.
Eh….di Indonesia malah menjadi blessing in disguise. “Berkah” yang tersembunyi bagi sekelompok oligarki.
Dihadapan oligarki, Corona mati gaya. Dia tidak bisa menggugat karena namanya dicemarkan.
Corona suatu saat akan mati. Oligarki tidak ada matinya.
Please….kasihanilah Corona. End.
Penulis Wartawan Senior.