PKS Top, Tak Gotong-Royong Terima Perpu Corona
By Dr. Margarito Kamis
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu “perkataan “gotong-royong”. Negara Indoneaia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong (Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945)
Jakarta FNN – Minggu (10/05). Bung Karno melanjutkan, gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntus-baris buat kepentingan bersama. Itulah gotong-royong (Lihat RM, AB Kusuma, 2004).
Apakah mozaik pidato ini, kalau tidak memompa energy. Setidaknya menjadi lentera penerang dan pemandu sikap Ketua Badan Anggaran DPR, Said Abdullah? Ketua Banggar dari PDIP ini menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020. Untuk mudahnya Perpu, yang saya nilai “membinasakan bangsa” ini saya sebut Perpu Corona.
Politik Indonesia memaksa siapapun untuk mengidentifikasi sikap Pak Said Abdullah sebagai pantulan asli sikap PDIP. Sikap itu jelas merupakan sikap resmi PDIP. Jabatan dan forum yang penyampaian sikap itu jelas bagi siapapun, bahwa itu sikap resmi PDIP.
Siapapun boleh mengidentifikasi Perpu ini sangat pro kepada korporasi. Tetapi kata Said Abdullah Perpu akan segera dikirimkan ke Ketua DPR. Ibu Puan Maharani, juga orang PDIP. Lalu setelah diterima akan segera diparipurnakan pada tanggal 12 Mei mendatang (Lihat Kontan.Id. 8/5/2020).
Tinggalkan Pidato Bung Karno
Apakah PDIP terilhami, terpukau dan mengadaptasikan semangat gotong-royong dalam pidato Bung Karno, kakeknya Ibu Puan Maharani? Wallau a’alam. Tetapi Ibu Puan tercatat pernah bicara tentang gotong-royong. Nampaknya gotong-royong menajdi kunci, begitu esensi diskripsinya, memenangkan pertempuran melawan Covid.
Tetapi bergotong-royong menerima Perpu, terlihat membawa gotong-royong itu ke padang tandus yang setandus-tandusnya. Juga terlihat konyol yang sekonyol-koyolnya. Mungkin itu energi terbesar PKS, sehingga tak ikut bergotong-royong dengan PDI dan partai lain menerima Perpu ini.
Seperti mata elang, punya penciuman khas harimau, serta lincah selincah kera di ujung dahan. PKS berhasil mengidentiikasi tabiat dimensi busuk Perpu ini. Terlihat betul PKS mengenal Perpu tidak didekasikan untuk rakyat kecil. Terlihat samar-samar ini Perpu korporasi, yang membinasakan.
Padahal, dan ini yang menarik, kata “kerakyatan” itu bukanlah sebagai merek politik dari PKS. Kata “kerakyatan” telah teridentifikasi dalam politik Indonesia sebagai pilihan pilitik khas PDIP. Tetapi sudahlah, mari mengenal lebih jau sikap PKS.
Sikap PKS disampaikan Junaidi Auli. Katanya, terdapat pasal yang tidak sesuai semangat penanggulangan Covid-19. Program penanggulangan ekonomi, kata Junaidi lebih jauh, hanya akan berhasil bila “rakyat diselamatkan.” Persentase insentif pemulihan ekonomi, dalam identifikasinya, lebih tinggi dibandingkan kesehatan dan jaminan sosial (Lihat RMol.Id, 6/5/2020).
Tak pernah mengaum dengan suara bela rakyat, bela orang kecil dan seterusnya. Tetapi dalam kesendirianya itu, PKS menolak kebijakan yang tidak selaras dengan semangat gotong royong. Semangat untuk menghidupkan rakyat kecil. Ini sikap hebat, berklas dan bermartabat untuk rakyat kecil.
Gotong-royong untuk maju bersama, sejahtera bersama, dalam semua keadaan yang diperlukan, jelas sangat indah. Tetapi gotong-royong untuk pekerjaan, yang di dalamnya menyimpan, bahkan nyata-nyata mengandung sisi-sisi membesarkan secara diskriminatif kelompok pengusaha tertentu. Pengusaha yang tak semestinya, untuk apapun alasan yang mungkin, jelas terlihat konyol. Ini bukan gotong-royong.
Disparitas insentif dalam Perpu antara urusan kehehatan dengan ekonomi, dan bantuan sosial, mustahil dapat dikompromikan dengan gotong-royong yang dibayangkan oleh Bung Karno. Tidak ada korporasi, satupun yang menjadi fundasi bangsa ini dibangun. Hanya rakyat lah fundasinya.
Sisi hebat ini, hemat saya disadari atau tidak dikenali oleh PKS. Suka atau tidak, penilaian PKS memiliki basis historis konstitusi yang sangat valid. Mengapa? Pada tanggal 16 Juli 1945 itu, Rancangan UUD 1945 yang telah tersedia dibahas kembali. Terlihat gagasan tentang di mana, dan bagaimana pemerintah harus berfungsi?
Pada pembahasan soal perekonomian Indonesia yang merdeka, muncul gagasan bahwa “perekonomian Indonesia merdeka akan berdasar kepada cita-cita tolong-menolong, dan usaha bersama”. Tentang korporasi, terlihat dalam gagasan berikutnya.
Dinyatakan “pada dasarnya perusahaan yang besar-besar, yang menguasai hajat hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya mestilah dibawah pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan social, apabila buruk-baiknya perusahaan itu, serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja di dalamnya diputuskan oleh beberapa orang pertikulir saja.
Pemerintah, dalam gagasan ini harus menjadi pengawas dan pengatur. Diawasi dan juga disertai dengan kapital dari pemerintah adalah bangunan yang sebaik-baiknya bagi perusahaan yang besar-besar. Semakin besar perusahaan dan semakin banyak orang menggantungkan dasar hidup kesana. Semakin besar mestinya kepemilikan Pemerintah (Lihat RM. AB Kusuma, 2004).
UMKM Tetap Saja Memble
Pembaca FNN yang budiman. Gagasan ini, entah dibaca atau tidak oleh PKS. Tetapi sikap faktual dari PKS terhadap Perpu Corona ini, terjalin dengan histori hasrat untuk membela rakyat. Semangatnya, mirip seperti saat pembahasan UUD pada 16 Juli Tahun 1945 dulu. Tidak mesti mengatakan PKS mengerti dan memahami histori konstitusional tentang bagaimana perekonomian harus dibangun, dan di mana serta bagaimana pemerintah harus mengambil posisi. Tetapi PKS berada pada garis itu.
PDIP dan kawan-kawannya mungkin memiliki konsep “kesamaan derajat” semua pelaku ekonomi, yang khas. Konsep itulah membawa mereka bergotong-royong menerima Perpu ini. Mungkin konsep “kesamaan derajat” itu bekerja secara kongrit “besar dan kecil” harus gotong-royong. Titik. Itu adil.
Garis yang ditempuh PDIP dan kawan-kawan, jauh dari kehendak para pembentuk UUD 1945, yaitu “menjaga rakyat Indonesia”. Itu sebabnya ketimpangan, boleh jadi dianggap sebagai susuatu yang alamiah saja. Bisa dibenarkan dengan konsep keadilan alamiah. Padahal hasrat “keadilan” dari para pembentuk UUD 1945 untuk urusan perekonomian, tidak begitu. Keadilan adalah cara idiologis menghaluskan gap struktur usaha.
Andai konsep “keadilan” untuk semua badan usaha dimengerti dan dimaknai oleh PDIP dan kawan-kawan koalisi. Misalnya, “yang besar diberi insentif besar” dan “yang kecil diberi insentif kecil”, maka konsep ini pasti menghasilkan “yang besar tetap besar” dan “yang kecil tetap kecil”. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tetap saja memble sepanjang sejarah Indonesia.
Jika struktur usaha bakal selamanya seperti itu, maka mama nilainya dengan konsolidasi ketimpangan struktur usaha. Padahal, tak sedikit ekonom yang mengidentifikasi serapan tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh sektor UMKM. Diskripsi itu bermakna, yang kecil-kecil inilah memenuhi ekspektasi dan maunya konstitusi bangsa Indonesia.
Selama ketimpangan struktural ini tak berubah, bagiamana mungkin bangsa ini bicara satu lompatan kecil ke depan? Faktanya struktur usaha sangat didominasi korporasi besar. Sama maknanya dengan uang terus terkonsentrasi pada mereka. Hasil akhirnya adalah ketimpangan yang berkelanjutan.
Jurang besar ini, sejauh diperlihatkan oleh sejarah, tak pernah dapat ditutup dengan kebijakan jaring pengaman sosial. Apalagi jaminan sosial yang saat ini mirip asuransi sosial. Metode ini, untuk pertama kali diterapkan saat depresi ekonomi 1933. Dalam kenyataannya tidak mengubah ketimpangan.
BI Menghindari Pidana
Ketimpangan besar dalam Perpu Corona terlihat nyata. Tak usah memutar otak untuk mengenalnya. Kebijakan memberi kewenangan kepada BI dan OJK mengurus korporasi, jelas lucu. Ini hanya berputar pada urusan tambah, dan kasih uang. Ini khas liberal. Jauh dari semangat UUD 1945.
Relasi fungsional antara BI dan OJK mengurus korporasi, sulit dibingkai dengan konstitusi. Ini relasi taktis. Relasi yang boleh jadi akan melahirkan kerangka kerja kongrit yang aneh-aneh. BI sepertinya terlihat boleh jadi mengambil posisi menyediakan uang saja. Uang ini akan diletakan di bank tertentu, entah apa sebutannya. Lalu penggunaannya menunggu otorisasi OJK.
Kerangka kerja model ini, andai berjalan, mungkin tak menginjak-injak Perpu itu sendiri. Mengapa? Kedua organ ini bisa membuat aturan kerja, protokolnya. Tetapi karena sikap politik Banggar DPR yang telah jelas, sehingga saya kesampingkan isu ini.
Yang mau saya uraikan adalah BI terlihat bergerak memutar. Tidak mau mengambil metode BLBI tahun 1999. Sikap ini dapat dimengerti. Bila BI mengambil metode 1999, maka BI akan terus seperti dulu. Berada begitu dekat dengan masalah hukum pidana. BI tentu tak mau jatuh di lubang yang sama.
BI harus tahu, lebih dari siapapun, bahwa politik tidak selalu berada dalam kendali Presiden dan DPR. Juga parpol dan ketua umumnya. Selalu ada ruang gelap, dengan kekuatan khasnya, yang dalam sekejab dapat mengubah peta permainan. Permainan yang baru selalu tak dapat ditebak. Tak selamanya setelah musim berganti. Bagaimana bila PDIP berubah sikap dari menerima menjadi menolak?
Sudahlah itu soal lain. Partai-partai terlihat selalu tak pernah bisa mengadaptasi ide-ide perekonomian yang bersemangat keadilan yang dikehendaki oleh pembentuk UUD 1945. Diseberang sisi itu, korporasi tahu begitu mereka terpukul krisis keuangan, pemerintah dan DPR segera datang sebagai “dewa penyelamat” paling produktif dan sangat cekatan.
Asset korporasi mau trubel atau likuid, tidak lagi penting. Begitu krisis menerpa mereka, parpol akan bergotong-royong menggeluti tesis klasik. Selamatkan korporasi adalah cara terbaik menyelamatkan perekonomian nasional. Korporasi selamat, bangsa dan negara selamat.
Kestabilan ketimpangan usaha yang terjadi sejauh ini, sialnya tak terpetakan sebagai buah kebijakan yang mirip di masa lalu, tahun 1998 dan 2008. Kerumitan-kerumitan pasti saat ini, sekali lagi, terlihat tak pernah dapat diprediksi sebagai bahaya pasti diujung kebijakan.
Menyebalkan, begitu krisis datang politisi segera berada di sisi terdalam kebijakan klasik itu. Perpu ini, suka atau tidak berada dalam perspektif itu. Terus tertatih-tatihnya UMKM sejauh ini, untuk sebagian besar alas an, merupakan hasil kebijakan yang berinduk pada tesis klasik itu.
Bangsa ini, tampaknya masih harus menyimpan optimisme dan keinginan untuk melihat perekonomian berjalan di garis hasrat para pendiri bangsa. Suka atau tidak, demokrasi telah bekerja dengan cara yang amat rumit. Menghasilkan kapitalisme terlihat indah dan manis disepanjang pembangunan nasional.
Pesona demokrasi “liberal” itu, dalam semua spektrumnya selalu memanjakan secara tidak proporsional terhadap korporasi. Perspektif itu merasuk ke sumsum, dan telah menjadi nadi bangsa sejauh ini. Suka atau tidak, itu mengakibatkan hasrat negarawan-negarawan pembuat UUD 1945, dengan segala pemikiran tulus yang menyertainya, terlihat usang.
Rakyat boleh dan akan terus menjadi fundasi kedaulatan bangsa ini. Tetapi fakta menunjuk, itu hanya sejauh di atas. Korporasilah yang dalam semua aspeknya, secara nyata-nyata muncul sebagai pemegang sejati kedaulatan rakyat.
Gotong-royong, kerjasama, itu dikenali Belanda sebagai kekuataan terbesar. Berhasil diidentifikasi dan dieksekusi secara nyata oleh korporasi-korporasi modern. Didahului oleh korporasi, dieksekusi dalam bentuk “kartel minyak dunia.” Semoga pola itu tak menjadi model gotong-royong di Indonesia.
Mengenal perintah konstitusi untuk membangun perekonomian nasional, menjadi hal mustahil untuk diminta kepada politisi. PKS, memang tak bakal mampu mengubah peta jalan itu. Tetapi sejauh yang bisa, PKS telah menempatkan bola konstitusi di tempat dan keadaan yang diperlukan. PKS top.
Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate