OPINI

Jokowi Pantas Lengser

Rakyat sedang takut, dan khawatir dengan menguatnya dominasi Cina Tiongkok di negeri ini. Sebab dominasi Cina Tiongkok itu terlihat dan nyata pada hampir semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Baik itu bidang investasi, hutang luar negeri maupun peran Cina diaspora yang sekarang menguasai dua pertiga sektor ekonomi nasional. By M. Rizal Fadillah Jakarta, FNN - Ini cuma soal kepantasan saja. Bukan soal desakan, apalagi sampai pemaksaan segala. Lima tahun memimpin tanpa membawa kebanggaan sebagai bangsa yang dihormati atau disegani tingkat antar negara. Rakyat tidak merasakan prestasi yang meskipun sekedar wajar-wajar saja. Tidak perlu ada pestasi yang sangat menonjol atau spektakuler. Datar-datar saja pun tidak. Kini Jokowi menjadi Presiden lagi hanya berbekal tudingan kemenangan yang kontroversial. Banyak yang meragukan akurasi data dan angka-angka kemenangan tersebut. Meski dibantu dengan penampilan wibawa dan bertoga dari hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Jokowi juga sering tidak hadir di forum-forum internasional. Kenyataan ini menandai kurangnya punya rasa percaya diri dalam pergaulan global. Bisa saja akibat dari sulitnya kemampuan berbahasa asing. Begitu pula dengan pemahaman dan nerasi masalah-masalah internasional yang juga terbatas. Tampilan dan gaya juga minim. Artinya, kurang punya wibawa di forum-forum internasional. Memang sering tampil di depan rakyat pedesaan. Tetapi orang sangat paham dan mengetahui kalau tampilan tersebut hanya artifisial belaka. Akibatnya, blunder yang selalu bermunculan. Contoh paling terakhir adalah Presiden Jokowi dibonceng motor tanpa pakai helm. Namun begitu ngobrol dengan para petani, malah keliatan pakai helm. Kenyataan yang seperti ini sering menjadi bahan olok-olokan di media, terutama di media sosial. Rakyat melihat bahwa "kekuatan" dirinya hanyalah pencitraan semata. Tidak otentik apa adanya. Tragisnya, pencitraan itu artinya penipuan. Menganggap "pemirsa" televise itu adalah orang-orang yang gampang untuk diakali hanya dengan sorotan dari para juru kamera. Pejabat Amatiran Program kerakyatan yang disuguhkan ke masyarakat amburadul di lapangan. BPJS kesehatan yang sok meng"cover" semua kebutuhan kesehatan masyarakat melalui asuransi, nyatanya menjadi pengemplang hutang ke unit usaha kesehatan sendiri. Rumah sakit malah dibuat sekarat. Jualan kartu rupanya tidak laku dan tak jelas realisasinya. Kartu Indonesia Pintar hanya membuat orang pintar mainkan kartu. Kartu Pra Kerja hanya bikin orang terampil bekerja membuat kartu. Sedangkan Kartu Sembako Murah hanya menjadikan rakyat mampu beli kartu yang murah. Sementara hasilnya seperti pintar, kerja, dan sembakonya menguap ke awang awang. Lagi-lagi janji yang tak terealisasi. Wajar saja kalau Presiden diragukan kemampuannya untuk mengelola amanah dari rakyat. Jabatan dibagi bagi untuk tim lingkaran dalam. Mulai dari jabatan Menteri hingga Komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akibatnya, jabatan diisi secara asal dan amatiran. Menteri Pendidikan tidak berlatarbelakang pendidikan atau budaya. Menteri Agama yang gemar menyerang agama. Menteri Perdagangan tidak mahir berdagang. Menteri Kesehatan punya kasus tak sehat. Menteri Kelautan dan Perikanan jualan benih lobster. Menteri Keuangan punya keahlian berburu hutang. Hutang luar negeri negara kita kini lebih dari lima ribu lima ratus triliun rupiah. BUMN Memprihatinkan BUMN hingga kini masih terus merugi . Beban hutang BUMN sangat berat, baik untuk pembayaran hutang jangka pendek maupun jangka panjang. Jadi, BUMN jangankan untuk bisa untung. Untuk bisa membayar hutang sendiri saja sudah sangat bagus. Sebab kalau tidak bisa membayar hutang saat jatuh tempo, maka dihatirkan bakal ditombokin oleh rakyat melalui APBN. Sekarang PT Asuransi Jiwasraya terlibat skandal. Untuk sementara skandal Jiwasraya diperkirakan sebesar Rp 15 triliun. Angka yang sangat pantastis untuk ukuran kekinian. Angka paling besar yang menghebokan adalah skandal Bank Century Rp 7,4 triliun, atau skandal e-KTP Rp 2,3 triliun. Lantas bagaimana dengan BUMN yang lain? Sampai sekarang nasib BUMN lain belum terbukti bersih dari skandal saja. Namun bisik bisik di ruang publik, konon BUMN lain hanya belum sampai atau belum ditemukan saja. Namun kemungkinan nasibnya tidak bakalan berbada jauh dengan yang terjadi sekarang pada PT Asuransi Jiwasraya itu. Cukup menjadi gambaran bahwa pengelolaan BUMN selama lima tahun terakhir ini sangat memprihatinkan. Alih-alih konsentrasi pada sukses program kerakyatan dan pemulihan ekonomi nasional melalui BUMN. Presiden Jokowi malah sibuk dengan mainan proyek barunya. Proyek yang muncul dari nafsunya sendiri, yaitu rencana pemindahan ibukota negara ke luar dari Jakarta. Artinya, siap-siap bakalan bikin hutang baru lagi. Jumlahnya juga tiddak kecil. Sekitar Rp 466 triliun. Rakyat sedang takut, dan khawatir dengan menguatnya dominasi Cina Tiongkok di negeri ini. Sebab dominasi Cina Tiongkok itu terlihat dan nyata pada hampir semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Baik itu bidang investasi, hutang luar negeri maupun peran Cina diaspora yang sekarang menguasai dua pertiga sektor ekonomi nasional. Lahan dan sumber daya alam juga semakin tergerus dan sempit bagi kaum pribumi. Akan tetapi pemerintahan Jokowi nampaknya semakin nyaman saja berpelukan erat dengan negara Cina komonis. Kegelisahan dan keresahan rakyat sepertinya tak mau didengar. Tidak juga mau diperhatikan atau dipedulikan. Tidak ada kebijakan yang protektif, terutama di bidang ekonomi atau agraria. Masa depan negara Indonesia suram dipimpin Presiden Jokowi. Karenanya memang pantasnya Jokowi lengser agar ada pemimpin baru yang lebih baik untuk membawa kebahagiaan bagi masyarakat, umat, bangsa, dan negara. Moga saja ada hidayah dan inayah dari Allah. Aamiin. Penulis adalah Pemerhati Politik

Habib Rizieq Kekuatan Trust Fund

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Ceramah saya pada tokoh-tokoh muda Islam di Jakarta beberapa waktu lalu dinaikkan oleh Professor Musni Umar, sosiolog yang juga Rektor Universitas Ibnu Chaldun, dalam tweeter nya beberapa waktu lalu sebagai berikut, "Dr. syahganda Nainggolan dalam diskusi siang ini (20/12) berkata Habib Rizieq Shihab merupakan tokoh yang memiliki pengaruh dan kepercayaan yang tinggi dimata publik. Jika pendukungnya bersama pakar dirikan Trust Fund guna dirikan lembaga keuangan bisa himpun dana triliunan rupiah" (https://t.co/zn5cuyBFis). Sosiolog Musni Umar kebetulan saja mampir ketempat diskusi tersebut. Dia mampir bukan sebagai pembicara. Bukan pula sebagai peserta. Namun, ketika mengamati serangkaian ceramah yang saya sampaikan dalam tema "Radikalisme dalam Perspektif Demokrasi", justru bagian pembahasan bagaimana mem "break down" kekuatan ummat Islam yang ada selama ini, dari 212 dan Habib Rizieq menjadi kekuatan finansial dan lembaga pembiayaan ummat yang di quote Professor Musni. Habib Rizieq & Kepercayaan Kepercayaan adalah harta yang paling mahal di dunia. Kepercayaan itu dapat dimiliki individu, kelompok maupun institusi. Kepercayaan adalah sumber interaksi sosial yang kuat. Dalam sebuah masyarakat, semakin banyak individu2 yang dipercaya, akan semakin meningkat soliditas masyarakat tersebut. Meskipun, soliditas palsu dapat dilakukan dengan tangan besi oleh rezim yang otoriter. Soliditas yang alami sangat berbeda dengan yang terpaksa. Karena soliditas yang alami tersebut dapat menciptakan solidaritas social yang besar. Yang alami akan memunculkan "high trust society", di mana kepercayaan diantara masyarakat begitu tinggi. Sebaliknya, soliditas yang palsu, karena tekanan kekuasaan menyimpan banyak kecurigaan diantara masyarakat. Terjadi fenomena individual selalu mengambil lebih banyak keuntungan dari interaksi sosial (sistem sosial) terhadap individu atau kelompok masyarakat lainnya. Dengan kata lain, prilaku curang selalu menonjol dalam masyarakat. Munculnya orang-orang yang dapat dipercaya masyarakatnya haruslah melalui mekanisme hubungan-hubungan sosial yang terjadi. Dimana individual selalu disaksikan konsistensinya dalam bertindak. Godaan kekuasaan, harta dan wanita yang datang secara kasat mata maupun dalam bungkusan yang terselubung dapat menghentikan atau mengurangi konsistensi ucapan, sikap dan tindakan seseorang dalam menjalankan cita-citanya. Habib Muhammad Rizieq Shihab adalah manusia yang paling dipercaya di Indonesia saat ini. Pernyataan yang paling bersifat relatif terhadap figur figur lain yang ada. Relatif artinya banyak figur-figur yang dapat dipercaya, khususnya oleh sub-sub kelompok masyarakat. Sayangnya, secara nasional, hanya sedikit figur yang bisa dipercaya oleh masyarakat. Apa bedanya secara nasional versus sub-sub tersebut di atas? Maksudnya, sebuah skala ketika kita membuat ruang lingkup pada dimensi yang hanya bisa diukur secara nasional. Apa misalnya? Jika kita ingin berbicara keadilan sosial, hak-hak berpolitik dan berserikat, pembangunan nasional. Sedangkan yang menyangkut sub-sub seperti urusan perbedaan mazhab, dimensi tertentu kehidupan, seperti urusan pendidikan, atau lainnya tentu mempunyai tokoh-tokoh sendiri yang dipercaya. Habib Rizieq adalah satu yang paling utama dibanding ulama lainnya. Habib Rizieq mampu meyakinkan rakyat dalam skala besar. Contohnya seperti pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017 lagi. Begitu juga pada Pilpres 2019. Dia mampu mayakinkan orang untuk memilih pemimpin. Dua hal itu adalah gambaran nyata hasil dari konsistensi Habib Rizieq dalam berucap, bersikap dan bertindak. Habib Rizieq telah mengalami tawaran-tawaran uang "pembangunan" triliunan untuk kompromi. Namun semua tawaran itu dia tolak. Lalu dipenjarakan, dan yang terakhir di pengasingan (in exile). Semua resiko ini telah menciptakan kepercayan rakyat yang sangat besar kepadanya. Sebuah balasan dan pengakuan rakyat atas konsistensi sikapnya. Potensi Trust Fund Trust Fund hanyalah salah satu konversi dari kepercayaan rakyat pada Habib Rizieq yang dapat dibreak down. Ummat Islam tentu telah mencoba mengkonversi 212 menjadi koperasi 212. Namun belum mencapai hasil yang maksimal. Ketika Valentino Dinsi, tokoh koperasi 212, ke rumah saya berdiskusi membangun kekuatan "Syarikat Dagang Islam", saya katakan potensi itu ada. Saat ini, dibanding jaman Habibie dan ICMI menggalang dana ummat untuk membangun koran Republika dan Bank Muamalat, jauh lebih hebat sekarang ini. Baik dari sisi soliditas ummat maupun dari sisi munculnya jutaan urban muslim middle class. Trust bisa juga merupakan waqaf (lihat : waqaf vs. trust, https://islamicmarkets.com/education/waqf-vs-trusts). Kisah Waqaf Habib Bugak dari Aceh di Madinah ratusan tahun lalu, telah berbuah bagi para haji dari Aceh saat ini. Selain Trust Fund, berbagai instrument financial Islam juga dapat dikembangkan seperti Habib Rizieq Insurance, Habib Rizieq Islamic Bank, dan Habib Rizieq Mutual Fund. Jika sepuluh juta massa 212 menjadi pemilik Trust Fund itu dengan rata-rata menitipkan uangnya Rp. 100.000,-, maka Habib Rizieq Trust Fund akan memiliki kekayaan Rp. 1 triliun. Ini langkah kecil bagi Habib Rizieq dan kelompok ulama 212 dalam membangun lembaga pembiayaan Islam ke depan. Pekerjaan ini bukan pekerjaan susah dijaman internet of things (IOT) saat ini. Meskipun secara teknikal harus dikerjakan praktisi-praktisi keuangan muslim yang muda dan ikhlas. Penutup Habib Rizieq adalah manusia yang bisa dipercaya Bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam Indonesia ini. Tweets Professor Musni Umar mengenai pikiran saya untuk mem "break down" kepercayaan tersebut menjadi lembaga pembiayaan ummat harus dapat dikembangkan, dibanding sekedar "show of force" massa jutaan umat untuk reuni 212. Deputi Gubernur BI, Dody Waluyo mengatakan pada Juli 2019 total "Islamic Finacial Assets" sebesar Rp 1.359 triliun atau 8,7% dari total aset keuangan nasional. (Jakarta Post, 13/11/2019). Kelemahan dalam pengembangan ekonomi syariah terletak pada kekurangan memproduksi produk dan servis halal. Kita malah lebih banyak sebagai konsumen. Lalu, dalam sumber yang sama, Ventje Rahardjo, ketua KNKN (Komite Nasional Keuangan Syariah) mengatakan pungutan amal dan zakat hanya Rp 8 Triliun, sedangkan potensi yang dihitung oleh The Islamic Development Bank berkisar Rp. 200 tiliun. Ini sangat memprihatinkan. Kelemahan sektor keuangan Syariah ini di atas tentu berkaitan dengan kepercayaan masyarakat pada institusi keuangan resmi yang ada. Pertanyaan masyarakat saat ini berkisar pada kehalalan produk keuangan dan pengelolaannya. Selian itu, kepercayaan atas manajemen institusi keuangan yang ada. Hal ini akan mempunyai dampak keinginan rakyat mencari lembaga keuangan baru yang menjamin kehalalan dan jaminan resiko atas harta mereka. Apalagi di sektor finansial non Islamic, seperti isu korupsi melanda dan mengguncang asuransi Jiwasraya dan Bumiputra, baru baru ini. Dimana Jiwasraya dikaitkan dengan dana politik, begitu menghancurkan kepercayaan masyarakat pada institusi dan prilaku moral dan akhlak kaum profesional yang ada. Saatnya Habib Rizieq dan ulama 212 mengembangkan kekuatan umat di sektor keuangan untuk membiayai pembangunan umat Islam di luar sektor negara. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle, Mantan Staf Khusus Dirut PT. Jamsostek

Peri Kemanusiaan Terhadap Muslim Uighur

Oleh Dr. Ahmad Yani, SH. MH. Jakarta, FNN - Gejolak dunia Islam tidak henti-hentinya. Begitu juga dengan umat Islam di berbagai belahan dunia terus mengalami diskriminasi dan penyiksaan. Di India Undang-undang “Anti Muslim” dibuat untuk memarginalkan 200 juta Muslim India. Di China di bawah bayang-bayang komunisme, Muslim Uighur mendapatkan perlakuan menyedihkan. Quran dibakar, masjid ditutup, sekolah teologi Islam dan madras dilarang, cendekiawan dibunuh satu persatu. Namun dunia Islam masih diam dan diam atas penyiksaan yang keji itu. Melihat kenyataan pahit yang menimpa umat Islam itu, seorang pesepakbola terkenal, Mezut Ozil menulis dengan keras. “Jika anda tidak dapat mencegah penganiyayaan, buatlah agar diketahui umum”. Bgitu kata Ozil. Keributan pun tak dapat dielakkan. China marah, berang, karena perilaku tidak manusiawinya terhadap satu juta Muslim Uighur kini diungkapkan di hadapan publik. Boikot terhadap Club tempat Pemain bola muslim itu diteriakkan di China. Ormas-ormas Islam di Indonesia mendapatkan terpaan isu miring dengan diamnya terhadap kejahatan kemanusiaan di Uighur. Laporan The Wall Street Journal mencengangkan. Ormas-ormas Islam telah menerima “uang diam” dari China. Bahkan secara frontal SWJ mengatakan bahwa ulama dan tokoh-tokoh Islam organisasi besar Indonesia telah menerima “uang diam” itu. Tentu tuduhan itu menggemparkan jagat media Indonesia. Muhammadiyah dengan keras bereaksi dan mengatakan itu adalah fitnah terhadap Ormas Islam. Muhammadiyah membantah. Maka mulailah suara tentang Uighur kembali mencuat di Indonesia. Muhammadiyah mengecam, Majelis Ulama Indonesia pun ikut mengecam. Tokoh-tokoh Islam seperti Prof. Din Syamsuddin mendesak pemerintah Indonesia untuk bebicara. Profisor Din pun mengkritik sikap pemerintah Indonesia yang memilih diam. Sikap itu memperlihatkan betapa lemahnya Indonesia di mata pemerintah Cina tentang masalah Muslim Uighur ini. Di tengah keributan demi keributan, tuntutan demi tuntutan, pemerintah Indonesia masih belum bersuara sedikitpun. Beredarlah Statemen Prof. Salim Said kira-kira setahun yang lalu mempertanyakan sikap pemerintah indonesia yang tidak mau menerima Ulama Uighur yang ingin memberikan cedera mata, berupa Al-Quran yang ditulis Tangan. Jokowi menolak menerima tamu Ulama Uighur tersebut dengan mengatakan tidak enak dengan pemerintah China. “Apakah Indonesia dijajah China?” tanya Prof Salim. Inilah fakta sebenarnya yang sedang dihadapi Indonesia. Antara rasa tidak enak dan kemanusiaan yang harus diperjuangkan sebagaimana yang menjadi kewajiban konstitusional negara. Pembukaan UUD 1945 memerintahkan bahwa negara Indonesia harus ikut terlibat dalam perdamaian dunia dengan berdasar pada ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adi dan Beradab. Perintah konstitusi itu sebenarnya adalah tujuan daripada Indonesia merdeka? Namun kenapa Indonesia diam? Apa yang tengah membuat Indonesia sebagai negara dengan populasi berpenduduk Muslim terbesar di Dunia memilih bungkam atas kejahatan kemanusiaan di Uighir? Bungkam terhadap saudara sesama muslimnya? Apakah negara ini sudah tidak lagi berpihak kepada Islam dan kemanusiaan? Tidak perlu menjadi Islam untuk melihat kejahatan kemanusiaan itu. Cukup menjadi manusia saja. Karena sepanjang wilayah Turkistan Timur itu, yang dulu adalah satu negara Islam kini yang telah berada di bawah China, tangisan dan rintihan itu menggema. Anak dipisahkan dari bapaknya, istri diambil dari suaminya, suami dibawa di hadapan Istrinya. Orang-orang kehilangan saudara-saudaranya. Mereka di tampung dalam camp konsentrasi. Meski orang-orang mengatakan bahwa camp itu manusiawi, karena mereka mungkin mendapatkan “uang bicara” untuk membela China. Yang namanya Camp Konsentrasi itu tidak pernah ada kata manusiawi, karena namanya saja sudah menunjukkan satu keadaan masa perang dunia satu dan dua. Dimana saja ada Camp Konsentrasi, maka itu merupakan tempat penyiksaan dan pembantaian. Indonesia Harus Bersikap Sekali lagi ini panggilan kemanusiaan. Juga ini panggilan nurani kita sebagai manusia beradab. Juga ini panggilan persaudaraan bagi muslim di Indonesia untuk membela kaum-kaum yang tertindas, dan orang yang teraniyaya. Setidak sudah 30 negara yang mengecam tindakan persekusi China terhadap Uighur. Inggris dalam Sidang PBB meminta China membuka kamp-kamp yang berada di Xianjiang. Penganiayaan itu semakin kentara ketika media Amerika New York Times melaporkan dokumen bocor soal kamp penahanan etnis ini. Dalam dokumen itu, Presiden China Xi Jinping memerintahkan pejabat untuk bertindak tanpa belas kasih terhadap warga Uighur yang minoritas muslim itu. Perilaku Xi Jinping dan komunis China terhadap Muslim Uighur adalah pembantaian etnis dan pemusnahan etnis. Tentu ini melanggar hukum-hukum internasional. Maka menjadi kewajiban Indonesia bersuara mengenai persoalan Uighir ini. Indonesia jangan hanya diam dan diam saja, karena ini sudah sangat bertentangan dengan spirit internasionalisme yang dianut Indonesia. Tidak boleh ada penjajahan di atas muka bumi, dalam bentuk apapun. Tidak dibenarkan oleh konstitusi manapun, apalagi konstitusi Indonesia akan kejahatan yang menghancurkan nilai kemanusiaan seperti itu. Maka dengan tulisan ini, saya mendorong pemerintah Indonesia untuk hadir dalam penderitaan Muslim Uighur tersebut. Sebab negara-negara Islam dan negara-negara dunia sudah berbicara. Apa yang menghalangi Indonesia untuk tidak berbicara? Jangan sampai ini menimbulkan dugaan-dugaan bahwa Indonesia sudah betekuk lutut di hadapan rezim komunis China itu. PBB Perlu Bentuk Tim Investigasi Setidaknya sudah 30 Negara yang mengecam kejahatan rezim China terhadap Muslim Uighur. Negara-negara itu menyampaikan pernyataan di sela-sela rapat Majelis Umum PBB pada 26 September 2019. Tentu Perhatian Internasional sudah sangat mendukung untuk dibentuk Tim Investigasi terhadap kejahatan kemanusiaan itu. Karena itu, untuk menyelesaikan problem kemanusiaan tersebut, negara-negara Islam melalui Organisasi Konferensi Islam (OKI) harus mendesak dan meminta PBB segera membentuk tim Investigasi Independen, guna menyelesaikan persoalan itu. Tanpa tim investigasi, dalam ketertutupan media China, tentu masyarakat dunia tidak akan tahu secara menyeluruh tentang kejahatan kemanusiaan itu. Oleh karena itu, Peran PBB begitu sangat penting untuk menyelesaikan masalah ini. Kita berharap dan berdoa, semoga kaum muslimin Uighur selalu diberikan kesabaran dan kekuatan. Kita warga muslim di manapun berada, harus terus menyuarakan persoalan kemanusiaan ini, sehingga tidak ada lagi kejahatan kemanusiaan terhadap siapapun. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Advokat, Dosen Hukum dan Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta

Perpres No. 66 Tahun 2019 Gagal Perkuat Organisasi TNI

Fakta sekarang yang dapat kita liat adalah sarana dan prasarana perkantoran maupun alutsista untuk tiga Kogabwilhan ini, terbilang masih zero growth. Meja dan kantor saja masih numpang sana-sini. Namun para petingginya yang menjabat sudah dibuatkan Surat Keputusan (Skep). Sudah ada jabatan Pangkogabwilhan, Kaskogabwilhan , Asrenakogabwilhan juga sudah ada. By Surya Fermana Jakarta, FNN - Isi paling penting dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2019 adalah diadakknya kembali jabatan Wakil Panglima TNI. Selain itu, Pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Wakil Panglima TNI dalam Paragraf 2 Pasal 15 dijabarkan sebagai kordinator pembinaan interoperabilitas Tri Matra Terpadu. Kelihatannyta Wakil Pamglima TNI diadakan sebagai kordinator dari Kogabwilhan. Kogabwilhan adalah bagian dari Komando Utama (Kotama) TNI. Aturan mengenai tugas ini diatur dalam Paragraf 1 pasal 13. Dijelaskan bahwa Kotama terdiri dari Kogabwilhan, Kostrad, Armabar, Kohanudnas, Hidro dan Oseonografi, Kodam, Koppasus, Komando Lintas Laut Militer, Korp Marinir . Semua kotama pembinaannya berada di bawah masing-masing matra, Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sedangkan Kogabwilhan berada di bawah langsung Markas Besar TNI. Kogabwilhan idealnya untuk mewujudkan orkestrasi operasi antar matra. Terutam dalam menghadapi kondisi perang dan non perang. Mencoba meniru konsep Deployment Amerika Serikat, di mana wilayah tidak ada komando seperti Komando Indo-pasifik. Namun konsep dari Amerika Serikat tersebut berada di luar wilayah teritorial Amerika Serikat. Sesuai dengan doktrin militer mereka yang ekspansif. Ingin menguasai dunia sebagai polisi dunia. Sedangkan konsep pertahanan Indonesia tidak ekspansif. Pertahanan Indonesia adalah pertahanan negara dan mewujudkan perdamaian dunia. Coba kita liat struktur organisasi TNI, khususnya Kotama sudah cukup banyak Komando-Komando. Semua panglimanya di setiap Komando. Kenyataan ini membuat Indonesia lebih hebat dari Amerika Serikat dalam mempertahankan teritori, karena mempunyai Komando Teritorial Angkatan Darat dengan perwujudan Komando Daerah militer hingga sampai ke tingkat desa. Secara filosofi, pertahanan Kogabwilhan sudah kurang tepat. Apabila alasannya adalah orkestra Tri Matra maka cukup dengan sering melakukan latihan operasi gabungan antar matra di wilayah yang sudah dibagi, yaitu Barat, Tengah dan Timur. Fakta sekarang yang dapat kita liat adalah sarana dan prasarana perkantoran maupun Alutsista untuk tiga Kogabwilhan, terbilang masih zero growth. Meja dan kantor saja masih numpang sana-sini. Namun para petingginya udah dibuatkan Surat Keputusan (Skep). Sudah ada jabatan seperti Pangkogabwilhan, Kaskosgabwilhan, Asrenakosgabwilhan juga sudah ada. Dimana saja para petinggi Kogabwilhan berkantor sekarang? Mungkinsebagian masih berkantor di Mabes TNI. Dalam hal operasi militer selain perang sudah ada BNPB, Basarnas dan Bakamla. TNI cukup menyediakan pasukan profesional. TNI lebih baik fokus pada pengadaan Alutsista sesuai Renstra II untuk mencapai minimum esential force (MEF). Masih banyak Alutsista yang belum diwujudkan seperti Pesawat Canggih, Radar Kontrol Darat, Rudal Pertahanan Udara dan Kapal Pertahanan Laut yang bisa mengkover seluruh wilayah territorial NKRI. Jangan sampai fokus pada konsep organisasi yang muluk-muluk tapi melenceng dari MEF. TNI perlu mewujudkan penguatan pada masing-masing matra. Bukan sebaliknya, membuat Komando Gabuangan diantara tiga matra yang ada. TNI Aangkatan Darat misalnya, perlu penguatan kembali teritorial dan pelebaran divisi Kostrad ada di setiap bagian wilayah. Sedangkan di TNI Angkatan laut, diperlukan penguatan Armada Laut yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Begitu dengan TNI Angkatan Udara. Diperlukan ketersediian alutsista dan prajurit profesional dalam mengkover seluruh wilayah pertahanan udara Indonesia. Kenapa saya rewel dan bawel mengenai penggemukan struktur organisasi TNI ini ? Karena anggaran rutin TNI sudah mencapai 60% hanya untuk biaya gajih dan tunjangan. Nah dengan Perpres No. 66 tahun 2019 ini, bakalan menambah porsi anggaran untuk gajih dan tunjangan lagi. Padahal anggaran yang ada, dan masih sangat terbtas ini, lebih baik dioptimalkan untuk pengadaan Alutsista dan peningkatan profesionalitas prajurit. Mengutip tulisan Edna Pattisiana di harian Kompas edisi tanggal 20 Desember 2019 terjadi surplus Kolenel dan Perwira Tinggi (Pati) yang tidak mempunyai jabatan (non job) di TNI mencapai sekitar 25% dari jabatan tersedia. Secara keseluruhan baru 75% susunan organisasi terpenuhi. Ada kekosongan personel dari Kopral sampai Letnan Kolonel, sehingga dalam operasi sering rangkap jabatan dan kelebihan pekerjaan karena personel tidak cukup. Itu juga menghambat perwira yang sekolah ke luar negeri guna meningkatkan kemampuan dan menambah wawasan intelijen serta diplomasi. Diperkirana jabatan Wakil Panglima TNI akan tumpang tindih dengan tugas-tugas Kepala Staf Umum (Kasum) Panglima TNI. Dalam Pasal 16 Kasum dijabarkan sebagai kordinator Pembina di Markas Besar TNI. Dengan demikian Kogabwilhan juga berada di bawah kordinasi Kasum karena bagian dari Mabes TNI. Konsekuensinya ada dua kordinator untuk Kogabwilhan, yaitu Wakil Panglima TNI dan Kasum TNI. Nah, jangan sampai Wakil Pamnglima TNI para Pangkogabwilhan beserta jajaran di bawahnya menjadi non job baru, dengan gajih dan tunjangan jabatan besar, namun belom punya kantor. Kerjanya apa ? juga belom jelas. Namun sudah dipastikan bakal menggerogoti anggaran TNI. Pertanyaanya, apakah ketika membuat Perpres No. 66 Tahun 2019 ini, Pak Jokowi berbeda pikiran dengan pernyataannya sendiri ketika mau menyederhanakan eselon di kementerian? Penulis adalah Pengamat Militer

Mafia Migas Operasi Hambat Pertamina Bangun Kilang Baru

Oleh Salamuddin Daeng Jakarta, FNN – Presiden Jokowi berkali-kali meminta Pertamina untuk membangun kilang minyak baru. Tentu saja yang diminta Presiden Jokowi untuk membangun kilang adalah Pertamina. Mengapa harus Pertamina ? Karena sebagai BUMN, Pertamina lah merupakan perpanjangan tangan pemerintah untuk membangun kilang minyak. Pemerintah tidak dibolehkan untuk membangun kilang sendiri. Karena kilang adalah usaha bisnis. Sedangkan regulasi melarang pemerintah tidak boleh berbisnis. Kalau pemerintah boleh berbisnis, maka pemerintah bisa saja disalahkan atas masalah ini. Setelah lima tahun pemerintahan Jokowi periode pertama berlalu, tidak ada satupun kilang baru yang dibangun. Bahkan sampai sekarang, belum ada tanda-tanda kilang bakal dibangun, meski hanya 1% realisasinya. Ternyata permintaan Presiden Jokowi tak didengar oleh Pertamina. Sungguh sangat tragis sekali. Pihak-pihak yang diserahkan tanggung jawab untuk mambangun kilang ini, tidak melakukan langkah langkah sama sekali. Aneh bin ajaib. Perintah Presiden hanya dianggap angin lalu. Patut diduga ada pihak-pihak yang tidak menghendaki pembangunan kilang baru. Kerjasama Orang Dalam Bagaimana dengan upaya Pertamina ke arah pembangunan kilang baru? Sampai sekarang hasilnya masih nihil. Padahal seharusnya Pertamina yang paling kompeten bangun kilang baru. Pertamina adalah BUMN migas satu-satunya di tanah air. Sampai sekarang, Pertamina adalah satu dinatara perusahaan dengan asset terbesar di Indonesia. Belanja minyak Pertamina sangat bdesar. Bisa mencapai Rp 1.000 triliun setiap tahun. Masa iya sih Pertamina tidak sanggup membangun kilang minyak baru? Kenyataannya memang Pertamina tidak sanggup. Tidak bisa membangun kilang baru. Wajar saja kalau dipertanyakkan oleh Presiden Jokowi. Sebab kilang minyak yang ada sekarang sudah tua semuanya. Entah sampai berapa lama lagi kilang-kilang yang sudah tua itu sanggup beroperasi untuk memenuhi kebutuhan migas nasional? Sementara tuntutan zaman semakin beragam. Tuntutan terhadap isue-isue energi yang ramah terhadap lingkungan menjadi kebubutan yang mendesak. Masyarakat internasional sangat peduli dan bersikap antipati terhadap produk-produk tidak ramah lingkungan atau mencemari lingkungan. Patut diduga ada mafia migas bekerja. Sengaja menghalang-halangi setiap upaya Pertamina untuk membangun kilang baru. Mafia migas bekerjasama dengan orang dalam Pertamina. Tujuannya, agar Pertamina tetap tergantung kepada impor migas. Targetnya solar dan elpiji tetap bisa diimpor. Sebab keuntungan yang didapat dari impor migas lebih gampang dari pada membangun kilang minyak sendiri. Bisa juga patut diduga ada setoran besar dari importir migas. Meraka inilah yang berusaha dengan cara menghalangi pembangunan kilang minyak baru. Untuk itu, Presiden Jokowi harus mengecek keberadaan mafia impor ini dan memberantasnya sampai tuntas. Pertamina sendiri sudah membuat dua direksi, yang ada kaitannya dengan pembangunan kilang baru. Kedua direksi itu adalah direktur mega proyek, yang didukung oleh direktur infrastruktur. Kalau tidak ada pembangunan kilang baru, patut dipertanyakan apa saja pekerjaan dua direksi itu selama ini? Kok bisa ya, satu persen pembangunan kilang baru tidak jalan? Dengan demikian, wajar saja kalau Presiden Jokowi murka melihat kenyataan ini. Mengapa Direktur Utama seolah-olah cuek saja. Sepertinya menganggap omongan Presiden Jokowi sebagai dagelan belaka? Kalau alasannya Pertamina tidak punya uang? Maka faktanya Pertamina sangat pandai cari uang. Pertamina juga pandai mencari mitra usaha untuk membangun kilang baru. Perusahaan sebesar Pertamina pasti gampang mencari uang mitra usaha untuk membangun kilang baru. Lain halnya kalau direksi Pertamina tidak mau mencari uang. Lain halnya kalau Pertamina kini telah menjadi perpanjangan tangan dari mafia migas yang tidak menghendaki Pertamina membangun kilang baru. Kalau begitu adanya, maka direksi tinggal menerima nasib. Tunggu Presiden Jokowi murka. Global Bond Menumpuk Meskipun sampai sekarang Pertamina belom membangun kilang minyak baru. Namun Pertamina telah menumpuk banyak utang dalam besar untuk menjalankan kegiatan usahanya. Pertanyaan publik yang mungkin sama dengan pertanyaan Presiden Jokowi adalah untuk apa uang dari hasil utang itu digunakan oleh direksi Pertamina ? Setelah libur panjang beberap tahun membuat global bond, pada akhir Tahun 2018, tepatnya tanggal 7 November 2018, tiga bulan setelah Dirut Pertamina yang baru dilantik, Pertamina kembali mengambil utang global bond senilai U$D 750 juta dollar. Tercatat Nicke Widyawati menjabat sebagau pelaksana tugas Dirut Pertamina sejak April 2018. Selanjutnya Tahun 2019 Pertamina membuat global bond dua kali USD 750 juta. Tepatnya pada bulan Juni 2019 senilai U$ 1,5 miliar dollar. Dengan demikian jumlah utang global bond yang dibuat Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati sejak menjabat April 2019 sudah mencapai Rp. 31,5 triliun. Hanya dalam kurun waktu kurang dari setahun. Dengan bunga rata-rata 6 persen. Global bond yang baru, ditambah dengan akumulasi utang global bond yang dibuat sebelumnya telah sekitar mencapai U$ 11 miliar dollar. Setara dengan Rp 154 triliun pada kusr Rp 14.000 per dollar. Tahun 2011 Pertamina membuat global bond senilai U$ 1,5 miliar dollar, tahun 2012 U$ 2,5 miliar dollar, tahun 2013 U$ 3,25 miliar dollar, dan tahun 2014 U$ 1,5 miliar dollar. Utang Pertamina terus menumpuk dari tahun ke tahun. Belum termasuk utang utang kepada bank. Anehnya, produksi migas juga tidak meningkat secara significant. Justru yang paling tragis adalah impor migas, terutama LPG yang justru semakin meningkat. Yang lebih tragis lagi, karena tidak ada satu kilang baru yang dibangun oleh Pertamina. Pertanyaan, untuk keperluan apa pengadaan utang sebanyak itu? Sementara keuntungan Pertamina juga makin mengecil, bahkan cenderung merugi. Kinerja keuangan yang kurang baik ini akan menjadi masalah besar kepada Pertamina di masa mendatang. Dengan kemampuan mendapatkan laba kecil saat ini, mustahil bagi Pertamina untuk bisa membayar utang- utangnya. Berbeda kalau Pertamina mengambil utang, namun berhasil membangun kilang pengolahan migas baru. Produktifitas utang tersebut akan dapat membantu Pertamina membayar kewajiban di masa medatang. Namun jika perintah Presiden Jokowi masih dianggap sebagai angin lalu, maka suatu saat Pertamina bisa gagal bayar utang. Dan itu menjadi beban bagi pemerintah. Wajar Pak Jokowi Marah Penulis adalah Peneliti Pada Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Relasi Kuasa Hadi-Andika di Persimpangan Jalan

Oleh Selamat Ginting Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan elite TNI? Khususnya antara Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dengan KSAD Jenderal Andika Perkasa. Jakarta, FNN - Dalam dua bulan terakhir, ada beberapa peristiwa di mana Kepala Staf Angkatan Darta (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa tidak terlihat menghadiri acara dimana ada Marsekal Hadi. Peristiwa-peristiwa yang mengundang tanda tanya besar. Seperti hubungan panas dingin diantara keduanya. Andika kini malah terlihat lebih banyak bersama Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Keduanya sama-sama berlatar belakangt Unit Penanggulangan Teror (Gultor) Kopassus. Saat Mayjen Prabowo menjadi Komandan Jenderal Kopassus, Andika masih berpangkat kapten infanteri (Komando). Terakhir, Andika (Akmil 1987) bersama Menhan Prabowo terlihat bersama di Bandung. Saat pertemuan KSAD se-ASEAN, Senin (25/11/2019) lalu. Dari Mabes TNI diwakili Kasum, Letjen Joni Suprianto (Akmil 1986). Prabowo dan Andika menjadi bintang dalam acara ACAMM Asean Chief of Army Multilateral Meeting (ACAMM). Sebelumnya Andika juga bertemu dengan Prabowo, saat peresmian Patung Jenderal Besar Soedirman di Turusan, Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Ahad (10/11/2019). Tepat di Hari Pahlawan itu, Andika justru tidak hadir di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan. Saat itu, pimpinan Angkatan Darat diwakili Wakil KSAD Letjen Tatang Sulaiman (Akmil 1986). Tatang mendampingi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Hadir pula KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji (AAL 1985), KSAU Marsekal Yuyu Sutisna (AAU 1986), dan Kepala Polri Jenderal Idham Aziz (Akpol 1988-A). Begitu juga saat Hadi ke Papua pada 28-29 Oktober 2019. Andika malah menemani Menhan Prabowo. Keduanya menerima kunjungan Duta Besar Cina di Indonesia Xiao Qian di Kementerian Pertahanan, Selasa (29/10/2019). Nah, saat Hadi menerima Menhan Prabowo di Mabes TNI pada Rabu (30/10), Andika juga tidak hadir. Andika diwakili Wakil KSAD Letjen Tatang Sulaiman. Hadir pada acara itu, antara lain KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji, dan KSAU Marsekal Yuyu Sutisna. Pada acara pelantikan Kepala Polri Jenderal Idham Aziz, Marsekal Hadi bertindak sebagai saksi bersama Mendagri Tito Karnavian, 1 November 2019. Di situ pula Andika tidak hadir. Pimpinan Angkatan Darat diwakili Letjen Tatang Sulaiman. Interaksionisme simbolik Bagaimana menerjemahkan ketidakhadiran Jenderal Andika saat acara yang juga dihadiri oleh Marsekal Hadi? Apakah sebuah kebetulan, karena ada acara bersamaan? Penulis mencoba melihatnya dari teori interaksionisme simbolik. Salah satu teori yang banyak digunakan dalam penelitian sosiologi. Teori ini memiliki akar keterkaitan dari pemikiran Max Weber yang mengatakan, “tindakan sosial yang dilakukan oleh individu didorong oleh hasil pemaknaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya.” Makna sosial diperoleh melalui proses interpretasi dan komunikasi terhadap simbol-simbol di sekitarnya. Tanda-tanda tersebut merupakan simbol yang digunakan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan pada orang lain. Teori interaksionisme simbolik melihat sebuah tindakan dengan penggunaan simbol dalam rangka mendeklarasikan identitas semacam ‘inilah diriku’. Bisa jadi, itulah bentuk protes Jenderal Andika terhadap Hadi yang lebih mengutamakan memilih perwira tinggi yang satu letting (lulusan kelas yang sama) 1986. Sebelum, promosi terhadap IB Purwalaksana sebagai Irjen Kemhan, berdasarkan keputusan panglima TNI pada 26 November 2019, abituren Akmil 1987, teman lulusan Jenderal Andika, seperti ‘gigit jari’. Abituren Akmil 1986 punya tujuh letjen, termasuk Hinsa Siburian yang sudah pensiun. Sedangkan Akmil 1987, hanya punya satu Jenderal dan dua Letjen. Kini dalam waktu dekat akan menjadi tiga letjen dengan naiknya IB Purwalaksana. Bisa jadi pula, Andika dianggap ‘kurang memperjuangkan’ teman-temannya sesama Akmil 1987. Akmil 1985 pun hanya empat Letjen. Sedangkan Akmil 1988 A maupun B, belum satu pun yang mendapatkan promosi Letjen. Hal ini pula yang dipertanyakan, mengapa Angkatan Darat tertinggal dari Angkatan Laut maupun Angkatan Udara? Bahkan jauh tertinggal dari Kepolisian, karena lulusan 1990 sudah ada yang berpangkat Komisaris Jenderal (setingkat Letjen, Laksdya, dan Marsdya). Makna ketidakhadiran Jebdral Andika, jika diteropong dari teori interaksionisme simbolik, bisa dianalisiis masyarakat berdasarkan makna subjektif yang diciptakan individu sebagai basis perilaku dan tindakan sosialnya. Individu diasumsikan bertindak lebih berdasarkan apa yang diyakininya. Bukan berdasar pada apa yang secara objektif benar. Apa yang diyakini benar merupakan produk konstruksi sosial yang telah diinterpretasikan dalam konteks atau situasi yang spesifik. Hasil interpretasi ini disebut sebagai definisi situasi. Itulah situasi relasi kuasa antara Marsekal Hadi dengan Jenderal Andika. Ada persaingan terselubung. Tentu saja, keduanya akan membantah argumen ini. Silakan saja membantah. Toh, boleh-boleh berbeda dalam perspektif. Pola Karier Untuk itu, penulis juga akan mengaitkannya dengan pola jenjang karier yang berlaku untuk perwira tinggi TNI. Karier adalah perkembangan dan kemajauan yang terbuka bagi prajurit dalam kesempatan untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan tertentu. Termasuk kenaikan pangkat, kesempatan mengikuti pendidikan, serta pemindahan dan giliran penugasan. Karena itu, pimpinan tentara, harus memberikan kesempatan seadil-adilnya kepada setiap perwira untuk mengembangkan kariernya. Tentu saja melalui sebuah perencanaan yang baik, dan giliran penugasan serta kesempatan pendidikan untuk mencapai kemajuan. Dalam pola dasar karier perwira, maka jabatan pada perwira tinggi merupakan fase darma bakti. Pengabdian sebagai perwira lebih dari 25 tahun. Setelah minimal 25 tahun jadi perwira, baru pantas menyandang pangkat Brigjen, Laksma, Marsma. Ini merupakan masa terakhir dari karier seorang perwira. Penekanannya akan beralih dari sekadar pengembangan kemanfaatan maksimal seorang perwira dalam darma baktinya. Fokus perwira tinggi pada masalah-masalah strategi pertahanan dan kebijaksanaan TNI. Sehingga mereka bisa berkarsa dan berkarya nyata, khususnya dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka selayaknya, jabatan-jabatan Komadan atau Panglima, serta staf tingkat tinggi akan dipercayakan kepada perwira yang sangat menonjol di antara perwira yang potensial. Harus dilihat latar belakang penugasan bidang staf, pendidikan, pembinaan teritorial, serta komando pada unit kesatuan yang lebih besar. Tentu dengan ukuran prestasi yang sangat menonjol. Bukan semata-mata, karena sama-sama lulusan satu letting (sekelas). Harapannya, agar organisasi TNI bisa lebih professional, modern, dan mampu menjaga soliditas organisasi. Panglima Besar Soedirman telah memberikan contoh teladan yang patut dicontoh generasi penerus saat ini. Utamanya dalam menjaga soliditas TNI di saat negara dalam keadaan yang genting. Catatan. Tulisan ini telah dibaca di Harian Republika edisi Senin 16 Desember 2019 dan Republika Online edisi Selasa 17 Desember 2019. Namun belakangan tidak lagi dapat diakses di Republika Online. Tulisan dapat dimuat di Portal Berita Online FNN, dengan terlebih dulu mendapatkan persetujuan dari penulis Penulis adalah Wartawan Senior

Krisis Organisasi TNI di Eranya Hadi

By Surya Fermana Jakarta, FNN - Tatkala Jokowi mengganti Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI pada Bulan Desember 2017 dia berharap agar terjadi regenerasi di tubuh TNI. Langkah menuju ke sana ditempuh dengan mengangkat personil yang belum terakomodir. Targetnya, untuk menghindari Bottle Necking. Namun dua tahun berlalu, hingga Desember 2019, problem The Bottle Necking kian akut saja. Bahkan terkesan mengancam soliditas dan efektivitas organisasi TNI. Senin dua hari lalu, saya baca tulisan saudara Selamat Ginting seorang jurnalis senior Republika di Republika Online (06/12/2019). Judulnya adalah “Dominasi 86 dan Langkah Cegah Nepotisme Militer”. Berangkat dari tulisan tersebut, sekarang terlihat organisasi TNI seperti semakin carut-marut dan tidak efektif. Slamet Ginting menyebut nama-nama angkatan 1986 yang kini mendominasi dan meraih bintang empat dan bintang tiga. Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) yang semula ditujukan untuk mengakomodir lebih banyak Jenderal di TNI malah menjadi jalan buntu. Bahkan cenderung mengarah ke pemborosan anggaran. Letjen TNI Ganif Warsito (angkatan 86) yang semula menjabat Asisten Operasi (Asops) Panglima TNI dipromosikan jadi Pangkogabwilhan III. Ganif digantikan oleh Mayjen TNI Tiovan Aritonang (angkatan 86) yang semula menjadi Asops Kasad dan Pangdam Merdeka, Sulawesi Utara. Sampai sekarang Pangkogabwilhan belum ada kantor atau Markas Komando. Pekerjaan yang jelas mengenai konsep kordinasi operasi antar angkatan (interoperabilitas) di TNI. Ini jelas berlawanan dengan konsep Jokowi yang menghendaki penyederhanaan organisasi dan eselon. Dulu Jenderal LB Moerdani pernah menciutkan organisasi sejenis seperti Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Pangkowilhan). Tujuannya untuk efektivitas dan profesionalitas TNI. Beliau menghapus Pangkowilhan. Kemudian melikuidasi Kodam dan menciutkan Koppasus. Untuk apa gemuk tapi tidak sehat. Biaya rutin yang boros akibat organisasi besar yang miskin fungsi. Lebih baik biaya digunakan untuk latihan dan operasi. Sebab secara intelijen strategis, Indonesia tidak akan mengalami perang antar negara. Lebih baik penguatan profesionalitas pada tiap-tiap angkatan. Targetnya, untuk menjalankan tugas dan fungsinya yang sudah jelas tanpa harus tumpang tindih dipaksakan dengan jargon sinergitas. Baru hari ini saya mendapatkan kabar bahwa Asops Panglima TNI sudah diisi oleh Mayjen TNI Tiopan Aritonang, sebelumnya menjabat Pangdam Merdeka. Sedangkan Pangdam Merdeka diisi oleh Mayjen TNI Santos Mantondang. Sebelumnya Pangdam Merdeka dibiarkan lama lama kosong. Posisi Kodam Merdeka sangat penting strategis, karena menghadap Laut Cina Selatan dan Mindanau. Tempat dimana kelompok ISIS beroperasi. Keliatannya posisi Asops di kalangan Mabes TNI dan AD sangat penting dan strategis, sehingga pengisiannya belum bisa lepas dari perkolegaan dan perkoncoan. Saya menduga wacana pengangkatan Wakil Panglima TNI adalah upaya melanggengkan kekuasaan satu letting, sehingga seluruh matra dan pucuk tertinggi TNI hanya diisi oleh satu angkatan yang sama. TNI AD memiliki jumlah personel dan pengaruh yang besar. Terlihat KASAD Andika Perkasa mau dilemahkan fungsinya, dengan bahasa penghalusan diangkat menjadi Wakil Panglima TNI. Kita bisa melihat ketika Menteri BUMN Eric Tohir mengganti para Deputi Kementerian BUMN menjadi Wakil Dirut di BUMN. Jelas maksudnya adalah dibuang bukan promosi. Kemacetan organisasi TNI tidak boleh dibiarkan berlama-lama, karena akan merugikan bangsa dan negara di tengah krisis ekonomi politik global yang semakin menguat belakangan ini. Isu konflik kepentingan dalam pengadaan Alutsista di tubuh TNI juga perlu diperhatikan. Karena bisa melemahkan pertahanan dan kekuatan bangsa, khususnya di sistem pertahahan udara nasional. Pengadaan Ground Control Intercept (GCI) dan pengadaan pesawat tempur canggih harus diaudit secara selektif dan prudent. TNI selama reformasi ini menjadi profesional dan terpercaya. Dampaknya, TNI sangat dipercaya oleh masyarakat luas. Kepercayaan yang tinggi tersebut, harus bisa tetap dipertahankan. Jangan sampai kepercayaan ini berantakan, hanya disebabkan oleh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) letting 1986. Untuk itu diperlukan sikap tegas dari Presiden Jokowi sebagai Panglima Tertinggi untuk membenahi masalah ini. Penulis adalah Pengamat Militer

Tamparan "Wall Street Journal" untuk Ormas Islam Indonesia

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Sejarah mencatat, hanya 20 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, umat Islam tiba di Uighur, Xinjiang, perbatasan China, 3.000 km jauhnya dari Mekah. Itulah sejarah awalnya Islam masuk wilayah Kerajaan China. Kaisar Tang (China) menawarkan perdamaian. Ini ditandai dengan diterimanya utusan dari sahabat Nabi, Saad bin Abi Waqqash ra di pusat Kerajaan China. Saat itu belum ada yang namanya China Komunis. Uighur bergabung dalam Daulah Islam di masa Utsman bin Affan ra., dari Uighur inilah teknologi kertas pindah dari China ke negeri muslim, sehingga dimulailah penyusunan mushaf Qur’an Utsmani. Selama 1.400 tahun Uighur tetap menjadi negeri muslim, walaupun pernah dikuasai Mongol di abad 13 M, bahkan semasa era imperialis Eropa yang menjajah China, para jago kungfu Uighur, Xinjiang, ikut terlibat dalam perlawanan mengusir penjajah Eropa. “Salah satunya dalam tragedi the Boxer, dimana banyak jagoan kungfu Uighur menghabisi tentara gabungan Inggris-Eropa di kota-kota China tahun 1900-an,” ujar KH Fahmi Salim, Wakil Komisi Dakwah MUI Pusat. Menurut Wakil Sekjend MIUMI Pusat itu, ketika Mao Tse Tung komunis terusir dari kota-kota China pada 1940-an, ia lari ke Xinjiang, menumpang hidup di wilayah Uighur. Kini China komunis berbalik, menghabisi semua simbol Islam, dari negeri yang tersisa Islam-nya di China. Sebab semua sejarah Islam di China sudah banyak dihapus, yang membuat kita tidak paham Wong Fei Hung itu seorang muslim. Bahwa saat Kaisar Ming China berkuasa pada abad 15 M, pejabatnya didominasi gubernur dan jenderal muslim hingga melahirkan Laksamana Cheng Ho. Saat revolusi China oleh Sun Yat Sen pada 1910 masih ada jendral China yang muslim. Pada 1945 saat Mao komunis berkuasa, beberapa jendral China yang muslim menyelamatkan diri ke Taiwan. Mao yang pernah “berlindung” di wilayah Uighur itu tidak bisa berbalas budi. Sejak Mao berkuasa, China mulai menindas Uighur. Etnis atau suku Uighur adalah kelompok minoritas keturunan Turki yang berasal dari dan terhubung dengan kebudayaan Asia tengah. Orang Uighur tidak sama dengan orang China. Baik secara fisik maupun psikis. Perawakan mereka berbeda dari orang Han atau suku-suku lain di China. Ideologi dan tradisi Uighur juga berbeda. Sejarah mencatat, China mengimplementasikan kebijakan yang sangat kejam terhadap umat Islam Uighur. Sejak zaman Mao Tse Tung, China tak pernah berhenti menindas Uiguhr. Mao mengirimkan migran suku Han (mayoritas di China) dalam jumlah besar ke wilayah Turkestan Timur (yang kemudian diberi nama Xingjiang setelah dicaplok China). Program transmigrasi ini bertujuan untuk membuat suku Uighur menjadi minoritas. China berhasil. Uigur menjadi warga minoritas di negerinya sendiri. Penindasan berlangsung terus. Hampir satu juta warga Uighur dikurung di dalam camp konsentrasi. China komunis mengatakan mereka direedukasi (dididik ulang). Di camp konsentrasi yang sangat besar, warga Uigur dipaksa mengikuti ajaran komunis. Dipaksa meninggalkan ajaran Islam. Bahkan dipaksa memakan daging babi. Dipaksa tidak berpuasa di bulan Ramadan. Itulah yang dilakukan oleh rezim China komunis. Reaksi dunia Islam atas perlakuan China terhadap etnis Uighur sudah banyak dikecam masyarakat Muslim dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Sayangnya ini tidak dilakukan Ormas Islam-nya. Itulah yang kemudian membuat The Wall Street Journal (WSJ) menurunkan tulisan terkait bungkamnya ormas Islam di Indonesia seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan MUI. Sikap Pemerintah juga sami mawon: Bungkam! Bahkan, seperti diungkap Salim Said yang mengutip pernyataan tokoh Muhammadiyah Din Syamsudin, Presiden Joko Widodo sendiri tidak mau menerima utusan Uighur yang ingin bertemu di Istana Merdeka. Yang membuat heboh artikel itu adalah tudingan WSJ atas sikap diamnya Muhammadiyah, NU, dan MUI. Ormas Islam yang mewakili umat Islam di Indonesia itu, ternyata tak punya sikap tegas atas perlakuan pemerintah China pada etnis Uighur. WSJ dalam edisi Rabu (11/12/2019) berjudul “How China Persuaded One Muslim to Keep Silent on Xinjiang Camps” menyebut, Muhammadiyah, NU, dan MUI mendapat gelontoran dana dari pemerintah China sehingga bungkam dan sikapnya berubah terhadap muslim Uighur. Mengutip wartawan senior Hersubeno Arief dalam tulisannya, penulis artikel tersebut adalah Jonathan (Jon) Emont koresponden WSJ yang berbasis di Hongkong. Dia banyak menulis soal Uighur dan Rohingya. Sebelum bergabung dengan WSJ, wartawan yang fasih berbahasa Indonesia ini pernah tinggal di Jakarta. Dia menjadi koresponden freelance untuk sejumlah media yang sangat prestisius New York Times, Washington Post, dan Financial Times. WSJ adalah jaringan media sangat tua dan berpengaruh di AS. Didirikan pada 8 Juli 1889 di New York. Usia WSJ bahkan lebih tua dibanding Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912 di Jogjakarta. Pada masa jayanya, WSJ pernah menjadi koran terbesar di AS dengan oplah harian 2,6 juta eksemplar (2005). WSJ juga menerbitkan edisi Asia dan Eropa. WSJ dikenal dengan tradisi jurnalistik yang sangat kuat. Pilihan editorialnya cukup konservatif dan prudent. Pemerintah China melalui Duta Besarnya di Jakarta sudah membantah keras tudingan itu. Secara terbuka dia menuding berita tersebut sebagai operasi media oleh pemerintah AS, sebagai bagian dari Perang Dagang kedua negara. Artinya pemerintah China secara tidak langsung menuding WSJ digunakan oleh pemerintah AS, sebagai operasi intelijen terbuka dalam pembentukan opini dunia. Sejauh ini pemerintah AS masih bungkam. Hersubeno Arief menyebut, lepas dari perseteruan WSJ dengan ormas Islam di Indonesia, kisruh ini jelas merupakan imbas Perang Dagang dan perebutan supremasi global antara China dan AS. Dalam pembentukan opini dunia, China kalah jauh dibandingkan AS. China disebut babak belur di Hongkong. Mereka tampaknya benar-benar waspada dan mengantisipasi jangan sampai isu Muslim Uighur berkembang menjadi bola liar yang panas. Apalagi kemudian menjadi Hongkong berikutnya (the next Hongkong). Yang jelas, “medan perang” antara WSJ versus Ormas Islam itu kini beralih ke Indonesia. Jangan-jangan ini adalah bagian dari contra attack yang berhasil dilakukan China atas WSJ. China tidak perlu repot-repot lagi menghadapi WSJ. Cukup dihadapi ormas Islam. Undangan kepada sejumlah ormas Islam, akademisi, wartawan dari Indonesia, dan Malaysia yang dilaksanakan Februari 2019, tampaknya merupakan upaya China memperbaiki citranya dan memenangkan opini dunia soal muslim Uighur. Hersubeno Arief menilai, pemberitaan WSJ memberi pukulan telak dan menghancurkan upaya public relation dan pembentukan opini, yang susah payah dibangun China di negara-negara dengan mayoritas beragama Islam. Ormas Islam di Indonesia terkena dampak dari pertarungan dua negara adidaya itu. Apalagi isu Cihna di Indonesia sangat sensitif. Baik berkaitan dengan dominasi ekonomi minoritas China di dalam negeri, maupun serbuan investasi China daratan di Indonesia. Makanya, tidak heran jika Presiden Jokowi tampak sangat hati-hati menyikapi isu ini. Bila salah dalam mengambil posisi, bisa menjadi musuh salah satu negara adidaya. Sikap AMI Ustadz Azzam Mujahid Izzulhaq (AMI) ternyata sudah pernah berkunjung ke Uighur, sebelum "delagasi" Ormas Islam diundang oleh Pemerintah China. Bahkan, Ustadz Azzam telah pula bicara soal Uighur dalam forum internasional. Berikut catatannya. Silakan kalian yang di sana sibuk saling bantah mengenai 'uang tutup mulut' yang telah dibuka oleh The Wall Street Journal. Lagian, sudah hampir satu tahun pasca kunjungan undangan itu kenyataannya kalian memang diam kok. Beragam progam donasi dan beasiswa dari pemerintah China untuk kalian pun sudah kalian terima, bukan? Akui saja. Tenang, saya tidak akan iri. Saya pun juga sudah satu tahun setelah saya lebih dahulu dari kalian menginjakkan kaki menembus negeri misterius di Xinjiang, China, saya tidak tinggal diam. Bahkan, kalian diundang justru untuk meng-counter karena berbagai pernyataan saya di forum dan media internasional. Kenapa demikian? Karena satu hal saja: tidak ada satu pun yang bisa membeli saya. Saya sudah kaya. Uang banyak kebutuhan tidak ada. Oh ya, jawaban kalian tentang Muslim Uyghur kenapa SELALU satu suara ya? Bahkan satu nada dengan isu yang dikembangkan di tanah air kita: RADIKAL. Tidak adakah tangga nada lain? Atau memang itu adalah arahan 'komposer' dan 'produser' agar paduan suara terdengar kompak berirama? Tapi ya terserah! Tak penting pernyataan kalian. Bagi saya, mengembalikan hak-hak Muslim Uyghur untuk kembali bebas beribadah menjalankan agama dan keyakinannya (dan juga agama lainnya) adalah yang utama. Karena, itu yang mereka titipkan jeritannya kepada saya secara langsung. Mereka tidak menitipkan keinginan untuk berlepas diri dari China. Mereka tidak ingin menjadi pemberontak bagi China. Mereka cuma ingin sholat, ingin ke masjid, ingin menutup aurat, ingin membaca Al Quran. Oleh sebab itulah saya ada. Saya bersama mereka. Apa pun resikonya. Di tangan saya adalah Mushaf Al Quran dengan terjemahan Bahasa Uyghur yang akan dihadiahkan untuk saudara Muslim Uyghur untuk memenuhi hak dasar kebutuhan beragama mereka. Terkait dengan polemik dan tudingan SWJ, sekarang ini kembalikan ke masing-masing pribadi. Percaya SWJ, ormas Islam yang bungkam, atau Ustadz Azzam? Penulis Wartawan Senior

Dominasi 1986 dan Langkah Cegah Nepotisme Militer

Oleh Selamat Ginting Jakarta, FNN - Dominasi abituren Akademi TNI 1986 menjadi ciri pola kepemimpinan Marsekal Hadi Tjahjanto. Mengapa muncul kekhawatiran pola tersebut akan menjadi nepotisme dalam tubuh militer? Berawal dari Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1055/IX/2019, tertanggal 24 September 2019. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto melakukan mutasi dan promosi jabatan Perwira Tinggi (Pati) TNI. Dalam keputusan tersebut, Panglima TNI menunjuk tiga Pati untuk memimpin Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Jabatan untuk Pati bintang tiga (letnan jenderal/letjen, laksamana madya/laksdya, marsekal madya/marsdya). Ketiga Pati tersebut adalah Laksda Yudo Margono, Marsda Fadjar Prasetyo, dan Mayjen Ganip Warsito. Masing-masing sebagai Panglima Kogabwilhan I, II, dan III. Ketiganya mendapatkan promosi bintang tiga. Yudo maupun Fadjar, sama-sama lulusan 1988. Yudo lulusan AAL 1988-A (pola pendidikan empat tahun: masuk 1984, keluar 1988). Sedangkan Fadjar lulusan AAU 1988-B (pola pendidikan tiga tahun: masuk 1985, keluar 1988). Mereka mendapatkan promosi bintang tiga pertama kali bagi Abituren (lulusan sekolah militer) Akademi TNI 1988. Di luar dugaan, untuk Pati dari Angkatan Darat. Ternyata bukan lulusan 1988 maupun 1987, melainkan 1966. Ya, Ganip lebih senior, lulusan Akmil 1986. Satu angkatan kelulusan dengan Panglima TNI Marsekal Hadi, AAU 1986. Ganip sebelumnya sebagai asisten operasi (asops) panglima TNI. Dengan promosi jabatan itu, ia harus menanggalkan jabatan Asops panglima TNI. Dalam keputusan dengan nomor yang sama. Jabatan Asops Panglima TNI diserahkakan kepada Mayjen Tiopan Aritonang. Tiopan juga sama-sama lulusan Akmil 1986. Ada pun jabatan Tiopan sebelumnya adalah Panglima Kodam Merdeka di Manado, Sulawesi Utara. Namun dalam surat keputusan panglima TNI tersebut, belum ada pengganti jabatan panglima Kodam Merdeka. Kini, hampir tiga bulan jabatan Asops Panglima TNI dan Pangdam Merdeka dibiarkan mengambang. Tiopan belum menyerahkan tongkat komando kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa. Mengapa? Karena belum ada penggantinya. Apakah wilayah Kodam Merdeka, yang terdiri dari tiga provinsi: Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah, tidak begitu penting untuk diisi oleh seorang Panglima Kodam? Padahal, Kodam Merdeka wilayahnya antara lain berbatasan dengan negara tetangga, Filipina. Jika tidak penting, untuk apa dibentuk Kodam Merdeka yang merupakan pemekaran dari Kodam Hasanuddin? Kodam Hasanuddin sebelumnya bernama Kodam Wirabuana. Apakah jabatan Asops Panglima TNI juga bisa dikosongkan untuk waktu yang cukup panjang? Bagaimana pengendalian operasi pasukan TNI? Saat Panglima TNI Hadi Tjahjanto mendampingi Presiden Jokowi mengunjungi Papua pada 28-29 Oktober 2019 lalu, Ganip Warsito masih dalam posisi sebagai Asops Panglima TNI. Kasus tersebut memperlihatkan bagaimana lemahnya perencanaan penempatan personel oleh pimpinan TNI. Sekaligus mengabaikan rantai komando organisasi pada level panglima komando utama strategis. Dari kasus ini patut diduga ada ketidak harmonisan antara pimpinan Mabes TNI dengan Mabesad. Ada deadlock dalam mutasi dan promosi perwira tinggi TNI. Patut diduga ada gesekan yang keras dalam siding dewan jabatan dan kepangkatan tinggi, antara pimpinan Mabes TNI dengan Mabesad. Sampai kapan mau dibiarkan seperti ini? Kasus ini bukan cuma merugikan organisasi TNI saja. Tetapi juga merugikan rakyat sebagai pemilik sah negeri ini. Rakyat yang membiayai TNI untuk mengawal kedaulatan negeri. Akademi 1986 Masih hangat mutasi sebelumnya, juga untuk abituren Akmil 1986. Antara lain, Sesmenko Polhukam diberikan kepada Tri Soewandono, melalui keputusan panglima TNI pada pertengahan September 2019 lalu. Artinya Tri Soewandono berhak mendapatkan kenaikan pangkat menjadi letjen. Ia menggantikan Letjen Agus Surya Bakti yang pensiun September 2019 lalu. Sebenarnya ada bintang tiga aktif yang belum mendapatkan jabatan. Dia adalah Letjen Dodik Wijanarko, Akmil 1985. Bekas Komandan Puspom TNI itu, kini diparkir untuk waktu yang cukup lama. Hanya sebagai staf khusus panglima TNI, sejak Maret 2018. Ini yang disebut jenderal bintang tiga, tetapi ‘mengganggur’, hampir dua tahun, lantaran tidak diberikan jabatan. Sebelumnya pula ketika dibentuk Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI pada Juni 2019. Lagi-lagi posisi itu diberikan kepada abituren Akmil 1986, Mayjen Rochadi. Rochadi resmi menjadi Komandan Koopssus TNI pada Juli 2019 lalu. Sebelumnya, lulusan terbaik Akmil 1986, Letjen (Purn) Hinsa Siburian, juga menduduki posisi strategis setingkat menteri, yakni Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Hinsa merupakan lulusan Akmil 1986 pertama yang meraih pangkat letjen. Kini ada enam letjen aktif lulusan Akmil 1986. Mereka adalah Letjen Tatang Sulaiman (Wakil KSAD), Letjen Joni Supriyanto (kasum TNI), Letjen Besar Harto Karyawan (pangkostrad), Letjen Ganip Warsito (pangkogabwilhan III TNI), dan Letjen Tri Soewandono (sesmenko polhukam). Total ada tujuh orang yang berhasil menjadi Letjen. Untuk jabatan strategis, seperti panglima Kodam, abituren Akmil 1986 dan 1987 sama-sama menduduki empat jabatan pangdam. Abituren 1985 masih menyisakan satu pangdam (Kodam Hasanuddin). Abituren Akmil 1989 diwakili satu orang (kodam Jayakarta). Sedangkan abituren 1988 tujuh orang, terdiri dari 1988-A tiga orang dan 1988-B dua orang. Sementara panglima divisi infanteri (Divif) Kostrad untuk abituren 1988 dan 1989. Panglima Divif 1 Kostrad, Mayjen Agus Rohman (Akmil 1988-A). Panglima Divif 2 Kostrad, Mayjen Tri Yunianto (Akmil 1989). Panglima Divif 3 Kostrad, Mayjen Ahmad Marzuki (Akmil 1989). Di luar 1986 Bagaimana dengan lulusan Akademi di luar 1986? Abituren Akmil 1985 hanya empat orang yang menjadi letjen. Mereka adalah; Letjen (Purn) Edy Rahmayadi (mantan Pangkostrad, kini Gubernur Sumatra Utara), Letjen Doni Monardo Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen Tri Legiono Suko (Rektor Unhan), dan Letjen Dodik Wiajanarko (nonjob/staf khusus panglima TNI). Kemudian Akmil 1987, ada Jenderal Andika Perkasa yang menjadi KSAD. Ada pula Letjen M. Herindra (Irjen TNI), dan Letjen AM Putranto (Komandan Kodiklatad). Terbaru, berdasarkan surat keputusan panglima TNI, Nomor Kep/1351/XI/2019, tertanggal 26 November 2019. Mayjen Ida Bagus Purwalaksana dipromosikan dari Dirjen Kekuatan Pertahanan Kemhan menjadi Irjen Kemhan. Dengan promosi itu, maka dalam waktu dekat IB Purwalaksana akan mendapatkan promosi kenaikan pangkat menjadi letjen. Purwalaksana merupakan anak dari mendiang Letjen (Purn) IB Sujana, mantan Kasum ABRI dan Sekjen Dephankam. Juga pernah menjadi menteri pertambangan dan energi era Presiden Soeharto. Dengan kenaikan pangkat IB Purwalaksana, maka ada empat orang Abituren Akmil 1987 yang berhasil menjadi bintang tiga ke atas. Sedangkan Abituren Akmil 1988-A maupun 1988-B, belum ada yang berhasil menjadi bintang tiga. TNI AL Seimbang Berbeda dengan Angkatan Laut, ada Laksdya lulusan AAL 1988-A, yakni Laksdya Yudo Margono (Pangkogabwilhan I TNI). Sedangkan Angkatan Udara, ada Marsdya lulusan AAU 1988-B, yakni Marsdya Fadjar Prasetyo (Pangkogabwilhan II TNI). Di Angkatan Laut, relatif seimbang pembagian jabatan bintang tiga. Abituren AAL 1984 Laksdya Achmad Djamaludin (Sekjen Wantannas). AAL 1985, Laksamana Siwi Sukma Adji (KSAL), Laksdya Agus Setiadji (Sekjen Kementerian Pertahanan). AAL 1986 Laksdya Mintoro Yulianto (wakil KSAL). AAL 1987, Laksdya Aan Kurnia (Danjen Akademi TNI). Serta 1988-A, Laksdya Yudo Margono (Pangkogabwilhan I TNI). AAL 1988-B, belum ada yang meraih bintang tiga. Untuk jabatan strategis seperti Panglima Armada diberikan kepada tiga Abituren berbeda. Panglima Armada 1, Laksda Muhammad Ali (AAL 1989). Panglima Armada II, Laksda Heru Kusmanto (AAL 1988-B). Panglima Armada III, Laksda I Nyoman Gede Ariawan (AAL 1986). TNI AU 1986 Dominasi lulusan 1986, begitu terlihat di Angkatan Udara. Ada empat Marsekal yang berhasil menempati posisi bintang tiga ke atas. Mereka adalah Marsekal Hadi Tjahjanto (Panglima TNI), Marsekal Yuyu Sutisna (KSAU), Marsdya Wieko Syofyan (Wagub Lemhannas), dan Marsdya Fahru Zaini Isnanto (Wakil KSAU). Abituren AAU 1984, masih tersisa Marsdya Bagus Puruhito (Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP). Sebelumnya disebut Basarnas). AAU 1985 diwakili Marsdya Dedy Permadi (Komandan Sesko TNI). Namun, tidak ada satu pun dari lulusan AAU 1987 yang menempati jabatan bintang tiga. Setelah itu lulusan AAU 1988-B, yakni Marsdya Fadjar Prasetyo (Pangkogabwilhan II TNI). Sedangkan jabatan Pangkotama dibagi tuntuk tiga Abituren berbeda. Panglima Koopsau 1, Marsda M Khairil Lubis (AAU 1990). Panglima Koopsau 2, Marsda Donny Ermawan Taufanto (AAU 1988-A). Panglima Koopsau 3, Marsda Andyawan Martono (AAU 1989). Polisi malah jauh meninggalkan TNI. Kepala Polri Janderal Idham Aziz, lulusan Akpol 1988-A. Wakil Kepala BSSN Komjen Dharma Pongrekun, juga lulusan Akpol 1988-A. Bahkan Kabaharkam Polri yang akan menjadi Ketua KPK, Komjen Firli Bahuri, lulusan Akpol 1990. Cegah Nepotisme Kuatnya dominasi Marsekal Hadi dalam penempatan personel jabatan pati TNI diharapkan tidak menimbulkan nepotisme dalam tubuh militer. Kata nepotisme berasal dari bahasa Latin, nepos. Secara istilah berarti mendahulukan anggota keluarga atau kawan dalam memberikan pekerjaan maupun pemberian hak istimewa (Chambers Murray Latin-English Dictionary, 1983). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme dapat berarti perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat. Terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah. Dampaknya, tentu saja akan merugikan organisasi dan merusak sendi-sendi kebersamaan. Nepotisme hanya menguntungkan mereka yang memiliki akses seperti adanya hubungan kekerabatan, pertemanan dengan pengambil keputusan. Yang menjadi persoalan, jika tindakan nepotisme dikaitkan dengan pemberian posisi atau jabatan tertentu kepada orang yang mempunyai hubungan kekerabatan tanpa memperdulikan unsur-unsur seperti unsur keahlian atau kemampuan yang dimiliki. Semoga kekhawatiran itu tidak terjadi pada organisasi TNI yang kini dipimpin marsekal berkumis hitam dan tebal. Hitam dan tebal justru harus menjadi kunci bagi Hadi harus meninggalkan jejak professional. Bukan sebaliknya jejak nepoitisme bagi lulusan Akademi TNI 1986. Catatan. Tulisan ini telah dibaca di Harian Republika dan Republika Online edisi 16 Desember 2019. Namun belakangan linknya tidak lagi dapat diakses di Republika Online. Tulisan dimuat di Portal Berita Online FNN dengan lebih dulu mendapat persetujuan dari penulis. Penulis adalah Wartawan Senior

Muhammadiyah vs The Wall Street Journal. Siapa Yang Berbohong?

Lepas dari perseteruan WSJ dengan ormas Islam di Indonesia, kisruh ini jelas merupakan imbas Perang Dagang dan perebutan supremasi global antara Cina dan AS. Dalam pembentukan opini dunia, Cina kalah jauh dibandingkan AS. Cina babak belur di Hongkong. Mereka tampaknya benar-benar waspada dan mengantisipasi jangan sampai isu muslim Uighur berkembang menjadi bola liar yang panas. Apalagi kemudian menjadi Hongkong berikutnya ( the next Hongkong). Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Tuduhan laman The Wall Steet Journal (WSJ) bahwa sejumlah Ormas Islam Indonesia dan MUI disuap pemerintah Cina memasuki babak yang menarik. Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menuntut WSJ untuk segera minta maaf. Tidak menutup kemungkinan mereka akan menempuh jalur hukum. Tak tanggung-tanggung Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir turun tangan langsung. Bersama sejumlah pimpinan teras Muhammadiyah Senin (16/12) dia menggelar jumpa pers. Termasuk Ketua Biro Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah Muhyidin Junaidi yang ikut berkunjung ke Xinjiang. Bagi Muhammadiyah tudingan bahwa mereka mendapat gelontoran dana agar diam dalam kasus penindasan muslim Uighur, memang cukup serius. Bila tidak disikapi, apalagi bila tudingan tersebut terbukti, implikasiya sangat serius. Ini menyangkut marwah, kredibilitas dan reputasi Muhammadiyah sebagai salah satu ormas terbesar, dan tertua di Indonesia. Waktu yang akan membuktikan apakah Muhammadiyah yang benar, atau WSJ. Sama-sama kredibel Dari sisi kredibilitas, kedua lembaga sama-sama mentereng dan tak kalah keren. Muhammadiyah adalah ormas Islam terkaya di Indonesia. Mereka memiliki lembaga pendidikan sejak TK sampai perguruan tinggi. Tahun 2015 tercatat mereka memiliki 7.651 sekolah dan madrasah, dan 174 universitas, sekolah tinggi, institut, dan akademi. Di bidang pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat terdapat rumah sakit 457, panti asuhan 318 buah, panti jompo 54 buah, dan rehabilitasi cacat 82 buah. Mereka juga memiliki sejumlah BMT, mini market dan koperasi. Dana likuid yang tersimpan di rekening mereka tercatat sebesar Rp 15 triliun (2014). Jadi tudingan mereka mendapat gelontoran dana dari pemerintah Cina, alias sogokan agar bungkam, sangat merendahkan. WSJ adalah jaringan media sangat tua dan berpengaruh di AS. Didirikan pada 8 Juli 1889 di New York. Usia WSJ bahkan lebih tua dibanding Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta 18 November 1912. Pada masa jayanya, WSJ pernah menjadi koran terbesar di AS dengan oplah harian 2,6 juta eksemplar (2005). WSJ juga menerbitkan edisi Asia dan Eropa. WSJ dikenal dengan tradisi jurnalistik yang sangat kuat. Pilihan editorialnya cukup konservatif dan prudent. Bukan tipikal media yang bombastis seperti saingan utamanya, USA Today. Tudingan WSJ terhadap Muhammadiyah, NU dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) muncul pada laman WSJ edisi Rabu (11/12). Melalui artikel berjudul How China Persuaded One Muslim to Keep Silent on Xinjiang Camps, WSJ menyebut Muhammadiyah, NU, dan MUI mendapat gelontoran dana dari pemerintah Cina sehingga bungkam dan sikapnya berubah terhadap muslim Uighur. Penulis artikel ini adalah Jonathan (Jon) Emont koresponden WSJ yang berbasis di Hongkong. Dia banyak menulis soal Uighur dan Rohingya. Sebelum bergabung dengan WSJ, wartawan yang fasih berbahasa Indonesia ini pernah tinggal di Jakarta. Dia menjadi koresponden freelance untuk sejumlah media yang sangat prestisius New York Times, Washington Post dan Finacial Times. Pemerintah Cina melalui Duta Besar RI di Jakarta sudah membantah keras tudingan itu. Secara terbuka dia menuding berita tersebut sebagai operasi media oleh pemerintah AS, sebagai bagian dari Perang Dagang kedua negara. Artinya pemerintah Cina secara tidak langsung menuding WSJ digunakan oleh pemerintah AS, sebagai operasi intelijen terbuka dalam pembentukan publik opini dunia. Sejauh ini pemerintah AS masih bungkam. Namun seperti diakui oleh Muhyidin, Kedubes AS di Jakarta sudah mengundang mereka untuk bertemu. Undangan itu ditolak karena Muhammadiyah ingin pertemuan berlangsung di tempat netral. Bukan di Kedubes AS. Perang proxy Lepas dari perseteruan WSJ dengan ormas Islam di Indonesia, kisruh ini jelas merupakan imbas Perang Dagang dan perebutan supremasi global antara Cina dan AS. Dalam pembentukan opini dunia, Cina kalah jauh dibandingkan AS. Cina babak belur di Hongkong. Mereka tampaknya benar-benar waspada dan mengantisipasi jangan sampai isu muslim Uighur berkembang menjadi bola liar yang panas. Apalagi kemudian menjadi Hongkong berikutnya ( the next Hongkong). Undangan kepada sejumlah ormas Islam, akademisi, wartawan dari Indonesia dan Malaysia yang dilaksanakan Februari lalu, tampaknya merupakan upaya Cina memperbaiki citranya dan memenangkan opini dunia soal muslim Uighur. Pemberitaan WSJ memberi pukulan telak dan menghancurkan upaya public relation dan pembentukan opini, yang susah payah dibangun Cina di negara-negara dengan mayoritas beragama Islam. Ormas Islam Indonesia terkena dampak dari pertarungan dua negara adidaya itu. Apalagi isu Cina di Indonesia sangat sensitif. Baik berkaitan dengan dominasi ekonomi minoritas Cina di dalam negeri, maupun serbuan investasi Cina daratan di Indonesia. Pemerintah Indonesia tampaknya sangat berhati-hati menyikapi isu ini. Bila salah dalam mengambil posisi, bisa menjadi musuh salah satu negara adidaya. Bagaimana kelanjutan perseteruan Muhammadiyah dan WSJ? Kita masih harus menunggu perkembangan selanjutnya. Media Barat tak selamanya benar. Dalam kasus Asia Sentinel, media berbasis di Hongkong ini terpaksa mencabut beritanya dan meminta maaf secara terbuka kepada mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat. Sebelumnya Asia Sentinel menurunkan artikel yang mengaitkan pemerintahan SBY dengan skandal Bank Century. Apakah WSJ akan bernasib sama dengan Asia Sentinel, atau mereka bisa membuktikan tuduhannya? Kredibilitas WSJ sebagai media besar dan berpengaruh dipertaruhkan. End Penulis adalah Wartawan Senior