Pandemi Korona dan Ancaman Pengangguran
By MH. Said Abdullah
Jakarta FNN – Selasa (14/04). Awal Maret 2020 lalu, untuk pertama kali Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien covid 19 di Indonesia. Secara perlahan, grafik penderita covid 19 beranjak naik. Kini telah lebih sebulan, sudah mencapai 4.500 orang lebih penderita covid 19 di seluruh Indonesia.
Kita tidak mengetahui akan sampai kapan pandemi ini akan berakhir. Pada skala global, angkanya menunjukkan tren kenaikan dengan cepat. Indonesia, oleh banyak ahli juga diyakini belum mencapai puncak grafik tertinggi jumlah penderita covid 19.
Ketidakpastian waktu berakhirnya pandemi korona ini berkonsekuensi terhadap banyak hal pada kehidupan sosial ekonomi kita. Satu dari sekian deret masalah yang terprediksikan bakal menjadi urusan kita, terutama pemerintah adalah bertambahnya pengangguran dan kemiskinan. Itu pasti terjadi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2019 sebesar 5,28% atau mencapai 7,05 juta orang. Angka pengangguran tersebut naik secara jumlah dibandingkan Agustus 2018 sebesar 7 juta orang. Namun turun secara persentase dari sebesar 5,34%.
Besar kemungkinan pada 2020 jumlah pengangguran naik akibat slowing downnya ekonomi kita. Data Kementrian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang telah dirilis per 7 April 2020 menunjukkan, sektor formal dari 74.430 perusahaan dengan total pekerja 1.200.031 telah terdampak pandemi ini.
Rianciannya, sebanyak 873.090 pekerja dari 17.224 perusahaan pekerja formal dirumahkan. Selian itu, sebanyak 137.489 buruh dari 22.753 perusahaan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sementara di sektor informal, sebanyak 189.452 pekerja dari 34.453 perusahaan terkena dampak corona. Artinya, sebanyak 263.882 usaha telah terdampak pandemi korona.
Dari data BPS, piramida usaha tahun 2019 menunjukkan, kelompok usaha besar sebanyak 5.460 unit. Sedangkan kelompok usaha menengah 58.627 unit. Kelompok usaha kecil 757.090 unit, dan kelompok usaha mikro sebanyak 62,1 juta unit.
Dengan demikian, jumlah total usaha di Indonesia sebanyak 62,92 juta unit usaha. Jika mengacu data Kemenaker per 7 April 2020 di atas, maka diperkirakan sebanyak 0,4% unit usaha dengan berbagai skala telah terkena dampak dari pandemi korona.
Perhitungan ini kemungkinan besar tak merangkum sektor sektor informal yang skala rumahan sebagai unit usaha. Selain itu, jasa mikro yang tidak terdata di kementrian maupun pemerintah daerah, seperti pedagang keliling dan tukang ojek. Juga buruh srabutan seiring dengan makin banyaknya daerah yang ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan program social distancing di seluruh Indonesia.
Jika secara eksponensial penderita covid 19 terus bertambah. Grafiknya juga tidak menujukkan turun secara konstan, maka implikasi terhadap kelompok usaha dengan berbagai skala juga akan makin banyak terkena dampaknya. Mulai merumahkan karyawan hingga PHK. Dua-duanya secara ekonomi makin costly. Apalagi secara kemanusiaan.
Membendung Pengangguran
Di luar program penanganan langsung penderita covid 19, pemerintah telah menggulirkan berbagai program jaring pengaman social. Misalnya, stimulus ekonomi sebagai upaya maksimal untuk mengatasi dampak sosial-ekonomi pandemi covid 19. Setidaknya ada tujuh program yang digulirkan pemerintah untuk menambal dampak sosial akibat covid 19.
Tujuh program pemerintajh itu diantaranya, Program Keluarga Harapan (PKH), Padat Karya Tunai (PKT), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, Subsidi Listrik Untuk Golongan Tertentu, dan Bantuan Sosial Khusus Wilayah Jabodetabek. Anggaran yang dialokasi pada APBN 2020 terhadap ketujuh program tersebut sebesar Rp. 110 triliun.
Untuk kebijakan stimulus ekonomi, pemerintah telah menggulirkan bauran kebijakan fiskal, dan moneter. Mulai dari penurunan suku bunga BI Rate, menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah dan valuta asing di bank umum. Selain itu, memperluas underlying transaksi bagi investor asing untuk lindung nilai bagi kepemilikan rupiah mereka.
Pada sisi fiskal, pemerintah telah memberikan pembebasan pajak restoran dan hotel di 10 destinasi wisata andalan. Pembebasan pajak penghasilan (PPh) 21 untuk pekerja. penundaan PPh pasal 22 untuk impor, pengurangan PPh pasal 25 untuk badan menjadi 22% pada tahun 2020 dan 2021 dan 20% pada tahun 2022. Juga restitusi PPN selama 6 bulan, dan stimulus kredit untuk plafon maksimal Rp. 10 miliar.
Untuk menjalankan kebijakan dan program stimulus ekonomi di atas, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp. 70,1 triliun untuk kredit usaha rakyat, dan 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional. Apakah program ini akan efektif membendung pengangguran dan memulihkan ekonomi nasional?
Saya berkeyakinan program ini akan menjadi obat bagi masalah-masalah sosial-ekonomi yang timbul akibat pandemi korona. Namun ada syarat untuk menjadikan program ini efektif. Pertama, dilandaskan pada data sosial yang akurat, tata kelola yang baik, dan monev yang memadai.
Kedua, program ini ada daluarsanya. Estimasi saya, program ini akan efektif maksimal hanya 6 bulan. Itupun dengan asumsi grafik penderita covid 19 tidak makin menjulang tinggi.
Bila syarat-syarat di atas obyektifnya tidak terpenuhi, maka program sosial dan stimulus ekonomi menjadi tidak optimal. Sebab itu, tiap bulan pemerintah harus memiliki hasil monitoring dan evaluasi (monev) atas pelaksanaan program program tersebut.
Kita tidak sedang berfikir rutinitas. Dibutuhkan ekstra effort untuk menjalankan program tersebut. Oleh sebab itu, semua pihak yang gterlibat jangan main-main. Kita tidak punya banyak “amunuisi” anggaran. Apalagi bantalannya hanya bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN).
Saya berharap, setidaknya awal Mei 2020 kita sudah memiliki hasil monev atas pelaksanaan program jaring pengaman sosial dan stimulus ekonomi. Bila kenyataanya tidak menjawab atas postur masalah yang ada, maka martabat pemerintah tidak akan turun. Malah akan dapat apresiasi publik bila bertindak cepat merevisi kebijakan tersebut. Saya yakinkan, Badan Anggaran DPR sepenuhnya akan memberi dukungan dalam upaya pemerintah memberikan yang terbaik untuk rakyat.
Terakhir, bila memang pandemi ini berskala waktu lama. Artinya, kita semua, terutama pemerintah harus siap “main panjang”. Karenanya, pemerintah harus punya worst scenario soal ini dengan mempertimbangkan jumlah penderita covid 19 per periode waktu tertentu, dan strategi yang akurat untuk mengatasi dampak sosial-ekonominya.
Jika menilik kebijakan ekonomi terutama pajak, dan postur APBN, sebenarnya pemerintah sudah mengarah pada pelambatan ekonomi hingga 2022. Tetapi saya tidak melihat desain program jaring pengaman sosialnya siap “main panjang”. Setidaknya jika dihadapkan potensi eskalasi kasusnya.
Karenanya, libatkan banyak pihak yang kompeten untuk mendesain program program tersebut. Kita butuh strategi kreatif, partisipatif, breakthrough yang cepat serta antisipatif. Sebab bila kasus ini makin eskalatif, saya yakinkan, pemerintah sendirian saja tidak akan sanggup. Kita butuh melewati fase ini dengan kebersamaan yang total. Saling mempercayai dan gotong royong.
Penulis adalah Ketua Badan Anggaran DPR RI