Akankah Terjadi Gejolak Sosial Yang Besar?
By Tony Rosyid
Jakarta FNN – Rabu (06/05). Berarawal dari kasus penistaan agama yang melibatkan Ahok, gejolak sosial itu lahir. Meski Ahok kalah di pilgub DKI dan divonis dua tahun penjara, gejolak sosial tak juga surut. Gelombangnya justru makin besar jelang dan pasca pilpres.
Kelompok kontra Ahok merasa mendapat perlakuan tak adil. Pilpres jadi ajang perlawanan mereka. Sayangnya, tak sukses. Kecurangan jadi isu utama. Banyak kasus yang menurut mereka dianggap ganjil. Mulai dari keterlibatan aparat, hilangnya kotak suara, adanya intimidasi, situng KPU yang bermasalah, hingga kematian 894 petugas pemilu. (Kompas 22/1).
Pasca pemilu, negeri ini diwarnai protes. Demonstrasi telah menelan sejumlah korban. Tidak saja luka, tapi beberapa meninggal. Kabarnya, ada ratusan orang dipenjara. Sebagian besar pemimpin dan tokoh sentralnya jadi tersangka.
Gejolak sosial melandai setelah penguasa berhasil memotong garis komando. Dan nyaris hilang setelah Prabowo, calon pemimpin mereka bergabung dengan penguasa. Kelompok kontra Ahok makin terpinggir. Kekalahan ini juga menyisakan kekecewaan yang demikian mendalam. Medsos jadi ajang pengungkapan, sekaligus perlawanan mereka.
Menarik jika kita mencermat apa yang menjadi faktor kekalahan itu. Pertama, salah pilih calon. Kedua, tak mampu mengukur strategi lawan.
Curang... Curang... Curang.... Pertanyaannya, mana ada pemilu yang nggak curang? Dari dulu, incumbent ya curang. Ini terjadi di semua rezim. Ada yang silent, ada yang terang-terangan. Tahu itu, kenapa nggak siapin strategi. Kalau nggak siap hadapi kecurangan, ya jangan bertarung.
Tapi, itu sudah berlalu. Di arena pertarungan, jika salah satu ada yang kalah, kompetisi berakhir. Otomatis juga, gejolak sosial pun melambat dan akhirnya berhenti juga. Sebagian tetap dengan idealismenya dan memilih jadi oposisi. Sebagian yang lain bergabung dengan penguasa. “Oportunis”, teriak mereka terhadap kawannya yang memilih untuk bergabung.
Yang kasihan, sudah bergabung, bahkan mati-matian membela, nggak dapat posisi apa-apa. Ya, risiko sebuah pilihan. Nama baik rusak, jatah nggak dapat.
Setelah terbebas dari perlawanan oposisi, penguasa dihadapkan pada masalah baru. Kasus di Jiwasraya dan Asabri terbongkar. Sejumlah BUMN bangkrut. Protes terjadi dimana-mana. Hanya karena protesnya tak terkonsolidasi, maka tak punya pengaruh secara politik.
Secara teoritis, transformasi politik hanya akan terjadi jika rakyat kecewa, dan kekecewaan itu terkonsolidasi dalam protes dan perlawanan bersama. Selama ini, penguasa selalu berhasil memotong proses konsolidasi tersebut, sehingga tak sempat jadi perlawanan yang besar.
Peristiwa yang tergolong agak rawan saat ini adalah Pandemi Covid-19. Bukan soal pernyataan yang nyeleneh dari para menteri. Bukan keterlambatan pemerintah dalam menangani covid-19. Bukan pula amburadulnya data penerima bantuan yang diprotes para kepala desa di Sukabumi. Bukan itu. Apalagi cuma kasus dugaan adanya korupsi di program pra kerja. Itu mah kecil. Nggak ngaruh. Belasan, bahkan puluihan triliun rupiah kasus di Jiwasraya dan Asabri saja lewat.
Gejolak besar kemungkinan bisa terjadi justru di dampak ekonomi akibat pandemi covid-19. Nampak sekali pemerintah sangat hati-hati. Menolak lockdown, namun mendatangkan TKA dari China, membuka kembali jalur transportasi, darat maupun udara.
Pemerintah sadar, jika ekonomi megap-megap, bisa kelar. Sebelum itu terjadi, lakukan pengendalian. Akibatnya, nyawa rakyat berpotensi jadi taruhan. Jakarta melandai, pindah ke Semarang, Surabaya dan Makassar. Dibukanya kembali transportasi saat ini bisa berakibat memperlama masa pandemi.
Perlu ada relaksasi PSBB, kata Mahfud MD. Orang kalau di rumah terus imunnya bisa turun, kata Luhut Binsar Panjaitan. Bahkan Luhut mengusulkan tempat-tempat wisata untuk dibuka kembali.
Sebenarnya, tempat wisata itu urusan Kementerian Pariwisata atau Menko Maritim ya? Ingat, itu ada hubungannya dengan investasi. Luhut juga menteri urusan investasi. Jadi, jangan salah praduga. Semua kementerian ada hubungannya dengan investasi.
Semua presiden, siapapun dia, jika krisis ekonomi tak terkendali, tumbang juga. Sebab, semua rakyat merasakan lapar, dan saat itu tak lagi ada dikotomi pendukung atau bukan pendukung. Apalagi soal politik, istri lapar dan suami nggak bisa ngasih makan saja, pasti minta cerai.
Kelaparan mengakibatkan gejolak sosial. Saat itulah hampir seluruh rakyat akan kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Jika ini terjadi, maka transformasi politik tak bisa dibendung lagi. Karena itu, pemerintah harus super hati-hati soal yang ini. Terus melakukan pengendalian ekonomi. Bagi pemerintah, nampaknya ini jadi prioritas utama.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa