OPINI

Logika Bingung Partai Banteng, Sampai Sprinlidik Bocor?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Presiden PDIP. Ketua DPR-RI PDIP. Menkumham PDIP. Jaksa Agung PDIP. MenPANRB PDIP. Mensekab PDIP. Motor RUU KPK PDIP. PDIP: Kami Korban Pemerasan Oknum-Oknum Berkuasa. Yang Berkuasa PDIP! Jadi, Oknum PDIP Peras PDIP! Bingung kan jadinya? Apalagi, ternyata politisi PDIP sampai bisa “pegang” Sprinlidik KPK dalam kasus mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang diduga terima suap dari politisi PDIP Harun Masiku yang hingga kini dinyatakan “buron” oleh pihak KPK. Bahkan, KPK memeringatkan mereka yang turut menyembunyikan atau membantu pelarian tersangka kasus suap penetapan PAW anggota DPR RI Fraksi PDIP Harun Masiku. Peringatan ini disampaikan Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri Menurutnya, mereka yang turut menyembunyikan Harun Masiku bisa dijerat Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Sangat memungkinkan (diterapkan Pasal 21). Ancaman hukumannya 3 sampai 12 tahun penjara atau denda Rp 150 juta dan maksimal Rp 600 juta,” kata Fikri di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (20/1/2020). Fikri memastikan, KPK tak akan menoleransi pihak-pihak yang melindungi pelaku kejahatan korupsi. Menurut Fikri, KPK sangat membutuhkan keterangan Harun untuk pengembangan kasus suap yang melibatkan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Fikri meminta tersangka Harun Masiku juga koorporatif karena nanti akan menjadi bahan pertimbangan meringankan hukuman. “Siapa pun yang tak kooperatif akan dipertimbangkan menjadi alasan yang memberatkan,” tegas Fikri. Ketua KPK Firly Bahuri mengimbau Harun Masuki agar segera menyerahkan diri. Baik itu kepada KPK maupun kepolisian. “Saya imbau HM di mana pun Anda berada, silakan Anda bekerja sama dan kooperatif,” katanya. “Apakah dalam bentuk menyerahkan diri ke penyidik KPK maupun pejabat kepolisian,” ujar Firly Bahuri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (20/1/2020). Pihaknya juga bekerja sama bersinergi dengan aparat kepolisian. “Itu sudah kami buat suratnya permohonan permintaan pencarian dan penangkapan lengkap dengan identitas yang bersangkutan,” ungkap Firly Bahuri. Sekarang ini KPK harus bekerja keras untuk menangkap Harun Masiku! Mengapa? Harun Masiku adalah “kunci padora” yang bakal membuka siapa saja yang terlibat dalam upaya suap Wahyu Setiawan. Apalagi, belakangan PDIP memastikan, pihaknya telah menjadi korban pemerasan oknum-oknum tak bertanggung jawab. Seperti dilansir JPNN.com, Kamis (16 Januari 2020 – 06:00 WIB), Tim Pengacara DPP PDIP menyebut bahwa konstruksi hukum yang terjadi (dalam kasus itu) sebenarnya adalah perkara penipuan dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu. Demikian kata Koordinator Tim Pengacara DPP PDIP Teguh Samudra dalam konferensi pers di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020). Menurutnya, DPP PDIP tak meminta KPU untuk melakukan PAW Nazarudin Kiemas ke Harun Masiku. Namun, yang dilakukan oleh DPP PDIP adalah mengajukan penetapan calon terpilih setelah wafatnya caleg Nazaruddin Kiemas. Dalam mengajukan permohonan penetapan itu, partainya mengacu pada Putusan MA. Dalam putusan MA itu menyebut, permohonan penetapan bisa dilakukan oleh partai politik. “Persoalan sederhana sebagai bagian dari kedaulatan Parpol,” katanya. Teguh menceritakan kronologis bagaimana PDIP meski memiliki kewenangan dalam menentukan anggota DPR, tetapi menempuh jalur hukum. Awalnya, MA mengabulkan permohonan PDIP untuk menentukan pengganti Nazarudin Kiemas. Namun setelah putusan itu diberikan kepada KPU, lembaga penyelenggara pemilu menafsirkan lain sehingga menolak petunjuk MA itu. Karena ditolak KPU, partainya meminta MA untuk mengeluarkan fatwa memperjelas makna sebenarnyas secara hukum yuridis. Saat putusan itu keluar dan diteruskan ke KPU, lagi-lagi lembaga yang dipimpin Arief Budiman menolaknya. Menurut Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, partai politik sebenarnya punya kedaulatan politik menentukan penetapan calon terpilih. Bahkan, DPP PDIP juga telah mengantongi perintah dari MA untuk menjalankan penunjukan Harun Masiku mengisi kekosongan kursi Nazarudin Kiemas. “Penetapan anggota legislatif terpilih, di mana kursi itu adalah kursi milik partai, maka kami telah menetapkan berdasarkan putusan MA tersebut bahwa calon terpilih itu adalah Saudara Harus Masiku. Hanya saja ini tidak dijalankan oleh KPU,” kata Hasto. Hasto mengingatkan KPU punya kekuasaan yang sangat besar dalam menentukan siapa yang bisa duduk sebagai anggota dewan. Tapi, ia melihat ada oknum-oknum yang menggunakan kekuasaan itu. Karenanya, Hasto mendorong KPK untuk memproses hal tersebut. “Bahwa KPU secara kolektif kolegial sejak awal telah mengambil keputusan untuk menolak permohonan resmi dari DPP Partai. Namun kemudian, ada pihak-pihak tertentu menawarkan upaya-upaya dan itu di luar sepengetahuan partai,” kata Hasto. PDIP Sakti? Sangat ironis sekali jika Hasto Kristiyanto melihat ada oknum-oknum yang menggunakan kekuasaan, karena, seperti kata Teguh Samudera, sebenarnya adalah perkara penipuan dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu. Siapa “oknum tertentu” itu? Apakah PDIP lupa bahwa Presiden RI itu PDIP. Ketua DPR-RI PDIP. Menkumham PDIP. Jaksa Agung PDIP. MenPANRB PDIP. Mensekab PDIP. Motor RUU KPK PDIP. Ingat, yang berkuasa ya PDIP! Jadi, Oknum PDIP Peras PDIP?! Itu sama halnya Hasto mengatakan, Presiden Joko Widodo sebagai oknum yang memeras PDIP! Karena, KPU maupun KPK berada di bawah Presiden. Hasto saharusnya hati-hati dalam berucap! Pakailah logika! Jangan asal cuap! Ucapan Hasto seperti itu berpotensi memecah-belah PDIP sendiri. Dan, ini sangat berbahaya ketika ucapan Hasto dibawa ke rana hukum. Tapi, pejabat partai semacam Hasto koq masih dipertahankan di PDIP? Seorang teman berkelakar, PDIP itu “sakti”. Makanya, sulit menyentuh Hasto. Termasuk saat politisi PDIP Masinton Pasaribu sampai bisa tahu Sprinlidik KPK atas Wahyu Setiawan yang diduga terlibat suap PAW dari politisi PDIP Harun Masiku itu. “PDIP punya tuyul di KPK, Mas!” tegas teman tadi. Wow, makanya Masinton bisa tahu ada agenda penggeledahan Kantor PDIP di mana Hasto berkantor juga di sana. Meski kasus ini sudah berlanjut ke tahap penyelidikan tak semestinya Masinton bisa dapat. Jangankan Masinton, staf KPK pun bisa dipastikan tidak tahu menahu soal isi Sprinlidik yang ditandatangani oleh Ketua KPK periode 2016-2019 Agus Rahardjo. Ketika itu Masinton sedang membahas ada tidaknya sprint untuk penyelidik yang ingin menyegel ruangan di DPP PDIP. Di sini tampak adanya orang dalam (Internal KPK) yang memberikan surat tersebut kepada PDIP sebelum KPK datang untuk menggeledah kantor yang berada di kawasan Menteng itu. Tak wajar jika PDIP sudah mengetahui isi atau substansi yang akan dilakukan KPK. Tapi, karena ingin membuktikan kepada publik, sang politisi keceplosan mengungkap isi dari Sprinlidik tersebut. Padahal, pihak KPK membantah kalau memberikan surat tersebut kepada pihak yang tidak berkepentingan. Artinya, Masinton dalam hal ini mengatasnamakan PDIP telah dibantu oleh orang internal di KPK bernama Novel Yudi Harahap. Namun anehnya, nama yang disebut Masinton tidak ada dalam manivest data pegawai di KPK. Hal ini terkuak setelah media massa mencoba mengklarifikasi terkait nama yang disebut Mansinton kepada Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap. Masinton menjelaskan asal-usul surat itu sampai ke tangannya. Ia mengklaim mendapatkan surat itu pada Selasa, 14 Januari sekitar pukul 14.00 dari seseorang yang mendatanginya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. Artinya, surat itu didapat Masinton beberapa jam sebelum tampil di ILC. Ini bermula ketika Masinton mengacungkan Sprinlidik kasus Wahyu Setiawan dalam acara ILC, Selasa malam, 14 Januari 2020 lalu mengindikasikan PDIP “dekat” dengan KPK. Jadi, tak salah kalau teman saya tadi bilang, PDIP punya tuyul di KPK! Makanya, Sprinlidik pun bisa bocor sampai ke Masinton. Penulis wartawan senior.

Sinyal Jokowi ke Sandi, Misi Politik Pecah-belah?

By Mochamad Toha Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo mendukung Sandiaga Salahuddin Uno untuk maju Pilpres 2024 nanti? Jika menyimak sambutannya dalam acara pelantikan pengurus HIPMI periode 2019-2022, Presiden Jokowi telah memberikan sinyalnya untuk Sandi. Di acara yang sama hadir pula Sandi yang juga mantan Ketum dan Senior HIPMI itu. Melihat kehadiran Sandi, Presiden Jokowi yang pernah bersaing saat Pilpres 2019 lalu menyampaikan pesan, “Hati-hati 2024!” Sontak hadirin bertepuk tangan. Lebih lanjut Presiden Jokowi mengatakan, “Tadi kan disampaikan Ketua Dewan Pembina, kalau 2024 nanti kemungkinan yang hadir di sini adalah kandidat yang kemungkinan besar akan menggantikan saya. Dan saya meyakini itu,” ujarnya. Presiden Jokowi memang tidak menyebut nama Sandi, tapi dengan kalimat, “bisa saja yang berdiri tadi.” Maksudnya yang berdiri tadi tak lain adalah Sandi. Sinyal yang disampaikan Presiden Jokowi bisa diterjemahkan secara positif atau negatif. Presiden Jokowi pasti sudah punya pertimbangan ketika menyampaikan sinyal dukungannya kepada Sandi itu. Secara positif, tampaknya Jokowi akan lebih nyaman jika yang meneruskan estafet pemerintahannya nanti adalah Sandi, bukan yang lainnya. Termasuk Gubernur DKI Jakarta Anies Bawesdan yang digadang-gadang para pendukungnya belakangan ini. Apalagi, Sandi sendiri itu seorang politisi, elit partai, dan pernah terjun dalam kontestasi Pilpres 2019 lalu bersama Prabowo Subianto. Sinyal Presiden Jokowi ke Sandi ini mengirim pesan kuat bahwa memang hubungan Presiden Jokowi dengan Gubernur Anies bagaikan api dalam sekam. Panas, sulit untuk dipersatukan. Ini terlihat saat Jakarta dilanda banjir, 1 Januari 2020, lalu. Di satu sisi Gubernur Anies dalam menangani banjir yang melanda Jakarta lalu itu, kerapkali merespon langsung Pemerintah Pusat dan Presiden Jokowi secara langsung. Gubernur Anies head to head langsung dengan Presiden Jokowi dan Pemerintah Pusat. Secara fatsoen politik, yang dilakukan Gubernur Anies itu kelihatannya memang tidak elok. Kesannya ia sedang melakukan perlawanan. Apalagi, Presiden Jokowi tak mengundangnya saat Rapat membahas penanganan Banjir Jakarta. Ini menjadi sinyal kepada Gubernur Anies bahwa Presiden Jokowi sudah “tidak butuh” Anies lagi. Jelas, apa yang dilakukan Presiden Jokowi ini bisa dinilai sebagai upaya “pecah-belah” kekuatan politik Anies – Sandi yang pernah bersama kelola Ibukota ini. Perlu dicatat, keduanya pernah pula mengalahkan kekuatan politik lainnya saat Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu yang disokong kekuatan parpol besar, seperti Agus Harimurty Yudhoyono (Partai Demokrat) dan Basuki Tjahaja Purnama (PDIP). Bila Anies-Sandi pecah, tentu saja ada kekuatan politik lainnya yang diuntungkan. Yakni: Demokrat yang sudah menyiapkan AHY atau Andika Perkasa yang kini digadang-gadang oleh “oligarki jenderal” yang selama ini telah menyokong Jokowi. Ada pula, PDIP yang tampaknya juga sedang menyiapkan Puan Maharani yang kini duduk sebagai Ketua DPR RI untuk ikut dalam kontestasi Pilpres 2024. PDIP dan Puan sekarang tinggal mencari pasangannya saja sebagai Cawapres untuk Puan. Sebagai parpol pemenang Pemilu 2019, tentunya PDIP tidak akan mau jika ditempatkan di posisi Cawapres 2024 nanti. PDIP pasti minta jatah Capres! Siapakah yang mau digandeng Puan (PDIP) untuk posisi cawapres? Masih sulit menjawabnya! Sebab, apa yang dirasakan rakyat selama Jokowi yang disokong PDIP menjabat Presiden, banyak kebijakan yang sangat merugikan rakyat. Berbagai kasus korupsi menyeruak dan semakin menggila yang juga melibatkan kader parpol pendukung. Kalaupun PDIP bisa mengajukan capres sendiri meski tanpa dukungan parpol lainnya, toh PDIP tetap butuh cawapres dari parpol lainnya. Persoalannya, apakah parpol tersebut mau ikut mendukung. Dan, siapa figur yang pas untuk Puan tersebut. Rasanya tidak mungkin kalau Ahok yang juga PDIP satu paket bersama Puan. PDIP masih tetap butuh parpol pendukung lainnya dalam kontestasi Pilpres 2024 nanti. Kabarnya, Ahok justru akan dipasangkan dengan AHY atau Andika Perkasa. Konon, Ahok disokong China. Inilah yang membuat “oligarki jenderal” dengan mudah bisa menarik dukungan dari parpol di luar PDIP dan Gerindra. Apalagi, belakangan ini hubungan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto tampak akrab. Jika Anies Baswedan benar-benar “ditinggalkan” Sandi (dan Gerindra), maka peluang Anies ikut kontestasi Pilpres 2024 sedikit “tertutup”, meski mantan Rektor Universitas Paramadina ini sangat berpotensi memenangkan Pilpres 2024 mendatang. Itu jika Anies – Sandi kembali berpasangan pada Pilpres 2024. Mereka berpeluang menang seperti saat Pilkada 2017 yang mengantarkannya menjadi Gubenur – Wakil Gubenur DKI Jakarta. Meski didukung Gerindra dan PKS, mereka bisa menang. Namun, bila dilihat hingga saat ini Gerindra-PKS belum juga sepakat soal wagub pengganti Sandi, maka itu pertanda ada masalah antara Gubernur Anies dengan partai pengusungnya. Pasti kedua parpol itu tidak sreg lagi dengan Gubernur Anies. Sehingga, sekarang ini terkesan, Gubernur Anies terlihat asyik sendiri dibantu dengan timnya untuk meningkatkan popularitas tanpa membawa parpol pengusungnya, Gerindra-PKS dalam berbagai kegiatan. Sepertinya, kedua parpol ini mulai meninggalkannya. Di sisi lain, bisa jadi Gubernur Anies juga kecewa melihat kedua parpol pengusungnya yang sengaja membuatnya “sendirian” dalam mengurus Ibukota. Mengurus Jakarta tanpa bantuan Wagub, meski ada kepala dinas dan TGUP yang membantunya. Meski pilpres masih empat tahun lagi, tapi sebetulnya sudah di depan mata. Kini, apa yang dilakukan Gubernur Anies dan para pendukungnya pun, tak bisa dilepaskan dari kontestasi Pilpres 2024. Tapi, persoalannya, Anies tak punya parpol. Mungkin mereka lupa bahwa peran parpol sangat menentukan, maju atau tidaknya seseorang. Gubernur Anies bisa saja nyapres, bisa juga sebaliknya. Semua tergantung keputusan parpol. Di sini kita bisa baca maksud pernyataan Presiden Jokowi itu. Bagaimanapun juga Sandi memiliki partai, dan elit partai besar. Sementara Gubernur Anies tidak punya partai. Di sinilah kelemahan Anies! Konsekuensinya, dia hanya bisa menunggu lamaran dari berbagai parpol, seperti yang dilakukan NasDem. Manuver yang ditempuh Ketum NasDem Surya Paloh tempo hari itu justru bisa membuat parpol lainnya yang berniat ingin mendukung Anies juga berpikir ulang. Karena, bisa saja, mereka bakal dianggap “mengekor” NasDem. Itulah politik! Akankah Sandi akhirnya juga meninggalkan Anies, sehingga keduanya “berpisah”? Dalam politik itu semuanya bisa terjadi. Meski keduanya memiliki hubungan yang erat, termasuk kedua ibunda masing-masing bersabat sejak usia muda. Jika hal itu terjadi, maka sinyal Presiden Jokowi ke Sandi tersebut sejatinya memang untuk memecah kekuatan di belakang Anies – Sandi selama ini. Karena, kalau keduanya kembali berpasangan, berpotensi menang kontestasi Pilpres 2024. Anies – Sandi yang menjadi representasi dari kekuatan politik Islam dan Nasionalis tersebut merupakan ancaman bagi kekuatan politik “oligarki jenderal” maupun PDIP yang selama ini berada di belakang dan menyokong Presiden Jokowi. Kalau Anies – Sandi pecah, maka akan mudah mengalahkan Sandi (tanpa Anies) tanpa ada kendala yang berarti. AHY atau Andika Perkasa yang disokong “oligarki jenderal” maupun Puan akan muncul sebagai salah satu pemenang Pilpres 2024. Itulah realitas politik terkait kontestasi Pilpres 2024. Peta politik tersebut bisa saja berubah bila ternyata Prabowo Subianto masih ingin maju lagi pada Pilpres 2024. Sementara, Anies masih menunggu tambahan kendaraan, selain NasDem. Manuver NasDem ini sebenarnya serupa saat Surya Paloh melakukan hal yang sama jelang Pilkada Jabar 2017 ketika deklarasi pencalonan Ridwan Kamil untuk maju Pilkada Jabar. Padahal, saat itu Ridwan masih menjabat Walikota Bandung. Tampaknya, NasDem ingin mengulang sukses di Jabar yang berhasil mengantarkan Ridwan Kamil menjadi Gubernur Jabar pada Pilkada Serentak 2017 lalu. Tentu, manuver semacam ini tak mudah diterapkan untuk Pilpres 2024 nanti. Siapapun yang menggandeng Ahok, peluang untuk meraih kemenangan akan semakin jauh, kecuali bermain “uang”. Umat Islam pun akan trauma dengan gaya kepemimpinan Ahok saat memimpin Jakarta. Begitu pula Puan. Siapapun yang digandeng Puan, umat Islam juga masih trauma dengan apa yang dilakukan Presiden Jokowi sebagai “petugas partai” PDIP. Rakyat masih trauma dengan segala kebijakannya yang banyak merugikan rakyat. Rakyat Indonesia kini sedang merindukan pimpinan yang bisa mengayomi dengan kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyat. Itulah yang sedang dicari! Seriuskah ucapan Jokowi? Melansir Kompas.com, Peneliti dan pengamat politik dari CSIS Arya Fernandes menilai, isyarat Presiden Jokowi kepada Sandi sebagai kandidat kuat presiden 2024 itu hanya untuk menyenangkan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu. “Menurut saya itu, kode-kode itu mungkin untuk menyenangkan Pak Sandi saja. Karena kan posisinya ketika itu (acara) HIPMI, dia (Sandiaga) kan mantan Ketua HIPMI,” ujar Arya ketika dihubungi Antara dari Jakarta, Minggu (19/1/2020). Penulis adalah Wartawan Senior

PDIP Bisa Tergiring Menjadi Pabrik Korupsi

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Dulu, Golkar berkuasa begitu kuat dan lama. Partai ini kemudian menjadi mesin korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ini bisa terjadi karena Golkar ada di semua lini kekuasaan. Merekalah yang mengatur semuanya. Selanjutnya, banyak orang Golkar yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Golkar kemudian ambruk. Dilaknat oleh rakyat sebagai partai korup. Dihujat sebagai partai yang dihuni oleh para politisi busuk, rakus, dan licik. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) nyaris membubarkan Golkar. Tapi, itu tak terjadi. Kemudian, Golkar ‘come back’ dan menjadi pemain besar lagi. Sekarang, ada indikasi PDIP akan menempuh rute yang sama seperti yang dijalani Golkar. Partai Banteng kini dililit korupsi. Banyak kadernya yang tersangkut berbagai kasus. Sebetulnya tidak mengherankan. Sebab, PDIP sedang memegang kekuasaan yang sangat besar. Bahkan mungkin lebih besar dari kekuasaan Presiden Jokowi sendiri. Presiden yang disebut oleh Ketum Megawati sebagai “petugas partai”. PDIP menjadi sangat kuat meskipun tidak seperti Golkar tempohari. Kekuasaan politik Banteng yang cukup besar itu membawa kita kembali lagi ke teori kekuasaan absolut yang digambarkan oleh John Emerich Edward Dalberg Acton yang kemudian dikenal dengan Lord Acton (1833-1902). Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut pasti sangat korup. Sebagai partai yang berkuasa, PDIP berurusan dengan banyak hal. Ini yang membuat pintu-pintu korupsi menunggu di depan mereka. Saat ini, banyak gembok korupsi yang sangat menggoda bagi orang-orang PDIP. Bedanya dengan zaman Golkar, hari ini sebagian gembok korupsi itu dipegang juga oleh parpol-parpol lain. Tidak dimonopoli oleh PDIP saja. Kekuasaan PDIP itu tidak hanya besar. Tapi juga luas. Tangan PDIP ada di Eksekutif dan Yudikatif. Apalagi di Legislatif (DPR). Mulai dari penentuan isi kabinet Jokowi sampai pada urusan “calon jadi” untuk jabatan gubernur, bupati, atau walikota. Secara informal, orang-orang PDIP juga ikut mengurus siapa-siapa saja yang akan mengelola puluhan BUMN papan atas. Mengurusi direksi dan komisaris. Boleh jadi sampai level manajer juga. Bahkan, para politisi PDIP bisa menjadi perantara bagi VIP yang ingin bertemu dengan Presiden. Di forum DPR, PDIP juga berperan menggiring persetujuan atau ketuk palu untuk segala macam hal. Itulah hebatnya partai besar yang berkuasa. Dan itu pula keistimewaanya. Pemandangan seperti ini sudah lumrah. Orang-orang PDIP, dalam berbagai kapasitas, pastilah banyak bersentuhan dengan proyek-proyek pemerintah. Baik di pusat, maupun di daerah. Jadi, banyak sekali urusan negara ini yang digenggam PDIP. Banyak pula yang tergantung pada keinginan para petinggi partai. Artinya, boleh jadi ada ribuan ‘deal’ yang harus ditentukan oleh orang-orang kuat partai. Nah, ‘deal’ yang demikian banyak itu akan membuka jalan korupsi. Perlu diingat juga, ‘deal-deal’ itu biasanya dicapai melalui otoritas para pemegang kekuasaan di jajaran eksekutif dan yudikatif. Boleh dikatakan hampir semua memerlukan tangan penguasa. PDIP, sebagai stake-holder terbesar kekuasaan politik (legislatif), sangat berpengaruh atas para penguasa yang memegang otoritas eksekutif dan yudikatif itu. Kekuasaan politik PDIP bisa menentukan cara berbagai lembaga atau instansi negara mengambil keputusan. Terutama lembaga atau instansi yang krusial dari aspek Polhukam dan Ekuin. Lebih khusus lagi lembaga seperti Polri, BIN, KPU, Bawaslu, MK, MA, OJK, BI, PPATK, dlsb. Keinginan orang-orang PDIP kerap menjadi referensi para pejabat pemerintah. Sangat mungkin, banyak urusan yang harus diselesaikan dengan “cara khusus”. Melalui jalan pintas. Yang berarti di luar prosedur. Berbagai macam urusan. Sebagai contoh, termasuklah urusan yang sedang viral hari-hari ini. Yaitu, penggantian antar waktu (PAW) seorang anggota DPRRI dari PDIP. Nazaruddin Kiemas, anggota DPRRI terpilih 2019-2024 dari dapil Sumsel 1, meninggal dunia. Pada 31 Agustus 2019, KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai PAW karena dialah yang berhak sesuai perolehan suara. Tetapi, PDIP ingin agar Harun Masiku sebagai PAW. Di sinilah peluang korupsi terbuka. Komisioner KPU, Wahyu Setiawan (WS), mengisyaratkan bahwa dia bisa membantu agar Harun menggantikan Riezky. Dengan imbalan 900 juta. Akhirnya, WS kena OTT KPK. Diberitakan luas bahwa ‘uang operasional’ itu, diduga kuat, berasal dari pejabat tinggi PDIP, Hasto Kristiyanto. Tapi, Sekjen PDIP ini membantah terlibat sogok-menyogok WS. Jadi, sebagai partai besar yang berkuasa, PDIP sangat rentan terhadap godaan korupsi. Sama seperti Golkar dulu. Kerentanan itu muncul karena ada keperluan pribadi atau keperluan partai. Dan keperluan itu selalu tak mengenal batas. Ini yang menyebabkan PDIP bisa tergiring menjadi pabrik korupsi seperti yang dialami Golkar.[] 20 Januari 2020 Penulis wartawan senior.

Sprin Lidik Bocor Mirip Skandal Watergate

Pembaca yang terhormat. Tulisan dengan judul "SPP Bocor Dan Derita PDI-P" ini sudah dimuat Portal Berita Online fnn.co.id edisi 19 Januari 2020, dengan link berita https://fnn.co.id/7190-2/. Namun entah mengapa, hari ini Senin 20 Januari 2010, sekitar pukul 13.00 WIB, link berita ini hilang atau dihilangkan tanpa sepengetahuan Redaksi dari laman website fnn.co.id. Akibatnya, berita yang ditulis oleh Dr. Margarito Kamis itu tidak lagi dapat diakses oleh pembaca setia fnn.co.id. Banyak pembaca kami yang menelapon untuk menanyakan hilangnya link berita tersebut. Untuk itu, Redaksi memutuskan untuk kembali memberitakan tulisan tersebut dengan judul “Sprin Lidik Bocor Mirip Skandal Watergate”. Atas peristiwa ini, Redaksi fnn.co.id memohon maaf kepada para pembaca. By Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Berita acara mirip asli acap beredar terbatas di media tertentu. Pernyataan resmi KPK akan ada tersangka baru, sudah tertakdir menjadi ciri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK terbingkai dalam cara itu disepanjang kehebatan khas kupu-kupu kertas selama ini. Setiap kali sebuah kasus yang terlihat memiliki bobot politik, cara kotor khas spy itu terjadi. Tipikal spy kotor ini terlihat melilit kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Wahyu Setiawan, Komisioner KPU. Kali ini yang tersaji bukan berita acara. Yang tersaji adalah Purat Perintah Penyelidikan (SPP). Terlepas dari apakah benar atau tidak SPP itu. Asli atau tidak, praktis polanya saja yang bergeser. Bukan media masa terbatas atau media tertentu yang pertama kali mendapatkannya. Tetapi kali ini Pak Masinton Pasaribu, anggota DPR dari PDI-P, yang paling kritis terhadap KPK, yang pertama dikirimkan. Pola bocor-bocoran data dalam penegakan hukum, tipikal kerja spy. Pola kerja seperti ini pernah terjadi secara sistimatis. Dirancang dengan tujuan yang jelas dan pasti dalam kasus Watergate 1972. Dalam kasus ini jelas semua akibatnya. Richard Nixon, Presiden Amerika itu tersudut, terkepung pada semua apeknya. Nixon tidak bisa berkelit dari kasus itu. Akhirnya Nixon diimpeach tahun 1973. Orang Dalam Mark Felt, akan ditunjukan pada uraian selanjutnya adalah figur kunci bocornya sejumlah dokumen dan temuan penyelidikan FBI dalam kasus Watergate. Felt adalah Associate Deputy investigasi FBI. Felt berada dibawah Clyde Tolson, Deputinya. Di atas Tolson ada Edwar J. Hoover sebagai Direktur FBI. Ketika kasus Watergate muncul ke permukaan, bukan Felt, tetapi William Sullivan yang ditugaskan Hover melakukan domestic spying operation. Hover, disini terlihat, entah apa namanya, mungkin “mengintip” atau mungkin juga “tidak sepenuhnya memercayai” Sulivan. Hover, seperti ditulis Felt dalam Memoarnya Hover mengatakan “I need who some one control Sulivan”. Tidak ada yang dapat mengendalikan hari esoknya. Saat tidur malamnya, Hover malah meninggal dunia. Untuk mengisi posisi Direktur FBI yang kosong, Deputinya Clyde Tolson, diangkat memegang Direktur FBI untuk sementara waktu. Yang menarik, Tolson tak lama diposisi tersebut. Sebab L. Patrice Gray segera diangkat Nixon menjadi Direktur FBI juga untuk sementara menggantikan Tolson. Padahal menurut Felt, Gray tidak memiliki pengalaman dibidang ini. Tetapi Nixon memerlukan orang politik di posisi itu. Setelah Gray diangkat menjadi Direktur sementara FBI, William Ruckelhaus tampil menjadi acting Direktur FBI menggantikan Tolson. Tolson langsung mengundurkan diri dari FBI. Dan Felt diangkat mengisi jabatan deputi yang ditinggalkan Tolson. Suasana bergerak terus kearah eksplosif, karena sikap Felt. Mengapa? Begitu Hover meninggal dunia, dan Tolson naik menggantikannya, Hellen Gandy, sekertaris Hover selama lima dekade, membongkar 12 Box berisi file rahasia. Di dalamnya terdapat sejumlah nama yang diinvestigasi Hover. Sebelum diserahkan ke kepala devisi investigasi, file-file tersebut terlebih dahulu singgah ke Felt. Mark Felt akhirnya diperiksa di Komite Inteljen House of Representative. Dia disalahkan karenanya, tetapi Felt membantah tuduhan itu. Menurut Felt, justru dengan terbukanya box dan file-file tersebut, kita dapat mengetahui segala sesuatu yang salah. Bagaimana semua informasi itu bisa sampai ke pers dalam sifatnya yang sangat lengkap? Ternyata Felt yang membocorkan temuan-temuannya tersebut ke dua wartawan Washington Post. Keduanya adalah Bob Woodward dan Karl Benstein. Belakangan diketahui bahwa ternyata Woodward telah berteman dengan Felt, sekitar tahun 1969 atau 1970. Woodward juga diketahui pernah bekerja di Gedung Putih, sebelum akhirnya berhenti dari Gedung Putih, dan bekerja sebagai jurnalis. Kontak Felt dengan Woodward menggunakan kode tertentu. Seperti biasa di dunia spy. Felt meminta Woodward menyamarkan sumber berita. Itu sebabnya Woodward menggunakan “My friend” sebagai sumber beritanya. Apa yang terjadi sesudahnya? Situasi semakin eksplosif, terutama setelah berita Washington Post adisi tanggal 18 Mei 1972. Pada tahap ini Felt memberitahukan Woodward bahwa E. Howard Hunt terlibat dalam kasus ini. Tetapi Gedung Putih melindungi orang ini. Bersama dengan H.R Haldeman, Chief Staff-nya, Nixon menekan FBI untuk mengurangi laju investigasi. Sayangnya tekanan dari Nixon ini tidak berhasil. Felt malah bergerak semakin jauh lagi. Menariknya, di tengah situasi eksplosif yang semakin tinggi ini, Nixon malah hendak mempermanenkan Gray sebagi Direktur FBI yang definitif. Sayangnya, upaya ini tidak berhasil. April 1973 Gray mengundurkan diri sebagai pelaksana tugas Direktur FBI. Yang menarik, Gray malah menominasikan Felt, orang yang dicugai Nixon sebagai informan utama untuk semua berita terkait skandal Watergate di Wahington Post. Untuk itu, Nixon, beralih ke William Ruckelhaus, dan mengangkatnya sebagai acting Direktur FBI. Situasi semakin tak terkendali. Chief staf gedung putih diganti. Alaxanedr Haigh naik ke jabatan ini menggantikan Hadelman. New York Times, yang menyebut Felt “Deep Throat” memberitahukan kepada Chief Staf Gedung Putih bahwa Felt adalah informaan dari semua berita di Washington Post. Ruckelhause menindaklanjuti info itu. Ia memanggil Felt dan menanyakan kebenaran info itu. Felt menyangkal. Tetapi akhir yang pahit telah tiba untuk Felt. Keesokan harinya, persis tanggal 22 Juni 1973, Felt mengundurkan diri dari FBI. Buat Terang Jelas sekali penyelidikan perkara apapun, di negara demokratis, yang mengagungkan rule of law dengan segenap aspek teknisnya sekalipun, sama sekali tidak ditentukan secara determinatif oleh hukum. Aspek-aspek non hukum, khususnya aspek aparatur justru jauh lebih dominan dan menentukan. Aspek non hukum ini, untuk alasan integritas penegakan hukum dalam kasus bocornya SPP, terlepas dari asli atau tidak, harus dibuat jelas. Lika-liku Watergate mengharuskan adanya pertanyaan siapa yang menjadi, meminjam istilah Washington Post sebagai “My Friend” atau “Deep Throat” atau “Control Point”. Soal ini tidak bisa diserahkan jawaban ke rerumputan yang bergoyang. Pimpinan baru KPK, sembari mengenali hari-hari yang telah berlalu, ditemukan fakta empiris sempat diragukan. Penolakan kecil-kecilan terhadap mereka, setidaknya untuk sebagian, begitu terbuka dan meluas. Ini bisa jadi point kecilnya. Nyatanya OTT didasarkan pada SPP yang terlihat telah diterbitkan oleh pimpinan KPK sebelum periode Komisioner yang baru ini. Apa mungkin pimpinan baru sengaja menggunakannya? Bila tidak, siapa yang mengontrol dan memegang wewenang mengendalikan dan mengarahkan kehidupan menejemen tindakan-tindakan hukum di KPK? Mungkinkah pimpinan baru tidak memiliki jangkauan kontrol seluruh tindakan hukum, meliputi penggunaan surat itu? Logiskah meminta pemeriksaan terkordinasi dan mendalam tentang kemungkinan penyakit klik-klikan mewabah di KPK? Tetapi apapun itu, bila pimpinan memegang kontrol penuh, maka siapapun harus berpendapat tindakan OTT dan penggeledahan gagal sepenuhnya berada dalam kendali. Dalam arti diperintahkan dan diarahkan oleh pimpinan KPK. Bila begitu adanya, maka soalnya menjadi sangat sederhana. KPK oke dalam semua aspeknya. Konsekuensinya penggunaan surat itu, plus isu penggeledahan gagal tidak lebih dari sekadar sebagai cara pimpinan baru KPK memanggil kehebohan pertama di tahun 2020 ini. Tidak lebih. Itu juga bernilai tidak ada gelombang panas, apalagi klik-klikan amburadul dan mematikan di KPK. Tetapi hal-hal kecil itu, tidak dapat mengisolasi tuntas kegelisahan beralasan PDI-P yang diekspresikan oleh TIM Hukumnya. Apa rasionya? Faktanya hingga detik ini tidak terjadi penggelendahan, apalagi penyitaan di ruang-ruang, entah ruang siapapun di kantor PDI-P. Padahal telah tersiar luas penyidik KPK mau menggeledah ruangan tertentu di kantor DPP PDI-P. Sampai pada titik ini, yang dialami PDI-P terlihat memiliki kemiripan tipis dengan apa yang dialami Nixon pada skaldal Watergate. Gedung putih dan Nixon tersudut dalam kepungan sistimatis, terencana dan terarah dari Washington Post. Berita-berita Watergate bersumber dari Felt “My Friend” sebutan yang diberikan Woodward, atau “Control Point” dan “Deep Throat” sebutan yang diberikan New York Times. Penggeledahan telah tak terjadi, tetapi berita telah menyebar, dan PDI-P terlihat tersudut, bahkan menderita. Akankah ada orang “anonimus” persis seperti dilakukan New York Times membuka siapa “control point” dalam hiruk-pikuk kotor ini? Derita PDI-P, untuk alasan hukum, harus dianggap rasional. Tetapi terlepas dari derita yang dialami PDI-P, demi kelangsungan integritas penegakan hukum, eloknya, pimpinan KPK harus bicara. Terangilah alam penegakan hukum yang sangat kotor dan amburadul ini dengan kata-kata yang berbasis pada fakta terverikasi dan kredibel. Di ujung sana, Dewas KPK tak hanya bisa berdiam diri dalam menyikapi persoalan ini. Bicaralah secara terbuka wahai Dewas KPK. Bicaralah dengan kejujuran sebagai panduan utamanya. Buatlah semuanya menjadi terang-benderang demi bangsa yang besar ini. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

KPK Ditantang PDIP: Siapa Lindungi Harun Masiku?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Hingga tulisan ini dibuat, Harun Masiku, tersangka politisi PDIP penyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan, belum juga ditemukan keberadaannya. Adakah yang melindungi Harun dari kejaran petugas KPK supaya tidak tertangkap? Benarkah Harun masih di luar negeri sejak Minggu (6/1/2020)? Pejabat Imigrasi, Kepolisian, dan KPK menyebut Harun pergi ke luar negeri dan hingga kini belum kembali juga. Namun, dari investigasi Tempo.co menemukan fakta berbeda. “KPK segera berkoordinasi dengan Polri untuk meminta bantuan Interpol,” ujar Komisioner KPK Nurul Ghufron. “Hingga hari ini belum ada data kembali ke Indonesia,” begitu kata Arvin Gumilang, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM. “Kami akan komunikasikan dengan Singapura bahwa Indonesia mencari seseorang yang sedang ada di negara tersebut,” ungkap Brigadir Jenderal Argo Yuwono, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri. Dalam tulisannya “Raibnya Politikus PDIP Harun Masiku yang Terlibat Suap KPU”, Kamis (16 Januari 2020 17:02 WIB), Tempo menemukan fakta berbeda pada data penerbangan dan penelusuran di kampung halaman politisi PDIP itu. 11.30 WIB, 6 Januari 2020, ke Singapura. Berdasar informasi yang dikumpulkan Tempo, Harun memang terbang ke Singapura pada 6 Januari 2020. Ia menggunakan penerbangan Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 832 sekitar pukul 11.30 WIB. 16.35 Singapura, 7 Januari 2020, ke Jakarta. Ia semalam berada di negara itu dan terbang kembali ke Jakarta dengan menggunakan Batik Air. Pesawat dengan nomor penerbangan ID 7156 itu terbang dari Bandar Udara Changi terminal 16 pukul 16.35 waktu setempat. 17.03 WIB, & Januari 2020, ke Hotel. Ia tiba di Jakarta pukul 17.03 WIB. Dari catatan penerbangan, Harun tercantum duduk di kursi nomor 3C, menggunakan tiket kelas Charlie. Informasi lain menyebutkan bahwa Harun kemudian menuju ke sebuah hotel di pusat kota di Jakarta. 8 januari 2020, bertemu Hasto. Harun pada Rabu, 8 Januari lalu, disebutkan dijemput oleh koleganya, Nurhasan, untuk kemudian diantarkan ke kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di sini, menurut sejumlah informasi, Hasto telah menunggu. 22.30 WITA, 12 Januari 2020, Pria Misterius. Infomasi keberadaan Harun diungkapkan seorang warga Perumahan Bajeng Permai, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tempat tinggal Harun dan istrinya. Ia menyatakan melihat seorang pria datang ke tempat tinggal Harun pada sekitar pukul 22.30 Wita, Ahad malam, 12 Januari lalu. Pria itu mengendarai sepeda motor, berpakaian serba bitam, dan mengenakan penutup muka. "Saya tahu itu Harun dari perawakannya," katanya. Itulah data dan fakta yang ditemukan Tempo di lapangan. Jika menyimak tulisan Tempo itu, berarti sebenarnya posisi Harun Masiku sekarang ini sudah “berada” di Indonesia. Bukan di luar negeri, seperti yang disampaikan para pejabat di atas. Siapakah yang melindungi Harun Masiku? Padahal, Harun disebut-sebut sebagai penyedia uang untuk menyuap Wahyu Setiawan. Ia bisa menjadi “saksi kunci” dugaan keterlibatan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang belum “disentuh” KPK. Tulisan Majalah.tempo.co 13-19 Januari 2020 menguatkan fakta bahwa Harun Masiku ada di Indonesia dan sempat bertemu dengan Hasto Kristiyanto di kompleks PTIK di Jalan Tirtayasa Raya, Jakarta Selatan, Rabu malam, 8 Januari 2020. Ternyata gerak-gerik mereka dipantau oleh petugas KPK. Siang beberapa jam sebelumnya, KPK menangkap komisioner KPK Wahyu Setiawan, karena diduga menerima suap untuk meloloskan Harun Masiku ke DPR lewat PAW. Bersama Wahyu, 7 orang lain juga digulung. Dua diantaranya Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, kader PDIP yang dianggap dekat dengan Hasto Kristiyanto. Harun calon anggota legislatif dari PDIP dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I. Pada Pemilu 2019, perolehan suaranya di urutan keenam. PDIP ingin mengganti Nazarudin Kiemas, calon legislator peraih suara terbanyak, yang meninggal tiga pekan sebelum hari pencoblosan, 17 April 2019. Tapi KPU menetapkan Riezky Aprilia, peraih suara terbanyak kedua, sebagai calon anggota DPR. Di PTIK, tim KPK terus mengamati keberadaan Harun dan Hasto, yang ditengarai mengetahui penyuapan. Nurhasan dilepaskan dari pengawasan karena bukan target kakap. Sehari-hari ia bekerja sebagai petugas keamanan di kantor Hasto di Jalan Sutan Syahrir Nomor 12A, Menteng. Sembari terus memantau keberadaan target, 5 penyelidik rehat sejenak untuk menunaikan salat isya di masjid Daarul ‘Ilmi di kompleks PTIK. Ketika hendak masuk masjid, mereka malah dicokok sejumlah polisi. Operasi senyap untuk menangkap Hasto dan Harun pun buyar. “Tim penyelidik kami sempat dicegah oleh petugas PTIK dan kemudian dicari identitasnya. Penyelidik kami hendak salat,” kata pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, Kamis, 9 Januari lalu. Diantara polisi yang menawan petugas KPK, salah seorangnya adalah Kepala Subdirektorat IV Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Ajun Komisaris Besar Hendy Febrianto Kurniawan. Para polisi mengambil foto tim KPK dan memaksa mereka menyerahkan password ponsel masing-masing. Mendengar keributan, seorang petugas KPK yang bersiaga di sekitar pintu depan PTIK merapat ke masjid. Ia mengenali Hendy, yang pernah bertugas di KPK. Hendy mundur dari lembaga antirasuh dan kembali ke Polri pada 2012. Pada 2015, ia pernah menjadi saksi yang memojokkan KPK dalam sidang praperadilan penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan, calon Kapolri saat itu. Disapa oleh mantan koleganya di KPK, Hendy menyatakan tak kenal. Ia dan para polisi kemudian menggelandang lima petugas KPK ke sebuah ruangan untuk diinterogasi. Polisi pun memaksa para penyelidik itu menjalani tes urine. Para penyelidik tersebut ditahan sekitar tujuh jam. Mereka baru dilepas setelah Direktur Penyidikan KPK R.Z. Panca Putra Simanjuntak tiba di sana sekitar pukul 03.30, Kamis, 9 Januari lalu. Menurut Ali Fikri, ada kesalahpahaman antara penyelidik KPK dan polisi. “Kemudian diberitahukan petugas KPK, lalu mereka dikeluarkan,” ujar Ali. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen R. Prabowo Argo Yuwono mengatakan proses interogasi merupakan hal yang lumrah. Dia mengklaim pemeriksaan berlangsung tidak lama karena tim KPK dijemput atasannya. “Namanya orang tidak dikenal masuk, kami cek enggak masalah,” kata Argo Yuwono. “Dari pemeriksaan, mereka hanya akan salat.” Tempo mencoba menghubungi dua nomor ponsel Hendy, tapi tak ada yang aktif. Hasto Kristiyanto membantah berada di kompleks PTIK pada Rabu malam itu. “Tidak,” ujar Hasto. Ia mengklaim sedang di suatu tempat karena sakit perut. Ironis, rasanya tak mungkin lima pasang mata petugas KPK tak kenal wajah Hasto. Hasto juga beralasan sedang sibuk menyiapkan Rakernas PDIP, yang bertepatan dengan hari ulang tahun ke-47 partai banteng, di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Adapun Nurhasan saat dimintai konfirmasi mengaku pada Rabu malam itu sibuk mondar-mandir dari Sutan Syahrir 12A ke Kemayoran untuk membantu persiapan Rakernas PDIP. “Saya sakit karena dua hari ini hujan-hujanan di jalan,” kata pria 38 tahun itu. Nurhasan menyanggah mendapat perintah untuk mengantar Harun. “Tugas saya cuma buka-tutup pagar di rumah itu,” ujarnya, seperti dilansir majalah.tempo.co. Jika KPK tak berhasil menangkap Harun, bisa dipastikan, Hasto akan tetap aman-aman saja. Bahkan, bersama MenkumHAM Yasonna H. Laoly yang juga Ketua DPP PDIP, Hasto bisa memberikan pernyataan pers di kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta pada Rabu malam (15/1/2020). Dalam keterangan pers itu, memutuskan bahwa PDIP membentuk tim hukum untuk melawan KPK. Hal itu dilakukan terkait kasus dugaan korupsi yang melibatkan Wahyu Setiawan dan politisi PDIP Harun Masiku terkait dengan proses pergantian antar waktu atau PAW. Tim hukum dibentuk karena menurut PDIP, upaya penggeledahan kantor partai itu menyalahi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Sebab, keinginan menggeledah tak disertai dengan prosedur yang diatur dalam UU, yakni melalui izin Dewan Pengawas atau Dewas. Tidak hanya itu. PDIP juga melaporkan petugas KPK ke Dewas karena dianggap menyalahi aturan. Beranikah Ketua KPK Firly Bahuri hadapi PDIP? Penulis adalah wartawan senior

Kapolri Ajak Polisi Banyak Bersyukur Kepada Allaah SWT

Sikap rendah hati setiap anggota polisi itu sangat dibutuhkan. Polisi juga dituntut untuk selalu memahami lingkungan masyarakat sekitarnya. Polisi perlu memahami tata nilai, tata sosial dan tata budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Polisi harus bisa membedakan mana saja itu urusan agama, adat-istiadat, kebiasaan, tradisi dan budaya yang hidupdan berkembang dalam masyarakat. Sebab masalah-masalah itu sangat erat kaitannya dengan tugas-tugas polisi dalam menjaga kamtibmas di masyarakat. By Kisman Latumakulita Jakarta, FNN – Waidz taadzdzana rabbukum, lain syakartum laaziidannakum walain kafartum inna adzaa bii lasyadiidun. Artinya, “dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, susungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku (Allaah SWT) akan menambah nikamat kepadamu. Namun jika kamu ingkar kepada nikmat-Ku (Allaah SWT), maka ingatlah bahawa azabku amat berat”. Anjuran tentang pentingnya manusia bersyukur atas segala nikmat dan karunia yang Allaah SWT berikan itu, tertuang dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim, ayat 7. Jika manusia ingin melipatkan gandakan karunia dan rahmat-Nya, maka syaratnya adalah memeperbanyak rasa syukur kepada Allaah SWT. Begitulah berita gemberi dari Sang Khalik sebagai penguasa atas segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Sabaliknya, jika manusia ingkar terhadap segala nikmat dan karunia yang diberikan Allaah SWT, maka peringatan akan datangnya siksa dan azab dari Allaah kelek. Azab dan siksa Allaah kepada manusia yang kufur atas nikmat dan karunia tersebut, amat pedih dan sangat berat. Untuk itu, mari perbanyak sikap untuk selalu dan selalu bersyukur dan bersykur kepada Allaah SWT atas segala nikmat dan karunianya. Subhanallaah, begitulah kira-kira intisari dari pengarahan Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis kepada jajaran kepolisian di wilayah hukum Polda Sulawesi Barat. Jendral Idham menyampaikan pengarahan kepada para anggota polisi itu, pada Minggu 12 Januari 2019 di Mamuju Sulawesi Barat. Kapolri memang sedang berada Mamuju, hari Minggu lalu sebagain bagian dari kunjungan kerja ke Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak ada yang sempurna dan serba cukup dalam kehidupan ini. Sama dengan tidak ada yang sempurna juga dalam melaksanakan tugas sebagai anggota polisi. Untuk mengatasi tidak adanya kesempurnaan itu, bahkan mungkin serba tidak cukup, maka perbanyaklah raya syukur dalam diri setiap anggota polisi. Sebab hanya dengan bersyukur itu, anggota polisi bisa menatap masa depan dengan lebih baik. Idham mengatakan kepada jajarannya bahwa dirinya adalah anak orang kampung. Sama seperti sebagian besar anggota polisi lain, yang juga berasal dari kampung. Dengan modal memperbanyak rasa syukur dan belajarlah, Idham sampai hari ini masih tetap menjadi anggota polisi. Sekarang alhamdulillaah dipercaya oleh pemimpin sebagai pimpinan nomor satu di polisi. Nampaknya sikap dan keputusan untuk mempertebal dan memperbanyak rasa syukur kepada Allaah SWT telah menjadi pilihan hidup Idham. Mungkin juga bersyukur adalah harta paling berharga yang diwariskan oleh kedua orang tua kepada Idham. Sebab kalau Idham tidak mempunyai rasa syukur yang tinggi, sangat mungkin pekerjaan Idham hari ini adalah mengangkut batu karang di pinggir laut. Rendah Hati Wujud dari besarnya rasa syakur kepada Allaah SWT tersebut adalah bersikap rendah hati kepada masyarakat. Sebab pelayanan adalah bagian dari tugas polisi kepada masayarakat. Tugas polisi itu melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat. Tugas itu berakibat polisi akan selalu berhadapan dengan dinamika masyarakat yang sangat tinggi. Dan dinamika itu bisa berubah setiap saat. Menghadapi dinamika masyarakat yang sangat tinggi tersebut, sangat diperlukan sikap dan prilaku polisi yang rendah hati. Sebab dengan bersikap rendah hati, membuat masyarakat akan suka dan simpati kepada institusi kepolisian. Kalau masyarakat sudah simpati, maka tugas-tugas polisi dalam menjaga memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat (Kamtibmas) menjadi mudah. Sikap rendah hati itu, telah dicontohkan Idham selama dua bulan setengah menjabat Kapolri. Misalnya, Idham tidak mau dikawal oleh pengawal polisi secara berlebihan selama di jalan raya. Untuk menghindar dari kemacetan kalau mau menghadiri rapat di Istana Negara, Istana Wapres, dan Menkopolhukam, Idham biasakan diri berangkat dari kantor minimal satu jam sebelum rapat dimulai. Misalnya kalau rapat jam satu siang, Idham sudah berangkat dari Mabes Polri sebelum jam dua belas. Dengan demikian, Idham tidak lagi memerlukan pengawal yang banyak membuka jalan dari kemungkinan kemacetan menuju ke tempat rapat. Langkah kecil ini coba dilakukan Idham untuk membangun empati masyarakat kepada institusi polisi lebih dari yang sudah ada. Mungkin saja pada jam yang sama, masyarakat juga sedang berjuang keras untuk keluar dari kemacetan. Masyarakat mungkin sudah lebih dulu terperangkap dalam kemacetan yang panjang. Jika dalam suasana kemacetan yang panjang itu, mobil Kapolri berusaha untuk mendahului dan dengan membuka jalan, maka kemungkinan keluar sumpah serapah dari masyarakat, namun sumpahan itu hanya di dalam hati. Kebijakan untuk tidak mau dikawal secara mencolok juga diperlihatkan Kapolri Idham saat berkunjung ke daerah-daerah. Idham juga tidak suka dijemput oleh para Kapolres di bandara. Idham tetap saja memperlihatkan bahwa dirinya adalah adalah anak orang kampung, dari Suku Bugis, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, yang lahir dan besar di Kendari Sulawesi Tenggara. Penujukan Idham sebagai Kapolri adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan dunia akhirat. Tugasnya memimpin dan memastikan bahwa fungsi-fungsi pelayanan, pengayoman dan perlidungan kepada masyarakat, bersama-sama dengan harta benda masyarakat dapat berjalan dengan lancar. Itu yang sangat penting. Tidak lebih, tidak juga kurang. Sikap rendah hati setiap anggota polisi itu sangat dibutuhkan. Polisi juga dituntut untuk selalu memahami lingkungan masyarakat sekitarnya, dengan dinamika yang yang tinggi itu. Polisi perlu memahami tata nilai, sosial dan tata budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Polisi harus bisa membedakan mana saja yang menjadi urusan agama, adat-istiadat, kebiasaan, tradisi dan budaya yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Sebab masalah-masalah itu sangat erat kaitannya dengan tugas-tugas polisi dalam menjaga kamtibmas di lapangan. Idham bercerita tentang pengalamannya menjabat Kapolda Metro Jaya selama delapan belas bulan. Ibu Negara, Iriana Jokowi, kalau pulang ke Solo, tidak ada pejabat atau Paspampres yang ikut mengantar di bandara. Menunggu untuk naik ke pesawat saja, di ruang tunggu biasa. Bergabung dengan masyarakat di ruangh tunggu. Untuk pengamanan keluarga Presiden (standar VVIP), paling banyak hanya ada dua anggota Paspampres yang liat-liat dan memantau dari kejauhan. Untuk itu, menjadi sangat lucu dan aneh saja kalau ada istri Kapolres yang dikawal berlebihan bila mau berangkat naik ke pesawat atau berangkat ke Jakarta. Apalagi kalau yang berangkat itu istrinya Kapolda. Bisa-bisa rung tunggu VVIP di bandara tersebut penuh sesak dengan pejabat kepolisian. Untuk itu, Idham memulai perubahan kecil-kecil itu dari dalam dirinya sendiri. Idham juga tidak terlihat menggunakan plat mobil bintang empat pada mobil dinas Kapolri. Khususnya di hari-hari kerja, Senin sampai Jum’at. Selain itu, sejak menjabat Kapolri, sudah tidak ada lagi pagar beton setinggi setengah meter lebih yang mengelilingi rumah dinas Kapolri di jalan Pattimura, Jakarta Selatan. Begitu juga dengan pengamanan di rumah dinas Kapolri. Sekarang tidak lagi tampak ada anggota polisi bersenjata lengkap yang berjaga-jaga di luar rumah dinas Kapolri. Semua yang dilakukan Kapolri Idham Azis ke dari dalam internal ini, mudah-mudahan saja semakin menyatukan, rekekatkan dan mendekatkan masyarakat dengan polisi. Masyarakat adalah pemilik dan pemegang saham utama dari institusi polisi. Bukan pemerintah. Untuk itu, kesuksesan polisi harus dilihat dari kepuasan masyarakat terhadap tugas-tugas pelayanan, pengayoman dan perlindungan kepada masyarakat. Penulis adalah Wartawan Senior

Arief Budiman Terlibat Suap Wahyu Setiawan?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Penetapan tersangka Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus suap politisi PDIP oleh KPK tidak akan berarti jika tak disusul dengan penetapan tersangka lain, yang tidak tertutup kemungkinan para komisioner KPU selain Wahyu. Dugaan korupsi (suap) komisioner yang menyeret Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto itu dikhawatirkan juga akan menyeret oknum Wakil Menteri dalam Kabinet Indonesia Maju ini. Kotor benar “mainnya”. Ini baru 1 yang ketahuan. Sebagai rakyat biasa, kita berharap semoga saja KPK berani ungkap semua permainan kotor seperti ini mulai dari tingkat Nasional hingga Daerah. Wahyu diduga menerima suap hingga Rp 900 juta dengan menjanjikan PAW politisi PDIP. Adalah Harun Masiku yang ingin menjadi anggota DPR RI 2019-2024 untuk menggantikan PAW Nazaruddin yang meninggal dunia. Nazaruddin terpilih dari Dapil 1 Sumatera Selatan dalam Pileg 2019. Namun, pada 31 Agustus 2019, KPU menetapkan Riezky Aprilia yang berhak menjadi PAW. Sebab, sesuai dengan perolehan suara, Riezky-lah yang berhak menggantikan Nazaruddin itu. Harun mencoba hendak menggeser Riezky. Harun yang sejak Minggu (6/1/2020) meninggalkan Indonesia itu diduga memberikan uang pada Wahyu agar bisa membantunya menjadi anggota legislatif melalui PAW. Saeful Bahri, tersangka lain, menyebut uang suap itu berasal dari Hasto. Wahyu pun pada akhirnya terkena OTT KPK dengan barang bukti uang suap Rp 400 juta. Harun Masiku bernasib apes, perjuangan untuk dilantik jadi DPR malah berujung penjara kena OTT KPK. Apalagi, Ketua KPU Arief Budiman menyebut ada tanda tangan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam surat permohonan PAW Harun Nasiku untuk menggantikan caleg terpilih yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas. Tiga surat dari DPP PDIP yang ditujukan kepada pihaknya dibubuhi tanda tangan Hasto. Hal itu diungkapkan Arief dalam konferensi pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020). Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan, selain Wahyu, KPK telah menetapkan Agustiani Tio Fridelina, orang kepercayaan Wahyu, mantan anggota Bawaslu. Kemudian, politikus PDIP Harun Masiku dan seorang pihak swasta bernama Saeful Bahri. Dua nama terakhir disebut Lili Pintauli Siregar sebagai pemberi suap. Sementara Wahyu dan Agustiani diduga sebagai penerima suap. Tersangka Harun sendiri tidak terjaring dalam OTT, Rabu (8/1/2020) lalu, saat ini masih belum diketahui keberadaannya. Harun Masiku adalah caleg PDIP yang menempati urutan keenam dalam perolehan suara. Meski urutan keenam, justru Harun yang dimajukan PDIP untuk menggantikan Nazaruddin yang meninggal sebelum Pileg 2019 digelar. Sedangkan posisi kedua hingga kelima ditempati Riezky Aprilia (nomor urut 3), Darmadi Jufri (nomor urut 2), Doddy Julianto Siahaan (nomor urut 5), dan Diah Okta Sari (nomor urut 4). Meski meninggal, Nazaruddin memperoleh suara terbanyak. Saat dikonfirmasi, Kamis (9/1/2020), Hasto Kristiyanto mengatakan, “Dia (Harun Masiku) sosok yang bersih. Kemudian, di dalam upaya pembinaan hukum selama ini cukup baik ya track record-nya,” kata Hasto meyakinkan. Benarkah? Semua itu nantinya akan terkuak dalam sidang DKPP yang kini sedang berlangsung di KPK. Setidaknya, Wahyu yang disidang terkait Kode Etik dipastikan tak akan mau “dikorbankan” sendirian. Dalam sidang Rabu (15/1/2020) saja ia mulai “nyanyi”. Meski Wahyu dan Arief menyatakan bahwa kasus yang menimpa Wahyu itu masalah pribadi, tapi keterangan Wahyu dalam sidang pertama sempat pula menyebut nama Ketua KPU Arief Budiman dan Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik. Bahkan, hingga nama anggota Komisi II DPR Fraksi PDIP Johan Budi, saat menjalani sidang dugaan pelanggaran kode etik itu. Wahyu mengatakan, ia sempat menyampaikan pada Arief dan Evi perihal PDIP yang menanyakan soal penetapan anggota DPR melalui proses PAW. Menurut Wahyu, hal ini disampaikan ke Arief dan Evi, lantaran ia mencium adanya potensi “permakelaran” dalam permohonan yang disampaikan DPP PDIP itu. “Saya bahkan sudah menyampaikan fenomena yang sedang saya hadapi,” ungkap Wahyu. “Saya pernah menyampaikan itu kepada Pak Ketua (Arief Budiman) dan Kak Evi (Evi Novida Ginting Manik),” kata Wahyu dalam persidangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, seperti dilansir Kompas.com, Rabu (15/1/2020). “Saya pernah menyampaikan di chatting saya, saya mohon surat-surat penolakan terhadap PDI-P segera dikeluarkan karena ada situasi permakelaran,” lanjutnya. Kepada Arief, Wahyu bahkan sempat meminta supaya ia menghubungi Harun Masiku. Arief diminta Wahyu untuk menyampaikan bahwa permohonan PAW PDIP tidak bisa KPU laksanakan karena tak memenuhi ketentuan perundang-undangan. “Karena gelagatnya tidak enak, saya bilang ke ketua, ketua kalau ketua bisa berkomunikasi dengan Harun tolong disampaikan bahwa permintaan PDIP melalui surat tidak mungkin bisa dilaksanakan, kasihan Harun,” ujar Wahyu. Sementara itu, anggota Komisi II DPR Johan Budi sempat disebut Wahyu telah mengetahui adanya penolakan dari KPU untuk menetapkan Harun Masiku sebagai anggota DPR melalui proses PAW. Wahyu mengatakan, setelah dirinya menyampaikan ke Arief, Arief lantas menyampaikan sikap penolakan KPU ini ke sejumlah pihak, termasuk ke Johan Budi. “Ketua juga menceritakan pada kami, telah berupaya menjelaskan pada berbagai pihak soal sikap penolakan kami. Termasuk baru saja menceritakan pada Pak Johan Budi, Anggota Komisi II yang kebetulan bertugas sama ketua,” ujarnya. Tapi, Wahyu tak menyebutkan lebih lanjut bagaimana tanggapan Johan Budi. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024. Wahyu diduga menerima suap dari Politisi PDIP Harun Masiku yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Selain menetapkan Wahyu dan Harun, dalam kasus ini KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka. Yaitu mantan anggota Bawaslu, orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina, dan pihak swasta bernama Saeful Bahri. Wahyu dan Agustiani diduga sebagai penerima suap. Sementara Harun dan Saeful disebut sebagai pihak yang memberi suap. Sebagai Ketua KPU yang sudah dilapori Wahyu, seharusnya Arief Budiman mewanti-wanti Wahyu agar tidak “bermain” dengan upaya PDIP yang memaksakan kehendaknya. Apalagi memberi “angin surga” seolah bisa mengurus PAW untuk Harun Masiku. Apalagi, semua Komisioner KPU sudah tahu bahwa dalam penyelenggaraan Pimilu itu KPU berpegang pada UU Pemilu yang kemudian diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). Adanya putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019 itu tak bisa mengalahkan UU Pemilu. Berdasarkan putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019, partainya memiliki kewenangan dalam menentukan pengganti anggota legislatif terpilih yang meninggal dunia. Hasto menegaskan, dalam merekomendasikan nama Harun, PDIP pun berpegang pada aturan tersebut. “Proses penggantian itu kan ada putusan dari Mahkamah Agung. Ketika seorang caleg meninggal dunia, karena peserta pemilu adalah partai politik, maka putusan Mahkamah Agung menyerahkan hal tersebut (pengganti) kepada partai,” lanjut Hasto. Dari sini sebenarnya Hasto “tidak tahu” bahwa posisi UU Pemilu itu lebih tinggi dari PKPU, sehingga apapun putusan MA tidak bisa mengubah kedudukan hukum UU Pemilu yang ada di atas PKPU. Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2017 telah mengesahkan UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. UU Nomor 7 Tahun 2017 ini menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Pilpres tahun 2019 yang diselenggarakan secara serentak. Perlu dicatat, sukses Uji Materi PKPU di MA itu tak punya Kekuatan Hukum jika melanggar UU Pemilu. Sebab UU Memiliki Kekuatan di atas Segala Peraturan. Seharusnya Hasto dan para kader parpol belajar tahu, UU Pemilu itu lebih tinggi dari PKPU! Sehingga, para kader politik tidak selalu salah dalam berpolitik dan patuh hukum. Seharusnya juga tidak ngotot memaksakan kehendak parpol (PDIP). Putusan MA yang menyerahkan hal tersebut (pengganti) kepada partai, harus dibaca secara yuridis formal. Artinya, sebenarnya MA sudah mengarahkan PDIP supaya kembali ke aturan formal hukum, yakni UU Pemilu. Kalau pun akhirnya KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin untuk duduk di kursi Senayan, adalah sudah tepat. Cuma pertanyaannya, mengapa sampai ada uang suap segala meski sebenarnya KPU sudah melaksanakan UU Pemilu? Tidak salah jika kemudian muncul pertanyaan, jangan-jangan ini juga sudah pernah dilakukan sebelumnya, cuma tak ketahuan. Apalagi, selama ini Wahyu Setiawan dikenal sebagai Komisioner yang menggawangi Situng KPU yang hingga kini, konon, belum “selesai” juga. KPU sukses menipu rakyat dengan hasil Situng yang tak kunjung kelar sampai hari ini. Dengan kata lain, KPU sukses menipu rakyat melalui penetapan hasil pemilu dadakan pada tengah malam buta saat rakyat sedang tidur nyenyak! Sekarang gantian, Komisioner KPU dan yang terlibat suap KPU yang tidak bisa tidur nyenyak! Penulis wartawan senior.

Petisi Dukung Denny JA Komsaris Inalum

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Maaf ini Pak Denny JA. Saya, tampaknya, termasuk yang pertama membaca “postingan salah alamat” tentang keinginan dan kesiapan Anda menjadi komisaris PT Inalum. Boleh jadi, saya yang pertama membacanya diantara anggota grup Whatsapp (WA) Tokoh Nasional. Postingan yang ditujukan kepada Pak Komandan itu pun saya timpa dengan komentar. Tapi kemudian Anda hapus tak lama setelah terekspos. Setelah itu, publik medsos dihebohkan. Macam-macam dugaan orang tentang postingan “komisaris Inalum” itu. Ada yang tak percaya kalau itu postingan Anda. Ada yang mengatakan tak mungkin Pak Denny JA semberono seperti itu. Bahkan ada yang mengatakan “komisaris Inalum” itu hanya usaha pengalihan isu, dlsb. Sampai akhirnya muncul “cerpen” Anda yang secara implisit mengakui bahwa postingan itu benar dari Anda. Dan, secara jantan pula Anda berkilah bahwa tidak ada salahnya seseorang yang telah berjasa memenangkan Jokowi menjadi presiden dua kali, menawarkan diri untuk ikut “mambangun” negara lewat jabatan komisaris. Nah, klarifikasi berbentuk cerpen itu haruslah mengakhiri polemik tentang otentisitas postingan “komisaris Inalum”. Setidaknya saya menganggap tidak ada persoalan lagi soal keasliannya. Meskipun masih ada berbagai masalah terkait kontennya. Sebagai contoh, ada yang menyorot dari sisi moralitas seorang surveyor terhormat sekelas Denny JA. Ada pula yang berkomentar tentang “dividen politik” selain dividen finansial. Malahan ada yang berpendapat bahwa postingan “komisaris Inalum” itu adalah ‘bomshell’ yang menghancurkan LSI. Saya tidak hirau dengan semua itu. Bagi saya, ada satu hal yang sangat urgen untuk diperhatikan. Dan harus segera dituntaskan. Yaitu, realisasi penunjukan Pak Denny menjadi komisaris Inalum. Ini yang sangat mendesak. Ini yang harus “kejar tayang”. Kenapa? Karena Inalum sangat memerlukan Pak Denny JA. Saya akan mengkampanyekan ini ke publik. Bahwa Inalum bisa lebih bagus kalau Denny ada di dalam. Mengapa ini yang saya kampanyekan? Supaya anggapan khalayak bahwa Ente itu mengemis jabatan, bisa tersamarkan sedikit. Meski tidak mungkin dihilangkan total. Karena, harus diakui, isi postingan untuk Komandan itu memang berbau ‘ngemis jabatan. Untuk tujuan inilah, saya mohon izin dari Pak Denny JA. Izin untuk membuatkan petisi online. Kita kumpulkan dukungan publik buat Ente supaya diangkat menjadi komisaris Inalum. Kalau nanti hasil petisi online itu mayoritas tidak setuju Anda menjadi menjadi komisaris Inalum, kita olah saja dengan mesin survei LSI. Misalnya, angka petisi itu nanti 70% tak setuju, 30% setuju, kita balik saja. Kita umumkan 70% setuju, 30% tidak. Yang penting survei menunjukkan dikungan mutlak buat Ente. Kita bawa petisi olahan itu ke Pak Komandan. Denny JA 70%. Harus diangkat menjadi komisaris utama Inalum. Erick Thohir tak akan berani menolak. Ini yang urgen bagi saya, Pak Denny. Petisi online itu harus secepatnya diluncurkan. Saya siapkan judul ini: #DennyJAkomisarisInalum. Jangan khawatir, banyak yang paham situasi Ente, Bro Denny. Publik bisa kok melihat kemarau panjang hari-hari ini di lahan survei kelas superjumbo.[] 16 Januari 2020 Penulis wartawan senior.

PDIP Melecehkan KPK dan Hukum

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kalau arogansi PDIP ketika menghadang aparat KPK yang datang untuk menyegel atau menggeledah kantor Hasto Kristiyanto, 8 Januari 2020, dijalin dalam satu kalimat, ada kemungkinan bunyinya seperti ini: “Kami tolak geledah, kalian mau apa?” Kira-kira begitulah gambaran keangkuhan orang-orang PDIP. Tidak ada narasi lain yang pas. Sebab, baru pertama kali ini KPK gagal melakukan penyegelan dan penggeledahan. Dulu, di awal 2016, Fahri Hamzah pernah mempersoalkan penggeledahan KPK. Tapi, akhirnya, penggeledahan di ruang kerja seorang anggota DPR terlaksana juga waktu itu. Tentu akan ada yang bertanya, mengapa PDIP bisa arogan? Bisa menghadang tim KPK yang menjalankan tugas sesuai peraturan? Jawabannya: karena mereka yang berkuasa. Mereka merasa sangat berkuasa. Mereka bisa mengatur apa saja. Mereka merasa semuanya ada dalam genggaman PDIP. Kantor Hasto (Sekjen PDIP) di Jalan Diponegero, Menteng, Jakarta, hendak digeledah terkait OTT komisioner KPK, Wahyu Setiawan (WS), pada 8 Januari 2020 juga. Wahyu diduga menerima uang sogok ratusan juta dari Harun Masiku, seorang kader PDIP. Hasto diduga ikut berperan. Harun Masiku adalah kader Bu Megawati yang ingin beliau naikkan menjadi anggota DPRRI sebagai pengganti antar waktu (PAW). KPU sudah menetapkan Riezky Aprilia sebagai PAW untuk Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia sebelum Pemilu 2019. Tapi, pimpinan PDIP ‘ngotot agar Harun yang dinaikkan. Herannya, banyak yang berpendapat PDIP sudah tamat gara-gara kasus suap WS. Nah, apakah iya PDIP bakal selesai lantaran kasus ini? Bagi orang luar, mungkin ada benarnya. Tetapi, bagi orang PDIP kelihatannya mereka merasaa tidak ada dampak apa-apa. Itu terbukti dari cara orang-orang Banteng bereaksi setelah Wahyu tertangkap. Mereka bukannya kooperatif terhadap KPK, melainkan menunjukkan arogansi. Kesombongan. Sekarang, apa arti penolakan PDIP terhadap penggeledahan KPK? Agak sulit mencarikan makna yang proporsional untuk penghalauan petugas KPK itu. Terminologi yang paling ringan adalah pelecehan. PDIP melecehkan KPK. Sekaligus juga melecehkan hukum. Kalau kata “melecehkan” mau diperhalus lagi, Anda malah akan ketemu kata-kata yang lebih vulgar. Bisa-bisa lebih konyol. Kata “melecehkan” sudah sangat ‘generous’ untuk menggambarkan arogansi PDIP terhadap KPK dan hukum. Selain kata “melecehkan”, urutan berikutnya yang lumayan ‘halus’ adalah “mengangkangi”. Setingkat di atasnya adalah “mengentuti”. Sehingga kalimatnya menjadi, “PDIP mengangkangi dan mengentuti KPK serta hukum”. Jadi, lebih baik tidak usah kita carikan alternatif untuk menghaluskan makna “melecehkan”. Inilah yang paling pas. Meskipun tetap getir. Sebetulnya, semua ini tidak mengherakan. PDIP memang sudah lama tak suka KPK. Soalnya, banyak kader mereka yang terkena OTT. Sampai-sampai mereka merasa “dikerjai”. Padahal, begitulah adanya. OTT juga mengguncang parpol-parpol lain. Bahkan, ketua umum Golkar yang juga ketua DPR, Setya Novanto, dan ketua umum PPP, Romahumuziy, pun ikut terjaring. Ketua MK Akil Muchtar juga. Saking dendamnya PDIP pada KPK, para anggota DPR fraksi Banteng paling vokal mengusulkan revisi UU KPK. Yang membuat lembaga antikorupsi itu menjadi seperti sekarang ini. Bisa dilecehkan. Bisa ditolak masuk ke kantor pusat PDIP. Jadi, tidak berlebihan kalau dikatakan PDIP sengaja melemahkan KPK dan kemudian melecehkannya. Secara sistematis dan terencana. Dilemahkan otoritasnya, diatur orang-orang yang memimpinnya. Disesuikan dengan kebutuhan primer parpol. Yaitu, kebutuhan untuk bergerak bebas mencari “kerja lembur” tanpa ancaman OTT.[] 16 Januari 2020 Penulis wartawan senior.

Sebelum Bersih-bersih BUMN, Erick Harus “Berkaca”

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Skandal korupsi PT Asuransi Jiwasraya merupakan puncak gunung es dari bencana korupsi yang melanda hampir seluruh BUMN. Menyusul kemudian korupsi di PT Asuransi ABRI (Asabri) dan YKPP (Yayasan Kesejahteraan Prajurit). Total skandal keduanya, jumlahnya mencapai Rp 23,7 triliun (Jiwasraya Rp 13,7 triliun dan Asabri Rp 10 triliun). Terkait dugaan kasus korupsi Asabri ini, Menkopolhukam Mahfud MD akan memanggil Menteri BUMN Erick Thohir dan Menkeu Sri Mulyani. Kini, BPK sedang melakukan audit atas Asabri. Menko Mahfud mengaku sudah mendengar hal itu. Bahkan, pakar hukum tata negara ini menduga, ada korupsi di atas Rp 10 triliun uang yayasan yang dikumpulkan dari para prajurit TNI. “Saya mendengar ada isu korupsi di Asabri yang mungkin itu tidak kalah fantastisnya dengan kasus Jiwasraya. Di atas Rp 10 triliun itu,” kata Menko Mahfud di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020). “Asabri itu punyanya orang kecil. Itu punyanya prajurit. Polisi, tentara yang pensiun-pensiun yang pangkatnya kecil. Itu kan banyak yang nggak punya rumah, nggak bisa keluar,” lanjut Menko Mahfud. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak, maka Mahfud akan melakukan serangkaian langkah strategis. Salah satunya memanggil menteri terkait. Menurutnya, ada persamaan modus dalam dugaan korupsi Asabri dengan korupsi Jiwasraya. “Modus operandinya sama. Bahkan, mungkin ada beberapa orangnya yang sama,” ungkap Mahfud, seperti dilansir Tempo.co, Senin (13/1/2020). Ia belum mau mengungkap seluruhnya dugaan yang ditemukannya. Mahfud berjanji kasus ini akan terus ditindak lanjuti. Pasalnya, Mahfud mengatakan Presiden Joko Widodo sudah meminta agar semua kasus korupsi dibongkar dan dibawa ke pengadilan. Terlebih dugaan awal, korupsi Asabri merugikan negara hingga lebih dari Rp 10 triliun. Mahfud menegaskan tidak boleh toleran terhadap korupsi. “Kita akan segera panggil Bu Sri Mulyani dan Pak Erick Tohir untuk menanyakan duduk masalahnya. Kalau memang ada masalah hukum ya kita giring ke pengadilan,” tuturnya. “Tidak boleh korupsi untuk orang-orang prajurit untuk tentara yang bekerja mati-matian meninggalkan tempat sesudah masa pensiunnya disengaarakan. Gitu ya. Dan itu kan haknya prajurit,” tegas Mahfud, Bila indikasinya kuat, maka Mahfud yang akan mengantarkan sendiri ke aparat hukum. Tidak peduli apakah ada unsur militer yang terlibat. “Mari kita giring proses hukum ini supaya diungkap. Nggak usah berspekulasi si A terlibat, ini dari istana. Ndak ada itu,” ujarnya. “Pokoknya Presiden sudah memerintahkan gebuki semua yang korupsi itu jangan ditutup-tutupi, yakin lah. Jadi kalau orang yang selalu curiga ini terlibat ini terlibat, kasih ke saya. Saya nanti yang antarkan ke KPK atau ke kejaksaan,” tegasnya, seperti dilansir Detik.com. Wamen BUMN Kartika Wirjoatmodjo memperkirakan, penyelesaian persoalan Asabri bakal berbeda dengan langkah penyelamatan Jiwasraya. “Asabri kan asuransi sosial, penyelesaiannya pasti berbeda dengan Jiwasraya. Nanti akan dilihat dengan Pak Menkopolhukam (Mahfud MD),” ujar Kartika di Gedung MA, Jakarta, Senin, (13/1/2020). Perbedaan itu, lanjut bekas Direktur Utama Bank Mandiri itu, karena Asabri adalah asuransi sosial, bukan asuransi umum. Tidak bisa dalam konteks begitu agak sulit karena dia asuransi sosial. Menurutnya, penurunan nilai dalam investasi saham Asabri memang terjadi. Namun, Kartika belum bisa memastikan jumlahnya lantaran hingga kini masih terus bergerak. Ia mengatakan kementeriannya juga masih akan menunggu laporan BPK terkait persoalan tersebut. “Jadi kami belum tahu (penyelesaiannya), kami baru mau teliti dulu kejadiannya seperti apa lostnya seperti apa, jadi belum ada opsinya,” tutur Kartika. Seperti diketahui saham-saham yang menjadi portofolio Asabri berguguran sepanjang 2019. Bahkan, penurunan harga saham bisa mencapai lebih dari 90 persen sepanjang tahun berjalan. Dari keterbukaan informasi diketahui, ada 14 saham yang masuk ke dalam portofolio Asabri. Namun, Asabri melepas seluruh investasinya di PT Pool Advista Finance Tbk. (POOL) pada Desember 2019. Sehingga akibatnya, saham POOL terjun paling dalam di antara portofolio Asabri lainnya dengan penurunan 96,93 persen sepanjang 2019. Bahkan, saham tersebut disuspensi hingga kini sejak 30 Desember 2019, dengan level harga penutupan Rp 156. Harga saham yang jeblok berikutnya adalah PT Alfa Energi Investama Tbk. (FIRE), yang terkoreksi 95,79 persen pada tahun lalu ke level Rp 326. Penurunan drastis pun dialami saham PT SMR Utama Tbk. (SMRU) sebesar 92,31 persen ke posisi Rp 50. Melansir Tempo.co, Senin (13/1/2020), level harga 'gocap' itu pun bertahan hingga sekarang. Asabri memegang 6,61 persen saham SMRU. Jika menyimak modusnya, memang kasus ini serupa dengan skandal Jiwasraya. Siapa yang bermain? Erick Bersih? Terbongkarnya skandal Jiwasraya dan menyusul dugaan korupsi dengan modus serupa di Asabri membuat Menteri BUMN Erick Thohir geram. Ia pun mengancam akan mencopot Direksi BUMN yang “menyulap” laporan keuangan. Seperti dilansir Kompas.com, Jum’at (10/01/2020, 11:17 WIB), Erick menyatakan bahwa ia akan mencopot direksi perusahaan plat merah yang menyulap laporan keuangannya menjadi lebih bagus dibandingkan faktanya. Sebab, tindakan tersebut tak mencerminkan tata kelola perusahaan yang baik dan benar. “Ini contoh, tapi hal itu bisa saja mereka kita ganti,” ujar Erick, Jumat (10/1/2020). Menurutnya, pemolesan laporan keuangan sebuah perusahaan BUMN merupakan tindakan kriminal. Apalagi, pemolesan laporan keuangan itu dilakukan agar hanya ingin mencari bonus karena dianggap telah melakukan kinerja yang baik bagi perusahaan. Yang sering terjadi di BUMN saat ini adalah window dressing laporan keuangan yang bisa masuk tindakan kriminal. “Terlebih jika window dressing itu kelihatan untung tapi tidak ada cash dan hanya ada untuk gaji dan bonus,” kata Erick. Karena itu, dalam pemilihan jajaran direksi perusahaan BUMN, Erick mempunyai beberapa kualifikasi yang harus dipenuhi. Salah satunya menyangkut akhlak. “Pemimpin BUMN, direksinya, harus punya akhlak, loyalitas, dan team work,” ungkap Erick. Contohnya, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mempublikasikan ulang (restatement) laporan keuangan pada 2018. Hal tersebut dilakukan merespon hasil keputusan Kementerian Keuangan, OJK dan BPK. Pada laporan keuangan yang disajikan ulang tersebut, Garuda mencatatkan rugi bersih sebesar 175,02 juta dollar AS (Rp 2,45 triliun) dari sebelumnya laba 5,01 juta dollar AS. Kemenkeu dan OJK menemukan adanya pelanggaran di laporan keuangan Garuda tahun buku 2018 itu. Setelah menemukan pelanggaran itu, OJK dan Kemenkeu pun memberikan sanksi kepada Garuda dan auditor yang mengaudit laporan keuangannya. Korupsi Jiwasraya puncak gunung es dari bencana korupsi yang melanda hampir seluruh BUMN. Tekad Erick akan memecat semua direksi BUMN yang terlibat dalam window dressing laporan keuangan/kinerja korporasi harus dibuktikan dengan tindakan nyata. Beranikah Erick memecat semua direksi BUMN? Sebelum Menteri BUMN itu memecat semua direksi BUMN yang terlibat window dressing (manipulasi laporan keuangan – kinerja), sebaiknya terlebih dulu mengklarifikasi informasi seputar dugaan korupsi Erick saat menjabat Ketua IOC Asian Games 2018. Jejak digital menulis, ada dana Asian Games 2018 lalu yang miss mencapai sekitar Rp 1,2 triliun, dan itu nasibnya ada di BPK. Sinyal itu ditegaskan oleh mantan Ketua KPK Agus Rahardjo dan mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Bahkan, informasi yang berkembang luas seputar dugaan korupsinya mencapai Rp 7 triliun. Mereka tidak menyebut nama dan perilaku secara spesifik yang mengarah ke sana, namun ungkapan itu memang ada peluang besar ke mantan Menpora Imam Nahrowi dan Erick. Imam Nahrowi kini menghadapi proses hukum di Pengadilan Tipikor Jakarta terkait skandal dana hibah KONI. Sementara Erick Thohir ditunjuk Presiden sebagai Menteri BUMN karena dinilai sukses sebagai Ketua Inasgoc dalam perhelatan Asian Games 2018 lalu. Akankah Erick Thohir digiring oleh penyidik KPK ke arah tersangka, sebagaimana Menpora jadi tersangka? Agus Rahardjo sebelumnya mengatakan, pihaknya masih mendalami siapa saja yang terlibat dalam kasus kickback dana hibah Kemenpora ke KONI. Bahkan, KPK juga akan mengembangkan kasus dana hibah Kemenpora ke KONI itu hingga kemana-mana. Termasuk diantaranya menyelidiki hingga dana untuk Asian Games 2018 itu. “Kami masih dalami siapa saja yang akan terlibat kemudian rangkaiannya kemana,” ujarnya. “Kalau Kemenpora pasti tidak hanya dana hibah Kemenpora ke KONI, tapi ada juga yang ke International Olympic Committee (IOC). Ya kami bisa men-trace juga misalnya penggunaan dana Asian Games kemarin ya,” tegas Agus Rahardjo. Meski begitu, Agus enggan menyampaikannya secara detail mengingat hal itu saat ini sedang dalam penelusuran tim KPK. “Jadi, kami akan telusuri itu. Kami belum bisa melaporkannya secara komplit, secara jelas,” lanjut Agus Rahardjo. Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang lebih tegas lagi. Institusinya telah menemukan indikasi-indikasi korupsi menjelang dan saat pergelaran Asian Games 2018 lalu itu. “Kami sudah melihat indikasi-indikasi (korupsi) waktu itu,” ujar Saut Situmorang. Semua data, semua percakapan, termasuk mutasi rekening dan bukti-bukti lain sudah ada di tangan. KPK tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membongkar semuanya. Termasuk dugaan penyimpangan dana terkait Asian Games 2018. Pergelaran Asian Games 2018 tersebut terbilang sukses pelaksanaan dan sukses prestasi, menjadi sorotan banyak mata dunia. Namun, di balik kemeriahan itu KPK mencium aroma korupsi menjelang dan saat pergelaran Asian Games 2018. Pelan tapi pasti KPK mengusut indikasi korupsi atas even olahraga Internasional itu, sebab dana yang digunakan sekitar Rp 30 triliun, bukan tidak mungkin ada tangan nakal pejabat yang memanfaatkan uang tersebut untuk masuk kantong pribadi. Kabarnya, ada dana senilai Rp1,2 triliun yang tak bisa dipertanggungjawabkan. “Kami sudah melihat indikasi-indikasi (korupsi) waktu itu, tapi kami mau kelancaran acara (Asian Games 2018),” ujar Saut Situmorang kepada wartawan. Sebaiknya jika Presiden Jokowi berniat bersih-bersih koruptor, jangan memakai sapu kotor. Tapi, harus dengan sapu bersih! Penulis adalah wartawan senior