Jika Kritik Dipidana, Demokrasi Akan Tumbang
By Tony Rosyid
Jakarta FNN – Senin (04/05). Diantara ciri negara demokrasi itu adalah adanya kebebasan berpendapat. Tanpa kebebasan berpendapat, negara tak lagi layak disebut sebagai penganut demokrasi. Entah apalah namanya. Yang pasti bukan negara demokrasi.
Bukan kebebasan tanpa batas. Ada undang-undang sebagai dasar aturan. Siapa yang buat undang-undang? Tentu saja anggota DPR yang terhormat. Soal ini, di buku SD sudah dipelajari. Hanya saja, anak-anak SD nggak pernah tahu kelau "banyak oknum" anggota DPR suka terima order ketika lagi buat undang-undang. Dari mana? Banyak pengusaha berseliweran di sana.
Anak SD belum sampai kesitu otaknya. Yang mereka tahu semua anggota DPR adalah orang-orang terhormat. Baru sadar ketika anak-anak SD itu sudah berada di kampus. Kuliah maksudnya.
Tapi, ketika sudah jadi mahasiswa, mereka harus berhadapan dengan rektor. Saat ini, rektor sudah "semacam" jadi titipan dan tangan panjang pemerintah. Kampus juga sepertinya palan tapi pasti sudah memastikan posisinya menjadi Kantong Cabang Pemerintah. Ini karena para rektor dipilih oleh menteri. Dan menteri adalah pembantu presiden.
Berani macam-macam, rektor bisa ambil tindakan terhadap mahasiswa. Bisa keluarkan dari kampus. Demokrasi di kampus juga akhirnya terkubur. Sejauh menteri pilih rektor, rektor pilih dekan, dan dekan bersama rektor awasi mahasiswa, maka demokrasi out dari kampus.
Yang tersisa tinggal pers. Tapi, media milik para pengusaha. Soal pajak, banyak juga yang bermasalah. Berani macam-macam kepada pemerintah, pasal tentang manipulasi dan tunggakan pajak bisa jadi malapetaka. Nurut pasti lebih selamat.
Sekarang tampil rakyat yang tanpa identitas. Mereka lebih berani melakukan kritik. Tapi ingat, ada banyak pasal yang juga mengintai mereka. Kepeleset dikit saja, anda akan bernasib seperti Jonru dan Ahmad Dani cs. Bisa masuk sel. Makanya Jangan ceroboh!
Tidak mudah hidup dalam situasi dimana demokrasi sedang banyak masalah. Silahkan kritik, tapi harus waspada. Anda pasti paham maksud saya? Jangan asal menyerang tanpa menghitung pertahanan. Jangan pakai emosi, tapi gunakan akal sehat. Dan tetap mengutamakan obyektifitas.
Lihat saja kasus Said Didu. Minta maaf, atau proses hukum? Said Didu yang berdah Bugis-Maksar ini pilih menghadapi proses hukum. Wajah tegak berdiri karena merasa benar. Gentel sekali Said Didu!
Hukum harus ditegakkan. Sepakat itu. Tetapi, jangan sampai atas nama penegakan hukum, martabat dan keadilan diabaikan. Atas nama hukum atau kekuasaan? Tanya saja publik.
Soal martabat? Itu harus. Seorang pejabat, tidak boleh tidak bermartabat. Diantara ciri pejabat yang bermartabat adalah tahan banting terhadap kritik. Anies Baswedan adalah contoh pejabat bermartabat itu. Kritik, fitnah, bullyan dan caci maki, semua dilewati Anies dengan senyum. Semua itu diterima Anies sebagai vitamin yang menyegarkan imun tubuh. Anies menghadipinya dengan terus bekerja dan menatap masa depan.
Jika di otak seorang pemimpin berisi tentang nasib rakyat, maka dipastikan tak ada tempat yang tersisa di kepala untuk mengurusi cacian dan hinaan terhadap dirinya. Begitu kata pepatah.
“Saya tidak khawatir dibully, dikritik, diftinah dan dicaci maki. Medsos itu umurnya pendek. Hari ini dicaci, besok sudah berganti lagi. Tapi saya takut kalau berbuat salah, karena akan dicatat oleh sejarah dan dibaca oleh generasi bangsa. Begitu kata Anies”.
Sebagai pejabat publik, bersiaplah-siaplah anda untuk setiap saat dikritik. Bahkan siap pula untuk difitnah dan dicaci-maki. Fitnah tak akan menjatuhkan anda jika anda punya data untuk klarifikasi. Beres itu. Publik akan menaruh simpati dan mengapresiasi anda.
Reaksi berlebihan terhadap kritik hanya akan menghancurkan martabat anda sebagai seorang pejabat. Anda kehilangan martabat bukan karena kritik dan fitnah. Tapi anda akan kehilangan martabat jika anda berlebihan merespon kritik dan fitnah itu.
Sekali anda laporkan pengkritik itu, rakyat akan berada di belakang dan membela sang pengkritik. Saat itulah anda akan kehilangan martabat dan simpati dari rakyat.
Ketika Walikota Surabaya, Risma melalui Biro Hukumnya melaporkan seorang ibu dari Bogor yang "diduga" menghinanya, saat itu pula nama Risma tenggelam. Rakyat yang balik menghukumnya. Begitulah kalau pejabat yang resiten terhadap kritik dan hinaan.
Nama yang baik dan harum saja bisa hancur jika anda rapuh terhadap kritik. Apalagi mereka yang dikenal tak punya nama baik di mata rakyat. Pasti akan makin berantakan.
Saya tidak kasihan sama Said Didu. Mantan sekmen BUMN ini. Ia sadar risiko perkataan dan sikapnya. Apalagi rakyat memberinya dukungan. Jalani saja...
Rasa kasihan justru layak ditujukan kepada pihak pelapor. Di mata publik, pasti martabatnya sebagai pejabat akan dipertaruhkan. Lebih kasihan lagi jika pelapor pun tak peduli soal martabat itu.
Ada cara yang lebih bijak dan bermartabat. Pertama, klarifikasi. Kalau anda punya data, cukup klarifikasi. Clear. Masalah selesai, dan anda bisa tersenyum karena dapat simpati. Dan ini yang terus berulang dilakukan Anies Baswedan. Hasilnya, Anies dibanjiri simpati.
Kepada para pejabat, belajarlah menghadapi kriti, fitnah, bullyan dan caci-maki kepada Anies jika ingin punya karir yang lebih baik ke depan. Jika ingin bermartabat dan harum di mata rakyat. Bagi seorang pejabat, dibutuhkan kematangan dan kedewasaan dalam bersikap.
Kedua, memaafkan. Ini cara yang paling diapresiasi oleh publik. Siapapun senang melihat seorang tokoh punya kematangan seperti ini. Lapang dada untuk setiap kritik terhadapnya. Itulah ciri dari pejabat yang bermartabat, berkelas, bernilai dan mengagumkan.
Jangan hanya karena ada undang-undang, kita bisa tuntut "siapa saja yang lemah" tanpa memikirkan bagaimana nasib demokrasi di negeri ini. Kalau semua pejabat terlalu tipis telinga, maka satu persatu orang-orang yang kritis akan tumbang. Rakyat tidak hanya takut, tapi akan kehilangan simpati dan kepercayaan. Saat itu, demokrasi mati dan negara akan semakin rapuh.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa