OPINI

Tahukah Hakim MK, Cara Kerja Wall Street di Perpu Corona?

By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Sabtu (25/04). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keungan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Masa Allah. Dalam sejarah, ini judul Perppu terpanjang di dunia untuk sebuah UU. Karena terlampau panjang, maka saya akan menyebut Perpu ini dengan “Perpu Corona.” Perpu yang “ngaco” ini telah dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh beberapa kelompok masyarakat. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dengan Bonyamin Saiman sebagai bosnya berada di satu sisi sebagai kelompok pemohon ke MK. Dan Pak Amien Rais, Pak Din Syamsudin, Pak Srie Edi Swasono, dan kawan-kawan berada di sisi lain juga sebagai kelompok masyarakat yang memohonkannya. Argumentasi spesifik mereka, sejauh ini belum diketahui. Tetapi dapat diduga argumentasi primer mereka pasti tidak jauh dari penilaian Perpu ini bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UUD 1945. Seluruhnyakah atau sebagian yang nyata-nyata atau potensial bertentangan? Dugaan saya pasti diuraikan dalam permohonan mereka. Pasal 27 dan 28 Perpu ini memang membuat nalar orang sehat pening sepening-peningnya. Tetapi saya ingin mengenal satu hal yang, dalam penilaian saya cukup menarik. Hal yang menarik itu adalah Bank Indonesia diberi kewenangan lain dalam Perpu ini. Bagi saya ini menarik, karena sejumlah alasan. Apakah ada sistem keuangan di dunia, yang bertuan pada tuan “takur - Amerika” dengan “Wall Streetnya” yang tidak pernah stabil? Adakah sistem keuangan di dunia ini yang tidak terjalin dengan standar mata uang? Uang kertas yang beredar? Tingkat suku bunga kredit? Jual beli bank note? Kegagalan bayar kredit karena berbagai faktor dan sejenisnya? Bila jawabannya tidak ada, maka soalnya adalah adakah sistem keuangan di dunia yang, sekali lagi, stabil? Bila ada, mengapa gold dan silver ditolak sebagai standar mata uang? Dipukul telak dengan taktik licik oleh jagoan-jagoan Wall Street, yang dimotori oleh JP. Morgan, Rockeffeller, Jacob Schift dan Paul Moris Warburg? Tidakkah sistem keuangan khas jagoan-jagoan ini dalam “esensinya” memang elastis dan dinamis? Tidakkah sistem keuangan khas jagoan-jagoan ini dimaksudkan untuk terus-menerus memproduksi inflasi dan deflasi? Bahkan juga memproduksi krisis? Lalu setelah krisis,menerpa keuangan negara, bank sentral muncul menjadi bukan lending of last resort, tetapi juga mengatur kebijakan ekonomi nasional? Perspektif membantu siapapun memahami judul Perpu ini. Sekali lagi, tidak ada sistem keuangan yang dibuat stabil, tetapi mau distabilkan. Karena begitulah sifat bawaan sistem keuangan, maka unintended expected di Perpu ini tidak jauh dari “mengonsolidasi ketidakstabilan” sistem keuangan itu. Mengapa begitu? Karena pemerintah, bukan “corporasi” yang dibebani tanggung jawab mengurus rakyat. Kerja perusahaan ya cari untung, untung dan untung. Begitulah cara berpikir J.P Morgan, Rockeffeller, Jacob Schif dan Paul Morizt Warburg. Orang-orang yang merancang terciptanya The Federal Reserve, The Fed’s. Krisis datang, maka korporasi meminta uluran tangan pemerinah. Begitu seterusnya cara mereka melipat gandakan perampokan uang negara. Cara pandang ini memang tidak dibayangkan oleh Alexander Hamilton, Menteri keuangan pertama di Amerika Serikat. Alexander Hamilton, dapat disebut sebagai bapak pencipta Bank Sentral Amerika. Pada mulanya Bank Of England. Bukan Reicsbank Swedia dan Jerman, yang ditunjuk Hamilton dalam merancang Firts American Bank. Bank ini, dalam rancangan Hamilton, hanya dimaksudkan untuk menampung perolehan pajak, serta memudahkan pembiayaan perang. Dalamm pandangan Hamilton, itulah fungsi awal Bank of England. Itulah yang Hamilton kehendaki dari Bank yang mati-matian ia perjuankan pembentukannya, yang kelak dikenal dengan sebutan Bank Sentral. Hamilton memang mendapat tantang sangat keras oleh Thomas Jefferson dan James Madison. Tetapi Presiden Amerika ini kalah. Lahirlah “First American Bank” yang diberi waktu operasi selama 20 tahun. Tidak lebih. Masa operasinya berakhir pada tahun 1816. Supaya operasi “First American Bank” dapat dilanjutkan, maka diciptakanlah perang tahun 1812 itu. Perang ini menjadi alasan utama agar bank itu dilanjutkan lagi operasinya. Maka lahirlah “The Second American Bank”. Masa operasinya berakhir pada tahun 1836. Mau diperpanjang lagi, tetapi Presiden mereka Andrew Jackson menolak. Jackson memveto UU baru yang akan yang memperpanjang operasinya bank ini. Veto Jackson itu mengakibatkan untuk waktu 78 tahun lamanya, Amerika tak punya Bank Sentral. Tetapi kelak tiba waktunya Amerika berjaya dengan Bank Sentral. Kejayaan itu datang setelah empat tokoh di atas menyingsingkan lengan baju masuki panggung politik. Apakah mereka menjadi Presiden? Tidak. Menjadi legislator? Juga Tidak. Mereka menggunakan politisi –capres- dan legislator serta ilmuan dari universitas-universitas ternama untuk menggolkan gagasan Bank Sentral. Itu yang mengakibatkan Oliver Mithcell Sprague, yang menulis History of Crises under The National Bank dan kelak memimpin pembentukan Harvard Graduate Schooll of Bussiness ini, tak berdaya menghadapi mereka. Sprague bersandar pada pandangan Bagehot, pencipta Bank of England sebagai Bank Sentral yang berkedudukan di Lombar Street, semacam Wall Streetnya Inggris. Bagehot menyatakan Bank of England juga menghasilkan krisis keuangan. Itu sebabnya Bagehot menghendaki agar Bank of England sebagai Bank Sentral yang berfungsi sebagai lending of last resort harus dibebani tanggung jawab sosial. Sayangnya, gagasan ini ditolak kawan-kawannya di Bank of England. Sembari bersandar pada pandangan Bagehot, Sprague dengan meyakinkan pengalaman Bank Sentral, baik Inggris maupun Amerika. Menurutnya, pengalaman kedua negra ini menunjukan bank akan memperluas stabilitas dengan cara mengawetkan asset bank besar. Menurut Sprague, ini menjadi sebab mereka gagal bergerak cepat mencegah terjadinya kepanikan keuangan. Pandangan Sprague itu, pada level tertentu disetujui Joseph French Jonhson dan Horace White. Pandangan keduanya terlihat pada saat keduanya mendiskusikan makalah Paul Warburg, pria yang menciptakan The Fed’s. Keduanya mengakui bank sentral model Eropa, memang berusaha mengindari krisis keuangan, tetapi tidak untuk krisis perdagangan. Bagi keduanya, ini disebabkan Bank Sentral lebih suka memompa liquiditas mereka ke pasar uang. Keduanya lalu mengetengahkan jalan keluarnya. Bagi mereka, bank-bank lokal harus diberi kesempatan terlibat dalam operasional Bank Sentral, sehingga mereka dapat menjaga kepentingan mereka. Masih terdapat serangkaian maneuver cukup hebat, yang berakhir dengan lahirnya satu bill tentang The Federal Reserve. Bill ini disiapkan oleh tim khusus kelompok ini di Jackyl Island. Nelson Aldrich, senator republican yang telah terkoneksi dengan Rockeffeler ada di dalamnya. Tetapi bukan Nelson Aldrich yang mengajukan bill itu ke Senat, melainkan Theoddore Burton, senator republik. Ketika diajukan ke senat, bill ini dikenal dengan “Aldrich Plan”. Dalam kenyataanya plan ini memperoleh tantangan sangat keras dari William Jennings Bryan, Senator Demokrat. Menariknya, muncul satu keadaan yang menguntungkan para reformis. Apa keadaan itu? Parker Wills diangkat menjadi asisten Carter Glass, Ketua the House of Banking and Currency Committee. Glass adalah seorang Demokrat dari Virginia. Disebut beruntung bagi para reformis perbankan, karena H. Parker Wills, selain menjadi dosen bagi dua anak Glass di Washington and Lee University, juga merupakan satu anggota Nation Leage. Nation Leage adalah sebuah tim non bankir, yang bekerja di bawah kendali Morgan dan kawan-kawan. Tugas mereka mempropagandakan gagasan Sentral Banking. Paul Warburg, disisi lain juga bekerja sama kerasnya. Figur yang menyukai model Bank Sentral Jerman inilah yang memberi nama The Fed’s. Kerja keras mereka sukses. Lahirlah The Federal Reserve pada tahun 1913. Di tengah krisis ekonomi, tepatnya pada tahun 1935, Kongres menyetujui The Banking Act. Melalui UU ini kewenangan The Fed’s diperluas, dengan dibuatnya The Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Perluasan yang sangat signifikan adalah kontrol terhadap kebijakan keuangan nasional diletakan pada Dewan Gubernur The Fed’s. Enam belas tahun kemudian, tepatnya tahun 1951, atas permintaan kementeran keuangan, The Fed’s secara sukarela menerima kebijakan suku bunga rendah atas government bond. Sebenarnya kebijakan ini merestorasi independensi The Fed’s dalam memonetisasi utang pemeritahan dengan bunga tetap. Tetapi pada saat yang sama kewenangan The Fed’s membuat kebijakan keuanggan nasional diperluas. Tak lama setelah itu, tepatnya tahun 1956 Kongres Amerika membuat The Bank Holding Company Act. Dalam UU ini The Fed’s diberi kewenangan baru berupa bank yang telah berbentuk holding harus mendaftar pada The Fed’s. Dewan Gubernur The Fed’s diberi kewenangan mengatur cara pendaftaran dan pengawasan atas mereka. Berhenti di titik itukah perluasan atas kewenangan The Fed’s? Tidak. Tahun 1978 terbit lagi dua UU. Pertama, The Intetrnational Banking Act 1978. Kedua, The Full Employment and Balanced Growt Act 1978. Pada The International Banking Act, The Fed’s diberi kewenangan mempromosikan kompetisi antara bank domestik dan internasional. Dan Dewan Gubernur bertanggung jawab mengatur dan mensupervisi aktifitas bank yang berbentuk holding. Pada UU yang kedua, The Fed’s diberi kewenangan untuk secara langsung mempengaruhi perekonomian nasional. Tiga tahun kemudian Kongres kembali membentuk Depository Institution Deregulation and Monetary Control Act 1980. Undang-Undang ini memperluas akses The Fed’s memeriksa semua institusi keuangan. Esensi UU ini adalah semua institusi keuangan harus mematuhi aturan The Fed’s. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tahun 1991, Kongres membentuk lagi satu UU. Namanya The Federal Deposit Insurance Corporation Improvement Act of 1991. UU ini memperkuat kewenangan The Fed’s mensupervisi bank asing yang memasuki sistem perbankan Amerika. UU ini menguatkan pengaruh The Fed’s tidak hanya pada sistem perbankan, tetapi juga ekonomi Amerika secara keseluruhan. Delapan tahun kemudian, Kongrers membuat lagi apa yang disebut dengan Gramm-Leach-Bley Act 1999. UU ini mengatur banyak aspek dalam industri perbankan. Dari mergers hingga proteksi terhadap informasi pribadi konsumen. UU memberi kewenangan kepada The Fed’s mengatur bank dan anak perusahaan. Dalam UU ini juga diberi kewenangan hak veto kepada The Fed’s, dan Kemeterian Keuangan untuk saling memveto satu sama lainnya. Ketika Amerika dilanda krisis kuangan pada tahun 2008, Kongres membuat Emergency Economic Stabiization Act (EESA) 2008. Dalam UU ini The Fed’s diberi kewenangan membayar kepada bank dengan tingkat suku bunga tinggi atas deposito. Pembayaran disifatkan sebagai cadangan, yang dawali pada 1 Oktober 2008 – hingga 2011 sesuai ketentuan UU. Praktis UU ini menempatkan The Fed’s sebagai bagian integral dari penyelamatan ekonomi Amerika Serikat yang sedang berlangsung, dan instabilitas di masa yang akan datang. Spektrum dan pola-pola kerja seperti The Fed’s itu terlihat cukup jelas pada materi “Perpu Corona No.1/2020”. Perpu ini memberikan kewenangan istimewa kepada Bank Sentral dan pemerintah untuk mengurus masalah ekonomi hingga tahun 2022. Ketentuan itu sangat mirip ketentuan yang terdapat dalam Emergency Economic Stabiization Act (EESA) 2008 punya Amerika. Akankah Mahkamah Konstitusi menyingsingkan jubah kehormatannya untuk mengenal spektrum Emergency Economic Stabiization Act (EESA) 2008 itu pada saat memeriksa “Perpu Corona No. 1/2020 ini? Mungkinkah Mahkamah Konstitusi mengabaikan kenyataan itu? Apakah Mahkamah Konstitusi hanya berkutat pada persoalan klasik Perpu, yakni kegentingan yang memaksa? Apakah Mahkamah Konstitusi hanya mengutak-atik seperlunya teori kuno John Locke tentang State Emergency? Semoga saja berkah dari Ramadhan Al-Mubarrakh bisa menyertai mereka para Hakim Yang Mulia. Insya Allah. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate.

Pentingnya Orangtua Memahami Ilmu Pedagogi

By Dr. Elli Widia S.Pd. MM.Pd Jakarta FNN – Jum’at (24/04). Menjadi orangtua sungguh tidak mudah. Di media sosial banyak orangtua mengeluh terkait betapa repotnya membimbing anak-anak belajar di rumah selama masa pandemi virus corona baru (Covid-19). Kondisi ini juga mengharuskan mereka bekerja dari rumah atau “Work From Home” (WFH) dan anak-anak belajar di rumah. Keharusan untuk belajar di rumah rupanya kurang menyenangkan bagi anak-anak yang masih sekolah. Akibatnya, banyak anak-anak yang dengan polos mengungkapkan kesedihan dan kekecewaan kepada gurunya. Mereka menyampaikan keluhannya melalui komunikasi via telpon atau WhatsApp (WA). Umumnya selama mereka belajar di rumah, anak-anak merasa tidak mendapakan bimbingan sebagaimana yang sebelumnya mereka rasakan dari guru-gurunya di sekolah. Pertanyaan yang kemudian bisa muncul di benak seorang guru adalah, mengapa orangtua merasa kesulitan membimbing anak-anaknya untuk belajar dengan sungguh-sungguh di rumah? Kenapa pula anak-anak sejatinya lebih suka belajar seperti biasanya di sekolah? Dalam kaitan ini UNESCO (Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB) menyebutkan, hampir 300 juta siswa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia terganggu kegiatan sekolahnya akibat adanya wabah Covid-19. Wabah virus tersebut bisa mengancam hak-hak pendidikan mereka di masa depan. Tidak dapat dipungkiri, wabah virus corona telah berdampak terhadap sektor pendidikan. Gangguan terhadap hak-hak pelayanan pendidikan yang biasanya diperoleh para siswa dari guru-gurunya di sekolah. Jika wabah ini tidak segera bisa diatasi, dipastikan anak-anak akan terganggu hak-haknya untuk mendapatkan layanan pendidikan yang maksimal. Wabah Covid-19 memang telah berdampak kepada kegiatan-kegiatan penting para siswa yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh tiap sekolah. Konsekuensinya, capaian target bidang pendidikan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan sekolah-sekolah juga akan mengalami hambatan. Langkah yang telah diputuskan sekolah terkait adanya wabah Covid-19 adalah menghentikan semua kegiatan pembelajaran di sekolah-sekolah. Kemudian mengharuskan pelajar atau siswa untuk belajar di rumah dengan bimbingan dari para orangtua. Menghadapi situasi seperti itu, setiap guru dan dosen memiliki strategi tersendiri untuk tetap dapat memberikan pembelajaran kepada para siswa atau mahasiswanya. Ada yang menggunakan aplikasi googleclassroom dan ada pula yang memakai Whatsapp, Zoom, Jitsi.meet dan berbagai aplikasi lainnya. Pemberian tugas dengan pembelajaran melalui penggunaan aplikasi teknologi informasi seperti itu mengharuskan orangtua untuk membimbing dan menjadi pengajar anak-anaknya di rumah. Orangtua hadir sebagai pengganti guru di sekolah. Persoalannya kemudian, ternyata banyak orangtua merasa stress dan emosi menghadapi sikap kritis anak-anaknya. Begitu pula tidak percayanya anak-anak kepada bimbingan dari orangtua. Dalam beberapa kasus, malahan mengakibatkan munculnya kekerasan orangtua terhadap anak-anak di rumah. Keluhan terjadi di sana-sini, baik dari orangtua maupun dari anak-anak. Orangtua mengeluh karena ketidaksabarannya menghadapi anak sendiri ketika memberikan bimbingan belajar di rumah. Sementara mereka sendiri harus bekerja dari rumah. Pada sisi lain, keluhan anak-anak tidak kalah serunya. Mereka kadang-kadang merasa tertekan dengan cara orangtuanya melakukan bimbingan belajar di rumah. Tidak sedikit anak-anak menelpon gurunya sambil menangis serta menyatakan kangen dan ingin berjumpa guru serta teman-temannya di sekolah. Tingkat stress orangtua dan anak-anak kemudian meningkat, terutama di daerah-daerah yang memperpanjang masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena belum meredanya wabah Covid-19. Apalagi belum jelas kapan wabah itu bisa diatasi. Konsekuensinya, para orangtua harus tetap sebagai pengganti guru untuk membimbing anak-anak di rumah. Orangtua Baru Sadar Kondisi ini juga menghasilakn hikmah bagi para orangtua. Mereka semakin memahami bagaimana sulitnya menjadi seorang guru. Guru dituntut dengan banyak target yang harus dipenuhi. Namun, ada segudang kesibukan lain yang terkait dengan bidang tugasnya, yang juga harus dituntaskan. Sementara itu tuntutan pekerjaan sebagai guru mengharuskan mereka tampil sempurna di depan anak-anak di sekolah. Bahkan tidak jarang di depan para orangtua yang datang ke sekolah. Selama ini para orangtua kurang memahami, dan tidak merasakan bagaimana repotnya menjadi guru dalam menghadapi berbagai macam karakteristik peserta didik. Guru bukan hanya sekedar harus terampil dalam menyampaikan bahan dan materipelajaran. Namun juga harus mampu mengembangkan kepribadian dan watak anak-anak. Guru juga harus dapat mengembangkan dan mempertajam hati nurani anak didik mereka. Pada saat yang bersamaan, tidak jarang para guru mendapatkan protes dan perlakuan yang tidak mengenakkan dari pihak wali murid. Ketidakpuasan seorang wali murid malahan sering dikemukakan di depan wali murid lainnya. Bahkan ada juga yang diviralkan di media sosial. Namun hebatnya para guru. Walaupun menghadapi situasi psikologis yang tidak menyenangkan dari anak-anak didik dan wali murid. Namun umumnya para guru tetap tampil menjadi pribadi yang mengayomi, mendidik, dan menyayangi murid-muridnya. Efek belajar di rumah membuat banyak wali murid sadar bahwa guru memang manusia yang sangat “luar biasa”. Kesabaran dan ketekunan serta ketelatenan guru yang selama ini kurang diperhatikan. Ternyata tugas guru tidak dapat dilaksanakan dengan baik oleh para orangtua di rumah dalam membimbing anak-anaknya sendiri. Untuk itu, para orangtua juga perlu memahami ilmu Pedagogi. Tujuannya, agar mereka dapat memberikan bimbingan belajar dengan baik terhadap anak-anaknya di rumah. Pedagogi itu sendiri adalah ilmu atau seni menjadi seorang guru atau pengajar. Istilah ini merujuk pada strategi pembelajaran atau gaya pembelajaran terhadap anak-anak. Pedagogi merupakan ilmu yang mengkaji bagaimana membimbing anak-anak? Bagaimana sebaiknya pendidik berhadapan dengan anak didik? Apa tugas pendidik dalam mendidik anak? Selain itu, juga apa yang menjadi tujuan mendidik anak? Pedagogi berasal dari bahasa Yunani, yakni “paid” berarti kanak-kanak, dan “agogos” yang berarti memimpin. Kemudian Pedagogi mengandung arti memimpin anak-anak. Definisi yang diartikan secara khusus sebagai “suatu ilmu dan seni mengajar anak-anak”. Sedangkan Pedagogi kemudian didefinisikan secara umum sebagai “ilmu dan seni mengajar”. Pedagogi juga kadang-kadang merujuk pada penggunaan yang tepat dari strategi mengajar. Sehubungan dengan strategi mengajar itu, filosofi mengajar yang diterapkan, dan dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan dan pengalaman, situasi pribadi, lingkungan. Juga tujuan pembelajaran yang dirumuskan oleh guru dan peserta didik. Dalam hubungan ini pula, ke depan sekolah-sekolah perlu mengadakan workshop (lolakarya) atau mungkin seminar-seminar parenting bagi masyarakat terkait pentingnya Ilmu Pedagogi yang juga harus dipahami para orangtua siswa. Namun perlu ditekankan bahwa ilmu Pedagogi terasa penting. Bukan karena terkait adanya wabah Covid 19 yang mengharuskan anak-anak belajar di rumah. Lebih dari itu sangat diperlukan untuk terbinanya kerjasama antara guru dan orangtua siswa dalam meyambung pelajaran dari sekolah ke rumah atas bimbingan orangtua. Ilmu ini juga mengajarkan bahwa anak-anak sejatinya memerlukan lingkungan yang baik. Semuanya ada di lingkungan rumah, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Ketiga lingkungan tersebut mengharuskan orangtua dan guru untuk bisa bekerjasama dalam membimbing dan membentuk kakakter seorang anak. Penulis, Guru SD Islam Nabilah dan Dosen Pascasarjana Fak. Ekonomi Universitas Batam.

Pemerintah dan DPR Jangan Budeg!

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Juma’at (24/04). Pemerintah nggak boleh budek. Begitu juga DPR, jangan sampai budeg. Dengerkan suara rakyat. Dengarkan apa maunya, dan apa permintaan rakyat. Apalagi bangsa sedang berduka seperti sekarang. Rakyat sedang tertekan. Rakyat juga lagi menderita. Mungkin karena gaji anda besar. Project dari negara juga berlimpah. Uang anda masih terus mengalir. Anda nggak merasakan susah dan penderitaan. Akibatnya, ngomong sembarangan saja di tengah rakyat yang lagi kelaparan. Tolong kendalikan you punya mulut itu. Jangan menebar sampah di media. Kondisi seperti sekarang, pejabat maupun elit politik tidak boleh ngaco omongannya. Bicaranya mesti terukur, baik secara etis maupun manfaatnya. Jangan boros dalam berkata-kata. Lebih baik tunjukkan empati, dan fokus membuktikan kerja anda saja. Tidak usah macam-macam. Saat ini, tidak tepat anda bicara Ibu Kota. Apalagi sampai mau melakukan tender segala. Kenapa? Pertama, rakyat tidak melihat ada urgensinya. Jauh dari prioritas, di tengah bangsa yang sedang megap-megap ekonominya. Sebaiknya jangan dipaksakan. Kedua, banyak pihak yang curiga bahwa project Ibu Kota Baru syarat dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Hanya untuk kepentingan kelompok kecil yang ingin mendapatkan keutungan besar. Apakah ada hubungannya dengan investasi politik 2019? Atau malah pesanan investor swasta dan asing? Bisa iya, bisa juga tidak. Waktu yang akan membuktikan. Kecurigaan banyak pihak ini agak logis jika dikaitkan dengan siapa penguasa tanah di daerah yang akan menjadi calon Ibu Kota Baru itu. Ada sejumlah nama konglomerat yang memiliki lahan "super luas" di lokasi bakal Ibu Kota Baru tersebut. Apakah itu faktor kebetulan, atau sengaja? Saat hutan disulap menjadi Ibu Kota, berapa ribu persen kenaikan harga tanah permeter? Belum lagi kalau dibangun gedung perkantoran untuk disewakan. Project apartemen dan perumahan akan menjadi pundi-pundi kekayaan yang luar biasa besar. Belum project infrastrukturnya. Pasti aduhai dan sangat menjanjikan. Nggak kebayang banyak dan besarnya nilai bisnis di Ibu Kota Baru nanti. Munculnya nama Ahok sebagai calon Kepala Otoritas Ibu Kota Baru seolah mengkonfirmasi kecurigaan-kecurigaan di masyarakat itu. Skenarionya semakin terbaca. Tak sedikit yang bertanya, apakah pembangunan Ibu Kota Baru adalah bagian dari project balas budi itu? Atau ada mega skenario di baliknya? Isu ini akan terus muncul setiap nama Ibu Kota Baru terdengar telinga. Rencana pemindahan Ibu Kota belum dibicarakan khusus dengan DPR. Tidak hanya dengan DPR, anggaran Ibu Kota Baru juga dalam pengakuannya, belum dibicarakan dengan menteri keuangan. Tapi, gaungnya sedemikian kencang. Dibahas belum, disetujui belum, sudah promosi besar-besaran. Malah mau tender segala. Termasuk promosi Ahok. Ahok lagi, Ahok lagi. Begitu kata publik. Ahok memang punya hak di negara ini, itu iya. Itu clear. Juga sepakat. Ahok sebagai warga negara punya hak yang sama dengan yang lain. Jangan dikurangi, tetapi jangan juga diprioritas-prioritaskan. Jangan berlebihan mempromosikan Ahok. Bagaimanapun, sosok Ahok telah dianggap "cacat sejarah" . Karena telah divonis pengadilan bersalah dan dipenjara dua tahun. Standarnya adalah putusan pengadilan. Bukan wacana, asumsi dan persepsi. Bukan juga suka atau tidak suka. Bangsa ini punya rasa. Juga punya logika dan etika. "Ngono yo ngono, tapi yo ojo ngono". Tak perlu merawat dan memproduksi kegaduhan terus-menerus. Masih banyak sosok lain yang jauh lebih berkapasitas dan berintegritas untuk dipromosikan dalam posisi-posisi strategis. Profesor Doktor Rafly Harun itu lebih cerdas, pinter dan berintegritas. Tapi malah dicopot. Saya tidak ada urusan dengan Ahok. Sebagai mantan gubernur, Ahok perlu dihargai jasanya. Apapun itu, Ahok ada prestasi yang harus diapresiasi. Ini fair. Rakyat tidak boleh menutup mata mengenai jasa Ahok itu. Namun ada yang bisa dipungkuri dari kebiasaan buruk Ahok. Track record Ahok yang terkait dengan karakter, menjadi persoalan sendiri. Sejumlah peristiwa, catatan hukum dan psikologi rakyat, khususnya umat Islam sebagai penduduk mayoritas, jangan sampai dianggap enteng-enteng saja . Harus menjadi pertimbangan serius jika ingin melihat bangsa ini kondusif lagi ke depan. Ada waktunya nanti saya beberkan analisis berbasis teori-teori sosial dalam kasus ini. Saol Ibu Kota yang sekarang yang digaungkan kembali di atas tumpukan mayat rakyat yang diserbu oleh Covid-19, sungguh membuat dada rakyat semakin sesak. Nyesek banget. Orang bilang itu seperti ngigau saja. Rakyat tidak saja marah, tetapi makin gigih untuk menolak Ibu Kota Baru. Sudahlah, sesekali bicara pakai hati nurani rakyat. Itu standar kita dalam berbangsa dan bernegara. Nurani ini adalah ukuran integritas dan etika dalam mengelola negara ini. Lalu rakyat yang mana? Ini pertanyaan konyol yang sering diulang-ulang oleh elit politik busuk yang menjadi antek korporasi. Siapapun pejabat, mestinya setiap berwacana dan bicara sebaiknya pakai hati nurani rakyat. Bukan hati nurani investor. Terutama pemodal politik. Apalagi hati nurani ABS (Asal Bos Senang). Mereka itu juga kelompok korporasi busuk dan tamak. Soal Ibu Kota Baru, kuburlah rencana itu. Hanya akan menambah deretan panjang kekecewaan rakyat. Pemilu mengecewakan. UU KPK juga mengecewakan. Omnibus law semakin mengecewakan lagi. Pengelolaan hampir semua BUMN sangat dan sangat mengecewakan. Pertumbuhan ekonomi nyata-nyata mengecewakan. Sekarang, mau ditambah lagi rencana Ibu Kota. Mekso banget sih? Seorang pemimpin dan elit politik akan dicatat oleh sejarah bangsa ini. Apakah pemimpin pusat, atau pemimpin daerah. Pemimpin eksekutif, maupun pemimpin legislatif. Termasuk para pejabatnya. Saat mereka turun, semuanya akan dibuka satu persatu. Tidak ada yang terlewatkan. Masa lalu mereka saat menjabat tak bisa lagi bisa dipoles dan ditutupi. Saat itulah pemimpin dan pejabat negara akan dinilai sebagai manusia terhormat atau terlaknat. Tinta sejarah akan menuliskannya. Ditulis dengan tinta emas atau tinta busuk yang berbau. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Nasib Digitalisasi Kemaritiman Pasca Covid-19

By Siswanto Rusdi Jakarta FNN – Kamis (Kamis 22/04). Seperti sektor atau bidang pekerjaan lainnya, bidang kemaritiman -- antara lain pelabuhan, pelayaran, dan logistik juga menjalankan kebijakan Work From Home (WFH) di tengah masih mewabahnya virus corona saat ini. Tidak semua pekerjaan di bidang kemaritiman bisa dilakukan dari rumah. Ada beberapa pekerjaan yang masih harus dilakukan langsung di lapangan. Penyandaran kapal dan bongkar-muat kargo adalah contoh dari pekerjaan yang harus dilakukan di lapangan. Sebab memang tidak ada teknologi yang memungkinkan pelayanan penyandaran kapal dan bongkar-muat kargo dapat dilakukan dari rumah. Tetapi, digitalisasi di bidang kemaritiman, termasuk di tanah air sudah relatif berjalan dengan baik. Bahkan jauh sebelum wabah Covid-19 melanda. Urusan bayar-membayar dan permintaan pelayanan sandar kapal serta pemesanan peti kemas sudah bisa diajukan online oleh pelayaran. Di Indonesia pelayanan kapal dalam jaringan (daring/online) dilakukan menggunakan platform “Inaportnet”. Dengan sistem ini, operator pelabuhan yang mengaplikasikannya dapat mengintegrasikan pelayanan dermaga, alat bongkar-muat dan armada truk pengangkut secara lebih terukur bagi kapal yang akan sandar maupun yang akan berlayar kembali. Bersama kembarannya, “Indonesia National Single Window” (INSW), pelayanan tadi dapat mengurangi tatap muka antara operator pelabuhan dan pengguna jasa. Akibatnya, peluang untuk main mata yang berujung pada gratifikasi dan korupsi bisa ditutup rapat. Selain itu, penggunaan kertas pun dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kaitan ini, Indonesia agak sedikit terlambat bila dibandingkan dengan negara lain. Singapura misalnya, sudah lebih dari satu dekade menerapkan pelayanan kapal berbasis teknologi informasi (TI). Kini, Singapura tengah mempersiapkan sistem yang lebih maju, yang memungkinkan interaksi para pihak seperti shipper, transporter, authorities makin tokcer layaknya berbagai platform TI kekinian. Belakangan muncul gagasan “National Logistics Ecosystem” (NLE) dalam khazanah kemaritiman dan perlogistikan nasional. Saya mengikuti beberapa diskusi mengenai isu ini yang diadakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Diskusinya jauh sebelum corona merajalela. NLE memang “mainannya” pemerintah. Saya menangkap kesan ini adalah upaya untuk mengintegrasikan berbagai platform yang ada, baik milik pemerintah, BUMN ataupun swasta. Kendati demikian, penggabungan ini tidak meleburkan apa yang sudah ada. Tidak jelas sejauh mana perkembangan proyek ini sekarang. Digitalisasi kemaritiman/perlogistikan nasional (INSW, Inaportnet, NLE) masih terhitung “balita”(di bawah lima tahun). Masih memiliki kekurangan di sana-sini. Kendati sudah online, proses penyandaran kapal di sebuah pelabuhan yang sudah menerapkan Inaportnet tetap memerlukan tatap muka untuk membahas rencana kedatangan kapal dengan melibatkan syahbandar, karantina, dan sebagainya. Sementara itu penerapan INSW masih dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak seluruh instansi pemerintah yang terkait dengan proses pengurusan dokumen barang terintegrasi di dalamnya. Belum lagi praktik koruptif yang melibatkan regulator, pelabuhan/terminal dan pemilik barang yang masih berlangsung dalam proses pengurusan dokumen impor/ekspor. Perdagangan Dunia Lesu Pertanyaannya sekarang adalah, di masa wabah Covid-19 saat ini, bagaimanakah kinerja berbagai platform digital kemaritiman yang ada? Yang bisa dioperasikan oleh seluruh stakeholder bidang ini? Meningkatkah? Biasa saja? Atau, menurun sama sekali. Saya menelusuri berbagai situs berita kemaritiman di seluruh dunia untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi, dan tidak saya temukan. Kadung penasaran, saya menghubungi beberapa teman yang bergerak di sektor pelabuhan dan pelayaran. Kontak dengan mereka ada yang dilakukan melalui Whatsapp atau telepon. Walaupun narasumbernya berasal dari teman sendiri, namun saya yakin jawaban yang mereka berikan bisa dijadikan acuan dan ditarik ke konteks yang lebih luas. Teman-teman saya menyebutkan tidak terjadinya peningkatan trafik dari berbagai teknologi informasi atau aplikasi yang ada di bidang kemaritiman nasional (pemesanan peti kemas online, pemesanan truk online, dan lain-lain) dalam masa wabah corona ini. Malahan menurut mereka cenderung turun, seiring dengan melemahnya gerak pelayaran lokal maupun global. Pelayaran lesu darah karena perdagangan dunia “hidup segan, mati tak mau”. Akibatnya, shipment banyak yang ditunda. Bahkan dibatalkan oleh pelayaran. Dalam istilah pelayaran, pembatalan pelayaran ini dinamakan ”blank sailing”. Kalaupun ada yang naik, itu hanya ada pada konsumsi bandwidth karena tingginya konferensi video internal. Ini kata teman saya yang bekerja di perusahaan pelabuhan. Sementara kawan yang bekerja di salah satu pelayaran penyeberangan berkata lain. Teknologi informasi atau platform aplikasi belum sepenuhnya berjalan di perusahaannya. Penerapan penjualan tiket online malahan baru akan diimplementasikan. Itupun setelah digeber oleh Kementerian Perhubungan. Sementara pemakaian kuota/pulsa meningkat karena makin seringnya komunikasi dengan sejawat dan pimpinan untuk urusan kantor dari rumah. Riset kecil-kecilan yang saya adakan secara dadakan menggambarkan bahwa geliat digitalisasi di ranah kemaritiman dan perlogistikan nasional berbeda-beda levelnya. Antara satu perusahaan atau sektor dengan perusahaan atau sektor lainnya tidak sama. Lebih jauh, digitalisasi yang ada, tidak atau belum mampu menawarkan dirinya sebagai new norm untuk industri terkait. Meskipun sudah ada entry point-nya, yaitu merebaknya Covid-19. Berharap penggunaan berbagai teknologi informasi dan aplikasi menjadi new norm di ranah kemaritiman jelas terlalu dini. Paling banter mereka hanya sebatas sebagai auxiliary atau pelengkap saja bagi sektor-sektor yang ada. Melihat karakteristik dasar bisnis transportasi (pelayaran, pelabuhan, dan bidang-bidang terkait lainnya), peluang pemanfaatannya di masa depan pun sepertinya juga relatif kecil. Jika bermimpi satu saat pemanfaatan TI dan berbagai aplikasi bisa membuat kita memesan layanan kapal seperti ojek online, atau mengirim makanan/produk lain semudah pengiriman dalam jaringan, sebaiknya segera bangun. Jangan tunggu-tunggu lagi. Sebab begitu lebar jurang pemisah di antara mereka. Meskipun rasanya tidak mungkin akan terjadi. Untuk itu, sebagai alternatif, ada baiknya saat ini kita mulai mengintensifkan pemanfaatan green ocean dan smart ocean. Diharapkan ketika wabah corona berlalu, industri kemaritiman nasional bisa makin berkilau. Itu artinya, jika mengoperasikan kapal, pelabuhan atau bisnis perikanan, sedapat mungkin digunakan listrik dari pembangkit yang digerakkan oleh energi terbarukan. Bagi operator pelabuhan, pemanfaatan dua konsep tersebut bisa membantu upaya mereka menuju green port. Digitalisasi kemaritiman pada hakikatnya hanyalah satu elemen dari green ocean. Entahlah. Penulis adalah Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

Jokowi Takut Kehilangan Kekuasaan

Strategi Presiden Jokowi Takut Kehilangan Kekuasaanjelas berhubungan dengan ketidakmampuan pemerintah menanggung biaya finansial yang sangat besar dalam menghadapi pandemi dan akibat ekonominya. Secara implisit, ketidakmampuan itu disampaikan Presiden ketika menjelaskan mengapa pemerintah memilih kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bukan melakukan karantina wilayah atau lockdown. By Rachland Nashidik Jakarta FNN – Kamis (23/04). Presiden, dalam dialog dengan Najwa Shihab tentang strategi mitigasi pandemi, mengatakan "mudik" dan "pulang kampung" adalah dua hal berbeda. "Mudik", kata Presiden, adalah mobilitas penduduk Ibu Kota ke daerah dalam rangka merayakan hari raya di kampung. Bisa pada hari raya Idul Fitri. Bisa juga pada raya Idul Adha. Jadi "mudik" ini merujuk pada kelas menengah yang sudah bermigrasi ke Jakarta. Kalau "Pulang kampung"? Ya sebaliknya. Menunjuk pada penduduk pendatang. Mereka itu penduduk miskin kota, yang pulang ke daerah asal karena di Jakarta kehilangan pekerjaan. Sebab apa Presiden Membedakan Mudik dari Pulang Kampung? Dalam mitigasi pandemic Covid-19, dua jenis mobilitas mamsyarakat yang dimaksud Presiden tersebut, sebenarnya sama-sama beresiko memperluas penyebaran dan penularan virus. Lagi pula secara leksikal, dua hal tersebut sebenarnya menunjuk pada mobilitas orang yang sama, yakni berpindahnya penduduk dalam suatu waktu dari Ibu Kota ke daerah-daerah. Itu sebabnya, penjelasan Presiden lalu jadi terasa kosong dan menggelikan. Namun Presiden dengan ungkapan itu sebenarnya menjelaskan sesuatu yang terlalu penting untuk sekadar kita tertawakan. Hanya jadi lelucon. Tampak kalau Presiden sesungguhnya sedang menjalankan strategi politik keamanan yang menghalalkan segala cara. Bagi Presiden, "mudik" harus dilarang. Lantaran “mudik” mencegah kemungkinan penularan virus mengikuti mobilitas pemudik dari Jakarta ke daerah, dan dari daerah ke Jakarta. Kalau "pulang kampung" justru harus diijinkan, bahkan malah didorong. Tujuannya, untuk mengurangi konsentrasi rakyat miskin kota di Jakarta. Dengan cara itu, masalah dikeluarkan dari Jakarta. Masalah jadi berpindah ke daerah yang tiba-tiba harus menampung mereka. Ikut menanggung potensi masalah sosial berikut resiko penyebaran virusnya. Presiden mungkin diberitahu, kesulitan ekonomi di masa pandemi Covid-19 ini bisa memicu letupan sosial politik yang akan menantang kekuasaannya. Makanya Presiden bergerak cepat mengantisipasi upaya-upaya untuk menentang kekuasaannya. Presiden bukan saja berusaha mengisolasi Jakarta dari resiko lebih lanjut penyebaran virus. Serentak dengan begitu, berusaha melindungi Istananya dari kemungkinan letupan sosial akibat rakyat kehilangan pekerjaan dan tak bisa makan. Srategi Presiden jelas berhubungan dengan ketidakmampuan pemerintah menanggung biaya finansial yang sangat besar dalam menghadapi pandemi dan akibat ekonominya. Secara implisit, ketidakmampuan itu disampaikan Presiden ketika menjelaskan mengapa pemerintah memilih kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Bukan melakukan karantina wilayah atau lockdown. Demikianlah mengapa Presiden membedakan "mudik" dari "pulang kampung". Dan dari situ kita bisa melihat cara berpikirnya. Masalahnya adalah kesehatan. Pendekatannya keamanan. Dasarnya ekonomi. Tujuannya melindungi kekuasaan. Penulis adalah Politisi Partai Demokrat

Giliran Pertamina Berpotensi Gagal Bayar Obligasi

By Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Kamis (23/04). Pertamina baru saja mempromosikan kebijakan harga BBM khusus bagi pengendara Ojek Online (Ojol). Promosi berlaku 14 April-12 Juli 2020 memakai aplikasi MyPertamina (13/4/2020). Sehari kemudian Komut Pertamina, Ahok ikut promosi via twitter yang banyak dikritik. Para pengeritik mempertanyakan mengapa Komut terlibat ranah operasional. Ada yang menganggap kebijakan tidak adil karena hanya berlaku bagi Ojol. Tidak berlaku kepada pengemudi moda transportasi lain yang terdampak korona. Ada yang curiga, kalau program ini terkait kepentingan politik atau bisnis pemegang saham aplikasi Ojol. Kita tidak paham apakah berbagai kritik tersebut valid atau bias. Namun jika promosi dicetuskan pertama kali oleh marketing Pertamina, maka ikut sertanya Ahok bisa untuk memperluas penyebaran promo. Mau menunjukkan andil atau peran Ahok, atau karena para die-hards ingin terus mempromo Ahok yang secara legal sebenarnya tidak qualified menjadi Komut. Kita maklum jika Pertamina mungkin ingin berempati dengan kondisi ekonomi rakyat. Disamping itu, bisa pula ada motif bisnis bersifat strategis dan berjangka panjang yang tidak utuh terpahami. Namun karena dampak pandemi sangat luas, maka keadilan dan empati jadi penting. Namun, jika tidak terkendala dana, diharapkan ada program susulan yang lebih adil dan merata. Bersamaan dengan isu “BBM Ojol”, akhir-akhir ini publik pun mempertanyakan kebijakan harga BBM yang tak kunjung turun. Padahal harga minyak dunia sudah turun cukup rendah. Sesuai formula harga berdasar Perpres No.191/2014 dan No.43/2018, serta sejumlah Permen ESDM yang merujuk Perpres, maka harga BBM seharusnya sudah turun. Mengapa tidak turun? Terlepas apakah Pertamina kelak akan meluncurkan program susulan atas promo BBM Ojol? Apakah pemerintah pada akhirnya menurunkan harga BBM? Sebenarnya publik perlu paham dan concern terhadap hal yang jauh lebih penting. Bahwa keuangan Pertamina sekarang ini berpotensi sangat bermasalah. Kondisi ini sebagai akibat dari kebijakan pemerintah selama ini yang bermasalah. Semakin bermasalah akibat dampak korona. Hal ini menyangkut survival korporasi dan nasib pelayanan energi untuk publik ke depan. Profitabilitas perusahaan yang bergerak pada bisnis hulu dan hilir migas tergantung pada fluktuasi harga minyak dunia. Dalam kondisi normal, bagi perusahaan terintegrasi dari hulu ke hilir (bundled), saat harga minyak di hulu naik, maka profitabilitas akan naik. Penerimaan perusahaan di sisi hulu pasti naik. Juga masih mendapatkan keuntungan pada sisi hilir. Begitu pula, saat harga di hulu turun, dan sisi hulu merugi, namun secara keseluruhan perusahaan masih untung, karena bisnis hilir bisa untung lebih besar. Namun dalam kondisi pandemi Covid-19, situasinya berbeda. Akibat pandemi korona, penurunan konsumsi BBM/minyak di sektor transportasi, industri dan komersial, membuat demand minyak turun 16-20 juta barel per hari (bph). Biasanya konsumsi minyak global sekitar 100 juta bph. Seimbang dengan produksi pada level 100 juta bph. Dengan pandemi korona, maka rata-rata over supply minyak dunia sekitar 20 juta bph. Kondisi ini menyebabkan harga minyak turun ke level US$ 20-an per barel. Harga terendah dalam 20 tahun terakhir. Untuk “memulihkan” harga yang rendah ini, negara-negara penghasil minyak OPEC dan non-OPEC, (disebut OPEC+) telah melakukan negosiasi penurunan produksi melalui teleconference. Pada perundingan OPEC+ pertama pada 6 Maret 2020 antara Arab Saudi (pordusen terbesar OPEC) dan Rusia (produsen terbesar ke-2 non-OPEC setelah AS) tidak menghasilkan kesepakan penurunan produksi. Negosiasi gagal. Pada perudingan OPEC+ kedua 9 April 2020, para pihak berhasil sepakat mengurangi produksi hingga 9,7 juta bph. Mulai berlaku pada Mei 2020. Ternyata pada 17 April 2020 harga minyak kembali turun menjadi US$ 18-an per barel, terutama karena pemangkasan produksi OPEC+ yang disepakati sebelumnya tidak cukup besar mengimbangi penurunan konsumsi akibat korona. Tangki-tangki penyimpanan negara-negara yang ingin menimbun sudah penuh. Dampak over supply ini pulalah yang dirasakan oleh Pertamina. Dalam rapat dengar pendapat via teleconference dengan Komisi VII DPR (16/4/2020) Dirut Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan penjualan retail BBM turun sekitar 16,78%. Aviasi turun rata-rata harian 45%. Nicke mengatakan, akibat permintaan yang turun tersebut, Pertamina akan menghentikan operasi kilang Balikpapan pada Mei 2020. Dalam satu simulasi harga minyak dan kurs dollar pada level tertentu, pendapatan korporasi bisa turun hingga 45%. Penjelasan Nicke menunjukkan kedua lini bisnis Pertamina menurun. Keuntungan sisi hilir dengan penjualan yang anjlok signifikan tidak cukup besar menutup kerugian di hulu dan beban operasi. Pertamina bepotensi mendatangkan kerugian. Kondisi keuangan menjadi lebih bermasalah. Sebagai akibat dari kebijakan pemerintah pada Pertamina yang berlangsung selama ini. Pertama, pemerintah memaksa Pertamina membayar signature bonus (SB) sekitar Rp. 11 triliun agar dapat mengelola blok Rokan yang sekarang masih dikelola Chevron. Padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, Pertamina berhak mengelola blok tersebut tanpa membayar SB. Ternyata, meski baru mulai mengelola Agustus 2021, Pertamina dipaksa membayar SB pada Desember 2018. Untuk itu, Pertamina harus menerbitkan surat utang U$ 750 juta. Kedua, akibat kebijakan populis Jokowi untuk menangkan Pilpres 2019. Pertamina harus menanggung beban subsidi BBM. Akibat program pencitraan ini, ditambah subsidi LPG 3 kg yang sebagian tidak tepat sasaran, Pertamina harus menanggung beban subsidi yang terakumulasi sejak April 2016/2017 hingga 2019 sekitar Rp 85 triliun lebih. Kebijakan ini pun telah menyebabkan Pertamina berutang. Pembebanan subsidi puluhan triliun rupiah pada Pertamina yang harusnya ditanggung APBN merupakan pelanggaran Pasal 66 UU BUMN No.19/2003. Setelah diprotes publik, pemerintah menyatakan akan menyicil piutang Pertamina tersebut. Namun dalam kondisi APBN defisit ratusan triliun rupiah akibat korona, cicilan tersebut bisa saja tidak segera terbayar. Akibat harus menanggung beban signature bonus dan subsidi untuk pencitraan, hingga Januari 2020, utang (obligasi) Pertamina telah mencapai U$ 12,5 miliar atau Rp. 187,5 triliun pada kurs Rp. 15.000 per dollar. Rata-rata tingkat bunga utang itu sekitar 5-6%. Dengan demikian, diperkirakan Pertamina harus menanggung beban bunga obligasi sekitar Rp 11-12 triliun per tahun. Masalah Pertamina yang lain, terkait harga jual minyak mentah Indonesian Crude Price (ICP) yang harus dibayar Pertamina kepada pemerintah yang dinilai tidak wajar. Nilai ICP diterbitkan setiap bulan melalui SK Menteri ESDM sesuai formula “Harga Minyak Brent (Dated Brent) plus/minus Alpha”. Dalam SK tersebut, terdapat nilai Alpha bulan Januari-Maret 2020 yang sangat tinggi, yaitu untuk minyak Duri U$ 11-15 dan Banyu Urip U$ 7-9 per barel. Padahal untuk minyak jenis-jenis lain, nilai Alpha hanya berkisar antara U$ 2-3 per barel. Produksi minyak Duri dan Banyu Urip bisa mencapai 500 ribuan bph terhadap 730 ribuan bph total produksi nasional. Dengan nilai Alpha yang besar, berarti meskipun harga minyak dunia turun, Pertamina tetap membayar harga crude yang cukup tinggi kepada pemerintah. Ujungnya, harga ICP ber-Alpha tinggi ini akan ditanggung konsumen BBM juga. Anomali nilai Alpha ini patut dipertanyakan. Pemerintah bisa berdalih ini untuk menarik investasi di sektor hulu. Namun bisa muncul spekulasi, pemerintah ingin menjaga penerimaan PNBP di APBN, atau bisa juga karena moral hazard. Apapun itu, konsumen tidak akan mendapat BBM yang harganya turun sebanding dengan turunnya harga minyak dunia. Ini karena adanya “beban dana siluman” yang diambil pemerintah melalui nilai Alpha pada ICP. Harga BBM Harus Turun Terkait harga BBM, Dirut Nicke Widyawati menyatakan pada rapat dengar pendapat virtual dengan Komisi VII DPR (16/4/2020) bahwa penetapan harga BBM merupakan wewenang pemerintah. “Jadi kami tiap bulan mengikuti formula harga yang ditetapkan Kementerian ESDM. Sebetulnya penetapan harga dilakukan pemerintah” kata Nicke. Pada rapat virtual dengan Komisi VII DPR berikut (21/4/2020), Nicke mengatakan harga BBM Pertamina juga tergantung keharusan menyerap crude domestik, harga ICP (pemerintah) lebih mahal, kurs U$ yang naik dan kepentingan survival bisnis. Karena itu, Nicke mengatakan harga BBM belum dapat diturunkan. ICP mahal terjadi akibat anomali nilai Alpha. Jika merujuk Permen ESDM No.34/2018 tanggal 7 Juni 2018, harga jual BBM umum ditetapkan badan usaha dan dilaporkan kepada Dirjen Migas. Karena itu, apapun alasannya, jika merujuk Perpres No.191/2014, Perpres No.43/2018 dan formula harga sesuai Kepmen ESDM N.62 K/10/2020 tertanggal 27 Febuari 2020, maka mulai 1 April 2020, harga BBM RON 92 (pertamax) misalnya, harus turun dari Rp. 9.000 menjadi Rp. 5.500-60.00 per liter. Jika harga BBM tidak turun setelah tiga minggu dari jadwal, maka pemerintah telah membiarkan terjadinya pelanggaran oleh Pertamina. Pembiaran ini memang sejalan dengan pernyataan Nicke (16/4/2020) bahwa meskipun hak penetapan harga BBM berada di tangan Pertamina, implementasinya tetap teragantung persetujuan pemerintah. Karena itu, pemerintahlah yang menjadi aktor penyebab tidak kunjung turunnya harga jual BBM kepada masyarakat. Ternyata selisih harga BBM ribuan rupiah per liter, sekitar Rp 3.000 untuk pertamax dan jenis BBM lain, bukan saja dinikmati Pertamina. Juga dinikmati oleh badan usaha pemilik SPBU swasta/asing. Korbannya adalah rakyat Indonesia para konsumen BBM. Karena itu, rakyat pantas menggugat pemerintah atas pelanggaran ini dan meminta ganti rugi atas harga berlebihan yang sudah dibayarkan. Blunder marketing BBM Ojol. Karena tidak dipahami publik secara utuh. Pada saat tengah krisis mungkin bisa dimaklumi. Begitu pula, jika ada personal yang tidak qualified menumpangi promo demi pengakuan atau unjuk prestasi, bisa saja diperbaiki jika ada keberanian untuk segera mengganti. Namun, kebijakan yang melanggar konstitusi, peraturan dan prinsip GCG, sehingga akibat pendemi korona justru dapat membuat Pertamina gagal bayar dan mengancam survival usaha, maka rakyat pantas menggugat dan meminta pertanggungjawaban Jokowi. Akhirnya kita menuntut pemerintah untuk menjamin Pertamina tidak sampai gagal bayar. Pemerintah juga dituntut segera mengklarifikasi anomali nilai Alpha ICP yang membuat harga crude lebih tinggi. Segera turunkan harga BBM sebanding dengan turunnya harga minyak dunia, dan memberi ganti rugi atas selisih harga yang sudah dikeluarkan sejak 1 April 2020. Terkait harga BBM ini, rakyat bisa saja melakukan gugatan class action. Selain itu, praktek sapi perah terhadap BUMN bagi kepentingan sempit harus dihentikan, karena seperti kata Menteri BUMN Erick Thohir (26/2/2020), BUMN bukan Badan Usaha Milik Nenek Lu”. Penulis adalah Managing Director Indonesian Resources Studies (IRESS)

Pandemi Corona Dan Penyelamatan Investasi Masa Depan

Oleh: Syamsul Qomar Jakarta, FNN - “Seribu orang tua hanya bisa bermimpi, tapi seorang pemuda mampu mengubah dunia!” (Soekarno) DAMPAK kesehatan serius COVID-19 tampaknya dirasakan oleh orang tua berusia lebih dari enam puluh tahun. Namun, karena coronavirus telah menjadi pandemi, menyebar melalui masyarakat dan melumpuhkan beberapa sektor ekonomi, kaum muda, yang jumlahnya kira-kira seperempat dari populasi Indonesia, secara tidak proporsional menghadapi risiko ekonomi. Statistik Pemuda Indonesia 2019 (Badan Pusat Statistik) menyebutkan bahwa saat ini terdapat sekitar 64,19 juta pemuda yang tersebar di wilayah NKRI dan mengisi hampir seperempat jumlah penduduk Indonesia (24,01 persen), dan sejatinya pemuda memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam perekonomian nasional, mengingat mereka merupakan aktor dalam akselerasi pembangunan. Namun demikian, Pemuda adalah elemen masyarakat yang sangat rentan terdampak krisis Corona dalam aspek ekonomi hingga tiga kali lebih mungkin menjadi pengangguran daripada orang dewasa. Sebagai respon atas penyebaran masif coronavirus ke hampir seluruh daerah, banyak perusahaan swasta, organisasi dan institusi pemerintah membatalkan kegiatan, menyetop produksi sementara, menerapkan “work from home” bagi karyawan. Banyak Kota dan kabupaten bahkan mengambil langkah-langkah penting untuk mencoba dan mengurangi tingkat penyebarannya, termasuk melarang pertemuan atau acara besar, menutup sekolah, membatasi masuk, dan bahkan mendirikan zona pembatasan masyarakat melalu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB). Lebih jauh, ancaman virus corona mempengaruhi perilaku sosial, termasuk karantina diri dan jarak fisik antar individu masyarakat, membatasi publik dan kontak antarpribadi. Dampak negatif terhadap ekonomi sangat jelas terasa, pada pekerja muda dan usaha kecil menengah yang cenderung signifikan. Menurut International Labor Organization, pengangguran kaum muda secara global mengalami kenaikan saat terjadi krisis. Kaum muda cenderung bekerja dalam pekerjaan musiman, temporer, informal, dan lebih cenderung untuk pekerjaan freelance atau paruh waktu tanpa diberikan tunjangan kesehatan atau cuti berbayar. Kondisi ini membuat kaum muda lebih rentan terhadap pemotongan pekerjaan atau kontrak, pemberhentian hubungan kerja secara sepihak, dan selanjutnya mengalami pengangguran jangka panjang. Terlebih lagi, pekerja muda banyak mengisi sektor pekerjaan dengan keterampilan rendah di ritel dan sektor jasa pelayanan (termasuk perhotelan, bisnis makanan dan cafe) - yang sangat rentan terdampak Corona. Secara lebih spesifik kondisi riil di Indonesia menyebutkan bahwa lapangan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja pemuda adalah sektor jasa-jasa (55,20 persen). Sedangkan menurut jenis pekerjaan utama yang dibagi dalam 8 kategori, sebagian besar pemuda bekerja sebagai tenaga produksi dan angkutan. Lebih dari separuh pemuda yang bekerja berstatus sebagai buruh/karyawan (58,81 persen), diikuti pekerja keluarga atau tidak dibayar (14,29 persen). (BPS, dalam Statistik Pemuda Indonesia 2019) Pada tahun 2019, lebih dari separuh pemuda Indonesia bekerja (53,89 persen), sisanya aktif sekolah, mengurus rumah tangga, serta sibuk mencari dan mempersiapkan pekerjaan. Persentase pemuda laki-laki yang bekerja lebih besar daripada perempuan, dan lebih dari separuh pemuda bekerja berada pada kelompok umur 19-24 tahun dan 25-30 tahun. Selain itu, masih terdapat sekitar 18,51 persen pemuda usia 16-18 tahun yang bekerja, padahal usia tersebut masih termasuk usia sekolah. Pemuda yang terlibat dalam kegiatan ekonomi cukup tinggi, hal ini dinyatakan dengan nilai Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pemuda sebesar 61,96 persen. Artinya, sekitar tiga dari lima pemuda sedang bekerja, mempersiapkan pekerjaan, atau mencari pekerjaan. Sebelum Pandemi Corona, Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pemuda Indonesia tahun 2019 sebesar 13,03 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa dari setiap 100 angkatan kerja pemuda, terdapat sekitar 13 pemuda tidak bekerja dan sedang mempersiapkan usaha atau mencari pekerjaan. TPT pemuda di perkotaan lebih tinggi dibandingkan pemuda di perdesaan. Nilai TPT pemuda yang paling tinggi adalah mereka yang berpendidikan SMA/sederajat, diikuti PT dan SMP/sederajat. Isu Pengangguran kaum muda ini menjadi satu konsen dan fokus pemerintah melalui serangkaian kebijakan dan program untuk mendukung kaum muda mengatasi goncangan jangka pendek dari coronavirus. Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun) pada kurun waktu 2030-2040. Pemerintah, swasta dan masyarakat harus bergerak seirama menyelamatkan pemuda agar visi bonus demografi yang akan dialami Indonesia pada 2030-2040 bisa tercapai untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Apapun kondisi akibat Pandemi Corona, program dan kebijakan pengembangan dan pemberdayaan pemuda harus tetap berjalan sebagai bagian dari pembangunan nasional. Alokasi Anggaran Negara harus memprioritaskan pembangunan pemuda (salah satu agenda strategis nasional RPJMN Republik Indonesia) sebagai aset masa depan republik ini. Bersama dengan sektor swasta, BUMN, pemerintah daerah dan seluruh elemen masyarakat, program pengembangan dan pemberdayaan kaum muda diarahkan untuk membuka akses pemuda menjangkau sumber daya secara digital untuk dengan cepat mendapatkan keterampilan baru dan mendapatkan penghasilan ekonomi secara mandiri. Kemenpora, sebagai core lembaga pemerintah dalam pembangunan kepemudaan (dan olahraga) nasional Indonesia, berfokus pada penanganan pandemi Corona pasca krisis, yakni memastikan program pengembangan dan pemberdayaan pemuda tetap berjalan maksimal. Krisis pandemi Corona memang akan meninggalkan dampak, tapi tidak sampai menghambat, justru melahirkan inovasi dan kreasi baru dalam menstimulasi program dan kebijakan pemerintah di bidang kepemudaan dengan satu atau ribuan cara lain. Pendidikan, pengembangan potensi kewirausahaan dan pemberdayaan pemuda diarahkan untuk dapat membantu generasi muda bisa tetap berkarya dan survive menghadapi kesulitan, stres, ketakutan dan kehilangan pekerjaan selama dan setelah krisis. Pengembangan potensi pemuda salah satunya adalah dengan memberikan keterampilan dan pelatihan bisnis secara digital melalui Program Digital Enterprenur Millenials Kemenpora yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Program ini sesuai dengan objektifitas lapangan dimana aktifiitas ekonomi dan perdangan elektronik (e-commerce) cenderung paling bisa bertahan dibandingkan sektor ekonomi konvensional yang terhenti dan lumpuh akibat pemberlakuan PSSB. Hal ini juga linear dengan Data BPS 2019 yang melihat fakta bahwa Pemuda Indonesia mayoritas sudah melek teknologi: Terdapat 88,66 persen pemuda yang memiliki HP dan 93,78 persen pemuda menggunakan HP selama tiga bulan terakhir. Selain itu, terdapat pula sekitar 26,27 persen pemuda yang menggunakan komputer dan 81,22 persen pemuda menggunakan internet selama tiga bulan terakhir. Penting untuk merancang metode khusus penyampaian program kepemudaan melalui pengajaran dan pembelajaran baru dengan penggunaan teknologi modern akan memainkan peran penting dalam mengembangkan dan memberdayakan kaum muda Indonesia yang terkena dampak pandemi Corona. Kemenpora sebagai Kementerian Investasi Masa Depan, ditargetkan pada inovasi dan kreasi pengembangan kualitas generasi muda. Terakhir, mengutip Daisaku Ikeda, seorang Tokoh Nasional Negara Jepang, “History has always been shaped by the power of youth.”, bahwa sejarah besarnya Negara Republik Indonesia di masa depan, ditentukan oleh pemudanya saat ini. Penulis adalah Tenaga Ahli Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia

Perppu No. 1/2020 Hanya Copy Paste Dari Perppu No. 4/2008

By Anthony Budiawan Jakarta FNN – Rabu (22/04). Menjelang akhir tahun 2007, krisis finansial global pecah. Krisis ini membawa ekonomi dunia masuk resesi. Pertumbuhan ekonomi dunia 2008 negatif 1,85 persen. Kondisi ini membuat pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden, menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pada 15 Oktober 2008. Perppu adalah undang-undang (UU) yang diterbitkan secara sepihak oleh Presiden. Perpu bisa saja diterbitakan oleh Presiden tanpa melibatkan dan persetujuan DPR. Sedangkan pembentukan UU garus disetujui kedua belah pihak. Pemerintah dan DPR. Penerbitan Perppu adalah hak subyektif Presiden ketika Presiden merasa adanya ancaman yang membahayakan. Istilah di UU, kegentingan yang memaksa. Sehubungan dengan krisis finansial global, Presiden ketika itu merasa ada kegentingan yang memaksa sehingga menerbitkan tiga Perppu sekaligus. Pertama, Perppu No 2 tahun 2008 tentang Bank Indonesia yang ditetapkan 13 Oktober 2008. Kedua, Perppu No 3 tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan 13 Oktober. Dan Perppu No 4 tahun 2008 (Perppu No 4/2008) tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Perppu diterbitkan karena negara butuh UU yang harus diberlakukan seketika. Ada kegentingan yang memaksa secara mendadak. Sedangkan UU untuk itu belum ada, atau ada tetapi tidak cukup memadai. Karena itu Perppu diterbitkan secra sepihak oleh Presiden. Namun Perppu harus mendapat persetujuan DPR pada masa persidangan berikutnya. DPR bisa menerima atau menolak Perppu tersebut. Sehubungan dengan terbiatnya Perppu No 4/2008, DPR menolak mengesahkan Perppu itu menjadi UU. Penolakan umumnya terkait Pasal 29 yang memberi kekebalan hukum kepada para pejabat serta semua pihak pelaksana Perppu. Mereka para pejabatnya tidak boleh dihukum secara pidana maupun perdata. Rancangan Perppu No.4/2008 itu yang mau diulangi lagi sekarang di Perppu No.1/2020. Pasal 29 Perppu No.4/2008 itu berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Perppu No 4/2008 juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Perppu No 4/2008 juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Perppu No 4/2008 tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia. Pemerintah belum lama menerbitkan Perppu No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Cakupan Perppu No 1/2020 ini jauh lebih luas dan lebih “radikal” dari Perppu No 4/2008. Perppu No 1/2020 selain mengatur Stabilitas (atau Jaring Pengaman) Sistem Keuangan juga mengatur kebijakan Keuangan Negara dalam menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional. Perppu No 1/2020 dianggap lebih “radikal” karena pemerintah dapat menentukan APBN secara sepihak tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Defisit anggaran yang awalnya maksimal 3% dari PDB menjadi tidak terbatas, dan berlaku selama tiga tahun. Selain itu, semua pasal yang menjadi alasan DPR menolak Perppu No 4/2008 masih ada di dalam Perppu Pandemi Covid-19 ini. Pasal tentang kekebalan hukum yang banyak mendapat sorotan publik di Perppu No.4/2008, kini nongol lagi di Perppu No.1/2008. Ada tambahan wewenang absolut pemerintah di bidang anggaran yang tidak memerlukan persetujuan DPR. Waktunya bukan saja untuk tahun 2020, tetapi selama tiga tahun. Selain itu, tentang wewenang dan kekuasaan Bank Indonesia dan pemerintah yang sangat besar dalam menentukan dan memberikan pinjaman likuiditas maupun penyertaan modal kepada semua bank yang dianggap kesulitan likuiditas. Begitu juga dengan bantuan kepada perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Semua itu dapat dilakukan tanpa persetujuan DPR. Sangat hebat kan Perppu No.1/2020 ini? Secara logika, seharusnya fraksi DPR yang dulu menolak Perppu No 4/2008 diperkirakan juga akan menolak Perppu Pandemi Covid-19 ini. Kalau tidak, masyarakat bisa menilai fraksi-fraksi ini sebagai petualang politik yang hanya membela kepentingan sesaat. Karena alasan untuk penolakan di Perppu No 4/2008 masih sangat valid dan berlaku untuk Perppu No 1/2020 ini. Sedangkan fraksi yang dulu menerima Perppu No 4/2008 untuk disahkan jadi UU, yaitu fraksi Demokrat dan Fraksi PKS, diperkirakan juga akan menolak Perppu Pandemi Covid-19 ini. Alasannya sederhana, yaitu taat hukum dan konsisten dengan keputusan yang lalu. Dengan perhitungan seperti ini, Perppu Pandemi covid-19 menghadapi tantangan untuk ditolak oleh semua fraksi. Dalam bidang hukum ,dikenal yang namanya “yuris prudensi”. Yaitu keputusan hukum pada periode lalu dapat dijadikan acuan untuk memutus perkara yang sama pada periode sekarang. Apakah dalam politik juga akan ada semacam “politik prudensi”? Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

APBN Ringkih Dimasa Krisis Pandemi

Surat Terbuka Kepada Pemerintah, DPR dan BPK By Andi Rahmat Jakarta FNN- Rabu (22/04). Saya membaca keterangan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan soal materi yang diatur oleh Perpres No 20/2020 Tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020. Terus terang, saya mengernyitkan dahi. Terutama karena judulnya cukup menimbulkan tanya. Sebagai mantan anggota Badan Anggaran DPR RI dan Mantan Pimpinan Komisi XI DPR RI, istilah postur dan rincian APBN sudah barang tentu menjadi menu sehari- hari saya selama kurang lebih 10 tahun mengabdi di Senayan. Postur dan Rincian APBN adalah APBN itu sendiri. Dalam hal rincian, selain “satuan tiga” (ini istilah untuk alokasi anggaran yang memuat kegiatan/ jenis belanja pemerintah), semuanya adalah bagian yang melekat dalam pembahasan RUU APBN setiap tahun. Soal “satuan tiga” ini sudah dinyatakan bukan kewenangan DPR dalam pembahasan RUU APBN oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 35/PUU-XI/2013. Selain itu, semua hal yang berkaitan APBN tetap merupakan kewenangan DPR sebagai pemegang Hak Budget menurut UUD 1945. Postur adalah bangunan esensial APBN yang mencerminkan besaran Pendapatan/ Penerimaan Negara. Juga Belanja Negara dan Sumber Pembiayaan Negara. Postur adalah hasil kesepakatan eksekutif dan legislatif dalam pembahasan RUU APBN. Postur itulah yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk pasal demi pasal di dalam UU APBN hasil pembahasan DPR dan Pemerintah. Ringkasnya, Postur yang telah diuraikan dalam bentuk pasal demi pasal itulah yang kita sebut sebagai UU APBN. Begitu aturanya mainnya. Tidak lebih. Karena itu pula, dan dalam rangka memenuhi hak konstitusionalnya, maka DPR membentuk Alat Kelengkapan yang bersifat permanen dalam membahas RUU APBN menjadi UU APBN setiap tahun. Alat kelengkapan ini berna ma “Badan Anggaran DPR”. Demikian juga dengan rincian anggaran. Rincian anggaran adalah penjabaran lanjut dari Postur APBN. Populernya sering disebut sebagai “Nomenklatura”. Yang intinya menjelaskan mengenai besaran porsi alokasi anggaran dari masing-masing institusi pengguna anggaran. Sekali lagi, mengenai jenis kegiatan/ belanja yang lazim disebut sebagai “satuan tiga” tidak termasuk dalam bagian yang dibahas di DPR. Memahami kegentingan yang dihadapi bangsa dan negara kita akibat pandemi Covid-19 ini adalah hal yang penting. Suatu tindakan berskala dan berimplikasi besar memang sepatutnya diambil Pemerintah. Dampak kesehatan dan ekonomi yang tengah kita hadapi ini belum pernah terjadi, bahkan setelah tahun 1965 sekalipun. Krisis 1998 bahkan tidak sebanding dengan apa yang kita hadapi saat ini. Dari kacamata perekonomian, skala persoalan yang dihadapi sekarang ini berpotensi memutus hubungan supply dan demand dalam perekonomian. Masalah yang paling mendasar dalam praktek perekonomian. Diperlukan konsentrasi kebijakan yang extraordinary untuk mempertahankan perekonomian dari kerusakan yang sulit dipulihkan. Itulah sebabnya mengapa tulisan ini berjudul “ APBN Ringkih di Tengah Krisis”. Sebab fundamen dasar dari semua tindakan yang diambil otoritas sudah seharusnya memiliki landasan yang kuat dan tidak mengundang polemik baru. Sumber keringkihannya adalah dasar dari semua tindakan Budgetary otoritas. Bisakah semua tindakan Budgetary pemerintah itu tidak bersumber dari UU APBN? Apakah bisa suatu peraturan dibawah UU seperti Perpres bisa menjadi dasar tindakan Budgetary pemerintah? Sejak kapan pelaksanaan Budgetary Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan Perpu? Sejak kapan Postur dan Rincian Anggaran selain “satuan tiga” bukan merupakan esensi UU APBN? Semua pertanyaan itu adalah sumber keringkihan penanganan krisis. Membiarkan pemerintah dalam “perangkap kebijakan” bukankah merupakan suatu kekeliruan yang fatal? Sejak awal saya mendorong agar Pemerintah mengajukan suatu RUU APBN Perubahan dengan menggunakan Perpu 1/ 2020 sebagai dasar pembahasannya dengan DPR. Yang terjadi adalah, perubahan postur dan rincian anggaran melalui perpres. Perpu itu sendiri diperlakukan sebagai UU APBN. Bukankah ini suatu hal yang sangat ringkih? Kehidupan bernegara yang sehat adalah kehidupan berkonstitusi. Kita memiliki konstitusi yang kuat dan bisa berfungsi secara normal. Bahkan dalam keadaan paling krisis sekalipun. Konstitusi adalah kekuatan ketahanan kita sebagai bangsa dan negara. Saya meyakini, dengan kepala dingin, problematika krisis yang kita hadapi ini bisa kita lewati di atas dasar konstitusi kita. Belum terlambat untuk merevisi apa yang kurang kuat dan ringkih. Krisis tidak akan menenggelamkan jiwa yang optimis dan sadar pada warisan bersejarah pendiri bangsa. Segera ajukanlah APBN saja Perubahan. Dengan modal dukungan kuat di DPR dan mandat kuat yang dimiliki pemerintah, Pembahasan APBN Perubahan tidak akan berlarut-larut. Bisa cepat selesai. Saya pernah di Senayan. Saya tahu, kalau perangkat pengalaman pemerintah dan pimpinan, serta anggota DPR bisa membahas APBN Perubahan ini dalam waktu yang singkat. Jangan biarkan tindakan extraordinary dan bersejarah bangsa kita ini, berpijak pada landasan yang ringkih. Kepada Allah SWT semuanya berpulang. Semoga bangsa kita segera bisa segera keluar dari krisis ini. Wallahu ‘alam Bishawab. Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Temuan Dokter Bedah di Wuhan “Serupa” dengan Fakta Pasien Corona di Jakarta

Formula tersebut bisa diaplikasikan dengan diminumkan pada ODP Dewasa, Anak, Bayi, dan Balita. Jika kurang yakin, bisa disemprotkan ke mulut, itu hanya untuk meyakinkan diri. Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Judul Detik.com, Senin (02 Mar 2020 17:23 WIB), Temuan Dokter Bedah yang Mengautopsi Jenazah Pasien Virus Corona, menulis bahwa seorang profesor kedokteran hukum di Tongji Medical College di Wuhan, Liu Liang, mengungkapkan beberapa temuan. Yakni, beberapa temuan selama membedah pasien terinfeksi Virus Corona. Prof. Liu Liang telah memimpin operasi bedah terhadap sembilan (9) jenazah pasien dari 12 yang dioperasi ilmuwan China. Profesor Liu Liang membedah dengan hati-hati tubuh pasien corona yang baru meninggal. Tanpa itu kita tidak akan pernah tahu kebenaran yang mengejutkan. Dalam “Laporan Pengamatan Umum Anatomi Korban Meninggal karena Pneumoonia virus Corona” yang diterbitkan dalam Journal of Forensic Medicine ini ditulis, ada cairan kental abu-abu di paru-paru jasad, lendir putih berbusa di rongga trakea dan bronkial paru-paru. Lendir yang seperti jeli itu melekat kuat. Cairan kental inilah yang menghalangi alveoli, memblokir saluran udara, memblokir paru-paru interstitial, memblokir tabung bronkial, secara bertahap membiarkan paru-paru kehilangan fungsi ventilasi; Membuat pasien dalam keadaan hipoksia, dan akhirnya mati karena gagal bernafas. Cairan kental ini merenggut nyawa pasien Corona dan membuat mereka menderita pada saat-saat terakhir kehidupan mereka. Ketakutan mereka mencapai ekstrem. Mereka berjuang seperti tenggelam di dalam sumur, berteriak “tolong”. Mereka dipenuhi dengan keputus-asaan dan rasa sakit. Mereka terengah-engah, bahkan jika mereka memakai masker oksigen dan ventilator, mereka juga tidak bisa menghirup oksigen. Mengapa mereka tidak bisa menghirup oksigen dengan dukungan ventilator? Karena cairan kental itu menghalangi jalur oksigen. Jalannya tidak bisa dilewati. Sejumlah besar oksigen dihirup, tapi penyumbatannya tambah meningkat. Oksigen tidak dapat disalurkan ke dalam darah, dan akhirnya mereka tercekik oleh cairan kental ini. Oleh karena itu, Profesor Liu Liang menunjukkan bahwa penggunaan alat ventilator oksigen secara buta tidak hanya gagal untuk mencapai tujuan tetapi bahkan mungkin menjadi kontra-produktif. Tekanan oksigen akan mendorong lendir lebih dalam ke ujung paru-paru, sehingga semakin memperparah keadaan hipoksia pasien. Dengan kata lain bahwa pengobatan Barat hanya melihat hipoksia pasien, tapi tidak melihat penyebab di balik hipoksia pasien. Cairan kental ini disebut dahak, harus ditangani sebelum memberikan oksigen, jika tidak, berapapun banyaknya oksigen disalurkan juga akan sia-sia. Kita hanya perlu membuka saluran udara ini dengan menghilangkan dahak, menghilangkan kelembaban, membiarkan alveoli mengering, dan membiarkan bronkus halus lancar dan tidak terhalang, dengan demikian tidak diperlukan ventilator oksigen sama sekali; Pasien akan pulihkan fungsi paru-paru sendiri, dan dia akan menghirup oksigen dari udara. Mengutip Dr. Aji Soso Santoso, Adventist Medical Center Manila, yang sudah membaca berita mengenai penelitian Prof Liu Liang seperti komen yang disampaikan Prof Hendrajit. Temuan ini diperkuat oleh Dr. Luciano Gattinoni dari Universitas Kedokteran di Gottingen, Jerman, dalam laporannya mengenai penanganan pasien corona yang menderita gagal nafas di Italia Utara di American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, Maret lalu. “Dr. Gattinoti menganjurkan untuk meninjau pendekatan yang berbeda untuk pasien corona yang kritis. Kemudian Dr. Nathalie Stevenson dan Prof. Gary Mills dari NHF Foundation, Inggris memberikan pandangannya,” tulis Dokter Aji Soso Santoso. Bahwa corona merupakan penyakit baru dan membutuhkan penanganan yang berbeda dari gagal nafas biasa. Hal ini dicatat dalam interview oleh Medscape UK. Menurutnya, untuk mencairkan dahak atau mucus dari paru-paru, pasien harus diberi minum obat mukolitik atau pencair dahak seperti ambroxol, mucohexin, erdosteine atau n-acetyl cysteine (yang terkuat). Bila tidak bisa minum, harus dialirkan lewat selang. “Tanpa bantuan mukolitik, dahak kental yang memenuhi bronkus tidak akan bisa keluar. Dengan bantuan obat di atas, dahak akan menjadi encer dan dapat dikeluarkan lewat batuk atau suction pump low pressure,” ungkap Dokter Aji Soso Santoso. Lalu bagaimana kalaupun sudah diberikan mukolitik dan sudah dilakukan suction tapi dahak tetap tidak mau keluar? Menurut Prof. Hendrajit, dalam kasus seperti ini Bronchoscopy bisa menjadi pilihan. Mengutip Direktur Global Future Institute tersebut, baru-baru ini juga dikabarkan bahwa penggunaan Ventilator pada pasien Covid-19 ternyata banyak menimbulkan efek negatif tidak seperti yang diharapkan. Kembali ke temuan Prof Liu Liang di Wuhan tersebut. Sebenarnya, hasil otopsi di Tongji Medical College di Wuhan itu juga ditemukan pada seorang pasien Covid-19 di Indonesia. Ini dilihat dari rontgen, paru-parunya tenggelam oleh bercak-bercak putih. Ia seorang Engineer, karyawan perusahaan swasta, domisili di Jakarta. Terpapar Covid-19, dan hasil lab-nya: positif. Hasil rontgennya, paru-parunya tenggelam oleh bercak-bercak putih, hampir 90%. Disertai gejala: demam/panas, batuk, nafas sesak, pusing. “Sudah dapat obat dari dokter dari sebuah RS. Karena tidak ada perubahan, akhirnya diberikan G8: 3x1 sdm, selama 2 hari, Bio imune: 3x1 sdm. Setelah 2 hari, berkurang. Pada hari ke 3, diberikan G12 + 14 @ pagi - siang. Sorenya G8: 1 sdm.” Temuan tersebut sudah saya tulis dengan judul: “Testimoni (6): Terpapar Covid-19, Sembuh Dengan Minum Probiotik Siklus” di Pepnews.com. “Setelah diminum selama 2 hari, gejala2 berkurang drastis, sudah tidak batuk, tidak sesak, tidak demam, sehat..., sembuh total.” “Anaknya 2 orang juga terkena, diberikan formula yg sama, sudah berkurang drastis, makin sehat, tidur nyenyak. Pasien dirawat sendiri di rumah. Rontgen pasca sakit, belum dilakukan, trauma gak berani keluar rumah dahulu.” Anda bisa membacanya di https://pepnews.com/politik/p-015846324074453/testimoni-6-terpapar-covid-19-sembuh-dengan-minum-probiotik-siklus. Dalam tulisan itu saya uraikan bahwa pasien positif Covid-19 bisa sembuh dengan formula Probiotik Siklus. Biaya Mahal Apakah Anda tahu bahwa besaran biaya untuk membeli beberapa varian produk Probiotik Siklus (PS) itu cuma kisaran Rp 350 – 500 ribu? Coba bandingkan dengan biaya Top Up per hari sesuai ketentuan Menteri Keuangan RI. Untuk Kriteria ODP/PDP/Konfirmasi Tanpa Komorbid/Komplikasi: ICU tanpa ventilator Rp 12 juta, Isolasi tekanan negatif tanpa ventilator Rp 7,5 juta, Isolasi non tekanan negatif tanpa ventilator Rp 7,5 juta. Untuk Kriteria ODP/PDP/Konfirmasi Dengan Komorbid/Komplikasi: ICU tanpa ventilator 12,5 juta, Isolasi tekanan negatif tanpa ventilator Rp 9,5 juta, Isolasi non tekanan negatif tanpa ventilator Rp 9,5 juta. Semua itu biaya untuk kriteria tanpa ventilator. Jika dengan ventilator, pasien harus merogoh koceknya lagi sebesar Rp 3-4 juta. Itu jika pasien dalam keadaan selamat alias sembuh. Tapi jika meninggal, pasien harus mengeluarkan dana lagi untuk pemulasaraan jenazah yang itemnya terdiri dari 7 point dengan nilai mulai Rp 100 ribu hingga Rp 1,750 juta. Silakan bandingkan jika pasien positif virus Corona diterapi dengan aplikasi Probiotik Siklus yang cuma kisaran 2-3 varian saja, seperti G8/G10/G12 /G17, Bioimune, Biosel/ Biozime Super/Biozime Biasa, plus Obat antibiotika (Levafloxacin 500 mg). Formula tersebut bisa diaplikasikan dengan diminumkan pada ODP Dewasa, Anak, Bayi, dan Balita. Jika kurang yakin, bisa disemprotkan ke mulut, itu hanya untuk meyakinkan diri kita punya sesuatu dan kita yakin. Semestinya diminum saja cukup. Lama perawatan (di rumah saja) bergantung dari tingkatan atau stadium penyakitnya. Kalau ringan, biasanya hanya sekitar 2 hari bisa sembuh. Tetapi, kalau berat, kisaran 4-6 hari saja. Dan, varian formula ini biasanya cukup untuk satu minggu. Murah bukan? Apalagi, tanpa harus dirawat di rumah sakit, namun harus tetap dalam kontrol dokter dan paramedis lainnya. Namanya juga perawatan mandiri, sehingga pasien tidak harus mengeluarkan biaya tambahan seperti kamar RS. Silakan hitung dan bandingkan sendiri jika harus dirawat di RS. Apakah semua pengeluaran untuk biaya RS tersebut ditanggung Pemerintah? Rasanya tidak juga, meski Presiden Joko Widodo sudah menganggarkan dana Rp 185 triliun untuk kesehatan. Seperti diketahui, Presiden telah mengeluarkan PP berupa tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun untuk penanganan dampak Covid-19, ada empat poin yang diajukan pemerintah. Salah satunya anggaran untuk Kesehatan. Silakan hitung dan bandingkan sendiri jika harus dirawat di RS. Apakah semua pengeluaran untuk biaya RS tersebut ditanggung Pemerintah? Rasanya tidak juga, meski Presiden Joko Widodo sudah menganggarkan dana Rp 185 triliun untuk kesehatan. *** Penulis Wartawan Senior.