OPINI

Gaduh Daur Ulang Salam Pancasila

Oleh Dimas Huda Jakarta, FNN - Belakangan ini jagat media sosial diramaikan meme dan sindiran “salam Pancasila”. Hal ini sebagai respon pernyataan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi, yang konon ingin mengusulkan penggantian salam “assalamu’alaikum” dengan “salam Pancasila”. Ada karikatur pasangan suami istri memijat bel di luar pintu sambil sang suami mengucapkan “salam pancasila…salam pancasila” ketika tidak ada jawaban, si istri berkomentar “mungkin kita ini dikirain sarap..pi”. Ada video juga ketuk-ketuk “salam Pancasila” berulang ulang tak ada jawaban. Akhirnya ia bilang “mungkin ini bukan orang Indonesia..tak cinta Pancasila” sambil balik pergi. Lalu, beredar pula meme “jika ada yang berucap salam pancasila maka jawabnya salam jiwasraya, salam bpjs, salam asabri, salam jual BUMN, salam devisit dan ngutang”. Kesannya memang heboh. Persoalannya, benarkah Yudian mengusulkan untuk mengganti ucapan assalamualaikum dengan salam Pancasila? Pada Sabtu, melalui keterangan tertulis, BPIP menyampaikan tidak pernah mengusulkan penggantian “assalamualaikum” dengan “salam Pancasila”. Direktur Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan BPIP, Aris Heru Utomo, menjelaskan maksud ucapan Kepala BPIP itu tidak sebagaimana yang diartikan banyak orang saat ini. Usul penggantian “assalamualaikum” dengan “salam Pancasila” boleh jadi diambil dari pernyataan Yudian saat wawancara dengan Detik.com. Wawancara itu didokumentasikan dalam sebuah video yang diunggah oleh Detik.com pada Rabu 12 Februari 2020 pada artikel yang berjudul "Blak-blakan Prof Yudian Wahyudi: Kepala BPIP Sebut Agama Jadi Musuh Terbesar Pancasila". Video wawancara itu berdurasi sekitar 39 menit. Framing yang dilakukan oleh sejumlah situs tentang "usulan mengganti “assalamualaikum” dengan “salam Pancasila" berasal dari menit 29:05 video tersebut. Dialog itu dimulai dengan pertanyaan dari host terkait dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1978-1983, Daoed Joesoef. Pertanyaan itu merupakan lanjutan dari dialog sebelumnya tentang bagaimana mewujudkan persatuan di tengah kemajemukan agama. "Saya teringat dengan catatan Prof. Daoed Joesoef, mantan Mendikbud. Dia orang Aceh, muslim. Tapi, ketika menjadi menteri, tidak pernah sekalipun mengucapkan Assalamualaikum di hadapan publik. Tapi, ketika pribadi, dia fasih betul. Mungkinkah nilai-nilai semacam Daoed Joesoef itu diterapkan lagi oleh pejabat kita?" demikian pertanyaan yang dilontarkan oleh host Detik.com . Berikut ini jawaban lengkap Yudian yang ditranskrip dari video wawancara Detik.com: "Dulu, kita sudah mulai nyaman dengan selamat pagi. Tapi, sejak Reformasi, diganti dengan Assalamualaikum. Total, maksudnya dimana-mana. Tidak peduli deh ada orang Kristen, ada orang Hindu, pokoknya hajar aja. Karena ini mencapai titik ekstremnya, maka sekarang muncul kembali. Kalau salam, harus lima atau enam (sesuai jumlah agama yang diakui di Indonesia). Ini kan jadi masalah baru lagi sebenarnya. Sekarang, sudah ditemukan oleh Yudi Latif atau siapa begitu, yang namanya salam Pancasila itu. Maksudnya kan sudah sangat jelas. Jadi, salam itu maksudnya mengucapkan permohonan kepada seseorang sekaligus mendoakan agar selamat. Kalau bahasa Arabnya ya assalamualaikum. Sekarang, kita ambil contoh, ada hadis, 'Kalau Anda jalan, ada orang duduk, Anda harus mengucapkan salam.' Itu kan maksudnya adaptasi sosial. Sekarang, itu saya ulang. Anda kan sudah di zaman industri, zaman teknologi. Kalau mau membalap pakai mobil, salamnya gimana coba? Kan pakai lampu atau pakai klakson. Jadi, kita akan menemukan kesepakatan-kesepakatan, katakan haruslah. Kalau sekarang, kira-kira untuk mempermudah, kita perlukan kembali seperti yang dikatakan Pak Daoed Joesoef. Di dalam public service, cukup dengan kesepakatan nasional. Misalnya, salam Pancasila, umpama. Ini yang perlu dipikirkan hari-hari ini, daripada ribut itu para ulama, 'Kalau kamu ngomong shalom, itu berarti kamu jadi orang Kristen.' Karena yang begitu-begitu sensitif bagi muslim. Padahal, mendoakan orang kan boleh-boleh aja. Wong Nabi Muhammad saja pernah mendoakan raja Kristen kok. Dia meninggal, didoakan, disalati oleh Nabi. Ada unsur kemanusiaannya di situ. Kita juga begitu. Mestinya, ngomong 'shalom' ke orang Kristen tidak ada masalah teologis wong itu hanya untuk menyampaikan supaya kita damai kok. Bagi orang Kristen, mengucapkan salam kan juga tidak menjadi bagian keyakinan teologisnya. Itu kan katakan kode etik sosial yang tidak masuk ke dalam akidah. Kalau kita bisa pahami itu kan tidak ada masalah." Menyimak jawaban Yudian dalam wawancara tersebut maka sejatinya mengganti “assalamualaikum” dengan “ salam Pancasila” sekadar wacana untuk merespon pertanyaan wawancara terkait problem yang tengah dihadapi oleh bangsa ini. Selain itu, Yudian tidak menitikberatkan ucapannya pada salam umat Islam, Assalamualaikum, melainkan juga pada salam umat Kristen. Selamat Pagi Pernyataan Yudian soal salam ini bukan yang pertama mengundang polemik. Pada 1987 K.H. Abdurrahman Wahid sudah diberitakan seperti itu. Majalah Amanah memuat wawancara dengan Gus Dur yang seolah-olah akan mengganti “assalamualaikum” dengan “selamat pagi, selamat sore, dan selamat malam”. Wartawan dan sastrawan, Ahmad Tohari, sempat mencoba meluruskan bahwa apa yang dikatakan Gus Dur tidak persis seperti itu. Kala itu Ahmad Thohari adalah anggota Dewan Redaksi Majalah Amanah. Ia mendengarkan rekaman wawancara wartawan Amanah, Edy Yurnaedi, dengan Gus Dur secara utuh. Intinya, menurut Tohari, Gus Dur mengatakan kemajemukan di dalam masyarakat muslim di Indonesia sudah menjadi kenyataan sejak berabad lalu. Meskipun sebagian besar umat Islam Indonesia menganut Mazhab Syafi’i namun ada juga yang mengambil mazhab lain. Bahkan penganut Islam Syi’ah, Ahmadiyah, abangan pun ada. Menurut Gus Dur, tingkat penghayatan umat pun amat bervariasi dari yang hanya berkhitan dan bersyahadat waktu menikah sampai yang bertingkat kiai. Namun, ujar Gus Dur, kemajemukan itu harus tetap terikat dalam ukhuwah islamiyah atau ikatan persaudaraan Islam. Artinya, sesama umat Islam yang berbeda aliran maupun tingkatan pemahaman seharusnya saling menyambung rasa saling hormat. Gus Dur sangat tidak suka terhadap istilah Islam KTP atau Islam abangan. Baginya, semua orang yang sudah bersyahadat dan berkelakuan baik ya muslim. Mereka yang ketika bertamu masih memberi salam dengan ucapan kula nuwun (Jawa), punten (Sunda) atau selamat pagi, ya muslim karena syahadatnya. “Kalau begitu Gus, ucapan assalamu alaikum bisa diganti dengan selamat pagi?” tanya Edy Yurnaedi. “Ya bagaimana kalau petani atau orang-orang lugu itu bisanya bilang kula nuwun, punten atau selamat pagi? Mereka kan belum terbiasa mengucapkan kalimat dalam bahasa Arab kayak kamu?” Itulah inti pendapat Gus Dur dalam wawancara dengan Edy Yurnaedi. Menurut Ahmad Tohari, Edy mengusulkan wawancara itu dengan penekanan bahwa Gus Dur menganjurkan mengganti assalamu alaikum dengan selamat pagi. Alasannya, Majalah Amanah yang kala itu baru berumur satu tahun harus membuat gebrakan dalam rangka menarik perhatian pasar. ” Kan nanti Gus Dur akan membantah. Dan bantahan itu kita muat pada edisi berikut. Nah, jadi malah ramai kan? Ini cuma taktik pasar kok,” ujar Edy kala itu. Kafrawi Ridwan yang waktu itu jadi pemimpin redaksi lebih suka mengambil sikap momong kepada yang muda. Maka usul Edy ditawarkan kepada rapat. Tentu ada yang pro dan kontra. Celakanya lebih banyak yang pro. Mereka beralasan seperti Edy, cuma taktik pemasaran, dan Gus Dur mereka yakini akan membantah. Dan terbitlah edisi assalamu alaikum itu. Benar saja, masyarakat riuh. Gus Dur menuai kecaman. Oplah majalah terdongkrak. Dan Edy melanjutkan aksinya dengan mewawancarai kembali Gus Dur. Diharapkan Gus Dur akan membantah bahwa dia telah menganjurkan mengganti assalamu alaikum dengan selamat pagi. Tapi Edy amat terkejut ketika Gus Dur dengan enteng menjawab, buat apa membantah. “Biarin, gitu aja kok repot.” Konon pada saat itu oplah majalah Amanah naik. “Hanya saja terjadi fitnah di tengah masyarakat. Secara pribadi saya pernah minta Gus Dur berbuat sesuatu untuk menghentikan fitnah yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tapi dasar Gus Dur. Dia tetap pada pendirian akan membiarkan fitnah itu berhenti sendiri,” ujar Ahmad Tohari. Sayang fitnah itu ternyata berumur panjang. Bahkan sampai saat ini. “Gus Dur sendiri tetap berjiwa besar, tetap bersahabat, meskipun banyak yang terpaksa salah paham. Gus Dur tidak pernah mengusulkan mengganti assalamu alaikum dengan selamat pagi. Untuk hal ini saya akan menjadi saksi bagi Gus Dur,” demikian Tohari, dalam tulisannya berjudul “Kulo Nderek Gus Dur” yang dimuat Suara Merdeka, 2010 silam. Tiada tuhan selain Tuhan Sebelum Gus Dur, ada juga Dr. Nurcholish Madjid yang membuat gaduh karena makalahnya yang menulis kalimah thoyyibah “Laa ilaaha illallaah” diterjemahkan menjadi “tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar). Terdengar unik karena berbeda dari pemaknaan umumnya “tiada Tuhan selain Allah”. Bagi Cak Nur, mengganti kata Allah dengan Tuhan adalah absah karena hanya masalah bahasa yang substansinya sama. Namun, terjemahan ini diprotes oleh seorang peserta seminar dengan menyebut terjemahan itu hukumnya haram. Seminar itu diselenggarakan Harian Pelita di Jakarta, 1 April 1985. Media memberitakannya. Selama setahun lebih hal itu menjadi polemik. Cak Nur juga pernah memunculkan jargon “Islam Yes, Partai Islam, No!” yang kemudian banyak disalahpahami, terutama oleh para aktivis partai Islam. Cak Nur dianggap anti-partai Islam. Pikiran-pikiran Yudian tentang salam Pancasila hanyalah kelanjutan dari apa yang sudah pernah dilontarkan tokoh-tokoh sebelumnya. Dan, lucunya, respon yang dihasilkan sama: gaduh. Penulis wartawan senior.

Presiden Jokowi dan Petruk Dadi Ratu

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Presiden Jokowi baru saja membeli sebuah lukisan menarik. Penuh simbol dan makna. Lukisan karya mantan tahanan politik Joko Pekik itu berjudul “Petruk Dadi Ratu. Semar Kusirnya.” Rencananya lukisan besar berukuran 5 X 2 meter itu akan di pasang di istana negara yang baru di Kalimantan Timur. Dalam artikel di majalah Tempo Edisi 22 Februari 2020 dengan judul “Lukisan Petruk Untuk Istana Baru” Joko Pekik mengaku lukisan itu dibeli dengan harga sangat mahal. Miliaran rupiah. Tapi tak dijelaskan berapa harga pastinya. Dalam lukisan mantan seniman Lekra (organisasi seniman onderbouw PKI) yang pernah lama mendekam di penjara itu, Petruk sedang menyalami kerumunan rakyat jelata yang mengelu-elukannya. Ada petani dan ibu-ibu yang menggendong anaknya. Di seberang mereka, dibatasi jalan yang membelah kerumunan, berdiri orang-orang berdasi dan berjas, juga deretan gedung yang menjulang. Di belakang Petruk, Semar terlihat mengemudikan kereta kencana. Kisah Petruk Dadi Ratu adalah salah satu episode yang sangat terkenal dalam dunia pewayangan. Ceritanya berupa pasemon, sindiran sekaligus nasehat tentang mengelola sebuah negara. Petruk adalah seorang raja yang memperoleh kekuasaannya secara tidak sah. Tidak diridhoi dan diberkahi para dewa. Akibatnya negara yang dipimpinnya kacau balau. Dia adalah seorang punakawan, abdi dalem anak Semar dengan kemampuan intelektual yang terbatas. Namun dia pandai melucu. Menghibur para tuannya. Bersama dua saudaranya Gareng dan Bagong, mereka bertugas mengocok perut para penonton yang sudah mulai mengantuk. Mereka biasanya muncul lewat tengah malam dalam babak Goro-goro. Para punakawan ini bercanda, sindir kiri kanan, kritik sana-sini. Semar akan tampil sebagai orang bijak. Dia memberi petuah tentang kehidupan, maupun berbangsa dan bernegara. Petruk digambarkan bertubuh tinggi kurus, dengan tampilan sangat bersahaja. Ciri khas lainnya, hidungnya sangat panjang. Tapi ini hidung asli. Beneran. Beda dengan Pinokio yang hanya memanjang kala dia berdusta. Alkisah, dalam episode Petruk Dadi Ratu disebutkan dia menggelapkan jimat Kalimasada yang dititipkan oleh seorang kesatria Bambang Priyambada kepadanya. Dia khianat dan menguasai jimat Kalimasada, dan menggunakannya untuk meraih kekuasaan. Dia menjadi raja dengan gelar Prabu Kantong Bolong Belgeduwelbeh Tongtongsot. Karena tidak punya kapasitas yang memadai dan memperoleh kekuasaan secara tidak sah, Petruk memerintah seenak udelnya. Dia mengangkat petinggi negara dari kalangan inner circle-nya tanpa memperdulikan kapasitas dan kemampuannya. Gareng dan Bagong diangkat menjadi petinggi istana. Tatanan dalam dunia pewayangan dia jungkir balikkan. Situasi negara kacau balau. Negara Amarta dan Astina yang secara tradisonal bermusuhan, bersatu padu. Mencoba mengalahkan Prabu Kantong Bolong. Semuanya kalah. Petruk punya kekuatan tak tertandingi, yakni jimat Kalimasada. Ada yang menafsirkan jimat itu adalah dua kalimat sahadat dalam lafal Jawa. Hal ini tampaknya erat kaitannya dengan strategi dakwah para Wali yang menggunakan medium pewayangan. Akhirnya Prabu Belgeduwelbeh dapat dikalahkan oleh Semar yang menyamar menjadi salah satu petingginya. Rahasianya terbongkar. Dia kembali menjadi rakyat jelata, punakawan yang kerjanya tukang melucu. Tatanan dunia pewayangan kembali tata tentrem setelah jimat dan singgasana kerajaan dikembalikan kepada yang berhak. Tafsir yang berbeda Dalam tafsir Joko Pekik seperti dilansir Tempo, ceritanya agak berbeda. Menurut Pekik, karyanya menggambarkan Dewa Semar yang memegang kendali bangsa Indonesia pasca-reformasi. Sedangkan Petruk didapuk sebagai pelaksana pemerintahan. “Sekarang Dewa Semar mengendalikan kereta kencana karena Petruk jadi ratu,” ujar. Kisah Petruk Dadi Ratu memang bukan cerita pewayangan biasa. Banyak menjadi kajian sejumlah peneliti kebudayaan Jawa. Sejumlah Indonesianis seperti Ben Anderson, bahkan Denys Lombard pernah mengkaji dan menuliskannya. Cerita ini juga sering digunakan untuk menyindir penguasa yang diaggap lalim. Sebagai presiden yang tengah berkuasa, pasti Jokowi tidak punya niat untuk menyindir atau mengkritik diri sendiri . Lukisan ini tampaknya dimaksudkan Jokowi sebagai pengenget (pengingat) bagi dirinya dan tentu saja bagi para presiden penggantinya kelak. Itu juga kalau benar lukisan jadi di pasang di istana negara yang baru. Dengan catatan istananya ada, dan ibukota barunya jadi dibangun. End Penulis wartawan senior. Foto: Sketsa Umar Khayam

Gubernur Menjawab (1): Tumpang Pitu Perlu Penyelesaian Strategis!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Senin, 24 Februari 2020 pukul 11:25, saya kirim tulisan berjudul “Sebaiknya Aktivitas Tambang Emas Tumpang Pitu Dihentikan!” ke Gubernur Jawa Timur Hj. Khofifah Indar Parawansa. Selang sekitar 3 menit kemudian, mantan Menteri Sosial ini langsung menjawab singkat via WA: “Cek undang- undangnya....pasal yg dilanggar apa shg hrs dihentikan....”. Saya jawab: “Siyap, Bunda! Tks petunjuknya. Sy akan coba cari tahu kpd teman lawyer”. “Mereka tahu sekali,” jawab gubernur yang akrab dipanggil Bunda ini menjawab WA saya lagi. Saya jawab: “Saya juga sedang riset tulisan terkait dg usaha pertambangan yang diduga melanggar UU, Bunda. Stlh itu baru menulis lagi. Tks arahannya”. Secara pribadi, saya mengapresiasi Gubernur Khofifah yang berkenan jawab forward tulisan saya itu. Dan, sesuai “janji” saya, segera saya carikan jawaban untuk menjawab “tantangan” dari alumni Universitas Airlangga Surabaya ini. Berikut catatannya. Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KKP) Nomor 23 Tahun 2016 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 18 ayat (1) berbunyi: “Wilayah perencanaan RZWP-3-K meliputi: a. Kearah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan; …” dan Kecamatan Pesanggaran sendiri terletak di ujung selatan Kabupaten Banyuwangi, sehingga wilayah tersebut mesti mematuhi Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP-3-K) Jatim. PT. Bumi Suksesindo (BSI) dan PT. Damai Suksesindo (DSI) diduga melanggar Perda No.1 Tahun 2018 itu, karena dalam aturan tersebut, alokasi ruang untuk pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi, terutama Kecamatan Pesanggaran, tidak dialokasikan untuk zona pertambangan. Tetapi untuk zona pelabuhan perikanan, zona pariwisata dan zona migrasi biota. Sementara yang ditemukan di lapangan terdapat Pelabuhan Candrian yang digunakan untuk kegiatan pertambangan seperti menurunkan alat-alat berat. Keberadaan PT. BSI dan DSI di wilayah tersebut juga diduga melanggar Pasal 40 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang berbunyi: “Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya". Sementara dalam penjelasannya disebutkan, “Yang dimaksud dengan kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak bumi, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan”. Sedangkan aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. BSI dan DSI – meskipun telah melalui proses studi AMDAL – tidak memiliki analisis risiko bencana. Gunung Tumpang Pitu adalah ‘tetenger’ (penanda) bagi nelayan saat melaut. Setiap pagi, ketika mereka berada di laut lepas, titik yang mereka cari untuk menentukan arah adalah Pulau Nusa Barong di sebelah Barat, Gunung Agung (Bali) di sebelah Timur dan Gunung Tumpang Pitu di tengah-tengahnya. ‘ Maka jika Gunung Tumpang Pitu dan gunung-gunung lainnya menghilang, bisa dipastikan mereka akan kehilangan salah satu tetenger daratan yang menjadi acuan arah. Bagi warga di pesisir selatan Banyuwangi, Gunung Tumpang Pitu, Gunung Salakan, dan gunung-gunung di sekitarnya adalah benteng alami dari daya rusak gelombang tsunami. Sebagaimana pernah dicatat, pada 1994, gelombang tsunami menyapu kawasan pesisir selatan Banyuwangi dan merenggut nyawa sedikitnya 200 orang. Bagi warga, saat itu keberadaan Gunung Tumpang Pitu dan gunung-gunung sekitarnya, dikatakan mampu meminimalisasi jumlah angka korban. Sehingga bisa dipastikan jika gunung-gunung tersebut menghilang, maka potensi ancaman jumlah korban yang lebih banyak akan terjadi pada masa mendatang. Bagi nelayan-nelayan yang tinggal di pesisir teluk Pancer, Gunung Tumpang Pitu adalah benteng dari ancaman angin Tenggara yang terkenal ganas pada musim-musim tertentu. Sedangkan Gunung Salakan bagi mereka difungsikan sebagai jalur evakuasi jika tsunami melanda. Gunung-gunung di pesisir selatan Banyuwangi tak hanya berfungsi sebagai kawasan resapan air yang dibutuhkan bagi rumah tangga warga dan pertanian, tetapi juga secara turun-temurun telah menjadi tempat bagi warga (khususnya perempuan) untuk mencari tumbuh-tumbuhan obat. Sejak masuknya PT BSI dan PT DSI di Desa Sumberagung, berbagai masalah sosial-ekologis dan keselamatan ruang hidup masyarakat meningkat. Salah satunya adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam. Selain telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga, bencana lumpur tersebut juga membuat kawasan pesisir pantai Pulau Merah (Desa Sumberagung) dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan karena kerusakan tersebut ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir desa Sumberagung dan sekitarnya. Sejumlah kelompok binatang seperti monyet dan kijang juga mulai turun memasuki lahan pertanian warga karena rusaknya habitat mereka. Dan beberapa sumur milik warga mulai mengalami kekeringan diduga karena penurunan kualitas lingkungan. Hal ini belum ditambahkan lagi dengan sejumlah peningkatan pencemaran dan polusi tanah, udara, suara yang juga cukup signifikan. Sementara itu, pada 10 Februari 2020, ditemukan dua bangkai penyu yang terdampar di pesisir Pantai Pulau Merah dan diduga disebabkan oleh aktivitas pertambangan di Gunung Tumpang Pitu. Berdasarkan keadaan-keadaan tersebut, PT BSI diduga melanggar UU 32/2009 pasal 69 ayat 1 huruf (a) yang melarang “setiap perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Selain itu, pada 2017, telah terjadi kasus kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan Budi Pego. Budi Pego dituduh menyebarkan paham komunis ketika ia sedang melakukan aksi untuk mempertahankan ruang hidupnya. Pada Januari 2020, upaya kriminalisasi kembali terjadi; Agus, salah seorang warga yang menolak aktivitas pertambangan PT BSI dan DSI ditangkap dengan sewenang-wenang – tanpa diperiksa/dipanggil terlebih dahulu. Dengan tuduhan penganiayaan terhadap salah seorang pekerja PT BSI ketika Agus dan rekan-rekannya tengah melakukan aksi untuk mempertahankan ruang hidupnya dengan menghadang upaya perusahaan untuk memasuki wilayah Gunung Salakan dan sekitarnya guna melakukan penelitian geolistrik. Dua hal tersebut bertentangan dengan UU 32/2009 pasal 66 yang berbunyi, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”. Mengingat poin itu semua, PT BSI dan PT DSI juga diduga telah melanggar UU 27/2007 jo UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 35 huruf (k) yang melarang: “Melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya”. Karena aksi blokade, aksi tenda warga, dan aksi kayuh sepeda dari Banyuwangi-Surabaya, juga aksi mogok makan di depan Kantor Gubernur Jatim, tidak juga mendapat tanggapan dari Gubernur Khofofah, maka aksi pun dilanjut dengan aksi kirim SMS massal. Inti isi SMS massal tersebut adalah mendesak Gubernur Khofifah untuk mencabut IUP Operasi Eksploitasi BSI dan IUP Eksplorasi DSI. Dari laporan beberapa warga, jawaban dari Gubernur Jatim: kewenangan pencabutan izin tambang yang dimaksud ada di pemerintah pusat. Gubernur Khofifah menilai tuntutan yang ada dalam SMS massal itu salah alamat. “Khofifah beranggapan bahwa pemberian izin serta kewenangan pencabutan bukan berada pada kewenangannya,” ungkap Advokat Subagyo, SH yang selama ini mendampingi warga yang menuntut pencabutan perizinan itu. (Bersambung) Penulis wartawan senior.

Mahfud MD Ngawur Soal Hapus Penyidikan di Polsek

By Kisman Latumakulita Jakarta FNN- Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengusulkan agar Kepolisian Sektor (Polsek) tidak lagi diberi wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan. Polsek cukup ditugaskan mengemban dan meningkatkan fungsi pengayoman kepada masyarakat. Sedangkan fungsi penyelidikan dan penyidikan dipusatkan di Polres. Polsek bisa lebih difungsikan untuk meningkatkan penjagaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Konsepnya, melalui keadilan restoratif yang melibatkan masyarakat, korban serta pelaku kejahatan. Alasannya, polisi harus meningkatkan restorative justice. “Jangan sedikit-sedikit KUHP dan KUHP, “ujar Mahfud usai ketemu Presiden Jokowi, Rabu minggu lalu (iNews.id 19/02/2020). Mahfud beralasan, dia mendapat informasi bahwa Polsek-Polsek sering dibebani target penanganan perkara pidana. Akibatnya, Polsek sering menggunakan pasal-pasal pidana, dibandingkan dengan melakukan pendekatan keadilan restoratif. Padahal dengan hanya fokus pada fungsi pengayoman masyarakat, Polsek-Polsek tidak lagi perlu mencari-cari perkara. Negara Kepulauan Mungkin saja Mahfud MD lupa, atau tidak mengerti bahwa Indonesia ini negara kepulauan. Bukan negara daratan seperti Kanada atau Eropa. Jumlah pulaunya juga tidak sedikit. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Pusat Survei dan Pemetaan (Pussurta) ABRI tahun 1987, tercatat Indonesia memiliki 17.503 pulau besar dan kecil. Tahun 2002, kajian citra satelit mengoreksi angka 17.503 pulau yang dipunyai Indonesia. Angka terbaru yang dirilis Pussurta ABRI adalah 18.306 pulau. Dari jumlah tersebut, sekitar 6.000 pulau lebih yang dihuni oleh masyarakat. Sisanya sekitar 11.000 pulau lebih belum berpenghuni. Dengan posisi kita sebagai negara kepualuan, masyarakat yang menghuni pulau-pulau tersebut terbilang tidak sedikit. Untuk itu, gagasan Mahdud MD untuk menghapus fungsi penyelidikan dan penyidikan di Polsek, terkesan ngawur dan asal ngomong. Terlihat Menkopolhukam tidak mengerti persoalan. Mahfud juga tidak memhami posisi kita sebagai negara kepulauan. Dengan posisi kita sebagai negara kepulauan, justru Polseklah yang seharusnya lebih diberdayakan. Fungsi penyelidikan dan penyidikan agar diperbanyak di Polsek. Bukan malah di Polres. Tujuannya, agar tugas-tugas penyelidikan dan penyidikan dapat belangsung secara cepat, efektif, efisien dan murah. Alasan pembenarannya, karena mudah dan murah untuk dijangkau oleh masyarakat. Mahfud jangan samakan Indonesia dengan daratan di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Polsek di Jawa dan Sumatera itu umumnya bisa dijangkau melalui jalan darat atau menggunakan kereta api. Namun untuk Maluku, Maluku Utara, Sulewesi Utara, Kepaluan Riau, Nusa Tenggara Barat dan Bangka Belitung, sebagian besar melalui laut. Daerah-daerah tersebut mempunyai pulau ratusan, bahkan ada yang ribuan pulau. Sangat susah untuk dijangkau melalui jalan darat. Begitu juga dengan sebagian besar masyarakat di pedalaman di Papua dan Papua Barat. Daerahnya bergunung-gunung. Untuk bisa sampai ke Kota Kabupaten, karena Polresnya berada di Kota Kabupaten, dibutuhkan pejalanan darat 3-5 hari. Tidak ada sarana transportasi melalui darat, baik dengan menggunakan angkutan umum mobil maupun kereta api. Pesawat hanya dari Kota Kabupaten ke Kota Kabupaten yang lain, atau ke Kota Provinsi. Begitu juga dengan Maluku. Pulaunya ada lebih dari seribu. Makanya Maluku terkenal dengan sebutan “Daerah Seribu Pulau”. Sama dengan Maluku Utara, yang jumlah pulaunya hampir sama dengan Maluku. Dengan kondisi ombak yang tingginya 2-3 meter, dan jarak tempuh perjalan melalui laut antara 3-6 jam. Apa tidak menyiksa dan menyusahkan masayarakat tuh Pak Menkopolhukam? Kalau di pulau tersebut masih ada Polsek, untuk apa penyelidikan dan penyidikan harus dipindahkan Polres yang berada di Kota Kabupaten atau Kotamadya? Berapa biaya dan waktu yang harus dihabiskan untuk memenuhi panggilan penyidik Polres. Apa Pak Mahfud mau mengganti biaya perjalanan, dan waktu yang terbuang percuma akibat tidak bisa pergi ke kebun atau melaut? Kalaupun mereka itu masyarakat pantai, yang sudah terbiasa dengan ombak besar, apa tidak sebaiknya waktu mereka digunakan untuk mencari nafkah dengan meluat? Tampaknya sangat dangkal gagasan yang disampaikan Pak Mahfud kepada Presiden Jokowi untuk meniadakan penyelidikan dan penyidikan di Polsek-Polsek. Selian itu tampak juga Pak Mahfud tidak tidak mengerti persoalan. Meskipun Menkopolhukam secara ex officio adalah Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), namun sebaiknya jangan ngomonglah. Dibuat dulu kajian secara menyeluruh dari berbagai aspek dan sudut pandang, barulah disampaikan kepada presiden. Bukan jaminan Pak Mahfud sudah memahami semua persoalan bidang tugas yang berada di bawah kordinasi Menkopolhukam. Polsek Yang Diperkuat Sampai sekarang, pemerintah pusat sudah mengucurkan hampir Rp 300 trliun untuk Dana Desa. Dengan anggaran di desa sebesar itu, maka yang perlu diperkuat adalah Polsek. Bukan Polres yang diperkuat. Sebagian besar anggaran penyidikan harus dialokasikan ke Polsek. Penyidik polisi yang hebat-hebat di Polda dan Polres diarahkan untuk memperkuat Polsek. Mereka agar dipindahkan ke Polsek. Konsekwensinya, polisi yang bertugas di Polsek, terutama Polsek yang jauh dari Kota Provinsi dan Kota Kabupaten harus diberikan penghargaan, dibandingkan yang bertugas di Polda dan Polres. Misalnya, diutamakan dalam setiap promosi jabatan. Selian itu, didahulukan untuk mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Sekolah Inpektur Polisi (SIP). Bukan malah mendahulukan anggota polisi yang bertugas di Polda dan Polres. Tujuannya, untuk mendorong setiap anggota polisi untuk mau bertugas di Polsek. Setiap 50 orang lulusan terbaik dari setiap tingkatan pendidikan yang di bawah PTIK, perlu disebarkan ke Polsek-Polsek. Selain itu, untuk jangka panjang, perlu dipikirkan agar urusan yang berkaitan dengan Surat Izin Mengemudi (SIM), perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) cukup hanya dikeluarkan oleh Polsek. Masyarakat tidak perlu jauh-jauh datang ke Kota Provinsi dan Kota Kabupaten hanya untuk mengurus SIM, parpanjangan STNK dan urus SKCK. Penulis adalah Wartawan Senior

Zeng Wie Jian, Dengan Asyari Usman Saja Anda Kalah Jam Terbang!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Kalah Jam Terbang? Asyari Usman sudah menjadi wartawan cetak Harian Sinar Indonesia Baru di Medan (1982 hingga 1988). Sedangkan, Zeng Wei Jian alias Ken Ken sendiri baru menjadi wartawan Majalah d'FISH (2003/2004). Dari sisi pendidikan, Zeng adalah lulusan kursus jurnalisme sastrawi Yayasan Pantau & Eka Tjipta Found. Sedangkan Bang AU itu alumni Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara (USU). Itulah bedanya Anda dengan Bang AU, Zeng! Bang AU itu belajar jurnalistik sejak SMA. Melanjutkan pendidikannya di USU Medan. Lalu, menjadi wartawan cetak di Medan, Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) antara 1982 hingga 1988. Menangani berita-berita internasional dan menulis kolom editorial. Pada 1987, Asyari Usman terpilih sebagai pemenang lomba tulis wartawan internasional yang diselenggarakan oleh United Nations Correspondent Association (UNCA). Pemenang untuk kawasan Asia-Pasifik. Sebagai hadiahnya, alumni Komunikasi FISIP USU ini diberi kesempatan untuk magang di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York City (NYC). Di mabes PBB, banyak belajar tentang cara kerja badan dunia itu. Di NYC, Bang AU berkesempatan meliput langsung sidang tahunan Majelis Umum (General Assembly) PBB. Juga meliput berbagai sidang Dewan Keamanan (Security Council). Ia melanjutkan perjalanan jurnalistik ke beberapa kota di Kanada, termasuk Ottawa, Montreal, dan Toronto. Dari Kanada, persinggahan berikutnya adalah Inggris. Sewaktu berkunjung ke markas BBC World Service di London, Asyari Usman ditawari bekerja di Siaran Indonesia. Dimulai sejak Juli 1988, Bang AU mengakhiri tugas sebagai wartawan dan penyiar radio BBC Indonesia hingga menjelang akhir 2011. Sekembali di Indonesia, Asyari mencoba profesi lain. Memulai beberapa usaha. Dia kembali ke dunia tulis-menulis menjelang Pilkada DKI 2017 hingga hari ini. Dalam menulis, kepada siapa saja, isinya selalu kritis. Narasi tulisannya pun mudah dicerna. Setiap tulisannya itu berdasarkan data dan fakta lapangan, bukan hoax, bukan pula abal-abal! Jadi, kalau pun Zeng Wei Jian melabeli Bang AU dengan sebutan penulis “abal-abalan” itu sangat jauh dari kenyataan. Yang dia tulis itu adalah fakta nyata! Dalam menulis pun, Bang AU selalu objektif dalam melihat suatu peristiwa. Tidak subjektif membabi-buta dalam “membela” suatu kelompok atau tokoh tertentu. Dia menulis didasari oleh nuraninya, bukan oleh nafsunya! Bagaimana dengan Anda, Zeng? Sebagian catatan tentang Zeng Wei Jian alias Ken Ken itu ditulis di Chirpstory.com, Selasa (28/11/2017 21:12:13 WIB). Sejauh ini tidak ada bantahan atau klarifikasi dari Zeng sendiri terkait dengan isi tulisannya. Nama Zeng sebelumnya tidak begitu dikenal jika pada 2015 tidak “menyerang” Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melalui Facebook yang kemudian diviralkan via WA oleh pendukung Jokowi-Ahok. Pokoknya Anti Jokowi-Ahok. Zeng, disebut-sebut sebagai Ketua III Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa Budhist Indonesia / HIKMAHBUDI (2001); Pendiri Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KOMTAK) (2006/2007) bersama Pdt. Nathan Setiabudi, Lius Sungkarisma, Eddie Kusuma, dll. Ia pernah menjadi Wakil Sekjen DPP Partai Demokrasi Perjuangan Rakyat (PDPR) (2003); Bapilu DPD PDIP Jakarta (2004); Deklarator Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM), Jakarta Selatan; Pendiri Confusian Centre (2002); Zeng itu pendiri PROUT (Progressive Utilisation Theory) Discussion Forum, Jakarta (1999); Koordinator Interbuddy (International Buddhist Youth) Asia Pacific Region (2000); Head of Political Department, Centre for Democracy and Transparancy (CDT31); Researcher SINERGY Indonesia (2005/2006); Ketua Forum Multikulturalisme Indonesia (2003-2007); Sukarelawan AMURT (Ananda Marga Unit Relief Team) (1998-2004); Zeng pernah menjadi Wartawan Majalah d'FISH (2003/2004); Zeng lulusan kursus jurnalisme sastrawi Yayasan Pantau & Eka Tjipta Found; Assistant Manager CV. Primacolour Printing (Adidas & Nike Major Printing) (2010-2013); Sales Manager PT. Benteng Multi Indotama/Indoscreen, Jakarta (2013); Owner CV. Tantra PITH: 2013 – kini; Pada 2006-2008 Zeng Wei Jian aktif di Milis Budaya Tionghoa id-nya extrim_bluesky. Dulu Zeng juga dikenal Anti Pribumi. Dia itu Pasukan Pembela China. Ini bisa lihat di arsip milis mail-archive.com/search?q=kenke… Pokoknya kalau ada Front Pembela China, dipastikan Zeng Wei Jian jadi Ketuanya. Saking belagunya dia, akhirnya pengurus milis Budaya Tionghoa Memberi Peringatan Keras Atas Kelakuannya. mail-archive.com/budaya_tionghu… Pada 2008 dia masuk Center For Democracy and Transparency (CDT) dan baru ketemu Ahok. Begitu melihat kemampuan Ahok, Zeng Wei Jian terkesima. Kaget ada orang China hebat gini pikirnya. Dan, mulailah Zeng Wei Jian cari muka sama Ahok. Karena Zeng jago nulis. Dia bikin blog tulisannya puji-puji Ahok. Tapi, sayang blognya sudah ditutup oleh dia karena kecewa sama Ahok. Disebutkan, dulu nama blog-nya zengweijian.blogspot.com, tapi sekarang sudah ditutup oleh Zeng. Pokoknya isinya puja-puji kinerja Ahok sejak Bupati Belitung sampai Anggota DPR. Konon, pada 2012 Zeng Wei Jian katanya sempat bantu-bantu Kampanye Pilgub DKI Jakarta menjadi relawan darat (kata Zeng yang belum terkonfirmasi), pokoknya Dukung Ahok 100%. Karena mentang-mentang dekat dengan orang-orang kuat, duit banyak. Dan, akhirnya Zeng Wei Jian mulai menggunakan Narkoba (Sabu). Entah bagaimana awalnya Zeng pakainya. Tapi, yang jelas pada 2013-an Zeng sudah jadi pecandu. Sampai pada akhir 2013-an, Zeng tertangkap lagi pesta narkoba di Kampung Ambon, Jakarta Barat. Mungkin bagi Zeng, dipikir punya kenalan banyak pejabat bisa lolos dari jeratan hukumnya. Ternyata para beking pejabat tak ada yang mau menolongnya. Beberapa kali hubungi Ahok minta jaminan agar dibebaskan. Sambil ungkap jasa-jasa dia bantu Ahok. Rupanya, Zeng salah orang. Ahok kalau sama orang pamrih malah dibiarkan. Menurut Ahok juga, Zeng sok-sokan, pokoknya ngaco abis lah, ada beberapa kali ketahuan mainin proyek. Sampai hujan berkelir juga tak bakal dibantu Ahok untuk jeratan hukum. Zeng ngadu ke Ahok dengan alasan dijebak polisi. Ahok tanya lagi, elo ketangkep di mana? Dijawab, Kampung Ambon. Yaelah itu mah bukan dijebak, emang elo pemadat.. elo urus sendiri, gue gak mau bantu. Begitu kira-kira kata Ahok. Dari sinilah dendam ke Ahok dimulai. Singkat cerita Zeng, akhirnya menginap di hotel prodeo chapter Salemba selama 2 tahun. Pada 2015 Zeng bebas dan mulai balas dendam ke Ahok. Setelah bebas, mulailah Zeng bikin propaganda Anti Ahok di Facebook atau tulisan Anti Ahok via WA. Kasus yang paling viral adalah kasus @amaliaayuningts Teman Ahok yang dibilang orang Kristen nyamar pakai Jilbab. Dengan sotoynya Zeng search FB cari yang namanya Amalia tanpa Hijab. Yang jelas-jelas beda orang. Fitnah seorang Zeng memang dahsyat. Sampai-sampai isteri Amalia yang tak berhijab klarifikasi. Hasil hoax pertama Zeng yang viral ini, sampai teman kecil @amaliaayuningts gemes sama kelakuan Zeng. Pokoknya hoax tentang Ahok diproduksi terus. Pokoknya, saat Pilkada Jakarta 2017 Zeng Wei Jian produktif hampir setiap hari tulisan Hoax Anti Ahok & Jokowi beredar di WA. Ternyata, dari 10 tulisan Zeng Wei Jian tentang Ahok 15-nya Hoax. Zeng Wei Jian akhirnya diinterview oleh Gubernur @aniesbaswedan di Balaikota. Mudah-mudahan masuk TGUPP. Lumayan gaji Rp 27 juta/bulan. Ketika diinterview di Balaikota, Zeng menulis status @geloraco: Zeng Wei Jian Kaget. Ternyata Ada Ruang Tidur di Kantor Gubernur Zaman Lama. Sekarang sudah dibongkar Anies. Padahal, ruang tidur itu sudah ada sejak lama. Ahok juga sudah cerita ke berbagai media. Oleh Gubernur Anies, ruang tidur beneran dibongkar dan djadikan War Room. Perlu dicatat juga, kalau @Fahrihamzah cuma 1 TV besar. Anies pakai 2 TV besar. Zeng tidak tahu fakta bahwa Gubernur @aniesbaswedan merupakan satu-satunya gubernur yang punya War Room. Jadi, semua akun sosmed yang kritik dia dipantau. War Room sang Gubernur Anies bener-benar steril. PNS saja tak bisa bebas keluar masuk. Yang bebas keluar masuk cuma tukang angkut TV. Itulah sebagian fakta sisi lain terkait Zeng. Sekarang ini silakan menilai sendiri, Anda Pembaca Budiman, lebih percaya Zeng Wei Jian atau Asyari Usman! Penulis wartawan senior.

Novel Baswedan, Orang Buta Dalam Obor Kehidupan

By Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Saya benar-benar Bangga. Saya telah bangga sebelumnya, ketika mengetahui akan dipanel dengan Novel Baswedan kemarin sore dalam pengajian di sebuah daerah di pondok bambu Jakarta Timur. Subhanallaah, Alhamdulillaah. Novel dikenal sebagai penegak hukum tangan besi bagi para koruptor. Novel juga berani mengambil resiko besar terhadap ke hidupnya yang selalu terancam mati. Matanya sendiri sudah disiram air keras sejaK dua tahun lalu. Itulah resiko perjuangan yang harus ditanggung Novel. Dr. Ahmad Yani MH, ahli hukum dan bekas anggota DPR RI bercerita kepada saya tentang Novel. Dalam sebuah pertemuan kebetulan dengan Novel di sebuah bandara, beberapa waktu bahwa “mata Novel yang buta atau hampir buta saat itu”. Novel bertanya kepada Yani, coba tebak, mata mana saya yang masih bisa melihat? Yani melihat, lalu mengatakan mata kanan. Jawaban Yani salah. Kenapa? Jawaban yang benar adalah mata kiri yang terlihat buta, justru masih bisa sedikit melihat. Sedang mata kanan yang kelihatan normal, justru sudah buta. Karena disiram dengan air keras. Kemarin, saya telah berbincang-bincang dengan Novel Baswedan selepas sholat Maghrib sambil menunggu Isya. Sekalian makan nasi kebuli. Karena acara kemarin akan berlangsung habis sholat Isya. Pertemuan itu mengupas berbagai kejahatan korupsi di negara ini. Novel, misalnya, mengingatkan hati-hati tentang Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Nanti bisa jadi, akan lebih gampang lagi kejahatan pengurasan sumber daya alam bangsa Indonesia. Untuk bayar biaya politik. Saya celetuk, "bukankah biaya politik sudah selesai dengan Jiwasraya?" Kebanggaan saya sirna setelah sholat Isya. Acara dimulai dengan paparan pertama dari Novel Baswedan. Setelah Novel menegaskan bahayanya korupsi di Indonesia serta tantangannya yang lebih besar saat ini. Novel menutup ceramahnya dengan berkata “sesungguhnya saya harus memberitahu anda semua, tadinya mata kiri saya masih bisa melihat secara samar. Namun, mata inipun sudah buta. Saya tidak dapat lagi melihat anda semua". Hilangnya kebanggaan saya setelah saya mengetahui bahwa Novel Baswedan tidak pernah melihat sosok siapa Syahganda Nainggolan itu. Novel Baswedan “is a Blind Man”. Panjang lebar perbincangan saya sebelumnya, antara Maghrib dan Isya, "hanyalah"pada orang yang tidak bisa melihat saya”. Itu membuat saya sama sekali tidak bangga. Tentu awalnya. Buta Mata, Terang di Hati Untuk memulihkan kebanggaan saya bertemu dengan Novel yang buta, saya harus membaca cerita-cerita tentang orang buta. "The Blind Man and The King", "The Blind Man and The Lamp", "The Blind Man and The Lame", "Jesus and the Blind", "Nabi Isa dan Orang Buta, Cerita tentang Si Buta Dari Gua Hantu, dan cerita orang butan lainnya. Orang buta ternyata bukanlah orang buta. Itu pertama ketika pernyataan terkahir Novel Baswedan dalam ceramahnya. "Mata saya telah menjadi buta. Namun, saya tidak akan pernah menyesalinya. Saya lebih takut kalau saya memilih jalan yang salah". "Tale story" maupun "true story" tentang orang buta yang banyak berguna bagi kehidupan kemanusian. Ternyata mengartikan buta sama dengan "jalan yang salah". Kebutaan yang benar-benar buta adalah jalan sesat. Jalan kejahatan. Manusia-manusia yang matanya benar-benar buta sesungguhnya manusia-manusia yang hidup dalam kesesatan, seperti koruptor-koruptor itu. Novel Baswedan awalnya matanya terang dan hatinya bersinar. Namun, mafia-mafia perampokan asset bangsa dan boneka-bonek nya telah memerintahkan penyiraman air keras kepada Novel. Kita tahu ketika Novel keluar dari Masjid sehabis Subuh di dekat rumahnya, pelaku pembutaan menyiramkan air keras ke mata Novel. Untuk mempertahankan matanya, sehabis kejadian 11 April 2017, Novel di bawa ke Eye Center Jakarta kemudian dirawat di Singapore General Hospital. Setelah hampir tahun tahun, Novel akhirnya buta. Matanya sudah tidak bersinar lagi. Namun, hati Novel tetap bersinar terang. Sebab Novel tidak menyesali resiko matanya . Novel berkata tadi, "saya lebih takut kalau berada dijalan yang salah". Artinya dia lebih takut kalau hatinya tidak bersinar, bukan matanya. Dan Novel, dalam ceramahnya, mengatakan, "Saya akan berjalan sendiri, jika memang kalau itu harus sendiri, dalam melawan kezaliman para koruptor-koruptor" Tantangan Kita Novel adalah petugas resmi negara. Bertahun-tahun penyiram air keras ke Novel raib tak ditemukan. Mirip Harun Masiku. Meski akhirnya ada dua opsir polisi yang mengaku beberapa bulan lalu. Pengakuan itu tidak menghilangkan misteri. Karena rakyat percaya bahwa penyiram mata Novel adalah sebuah kejahatan besar dari "organisasi mafia" besar yang terlibat. Pada saat Novel disiram air keras, matanya, KPK masih berjaya. Namun, saat ini KPK telah tersandera. Menggeledah sebuah kantor partaipun sudah kesulitan. Berbagai kasus atau 36 kasus, akhirnya di SP3 alias “dipetieskan”. Era pemberantasan korupsi, sebagai ikon perjuangan paska reformasi kelihatannya berakhir saat ini. Mati felan-felan Lalu bagaimana tantangan pemberantasan korupsi ke depan? Tentu saja "kematian" KPK bukan kematian rakyat dalam mengawasi korupsi dan melawan koruptor2 itu. Dukungan besar kepada KPK sepanjang sejarahnya, selama ini ditunjukkan dengan aksi rakyat ke KPK, aksi simpati. Sampai-sampai Jubir Jokowi, Fadjroel Rachman, tercatat dalam sejarah membotakkan kepalanya di KPK, disorot semua TV. Padahal semua aktifis ITB tahun 80an pernah botak kepalanya karena ikut OS, Ospek. Plonco. Hanya Fadjroel yang dulu tidak ikut Plonco, sehingga belum pernah gunduli kepala. Nah, dukungan rakyat pada pemberantasan korupsi saat ini akhirnya tidak punya saluran lagi. Kita lihat massa rakyat dalam tema anti korupsi Jumat kemarin sudah ke istana negara. Bukan lagi ke KPK. Begitu juga berbagai aktifitas para aktifis dalam menyuarakan anti korupsi, selain ke jalan, saat ini memenuhi ruang media sosial dan diskusi publik. Sekitar sepuluh ribu massa tumpah ruah kemarin di depan istana. Itu adalah sebuah langkah awal rakyat yang baik menyoroti korupsi. Menyalurkan aspirasi langsung ke istana. Dan Mahfud MD, Menteri Kordinator Polhukam, mengapresiasi isu dan aksi tersebut. Pola baru tuntutan massa rakyat ini akan membutuhkan ujian serius. Apakah suara mereka didengar para penguasa atau tidak? Jika praktek korupsi tetap merajalela, maka massa itu mungkin bukan lagi sepuluh ribu, bisa jadi bergerak ke angka aksi 212, yakni sepuluh juta jiwa. Penutup Kebanggaan saya berkenalan dengan Novel Baswedan yang awalnya sirna, ketika mengetahui bahwa beliau telah buta total.Novel tidak lagi mengenali audiens, berangsur membuat saya bengga kembali bangga kembali. Karena ternyata buta mata Novel bukanlah buta mata hatinya. Kebutaan mata fisik hanyalah bagian kecil dari perjuangan Novel. Dia lebih takut jika mata hatinya yang buta. Novel memastikan perjuangannya melawan korupsi dan mafia-mafia akan terus berlanjut. Menurutnya, buta itu adalah berada di jalan yang sesat. Dan dia memilih tidak di jalan yang sesat itu. Setelah Novel pergi dari majelis pengajian kemarin malam, dan saya mulai berbicara. Saya sampaikan "perjuangan ideologis itu bukanlah mempertentangkan Pancasila vs Agama. Namun, perjuangan ideologis adalah seperti Novel Baswedan. Mengambil resiko buta, tapi memilih hidup dijalan yang benar. Novel menyatakan “tidak akan kompromi dengan koruptor dan mafia-mafia itu”. Atas keberanianya, Novel mendapat peghargaan internasional dari Perdana Internasional Anticorruption Champion Foundation (PIACFF) tahun 2020. Kita harus belajar tentang kehidupan dari Novel Baswedan, "Orang Buta Yang Menjadi Obor Kehidupan". Bravo, Novel! Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Gila Agama, Mabuk Pancasila

Oleh Dimas Huda Jakarta, FNN - Gila. Insanity atau madness dalam bahasa Inggris. Sarap, orang Betawi bilang. Orang Jawa menyebutnya edan, gendeng, dan sableng. Majnun dalam bahasa Arab. Orang Sunda lebih suka menyebutnya gélo. Wikipedia mendefinisikan gila sebagai istilah umum tentang gangguan jiwa yang parah. Secara historis, konsep ini telah digunakan dalam berbagai cara. Di lingkungan dunia kesehatan lebih sering digunakan istilah gangguan jiwa. Kata kegilaan sering pula digunakan untuk menyatakan tidak waras, atau perilaku sangat aneh. Dalam pengertian tersebut berarti ketidaknormalan dalam cara berpikir dan berperilaku. Dalam perkembangan masyarakat, istilah yang cenderung negatif ini bisa jadi diartikan positif. Frasa seperti "ide gila", "karya gila", dan semacamnya lebih cenderung bernada pujian, yang berarti nyeleneh, unik, menyamping (out of the box), dan sebagainya. Ada pula yang menyematkan gila pada seseorang yang dianggap mabuk agama. Belakangan ditambah lagi dengan “mabuk Pancasila”. Robert Graves berpendapat religious fanaticism is the most dangerous form of insanity. Fanatanik terhadap agama adalah bentuk gila yang paling membahayakan. Jika Pancasila disakralkan, maka pendapat ini bisa bergeser bahwa mabuk Pancasila juga tak kalah berbahaya. Orang yang merasa "paling" hebat diantara manusia, itulah salah satu jenis orang gila. Pada tingkat inilah, orang masuk golongan upnormal. Maka benar pepatah Arab "Al-Junun Funun" gila itu bermacam-macam. Merasa paling pancasilais, dialah si gila itu. Merasa paling kaya, juga orang saraf. Orang yang merasa "paling beragama", tentu saja si majnun. Mentang-mentang diangkat menjadi anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau BPIP, lalu merasa diri sangat pancasilais, paling pancasilais, maka sudah pasti itu orang edan. Fase Mabuk Sebelum masuk pada fase gila, biasanya didahului dengan mabuk: hilang kesadaran; suka yang berlebihan, tergila-gila. Mabuk adalah sebuah keadaan sang pelaku tidak sadar akan dirinya. Penyebabnya macam-macam. Bisa karena nenggak alkohol. Namun mabuk paling membayakan tentulah mabuk agama. Juga mabuk Pancasila yang sudah mulai diupayakan sejajar dengan agama. Tentu ada ciri-cirinya orang mabuk Pancasila. Seperti orang teler, mereka teriak “aku Pancasila” tapi tak ngerti omongannya sendiri. Mereka tidak paham sejarah tapi sok paham. Pancasila pun menjadi berhala baginya. Memutar Ulang Mereka juga gampang menuduh orang lain “tidak pancasilais”, “anti Pancasila”, “bahaya Pancasila” dan lainnya. Di antara mereka juga menghadap-hadapkan agama dengan Pancasila. Sejarah sepertinya mau diputar ulang. Pertarungan politik hendak dilanjutkan kembali. Urusan Pancasila dibuat belum kelar. Dulu, tatkala Pancasila digodok, dibahas, bahkan diperdebatkan hingga menghasilkan rumusan akhir seperti Pancasila saat ini, memang memunculkan aliran terkuat yakni “Kebangsaan” dan “Islam”. Kebangsaan berspirit sekuler sedangkan Islam didukung oleh kekuatan keagamaan. Perjuangan politik umat Islam saat itu adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 maka akhir rumusan adalah sebagaimana yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Umat Islam telah memberi “hadiah” pada bangsa. Pancasila disepakati sebagai dasar penyelenggaraan negara. Ironisnya, kini yang secara simbolik menyatakan “aku Pancasila” atau “Pancasila harga mati” atau sejenisnya itu mengarahkan tudingannya kepada umat Islam. Mereka menyebar racun dan permusuhan bahwa kekuatan umat Islam itu radikal dan intoleran serta menjadi “bahaya Pancasila”. Tuduhan yang kadang seenaknya dan tidak bertanggungjawab. Disadari pada tahun-tahun politik seperti sekarang ini tidak jarang penipuan, kebohongan, kecurangan, kezhaliman, fitnah dan adu domba dengan mengatasnamakan agama, juga Pancasila. Inilah yang memunculkan istilah "mabuk agama” dan “mabuk Pancasila tapi krisis moral”. Bila kondisi ini dibiarkan maka akan berubah menjadi "gila agama, gila Pancasila, tapi krisis moral." Agama dan Pancasila dipolitisasi sesuai keinginan dengan menghalalkan berbagai macam cara demi tercapai ambisi politiknya. Dulu kaum sekuler dan komunis berlindung di Pancasila untuk mengamankan diri. Agama dimusuhi dan dipecah-belah. Pancasila menjadi senjata sekaligus benteng persembunyian untuk misi sesat. Memperkuat kekuasaan dengan menciptakan musuh buatan yang disebut radikalisme, intoleran, ekstemisme bahkan terorisme. Penuh dengan prasangka dan kebencian menuduh bahwa kaum beragama adalah anasir berbahaya. Mengancam Pancasila. Pancasila merupakan kesepakatan, perjanjian, dan keseimbangan politik. Bukan berhala. Karenanya dahulu ada diskursus Pancasila sebagai ideologi terbuka yang bisa didiskusikan. Hanya orang komunis yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Lalu dengan doktrin “membela Pancasila” semakin anti pada agama. Mereka tidak menyadari bahwa ketika “gila Pancasila” kian berkembangbiak maka pada akhirnya “gila agama” pun akan turut berkecambah. Sudahlah, jadi waras itu lebih indah. Penulis wartawan senior.

Jokowi Korbankan Buruh Menanggung Beban Investasi Asing

Sejumlah paket ekonomi yang dibuat Pemerintah Jokowi dengan narasi yang terkesan indah dan hebat-hebat. Namun dalam kenyataannya, tetap saja tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena ternyata tidak terimplementasi di lapangan dengan baik. Banyak kendala yang dibuat oleh pejabat terkait perizinan.Pejabat cenderung mempersulit investasi dengan biaya-biaya yang cenderung memberatkan. By Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN - Sehubungan Pemerintahan Jokowi telah menyerahkan draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja kepada DPR untuk dibahas, menurut saya ada 3 poin penting yang harus dicermati pemerintah, DPR dan publik. Pertama, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja didasari pada situasi di mana relokasi investasi di China ke Asia Tenggara kecuali Indonesia. Artinya tujuan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah untuk menarik investasi asing ke Indonesia. Pemerintah akan memberikan segala kemudahan dan kepastian dalam berinvestasi. Oleh karena itu pemerintah dan DPR sepatutnya fokus pada efisiensi perijinan dan incentive berinvestasi. Bukan menciptakan aturan-aturan yang mengorbankan kesejahteraan buruh. Bukan pula menaruh nasib buruh pada level yang lebih rendah dalam Omnibus Law. Jika demikian halnya, maka sama saja demi kepentingan investasi asing, Jokowi mengorbankan buruh. Jadinya buruh ikut menanggung beban investasi asing. Pemerintah dapat mengkreasikan aturan-aturan atau biaya investasi yang kompetitif dengan Vietnam, Thailand dan Malaysia. Pemerintah tidak perlu mengurangi apa yang telah didapat buruh selama ini. Yang sudah didapat oleh buruh, biarkan saja apa adanya. Pemerintah seharusnya mendorong investor dengan memberikan incentive progresif kepada investasi yang menggunakan tenaga kerja Indonesia di atas 80%. Atau incentive progresif untuk investasi yang export oriented, atau penggunaan bahan baku lokal di atas 80%. Kedua, perlu jaminan implementasi Omnibus Law ini. Bagaimana aturan teknisnya nanti benar-benar ciptakan efisiensi. Selama ini selain aturan yang tumpang tindih, biaya perijinan investasi tidak efisien, karena mental koruptif birokrasi, baik di pusat maupun daerah. Jadi, efektifitas Omnibus Law ini dalam menarik investasi akan sangat ditentukan oleh praktek birokrasi. Apa yang terkesan bagus dalam narasi, akan gagal jika birokrasinya masih koruptif. Selain itu, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja harus didukung penuh oleh para buruh dan pemerintah daerah. Jika akhirnya masih sering terjadi aksi pemogokan buruh, akibat dari Omnibus Law yang dipaksakan pemerintah pun tidak akan berhasil menarik investasi asing masuk. Kita harus belajar dari paket-paket ekonomi Jokowi di periode pertama pemerintahannya. Sejumlah paket ekonomi yang dibuat Pemerintah Jokowi dengan narasi terkesan indah hebat-hebat. Namun dalam kenyataannya, tetap saja tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena ternyata tidak terimplementasi di lapangan dengan baik. Pejabat cenderung mempersulit investasi dengan biaya-biaya yang cenderung memberatkan. Ketiga, jiwa RUU Omnibus Law ini jangan sampai menghidupkan kembali sentralisme pada pemerintah pusat. Sekarang kita sudah melangkah jauh dengan desentralisme otonomi daerah. Pemerintah daerah harus diajak terlibat dalam pembahasan RUU Omnibus Law. Tujuannya, agar Pemerintah Daerah dapat memahami betul isi dan tujuannya, sehingga implementasinya di daerah juga efektif dan seragam. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS)

Defender of the Cukongs Mulai Kepanasan

“If you have enemies, that means you stand for the right,” kata Winston Churchill, perdana menteri Inggris di era perang. “Jika Anda punya musuh, berarti Anda membela kebenaran.” By Asyari Usman Jakarta FFN - “Smoked out” artinya keluar dari persembunyian. Kepanasan. Terus, maki-maki. Defending the crooks. Bad enough, tentunya. But, that’s what you will expect from Zeng Wei Jian called “Ken Ken” by his fooled admirers. Ken Ken mencak-mencak gegara dua tulisan yang mengurai peranan para cukong dalam mendikte politik Indonesia. Dia buat tulisan konyol. Dia tunjukkan as if (seolah-olah) dia adalah kaki tangan para cukong parpol itu. Sungguh kasihan. Sebenarnya, banyak orang tahu Zeng “bukan penulis lepas”. Tangannya terborgol oleh keharusan untuk menjaga agar “debit card” itu bisa tetap berlaku di tempat-tempat nongkrong. Sebenarnya, pena yang dia gunakan untuk menulis sangat canggih. Tapi, ada “remote control”-nya. Pengamat politik, Hersubeno Arief, menguraikan siapa-siapa yang disebut sebagai cukong yang melakukan mafia politik. Yakni, mereka yang membeli parpol untuk kuasai Indonesia. Itu saja. Sekadar mengelaborasi “pengalaman” Ketua MPR Bambang Soesatyo bahwa para cukong alias pemodal, domestik maupun asing, membeli “Satu Partai Satu Triliun” untuk menguasai negeri. Celakanya, kalau Anda selami pikiran Zeng, Anda akan temukan di kepalanya bahwa beli parpol “is the thing right to do”. Beli partai itu bagus bagi Zeng. Hancurlah Indonesia. Mas Hersu dan teman penulis satu lagi hanya mencarikan perspektif yang tepat dari deklarasi Pak Bamsoet. Hersebeno menjelaskan siapa-siapa saja yang punya duit besar, yang mampu membeli parpol-parpol “in order to gain the real power” dalam mengelola kekayaan negara. Sangatlah logis kalau kemudian Hersubeno memperkenalkan kepada khalayak nama-nama taipan yang mungkin sekali berkepentingan untuk membeli kekuasaan politik. Lagi pula, nama-nama yang membuat Zeng naik tensi itu adalah mereka yang disebut oleh “Forbes” sebagai orang-orang terkaya di Kolam Susu-nya Koes Ploes. Hersu hanya mengutip “Forbes” itu. Nothing more. Zeng menjadi panik. Dia bela para cukong itu. Menuduh Hersu bebuat SARA. Baseless accusation. Tuduhan yang terbentuk dari “inability to understand the whole context of Hersu’s argument”. Tidak ada SARA. Yang diuraikan itu semata-mata fakta murni. Zeng keluar dengan cercaan yang menggelikan. Dia caci-maki kedua penulis that stand for the right. Zeng tidak rela pembeberan the truth of the day. Perilaku Zeng sangat memalukan, by all standards. Neither morality, nor journalism principles. Dapat dibaca dengan jelas arah tulisannya. Seratus persen menggonggong untuk the masters –para cukong itu. Pantas diduga, ada imbalan yang sangat menggiurkan di balik “pikiran sesat” Zeng. Reaksi ngawur Zeng Wei Jian sama sekali tidak mengherankan. Dia memusuhi tulisan-tulisan yang tidak sejalan dengan “money making process” yang dia punya. Zeng langsung terusik ketika ada yang coba menyentuh para cukong yang telah merusak semua sendi kehidupan bangsa ini. However, Mas Hersubeno dan teman penulis satu lagi tidak perlu terlalu hirau dengan jurus-jurus Zeng. Anda berdua paham tentang dia. Publik juga mengerti. Dan Anda berdua juga tahu mengapa Anda punya musuh. “If you have enemies, that means you stand for the right”, kata Winston Churchill, perdana menteri Inggris di era perang. “Jika Anda punya musuh, berarti Anda membela kebenaran.” Penulis adalah Wartawan Senior

Soal Tambang Emas Tumpang Pitu, Gubernur Khofifah Harus Tegas!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Gejala konflik horizontal di wilayah sekitar tambang emas Tumpang Pitu di kawasan Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, belakangan ini sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, mulai ada kelompok Forum Pembela Adat dan Budaya Banyuwangi (Balawangi) yang siap siap pasang badan mensterilkan Dusun Pancer dari pihak luar. Sayangnya pihak luar yang dimaksud itu siapa tak disebutkan. “Kami sangat prihatin, dan merasa terpanggil atas kondisi yang terjadi di Pancer,” kata Ketua Balawangi, Sholehudin, Minggu malam (16/2/2020). Ini disampaikan saat acara diskusi di café Jakarta, Desa Jajag, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi. Seperti dilansir TimeIndonesia.co.id, hadir dalam kegiatan tersebut sejumlah tokoh pemuda Bumi Blambangan. Salah satunya Agus Setiawan, Ketua Paguyuban Pekerja Pertambangan Banyuwangi. Menurut Soleh, sapaan akrab Solehudin, apa yang belakangan terjadi di Pancer, sudah tidak bisa ditolelir. Masyarakat kecil seolah diaduk dan saling dibenturkan. Antara warga yang bisa menerima keberadaan tambang emas PT Bumi Suksesindo (PT BSI) dengan yang kontra. Menurutnya, sejumlah pentolan gerakan anti tambang emas PT BSI, memang diketahui dari warga luar Desa Sumberagung. Bahkan belakangan kembali muncul pihak yang berpotensi menciptakan gangguan stabilitas keamanan di masyarakat. “Kasihan masyarakat Pancer, mereka jadi resah, setahu kami mayoritas masyarakat itu netral dan sebagian lain bisa menerima keberadaan tambang, kalau pun ada yang menolak, dulu masih sangat santun, tapi kini menjadi ada jarak,” ungkapnya. Sementara itu, Agus Setiawan, selaku Ketua Paguyuban Pekerja Pertambangan Banyuwangi, berharap masyarakat di sekitar tambang PT BSI bisa saling menghargai. Baik kalangan pro maupun tolak. “PT BSI kan tambang legal, keberadaanya dilindungi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” katanya. Begitu juga, lanjut Agus, kelompok tolak silakan protes. Karena itu hak warga negara dan dijamin UUD 1945 juga. Termasuk kalangan karyawan PT BSI, dia meminta juga untuk tidak diganggu atau dihalang-halangi. “Karena pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah hak setiap individu dan dilindungi konstitusi,” cetusnya. Dalam diskusi ini, Balawangi dan sejumlah tokoh muda di Banyuwangi, sepakat akan hadir untuk masyarakat Pancer. Demi terciptanya ketentraman dan kondusivitas warga setempat. Sekaligus sebagai bentuk peran serta dalam mengawal penegakan supremasi hukum. Jika Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa tak segera mengambil langkah tegas, bukan tidak mungkin konflik horizontal antar kedua kelompok itu bisa saling berhadapan. Dan, meledak! Sebaiknya, Gubernur Khofifah mengevaluasi keberadaan PT BSI. Pasalnya, kelompok penolak tambang juga punya alasan kuat. Demi masa, perjuangan ini akan abadi. Tolak tambang emas Tumpang Pitu adalah harga yang tak bisa ditawar. Tidak hanya Salakan saja tapi seluruh kawasan yang ditambang harus dilepaskan untuk kelestarian. Mereka menuntut: Pertama, mendesak Gubernur Khofifah mencabut perijinan pertambangan PT BSI dan PT DSI guna terciptanya keselamatan, keberlanjutan, dan pemulihan lingkungan dan ruang hidup warga Sumberagung dan sekitarnya (Banyuwangi); Kedua, juga mendesak Gubernur Khofifah untuk memulihkan kawasan yang telah rusak di Tumpang Pitu demi menjamin kehidupan masyarakat berbasis kelestarian lingkungan dan pengurangan resiko bencana. Ketua Balawangi, Sholehudin berkata bahwa tambang PT. BSI itu legal, sesuai UUD 1945. Artinya, “Dia selaku ketua LSM Balawangi mendukung tambang emas Gunung Tumpang Pitu dan Salakan, dengan argumen legalitas,” kata Advokat Subagyo, SH. Selaku orang yang pernah belajar dan mengajar ilmu hukum, ia jelaskan begini. “Bahwa hal yang legal itu belum tentu benar. Apakah sesuatu yang legal itu sudah pasti konstitusional? Ya belum tentu,” lanjut advokat yang concern pada hukum lingkungan ini. Contoh paling sederhana adalah asal hukum dagang dan konsumsi miras itu tak benar dalam padangan nilai yang hidup dalam masyarakat Islam. Jadi secara living law (pinjam istilah Von Savigny), perdagangan dan konsumsi miras itu tidak benar. Karena melanggar living law masyarakat Islam. Makanya UU melarang. Lalu ada perangkat hukum administrasi yang bernama “izin pemerintah” yang melegalkan. “Sehingga menjadi legal,” ungkap Subagyo. Begitu pula hukum asal dari menambang emas itu adalah “dilarang”. Apalagi itu di kawasan hutan lindung. Tapi untuk melegalkannya, maka kawasan hutan lindung itu diubah oleh pemerintah menjadi hutan produksi, lalu dijadikan wilayah usaha tambang dan diberikan izin usaha tambang. Jadi perizinan itu merupakan instrumen legalisasi perbuatan yang hukum asalnya adalah “tidak legal”. Nah, apakah legalisasi itu selalu konstitusional? Ya tidak mesti. Sebagai contoh, Mahkamah Agus memutuskan, kebijakan pemerintah berupa peraturan yang dipakai dasar untuk mengubah kawasan hutan lindung menjadi hutan non-lindung untuk perkebunan adalah inkonstitusional, melanggar UUD 1945. Itu terkait dg putusan MA yg minta presiden Jokowi mencabut PP Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. “Jadi, ada penjahat yang membawa-bawa agama sebagai dasar dan argumen. Ada pula orang yang membawa-bawa UUD 1945 untuk meloloskan hasrat dan nafsunya,” ungkap Subagyo. Dan, sumber penyebabnya sama, yakni uang, rasa takut tidak hidup kaya, rasa takut tidak bisa hidup terpandang. Gunung Tumpang Pitu dibutuhkan warga sebagai benteng alami dari daya rusak tsunami. Tumpang Pitu dan sekitarnya adalah Kawasan Rawan Bencana (KRB). Sebagai KRB, seharusnya Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu dikonservasi, penambangan di KRB justru menambah angka kerentanan KRB itu sendiri. Karenanya menjadi beralasan jika tambang emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu ditolak. Seperti dilansir Walhijatim.or.id, demi tambang emas, mantan Ketua MPR Zulkifli Hasan yang saat itu sebagai Menteri Kehutanan, telah mengubah status hutan lindung Tumpang Pitu sebagai hutan produksi. Pengubahan status ini dilakukan Zulkifli Hasan pada 19 November 2013 dengan menerbitkan surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.826/Menhut-II/2013. Dalam surat tersebut, Menhut mengalih fungsi Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi produksi seluas 1.942 ha. Penurunan status Tumpang Pitu ini dilakukan oleh Menhut setelah ada usulan dari Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Pada 10 Oktober 2012, Bupati Banyuwangi lewat surat Nomor 522/635/429/108/2012 mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan lindung seluas 9.743, 28 ha. Usulan Abdullah Azwar Anas ini direspon Zulkifli Hasan dengan mengalihfungsi Tumpang Pitu seluas 1.942 ha. Alihfungsi ini dilakukan Zulkifli Hasan dengan menerbitkan surat No. SK.826/Menhut-II/2013. Untuk mencegah terjadinya konflik horizontal, Gubernur Khofifah bisa segera mengevaluasi terkait legalitas perizinan atas tambang emas Tumpang Pitu. Meski ada izinnya dan dianggap “legal” namun patut dipertanyakan, bagaimana proses turunnya izin itu. Padahal, sudah jelas bahwa Tumpang Pitu itu termasuk KRB, tapi mengapa Bupati Anas itu begitu mudahnya mengusulkan kawasan hutan lindung ini menjadi produksi? Mengapa pula Menhut (saat itu) Zulhas begitu mudah memberi izin alih fungsi itu? Patut diduga, di sini ada upaya proses “illegal”untuk mendapatkan “legalitas” perizinan atas Tumpang Pitu! Di sinilah ditunggu ketegasan dan keberanian Gubernur Khofifah mengambil sikap. Meski di dalam perusahaan tambang Tumpang Pitu itu ada nama wakil menteri dan kerabat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), saya yakin, Gubernur Khofifah akan bertindak tegas! ** Penulis wartawan senior.