OPINI

Selain Bupati Saiful Ilah, Ada Raja Koruptor yang Sedang Diburu KPK!

Polemik yang membuat Saiful Ilah mulai oleh diawasi KPK, terjadi saat ia mengondisikan Pemkab Sidoarjo untuk membeli Kesebelasan Gelora Dewata milik H. Mislan pada 2001. Kesebelasan yang juga dibidani oleh pengusaha ekspedisi, almarhum Ali Mahakam, dan penyiar legendaris alamarhum Soepangat. Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Bupati Sidoarjo Saiful Ilah akhirnya tertangkap KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Rumah Dinas sekaligus Pendopo Delta Wibawa Kabupaten Sidoarjo, Selasa (7/1/2020). Bisa jadi, ini jawaban bagi yang meragukan Ketua KPK Firly Bahuri. Penangkapan ini sesungguhnya sudah diyakini para aktivis anti-suap sejak lama. Yakni, sejak Ketua DPW PKB Sidoarjo itu menjabat Wakil Bupati Sidoarjo mendampingi Win Hendarso pada periode 2000-2005 dan 2005-2010. Tapi, realisasi potensi terjeratnya pria yang karib disebut Abah Saiful itu terjadi pada Selasa (7/1/2019) malam. Seperti dirilis Antara, dalam OTT dengan barang bukti suap sebesar Rp 350 juta pecahan Rp100 ribu yang dibawa Novianto, ajudan bupati itu. Malam itu, KPK menangkap 11 orang. Yakni Bupati Sidoarjo Saiful Ilah; Kadis Pekerjaan Umum, Bina Marga, dan Sumber Daya Air Kabupaten Sidoarjo Sunarti Setyaningsih (SST); Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas Pekerjaan Umum, Bina Marga, dan Sumber Daya Air Kabupaten Sidoarjo Judi Tetrahastoto (JTE); Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan Sanadjihitu Sangadji (SSA), dua ajudan bupati yang terdiri Kepala Sub Bagian Protokol Novianto (N), dan staf protokol Budiman (B). Sementara dari unsur swasta adalah kontraktor Ibnu Ghofur (IGR) dan Totok Sumedi (TSM). Demikian pula staf Ibnu Ghofur yang terdiri dari Iwan (IWN), Siti Nur Findiyah (SNF), dan Suparni (SUP). Keyakinan para aktivis anti-suap akan potensi Saiful Ilah dilibas KPK, karena sepak terjang pengusaha tambak udang itu sejak digandeng Win Hendarso memimpin Kabupaten Sidoarjo selama dua periode (2000-2005 dan 2006-2010). Kebijakan yang dilakukan seringkali berlawanan dengan Bupati Win. Banyak sekali Bupati Win membatalkan kebijakan “koboi” Saiful Ilah. Ironisnya Abah Saiful tak pernah mendapat teguran admistratif yang berbuntut penon-aktifan. Hal itu terjadi karena pada saat itu, belum ada payung hukum pemberian sanksi admistratif sampai penonaktifan wabup oleh bupati. Tak pelak lagi, hubungan antara Bupati Win dan Wakil Bupati Saiful Ilah berlangsung “benci tapi rindu”. Perseteruan diantara mereka terbaca secara jelas saat dua tahun periode kedua. Kondisi itu tak bisa disembunyikan dari para wartawan, yang ketika itu bertugas di lingkungan Kabupaten Sidoarjo. Bagaimana tidak, keduanya seringkali tidak dapat ditemukan di ruang kerjanya masing-masing pada hari yang sama. Saat Bupati Win ada di ruang kantornya, maka Wabup Saiful Ilah hari itu tidak ada di ruang kerjanya. Sebaliknya saat Wabup ada di ruang dinasnya, maka Bupati Win akan berdinas di rumah dinas dan menerima tamu di Pendopo Delta Wibawa. Dari perseteruan pejabat bupati dan wabup itu, secara birokrasi melahirkan tiga kubu kepala dinas, camat, lurah, hingga ASN kelas wader. Sekelompok dengan tegas pro Bupati Win, kelompok kedua pro Wabup Saiful Ilah, dan kelompok ketiga bermain dua kaki. Kelompok yang pro Bupati Win, mayoritas sudah mendekati usia pensiun dan punya prinsip. Sebaliknya yang pro Wabup Saiful Ilah dan bermain dua kaki, dilakukan mereka yang masih berusia produktif dengan usia pensiun melewati tahun 2017. Sikap demikian, untuk menyelamatkan karier dan jabatannya. Mereka yakin Saiful Ilah akan terpilih menjadi Bupati Sidoarjo periode 2011-2015. Polemik yang membuat Saiful Ilah mulai oleh diawasi KPK, terjadi saat ia mengondisikan Pemkab Sidoarjo untuk membeli Kesebelasan Gelora Dewata milik H. Mislan pada 2001. Kesebelasan yang juga dibidani oleh pengusaha ekspedisi, almarhum Ali Mahakam, dan penyiar legendaris alamarhum Soepangat. Obsesi Saiful Ilah itu agar Pemkab Sidoarjo bisa memiliki Gelora Dewata itu, untuk meniru kepemilikan Persebaya oleh Pemkot Surabaya. Kabupaten Sidoarjo bisa dikenal di Indonesia lewat Gelora Dewata, seperti citra Kota Surabaya dikilapkan Persebaya. Saat dimiliki Pemkab Sidoarjo, nama Gelora Dewata berganti menjadi Gelora Putra Sidoarjo (GPD). Tak lama kemudian namanya berganti menjadi Delta Putra Sidoarjo atau disingkat Deltras. Namun, ide tersebut sebenarnya ditolak Bupati Win. Mantan pejabat Pemprov tersebut tahu kepemilikan kesebelasan oleh pemda, sesungguhnya merupakan kebijakan melanggar hukum. Ini karena pemda harus mengucurkan dana hibah olahraga, tidak sesuai dengan prosedur sistem pembinaan olahraga daerah. Dengan memiliki kesebelasan GPD, menurut Bupati Win saat itu, Pemkab Sidoarjo telah melakukan pelanggaran hukum atas prosedur pengucuran dana hibah olahraga, seperti yang dilakukan Pemkot Surabaya. Ini karena UU terkait pengucuran dana hibah sudah menetapkan dana hibah olahraga dari APBD, hanya diperuntukan untuk kegiatan olahraga bersifat pembinaan. Artinya kegiatan pembinaan olahraga yang ditangani KONI Kabupaten/Kota dan Provinsi, yang dilaksanakan oleh Pengurus Daerah (Pengda) cabang olahraga (cabor) di Kabupaten/Kota dan Provinsi. Puncak sistem pembinaan olahraga daerah itu di Porseni, Porda, dan PON. Sementara sistem pembinaan atas kesebelasan sepakbola yang tampil dalam Liga Indonesia, setelah penggabungan kompetisi amatir (perserikatan) dan profesional (galatama) oleh PSSI pada 1994 menempatkan semua kesebelasan yang tampil merupakan kesebelasan profesional. Artinya, status kesebelasan tersebut secara hukum tak berhak menerima kucuran dana hibah olahraga APBD, yang berasal dari uang rakyat dan harus dikembalikan pada rakyat. Bukan diberikan pada para pemain sepakbola profesional, yang secara hukum harus dibiayai oleh swasta seperti kepemilikan tim-tim Galatama. Dalam memutuskan kebijakan pemilikan GPD oleh Pemkab Sidoarjo sebagaimana dimuat harian sore Surabaya Post, ternyata Bupati Win akhirnya mengalah. Menyetujui kepemilikan GPD oleh Pemkab Sidoarjo. Kebijakan itu terjadi, setelah pertemuan empat mata antara Wabup Saiful Ilah dan Bupati Win di rumah dinas bupati. Keputusan itu merangsang KPK periode pertama yang dipimpin Taufiqurahman Ruki tertarik mempelajari prosedur dana hibah olahraga dari APBD. Mempelajari semua UU dan semua peraturan terkait dana hibah olahraga dari APBD. Tapi, sampai akhir pengabdian Ruki, KPK belum sempurna mendalami pelanggaran dana hibah olahraga daerah, yang diselewengkan untuk membiayai kesebelasan sepakbola milik pemda di seluruh Indonesia. Laporan LSM Sementara nama Saiful Ilah mulai dibidik KPK, menurut salah satu komisioner KPK era kepemimpinan Antasari Azhar di Jakarta, Rabu (8/1/2020) pagi, terjadi sekitar 2007. Ini bermula dari masuknya beberapa laporan dari LSM dan warga Sidoarjo. Laporan itu terkait pelanggaran hukum kebijakan Wabup Saiful Ilah. Sejak saat itu alumnus Fakultas Hukum Universitas Merdeka, Surabaya, itu masuk dalam radar bidikan. Ironisnya semua bukti laporan itu bersifat tak langsung. Sehingga lembaga anti-rasuah itu harus melakukan pendalaman. Sehingga, mendapatkan bukti langsung yang melahirkan kesempatan melakukan OTT. Perburuan terhadap Saiful Ilah dilanjutkan KPK saat dipimpin Abraham Samad. Bahkan statement Samad dalam seminar politik kebangsaan di kantor International Conference of Islamic Scholars (ICIS), di Jakarta, Kamis (12/12/2013) siang. Menurut Samad, masih banyak koruptor paus dan raja koruptor di Jatim secara tersirat adalah lampu kuning terhadap para koruptor di Jatim, yang salah satunya Saiful Ilah. Demikian pula terhadap Raja Koruptor yang pernah memimpin Jatim, yang dikelilingi oleh koruptor kelas menengah dan bawah dari kalangan swasta. Sedangkan dari hasil OTT di Pendopo Delta Wibawa, Kabupaten Sidoarjo, KPK yang dipimpin Irjen Polisi Firly Bahuri telah menetapkan enam orang sebagai tersangka, terkait kasus dugaan suap pengadaan proyek infrastruktur di Dinas PUPR Kabupaten Sidoarjo. Dari kronologi OTT, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, pihaknya menyita uang senilai Rp1.813.300.000 dari sejumlah pihak. Alex mengatakan, suap itu bermula dari pembangunan proyek infrastrukur di Sidoarjo. Pada 2019 Dinas PU dan Bina Marga, Sumber Daya Air (BMSDA) Kabupaten Sidoarjo melakukan pengadaan beberapa proyek. Ibnu Ghofur (swasta) merupakan salah satu kontraktor yang mengikuti pengadaan proyek-proyek tersebut. Sekitar Juli 2019, Ibnu melapor ke Bupati Saiful Ilah. Pada proyek jalan Candi-Prasung senilai Rp 21,5 miliar yang ia inginkan, terjadi proses sanggahan dalam pengadaannya. Sanggahan tersebut berpeluang membuat Ibnu tidak mendapatkan proyek tersebut. Kekhawatiran itu membuat Ibnu meminta Saiful, untuk tidak menanggapi sanggahan dan memenangkan pihaknya dalam proyek jalan Candi-Prasung. Sebagai informasi, periode Agustus – September 2019, Ibnu melalui beberapa perusahaan memenangkan empat proyek, yakni proyek pembangunan wisma atlet senilai Rp13,4 miliar; proyek pembangunan pasar porong Rp17,5 miliar; proyek jalan Candi-Prasung senilai Rp 21,5 miliar; dan proyek peningkatan Afv. Karag Pucang Desa Pagerwojo Kecamatan Buduran senilai Rp 5,5 miliar. Setelah menerima termin pembayaran proyek, Ibnu bersama Totok Sumedi (swasta) diduga memberikan sejumlah fee kepada beberapa pihak di Pemkab Sidoarjo. Alex menjelaskan pemberian fee tersebut merupakan penerimaan yang sudah terjadi sebelum OTT dilakukan pada 7 Januari 2020. Ia merinci sejumlah pihak yang mendapatkan uang. Pertama, Sanadjihitu Sangadji (SSA) yang diduga menerima suap Rp 300 juta pada akhir September. Uang suap sebanyak Rp 200 juta di antaranya, ujar Alex, diberikan kepada Bupati Saiful pada Oktober 2019. Kedua, Judi Tetrahastoto (JTE) diduga menerima Rp 240 juta. Ketiga, Sunarti Setyaningsih (SST) yang diduga menerima Rp 200 juta pada 3 Januari 2020. “Pada tanggal 7 Januari 2020, IGR [Ibnu Ghofur] diduga menyerahkan fee proyek kepada SFI [Saiful Ilah] Bupati Sidoarjo. Nilainya sebesar Rp 350 juta dalam tas ransel melalui N [Novianto], ajudan bupati di rumah dinas Bupati,” kata Alex dalam gelar perkara di Gedung Merah Putih, Kuningan-Jakarta, Rabu (8/1/2020) malam. Sebagaimana dikutip CNNIndonesia.com, KPK menetapkan Saifulah Ilah sebagai tersangka lantaran diduga menerima suap dalam kasus pengadaan barang dan jasa di proyek Pemkab Sidoarjo. Selain itu, tiga orang lain diduga menerima suap terkait proyek tersebut, adalah Sunarti Setyaningsih (SST), Judi Tetrahastoto (JTE), dan Sanadjihitu Sangadji (SSA). Ketiganya merupakan pejabat dalam lingkungan Dinas Pekerjaan Umum di Kabupaten Sidoarjo. Dua orang tersangka lain yang ditetapkan KPK diduga sebagai pemberi suap, yakni Ibnu Ghofur (IGR) dan juga Totok Sumedi (TSM). Mereka berasal dari pihak swasta. Dalam perkara ini, tersangka yang menerima suap akan dijerat Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara, pemberi suap disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1KUHP. Tampaknya KPK tidak berhenti sampai di Saiful Ilah saja. Masih ada Raja Koruptor di Jatim yang kini sedang diburunya. Siapakah dia? Penulis adalah wartawan senior

China Nekad, Penerus Raden Wijaya Siap Lawan!

China harus belajar dari sejarah bahwa rakyat Indonesia ini sulit ditaklukkan. Karena, bangsa Indonesia ini pada dasarnya adalah bangsa pejuang! Bagaimana Belanda harus membayar mahal Perang Diponegoro di Jawa (1825-1830). Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Ambisi teritorial China jelas terencana dengan rapi. Mereka tak akan berhenti di Kepulauan Spratly yang berposisi lebih dekat ke Filipina. China mulai mengganggu Kepulauan Natuna milik Indonesia. China mulai provokasi Indonesia! Tercatat, pada 10 Desember 2019, Coast Guard China muncul di perbatasan laut di perairan bagian utara Natuna. Kapal itu dihadang oleh kapal Bakamla Indonesia. Karena dihalau, tak jadi menerobos ke dalam perairan Indonesia. Pada 23 Desember 2019, dua Coast Guard China masuk lagi. Kali ini, kedua kapal bersenjata itu mengawal sejumlah kapal penangkap ikan China yang sedang melakukan pencurian ikan di perairan ZEE Indonesia di utara Natuna. ZEE Indonesia itu diakui PBB. Kali ini China unjuk kekuatan. Dua kapal penjaga pantai yang bersenjata itu dibekingin oleh satu kapal frigat (kapal perang) dari kejauhan. Artinya, angkatan laut China siap melakukan tindak kekerasan. China sekarang ini memang menjadi kekuatan militer dunia. Pada November 2019, Global Firepower merilis data peringkat negara dengan kekuatan militer terbaik peringka ketiga di dunia. Sementara Indonesia menempati peringkat 16. Power Index Rating China: 0.0673; Total populasi rakyat: 1,384,688,986 jiwa; Total personel militer: estimasi 2,693,000 personel; Total Aset Angkatan Laut: 714; Total kekuatan pesawat: 3,187 (peringkat 3 dari 137 negara); Pesawat Tempur: 1,222 (peringkat 2 dari 137 negara); Tank Tempur: 13,050 (peringkat 2 dari 137 negara); Anggaran Pertahanan: US$ 224 miliar atau Rp 3,152 triliun. Power Index Rating Indonesia: 0.2804; Total populasi rakyat: 262,787,403 jiwa; Total personel militer: estimasi 800,000 personel; Total Aset Angkatan Laut: 221; Total kekuatan pesawat: 451 (peringkat 30 dari 137 negara); Pesawat Tempur: 41 (peringkat 43 dari 137 negara); Tank Tempur: 315 (peringkat 52 dari 137 negara); Anggaran Pertahanan: US$ 6,9 miliar atau Rp 97 triliun. Jika melihat dari peringkat kekuatan militer antara China dan Indonesia, Menhan Prabowo Subianto menahan agar TNI tidak berbenturan dengan Tentara China saat ini. Mantan Danjen Kopassus ini harus susun strategi “cerdas dan cerdik”. Apalagi, kabarnya, kekuatan Tentara Merah itu sebenarnya mencapai 6 juta personil. Plus peralatan canggih. Sedangkan TNI cuma sekitar 400 ribu personil dengan peralatan kalah canggih. Meski begitu, TNI dan rakyat Indonesia tidak akan ciut! Sebab, sejarah sudah membuktikan dan diketahui dunia. Perang gerilya yang dilakukan oleh Jenderal Soedirman saat agresi militer II Belanda membuat kalang kabut Tentara Belanda di Jogjakarta dan Jawa Tengah. Tak hanya itu. Perlawanan rakyat Surabaya yang dipimpin Bung Tomo terhadap Tentara Sekutu yang ingin menguasai Surabaya pada 10 November 1945 membuat Tentara Sekutu harus kehilangan Jenderal Mallaby dari Inggris di tangan rakyat. Teranyar, saat Kapal Tentara Laut Diraja Malaysia manuver dan provokasi di laut Ambalat, mereka akhirnya meninggalkan Ambalat setelah “ditaklukkan” oleh seorang anggota Denjaka TNI AL yang berhasil menyerbu tanpa senjata! China harus belajar dari sejarah bahwa rakyat Indonesia ini sulit ditaklukkan. Karena, bangsa Indonesia ini pada dasarnya adalah bangsa pejuang! Bagaimana Belanda harus membayar mahal Perang Diponegoro di Jawa (1825-1830). Apalagi, ternyata Belanda telah dipecundangi Pangeran Diponegoro saat Belanda mencoba menjebaknya dalam perundingan di Magelang. Yang ditangkap (dan kini dimakamkan di Makassar) itu bernama Mohammad Jiko Matturi. Peristiwaitu tercatat dalam prasasti “batu tulis” yang ditemukan di Asta Tinggi, komplek pemakaman para Raja Sumenep. Jadi, yang datang ke perundingan itu bukanlah Pangeran Diponegoro, tetapi salah seorang panglimanya. Saat itu Pangeran Diponegoro minta bantuan ke Raja Sumenep Sultan Abdurrahman untuk menyiapkan Perang Diponegoro II. Namun, rencana tersebut tak berlanjut karena Pangeran Diponegoro meninggal setelah tinggal lebih dari 5 tahun. Peristiwa tersebut memang tidak dicatat dalam sejarah. Namun, bukti prasasti bercerita soal strategi Pangeran Diponegoro dalam menghadapi Belanda. Perlawanan serupa juga dilakukan Tuanku Imam Bonjol di Tanah Minang terhadap Belanda. Raden Wijaya Kalau mau menengok sejarah, seharusnya China jangan memaksakan diri untuk manuver dan mengklaim perairan Natuna masuk ke dalam wilayahnya. Sejarah sudah mencatat, setidaknya leluhur Tentara China pernah dua kali kalah di Tanah Jawa. Mongol (China) di masa kejayaannya Jeghis Khan hingga Kubilai Khan menaklukkan dunia, semua kerajaan begitu mendapat surat dari Mongol langsung takluk tanpa perang dan setor upeti daripada hancur lebur dan rakyatnya dipenggal oleh kebiadaban Mongol. Tentara Mongol itu dikenal bengis dan barbar. Tapi, tidak dengan Prabu Kertanegara di Tanah Jawa. Mengzi utusan Kubilai Khan dipotong telinganya dan menyatakan menolak tunduk apalagi membayar upeti kepada Mongol. Catatan Dinasti Yuan mengisahkan, pada 1293 pasukan Mongol sebanyak 20.000-30.000 orang (300 kapal) orang dipimpin Ike Mese, Shi bi, dan Gaoxing mendarat di Jawa untuk menghukum Kertanagara, karena pada 1289 Kertanagara telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan, Raja Mongol. Sementara itu, setelah mengalahkan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera pada 1290, Kerajaan Singhasari menjadi kerajaan terkuat di daerah itu. Tetapi Jayakatwang, Adipati di Kediri, negara asal Singhasari, memberontak dan berhasil membunuh Kertanagara. Menantu Kertanegara, Raden Wijaya, diampuni oleh Jayakatwang dengan bantuan wali dari Madura, Arya Wiraraja. Raden Wijaya kemudian diberi tanah hutan di Tarik. Dia membuka hutan itu dan mendirikan sebuah desa di sana. Desa itu diberi nama Majapahit, Raden Wijaya menyimpan dendam pada Jayakatwang Kubilai Khan sangat terkejut setelah Mengzi pulang dan melaporkan kejadian penolakan Raja Jawa tersebut. Pada 1292, dia memerintahkan dan mengirimkan ekspedisi untuk menghukum Kertanegara, yang dia sebut orang barbar. Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol tersebut untuk menghancurkan Jayakatwang. Ia pun mengajak Ike Mese untuk bekerjasama. Raden Wijaya meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang. Dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol dan menyerahkan upeti. Tentara Mongol dengan seluruh kekuatannya bertempur dengan pasukan Jawakatwang. Sementara pasukan Mongol bertempur melawan Jayakatwang, Raden Wijaya menyerang kota dari arah lain dan dengan cepat mengalahkan penjaganya. Istana Jayakatwang dijarah dan dibakar. Beberapa ribu pasukan Kadiri mencoba menyeberangi sungai Brantas yang membelah Kota Kadiri dan tenggelam, sementara 5.000 tewas dalam pertempuran. Raja Jayakatwang mundur ke bentengnya, dan menemukan bahwa istananya telah terbakar. Pasukan Mongol mengepung Kota Daha dan meminta Jayakatwang menyerah. Pada sore hari, Jayakatwang menyatakan takluk kepada bangsa Mongol. Setelah Jayakatwang dikalahkan oleh pasukan Mongol, Raden Wijaya kembali ke Majapahit, berpura-pura hendak menyiapkan pembayaran upeti untuk Mongol, dan meninggalkan sekutu Mongolnya berpesta merayakan kemenangan mereka. Shi-bi dan Ike Mese mengizinkan Raden Wijaya kembali ke daerahnya untuk menyiapkan upeti serta surat penyerahan diri, Raden Wijaya meminta kapal-kapal besar Mongol masuk ke Kalimas (Brantas) dengan alasan untuk memudahkan memuat upeti yang banyak. Kapal-kapal besar Mongol yang masuk sungai tidak bisa bermanuver, hanya bisa maju atau mundur saja, maju masuk semakin ke dalam mundur terhalang kapal di belakangnya. Kesempatan tersebut digunakan Raden Wijaya dengan cepat memobilisasi pasukannya dan menyerang dengan panah ber-api ke arah kapal-kapal yang terjebak di Brantas, sementara pasukan di dalamnya sedang mabuk. Pasukan Raden Wijaya berhasil membunuh banyak prajurit Yuan, sedangkan sisanya berlari kembali ke kapal mereka yang berada di pantai. Di pantai, armada pasukan Jawa pimpinan mantri Aria Adikara juga menghancurkan sejumlah kapal Mongol. Pasukan Yuan mundur, kacau karena angin muson yang dapat membawa mereka pulang akan segera berakhir, sehingga mereka terancam terjebak di pulau Jawa untuk 6 bulan berikutnya. Setelah semua pasukan naik ke kapal di pesisir, mereka bertarung di laut melawan armada Jawa dan mengalami kekalahan yang fatal, dengan total 12.000-18.000 terbunuh. Kabarnya, menurut catatan, Dinasti Yuan Mongol mengalami kemunduran setelah kekalahan di Jawa ini. Akankah peristiwa serupa bakal terjadi ketika Tentara China menghadapi perlawanan pasukan “Raden Wijaya” (baca: TNI dan rakyat) jika terjadi perang terbuka? China harus ingat, “sejarah pasti berulang”! Apalagi, Presiden Joko Widodo sudah menyatakan, "Tidak ada kompromi!" Jika China tidak ingin dipermalukan untuk ketiga kalinya, sebaiknya China tak memaksakan diri kuasai laut Natuna! Penulis adalah wartawan senior

Natuna Membara: China "Keras Kepala", Indonesia Harus Bersiap!

China telah menganggap Indonesia sebagai negeri jajahan, objek dan sasaran target yang akan diintegrasi menjadi bagian dari Republik China Raya. Para pemangku kepentingan, pejabat dan penguasa bukannya bersikap tegas, justru lembek, tunduk pada China. Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Masih ingat kasus sengketa perbatasan serupa dengan Natuna antara China dan Filipina yang sudah dimenangkan oleh Filipina di Mahkamah Internasional? Begitu pertanyaan Bambang Sulistomo. China tetap saja tak mematuhi putusan pengadilan! Menurut Putra Pahlawan 10 November 1945 Bung Tomo yang juga Ketum Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) itu, “Tapi dengan negara Indonesia tampaknya China tidak akan ambil resiko,” tegasnya melalui aplikasi WhatsApp. “Disamping ketangguhan TNI dan semangat kejuangan kita, mereka mungkin teringat akibat peristiwa G30S 1965, negeri ini pernah dengan tegas memutuskan hubungan diplomatiknya dengan China (Beijing),” lanjut Bambang Sulistomo. “Dan China tidak akan mengorbankan kekuatan ekonomi-nya, jika berperang terbuka dengan kita,” ungkap Bambang Sulistomo. Jadi, meski China klaim laut Natuna itu masuk wilayah Laut China Selatan (LCS), dia tak akan berani invasi ke Natuna. Statement Mas Bambang di atas sangat bertolak belakang dengan pernyataan Nasrudin Joha, seorang penulis, yang menilai para pemangku kepentingan, pejabat dan penguasa bukannya bersikap tegas, justru lembek dan tunduk terhadap China. Menhan Prabowo Subianto yang di elu-elukan sebagai “Macan Asia”, ternyata hanya berani mengeong ke China. Prabowo tak jauh beda dengan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, berbicara dalam kapasitas yang membela kepentingan China. “Ya saya kira kita harus selesaikan dengan baik. Bagaimanapun China itu negara sahabat,” ujar Prabowo, usai bertemu Menko Luhut, Jum’at (3/1/2020). Bukannya mengecam pelanggaran kedaulatan yang dilakukan China atas perairan Natuna. Nasrudin Joha menyebut, Prabowo justru mengunggah pernyataan China sebagai negara sahabat. Padahal, jika China adalah negara sahabat maka mustahil China berani melanggar dan melecehkan batas kedaulatan negara sahabatnya. China telah menganggap Indonesia sebagai negeri jajahan, objek dan sasaran target yang akan diintegrasi menjadi bagian dari Republik China Raya. Para pemangku kepentingan, pejabat dan penguasa bukannya bersikap tegas, justru lembek, tunduk pada China. Prabowo dan Luhut “kalah jantan” dengan Menlu Retno Edi Marsudi yang mengecam keras pelanggaran kedaulatan RI oleh China. Prabowo terlalu manis, karena telah 'disuap' sejumlah proyek pertahanan oleh China saat kunjungan kerja beberapa waktu yang lalu. Lantas akan kemana rakyat negeri ini meminta perlindungan? Kepada pejabat dan penguasa yang justru menyerahkan leher kedaulatan bangsa ini kepada China? Atau terpaksa tunduk dan ikut arus menjadi budak yang melayani kepentingan China? Penilaian Nasjo atas Prabowo tersebut rasanya terlalu berlebihan. Apalagi, sampai menuding Prabowo telah ‘disuap’ dengan sejumlah proyek pertahanan oleh China saat kunjungan kerja beberapa waktu yang lalu ke China. Lain halnya jika Menko Luhut. Menko Luhut meminta permasalahan dengan China di perairan Natuna jangan diributkan. Alasannya makin ribut akan membuat investasi terganggu.Apalagi Indonesia juga sedang menarik investasi dari China. “Ya makanya saya bilang jangan ribut. Untuk apa kita ribut yang nggak perlu diributin, bisa ganggu,” ujar Luhut usai bertemu Prabowo di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2020). Seharusnya kita tahu tugas masing-masing menteri. Menlu Retno jelas akan menggunakan politik diplomasi dan harus “bersuara”. Luhut dengan pendekatan kemaritiman dan investasi. Prabowo pasti menggunakan politik pertahanan. Penempatan sejumlah kapal perang dan sejumlah pasukan “Siaga Tempur” ke Natuna yang terjadi belakangan ini menyusul klaim China atas laut Natuna jelas atas perintah Prabowo, sesuai dengan tugasnya sebagai Menhan. Nama lembaganya saja Kementerian Pertahanan, tentu tugasnya terkait dengan Pertahanan, bukan “Penyerangan”. Kemenhan baru akan melakukan “perlawanan” bila sampai terjadi “penyerangan” dari musuh (baca: China). Dalam menghapi kekuatan militer China, tentunya Prabowo harus benar-benar menghitung kekuatan lawan. Harus teliti secara matematis. Sebagai Menhan, Prabowo juga harus bisa melindungi TNI dan rakyat jika terjadi perang. Mampukah Indonesia menghadapi China jika terjadi perang? Sejak puluhan Kapal Perang China melakukan provokasi di sekitar Natuna, banyak “Kaum Nyinyir” yang mengecam Menhan Prabowo. Mengapa tidak tembak kapal-kapal China itu?! Dus, jika mengikuti nafsu mereka, perang "Indochina Serial Baru" pasti terjadi. Kalau saja perang antara Indonesia dan China ditakdirkan harus terjadi, sudah dapat dipastikan negara mana yang akan kalah dan hancur berantakan. Penilaian itu dapat dilihat dari peringkat kekuatan militer dunia, yang setiap tahun diterbitkan Global Firepower. Pada November 2019, Global Firepower merilis data peringkat negara dengan kekuatan militer terbaik di dunia. Ironisnya China merupakan tiga besar dunia, sementara Indonesia menempati peringkat 16. Fakta itu mencerminkan, kalau perang antara Indonesia dengan China terjadi, maka nasib Indonesia bagaikan buah pisang yang dihantamkan ke buah durian. Bakal hancur berantakan! Bagi orang beriman, hanya Alloh yang bisa menolong Indonesia dalam melawan Kedzoliman China. Bukan dengan cara perang fisik. Tapi, dengan perang diplomatik di PBB bersenjatakan keputusan dan UU yang diterbitkan PBB. Coba simak data dari Global Firepower antara China dan Indonesia berikut: China. Power Index Rating: 0.0673; Total populasi Amerika Serikat: 1,384,688,986 jiwa; Total personel militer: estimasi 2,693,000 personel; Total Aset Angkatan Laut: 714; Total kekuatan pesawat: 3,187 (peringkat 3 dari 137 negara); Pesawat Tempur: 1,222 (peringkat 2 dari 137 negara); Tank Tempur: 13,050 (peringkat 2 dari 137 negara); Anggaran Pertahanan: US$ 224 miliar atau Rp 3,152 triliun. Indonesia. Power Index Rating: 0.2804; Total populasi Amerika Serikat: 262,787,403 jiwa; Total personel militer: estimasi 800,000 personel; Total Aset Angkatan Laut: 221; Total kekuatan pesawat: 451 (peringkat 30 dari 137 negara); Pesawat Tempur: 41 (peringkat 43 dari 137 negara); Tank Tempur: 315 (peringkat 52 dari 137 negara); Anggaran Pertahanan: US$ 6,9 miliar atau Rp 97 triliun. Jika melihat dari peringkat kekuatan militer antara China dan Indonesia, sebenarnya sudah bisa dihitung seberapa kekuatan TNI dalam menghadapi perang terbuka dengan China nanti. Makanya Menhan Prabowo menahan agar TNI tidak benturan dengan Tentara China saat ini. Bisa habis NKRI nanti. Apalagi, konon, kekuatan Tentara Merah itu sebenarnya mencapai 6 juta personil. Plus peralatan canggih. Sedangkan TNI cuma sekitar 400 ribu personil dengan peralatan kalah canggih. Kondisi persenjataan dan jumlah personil TNI itu, yang selama ini dikeluhkan oleh Prabowo itu, saat ini terbukti, jika NKRI lemah. Bisa jadi, Menhan Prabowo sekarang ini sedang cari “jalan terbaik” dalam menghadapi manuver China di laut Natuna. Menurut Direktur The Global Future Institute Prof. Hendrajit, kalau kita menghindari perang dengan China soal Natuna, bukan soal peralatan militer kita minim. “Karena memang nggak ada skenario perang di balik ketegangan Natuna,” ungkapnya. “Jadi, kalau soal dikaitkan peralatan militer ya nggak relevan. Karena, memang nggak urjen banget. Itu cuma insiden. Tapi kalau itu memang harus dipertaruhkan, perang ya perang saja. Apa urusannya kalau kita kalah banyak peralatan,” lanjutnya. “Nggak jaminan juga China bakal menang,” tegas Hendrajit. Ketika Vietnam mendukung Heng Samrin yang telah melengserkan pemimpin Kamboja Polpot yang kejamnya minta ampun, ceritanya China meradang karena pemimpin bonekanya dilengserkan. Maka China bilang, “Kami akan memberi pelajaran pada tentara Vietnam”. Tapi, nyatanya, “Vietnam yang untuk ukuran jaman dulu masih termasuk pasukan sandal jepit, malah justru yang ngasih pelajaran pada Angkatan Laut China.” “Jadi, ini bukan miskin peralatan militer atau tidak. Tapi, Natuna memang nggak urjen buat pemantik perang atau casus belly,” ungkap Hendrajit. Kalau tewasnya Panglima Al-Quds Iran Mayjen Qassem Soeamani oleh Amerika, itulah baru relevan. “Karena itu sama saja dengan negara asing menembak Danjen Kopassus atau Danjen Marinir,” tegas Hendrajit. Drone MQ-9 Reaper pembunuh Mayjen Qassem Soelamani berpotensi melahirkan “Perang Teluk Serial Baru”. Ekonomi Dunia Dipastikan Kacau! Penulis adalah wartawan senior

Dihajar Buzzer, Anies Banjir Dukungan

Oleh Tony Rosyid Jakarta, FNN - Beberapa orang japri saya, mengirim link media terkait petisi terhadap Anies. Di antara mereka ada orang penting di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beliau berkomentar: Ternyata, lawan Anies bekerja sistematis untuk menjatuhkan. Semua yang japri saya minta respon dan tanggapan. Apa jawaban saya? Hehehe. Kok ketawa? Gak serius amat? Si Amat aja gak serius, kenapa saya harus serius?, jawabku. Dalam hati aku cuma bilang: "Hanya orang bodoh yang mau merespon mainannya buzzer." Seseorang dari fraksi PDIP DKI memberi komentar: petisi itu tak berafiliasi dengan partai manapun. Mereka adalah orang-orang yang merasa dirugikan. Oh ya? Siapa mereka bung DPRD? Dari mana asalnya? Jangan-jangan dari Bangka Belitung. Kerugian apa yang dialaminya? Mirip banjir di Jatiasih Bekasi kemarin, yang disalahin Anies. Bekasi bro! Kenapa gak salahin Ridwan Kamil dan Walikota/Bupati Bekasi? Kenapa salahin Anies? Karena Anies yang ditarget. Waduh! Bagaimana respon Anies? "Kami bertanggungjawab, dan tidak salahkan siapa-siapa". Begitu menghadapi banjir, Anies turun langsung dan ikut lakukan evakuasi korban. Pastikan para pengungsi teratasi dan aman logistiknya. Di mana Kementerian Sosial? Hus... Gak usah nanya-nanya yang lain. Benar kata kawan saya, orang penting di MUI itu. Memang ada upaya sistematis untuk mengganggu Anies. Upaya itu dimulai sejak Anies dilantik jadi gubernur. Publik tahu itu. Inget kata "pribumi" dalam pidato pelantikan Anies yang dikasuskan? Itu baru pemanasan. Dan tak berhenti sampai sekarang. Sudah lebih dari dua tahun. Makin ke sini, makin kencang. Ini terjadi bukan saja karena faktor "gak move on", tapi juga terkait kebijakan Anies yang seringkali mengganggu kepentingan oligarki. Terutama kegalauan mereka menghadapi pilpres 2024. Oh ya? Masih lama, kok galau ya? Lihat video orang-orang yang pakai atribut topi sinterklas? Videonya viral. Dalam video itu, ada beberapa orang yang karena rajin bully Anies menjadi terkenal. Mereka gelisah. Gelisah kalau Anies jadi presiden. Makin gelisah lagi ketika Anies datang dan turun langsung ke lokasi banjir, warga teriak "Gubernur Rasa Presiden" (Kompas, 5/1) Tidak hanya Anies yang dibully. Semua pihak yang mengapresiasi kinerja Anies juga dibully. Termasuk Kompas, Kumparan dan detik.com yang dalam konteks banjir ini berusaha obyektif memotret kerja Anies dan respon warga. Kena bully juga. Jangan-jangan Jaya Suprana dan Sujiwo Tedjo juga akan dibully hanya karena mengapresiasi kerja Anies. Jangan tanya soal moral dan etika. Bagaimana kita membuat standar moral dan etika untuk orang-orang yang menjadikan banjir dan penderitaan para korban sebagai arena berpolitik? Maksudnya gak bermoral? Ah, jangan terlalu vulgar. Rakyat juga sudah paham. Lalu, bagaimana dari sisi politik? Ini baru butuh analisis lebih detil. Selama ini, "para buzzer" selalu gagal mengganggu Anies. Alih-alih menjatuhkan, justru sebaliknya, setiap kasus malah jadi blessing dan mengangkat nama Anies. Lem aibon, ambruknya jembatan di hutan kota, dan sekarang soal banjir. Kenapa? Pertama, "para buzzer" selalu kesulitan untuk mendapatkan isu seksi. Setidaknya hingga hari ini, Anies tak pernah melakukan kesalahan fatal terkait dengan integritas, kebijakan, dan komunikasi politiknya. Ini salah satu kelebihan Anies, bicara dan kerjanya sangat terukur. Jadi, tak ada ruang untuk menggarap isu yang berpotensi downgrade Anies. Kedua, terlalu banyak rekayasa. Penyebaran hoaks dengan data-data invalid dan cenderung ngasal justru jadi faktor kegagalan mereka. Ketika data-data asli dibuka, kelar. Ini terus berulang terjadi. Intinya, para buzzer ini gak bermain taktis. Hanya eforia sesaat. Ketiga, pola komunikasi "ala preman" justru mendatangkan ketidaksimpatisan publik. Miskin dukungan, bahkan memancing perlawanan banyak pihak. Corat coret wajah Anies dengan berbagai bentuk caci maki yang gak karuan. Mereka gak paham psikologi publik. Publik Indonesia masih waras. Gak suka sampah model seperti itu. Keempat, walaupun sudah bekerja sistematis, terstruktur dan masif, para buzzer ini tetap kalah jumlah, kalah cerdas, kalah kompak dan kalah militan dibanding para pendukung Anies. Ini yang membuat setiap isu kandas di tengah jalan. Kelima, Anies tak mudah dipancing untuk bereaksi dan merespon para buzzer itu. Dalam konteks ini, Anies cukup matang dalam sikap dan melakukan komunikasi politik. Sejumlah orang justru balik simpati dan dukung Anies ketika Anies melakukan komunikasi dengan pihak-pihak yang selama ini "memusuhinya". Di samping kerja Anies yang terukur. Tentu terukur menurut lembaga-lembaga yang dianggap kredibel oleh publik untuk memberikan penilaian. Termasuk KPK, BPK dan sejumlah kementerian. "Saya tak akan menjawab dengan kata-kata, tapi dengan kerja dan karya", kata Anies. Dan Anies telah membuktikannya dengan karya nyata dan sejumlah penghargaan. Terkait banjir yang tak hanya menimpa Jakarta, tapi juga Jawa Timur, Jawa Barat, Banten dan Kalimantan Selatan, Anies tegar di tengah dibullyan, caci maki dan kebencian. Fokus kerja, turun langsung ke lapangan dan pimpin pasukan untuk mengatasi dampak banjir. Tak mengeluh. Tak menyalahkan pusat. Tak menyalahkan presiden. Tak menyalahkan kepala daerah lain. Tak nyalahin hujan. Tak nyalahin air laut yang sedang pasang. Tak nyalahin tiga belas sungai. Anies juga tidak bilang: "banjir akan lebih mudah diatasi jika jadi presiden". Anies gak pernah bilang begitu. Kalau pada akhirnya nanti Anies jadi presiden dan melanjutkan program-program yang sudah dimulai dan dikerjakan Pak Jokowi, itu soal lain. Lima fakta ini yang membuat lawan politik Anies seperti tak menemukan ruang yang cukup untuk merusak nama Anies. Ini bisa dilihat dari kegalauan mereka dalam video yang viral beberapa hari ini. Bisa dimaklumi. Di satu sisi, mereka tak siap ditinggal Jokowi pensiun di 2024. Di sisi lain, mereka tak punya tokoh yang kompetitif untuk dilawankan dengan Anies. Enggak tahu kalau pada akhirnya mereka mencalonkan Abu Janda, Denny Siregar atau Arde Armando untuk menjadi kompetitor Anies. Perlu juga dicoba dan diberi kesempatan. Yang publik gak bisa maklumi, mengapa mereka tak punya rasa empati kepada para korban. Di saat banjir tiba dan penderitaan menimpa bangsa ini, para buzzer justru makin masif produksi bullyan dan caci maki. "Kok yo mentolo?" Di mana nurani mereka? Di sisi lain, walaupun terus dibully, Anies justru malah banjir dukungan. Jakarta, 6/1/2020 Penulis Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Panglima TNI, Natuna, dan Patroli Pak Luhut

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kalua mau lapor soal penerobosan wilayah darat, laut, udara, ke mana seharusnya ya, bro? Kalau tak salah ke Panglima TNI. Tapi, entah juga ya! Sebab, Pak Panglima diam-diam saja soal Natuna. Padahal, China sudah sangat sibuk mengirimkan aramada nelayan mereka ke perairan ZEE Indonesia di bagian utara kepulauan Natuna. Itu informasi yang kami dapat. Apakah Pak Panglima Marsekal Hadi Tjahjanto sedang mengatur strategi barangkali ya? Bisa jadi juga. Sebab, beliau itu ‘kan harus presisi kalau mengambil keputusan. Panglima tak boleh sembarangan. Semuanya harus “aim, lock, fire” (bidik, kunci, tembak). Jadi, wajar kalau Pak Panglima lama baru muncul. Soalnya, kalau salah tembak, bisa-bisa kena ke kapal patroli Pak Luhut Panjaitan. Kabarnya, kapal patroli Pak Luhut sedang mengawal kapal investasi China yang membawa modal ke Indonesia lewat perairan Natuna. Loh, kapal investasi kok lewat perairan Natuna? Jangan bingung dulu, bro. Begini. RRC ‘kan mau bawa investasi ke Indonesia. Nah, mereka cari duit investasi itu dengan menangkap ikan dulu di perairan ZEEI dan perairan Natuna juga. Ikan itu kemudian dijual kepada nelayan-nelayan Indonesia yang sedang kosong tangkapan. Mereka jual-beli di laut. Nelayan Indonesia membayarnya dengan rupiah. Nah, rupiah yang dikumpul oleh kapal investasi China itu dibawa ke Indonesia, diserahkan ke pimpro-pimpro RRC di Indonesia. Itulah sebabnya Pak Luhut hari itu bilang agar persoalan kapal China masuk ke perairan ZEEI, tidak usah dibesar-besarkan. Sebab, mereka membawa investasi masuk ke Indonesia. Jadi, Panglima TNI harus lama bereaksi. Beliau menunggu posisi koordinat kapal-kapal investasi China yang dikawal kapal patroli Pak Luhut. Supaya Pak Panglima tidak salah tembak. Nah, sekarang ketemu ‘link’ antara urusan kemaritiman dan investasi. Menjadi terbuka ‘misteri’ dua bidang yang tak ‘nyambung itu dijadikan satu dengan nama Menko Kemaritiman dan Investasi. Kuncinya: wilayah “maritim” Natuna dan “investasi” China untuk Indonesia. Hehe.[] 6 Januari 2020 Penulis wartawan senior.

Luhut Menteri Kacrut

Luhut Binsar Panjaitan tampak mewakili negara China dalam setiap kerjasama dengan pemerintah Indonesia. Kadang sifat berangasannya tersebut, mengingatkan kita pada Ahok yang angkuh dan juga tukang semprot. Sebagai Menko, mestinya Luhut Binsar Panjaiatan lebih berwawasan kenegaraan yang luas. Tentara itu patriot, bukan tukang semprot atau "Judas Iskhariot" sang penghianat. By M. Rizal Fadillah Jakarta, FNN - Dalam kasus konflik Natuna, Menteri Kordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binssar Panjaitan bersikap melunak kepada China. Luhut menyatakan agar kasus pelanggaran hukum di perairan Kepulauan Natuna tidak usah dibesar- besarkan. Kata Luhut, kalau diber-besarkan, takutnya bakal mengganggu program investasi China di Indonesia. Tentu saja ungkapan Luhut ini direaksi keras oleh public. Betapa lemahnya rasa nasionalisme dari sang menteri yang berpangkat Jendral bintang empat kehormatan ini. Kedaulatan negara telah nyata-nyata dilanggar. Kedaulatan negara di Natuna sudah dianggap sebagai milik China. Namun masih dianggap sepele saja sama Luhut Binsar Panjaitan. Kata anak gaul Luhut Binsar Panjaitan ini payah, ancur deh. Kacrut...! Investasi China seolah-olah menjadi segalanya bagi Luhut Binsar Panjaitan. Sehingga kedualatan kita diinjak-injak sekalipun kita sikapi dingin-dingin saja. Padahal bangsa ini justru sedang mengkhawatirkan terlalu jauhnya China merambah negara kita. Investasi menjadi alat penguasaan atau penjajahan. Nyali Menteri Luhut Binsar Panjaitan yang berlatar belakang militer tersebut ternyata ciut. Hanya segitu-gitu saja dia. Ternyata tidak ada hebat-hebatnya juga tuh. Persis seperti tikus cerurut atau tikus kacrut yang kecil. Masalah kedaulatan negara harusnya dipertahankan dan dibela dengan sepenuh jiwa raga. Bukan dengan mental jiwasraya yang keropos dan korup tersebut. Kasus Luhut Binsar Panjaitan dengan sikap lemah dan pragmatis, menunjukkan betapa perlunya para Menteri (juga Presiden) ditatar kembali. Materinya tentang substansi nasionalisme dan ideologi negara. Jangan hanya rakyat yang selalu jadi obyek pembinaan dan penataran. Para petinggi negeri ini penting untuk juga dibina. Karena kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mereka bukanlah kalimat serbagai seorang menteri. Tidak menggambarkan mereka adalah menteri. Contohnya, Luhut Binsar Panjaitan ini. Padahal sikap dan pendapat para menteri itu bisa berdampak secara luas. Rendahnya rasa nasionalisme dan watak pengecut di kalangan para menteri adalah krisis nasional yang sangat nyata saat ini. Ini sangat berbahaya sekali. Sebab negara ini bisa dijual hanya demi investasi atau mendapatkan duit hutang dari luar negeri. Sikap Luhut Binsar Panjaitan yang membela China ini bukan yang pertama kali. Sikap yang semacam ini sudah berulangkali diperlihatkan Luhut. Tidak salah jika ada sebutan di medsos bahwa Luhut sebagai Dubes China untuk Indonesia. Sebab yang diucapkan Luhut Binsar Panjaitan selama ini, tidak lain adalah membela kepentingan China di Indonesia. Luhut Binsar Panjaitan tampak mewakili negara China dalam setiap kerjasama dengan pemerintah Indonesia. Kadang sifat berangasannya tersebut, mengingatkan kita pada Ahok yang angkuh dan juga tukang semprot. Sebagai Menko, mestinya Luhut Binsar Panjaiatan lebih berwawasan kenegaraan yang luas. Tentara itu patriot, bukan tukang semprot atau "Judas Iskhariot" sang penghianat. Ketika kita berkonflik dengan China, gertakannya jangan membuat nyali ciut. Balas dengan ancaman yang membuat China berpikir seribu kali sebelum melangkah. Missalnya, kita akan membatalkan semua bentuk kerjasama ekonomi dengan China, jika masih saja mengklaim perairan Kepulauan Natuna sebagai bagian dari wilayah teritorialnya. Bila perlu sentuh sampai pada ancaman pemutusan hubungan diplomatik. Bilang bahwa di Indonesia masih banyak warga negara Indonesia (WNI) yang masih merasa sebagai bangsa China. Jika macam- macam, mereka bisa diusir keluar dari Indonesia. Teriakan seperti dulu "go to hell with your aid". Bagaimanapun juga China adalah negara komunis. Mereka sangat berbahaya bagi bangsa kita. Dengan kejadian di perairan Natuna ini, China jelas-jelas bukanlah sahabat kita. Apalagi idelogi mereka tidak mengakui adanya Tuhan. Kita bangsa Indonesia masih mengakui adanya Allah SWT. Sekarang terbukti bahwa China adalah negara tukang cari gara gara. Seenaknya saja menginjak-injak wilayah kita. Sombong, angkuh, dan menggertak. Namun semua tergantung kita juga. Tergantung pada pemimpin kita. Tergantung Menteri dan Presiden kita. Macankah atau tikus cerurut ? Kalau Luhut Binsar Panjaitran, sudah jelas-jelas payah. Ancur deh. Kacrut...! *Penulis adalah Pemerhati Politik

Indonesia Darurat Kedaulatan, Hak Azasi Bangsa Terinjak

By Hartsa Mashirul* Jakarta, FNN - Pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh kapal pencari ikan hingga kapal penjagaan laut dan pantai negara Republik Rakyat China (Coast Guard) telah mencederai perdamain dunia. Pemerintah Republik Rakyat China berdalih bahwa Natuna merupakan bagian dari wilayahnya dengan berpegang pada Nine-Dash Line China. Sejak tahun 1947 di bawah kekuasaan Chiang Kai Sek (Partai Kuomintang Pendiri Republic of China) mengklaim teritorial secara sepihak oleh China dengan bentangan seluas 2.000 kilometer dari dataran China. Pemerintahan China menduduki teritorial di Laut China Selatan dengan Angkatan Lautnya . China berupaya untuk menguasai pulau-pulau yang dahulu diduduki Jepang saat Perang Dunia II. China membuat sebelas garis demarkasi putus-putus. Kemudian mereka China sebut dengan Eleven-Dash Line. Masalah ini kemudian menabrak beberapa wilayah kedaulatan negara di perairan Laut China Selatan, diantaranya Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunai Darussalam. Setelah Kuomintang kalah dalam perang saudara tahun 1949, Partai Komunis China menetapkan diri sebagai penguasa tunggal dengan sebutan Republik Rakyat China yang menganut ideologi komunis dan menggunakan mata uang Yuan. RRC mengklaim dialah satu-satunya perwakilan sah untuk menguasai wilayah maritim Laut China Selatan tersebut. Partai Nasionalis Kuomintang secara yurisdiksi berpindah ke Taiwan dengan menyebut dirinya Republik of China. Mata uangnya Dollar Taiwan, dengan sistem ekonomi kapitalis. Secara de facto Taiwan adalah negara merdeka dan menjadi satu negara dunia, namun secara de jure Taiwan belum mendapatkan pengakuan dari berbagai negara dunia. Namun, hingga saat ini belum diketahui kepastian perang saudara tersebut telah berakhir atau belum. Pada tahun 1950, dua garis putus-putus dihapus. China mengeluarkan Teluk Tonkin sebagai tanda untuk koloni komunisnya di Vietnam Utara, menjadi sembilan garis demarkasi putus-putus atau Nine-Dash Line. Klaim sepihak dengan menggunakan sebutan Nine-Dash Line China merupakan satu hal yang tidak mempunyai landasan Hukum Internasional di Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS ) tahun 1982. Rentetan sejarah perjalanan untuk menetapkan hukum laut internasional dalam Pertemuan Konferensi Majelis Umum PBB resolusi 1105 (XI) dari 21 Februari 1957 merupakan puncak dari proses panjang. Bermula dari Konferensi Den Haag untuk Kodifikasi Hukum Internasional yang diadakan tahun 1930 di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa, yang membahas mengenai perairan. Tanggal 29 April 1958 Konferensi PBB di Jenewa tentang Hukum Laut dibuka untuk ditandatangani empat konvensi dan protokol opsional. Berbagai pertimbangan muncul dalam konferensi ini. Tidak hanya memperhitungkan aspek hukum, tetapi juga aspek teknis, biologis, ekonomi dan politik. Selanjutnya tanggal 10 Desember 1982, Konvensi PBB Dalam Hukum Laut Internasional yang dikenal dengan sebutan UNCLOS 1982. Konvensi ini untuk menggantikan perjanjian internasional mengenai laut yang dibuat tahun 1958. Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 menyatakan laut diantara pulau-pulau kita merupakan wilayah Indonesia. Terkenal dengan sebutan “Deklarasi Djuanda”. Hal ini membantah Hukum Laut Internasional saat itu yang mengakui laut teritorial hanya sejauh 12 mil. Deklarasi Djuanda menjadi dasar bagi para juru runding Indoneisa, yaitu Prof Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Hasjim Djalal, berjuang secara diplomasi di PBB, hingga ditandatanganinya UNCLOS 1982. Ketika itu Indonesia didaulat sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia. Deklarasi Djuanda yang diperjuangkan menjadi UNCLOS 1982, menguatkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menjadi dasar bagi berbagai produk hukum kemaritiman yang kuat, dikarenakan kompatibel dengan Hukum Laut Internasional. Sebagai negara kepulauan terbesar didunia yang berdaulat, perilaku klaim sepihak RRC adalah tindakan tidak menghormati kedaulatan Indonesia. Selain itu, tidak menghormati kesepakatan Hukum Laut Internasional yang berlaku. Perilaku semau mereka sendiri mengakibatkan Rakyat Indonesia meradang. Kami, Rakyat Indonesia menegaskan bahwa tidak ada kata toleransi terhadap mereka yang melakukan pencaplokan sejengkalpun wilayah kedaulatan Indonesia oleh negara lain. Sikap Geng Shuang sebagai Juru Bicara Kementrian Luar Negri China yang menyatakan bahwa Natuna masuk dalam wilayah China adalah menabuh genderang perang. Dunia sedang memanas akibat pergolakan politik dan ekonomi yang memanas. Republik Rakyat China yang dimata sebagian rakyat Indonesia sebagai sahabat, saat ini menikam Indonesia dari belakang. Sikap itu adalah mengkhianati dalam hubungan baik diantara kedua negara. Rakyat Indonesia yang berdaulat mengecam keras klaim sepihak Republik Rakyat China atas Pulau Natuna sebagai bagian wilayahnya. Kembali kami tegaskan, bahwa hal ini bukanlah kali pertama tindakan sewenang-wenang China berusaha mencaplok wilayah kedaulatan Indonesia dalam kurun waktu lima tahun ini. Sekitar bulan Juni 2016 lalu, terjadi insiden Natuna antara kapal nelayan Republik Rakyat China dengan kapal perang Republik Indonesia KRI Imam Bonjol-383. Pemerintah China kemudian memprotes atas tertembaknya kapal ikan Han Tan Cou oleh TNI Angkatan Laut Indonesia. Mereka menyebutkan bahwa Natuna sebagai zona perikanan tradisional China. Perilaku pemerintah Republik Rakyat China tidak bisa terus kita diamkan. Karena akan menjadi preseden dan kebiasaan untuk terus mengklaim Natuna sebagai wilayahnya. Untuk itu, kami rakyat Indonesia menuntut pemerintahan Republik Rakyat China untuk segera mengkalrifikasi dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia dan seluruh rakyat unia atas pernyataan Juru Bicara Kementrian Luar Negeri China yang merepresentasikan pemerintahan RRC. Rakyat Indonesia menyampaikan hal ini untuk dijadikan informasi kepada seluruh bangsa-bangsa di dunia, bahwa China terus berusaha mencaplok wilayah kedaulatan Indonesia. China berpegang pada dasar sepihak. Sehingga hal tersebut bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982. Akibatnya dapat mengacaukan perdamain regional pasifik maupun perdamaian dunia. Atas keras kepala pemerintahan China yang berulang kali berusaha melakukan tindakan pencaplokan terhadap kedaulatan wilayah Indonesia, kami rakyat Indonesia menuntut tiga hal sebagai Komando rakyat kepada Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Negara Republik Indonesia dan Menteri Pertahanan Republik Indonesia guna menegakkan Hak Azasi Bangsa. Kami mernyampaikan tiga tuntutan yang disebut dengan “TRIKORA”. Pertama, mendesak Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI segara Deklarasikan Perang kepada tetiap negara yang mencaplok wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kedua, mendesak Menteri Pertahanan untuk melindungi seluruh wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Memerintahkan segenap jajaran TNI/Polri untuk melaksanakan perang, sebagaimana Amanat Konstitusi UUD 1945 Pertahanan Rakyat Semesta. *Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Club

Permasalahan Jiwasraya dan Industri Asuransi

By Andi Rahmat * Jakarta, FNN - Diluar soal dugaan tindak pidana dalam praktek bisnis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Asuransi Jiwasraya, kita sedang menyaksikan bayangan “mengancam” industri ini. Dengan total Asset per November 2019 senilai Rp 1. 346 triliun, industri ini dengan segala dinamikanya sedang mengalami tekanan perubahan yang signifikan. Bagaimana otoritas bertindak mengatasi persoalan yang dihadapi Jiwasraya, akan mempengaruhi landscape industri asuransi kita di masa datang. Relaksasi kebijakan moneter global (Quantitative Easing), Tren Inverted Yield Curve (kurva yield obligasi jangka pendek lebih tinggi dari kurva yield obligasi jangka panjang ) menjadi masalah sendiri. Kondisi ditambah bayang- bayang resiko default hutang global yang tersembunyi, memberi pengaruh kuat dalam kinerja industri asuransi global. Belum lagi pilihan-pilihan instrumen investasi di dalam negeri yang sesuai dengan sifat asuransi yang masih terbatas, dan tidak ditopang pasar keuangan yang dalam. Meski demikian, dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan industri asuransi di indonesia mencatat tren positif. Baik Asuransi Umum maupun Asuransi Jiwa. Pertumbuhan positif ini menjadi catatan tersendiri di tengah krisis yang menimpa Jiwasraya. Namun di tengah pertumbuhan yang positif itu, perubahan landscape perekonomian global dan domestik, juga meningkatkan kompetitif di industri ini. Jiwasraya adalah cerminan betapa kompetitifnya industri ini sekarang. Upaya mengatasi mismatch antara kewajiban jangka pendek pada produk JS Protection Plan, yang dirilis tahun 2012. Sementara profile keuangan Jiwasraya berujung pada dalamnya perusahaan ini masuk limbo insolvabilitas. Langkah ini dilakukan, sebagai upaya jangka pendek mengatasi krisis yang dimulai sejak 2004. Ingat, kendati semua upaya itu dilakukan dengan bantuan skema reasuransi, sebagai satu bantalan utama industri asuransi dalam menghadapi shock, tetap saja Jiwasraya tak keluar dari kesulitannya. Jika otoritas hanya terkonsentrasi dalam penyelesaian isu kriminalitas, yang ditangani Kejaksaan Agung terkait dugaan kerugian negara, maka problem utama menjadi tidak tersentuh. Padahal masalah secara keseluruhan yang terkait dengan masa depan industri asuransi makin tidak terjamah. Berangkat dari kasus Jiwasraya, maka dibutuhkan langkah penyelesaian yang lebih komprehensif dari otoritas terhadap problem industrinya. Ini sesuai dengan perintah undang-undang perasuransian. Ingat, bagi otoritas, khususnya pemerintah, masih ada masalah sama yang menggantung di Asuransi Bumiputera, yang juga memerlukan perhatian serius. Sebagai mantan Ketua Panja RUU Perasuransian, yang menghasilkan UU No. 40 Tahun 2014, saya berharap ada upaya yang lebih luas dan sistematis. Otoritas agar mengatasi masalah ini dengan menata ulang industri asuransi kita. Dari sudut pandang ini, yang sedang dihadapi otoritas adalah kenyataan bahwa industri asuransi kita secara keseluruhan sedang mengalami tantangan yang sangat signifikan. Dalah penyelesaian permasalan Jiwasraya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan memiliki pilihan-pilihan yang sulit. UU No, 40 tentang Perasuransian, pasal 15 menempatkan posisi pemerintah sebagai pengendali Jiwasraya. Posisi sebagai pengendali ini, mengharuskan pemeritah memperkuat Risk Base Capital (RBC) Jiwasraya. Selain itu, juga memperkuat Dana Jaminan yang diperlukan untuk mengatasi kewajiban yang jatuh tempo di Jiwasraya. Sampai disini, muncul pertanyaan,seandainya Jiwasraya adalah perusahaan asuransi swasta, apakah perlakuan yang linient terhadap persoalan yang melilitnya akan sama? Pertanyaan ini terkait dengan bangunan industri asuransi secara luas. Jawabannya, akan berhubungan langsung dengan soal menjaga level of playing field otoritas terhadap industri secara keseluruhan. Dalam skala yang lebih luas, tentu juga terkait dengan kemampuan otoritas memberi sinyal positif terhadap keampuhan dan keabsahan regulasi kita dalam mengelola sektor keuangan. Sayangnya, di tengah situasi sulit ini, suatu Lembaga Penjaminan Oolis (yang sepadan dengan Lembaga Penjaminan Simpanan untuk industri Perbankan) sampai sekarang belum juga dibentuk. Pembentukan Lembaga Penjaminan Polis itu diperintahkan oleh UU No. 40 tahun 2014. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kabar beritanya. Saya dengar sudah ada upaya memasukkannya kedalam Program Legislasi Nasional di DPR. Saya kira, pemerintah dan DPR dapat menggunakan momentum ini untuk segera memprioritaskan pembahasan dan penyelesaian peraturan perundang-undangannya. Terkait dengan semua itu, di meja Menteri Keuangan hanya ada dua pilihan penyelesaian. Sekali lagi, Posisi Menteri Keuangan dalam hal ini bukanlah regulator, melainkan sebagai pengendali. Tugas dan kewajibannya sudah diatur jelas di dalam Undang-Undang. Pilihan pertamanya adalah menghentikan kegiataan usaha Jiwasraya. Pilihan keduanya adalah melanjutkan kegiatan usaha Jiwasraya. Pilihan pertama memiliki konsekuensi yang tidak mudah. Sebab sebelum meghentikan usahanya, sesuai dengan ketentuan UU No. 40 tahun 2014, Bab X pasal 42, kewajiban Jiwasraya mesti diselesaikan lebih dahulu. Tentu mengandung konsekuensi fiskal yang tidak kecil. Selain itu, akan menimbulkan dampak yang bisa saja berkonsekuensi contagion terhadap bangunan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Lagi-lagi, ini tentu saja memerlukan perhitungan yang cermat. Pilihan kedua adalah tetap melanjutkan kegiatan usaha Jiwasraya. Yang artinya, Menteri Keuangan memenuhi kewajiban standarnya. Kewajiban itu untuk memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh Jiwasraya sebagai Asuransi Jiwa untuk dapat beroperasi secara normal dalam bingkai regulasi yang ada. Langkah ini juga mengandung konsekuensi fiskal yang tidak mudah. Dalam pilihan-pilihan ini, juga terdapat kemungkinan bagi pengendali untuk menggunakan lembaga mediasi yang sudah diatur didalam undang-undang. Tujuannya untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi pemegang polis dalam mendapatkan manfaat asuransi. Dengan begitu, mungkin bisa ditemukan pola restrukturisasi yang dapat membantu Jiwasraya dalam memenuhi kewajibannya. Saya menganjurkan Menteri Keuangan mengambil pilihan ini. Tentu dengan bersungguh- sungguh pula, memproses secara hukum pihak- pihak yang telah merugikan keuangan negara. Jika pilihan ini yang diambil, maka DPR harus dapat diyakinkan untuk mengambil posisi yang sama. Pilihan pertama dan pilihan kedua sama-sama mengandung konsekuensi fiskal. Adapun regulator, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) juga memiliki pekerjaan rumah yang tidak gampang. Apalagi sejak berada di bawah pengawasan Bapepam-LK, persoalan Jiwasraya sudah mengemuka dan terus berlangsung hingga berdirinya OJK. Sejarah Jiwasraya sama tuanya dengan sejarah industri asuransi di Indonesia. Dimulai sejak tahun 1859 di masa kolonial Belanda, hingga dinasionalisasinya semua perusahaan asuransi jiwa milik Belanda di tahun 1957. Secara resmi menjadi perusahaan asuransi jiwa milik negara di tahun 1960, dan beroperasi hingga sekarang. Jiwasraya adalah pionir historis asuransi jiwa di Indonesia. Dapat dibayangkan betapa sulitnya regulator dalam menghadapi perusahaan asuransi yang sudah arkaik ini. OJK dalam hemat saya seyogyanya memberi kesempatan kepada Pengendali (Menteri Keuangan) mencari solusi permasalah Jiwasraya. Dengan catatan menilik histori upaya penyelesain masalah Jiwasraya sejak 2004, toleransi yang linient oleh regulator pada hemat kami sudah lebih dari cukup. Seperti yang sudah kami kemukan diawal. Industri asuransi sedang mengalami perubahan dan juga tekanan yang kuat. Laporan tren industri asuransi tahun 2018 yang dirilis oleh OECD menunjukkan beberapa tren umum yang dialami oleh industri asuransi. Diantara tren peningkatan premi, eksposure investasi yang dominan adalah di obligasi. Selain itu, tren kerugian investasi (investment losses) dan besarnya gross kewajiban yang mesti dibayarkan. Eksposure masing-masing negara terhadap tren ini memang variatif. Mc Kinsey dan Deloitte dalam rilisnya mengenai tren industry asuransi global, menunjukkan performa kinerja yang positif. Di kawasan Asia Pasifik, India dan China menjadi faktor utama dalam menggerakkan tren positif itu. Menurut laporan Mc Kinsey, sejak tahun 2010 hingga tahun 2017, pertumbuhan industri asuransi global rata-rata di atas 4% per tahun. Di tahun 2017 malahan tumbuh hingga 4.7 %. Dengan tren yang positif itu, khususnya industri asurnasi jiwa, dalam menyelesaikan Jiwasraya, OJK dituntut untuk bisa menginsulasi dampaknya terhadap kinerja industri secara keseluruhan. Termasuk dalam menjaga tingkat kepercayaan publik terhadap keamanan dan kemampuan industri asuransi dalam menjalankan bisnisnya. Persoalan insolvensi yang dialami Jiwasraya, seyogyanya makin memperkuat penerapan market conduct policy di industri asuransi kita. Sebab menurut laporan Deloitte, ini sudah merupakan tren regulasi asuransi global. Untuk itu, diperlukan pengawasan dan stress test yang memadai dalam menguji solvabilitas industri asuransi. Pengawasan seperti ini diperlukan untuk memastikan bahwa kinerja industri betul-betul ditopang oleh profile bisnis yang kuat. Bukan disebabkan oleh tindak spekulatif jangka pendek yang membahayakan kesinambungan neraca bisnis asuransi dalam jangka panjang. Sejak krisis tahun 1997-1998, kita juga sudah mengalami krisis-krisis sektoral dalam industri keuangan. Seperti krisis redemption besar-besaran reksadana di tahun 2006. Tekanan keuangan pada perbankan tidak sehat, yang tidak signifikan secara ukuran, yang berbuah bailout bank Century di tahun 2008-2009. Sekarang kita juga dihadapkan pada krisis yang dialami Jiwasraya. Semua krisis itu muncul, diantaranya disebabkan oleh komplasensi kebijakan kita sendiri. OJK yang oleh undang-undang diberi kewenangan penuh untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan di sektor keuangan, khususnya industri asuransi, sudah waktunya menggunakan kewenangan itu. Kewenangan Kejaksaan Agung adalah perkara dugaan pidana kerugian negara pada BUMN. Sedang OJK memiliki kewenangan khusus utk melidik dan menyidik kejahatan perasuransiannya. Delik dan sanksi adminitratif dan pidana perasuransian, sudah diatur didalam UU No 40 tahun 2014. Mengapa demikian?. Sebab, selain merupakan BUMN, Jiwasraya juga merupakan perusahaan asuransi jiwa yang sama dengan perusahaan asuransi jiwa lainnya. Buah dari hasil lidik dan sidik itu sendiri, bagi industri asuransi adalah rambu-rambu yang lebih pasti dalam menjalankan bisnisnya. Harus dibuat terang, mana yang bisa menjadi ranah pidana asuransi dan mana yang bukan. Ini menjadi penting, karena bagi pelaku industri, kalkulasi terhadap resiko hukum menjadi lebih pasti. Semoga saja. Wallahu ‘alam. Penulis adalah Pelaku Usah dan Mantan Wakil Ketua Ketua Komisi XI DPR RI

Oligarchy Menari di Alam Demokrasi Konstitusional

By Dr. Margarito Kamis * Jakarta, FNN - Langit gelap dunia hukum dan politik Indonesia dua tiga tahun lalu terjadi menyusul munculnya sejumlah kasus. Diantaranya kasus Ranperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Provinsi DKI Jakarta. Pada kasus ini KPK memeriksa direktur PT Agung Sedayu Land. Tak sampai disitu, KPK juga memeriksa dan mencekal Bos Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Agua (detikcom, 27/6/2016). Pada kasus lain, penyuapan pengurusan izin pembangunan Meikarta, teridentifikasi terkait dengan Ranperda Rencana Deteil Tata Ruang Kabupaten Bekasi. Proyek Meikarta teridentifikasi dikerjakan PT. Mahkota Sentosa Utama, anak perusahaan PT. Lippo Cikarang. Sementara PT. Lippo Cikarang teridentiikasi secara faktual oleh media sebagai Anak Usaha Lippo Karawaci. Semuanya terasosiasi dalam Lippo Gorup (CNNIndonesia, 30/10/2018). Ditengah hiruk-pikuk perbincangan terbuka pemindahan ibu kota negara, terungkap secara kredibel kenyataan menarik. PT International Timber Corporation Indonesia (ITCI), Korporasi dalam Group Royal Golden Eagle (RGE) menguasai lahan 6.000 hektar lahan. Sejauh hak atas tanah seluas itu belum berakhir, pemerintah, dengan alasan kepentingan umum sekalipun, suka atau tidak, tidak bisa main ambil tanah ini tanpa dilakukan ganti rugi. Kendalikan Kebijakan Apakah kenyataan parsial itu yang membawa Kiyai Said Aqil Siradj, Ketua Umum Nahdatul Ulama (NU) bersuara keras? Di penghujung tahun 2019 dan awal tahun 2020, dengan nada krits yang gamblang, Kiyai Agil bicara oligarki. Entahlah. Mungkin sekali tidak. Tetapi apapun itu, identifikasi Kiyai atas efek oligarki, cukup meyakinkan. Cukup jelas memperlihatkan tabiat entitas berjumlah terbatas ini. Sekarang, kata Kiyai Said ”yang korupsinya triliunan tenang-tenang saja.” Mengapa? Sistem negara sekarang berjalan dengan oligarki. Ini negara dikuasai orang punya duit, atau didukung oleh yang punya duit. Pak Jokowi tidak punya duit. Pak Jokowi tidak punya partai, tetapi didukung oleh yang punya duit dan punya partai (Era Muslim, 28/12/19). Oligarchy (orang kaya) yang berkuasa (oligarki) memiliki bawaan alamiah. Sedari awal, adanya dalam sejarahnya yang panjang, tak mudah dikendalikan. Sedari zaman Yunani kuno, oligarch identik dengan kekayaan, penguasaan tanpa batas seluruh material ekonomi. Bergerak dari penguasaan satu sumber material ekonomi ke sumber material ekonomi lainnya menjadi napasanya. Penguasaan material ekonomi menjadi sumbu material power. Ini telah umum diidentifikasi sebagai tipikal dasar kelompok kecil ini. Dalam kasus Indonesia, sama dengan Amerika jumlah mereka tidak lebih dari 1%. Mereka dapat disebut dengan kelompok 1%. Studi Oxfam seperti dikutip Dr. Syahganda Nainggolan dalam artikelnya, menemukan kenyataan empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk Indonesia. Pada tahun 2019, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat 0,2% pemilik rekening di bank menguasai 63,8% total simpanan bank, tulis Syahganda lebih labih lanjut. Korporasi di Amerika menjadi entitas politik. Donasinya teridentifikasi menjadi instrumen relative utama mengendalikan kebijakan. Capres dan calon legislator teridentifikasi sebagai dua sasaran bergengsi yang didonasi. Tahun 2014 misalnya Liz Kennedy mengidentifikasi, kelompok ini uang sebesar U$ 1,1 miliar dollar kepada kandidat dan komite. Jumlah ini lebih besar dari pengeluaran kelompok buruh. Kelompok buruh hanya bisa begerak hingga angka U$215 juta dollar. Pada tahun yang sama Political Action Committee (PAC’S) yang berafiliasi dengan kelompok bisnis mengeluarkan sekitar U$ 380 juta dollar pada pemilihan federal. Lebih besar dari pengeluaran PAC’s yang berafiliasi dengan kelompok pekerja. Jumlah pengeluaran kelompok terakhir ini hanya sebesar U$ 60 juta dollar. Pada tahun 2016 Liz memperkirakan jumlah uang yang dikeluarkan kelompok bisnis lebih besar, yaitu U$ 1 dollar dari setiap U$ 8 dollar yang dikirimkan ke PACs berasal dari korporasi. Pada pemilihan tahun 2016 super PACs mengeluarkan uang sebesar $1,8 miliar dollar. Ada dampaknya? Michael Fowler disisi lain menulis dua bulan setelah menduduki jabatannya, Trump membolehkan Keystone XL oil pipeline kembali beroperasi. Padahal proyek ini dihentikan pengerjaannya oleh Barack Obama, Presiden pendahulunya. Fowler dan kawan-kawan menulis lebih lanjut di campaign donation impact Trumph decision? Hingga kampanye presiden tahun itu, tulis Jork Spenkuchk, asisten profesor menejemen ekonomi dan ilmu pembuatan keputusan pada Kellog Scholl, yang dikutip Fowler dan kawan-kawan, sektor energi memberi donasi sebesar satu juta dollar kepada kampanye Trump. Jork menulis lebih lanjut, setelah menduduki jabatannya, muncul spekulasi tentang balas budi, quid pro quo terhadap mereka. Bernada mirip, Liz menyatakan hukum tak bakal handal menghentikan pengaruh korporasi dalam politik Amerika. Menariknya sebagian teoritikus, ambil misalnya Milton Friedman, ekonom andal ini, menolak tesis pengaruh korporasi melalui donasi. Korporasi, katanya hanya berurusan dengan keuntungan. Bisnis, katanya, ya bisnis. Itulah mereka. Bagaimana dengan Indonesia? Ini menjadi soal tergelap dalam seluruh atmosfir politik dan hukum. Relatif sama dengan Jerman, juga India untuk kasus tertentu. Selalu begitu urusan politik dalam demokrasi. Gelap, dan sering tak dimasalahkan. Ini berkas bagi koprporasi, yang dimanapun selalu lebih cerdas dalam melangkah. Korporasi tahu soal hukum dan konteks bisnis. Bagi kelompok ini bisnis, tidak bisa dilepaskan dari hukum. Mereka tahu, hukum bukan moral, bukan juga etika, yang menjadi sumber hak dan wewenang. Dalam hukumlah semua hak memasuki penguasaan material ekonomi dan politik didefenisikan. Apa yang diklakukan korporasid engan tesis itu? Kuasailah hukum, maka hak dan wewenang berada dalam genggaman dan jangkaun pengendalian mereka. Tahun 1868, tulis John Coleman dalam Invisible Hand, blok ini berhasil menempatkan Salmon P. Chase, di Mahkamah Agung. Segera setelah itu, Dia dengan statusnya memimpin sidang impeachment terhadap Andrew Johnson. Tahun 1912 kelompok ini berhasil menggolkan The Federal Reserve Act. Berharap Pada NU Oligark Indonesia telah muncul jauh sebelum UUD 1945 diubah pada tahun 1999-2002. Mereka tumbuh di sepanjang rute otokrasi Indonesia. Hebatnya di rute demokrasi yang tercipta setelah pasal-pasal UUD 1945 diubah atau dirumuskan ulang, mereka tetap terus tumbuh dan bergerak masuk ke dalam politik. Pada level yang bisa diperdebatkan, konstitusi terlihat menjadi “piagam atas hak usaha” kelompok ini. Pasal 33 UUD 1945 misalnya memiliki kualifikasi itu. Konsep “efisiensi berkeadilan” lebih dari cukup menjadi benteng utamanya. Praktis konstitusi membawa mereka ke semua sudut material ekonomi dengan cara yang terlihat sah. Betul, pasal 33 UUD 1945 ini dipakai Mahkamah Konstitui memukul telak UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Migas, UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, dan UU Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan. Tetapi apa sesudahnya? Tatanan praktis politik ekonomi tidak berubah secara fundamental. Tatanan praktis hukum konstitusi Indonesia, tidak pernah cukup jauh bergeser dari perpektif kapitalisme dan liberalisme. Perspekfif kapitalistik khas UU yang dibatalkan di atas, kembali tertanam dalam, dan cukup jelas pada RUU Pertanahan. RUU ini tenggelam di laut politik pergolakan “mengerikan” mahasiswa akhir September 2019 lalu. Sama dengan hukum pemilu Amerika, hukum pemilu Indonesia juga membenarkan donasi. Dalam hukum Amerika, donasi korporasi dikerangkakan secara hukum pada hak memilih. Perspektif ini didukung Mahkamah Agung. Dukungan itu terlihat pada putusan mereka pada kasus Citizen United v. FEC. Entah menjadi proxy corporation, kelak Citizen United mempersoalkannya ke Mahkamah Agung dan MA pun berubah pikiran. MA berpendapat pemerintah tidak bisa membatasi politik suara, sebagai basis suara politik korporasi. Hukum-hukum konstitusi jenis itu, suka atau tidak, menjadi sumbu ketidakseimbangan, inequality dalam tatanan politik dan ekonomi. Struktur pembuatan kebijakan sejauh ini bertipe oligarkis. Akibatnya jelas dalam semua hal. Korporasi menjadi, kalau tak mendefenisikan pembuatan kebijakan, politik, ekonomi dan hukum, selalu terdepan dalam mendapat manfaat kebijakan itu. Posisi terdepan korporasi, sampai kapanpun tak dapat digantikan oleh rakyat, pemilih kebanyakan. Orang kebanyakan sampai kapanpun, tidak dapat menanjak masuk ke struktur oligarkis pembuatan keputusan. Tidak bakal. Selamanya pemilih pas-pasan berada di pinggiran politik donasi. Mereka jelas tertakdir secara konstitusional sebagai sekumpulan orang berdaulat yang merana dalam kebingungan. Begitulah demokrasi konstitusional bekerja di negeri sumber material ekonomi melimpah ini. Demokrasi dan konstitusi tidak lebih dari sekadar “senjata angin” yang hanya bisa menggertak burung pipit. Tidak lebih. Hukum dan demokrasi malah jadi “benteng” ternyaman korporasi di negeri ini. Menangkap angin jauh lebih mungkin daripada meminta korporasi berhenti memperluas jangkauan cengkeraman sumber material ekonomi. Mengapa? Hukum dan demokrasi terlanjur jatuh ke dalam kubangan perspektif kapitalisme dan liberalisme. Hukum dan demokrasi tipe ini mengabdi pada korporasi. Bisakah dilunakan? Mungkin sekali. NU mungkin bisa menyajikan jalan keluarnya. *Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Militanisme Islam dan Laut China Selatan

By Dr. Syahganda Nainggolan* Jakarta, FNN - Abubakar Ba'asyir (ABB) sekarat diusia tuanya di dalam penjara Gunung Sindur, Bogor. Kalau dia wafat, maka stempel teroris melekat pada dirinya. Teroris adalah gelar penjahat kemanusian besar yang dipercaya masyarakat kita. Aktifitas teror yang dikaitkan dilakukan ABB, sebagai pemberi pengaruh, adalah membom beberapa kafe di Bali, 2002. Bos yang menyebabkan ratusan warga Australia meninggal dunia. Ada beberapa warga asing lainnya yang menjadi korban bom Bali. Pada tahun 2002 yang berkuasa di Indonesia adalah rezim "NKRI Harga Mati". Pada kurun waktu itu Australia disinyalir terlibat untuk membantu pemisahan Papua dari "NKRI Harga Mati" tersebut. Sebelumnya kita ketahui bahwa Australia dan barat terlibat dalam pemisahan Timor Timur dari wilayah “NKRI Harga Mati”. Mungkin kurun waktu yang bersamaan hanya membantu kita menganalisa. Bukan sebuah sebab akibat alias hanya "Coincidence". Fakta berikutnya, dalam masa itu, adalah Australia dan barat berhenti membantu gerakan Papua Merdeka. Malah Australia mulai mensponsori unit anti terorisme di pemerintahan dan mendorong kelompok-kelonmpok Islam moderat berbicara tentang deradikalisasi. Sebagian orang percaya, ABB telah menyelamatkan Indonesia dari intervensi Australia untuk memisahkan Papua. Sebagian lagi tentu mengutuknya sebagai teroris. Tunggang menunggangi dalam politik adalah hal yang lumrah saja. ISIS adalah kelempok perlawanan di Syiria yang beroposisi terhadap Bashar Al Assad, Presiden Syiria. Amerika mensponsori ISIS menjadi sebuah kelompok berskala besar, khususnya merujuk Trump, selama kepemimpinan Presiden Obama. Trump kemudian berjanji dalam kampanyenya untuk jadi Presiden 2016, akan menghancurkan ISIS. Selama kepemimpinan Trump, ISIS dihancurkan di mana-mana. Namun, menariknya saat ini Trump membunuh Qosim Solaemani, jenderal terkemuka di Iran, ketika dia ada di Iraq. Trump mengatakan bahwa Solaemani adalah sosok berbahaya yang akan menjadikan Iraq dan Timur Tengah menjadi tidak stabil. Tindakan Trump ini mendapat kecaman dari PBB, Partai Demokrat USA dan tentunya Iran sendiri, serta Bashar Al Assad (Syiria) dan sekutu mereka. Apakah nantinya Presiden Trump akan merangkul kembali ISIS? Ini pertanyaan penting ke depan. Berbeda dengan di Timur Tengah, di Asia Tenggara, Amerika mencari sekutu untuk menghancurkan kekuatan China di Laut China Selatan (LCS). Beberapa tahun lalu, sekutu Amerika, Jepang, menawarkan seluruh pembiayaan perang terhadap China kepada Presiden Philipina, Rodrigo Duterte. Saat ini Amerika juga sedang bekerja keras mencari sekutu di Indonesia untuk menghadapi China, khususnya dalam khasus Uighur, sebagai pintu masuk. Dalam peta lama, Indonesia adalah sekutu Amerika bersama antara lain Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Thailand, serta tentunya Jepang, Taiwan, Hongkong dan Korea Selatan. Namun, pergeseran sekutu berubah di Indonesia. Perubahan itu terutama sejak Jokowi dan Luhut Binsar Panjaitan, membangun hubungan lebih intensif pada RRC, ketimbang USA. Namun, persekutuan dengan RRC saat ini terbentur dengan dua isu besar di Indonesia, yang akan mengalami tarik menarik sangat kuat dan keras. Isu pertama adalah soal muslim Uighurs. Setengah dunia, sedikitnya, menyatakan bahwa China telah melakukan genocide atau pembantaian etnis kepada bangsa Uighurs di China. Isu krusial kedua adalah soal agresi China yang berambisi menguasai perairan Indonesia di Laut China Selatan(LCS), khususnya laut Natuna. Untuk yang terakhir ini, Cina secara resmi sudah menyatakan melalui kementerian luar negeri RRC bahwa perairan Natuna adalah milik mereka. Pada kedua isu ini, Islam dan militansinya dapat mempunyai kesamaan dengan kepentingan Amerika dan sekutunya. Pada tahun 2002, kelompok-kelompok yang pro kepada ABB mempunyai kesamaan cinta NKRI dengan rezim Jokowi berkuasa saat itu. Namun, rezim sekarang yang cenderung terikat dengan "kebaikan" China, sehingga akan sulit melawan klaim RRC atas tanah air Indonesia tersebut. Kaum Islam Militan Membela tanah air dan membela Islam di seluruh dunia adalah doktrin kelompok-kelompok Islam militan. Terkait dengan isu Uighurs dan LCS, kelompok-kelompok ini tidak punya pilihan lain kecuali mencari sekutu yang sama kepentingannya. Dalam konteks NKRI, TNI sudah menunjukkan gerakan mempertahankan kedaulatan, meskipun Prabowo, Menteri Pertahanan, Luhut Panjaitan, Menko Maritim dan Presiden masih perlu berdiskusi dan berdebat apakah diplomasi atau melawan? TNI, sebagai organ negara, tentu saja pada akhirnya dibatasi oleh politik diplomasi pemerintah. Sehingga gerakan TNI yang awalnya keras merespon, dapat melunak nantinya. Kelompok dunia internasional yang mempunyai kesamaan melawan RRC dalam kasus LCS adalah Amerika, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Philippines, Brunei, dan Vientnam. Persengketaan ini sudah dibawa ke PBB (UNclos), dan klaim RRC dinyatakan tidak benar. Klaim sejarah "Nine Dash Line" LCS milik mereka. Tentu saja Amerika dan negara lainnya akan ikut mempengaruhi situasi Indonesia ini. Sejarah keterlibatan kelompok Islam militan dalam perang berskala internasional telah terjadi di masa lalu. Terutama ketika pemuda-pemuda dan pelajar Indonesia direkrut berperang di Afganistan melawan pemerintah boneka Najibullah, yang didukung Uni Sovyet. Kala itu Suharto yang pro Amerika dan Mahathir Mohammad/Anwar Ibrahim, menjadi bagian penting mengirim mereka sebagai milisi. Dalam skala lokal, kelompok-kelompok milisi Islam ini sering juga diajak melawan gerakan separatisme. Jika rezim Jokowi bersandar pada politik diplomasi untuk kasus LCS, maka kelompok-kelompok Islam militan akan muncul dengan subur. Kenapa? Karena pada akhirnya sikap lembek rezim Jokowi terhadap intervensi asing akan menggerus kepercayaan masyarakat pada rezim ini. Dan sebaliknya akan melihat pada kelompok-kelompok Islam militan sebagai penyelamat tanah air. Penutup Untuk kasus Laut China Selatan, di mana pemerintah resmi RRC mengklaim wilayah Natuna sebagai wilayah mereka, telah memanaskan situasi dalam negeri. Rezim Jokowi kelihatannya berupaya dengan cara-cara bersahabat dan diplomasi untuk merespon soal ini. Rakyat Indonesia terlihat tidak begitu senang dengan cara "soft" tersebut, karena rakyat Indonesia sangat sensitif atas isu kedaulatan. Bupati Natuna sudah menyatakan siap membangun milisi rakyat dalam mempertahankan setiap jengkal tanah dan perairan kita di sana. Kenyataan ini membuat umat Islam Indonesia, khususnya kelompok-kelompok militan, tentu sejak awal siap berjihad mempertahankan NKRI, apalagi menghadapi RRC yang dianggap melakukan pembasmian etnis Uighurs yang beragama Islam di sana. Dalam konstalasi politik global, dimana pertarungan antara RRC melawan Amerika dan Barat, serta sekutu-sekutunya di wilayah sekitar LCS, akan membuat kompleksitas dan komplikasi persoalan intervensi RRC ke Indonesia membesar. Karena sejarah telah membuktikan bahwa kepentingan yang terbelah pada masyarakat kita, dapat dimanfaatkan kelompok-kelompok kepentingan internasional untuk bekerjasama. Dan sekali lagi, politik adalah peristiwa tunggang menunggangi. Dan saling memanfaatkan. Untuk membuat koridor politik nasionalisme dan patriotisme yang benar dan terukur, pemerintah dan kekuatan-kekuatan Islam harus duduk bersama, agar kepentingan nasional diletakan di atas kepentingan kelompok. Kecurigaan kelompok-kelompok Islam atas pesanan RRC tentang isu radikalisme, misalnya, harus dikaji ulang untuk membuat suasana polarisasi diantara sesama anak bangsa berkurang. Jika persekutuan Amerika dan kelompok-kelompok Islam militan, yang akan terjadi, di satu sisi, serta persekutuan Jokowi Luhut, Prabowo dengan RRC di sisi lain, akan menjadi besar dalam merespon isu Laut China Selatan, maka Indonesia kemungkinan akan mengalami keterbelahan besar nantinya. Mungkin kita harus berpikir keras, dan berikhtiar untuk menyelamatkan bangsa kita, tanpa perlu "berterima kasih" kepada bangsa lain tentunya. *Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle