OPINI
Penempatan Dana Pemerintah di Perbankan, Jangan Ulangi Century
By Andi Rahmat Jakarta FNN – Ahad (07/05). Selama ini, jika berhubungan dengan kesulitan likuiditas, perbankan akan memanfaatkan Pasar Uang Antar Bank( PUAB) untuk mengatasinya . Selain itu, perbankan akan bersandar kepada Bank Sentral (Baca Bank Indonesia) sebagai Lender of Last Resort (LLR) untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Namun dimasa pandemi ini, pemerintah menambahkan satu kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat sumber likuiditas bagi perbankan. Setelah keluarnya PP 23/ 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional, kita mengenal suatu mekanisme baru dalam menangani kesulitan likuiditas Perbankan. PP ini memperkenalkan model Anchor Bank atau Bank Jangkar dalam penanganan kesulitan likuiditas Perbankan. Untuk mendukung restrukturisasi debitur korporasi diperbankan, pemerintah mengalokasikan Rp 34 Triliun dalam bentuk penempatan dana pemerintah di perbankan. Uniknya, model ini tidak menghilangkan fungsi LLR Bank Indonesia. Model ini menambahkan varian sumber pembiayaan likuiditas bagi perbankan. Mekanisme kerjanya adalah dengan menempatkan dana pemerintah di sejumlah bank yang memenuhi persyaratan PP 23/2020, yang disebut Bank Peserta. Kemudian dapat pula dipinjamkan kepada bank-bank yang disebut Bank Pelaksana. Bank Pelaksana ini sendiri adalah bank-bank yang melakukan restrukturisasi dan mengalami kesulitan likuiditas. Penempatan dana ini tidak gratis. Melainkan diwajibkan bagi Bank Peserta untuk mengembalikan pokoknya berikut bunga yang telah ditetapkan. Beleid pemerintah ini rupanya direspon beragam oleh industri perbankan. Ada dua kritik yang dilontarkan. Pertama, mekanisme ini dianggap rumit dan membebani perbankan, khususnya yang menjadi Bank Peserta. Kerumitannya terletak pada mekanisme dua lapis, dimana bagi Bank Peserta, selain harus menangani problem internal mereka sendiri, masih juga dibebani untuk “ cawe-cawe” dengan persoalan bank lain, yaitu Bank Pelaksana. Bagi perbankan, fungsi “cawe-cawe “ ini seharusnya merupakan fungsi OJK. Kedua, bersumber pada kerumitan dan beban tambahan yang mesti ditanggung perbankan yang menyebabkan beleid ini menjadi sulit untuk diimplementasikan di tingkat teknis. Alasannya, karena hubungan antara Bank Peserta (Bank Jangkar) dengan Bank Pelaksana yang membutuhkan likuiditas bersifat “bisnis ke bisnis”. Akan sulit untuk memitigasi resiko masing-masing individu bank, berikut profile debiturnya. Selain itu, juga suku bunga yang kemungkinan mahal. Kondisi seperti ini semakin mempersulit bank yang sedang mengalami tekanan likuiditas. Penulis sendiri beranggapan bahwa Model Bank Jangkar (Anchor Bank) ini sebagai model optimal untuk menjaga sisi akuntabilitas dan aspek prudensial dari skema “bantuan likuiditas” pemerintah terhadap perbankan. Dengan beberapa alasan. Pertama, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Skema “ bantuan likuiditas” dalam bentuk penempatan dana pemerintah di perbankan justru menambah pilihan sumber likuiditas bagi perbankan. Selain yang sudah disediakan oleh BI sebagai LLR. Mau tidak mau perbankan akan berhadapan dengan peningkatan Non Performing Loans ( NPLs) di masa krisis ini. Restrukturisasi terhadap debitur sudah pasti akan dilakukan oleh perbankan untuk mengatasi situasi ini. Disinilah terletak arti penting dari keberadaan beleid ini. Proses restrukturisasi itu sendiri akan menimbulkan tekanan likuiditas bagi perbankan. Beleid ini menjamin ketersediaan sumber likuiditas yang diperlukan perbankan. Kedua, “ bantuan likuiditas” dalam bentuk penempatan dana pemerintah secara inheren mengandung potensi “moral hazard” dan resiko hukum yang tidak ringan. Sisi yang selama ini telah menjadi sumber persoalan berkepanjangan dalam setiap tindakan intervensi likuiditas kepada perbankan. Menempatkan dana pada bank yang berkualifikasi merupakan cara untuk memitigasi resikonya. Apalagi, bank- bank yang akan menggunakan fasilitas ini adalah bank-bank yang tidak lagi memiliki aset yang dapat direpokan ke Bank Indonesia dan hanya mengandalkan kualitas aset kreditnya sebagai jaminan. Bagaimana mitigasi resiko itu terjadi?. Resiko terberat dari bantuan likuiditas terletak pada kemampuan bank untuk mengembalikan dana pemerintah. Selain itu, juga untuk memastikan konsistensi pada tujuan pemberian bantuan itu sendiri. Yaitu, dukungan dalam pelaksanaan restrukturisasi terhadap debitur perbankan, dalam hal ini, debitur korporasi. Dapat dibayangkan, apabila pemerintah melakukan kebijakan intervensi langsung terhadap perbankan yang beragam dan berjumlah banyak itu tanpa memiliki mekanisme untuk memastikan tingkat kesehatan perbankan. Itu hanya akan mengulangi kekeliruan seperti yang terjadi pada Bank Century, suatu bank yang memang sangat tidak sehat jauh sebelum terjadinya krisis. Dengan menerapkan model Bank Jangkar, resiko- resiko diatas bisa diminimalisir. Bank Jangkar akan berfungsi sebagai palang pintu efektif bagi upaya tidak sehat dari bank-bank yang memanfaatkan fasilitas ini bukan pada tujuan yang seharusnya. Dalam hal ini, kita bisa memetik pelajaran pada apa yang terjadi di masa BLBI dulu. Ketiga, saya tidak yakin ada bank yang menolak menjadi bank Jangkar. Kalaupun ada, pasti bank-bank lain, terutama Bank BUMN, akan memilih menjadi Bank Peserta. Penempatan dana pemerintah ini merupakan berkah bagi bank-bank yang menjadi Bank Peserta. Selain memperkuat struktur neracanya, suku bunganya pun dipastikan tidak akan memberatkan perbankan. Apalagi dimasa sulit seperti ini. Baru-baru ini saja kita membaca kalau Bank Rakyat Indonesia (BRI) memperoleh pinjaman senilai US$1 Miliar dengan suku bunga 2% dari beberapa institusi keuangan asing. Tentunya, pinjaman ini adalah suntikan likuiditas baru bagi BRI dan akan memperkuat neraca BRI dimasa krisis ini. Keempat, beleid ini bukan merupakan beleid untuk menangani bank-bank yang mengalami insolvensi. Adapun bank yang mengalami insolvensi telah memiliki mekanisme penangan an tersendiri yang berada di luar kewenangan langsung pemerintah. Ringkasnya, penempatan dana pemerintah melalui mekanisme bank Jangkar, dalam hemat penulis, bukanlah pengambil alihan fungsi Lender of Last Resort BI, melainkan menjadi suplemen tambahan bagi ketahanan sistem perbankan. Dan bagi Bank Peserta, karena juga telah memperoleh manfaat besar, patutlah juga melakukan upaya tambahan untuk menjaga amanah publik yang terkandung di dalam dana yang ditempatkan itu. Karena itu, tidak akan “overlap” dengan fungsi pengawasan dan pembinaan Otoritas Jasa Keuangan ( OJK). Tinggallah dua hal yang mesti ditindak lanjuti oleh pemerintah sebagai buah dari dua kritik sebelumnya. Pertama, 15 bank beraset paling besar itu tidak serta merta dapat dijadikan sebagai Bank Peserta. Sekalipun itu adalah salah satu syarat didalam PP 23/2020. Menteri Keuangan dan OJK hendaknya memastikan bahwa bank yang akan menjadi peserta itu memang sehat dan dapat melalui stress test dalam menghadapi krisis. Ini syarat yang tidak terdapat didalam PP 23/2020, tapi vital dalam memastikan kelaikan bank tersebut. Selain itu, karakteristik dan profile dari bank yang akan menjadi Bank Peserta, juga penting untuk diperhatikan. Bank itu selayaknya memiliki profile sebagai bank yang systemically important bank (bank yang memiliki karakteristik sistemik) dalam pengertian positif. Bank ini pada dasarnya sudah memiliki sifat sebagai “bank jangkar” dalam hubungan antar bank, seperti dalam pasar uang antar bank ( PUAB). Dan juga dalam profile debiturnya, mencerminkan keragaman yang menunjukkan bahwa bank itu memang merupakan bank Jangkar. Yang tidak kalah pentingnya. Penentuan bank menjadi Bank Peserta harus objektif dan menghindari preferensi politik. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan kemungkinan “conflict of interest” pemilik bank. Sedikit saja ini tercium oleh publik, akan merugikan tujuan baik dari kebijakan ini. Apa yang terjadi pada Program Kartu Prakerja yang bertujuan baik dan mulia itu. Namun terbebani oleh kontroversi program pelatihannya bisa jadi pelajaran berharga bagi pengambil kebijakan. Wallahu ‘alam... Penulis addalah Pelaku Usaha, Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Indonesia Dalam Genggaman Korporasi dan Konglomerat
By Dr. Margarito Kamis Jakarta FNN – Ahad (17/05). Presiden telah menggunakan kewenangan istimewanya. Menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2020. Walau menuai kritik hampir sepanjang hari sebelum parpipurna DPR, tetapi DPR menyetujui. Perpu ini segera ditingkatkan statusnya menjadi UU. Entah dengan UU nomor berapa? Pasal 28 ayat (2) ini esensinya menangguhkan hak budget DPR. Aneh, lucu, dan entah apa lagi kata yang semakna, DPR terima. Masa Allah. Ini sama dengan mengubah kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi organis. DPR secara organik menjadi pemegang absolut, kedaulatan rakyat. Bersamaan dengan pengambilan keputusan Perpu, DPR juga mengambil keputusan menyetujui RUU Perubahan UU Minerba menjadi UU. Ditengah hiruk pikuk itu, Presiden mengambil keputusan tentang Iuran PBJS. Kritik cukup menggema. Tapi seperti kebijakan membuka transportasi udara dan darat, Presiden terus tetap pada sikapnya. Konsisten dengan sikap itu, juga terlihat pada sikapnya tentang RUU Omnibus Cita Kerja. Semuanya sama, didukung, sebagian besar oleh DPR. Hebatnya DPR juga tak begitu bergairah merespons kebijakan harga minyak, yang tak kunjung turun. Harga beli Pertamax 92 di Indonesia masih di harga Rp. 9.000 per liter. Beberapa negara tetangga Asean, harga Partamax 92 sudah di bawah Rp 5.000 per liter. Premium apalagi. Bisa Rp. 3.000-an per liter. Konsistensi sikap Presiden ini terlihat juga pada kebijakan tentang TKA asal China, yang sejauh ini tak diikuti perubahan kebijakan yang fundamental untuk menghentikan. Kedaulatan Rakyat Berantakan DPR jelas sekali terlihat bahu-membahu dengan Presiden dalam sejumlah isu. Rakyat tidak lagi terlihat sepenuhnya penting didengar. Kedaulatan mereka berpindah mengikuti model teori organik ke DPR. Karena DPR telah berstatus begitu, maka DPR dapat sesukanya menentukan, dalam arti memutus apa yang bisa dan apa yang tidak bisa tanpa perlu mempertimbangkan kehendak rakyat. Bukankah DPR adalah orang yang dipilih oleh rakyat? Jadi secara organik, rakyat yang mana lagi yang perlu diperhatikan isi kepalanya? Berbahayakah pikiran ini? Mungkin. Tetapi sebaiknya tidak menyebut membahayakan demokrasi. Mengapa? Demokrasi mengandung begitu banyak sisi omong kosongnya. Juga kaya dengan gerak tipu-tipu muslihatnya. Demokrasi selalu begitu, sangat indah di alam fantasi. Di alam nyata, demokrasi bisa sangat ganas. Demokrasi didefenisikan oleh pemilk uang. Kapitalis, korporat dan demagagok inilah yang memegang kendali dalam mendefenisikannya. Orang miskin? Demokrasi menakdirkan yang miskin sebagai orang selamanya diatur. Suka atau tidak. Dalam pandangan para pendefenisi teknis demokrasi, orang miskin harus minggir dari urusan mengatur. Orang miskin, dan rakyat kebanyakan tak punya kemampuan itu. Kemampuan itu ditakdirkan hanya untuk para korporatis. Bagaimana dengan bandit? Lho memang ada kapitalis yang mengharamkan metode bandit? Bandit itu kalau main di jalanan. Kalau main di gedung yang tingginya mendekati langit, bukan bandit. Dalam dunia politik dan bisnis, mereka memiliki lebel khusus, “pebisnis top dan sejenisnya”. Orang-orang DPR pasti punya argumen juga. Berbeda dengan harapan rakyat? DPR bisa balik menantang rakyat yang mana? Kalau mereka berbeda dengan rakyat, bukankah demokrasi memuliakan perbedaan? Bukankah perbedaan pendapat merupakan takdir demokrasi? Akal sehat? Bagaimana mendefenisikan itu? Itu kehebatan konyol dari demokrasi. Semua bisa direlatifkan. Supaya relatifitas setiap argumentasi memiliki pijakan filosofis, korporat dan demagok, para pengendali demokrasi ini, melalui ilmuan-ilmuannya menciptakan filsafat “etika situasional”. Esensi filsafat ini adalah semua hal bersifat relatif. Tidak ada kebenaran, apalagi kebenaran mutlak. Tidak ada kesalahan, apalagi kesalahan mutlak. Semua bisa benar, dan semua bisa salah. Jadi apa rasio saling menyalahkan? Begitulah cara korporat mempertahankan posisi sentral mereka ditengah demokrasi. Siapapun tahu pemerintah selalu lambat, kaku, dan formalistis. Selalu begitu dalam banyak aspek. Pemerintah selalu tertinggal dalam balapan dibandingkan dengan institusi-instusi, terutama ekonomi. Politisi? Mereka tak bisa diandalkan sebagai penantang tangguh, dan briliyan terhadap korporasi. Korporasi Sembunyikan Jejak Selamanya begitu. Tidak peduli demokrasi atau otoritarian. Sejauh pemimpin tak memiliki pengetahuan hebat, dan keberanian yang berbeda, maka selama itu negara berada dalam genggaman korporasi. Korporasilah , suka atau tidak, senang atau tidak, menjadi entitas daulat rakyat sesungguhnya. Proteksi yang dilembagakan di Perpu Nomor 1 Tahun 2020 misalnya, cukup terang dan jelas. BI dan OJK diberi kewenangan istimewa merespon masalah, yang entah bagaimana level dan skala kerumitannya, terhadap korporasi. Untuk alasan skala, terasa sulit menyamakan levelnya dengan UMKM. Proteksi itu akan segera bekerja, terlepas dari terarah atau tidak. Presiden telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional. PP ini merupakan pelaksanaan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 itu. Tetapi seperti biasanya, dapat dipastikan PP ini mendelegasi serangkaian kewenangan kepada BI dan OJK. Bahkan termasuk Menteri Keuangan dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Memang tak digunakan terminologi “korporasi dan konglomerat” dalam PP ini. Tapi tak usah terkecoh. Sebab dengan atau tanpa menggunakan terminologi itu, tetap saja yang diurus adalah korporasi keuangan. Itu karena sistem hukum Indonesia mengatur bank bisa beroperasi dalam lalulintas ekonomi dan keuangan bila berbadan hukum. Badan hukum bank tidak pernah lain selain Perseroan Terbatas, PT. Ya korporasi. Rasanya skema kerja proteksi berlangsung seperti biasanya. Bantuan likuiditas, baik untuk bank-bank yang bermasalah dengan likuiditasnya atau tidak. Hampir bisa dipastikan uang tidak diletakan di BI. Tentu, sekali lagi, menghindari sindrom BLBI 1998 dulu. OJK, dan KSSK tak mungkin menjadi last resort dalam soal ini. Mereka bukan bank. Uang ditaruh dimana? Pasti di bank. Tapi bank apa? Bank penyanggah. Siapa mereka secara hukum? Itu soalnya. Mengapa? Bank-bank pemerintah yang terhimpun dalam HIMBARA? Apa HIMBARA itu badan hukum? Siapa yang memberi keputusan satu bank diberi batuan likuiditas dan bank lain tidak? Apa kriteria, baik secara hukum maupun secara ekonomi? Siapa yang menyatakan satu bank bermasalah, dan masalahnya sistemik dan tidak sistemik? Apakah OJK saja yang memutus? Bank yang akan diberikan uang tidak ikut memutus? Bila diikutkan, soalnya bagaimana demarkasi tanggung jawab masing-masing institusi ini? Taruh Orang di Pemerintahan Memang susah menghadapi korporasi. Kesulitan ini, dalam sejarahnya pernah dialami oleh pemerintah Amerika Serikat. Theodeore Rosevelt, penantang paling bergairah terhadap korporasi, dalam kenyataannya terhuyung-huyung menghadapi korporasi. Politik “Trust Buster” yang menandai kehebatan pemerintahnya, dalam kenyataanya tidak bergigi. Memang bukan pada masanya The Federal Reserve Act lahir. Betul itu. Tetapi tahukah bahwa pembentukan The Federal Reserve Act itu dilakukan secara merangkak? Dimulai dengan National Currency Commission 1907, diketuai oleh Nelson Alridge, senator Repubik. Dari komisi inilah semua pemikiran untuk The Federal Reserve, yang tidak lain merupakan American Central Bank itu, diawali secara sistimatis. Anda tahu? Bank ini tidak ada ketentuannya dalam UUD Amerika. Theodeore, dikenal sebagai presiden yang mengawali secara sistimatis “kebijakan progresif.” Esensi kebijakan ini adalah pemerintah ikut masuk sejauh mungkin mengurus urusan rakyat. Dalam gelora progresifitasnya dengan kebijakan “Trust Buster” dia didatangi J.P. Morgan. Apa katanya? Kata Paul kepada Theodore, bila ada yang kami lakukan salah, kirimlah orang anda bertemu orang kami. Mereka akan menyelesaikan semuanya. Hebat kan korporasi? Ini demokrasi atau korporatokrasi? Ilmuan boleh bilang ini korporatokrasi. Bukan demokrasi. Tetapi apakah sebutan itu mengubah tampilan negara? Tidak. Sama sekali tidak. Memang Standar Oil, pencetus korporasi berkarakter “trust” memang dibubarkan oleh pemiliknya, David Rockeffeler. Tetapi karena tekanan sistimatis dari pemerintah. Bubarnya Standard Oil karena tekanan konstan dan sistimatis Ida Tarbel, Jurnalis Muckraker top masa itu. Serangan habis-habisan Ida Tarbel itulah yang membuat Rockeffeler terpojok. Dalam kenyataannya Standar Oil telah memiliki saudari-saudarinya. Exxon dan Socal misalnya. Mereka menggurita di seluruh aspek politik. Itu sebabnya Amerika harus bikin lagi Clayton Act 1914, melengkapi Sherman Anti Trus Act 1890. Melalui UU terakhir ini dilembagakan Federal Trade Commission. Tetapi seperti pendahulunya, UU terakhir hanya hebat dalam nama. Lumpuh dalam kenyataannya. Tahun 1949 pemerintahan Amerika dibawah Presiden Truman menggunakan UU Clayton Act 1914 menggempur sejumlah kartel minyak. Hasilnya? Kebijakan pemerintah berubah seiring naiknya Eishenhower. Jaksa Agung, James McGraney, yang menggebu-gebu pada awalnya, tidak berdaya. Korporasi kembali melenggang lagi seperti biasa. Korporasi, jadinya bukan sakadar state. Mereka dalam kenyataannya adalah super state. Mereka, dengan semua sumberdayanya, menempatkan orang-orangnya dalam pemerintahan. Bisakah, dalam kasus kita, dilakukan oleh UMKM? Mustahil, adalah jawaban yang tepat. Menempatkan orang-orangnya dalam pemerintah menjadi taktik canggih mereka. Mereka tak perlu menyuap atau mengeluarkan uang pelicin untuk membeli kebijakan. Arthur Slewyn Miller dalam Vilanova Law Review Volume 12 Nomor 1 tahun 1968, mengawali artikelnya dengan satu kutipan bagus. Miller mengutip pandangan Professor H.L. Nierburg, penulis buku In the Name of Science. Profesor ini menggambarkan, dalam kata-katanya on dust jacket as “chilling account of (the) growth of the scientific-military-industrial complex in America”. Diikuti pernyataan, dalam kata-katanya the statmen appears, “Instead of fighting “creeping socialism”. UMKM Hanya Bisa Meratap Industri swasta Amerika, katanya, dengan skala yang besar memasuki dan menjadi agen utama sistem ekonomi baru. Ketika itu mereka mengubah, merangcang ulang usaha swasta tradisional dan menciptakan korporasi negara yang bersifat fasis. Ini dilukiskan oleh Nieburg sebagai “contract state”. Bisakah Indonesia meminimalkan keganasan ini? Harus diakui, pembentuk UUD 1945, khususnya Bung Hatta mempertimbangkan skenario itu. Dilembagakan pada pasal 33 UUD 1945 tak cukup komprehensif. Pasal ini memang telah diubah.Walau bersifat general, tetapi terdapat sisi hebat di dalamnya. Sayangnya pembentuk UU, DPR dan Presiden, gagal mengerti dan memahami makna esensial pasal gagasan Bung Hatta ini. Kegagalan konstan dan sistimatis inilah, yang akan membawa negara ini memasuki apa yang diistilahkan oleh Arthur Selewyn Miller dengan Techno-corporate State. Negara dipandu oleh ilmu pengetahuan teknis, yang diprakarsai korporasi. Mereka tidak memerintah secara langsung. Tetapi siapapun yang memerintah, selalu diisi orang-orang mereka. Ini akan terus bergerak ke arah positif (aktif mengurus rakyat). Tetapi sifat dan urgensi urusan ini didekasikan untuk kepentingan akumulasi “kapital” mereka. Dapatkah ini dikendalikan? Setidaknya dijinakan? Terlihat tidak bisa. Sekelumit kenyataan yang dikemukakan pada awal artikel ini cukup dijadikan jawabannya. Disepelekannya semua pandangan tentang bahaya RUU Omnibus Cipta Kerja, sejauh ini, juga menandai spektrum itu. Tidak bagus mencurigai memang. Tetapi harus dipetakan kemungkinan cara kerja Wall Street dibalik usaha RUU yang sangat binasa ini. Bagaimana caranya? Menggerakan semua sumberdaya opponent RUU ini. Lalu memompa semua gagasan ke tengah masyarakat bahwa “RUU ini jimat” buat bangsa ini lincah selincah China dalam balapan mengejar keteringgalannya.” Pembaca FNN yang budiman, tahukah anda bahwa ketika pemerintahan China hendak memperbaiki keadaan upah buruhnya? Ditanggapi sinis, bahkan ditantang korporasi? Ben Chu, Jurnalis Harian Independen London memotretnya dengan apik. Pada tahun 2007, tulisnya, ketika pemerintahn China perkenalkan konsultasi mengenai peraturan baru yang mencakup sejumlah inisiatif untuk peningkatan hak-hak pekerja. Apa yang terjadi? Chu menulis selanjutnya, “korporasi keberatan. Keberatan itu disuarakan oleh perusahaan dan investor Barat. Mereka dipimpin oleh Kamar Dagang AS di China. Mereka berpendapat “kami yakin bahwa hal tersebut (peraturan baru) bisa berdampak buruk bagi lingkungan investasi China. Mereka bahkan memperingatkan dalam bentuk ancaman terselubung, bahwa peraturan tersebut bisa “mengurangi kesempatan kerja RRC.” Tidak saja di alam demokrasi, di alam komunis pun mereka sama. Begitulah mereka. Politisi Indoneaia bisa mengendalikan? Sulit, dan mustahil. Mereka terlalu jago dalam lobi. Juga terlalu cerdas merancang isu dan mengendalikan ruang politik. UMKM, jelas bukan tandingan mereka. Dan rakyat hanya bisa meratap nasib hak konstitusinya. Di lintasan inilah Indonesia berlari, kini dan akan datang. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Tana Mama di Tengah Penetrasi Kapital dan Hegemoni Kuasa di NTT
(Sebuah Catatan Perspectif Ekologis, Antitesa Teknologis) Oleh: Natalius Pigai Jakarta, FNN - Kehadiran Perusahaan di NTT telah menimbulkan berbagai soal. Kita juga mendengar riak-riak di rakyat kecil baik di Komodo, Manggarai Barat, Tengah dan Timur. Kehadiran Perusahan Listrik di Daratei di Ngada serta Pulau Timor dan berbagai kegiatan Proyek termasuk pembangunan Bendungan serta Perkebunan, Peternakan. Mendengarnya kisah derita, rintihan perlawanan orang-orang tidak berdaya akibat hadirnya usaha-usaha berskala besar di Nusa Tenggara Timur. Saya menyimak protes warga dengan berbagai reaksi spontanitas telah mencuri perhatian, dan sudah saatnya kita mesti menyelami nurani rakyat kecil. Orang Timur dari jaman negara ini, tidak pernah minta-minta dan tidak pernah mengeluh dengan keadaan yang mereka hadapi walau mereka miskin, makanan susah, kurang sehat, pendidikan rendah, rumah yg tidak layak. Rakyat tidak pernah mengeluh, minta-minta atau mengemis ke negara. Mereka makan ubi, singkong katela tetap saja mereka bahagia. Beda di Jawa kalau tidak ada beras, gula, daging, garam harus diimpor. pemerintah kerja keras memenuhi kebutuhan rakyatnya. Kalau wilayah Timur jalan yang rusak itu biasa, bahkan jalan kaki, naik kuda berkilo-kilo dan bahkan berhari-hari. Rakyat tidak pernah mengeluh dan tetap merasa nyawan dan bahagia. Namun kalau tanah sepetak yang merupakan warisan nenek moyang diambil untuk dibuat tambang atau pariwisata, bisnis hanya untuk memuaskan syahwat para pengusaha dan penguasa jelas rakyat jelata yang sudah miskin papa dan tidak berdaya pun tdk akan terima. mungkin nyawa pun mereka pertaruhkan untuk pertahankan hak tanah tempat kehidupan mereka. Dalam kaitan tersebut di ataskehadiran tambang mangan atau penambangan di NTT harus memperhatikan 9 aspek supaya tidak merugihkan Rakyat: Ijin atau perijinan harus transparan dan partisipasif jika ijin tanpa diketahui warga dan mendapat persetujuan warga pemilik tambang maka tentu harus diprotes.Perijinan jangan lupa melibatkan komunitas sosial atau tatanan adat dalam hal ini gendang one lingko pea. Perlu persatukan Tua Teno. Dalam hal ini harus perhatikan jangan sampai pemerintah membentuk gendang one dan lingko pea atau justru tua teno palsu, seakan akan hanya menjustifikasi persetujuan rakyat. Ini modus yang selalu ada. Dulu di Sirise pernah terjadi, semoga saja hari ini tidak ada manipulasi tatanan adat.Pengembangan pertambangan perlu memperhatikan soal legalitas dan aspek formal. Dalam hal ini menunjukkan lahan tersebut bersih dari perselisihan hak atas tanah, nilai kultur dan budaya (cear and clean).Perlunya keterlibatan warga sebagai bagian dari pemilk, tidak sekedar disebut sebagai warga berdampak tetapi juga sebagai pekerja-pekerja untuk membantun sense of belonging.Kehadiran perusahan perlu memberi nilai lebih dan keuntungan bagi masyarakat lokal pemilik tanah. Ingat mereka adalah pemilik ulayat atas tanah, warisan nenek moyang yang memberi kontribusi berubah tanah dan sumber daya yang terkandung di dalamnya. Dalam konteks ini rakyat mesti disejajarkan dengan pemilik dana dan teknologi berada dihorison yang sama (egual).Pemerintah atau negara harus dapat keuntungan sebagai pemegang atau penguasa atas tanah. Perusahan hadir di suatu wilayah tanpa memberi kontribusi bagi daerah atau nilai kontribusinya tidak sesuai dengan keuntungan atau kerusakan. Kontribusi dari puluhan Perusahan Mangan di Manggarai tahun 2013 hanya 112 juta tumpah. Pembangun sejatinya juga adanya penetrasi kapital dalam hal ini korporasi sebagai mitra pembangunan.Karyawan mesti menjadi mitra yang simbiose in-terdependent, saling menguntungkan dimana pengusaha (owner) sebagai pencipta lapangan kerja (job creator) dan pekerja memberi produktivitas dan melipatgandakan keuntungan bagi pengusaha. Karena itu karyawan mesti sejahtera dan hak-haknya terpenuhi.Pengusaha harus mendapat keuntungan jika tidak dapat untung maka untuk apa perusahan hadir.Kelestarian lingkungan harus dijaga. Lingkungan penting bagi kehidupan makhluk hidup, kehadiran Perusahan tidak boleh merusak lingkungan. Perusahan harus memastikan ekosistem tidak dirusak, biota tetap terjaga. Usaha diatas ekologi yang baik akan bermanfat bagi kelangsungan hidup. Pembangunan usaha tidak berperspektif teknologis tetapi juga ekologis dan antropologis. Kita dapat membayangkan ketika “burung pipit yang kecil di atas pohon, tiba-tiba terjadi kebakaran, burung pipit tersebut terbang jauh mencari tempat yang aman dari kebakaran, namun karena kebakarannya meluas ribuan hektar maka burung pipit yang terbang bermil-mil tersebut juga mati karena tidak ada pohon yang hidup. Demikian cara memandang kehadiran sebuah Perusahan, bagaimana menerapkan nilai-nilai humanitarianisme. Jangan sampai rakyat korban dan miskin secara struktural akibat kelalaian pemerintah dan korban teknologis karena kejahatan usaha (bisnis) *) Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM 2012-2017, Menangani Kasus Kasus Besar di NTT, Perang Tanding di Adonara, 28 Tambang Mangan di Manggarai, Bendungan Kolhua di Kupang).
Sembilan Tokoh Oposisi dan Koalisi Kebangsaan
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (16/05) Prof. Dr. Din Syamsudin, salah satu dari sembilan orang yang didaulat sebagai tokoh oposisi menyerukan untuk dibentuk koalisi. Koalisi ini terdiri dari orang-orang bijak. Tidak sengsarakan rakyat Dua tugas koalisi ini. Pertama, sebagai gerakan moral. Mengingatkan dan melakukan kritik terhadap setiap kebijakan yang merugikan rakyat dan berpotensi menghancurkan masa depan bangsa. Kedua, untuk melakukan tekanan politik kepada tembok kekuasaan. Belum diketahui apa rumusan "tekanan politik" yang dimaksudkan dan dirancang oleh Din Syamsudin ini. Apakah dalam bentuk "social movement" yaitu demonstrasi? Din belum mengungkapkan secara transparan mengenai “tekanan politik itu”. Tokoh oposisi ini mengaku tidak hanya sebatas kata-kata. Tapi berbuat nyata. Mantan ketua MUI ini telah menggalang para tokoh untuk menyatakan keprihatinan atas kasus-kasus Mega Korupsi di yang mewabah di negeri ini. Upaya Din Syamsudin menggalang para tokoh merupakan bentuk nyata dari langkahnya melakukan pressure untuk menjebol tembok kekuasaan. Apakah ini yang disebut dengan koalisi kebangsaan? Berbagai pihak telah mendesak kepada sembilan tokoh oposisi untuk bersatu dan melakukan langkah-langkah yang lebih strategis dan taktis. Jika sembilan tokoh oposisi bersatu dan membuat pernyataan bersama, maka dampak moralnya akan sangat dahsyat. Selain sembilan tokoh oposisi ini, ada banyak tokoh-tokoh kaliber yang juga punya satu keprihatinan yang sama. Mereka juga keras bersuara, dan selama ini konsisten menyuarakan nurani rakyat. Ada Natalius Pigai, tokoh Papua yang tidak pernah berhenti mengkritis dan menyoroti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sering terjadi setahun terakhir ini. Imam Prasojo, sosiolog Universitas Indonesia (UI) yang merasa miris dengan dampak sosial yang diakibatkan oleh pola komunikasi elit dan cara pengelola negara. Gatot Nurmantio, mantan Panglima TNI yang dicopot sebelum masa pensiun. Jenderal bintang empat ini selalu mengingatkan tentang bahaya kebangkitan PKI dan antek-anteknya. Juga tentang penyelundupan ribuan pucuk senjata dari luar negeri. Ada juga Anwar Abbas. Sekjen MUI ini nggak bisa tenang menyaksikan arus TKA China yang terus memasuki Indonesia. Padahal Gubernur, Bupati dan rakyat di Morowali Sulawesi Tengah, Konawe Sulawesi Tenggara dan Halamhera Tengah Maluku Utara menolaknya. Apalagi di saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Gus Aam, cucu K. H. Hasbullah, pendiri NU ini juga aktif menyuarakan hak-hak umat yang selama ini merasa terpasung. Sekitar 100 tokoh Jawa Timur telah membuat petisi berisi tentang keprihatinan banyak kebijakan yang dibuat pemerintah. Mereka adalah para guru besar, akademisi dan aktifis. Para tokoh Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten kapan menyusul? Masih banyak tokoh-tokoh lain yang sementara ini bersuara sendiri-sendiri. Jika mereka bersatu dan menyatakan keprihatinan bersama, maka dampaknya akan jauh lebih efektif. Istana tak hanya mendengar, tapi akan menghitung kekuatan sosial ini. Jelang lebaran, suasana sepertinya sedikit agak menegang. Terutama setelah Perppu Corona diketok jadi undang-undang. Iuran BPJS dinaikkan. Relaksasi PSBB diterapkan, dan diajukannya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang mengabaikan TAP MPRS/25/1966 tentang haramnya PKI di Indonesia. Perlu diketahui, koalisi kebangsaan, jika betul akan dibentuk, mesti dikelola sebagai gerakan moral. Bukan gerakan politik. Mungkinkah akan berubah jadi gerakan politik? Tak ada yang tahu jawabannya. Tapi, hendaknya tidak memberi peluang terhadap penumpang gelap untuk memanfaatkan gerakan moral ini. Awas jangan ada penumpang gelap. Sebab, gerakan ini rentan dimanfaatkan oleh elit politik, atau parpol untuk melakukan manuver-manuver gerakan tanpa bola. Yang boleh jadi akan kontra-produktif dengan gerakan moral itu sendiri. Dai lagi... Dia lagi... Anda tahu, jika empat parpol besar ambil kesempatan dan sedikit bermanuver, maka sejarah bangsa ini bisa berubah. Untuk itu, waspadalah waspadalah waspadalah Empat parpol besar itu adalah... Ah, anda pasti sudah tahulah. Gagasan koalisi kebangsaan itu baik selama dijadikan sebagai gerakan moral. Apalagi jika istana mau menggandeng para tokoh oposisi ini untuk bersinergi dan bersama-bersama mengevaluasi dan mendesign ulang skema masa depan bangsa ini, maka akan jauh lebih bijak dan efektif. Jika tidak? Sejarah memiliki hukumnya sendiri. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
DPR Tak Bisa Diharapkan, Berarti Rakyat Langsung Ambil Alih?
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kecurangan pilpres berjalan sepurna, DPR diam. KPK dimandulkan, DPR malah setuju. Iuran BPJS dinaikkan, DPR diam juga. Malahan MA yang membatalkan. Sekarang dinaikkan lagi melawan pembatalan MA, DPR lagi-lagi tak perduli. Perppu Corona yang membuka peluang korupsi, disahkan oleh DPR. Hanya PKS yang menolak. Kemudian, UU Minerba yang diduga hanya akan menguntungkan para pengusaha tambang besar, disahkan oleh DPR. Tidak lagi istilah isi perut bumi untuk kemakmuran rakyat. Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (OLCLK) yang, menurut para pakar hukum dan pemerhati bisnis, hanya akan menguntungkan para pemodal tampaknya juga akan disetujui oleh DPR. OLCLK ditentang oleh serikat-serikat pekerja. Semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, khususnya bumi NKRI, paham bahwa DPR itu dibentuk dengan tujuan untuk mewakili rakyat dalam mengawasi pemerintahan. DPR seharusnya berfungsi membela kepentingan rakyat. Seharusnya menyuarakan aspirasi rakyat. Namanya pun Dewan Perwakilan Rakyat. Nah, mengapa sekarang DPR malah menjadi stempel penguasa? Mengapa semua yang diinginkan Presiden dan para menterinya langsung diiyakan oleh DPR? Apa gerangan yang membuat para anggota Dewan bisa didikte oleh pemerintah? Banyak sekali pertanyaan yang menunggu. Tetapi, tanpa tulisan ini pun, sebetulnya rakyat sudah hilang kepercayaan terhadap DPR. Bahayanya, kalau kepercayaan sebagai wakil untuk mengawasi jalannya pemerintahan telah sirna, dikhawatirkan rakyat akan mencari cara lain untuk menjalankan fungsi itu. Fungsi pengawasan langsung. Kalau rakyat langsung turun tangan, pasti semua pihak akan repot. Mislanya, di mana mereka akan bersidang? Terpaksa di jalanan, bukan? Karena mereka tak punya gedung. Dan tak cukup juga untuk ditampung di gedung. Maklum, ‘parlemen jalanan’. Para ‘anggota’-nya bisa 10 ribu, 100 ribu, atau bahkan sejuta orang. Kalau mereka bersidang di jalanan, berarti suasananya bisa riuh. Tidak ada pimpinan yang definitf. Tidak ada mikrofon yang tertata rapi. Semua orang bisa melakukan interupsi, dsb. Yang gawatnya, parlemen jalanan itu semuanya ingin cepat-cepat. Cepat diputuskan, cepat dieksekusi. Kalau ada rintangan cepat disingkirkan. Dengan cara jalanan juga. Sebab, mereka mungkin kena terik panas. Tak dapat makan dan minum. Berkeringat-keringat. Jalan kaki ke mana-mana. Dan lain-lain. Jadi, mereka ingin semuanya kontan. Karena itu, DPR sebaiknya tidak ‘mengembalikan’ fungsi pengawasan itu kepada rakyat. Bisa sangat memalukan semua pihak. Terutama Pak Presiden. Kalimat aktifnya: memalukan bagi Pak Presiden. Kalimat pasifnya: Presiden dipermalukan. Aktif atau pasif, sama-sama tak bagus. Pastilah Pak Presiden tidak mau dipermalukan. Iya ‘kan? Tapi, susah juga. DPR sendiri tak serius. Terkesan mempermainkan mandat rakyat. Mungkin mereka lebih nyaman membiarkan para penguasa sekehendak hati. Mungkin saja DPR pun sama seperti kita-kita ini. Tak berdaya mau melawan oligarki. Cuma, bedanya: kita tak berdaya karena memang tak punya otoritas. Sedang DPR tak berdaya karena otoritasnya hilang. Tercecer sewaktu jumpa dengan para oligarki itu.[] 15 Mei 2020(Penulis wartawan senior)
Hancur Indonesia, Bila MK Terima Perpu Corona
By Dr. Margarito Kamis Jangan lupa orang yang berlaku tidak adil, berarti dia tidak takwa. Selalu awaslah terhadap hal-hal yang perlu bagi pengurusan kerajaan. Setiap saat, tetaplah berpikir seperti mukmin yang sejati dalam menyelesaikan masalah-masalah yang anda hadapi, dengan keluhuran yang sempurna, dan sederhana serta perasaan kasih sayang dan keadilan. (Imam Al-Ghazali). Jakarta FNN – Rabu (14/03). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020. Judul Perpu ini begitu panjang. Susah untuk mengingat dan menuliskannya, sehingga saya hanya menyebutnya “Perpu Corona”. PKS hanya sendirian yang tidak setuju Perppu Corona menjadi undang-undang. Selebihnya itu setuju. Menyebut mereka yang menyetujui Perpu ini, tak mempertimbangkan bahaya besar yang dibawa oleh Perppu Corona. Boleh jadi akan diolok-olok. Menyebut persetujuan mereka sebagai kesediaan termurah mengebiri kewenangan mereka sendiri. Sekaligus memanipulasi kedaulatan rakyat. Boleh jadi akan ditandai sebagai orang-orang berakal pendek. Toh pengadilan, khususnya Mahkhmah Konstitusi (MK) masih ada. Pengadilan dapat mengesampingkan sebagian, bahkan seluruh pekerjaan bersama DPR dan Presiden. Bila anda tidak puas, gunakan hak konstitusi anda. Pergilah ke Mahkamah Konstitusi. Silahkan bertarunglah di MK sana. Sampai di sini terlihat sangat sederhana, dan sepintas selalu masuk akal. Terlalu banyak yang terkecoh dengan hukum. Akibatnya, hukum diterima begitu saja sebagai hal hebat dalam berbangsa dan bernegara. Hukum mewakili satu peradaban lain, yang berbeda dengan peradaban bar-barian. Gambaran ini jelas bersifat reduksionis. Masyarakat bar-barian sekalipun, juga hidup dan diatur dengan hukum. Hukum, memang tak selalu menipu layaknya demokrasi. Sekali lagi, tidak. Hukum justru menjadi permainan demokrasi paling canggih. Demokrasilah, yang menjadi induk kredo hukum harus diagungkan. Hukum supreme atau supremacy of law atau constitution as a law of the land. Hebatkah itu? Ya hebat. Karena kehebatannya itu, maka mafia kecil-kecilan, kartelis berskala korporasi, dengan otokrat pemula yang bodoh serta demagok tersamar, juga menyukainya. Itu soalnya. Dan ini yang soal besar. Bukankah hukum-hukum itu dibentuk oleh politisi? Hukum tidak pernah lebih dari endapan-endapan kepentingan yang saling menyanggah. Huruf-huruf hukum, anda tahu, tidak pernah lain selain kepentingan yang dikompromikan, diintegrasikan dan diadaptasikan. State of nature dari hukum negara dimanapun itu, tidak pernah lain selain kepentingan. Agenda Korporasi Busuk Merampok Jelas pada semua spektrumnya, hukum selalu mudah dimanipulasi. Dibelokan kearah apapun, sejauh kepentingan terkuat menjadi penyangganya. Itu sebabnya membicarakan hukum, sepenting apapun itu, tak pernah menjadi lebih penting dari bicara bagaimana hukum itu dirancang dan dibicarakan di ruang tersembunyi. Demokrasi selalu muncul sebagai sarana legitimasi paling tangguh, dan tergantikan. Demokrasi memoles semua mimpi otokrat, demagok, korporat oligarkis dengan polesan khasnya. Polesan itu adalah hukum merupakan endapan, cerminan dan pantulan kehendak rakyat. Begitulah kehebatan tipuan dari demokrasi. Meloloskan Perppu Corona, sejauh ini ditunjuk sebagai cara paling jitu bangsa ini mendemonstrasikan semangat kekelurgaan dan gotong-royong untuk menyerang seluruh akibat buruk Corona. Argumen sederhana khas politisi pemula itu, melambung tinggi di jagat politik mutakhir. Hanya itu saja. Tak lebih. Heroik dan patriotik kedengarannya. Heroisme dan patriotism itu mengunci semua hasrat, andai ada, dan kebutuhan mengenal bahaya Perppu Corona ini. Heroisme buta itu menutup pencarian sistimatik terhadap, misalnya cukupkah keadaan sekarang menjadi fundasi perluasan kewenangan presiden? Beralasankah keadaan sekarang, untuk kesekian kalinya saya ungkapkan, perluasan kewenangan BI, dan OJK? Beralasankah untuk terus-terus menjadikan krisis keuangan sebagai monster? Padahal krisis terlihat memiliki hukum khasnya. Datang dalam siklus yang acap dapat dikalkulasi sebelumnya. Dua kali krisis keuangan, dua kali pula bangsa ini berurusan dengan hukum. Bukan dalam arti membuat hukum. Tetapi setelah membuat hukum, penanganan terhadap krisis menghasilkan masalah hukum. Politisi memang sulit diminta belajar. Mengambil pelajaran dari sejarah krisis yang sebelumya. Sayang, politisi sedang tak tergoda dengannya. Pengalaman itu masih dianggap tak berguna oleh Senayan untuk diletakan di atas meja kalkulasi mereka. Tragis memang. Kenyataan yang begitu telanjang, tak mampu menggoda mereka menjadikannya guru yang mencerahkan. Pahit, politisi belum mau menjadikan diri menjadi yang mencerahkan. Mengenal masa lalu bangsa yang hitam. Yang pernah melilit bangsa yang besar ini. Masih begitu gampang untuk disepelekan oleh politisi. Padahal China yang hari-hari ini begitu menakutkan bagi Amerika, mencapai level itu, karena para politisinya mengenal masa lalu. Mereka punya yang hasrat besar mengubah dan menjadikan China yang menakutkan, bahkan kelak memimpin dunia. Pembaca FNN yang budiman, omong-kosong paling canggih saa ini adalah menyatakan korporasi-korporasi Indonesia babak belur. Bahkan akan gulung tikar sekarang dan setelah corona pergi. Entah kapan? Dan pembelaan terhadap korporasi yang paling membodohi rakyat adalah memberi kewenangan BI dan OJK untuk “mengistimewakan” korporasi, dan menyepelekan UMKM. Ini pembodohan sangat murah, menjijikan dan tidak bermutu. Mahkamah Konstitusi (MK), mungkin tak punya pengetahuan dan alat untuk memetakan dimensi kartel, oligarkis dan otokrat, dibalik Perpu Corona itu, bila kelak mereka ditantang melalui Judicial Review (JR). Mungkin. Tetapi andai MK tertatih-tatih pada wilayah ini, mungkinkah MK tak tertatih-tatih juga pada isu, sebut saja, “beginikah cara mengidentifikasi keadaan genting dan memaksa” itu? Andai, entah bagaimana formulanya, MK menghindar dari semua soal politik di atas. Mungkinkah MK menempuh jalan berputar pada secuil rumus dalam mengidentifikasi legalitas kemunculan keadaan kegentingan yang memaksa? Mungkin saja. Dan itulah jalan yang paling aman. Akankah MK di jalan itu mengambil dari gudang khasanahnya; (1) ketiadaan hukum, dan (2) hukum yang tersedia tidak memadai, serta (3) ada kebutuhan yang terasa mendesak untuk menangani keadaan, sebagai dasar legitimasi konstitusi adanya kegentingan yang memaksa? Itu pekerjaan kecil yang standar. MK tidak boleh terlalu naif dengan tak melampaui demarkasi kecil itu. MK harus memasuki wilayah yang lebih riskan. MK harus punya tesis, setidaknya mencurigai berdasarkan tuntunan sejarah, bahwa “krisis adalah cara kerja dari korporasi dan para oligarskis tamak dan busuk, yang secara samar-samar berusaha memanipulasi keadaan untuk memperbesar kekuasaan Presiden yang melebihi konstitusi. MK Yang Dibanggakan Sejarah Asyari Usman, jurnalis senior FNN, telah dengan sangat tepat mengidentifikasi “merusak negara” bisa dilakukan dengan menggunakan konstitusi. Asyari memang bukan jurnalis hukum dan politik. Tetapi tetap saja seorang jurnalis, yang sangat kredibel. Asyari mantan jurnalis BBC London, media massa nomor satu di Inggris. Pikirannya benar, sekalipun ditantang dengan argumen demokrasi. Pikiran Asyari Usman itu, hemat saya memaksa MK, tentu agar bisa terlihat sebagai orang-orang yang gagah, dan berwibawa. MK harus berani untuk tak hanya berputar-putar pada konsep tradisional semata. Konsep-konsep itu, misalnya “presidential discretion” atau “presidential power” atau “implied power” atau “emergency power” atau “executive privilege”. MK, mau tak mau harus menenggelamkan kepalanya ke dalam musabab konsep itu. Sebab di dalam musabab itulah dimensi busuknya dapat dikuak. MK dalam konteks impian itu, harus menyusuri dengan cermat, dimensi manipulatif khas politisi utilitarian, dan demagog terselubung. Kerena merekalah juga yang menggelindingkan konsep “presidential prerogative, dan “executive prerogative” mutakhir. Masalahnya, ini pekerjaan tidak mudah, kerna kelewat berat. Seberat itu sekalipun, MK patut menghindar sejauh mungkin dari hanya mengemukakan konsep-konsep di atas sebisa dan seadanya. Sebisa mungkin, MK tidak mengetengahkan konsep-konsep di atas sekadar karena konsep itu telah begitu mewarnai khasanah pikiran tata negara Indonesia. Mari mendambakannya. Percayakan sepenuhnya kepada Yang Mulia Hakim MK. Dengan perspektif itu, mereka pasti memiliki hasrat untuk dibanggakan oleh sejarah bangsa ini. Dibanggakan oleh anak-cucunya kelak. Mereka pasti ingin dikenang sebagaimana, mungkin diantara mereka, mengenang John Marshal, hakim pertama dalam sejarah Amerika yang menemukan Judicial Review. Memikirkan semuanya, dalam keyakinan saya, tidak serumit para kimiawan memikirkan formulasi kimia untuk obat penyembuh penyakit corona, apalagi penyakit berat. Tidak. Menemukan pikiran baru, yang berbeda dengan pikiran tiga abad lalu jelas tak serumit ahli pesawat merancang sayap pesawat. Perppu Yang Cocok di Abad 17 Tak taklid buta pada konsep constitutional dictathorship-nya Clinton Rositer, ilmuan politik ini, harus dipertimbangkan. Tak terjebak pada tesis ini, akan terlihat dalam sekejap sebagai sikap yang oke. Tetapi menjadikan pikiranh itu sebagai sampah. Bukan pilihan masuk akal. Soalnya, dimana MK harus mengambil posisi? Takutlah dan kenallah MK. Perpu Corona ini cukup terang menunjukan bahwa, hanya dengan satu pukulan, kekuasaan budgenting DPR yang disediakan oleh para pendiri bangsa rontok seketika. Sialnya, DPR menerima dengan lapang dada. Entah karena terhipnotis dengan semangat royong-royong salah kaprah, atau hal lain? Entah apa itu. Kecerdasan teruntun ketakutan akan diadili di hari penghitungan akhir yang pasti. Kecerdasan itui jelas harus dipunyai hakim-hakim MK. Itu dirindukan, karena tindakan pemerintahan berdasarkan Perpu Corona ini tak bisa dicek dan dikoreksi di pengadilan. Juga tidak bisa diawasi di DPR. MK, harus bilang bahwa gagasan Perpu Corona ini hanya cocok digunakan pada pertengahan abad ke-17 dulu. Membebek tidak bakal dikenal dalam semua tradisi besar sebagai sikap baik. Itu sebabnya MK tak usah membebek pada Sir Edward Coke. Tetapi harus diakui Coke adalah pemikir tata negara paling gemilang di Inggris pertengahan abad ke-17. Dialah penantang paling gigih terhadap klaim raja absolut, Charles I pada 1648 tentang “royal prerogative”. MK tak usah menelan mentah-mentah konsep “implied power”. Ini konsep Amerika, yang hanya untuk presiden mereka. Kewenangan dalam konsep ini tidak diatur dalam konstitusi. Ini konsep hasil penalaran Alexander Hamilton, Menteri Keuangan Pertama dalam Kabinet Presidensial George Washington. Konsep “implied power” ini disodorkan dalam rangka menyingkirkan pikiran oposisi Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton. Sebab keduanya menolak gagasan pembentukan First American Bank, yang akan didahului dengan pembentukan UU-nya. Begitu asal sebab lahirnya konsep itu. Konsep itu akhirnya memang lolos. Lolos bukan karena rasionalitasnya. Tetapi lebih karena Hamilton punya kedekatan spesial dengan George Washington. Kedekatan ini yang tidak dimiliki Thomas Jefferson dan Madison. MK Bukan Kaki Tangan Presiden Hukum tata negara, suka atau tidak, berasal dari pikiran liar politisi. Konsep “executive privilege” misalnya, muncul dalam kasus Watergate. “Executive privilege” ini adalah pikiran liar kelompok Richard Nixon, yang terus tersudut oleh skandal Watergate. Amerika diuntungkan oleh pengadilan Washington DC, yang memerintahkan Gedung Putih segera menyerahkan rekaman asli ke parlemen. Bila pengadilan Washington DC membebek, dan menjadi kaki tangan Gedung Putih, maka konsep liar “executive privilege” diformalkan sebagai hukum tata negara. Executive privilege, executive prerogative, executive discretion, semuanya merupakan pikiran liar. Semua punya sifat dictatorial. Pikiran itu menyembur diluar huruf-huruf UUD. Tak lebih. Pikiran itu memiliki bobot hukum, karena disahkan oleh pengadilan, dan politisi. Itu saja. Musabab dibalik semua konsep-konsep di atas, andai dapat dieksplor oleh MK, dan menjadikannya senjata baru dalam khasanah pikiran tata Negara Indonesia, maka MK menemukan jalan manis. MK bukan hanya as a guard of the constitution, tetapi guard of the people sovereignty. MK juga akan dikenang dalam sekeping sejarah tata negara sebagai bukan special board of Indonesian presidential. Buatlah pikiran baru, dengan argumen baru, khas Indonesia. Berilah warna Pancasila dalam semua dimensinya. Terangilah bangsa ini, dengan menemukan cara kerja demokrasi liberal UU ini. Pastikan liberalisme punya kaki tangan canggih memanipulasi hukum. Liberalisme selalu menadi induk korporasi, oligarks, otokrat, dan demagok memimpin menipu rakyat dan merampok uang negara. Hakim-hakim MK, semoga tak membebek. Tidak juga merendahkan diri dan martabat kepada presiden dan DPR. Tetapi bila pasal 27 dan 28 Perpu yang sudah disetujui DPR itu, juga diterima oleh MK, maka kepingan sejarah Indonesia punya cerita lain. Pasal 27 dan 28 Perpu Corona itu adalah cermin “otokrat, korporat oligarkis, demagok, dan democrat utilitarian”, suka atau tidak. Menyetujuinya sama dengan menulis sekeping sejarah negara Indonesia bahwa MK bisa menjadi kaki tangan Presiden dan DPR. Semoga tak secuilpun dalam kepingan sejarah republik ini, mencatat MK bisa berhianat pada bangsa dan negara dengan cara yang canggih. Semoga. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Tidak Sah Pengesahan Perppu No. 1/2020 Menjadi Undang-Undang
By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - DPR RI pada tanggal 12 Mei 2020, bertempat di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara DPR RI telah mengesahkan Perppu No 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang. Rapat dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, dan didampingi Wakil Ketua Azis Syamsuddin, Rahmat Gobel, dan Sufmi Dasco Ahmad. Rapat dihadiri secara fisik dalam ruangan oleh 41 anggota DPR. Sedangkan 255 anggota lagi "hadir" secara virtual. Artinya, dari jumlah anggota DPR 575, yang hadir 296 orang, dan sisanya 279 orang lagi tidak hadir. Memprihatinkan sebenarnya. "Dengan demikian kuorum telah tercapai", kata Puan. Sesuai dengan berita media, bahwa awalnya Ketua Banggar DPR Said Abdullah memaparkan pandangan masing masing Fraksi. Hanya Fraksi PKS yang menyatakan tidak setuju Perppu Corona disahkan menjadi Undang Undang. Lalu Puan menanyakan , apakah RUU tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease atau Covid 19 dan atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan, dapat disetujui menjadi Undang Undang ? Tanya Puan. "Tadi sudah disampaikan dalam pandangan mini fraksi, bahwa ada delapan fraksi telah menyetujui, dan satu fraksi menolak. Apakah perlu saya ulangi pandangan mini fraksi menjadi suatu keputusan? Semua fraksi setuju, ya ? imbuhnya yang kemudian dijawab "setuju" oleh anggota DPR yang hadir. Bila memang kenyataannya seperti yang terberitakan di atas, maka sangat nyata-nyata Keputusan Pengesahan Perppu No 1 Tahun 2020 adalah “tidak sah” secara hukum. Ada tiga hal yang mendasari, keputusan yang dibuat oleh Puan tersebut menjadi “tidak sah” Pertama, bagaimana mungkin , ada fraksi yang menolak bisa dinyatakan oleh Puan menjadi “semua fraksi setuju"? Sementara kata “setuju” tersebut hanya dinyatakan dan diungkapkan oleh 41 anggota DPR yang hadir di ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara? Kedua, dengan adanya satu fraksi yang menolak, fraksi PKS, maka putusan tidak boleh bersifat aklamasi, dengan mendengar suara "setuju" saja. Tetapi harus dilakukan dengan penghitungan suara (voting). Apapun hasil yang didapat dari voting nanti. Ketiga, persetujuan pengesahan Perppu tersebut hanya disetujui oleh 41 anggota DPR yang hadir di ruangan rapat pula. Sedangkan 255 anggota yang "hadir" secara virtual, tidak memberikan kalimat persetujuan. Mereka tidak bisa berpendapat. Peluang Pejabat Masuk Perjara Adakah posisinya "diunmute" oleh host ? Sebab mereka itu "hadir". Semestinya mereka itu ikut berpendapat dan bersuara. Jika benar "diunmute", maka ini memperkuat bobot atas ketidakabsahan keputusan yang dibuat oleh Puan sebagai pimpinan Rapat Paripurna. Ada dua sebab yang mendasari. Pertama, meskipun fraksi setuju, tetapi dalam kapasitas sebagai anggota dewan di ruang Paripurna, bisa saja tidak setuju. Sidang Paripurna itu tidak bisa bersifat fraksional yang mereduksi hak anggota dewan. Persetujuan adalah hak anggota dewan secara perorangan. Kedua, meskipun seseorang itu menyatakan setuju, bukan berarti anggota dewan itu telah terhalang haknya untuk bisa membuat catatan "minderheidsnota" yang berguna baginya sebagai bentuk pertanggungjawaban dari sikap yang diambilnya. Contoh “minderheidsnota” ini telah dilakukan Pak Kwik Kian Gie ketika menjabat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas di eranya Presiden Megawati Soekarnoputri. Saat rapat kabinet bidang ekonomi yang dipimpin Megawati menyertujui pemberian pengampuan kepada para obligor BLBI dalam bentuk Release and Discharge (R and D), Kwik Kian Gie menolaknya. Ketika itu Kwik Kian Gie lalu memberikan "minderheidsnota". Dengan demikian, maka Keputusan yang dibuat Puan sebagai pimpinan Rapat Paripurna menjadi "tidak sah". Tidak dapat dijadikan dasar hukum atas kebijakan yang diambil pemerintah. Semua produk hukum ikutan di bawahnya akan turut menjadi cacat hukum. Batal dengan sendirinya. Bila terjadi pergantian kekuasaan kelak, maka berpotensi menjadi masalah nantinya. Terbuka celah pelanggaran hukum yang lebar. Parapejabat Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Bank Komersial yang hari ini membuat kebijakan dengan sandaran hukum pada Perppu No. 1/2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang, hari tunaya bisa berakhir di penjara. Bahkan bisa saja meninggal dunia masih di dalam penjara. Itu tragis jadinya. Model kehadiran virtual yang dipakai DPR, meski menjadi hal biasa dalam persidangan, akan tetapi untuk keputusan penting seperti pengesahan Perppu menjadi undang-undang seperti ini ,semestinya dilaksanakan dengan secermat. Sehingga tidak ada hak-hak anggota dewan yang terhalangi. Selian itu, kehadiran model virtual belom memiliki dasar hukum dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Apalagi untuk sidang atau rapat yang sangat luar biasa pentingnya, seperti Rapat Paripurna yang agendanya pengesahan Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang. Mengesahkan mulai berlakunya produk hukum positif negara. Pada Rapat Peripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani 12 Mei lalu, ada empat keputusan penting terkait produk hukum positif yang dibuat dengan waktu yang sangat “mepet”. Terkesan DPR seperti "kejar tayang". Semestinya ada prioritas dalam pengambilan keputusan atau pengesahan. DPR dinilai tidak menghargai aspirasi rakyat tentang begitu pedulinya rakyat terhadap Perppu yang "sarat kepentingan" Pemerintah ini. Betapa "enteng"nya Dewan mengetuk palu atas suatu undang-undang, yang akibat ikutannya sangat menentukan nasib rakyat banyak. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bunuh Diri Massal Anggota DPR RI
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - DPR RI baru saja mengesahkan Perppu No 1 Tahun 2020. Di media sosial (Medsos) bergema tagar #dprbunuhdiri, #dprkartumati, #dprbudakistana. Seruan netizen itu tidak salah. Dengan mengesahkan Perppu Covid —begitu media menyebutnya— DPR mengamputasi dirinya sendiri secara sukarela. Tiga fungsi utama DPR sebagai lembaga negara dibabat habis. Fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan. Secara formal DPR tetap ada. Tapi tanpa tiga fungsi tersebut, secara kelembagaan DPR sesungguhnya antara ada dan tiada. Sepertinya hidup, tapi sesungguhnya sudah mati. Mereka melakukan harakiri. Bunuh diri dengan sukarela dan gembira ria. Langkah distruktif DPR tidak hanya sampai disitu. Mereka juga mengesahkan dan memberi legitimasi langkah pemerintah menabrak berbagai peraturan, terutama yang sangat fundamental, melanggar konstitusi negara. Fungsi berbagai lembaga negara lainnya ikut diamputasi. Fungsi pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), fungsi lembaga penegak hukum, dan kekuasaan kehakiman yang dimiliki Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) juga ikut dipangkas. Melalui pengesahan Perppu Covid, bencana kesehatan Corona diubah menjadi berkah bagi pemerintahan Jokowi. Para pejabat negara, bebas menentukan anggaran dan menggunakannya sesuka hati, tanpa persetujuan dan pengawasan. Mereka juga tidak perlu khawatir terhadap konskuensi hukum secara pidana, perdata, maupun tata negara. Semua bebas merdeka! Tidak berlebihan bila ada penilaian, pengesahan itu juga menunjukkan fungsi DPR sebagai budak kekuasaan. #budakistana. Sebuah stigma yang jauh lebih keras ketimbang anggapan yang selama ini berkembang, DPR tak lebih hanya stempel penguasa. Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli sampai kehabisan kata. “Mohon maaf teman-teman DPR, Anda memalukan!” ujarnya menahan geram. Langkah DPR ini sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan. Sudah bisa diduga. Konstelasi politik pasca pemilu dan pilpres membuat pemerintahan Jokowi sangat perkasa. Tanpa kontrol. Baik partai pendukung, maupun lawan politik dalam pilpres berbondong-bondong masuk dalam kubu pemerintah. Tidak perlu kaget bila kemudian dari 9 fraksi DPR, hanya PKS yang konsisten menolak Perppu. Fraksi Demokrat yang tidak ikut kebagian kursi di pemerintahan, secara mengherankan juga ikut-ikutan mendukung. Tampaknya mereka tersandera masa lalu, ketika masih menjadi penguasa. Melampaui UUD 45 Ada beberapa UU yang ditabrak oleh Perppu yang sudah disahkan tersebut. Dalam pasal 23 UUD ayat 1, 2 dan 3 dinyatakan APBN dibahas setiap tahun dan harus mendapat persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Apabila tidak disetujui maka Presiden menggunakan anggaran tahun sebelumnya. Dengan UU Covid (Pasal 12 ayat 2) APBN cukup diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres). Pemerintah juga sudah langsung menyusunnya selama 3 tahun ke depan. Hal itu juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 dan 3 UU No 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara. Selain mereduksi kewenangan DPR, UU Covid berpotensi melanggar konstitusi terkait pengawasan dan imunitas pengambil kebijakan. Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) seperti kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Dengan pasal tersebut fungsi dan peran BPK sebagai badan pengawas keuangan negara ditiadakan. Pada Pasal 27 ayat 2, mengatur anggota KSSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 27 ayat 3 juga menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Pasal ini bertentangan dengan prinsip supremasi hukum dan prinsip negara hukum. UUD 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum. Pasal 1 ayat 3 UUD dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D. Bisa dibayangkan betapa luar biasanya kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah dengan pengesahan UU Covid. Mereka bebas mengatur keuangan negara tanpa kontrol lembaga lain seperti DPR dan BPK. Mereka juga tidak akan terjamah oleh hukum, karena diberi kewenangan UU mengesampingkan peran lembaga kekuasaan lembaga penegak hukum dan kekuasaan kehakiman. Bila UU Covid diundangkan dan dibiarkan tanpa perlawanan publik, yang terjadi bukan hanya anggota DPR bunuh diri massal. Eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi juga terancam mati. End Penulis Wartawan Senior
Rakyat Menaruh Harapan ke Sembilan Tokoh Oposisi
By Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (14/04). DPR sepakat terima Perppu Corona. Kompak dan Gotong-Royong. Seluruh fraksi menerima, kecuali PKS. PKS nampaknya masih konsisten menolak Perppu. Meski banyak pihak terus melakukan kritik dan penolakan terhadap Perppu corona yang dianggap sangat berbahaya ini, DPR nggak peduli. Fakta gugatan sejumlah tokoh terhadap Perppu corona ke Mahkamah Konstitusi, sama sekali tak menjadi pertimbangan DPR. Tetap mengambil keputusan "menerima" sepenuhnya. Tok. Sikap DPR ini seperti anti klimaks. Nggak mau dengar dan nggak peduli pada suara rakyat. Tidak hanya kali ini saja. Soal Jiwasraya, Asabri, Carut marut BUMN lain, Omnibus law, ibu kota baru, kereta cepat, dan terbaru soal BPJS, DPR dianggap nggak ada greget. Seperti beda kepentingan dengan rakyat. Wajar jika kemudian muncul banyak pertanyaan. DPR ini mewakili suara siapa ya? Jika begitu, lalu apa yang bisa diharapkan dari DPR sebagai lembaga kontrol terhadap pemerintah? Keadaan ini membuat rakyat semakin "marah" dan "frustrasi" . Sebenarnya, jangan juga salahkan DPR. Suara rakyat kan sudah "dibeli putus" saat pemilu lalu. Untuk di daerah pesisir dan pegunungan satu suara Rp. 50 ribu. Sementara di perkotaan, harganya Rp. 100 Ribu. Kenapa masih nuntut? Kan sudah jual putus? Yang boleh nuntut itu investor. Mereka investasi dana di bursa pemilu. Cukup besar angkanya. Selesai pemilu, tinggal panen. Sementara rakyat sudah terima pembayaran di awal. Kenapa menuntut lagi? Pemilu tak ubahnya seperti bursa saham. Berlaku hukum investasi. Rakyat curiga, banyak oknum di senayan yang telah bekerja untuk kepentingan para investor semata. Kalau begitu, apa bedanya dengan direksi perusahaan? Satu harapan yang tersisa dari rakyat yaitu peran civil society. Masyarakat mesti hadir dan melakukan kontrol sendiri terhadap pemerintah. Dalam konteks ini, rakyat harus berperan sebagai oposisi. Ingat. Oposisi dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Agar pemerintah nggak semakin jauh tersesat. Ini bukan makar. Ketika lembaga yang punya otoritas dan diberi wewenang untuk melakukan peran kontrol ini tidak sepenuhnya berfungsi, maka rakyatlah yang turun tangan. Peran rakyat ini diperlukan agar kekuasaan tidak melampaui batas undang-undang dan sewenang-wenang. Memang, ada semacam "lingkaran setan" di dalam pengambilan keputusan di DPR. Pemerintah kasih jatah kabinet ke sejumlah partai. Partai-partai itu tunjuk orang-orang kepercayaannya di fraksi. Fraksi itu dikendalikan oleh ketum partai. Logikanya, mana mungkin fraksi melawan pemerintah yang kasih jatah kabinet untuk partainya? Ini PR buat bangsa ini. Dalam situasi seperti ini, munculnya para tokoh oposisi bukan saja kebutuhan, tapi keniscayaan politik. Rakyat butuh saluran kritik ketika Bapak-Ibu Yang Terhormat di parlemen dianggap tak lagi bisa mendengarkan hati dan harapan mereka. Memalukan, kata Rizal Ramli. Perppu, terutama terkait hak budget, kekebalan hukum dan cetak uang, kok bisa diterima oleh DPR. Padahal Gubernur BI dan Menteri Keuangan menolak. Gelo, kata Rizal Ramli dalam sebuah video yang viral di medsos. Tak bisa berharap ke DPR. Rakyat menyerahkan harapannya kepada sembilan tokoh oposisi yang dianggap selama ini mewakili suara rakyat. Mereka adalah Abdullah Hehamahua, Emha Ainun Najib, Habib Rizieq, Din Syamsudin, Rizal Ramli, Refly Harun, K.H Najih Maemoen, Rocky Gerung dan Muhammad Said Didu. Sembilan tokoh ini dianggap konsisten menyambung lidah rakyat. Menyuarakan hati dan harapan rakyat yang seringkali gagal dipahami oleh wakil mereka di gedung parlemen sono. Sembilan tokoh ini konsisten. Mereka nggak pernah kendor, tegas suaranya, dan punya kapasitas, baik intelektual maupun moral. Kritiknya terukur dan tidak ngawur. Yang pasti, mereka bukan tokoh partisan dan suaranya bukan hasil pesanan. Sangat layak jadi sparing partner ide, gagasan dan lawan argumentasi bagi kekuasaan. Kepada sembilan tokoh ini, rakyat masih punya harapan di tengah hilangnya kepercayaan terhadap para elit politik yang "ngakunya" mewakili mereka. Di luar para tokoh itu, banyak tokoh lain, ormas dan LSM yang juga tak kalah kritis dan nyaringnya dalam menyuarakan nurani rakyat. Satu dengan yang lain saling melengkapi dan menguatkan. Kehadiran para tokoh oposisi ini setidaknya dapat menjaga harapan rakyat agar masih ada rasa optimis untuk masa depan bangsa ini. Selama masih ada orang-orang yang berani menyuarakan nurani dan kepentingan rakyat, berarti Indonesia masih ada. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Jenderal Djoko Santoso Tentang “Trisula TNI AD” Dulu dan Sekarang
By Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Pada era milenium ketiga, perang memang bertujuan untuk menghancurkan bangsa dan negara. Namun dengan menggunakan kekuatan senjata sebagai mesin perangnya, bukan lagi satu-satunya pilihan. Penghancuran moral dan budaya bangsa, sangat menarik dan menguntungkan bagi mereka yang menggunakan. Melumpuhkan moral dan budaya bangsa sebagai pilihan yang cerdas”. Jakarta FNN – Rabu (131/05). Wafatnya Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso, 10/5/2020, membuat penulis merasakan kehilangan. Tidak saja sebagai sahabat seangkatan, lulusan Akabri Darat tahun 1975. Tetapi juga sebagai atasan, komandan dan guru. Ketika penulis menjadi Kepala Staf Pribadi (Kaspri) Pangdam Jaya, almarhum menjabat Assospol Kodam Jaya. Ketika beliau menjabat Waas Sospol di Mabes ABRI, penulis adalah Koordinator Staf Pribadi Menhankam /Panglima ABRI. Tampak almarhum memiliki karakter dan kapasistas sebagai prajurot yang unggul. Pangkat Kolonelnya di pundaknya, mendahului temen-teman seangkatannya. Pernah menjadi anggota anggota DPR RI, sebelum menjadi Assospol Kodam Jaya. Sosok Prajurit Yang Konsisten Keterdekatan penulis dengan almarhum tidak saja dalam dua jabatan di atas. Tetapi ketika almarhum sebagai Pangdam Jaya dan Kepala Staf TNI AD, penulis sebagai Kepala Staf Garnisun I Jakarta, Kasdam Jaya, dan Aster Kasad. Bahkan, ketika penulis Aster Kasad, perintah sebagai Cawagub mendampingi Cagub Dr. Ing. Fauzi Bowo dalam Pilkada DKI 2007, juga atas perintah almarhum selaku Kasad. Cerita jabatan di atas, bertujuan untuk menguatkan, jika penulis memberikan kesan terhadap almarhum, karena cukup lama bersama-sama. Almarhum sosok prajurit yang konsisten terhadap apa yang pernah disampaikan. Baik itu sewaktu dinas aktif maupun setelah pensiun. Ini terbukti ketika penulis bicara per telepon pada 1 Mei 2020, pukul 11.03 WIB. Satu hari sebelum almarhum sakit mendadak pada 2 Mei 2020, saat berbuka puasa dan berkelanjutan.Waktu penulis menelepon, almarhum sedang ditemani Ajudan dan Sekretaris Pribadi di kediaman Bambu Apus. Bicara dan ketawanya lewat telepon sangat jelas, tidak ada tanda-tanda sakit. Ada tiga hal yang disampaikan oleh almarhum. Pertama, almarhum bercerita memiliki data tentang wabah Covid 19, baik di Indonesia maupun Luar Negeri. Kedua, bercerita tentang perkembangan penanganan Covid 19 di Indonesia. Baik yang menyangkut kebijakan, keuangan, ketersediaan pangan dan kondisi rakyat. Ketiga, berpesan agar Sekretariat Bersama Alpajuli (Alumni Perwira Akabri Tujuh Lima) Angkatan Darat, sifatnya kekeluargaan dan koordinatif. Sehingga Sekber Alpajuli Darat yang di daerah, dapat dengan bebas menyelenggarakan kegiatan secara independen dan mandiri. Apa yang disampaikan di atas, menguatkan kesan penulis terhadap almarhum sebagai sosok prajurit yang konsisten terhadap apa yang disampaikan. Bahwasanya, di berbagai acara (walau sudah pensiun) beliau sering mengulang-ulang pesannya. Pesan alharhum adalah “bahwa pengabdian seorang prajurit itu, walau sudah pensiun, harus sampai akhir hayatnya”. Sikap militansi, rela berkorban, tidak kenal menyerah dan berpikir untuk rakyat, harus selalu melekat pada setiap prajurit. Terbukti, almarhum selalu konsisten dengan pesan-pesannya. Sehari sebelum jatuh sakit yang berkelanjutan, beliau masih berpikir dan bicara untuk bangsa dan negaranya secara jelas. Juga masih berpikir untuk organisasi temen-temen seangkatannya. Trisula AD Kekuatan Bermata Tiga Pernyataan di awal artikel ini, bahwa penghancuran moral dan budaya bangsa sebagai satu pilihan yang cerdas dan menguntungkan, penulis kutip dari beliau sewaktu almarhum menjabat KASAD tahun 2007. Karena itu, beliau menekankan, untuk menghadapi ancaman tersebut, TNI AD harus memiliki “kekuatan bermata tiga, yaitu TNI AD sebagai Kekuatan Moral, Kekuatan Kultural dan Kekuatan Pertahanan”. Ketiga kekuatan ini dinamakan almarhum sebagai “Trisula TNI AD”. TNI AD sebagai Kekuatan Moral. Artinya, sebagai kekuatan yang selalu mengedepankan nilai-nilai moral. Selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Serta berpikir, berbuat dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. TNI AD sebagai Kekuatan Kultural. Artinya, sebagai kekuatan yang selalu mempertahankan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Memiliki wawasan tentang kemajemukan, sebagai modal kekuatan bangsa. Memandang kemajemukan bangsa, sebagai satu kesatuan yang utuh dalam bingkai NKRI, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. TNI AD sebagai Kekuatan Pertahanan. Artinya, sebagai kekuatan yang siap menghadapi segala bentuk ancaman militer secara terorganisir, yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa Indonesia. Dalam konteks konsepsi Trisula TNI AD itu, setelah pensiun dari Panglima TNI, lagi-lagi almarhum tetap menunjukkan sikapnya yang konsisten untuk membumikan nilai-nilai Pancasila sebagai kekuatan moral bangsa. Ajakan almarhum bersama kawan-kawan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli, pada hakikatnya agar pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar tetap dijiwai dengan nilai-nilai Pancasila. Sehingga aturan turunannya dapat membentuk kekuatan moral bangsa. Ajakan almarhum bersama kawan-kawan untuk bangkit, bersatu, bergerak dan berubah. Tujuannya agar tidak punah, yang didasarkan pada nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Ajakan tersebut, pada hakikatnya untuk membangun kekuatan kultural bangsa. Dalam upaya membangun kekuatan moral dan kultural bangsa itulah, almarhum melakukannya bersama para tokoh masyarakat, pakar intelektual, aktivis pejuang dan masyarakat. Wadahnya adalah Gerakan Selamatkan NKRI (GSNKRI), Rumah Amanah Rakyat (RAR) dan Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI). Apel Persada Kawan-kawan pergerakan mencatat isi hati, pikiran dan cita-cita almarhum yang masih belum tercapai. Misalnya, perbaikan nasib Boemipoetra, Kembali ke UUD 1945 yang asli. Almarhum juga berharap, kelak akan lahir Pemimpin Bangsa yang Pancasilais. Namun takdir telah menentukan lain. Almarhum harus menghadap Tuhan Yang Maha Esa mendahului kita. Walau ada yang tidak tahu atau tahu, tetapi lidah kelu atas kepergiannya, tidak menjadi masalah. Wafatnya almarhum sudah dengan jelas disampaikan oleh Panglima TNI selaku Inspektur Upacara saat pemakaman hari Minggu lalu. Panglima TNI menyatakan, “atas nama Bangsa, Negara dan Tentara Nasional Indoesia, dengan ini mempersembahkan ke Persada Ibu Pertiwi jiwa raga dan jasa-jasa almarhum Djoko Santoso, Jenderal TNI (Purn), mantan Panglima TNI, Kesatuan Mabes TNI. Putra almarhum bapak H. Djoko Soedjono, yang telah meninggal dunia demi kepentingan serta keluhuran Negara dan Bangsa, pada hari Minggu tanggal 10 Mei 2020 pukul 06.30 WIB di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto karena sakit. Semoga jalan Dharma Bhakti yang ditempuhnya dapat menjadi suri tauladan bagi kita semua, dan arwahnya dapat tempat yang semestinya di alam baka”. Selamat jalan Jenderal Djoko Santoso saahabatku, atasanku, komandanku dan guruku. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan tempat yang paling mulia untuk Jenderal. Amin. Penulis adalah Aster KASAD Tahun 2006-2007