Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (2): Minoritas Jangan Adu Domba Umat Islam

Di negara Pancasila ini, umat minoritas sangat dilindungi. Berbeda jika umat Islam menjadi minoritas di suatu negara atau wilayah. Coba Anda ingat perlakuan Budha teroris kepada umat Islam di Myanmar, perlakuan Hindu ekstrimis kepada umat Islam di India. Perlakuan komunis China kepada umat Islam di Ughiur.

Oleh Mangarahon Dongoran

Jakarta, FNN – TIDAK hanya Klenteng yang didatangi anggota FPI maupun Laskar Pembela Islam (LPI) guna melakukan penyemprotan disinfektan – yang dipercaya bisa mencegah dan bahkan mematikan covid-19. Akan tetapi, sejumlah gereja di beberapa tempat pun didatangi oleh anggora FPI. “Islam Garis Keras,” ini tidak segan masuk ke gereja, meski sebagian dari mereka memakai kopiah haji (putih) yang menjadi ciri khas FPI dan simpatisannya. Tentu anggota FPI yang melakukan penyemprotan menggunakan pakaian alat pelindung diri (APD).

Bahkan, di Sumatera Utara, pengurus FPI juga membantu membangun rumah seorang Kristen. Rumah boru Ginting di daerah Kabupaten Karo.

Nah, kalau FPI itu intoleran, mana mungkin hal itu terjadi. Kalau FPI itu intoleran, mana mungkin ada anggotanya mau masuk gereja dan klenteng. Kalau FPI itu sukanya memusuhi agama lain, mana mungkin juga orang gereja dan klenteng dengan terbuka dan penuh persaudaraan sebangsa dan setanah air mau menerima anggota FPI.

Saya tidak bermaksud memuja-muji FPI. Akan tetapi, sebagai wartawan saya tahu sepak-terjangnya karena beberapa kali mendapatkan tugas dari kantor untuk meliput kegiatannya, termasuk wawancara khusus dengan Habib Rizieq Shihab, juga memberitakan kegiatan mereka menjadi relawan saat tsunami melanda Provinsi Aceh Darussalam. Habib Rizieq memimpin langsung anak buahnya di Aceh dan ia beserta petinggi FPI lainnya menginap selama satu bulan di tenda yang dibangun di areal Taman Makam Pahlawan Banda Aceh.

Padahal, kalau mau jajaran FPI bisa saja menyewa rumah untuk petinggi FPI yang melakukan tugas kemanusiaan di Banda Aceh. Saya dan teman-teman yang ditugaskan meliput peristiwa tersebut juga menyewa satu kamar rumah sebagai tempat istirahat. Maklum, hotel di Kota Banda Aceh hancur dan kalaupun ada tidak ada yang mau nginap karena tingkat kerusakan yang tinggi. Jika terjadi gempa, dikhawatirkan rubuh.

Tapi, bagi saya apa yang dilakukan FPI benar, karena kalaupun mereka bertindak, karena laporan mereka ke polisi biasanya tidak ditindaklanjuti.
Misal, dalam kasus yang dulu galak dengan sweeping-nya terhadap tempat hiburan malam atau dugem (dunia gemerlap) di bulan suci Ramadhan. Itu dilakukan tidak lain karena aparat pemerintah berdiam diri terhadap pelaku usaha dunia hiburan yang melakukan pelanggaran jam waktu buka.

Misal, sudah ada ketentuan waktu buka sampai pukul 12.00 dinihari, tapi ada yang masih buka sampai pukul 2.00 dan bahkan pukuk 3.00. Sudah dilaporkan ke aparat pemerintah, tapi didiamkan. Seolah ada kerjasama antara aparat pemerintah dengan pengelola dugem. Ya, mungkin karena ada oknum yang juga ikut menikmati setoran atau dalam bentuk apalah.

Tegakkan Aturan

Belakangan sweeping sudah jarang atau bahkan tidak pernah lagi dilakukan FPI. Hal itu bukan semata karena polisi mengancam akan menindak pelaku sweeping, tetapi karena penegakan hukum terhadap pengelola dugem juga semakin tegas.

Habib Rizieq dan petinggi FP senang dengan tindakan tegas aparat pemerintah (baik polisi dan Satpol PP) yang semakin tegas terhadap pelaku pelanggaran. "Kalau aturan ditegakkan, tugas FPI selesai. FPI hanya mendorong penegakan hukum.

Tentu selama ini ada risiko yang diterima, termasuk berhadapan dengan preman-preman yang melindungi tempat-tempat hiburan itu," kata Rizieq suatu ketika. Di Jakarta, misalnya, pengelola yang melakukan pelanggaran jam buka di bulan Ramadhan, langsung ditutup usahanya oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan bahkan izin usahanya dicabut secara permanen oleh Gubernur DKI Jakarta.

Hal yang sama juga terjadi di Kota Tangerang, Depok, Bekasi, Bogor, Bandung dan kota-kota lainnya yang mayoritas berpenduduk muslim.

Kalau di kota yang muslimnya minoritas, seperti Pematang Siantar, Tarutung, Gunung Sitoli (Sumatera Utara), Manado (Sulut), Jayapura (Papua), misalnya, tidak ada masalah buka sampai pagi sekali pun. Termasuk di Bali yang mayoritas Hindu, tidak masalah buka sepanjang malam. Selama pemerintah setempat mengizinkannya.

Makanya, “Jangan ajari saya dan umat Islam tentang toleransi.” Di Negara yang berdasarkan Pancasila ini, umat minoritas sangat-sangat dilindungi. Akan tetapi sebaliknya, jika umat Islam menjadi minoritas di suatu negara, hampir dipastikan Islam akan diinjak-injak, dibunuh, disiksa dan diperkosa. Ruang gerak mereka beribadah terbatas, karena selain aturan pemerintahnya juga karena banyak penduduknya yang rasis dan islampobia.

Anda tidak percaya? Coba ingat kembali bagaimana umat Islam diperlakukan oleh umat Budha teroris di Myanmar. Coba baca dan ingat kembali perlakuan umat Hindu ekstrimis India kepada umat Islam. Coba ingat kembali perlakuan pemerintah komunis RR China kepada kaum muslim minoritas di Ughiur.

Belum lagi perlakuan Amerika Serikat dan sekutunya yang memerangi umat Islam di Afghanistan atas nama melawan teroris. Memerangi Irak atas nama atau tuduhan membangun senjata nuklir dan senjata pemusnah massal (sampai sekarang tidak terbukti).

Memerangi Libya dan lainnya. Dalihnya macam-macam, meski sebenarnya alasan yang kuat adalah tidak suka negara yang mayoritas Islam maju. (Bersambung)**

Penulis, Wartawan Senior

696

Related Post