Rakyat Menaruh Harapan ke Sembilan Tokoh Oposisi
By Tony Rosyid
Jakarta FNN – Rabu (14/04). DPR sepakat terima Perppu Corona. Kompak dan Gotong-Royong. Seluruh fraksi menerima, kecuali PKS. PKS nampaknya masih konsisten menolak Perppu.
Meski banyak pihak terus melakukan kritik dan penolakan terhadap Perppu corona yang dianggap sangat berbahaya ini, DPR nggak peduli. Fakta gugatan sejumlah tokoh terhadap Perppu corona ke Mahkamah Konstitusi, sama sekali tak menjadi pertimbangan DPR. Tetap mengambil keputusan "menerima" sepenuhnya. Tok.
Sikap DPR ini seperti anti klimaks. Nggak mau dengar dan nggak peduli pada suara rakyat. Tidak hanya kali ini saja. Soal Jiwasraya, Asabri, Carut marut BUMN lain, Omnibus law, ibu kota baru, kereta cepat, dan terbaru soal BPJS, DPR dianggap nggak ada greget. Seperti beda kepentingan dengan rakyat. Wajar jika kemudian muncul banyak pertanyaan. DPR ini mewakili suara siapa ya?
Jika begitu, lalu apa yang bisa diharapkan dari DPR sebagai lembaga kontrol terhadap pemerintah? Keadaan ini membuat rakyat semakin "marah" dan "frustrasi" .
Sebenarnya, jangan juga salahkan DPR. Suara rakyat kan sudah "dibeli putus" saat pemilu lalu. Untuk di daerah pesisir dan pegunungan satu suara Rp. 50 ribu. Sementara di perkotaan, harganya Rp. 100 Ribu. Kenapa masih nuntut? Kan sudah jual putus? Yang boleh nuntut itu investor. Mereka investasi dana di bursa pemilu. Cukup besar angkanya. Selesai pemilu, tinggal panen. Sementara rakyat sudah terima pembayaran di awal. Kenapa menuntut lagi?
Pemilu tak ubahnya seperti bursa saham. Berlaku hukum investasi. Rakyat curiga, banyak oknum di senayan yang telah bekerja untuk kepentingan para investor semata. Kalau begitu, apa bedanya dengan direksi perusahaan?
Satu harapan yang tersisa dari rakyat yaitu peran civil society. Masyarakat mesti hadir dan melakukan kontrol sendiri terhadap pemerintah. Dalam konteks ini, rakyat harus berperan sebagai oposisi.
Ingat. Oposisi dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Agar pemerintah nggak semakin jauh tersesat. Ini bukan makar.
Ketika lembaga yang punya otoritas dan diberi wewenang untuk melakukan peran kontrol ini tidak sepenuhnya berfungsi, maka rakyatlah yang turun tangan. Peran rakyat ini diperlukan agar kekuasaan tidak melampaui batas undang-undang dan sewenang-wenang.
Memang, ada semacam "lingkaran setan" di dalam pengambilan keputusan di DPR. Pemerintah kasih jatah kabinet ke sejumlah partai. Partai-partai itu tunjuk orang-orang kepercayaannya di fraksi. Fraksi itu dikendalikan oleh ketum partai. Logikanya, mana mungkin fraksi melawan pemerintah yang kasih jatah kabinet untuk partainya? Ini PR buat bangsa ini.
Dalam situasi seperti ini, munculnya para tokoh oposisi bukan saja kebutuhan, tapi keniscayaan politik. Rakyat butuh saluran kritik ketika Bapak-Ibu Yang Terhormat di parlemen dianggap tak lagi bisa mendengarkan hati dan harapan mereka.
Memalukan, kata Rizal Ramli. Perppu, terutama terkait hak budget, kekebalan hukum dan cetak uang, kok bisa diterima oleh DPR. Padahal Gubernur BI dan Menteri Keuangan menolak. Gelo, kata Rizal Ramli dalam sebuah video yang viral di medsos.
Tak bisa berharap ke DPR. Rakyat menyerahkan harapannya kepada sembilan tokoh oposisi yang dianggap selama ini mewakili suara rakyat. Mereka adalah Abdullah Hehamahua, Emha Ainun Najib, Habib Rizieq, Din Syamsudin, Rizal Ramli, Refly Harun, K.H Najih Maemoen, Rocky Gerung dan Muhammad Said Didu.
Sembilan tokoh ini dianggap konsisten menyambung lidah rakyat. Menyuarakan hati dan harapan rakyat yang seringkali gagal dipahami oleh wakil mereka di gedung parlemen sono.
Sembilan tokoh ini konsisten. Mereka nggak pernah kendor, tegas suaranya, dan punya kapasitas, baik intelektual maupun moral. Kritiknya terukur dan tidak ngawur. Yang pasti, mereka bukan tokoh partisan dan suaranya bukan hasil pesanan. Sangat layak jadi sparing partner ide, gagasan dan lawan argumentasi bagi kekuasaan.
Kepada sembilan tokoh ini, rakyat masih punya harapan di tengah hilangnya kepercayaan terhadap para elit politik yang "ngakunya" mewakili mereka. Di luar para tokoh itu, banyak tokoh lain, ormas dan LSM yang juga tak kalah kritis dan nyaringnya dalam menyuarakan nurani rakyat. Satu dengan yang lain saling melengkapi dan menguatkan.
Kehadiran para tokoh oposisi ini setidaknya dapat menjaga harapan rakyat agar masih ada rasa optimis untuk masa depan bangsa ini. Selama masih ada orang-orang yang berani menyuarakan nurani dan kepentingan rakyat, berarti Indonesia masih ada.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa