OPINI
Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (8): Islam Ajarkan Saling Kenal
Tiga putra saya bebas berteman dengan siapa pun, agama apa pun dan dari suku apa pun. Hanya selalu saya ingatkan, jangan tinggalkan shalat dan jangan mau terpengaruh dan dipengaruhi ajaran agama manapun, selain ajaran Islam. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - TOLERANSI perlu dirajut, sehingga bibit-bibit permusuhan bisa segera musnah. Toleransi sangat ditanamkan dalam ajaran Islam dan juga Pancasila. Tanpa toleransi, pertemanan, persahabatan akan tercabik-cabik. Bahkan bisa ke tingkat yang lebih luas. Tanpa toleransi, kerukunan di tingkat lingkungan akan hambar, toleransi di level negara akan merana. Membangun toleransi itu harus dimulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan dan seterusnya. Tanpa diawali dari diri dan keluarga sendiri, toleransi itu hanya sebuah basa-basi. Ya, saya ambil contoh persahabatan saya dengan Marsia Hutauruk yang sekarang sudah menjadi pendeta di Pulau Nias Sumatera Utara. Kami membangun persahabatan karena saling memahami posisi masing-masing. Bagi saya berteman dengan siapa pun, apa pun agama dan suku apa pun tidak masalah. Dalam hal agama Al-Qur'an mengajarkan saya, "Bagi kamu agama kamu, bagi saya agama saya."Al-Qur'an juga memerintahkan agar saling kenal-mengenal."Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujarat ayat 13). Saling kenal-mengenal itu adalah perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala melalui Al-Qur'an. Karena itu perintah dari Allah Yang Maha Kuasa, maka saya wajib melaksanakan dan mengamalkannya. Tentu, saling mengenal di sini bagi saya ada batasan yang tegas, yaitu agama lain jangan coba-coba mengusik aqidah saya dan keluarga. Jangan coba-coba mempengaruhi saya dengan berbagai hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sepanjang hal itu menyangkut pergaulan tidak masalah. Bukankan tiap hari umat Islam selalu berintegrasi atau berhubungan dengan agama lain dalam hal jual-beli atau bisnis? Tidak pernah ada masalah, dan selama ini semua berjalan bagaikan air mengalir. Itulah indahnya toleransi yang sudah dibangun secara turun-temurun di bumi Pancasila ini. Atas dasar perintah saling mengenal itu juga saya menanamkan kepada ketiga anak saya agar bergaul boleh dengan siapa saja, dari suku mana saja dan agama manapun. Tetapi, ingat, jangan meninggalkan shalat. Jika bergaul dengan agama lain, ketiga anak saya yang sejak TK sampai SMP selalu di sekolah Islam (kecuali anak ketiga yang lanjut ke Pondok Modern Gobtor dan kini kuliah di UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta) saya wanti-wanti agar jangan mau dipengaruhi ajaran agama lain, selain Islam. Karena perintah saling mengenal itu, saya juga tidak ambil pusing berteman dengan siapa pun. Sebagai wartawan yang sejak tahun 2000 hampir selalu pake peci ke lapangan, saya bergaul dengan berbagai narasumber, termasuk yang beragama Kristen, Budha dan Hindu. Malah salah seorang pengusaha beragama Katolik cukup fanatik (saya tahu dia penyandang dana sejumlah gereja dan sekolah Katolik), sering meledek janggut saya yang panjang. Suatu ketika saya agak kaget dibuatnya, karena mengatakan, "Makin panjang saja ini jenggot," katanya sambil memegang jenggot saya. Hal itu dilakukannya dalam beberapa kali saya bertemu dengannya. Kalau saya intoleran, sudah pasti marah. Tidak ada batas Saling mengenal tidak ada batas. Yang menjadi pembatasnya adalah ketakwaan. Karena dengan siapa pun kita berteman, yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Jadi jelas batasannya, ketakwaan. Karena perintah saling mengenal itu juga, selain dengan teman SMP, saya juga masih menjalin pertemanan dengan kawan semasa kuliah yang berbeda agama dengan saya. Saya berteman akrab dengan Effy namanya. Sebenarnya, semua teman semasa kuliah yang non-muslim pun masih berteman lewat WA grup dan sekali-sekali mengadakan pertemuan. Cuma kadang teman agama lain di grup itu seringkali menulis hoax (bohong) atas beberapa postingan saya. Ini terjadi hanya karena berbeda sudut pandang dalam membacanya. Atau mungkin hanya karena perbedaan pilihan politik. Effy yang sekarang tinggal di Kediri, Jawa Timur adalah salah satu teman kelompok diskusi saya. Ada Fatmawati (biasa dipanggil Gadis), sekarang di Banda Aceh, ada Sabri Piliang (Jakarta), Darmadji (Pekanbaru), M.Tarokoh (Tangerang), almarhum Achmad Furqon, Sri Handayani (Australia). Ada cerita menarik dari Effy. Ketika saya kabari anak saya nomor 3, Sultan Ucok Sulainan Dongoran sekolah di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Effy meminta saya agar mampir ke Kediri. Akan tetapi, sampai tiga tahun anak di Ponorogo, saya tidak sempat memenuhi permintaannya itu. Padahal, saya sudah menjawab, "Insya Allah akan mampir." Alhamdulillah, tahun ke-4, anak saya ditugaskan ke Gontor 3 Kediri. Saya pun mengabari Effy tentang itu. Effy yang mendapatkan kabar itu langsung mengatakan, harus mampir ke rumahnya. "Awas ya, Hon, kalau ke Kediri gak mampir, " begitu kalimat yang masih saya ingat. Saya menjanjikan akan mampir. Alhamdulillah, janji itu terwujud pada awal Agustus 2015. Saya ke Kediri bersama istri dan anak kedua. Saya ke Kediri sekalian meliput Muktamar Nahdhlatul Ulama ke-33, di Jombang. Jarak Kediri dan Jombang cukup dekat dengan menggunakan kereta api. Saya kabari Effy tentang rencana kedatangan saya. "Pokoknya ditunggu," katanya. Ketika pagi hari kami turun di Stasiun Kereta Api Kediri, ternyata Effy dan karyawan suaminya sudah menunggu. Mobil sudah siap membawa kami. Oh ya, karena kami masuk pagi hari, Effy membawa kami sarapan pagi di sebuah warong soto. Katanya, soto cukup terkenal di KotaKediri. (Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior
Kembali ke Fitrahnya Konstitusi Negara
By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (25/05). Setelah "diacak-acak" oleh semangat demokratisasi, maka ternyata Konstitusi dikotori oleh perlilaku politik yang menunggangi. Mencuri kedaulatan rakyat untuk memperkuat pemerintahan. Sayangnya, profil Presiden yang terlihat lemah, sehingga Konstitusi yang dibuat dan dilahirkan dengan susah-payah oleh para pendisi bangsa, hanya barang menjadi mainan. Tafsir terhadap kebenaran berdasarkan konstitusi dibuat seenaknya saja oleh Presiden. Tujuanya, untuk membingkai pelanggaran dengan kepalsuan kekuasaan. Tragisnya, kesalahan yang dibuat oleh tersebut, mendapatkan pembenaran dari DPR. Contoh paling nyata, DPR membiarkan hilagnya hak budgeting terhadap APBN yang daimbil oleh pemerintah selama tiga tahun ke depan. Pemerintahan Jokowi tercatat paling parah dalam penghormatan terhadap Konstitusi. Dimulai dari kelicikan pelaksanaan Pemilu, pelanggaran HAM, hingga penyalahgunaan Perppu Corona. DPR mampu dikendalikan dengan sangat mudah. Mozaik dan konstelasinya bisa digeser geser. Kewenangan diubah menjadi kesewenang-wenangan. Kini saatnya kembali kepada fitrah Konstitusi, yakni “UUD 1945 yang asli”. UUD 1945 yang diundangkan pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 yang belum tercemari oleh banyaknya kepentingan jangka pendek. New normal adalah ekuilibrium. UUD 1945 yang mengembalikan kedaulatan pada rakyat. Kedaulatan yang menempatkan wakil-wakilnya pada tempat yang terhormat. UUD 1945 yang menempatkan MPR sebagai memegang kekuasaan tertinggi negara. Presiden pun harus berada di bawah rakyat melalui MPR. Tujuannya, agar presiden tidak arogan, masa bodoh, atau hanya memperbesar kekuasaan dan kekayaan diri saja. Lima urgensi untuk kembali ke UUD 1945 yang asli. Pertama, kembali pada filosofi berbagsa dan bernegara yang digariskan oleh "the founding fathers", baik mengenai konsepsi kedaulatan, negara hukum, fondasi perekonomian, dan sebagainya. Kedua, MPR kembali berwibawa dan menjadi lembaga yang disegani oleh Presiden. Sebab MPR yang dapat menentukan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dampaknya, siapapun yang memerintah harus tunduk dan mengikuti arah yang digariskan oleh rakyat melalui MPR. Ketiga, melakukan penghematan biaya secara signifikan untuk pemilu Presiden/Wapres. Juga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya gesekan sosial di masyarakat akibat kompetisi terbuka yang bersifat transaksional. Selain itu, dapat menghindari jatuhnya korban yang besar dari Penyelenggara Pemilu, yang mendekati ribuan anak bangsa. Keempat, pengaturan tentang kebijakan strategis dapat kembali dituangkan dalam berbagai Ketetapan MPR. Tidak seperti sekarang, dimana soal "haluan ideology negara" dipaksakan menjadi konten RUU. Sangat mungkin terjadi salah kaprah, dan bisa menjadi sebab dari pembelokkan makna. Juga untuk menghindari penyeludupan edeologi komunis dan PKI. Kelima, sebagaimana Dekrit 5 Juli, yang menempelkan "Piagam Jakarta" menjadi kompromi ideologis. Maka akibatnya, kita tidak perlu lagi mundur-maju hnya untuk diskursus Pancasila dan UUD 1945. Implementasi sudah merupakan tuntutan yang prioritas, logis, dan konkrit. Kembali ke UUD 1945 adalah dasar bagi solusi memecahkan persoalan bangsa. Kembali ke UUD 1945 yang asli adalah kembali ke fitrah Konstitusi. Kembali untuk melururuskan arah dan kiblat perjuangan bangsa Indonesia. Sekaligus kembali menghormati kerja keras dari para pendiri bangsa. Kembali ke UUD 1945 adalah pilihan strategis untuk new normal politics setelah kondisi kini yang luar biasa carut-marut. Diombang-ambingkan oleh permainan kekuasaan yang sangat kasar dan bodoh. Menari-nari di tengah ketidakberdayaan dan penderitaan rakyat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (7): Berteman dengan Pendeta
Sebagai pendeta, banyak yang tidak menyukai Marsia, termasuk pendeta. Sebab, ia selalu berbicara apa adanya dan tidak memakan babi. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - KEMBALI ke FB saya yang diserang pendukung penjual lapo tuak itu, saya menantang mereka satu per satu untuk membuktikan bagaimana membangun dan menjalin toleransi itu. Saya menjelaskan, bagi saya menjual minuman keras itu haram dan melanggar aturan perundang-undangan. Penjualan tuak di bulan suci Ramadhan dan dijual di tengah mayoritas Islam, jelas menunjukkan sikap tidak toleran, dan bahkan sangat angkuh. Ketika ada seorang bertanya, "Apakah saya salah jika hanya sendiri atau satu keluarga di tengah kaum muslim kemudian minum tuak?" Saya jawab, kalau minumnya di dalam rumah dan tidak mabuk serta teriak-teriak keluar itu urusan Anda. Akan tetapi, tentu ada tatakrama lingkungan yang harus dijaga dan dipatuhi. Saya pun mengatakan, jjka saya seorang Muslim dan tinggal di tengah mayoritas Kristen dan tiap hari memutar kaset atau saya membaca Al-Qur'an keras, apakah Anda tidak terusik? Pertanyaan saya itu dijawab nyeleneh. "Itu perbandingan yang ngawur," begitu jawaban atas pertanyaan saya itu. Saya menceritakan tentang kawan saya semasa SMP yang Kristen dan sekarang menjadi pendeta di Pulau Nias, Sumatera Utara. Meski saya pake jenggot, peci putih, pakaian gamis, dan dia pendeta, komunikasi kami berjalan baik. Padahal, sejak tamat tahun 1979, kami tidak pernah ketemu secara fisik. Marsia Hutauruk nama teman saya itu. Jum'at, 8 Mei 2020 siang, saya menyapanya lewat WA. Kemudian dilanjutkan percakapan lewat telefon hampir satu jam. Kami membicarakan banyak hal, termasuk toleransi, tentang lapo tuak yang Deli Serdang, Sumut yang ditutup warga bersama FPI, dan tentu masa-masa SMP dulu, karena banyak yang mengatainya kafir. Ia menyebutkan, dari sekian banyak teman SMP yang sempat bertemu di media sosial, hanya saya yang masih komunikasi. Yang lain (saya tidak menulis namanya, meski Marsia menyebutnya), sudah hilang kontak. Ia heran kenapa teman-teman menghapus pertemanan. "Saya heran juga, sementara kamu yang pake jenggot dan peci putih tidak menghapus pertemanan dengan saya," katanya. Dia bercerita, meski sudah jadi pendeta, tidak masalah dengan agama Islam dan agama lain. Sebab, dia juga punya saudara dan famili yang masuk Islam atau mualaf, dan juga saudara yang sudah turun-temurun beragama Islam. Marsia bercerita, sebagai pendeta, banyak yang tidak menyukainya, termasuk tidak disukai sesama pendeta sendiri. Sebab, ia bicara apa adanya dan tidak pernah memikirkan penghasilan dari kegiatannya itu. Terlebih lagi kawan ini juga tidak makan babi dan menenggak minuman keras. "Kalau datang ke acara, ya nasik kotak isinya itu (babi). Padahal saya tidak memakanya. Haram bagi saya," katanya. Prihatin Kepada mereka yang memakannya saya katakan, "Itu harum bagi kamu, tapi haram bagi saya." Saling menghormati itu sangat penting. Ia juga prihatin dengan peristiwa penjualan tuak di saat umat Islam melaksanakan ibadah puasa. Ketika saya posting berita penangkapan Geral Lundu Nainggolan karena menghina Nabi Muhammad dan Habib Bahar, ia pun mengatakan tidak boleh saling menghina. "Itu tdk boleh saling menghina & menjelekkan, apalagi situasi sekarang lagi menghadapi ujian berat covid 19. Ada-ada saja. Tidak punya hati nurani. Harus saling menghormati dan menghargai apalagi masalah agama. Bagaimana manusia seperti itu ya?" kata Marsia dalam pesan yang dikirim ke WA saja. (Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior
Bamsoet Kok yang Paling Sibuk Dalam "Konser Prank", Ada Apa?
Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Acara konser berbagi kasih bersama para seniman dan musisi yang digelar akhir pekan lalu, masih menyisakan sejumlah tanda tanya meskipun masalah lelang motor listrik sudah bisa diatasi. Pemenang lelang sudah dialihkan dari warga Jambi M. Nuh pada anaknya pengusaha media Hary Tanoe. Sejak acara konser digelar hingga pelaksanaan lelang susulan pada hari Jumat lalu, Bambang Soesatyo terlihat orang yang paling sibuk. Padahal, pelaksana kegiatan konser ini adalah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), lembaga yang berada langsung di bawah Presiden. Lalu dalam acara tersebut Bambang Soesatyo kapasitasnya sebagai apa? Sebagai Ketua MPR-RI? Atau sebagai pengusaha karena dalam acara konser itu Bamsoet juga menggandeng Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani. Justru unsur pimpinan MPR-RI periode 2019-2024, tidak ada satu pun yang hadir di acara tersebut. Kecuali diantaranya hadir secara virtual. Dalam acara press conference sekaligus klarifikasinya, Bamsoet menyebut dirinya sebagai penanggungjawab acara konser tersebut. "Jujur saya tidak enak hati dengan Presiden Jokowi, karena saya yang meminta beliau. Beliau tidak tahu apa-apa. Untuk itu saya sebagai penanggung jawab, atas nama panitia mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Presiden Jokowi sekaligus ucapan terima kasih yang luar biasa atas keikhlasannya memberikan bantuan motor listrik yang ditandatangi sendiri oleh beliau," kata Bamsoet ketika mengawali pernyataan klarifikasnya pada wartawan. Jika menyimak narasi dan diksi yang disampaikan Bamsoet, jelas dia bukan dalam kapasitas sebagai Ketua MPR-RI. Sebab dalam praktek ketatanegaraan, posisi Ketua MPR-RI sesungguhnya lebih tinggi dari Presiden. Sehingga dalam berbagai acara kenegaraan, Ketua MPR-RI lazimnya menyebut kata "saudara" kepada Presiden. Tajir melintir Nah kalau bukan sebagai Ketua MPR, masyarakat bisa saja menduga Bamsoet sedang menjadi EO atau penyelenggara kegiatan konser yang diadakan BPIP. Tapi masyarakat pun bisa bertanya lagi: Pantaskah seorang Bamsoet yang nota bene sebagai Ketua MPR merangkap sebagai EO ? Bagaimanapun jabatan dan pangkat itu tetap melekat pada diri seseorang. Nama Bamsoet tidak bisa dilepaskan dari jabatannya sebagai Ketua MPR-RI. Kok bisa sih dia menjadi EO? Bukankah Bamsoet sudah tajir melintir, dimana berdasarkan Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) tahun 2018, harta kekayaan Ketua MPR-RI dari Fraksi Golkar ini sebesar Rp 98.019.420.429 (Rp 98 milyar lebih). Sebagian besar harta kekayaan Bamsoet berupa tanah dan bangunan yang bernilai Rp 71.217.095.000. Sementara itu, harta berupa alat transportasi dan mesin berjumlah Rp 18.560.000.000. Tercatat, ada 13 kendaraan yang ia miliki, seperti motor Harley Davidson, mobil Rollsroyce Phantom Sedan, dan lain-lain. Dengan kata lain, kalaupun Bamsoet mau membantu masyarakat yang terdampak atau menjadi korban dari wabah Covid19, maka dia pribadi sebenarnya bisa memberikan sumbangan langsung kepada pihak-pihak yang membutuhkan bantuan. Cara lainnya, bisa saja Bamsoet menggelar acara lelang sendiri dengan misalnya melelang sebagian kendaraan mewahnya untuk disumbangkan bagi kepentingan penanganan wabah Covid19. Atau katakanlah dalam acara konser BPIP itu dia ingin berpartisipasi lebih, maka Bamsoet bisa saja ikut menawar motor listrik yang dilelang itu. Ini kok seperti sengaja dibuat drama yang akhirnya berujung pada tragedi. Karena kemudian menjadi bahan cemoohan masyarakat setelah lelang motor listrik tersebut berhasil di prank oleh M. Nuh, seorang buruh yang tinggal di Jambi. Celakanya, Bamsoet menuding komentar dari para netizen sebagai gorengan. Padahal, yang terjadi justru acara konser tersebut seperti sebuah dagelan politik yang tidak lucu. Tragedi konser BPIP justru menunjukkan kepada dunia bahwa para pemimpin di Indonesia ini tidak kompak dalam menghadapi pandemi covid-19 ini. Kebijakan yang telah dibuat dalam menghadapi pencegahan penyebaran Covid19 kemudian dirubah sendiri oleh pemerintah. Belum lagi koordinasi antara pemerintah pusat dengan Pemda yang sangat buruk. Manajemen pemerintah yang menyedihkan ini kemudian ditambah dengan persoalan "Konser Prank" BPIP yang amburadul. Keadaan ini semakin menambah ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah dan para pemimpin di negeri ini. Dalam Konser BPIP tersebut bukan hanya telah terjadi acara lelang kaleng-kaleng alias tipu-tipu, tapi acara tersebut juga telah memberikan contoh yang jelek kepada masyarakat di tengah wabah Covid 19. Dimana pada akhir acara konser itu, Bamsoet bersama para seniman dan artis yang hadir berfoto bersama di atas panggung tanpa mengindahkan aturan soal Physical Distancing. Walaupun kemudian Bamsoet meminta maaf atas kejadian tersebut, namun masyarakat sudah terlanjur tidak simpatil dan kecewa dengan gelaran konser tersebut. Konser bertajuk resmi berbagi kasih ini akhirnya menjadi ambyar setelah terjadi keanehan dan kekacauan dalam acara lelang. Saya jadi penasaran, sebenarnya ada target politis apa yang hendak dicapai Bamsoet melalui konser tersebut? Kepentingan politik apa dibalik pelaksanaan Konser BPIP tersebut? Pertanyaan ini wajar diajukan karena Bamsoet adalah seorang politisi, sehingga setiap langkahnya tentu berdampak politis juga. Wallohualam Bhisawab. Penulis Wartawan Senior.
Skandal M Nuh Beli Gesits: Para Konglomerat Mempermalukan Jokowi
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Bukan salah siapa-siapa. Bukan salah M Nuh. Bukan salah penyelenggara konser virtual Berbagi Kasih. Dan bukan juga salah panitia lelang. Yang salah dalam skandal M Nuh gagal membayar harga lelang sepedamotor Gesits dengan tanda tangan Presiden Jokowi itu adalah para konglomerat dan para pengusaha besar yang selama ini mengaku mendukung Jokowi. Ternyata, mereka semua hanya pura-pura mendukung Jokowi. Kalau mereka betul-betul setia pada Jokowi, sepedamotor Gesits yang ditawar M Nuh seharga 2.55 miliar itu bisa dengan mudah menjadi 255 (dua ratus lima piluh lima) miliar. Kalau para konglomerat itu ikut berpartisipasi, uang segitu untuk membayar sepedamotor legendaris milik Jokowi itu menjadi tak seberapa. Toh uang itu akan disumbangkan untuk upaya penanganan Covid-19. Tetapi, mereka itu tidak ada yang peduli dengan konser amal Berbagi Kasih yang diselenggarakan pada 17 Mei 2020 itu. Mereka memilih untuk mempermalukan Jokowi. Juga sangat mempermalukan konsorsium penyelenggara konser yang terdiri dari BPIP, MPR, dan BNPB itu. Sungguh tragis. Lelang sepedamotor legendaris yang ditandatangani Jokowi itu menjadi berantakan di tangan M Nuh yang mengaku sebagai pengusaha tambang. Ke mana saja orang-orang yang punya ‘duit tak berseri’ itu? Kenapa mereka biarkan M Nuh dengan tawaran hanya 2.55 miliar? Apa yang membuat mereka berat membayar 25 miliar atau 255 miliar? Apakah mereka tidak menganggap tanda tangan Jokowi sebagai barang yang berharga? Tidakkah mereka menganggap Jokowi sebagai presiden yang paling historis sejak Indonesia merdeka? Keterlaluan sekali mereka. Dari pengalaman buruk ini, Presiden Jokowi perlu memberikan ‘pelajaran’ kepada para konglomerat yang tega membiarkan lelang Gesits dipermalukan sampai kandas. Jokowi harus meninjau ulang ‘hubungan baik’-nya dengan para konglomerat itu. Pak Jokowi wajar mengeluarkan teguran keras kepada para konglomerat itu. Sebab, ada indikasi bahwa mereka selama ini berbohong mendukung Jokowi. Mereka semua menipu Jokowi.[] 22 Mei 2020(Penulis Wartawan Senior)
Tragedi Lelang Motor di Konser Yang Memalukan
By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (22/05). Kita semua tentu prihatin di ajang kegiatan konser amal Covid 19 Minggu malam (17/05). Terjadi peristiwa diluar dugaan. Pemenang lelang M. Nuh yang menjadi peserta dengan penawar tertinggi Rp. 2,55 miliar, ternyata hanya seorang pekerja buruh. Menurut pengakuan M. Nuh, dirinya tidak memiliki uang sebesar itu. Rupanya perbuatannya hanya iseng atau salah persepsi. Disangka tebak tebakan berhadiah. Sekarang, M. Nuh sang "pengusaha" terpaksa berurusan dengan Kepolisian Daerah Jambi. Memang konser amal "Berbagi Kasih Bersama Bimbo" ini sejak awal kontroversial. Pertama, dilaksanakan di penghujung bulan Ramadhan. Pada saat umat Islam sedang berburu "Lailatul Qadar". Kedua, kurang relevan dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Terlalu jauh kalau lembaga negara sekelas BPIP dan MPR ikut-ikutan sebagai penyelenggara atau sponsor kegiatan. Ketiga, diragukan konsistensi peserta konser dalam menerapkan protokol kesehatan penanganan Covid 19. Baik itu yang berkaitan dengan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), maupun soal menjaga jarak diantara yang hadir. Nuh yang dalam KTP-nya berprofesi sebagai Buruh Harian Lepas, telah sukses dan berhasil mengalahkan Gabriele Mowengkang yang menawar Rp. 2,5 miliar, Maruarar Sirait Rp. 2,2 miliar dan Warren Tanoe Soedibyo Rp. 1,550 miliar. "Jadi, pemenang lelang adalah pengusaha dari Jambi bernama M.Nuh" ujar pembawa acara Choky Sitohang. Ditambah dengan uang yang dari M. Nuh, maka pendapatan konser amal Covid 19 ini menjadi sebesar Rp. 4 miliar. Yang tentu saja masih tekor, sebab bila dibandingkan dengan biaya penyelenggaraan konser, yang konon sebesar Rp. 6 milyar lebih. Tekornya Rp. 2 miliar . Bimbo dan para artis lain yang ikut di acara kon ser tersebut tidak mampu menarik donatur yang memadai. Padahal Presiden, Wapres, Ketua MPR, dan para pejabat tinggi negara juga ikut "menghadiri" acara tersebut. Kemana para taipan dan konglomerat ya? Tragi sekali. Konser amal "kenegaraan" hanya mendapat dana donasi Rp 4 miliar. Itupun yang Rp 2,55 miliar dari hasil "tipu tipu". Konser serupa pernah diadakan oleh Didi Kempot sebelum meninggal dunia. Didi Kempot ketika itu berhasil mengumpulkan sumbangan dari masyarakat sebesar Rp. 5,3 miliar. Padahal tanpa keterlibatan para petinggi negara seperti Presiden atau Ketua MPR. Sebenarnya untuk mengumpulakn dana seperti ini mudah saja. Tanpa dilakukan konser pun Presiden tinggal mengumpulkan para pengusaha besar. Termasuk "naga-naga sembilan". Presiden lalu menyampaikan maksud dan keperluan untuk mengumpulkan para taipan dan konglomerat tersebut. Sangat diyakini bakal dapat dana lebih dari Rp. 4 miliar. Tanpa perlu lelang motor listrik si "gesits" itu. Mestinya memang "gesit" tapi karena "gesits", ya motornya menjadi super gesit. Jadinya blusukan ke mana-mana itu "gesit". Hingga sampai ke Sungai Asam, Pasar Jambi, untuk menemui "pengusaha" M.Nuh. Tiga pelajaran penting yang jadi bahan renungan. Pertama, apapun argumennya melaksanakan konser "kenegaraan" di akhir-akhir malam Ramadhan telah menyinggung umat Islam. Orang lagi bertadarus Qur'a. Prasiden dan Ketua MPR malah bernyanyi nyanyi. Kedua, Pemerintah Jokowi mengevaluasi diri setelah menyiapkan "tipu-tipu" dengan Perppu Corona, kini kena "tipu-tipu" oleh M.Nuh. Ketiga, lembaga BPIP dan MPR harus mulai menata ulang akan fungsinya secara nyata yang benar-benar. Lagi ditunggu dan dibutuhkan rakyat. Bukan konser. Semoga bangsa ini tidak terlalu banyak mendapat sorotan dunia, karena pekerjaan yang dilakukan Presiden, MPR dan BPIP tidak relevan, dan tidak serius. Ada meme kritis dialog dua tokoh dunia. "tahu ngga apa yang dilakukan pejabat-pejabat Indonesia untuk mengatasi Corona ???"-- "Mereka ngapain mbak ?"--"Nyanyi bareng !"--"wkwkwk ambyar". Kasus M. Nuh cukup memalukan. Terjadi di konser yang terbilang "besar". Dibilang besar, karena dengan perhatian dan kepedulian yang besar dari para pembesar negara. Jika M. Nuh memang benar-benar polos. Mungkin saja dia sedang berprasangka baik kepada Pak Jokowi. Biasanya Pak Jokowi sering membagi hadiah sepeda. Karena ini di bulan Ramadhan, mungkin Pak Jokowi mau bersedekah dengan nilai yang lebih besar. Bukan lagi dengan sepeda, tetapi dengan motor listrik "gesits". M. Nuh lalu menebak harganya, dengan Rp 2,55 miliar tersebut. Eh, ternyata dia menang. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (5): Islam Diusik, Umat Melawan
Perumpamaan umat Islam itu seperti lebah. Jika sarang lebah diganggu, lebahnya marah dan memgejar yang mengganggunya. Demikian juga Agama Islam, jika diusik sedikit saja, umatnya melawan. Oleh : Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - TOLERANSI sangat ditanamkan secara dalam pada ajaran Islam. Sepanjang agama lain tidak mengganggu Islam dan pemeluknya, Islam mengajarkan agar hidup rukun dan berdampingan. Islam merupakan agama yang paling menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Sejak pertama kali hadir di muka bumi yang dibawa oleh para Rasul Allah, Islam telah mengajarkan nilai toleransi yang dikenal dengan konsep tasamuh yang salah satunya mengatur bagaimana hubungan dengan umat beragama lain. Rasulullah Saw juga hidup berdampingan dengan kaum kafir selama di Mekkah dan Madinah. Bahkan, ada riwayat tentang orang Yahudi yang buta yang selalu meludahi Nabi Muhammad Saw, setiap kali Nabi lewat dan menyuapinya dengan makanan. Si Yahudi buta tidak tahu bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah. Setiap kali menyuapi, Yahudi yang buta itu mencaci-maki Rasulullah dan kemudian meludahinya. Dia tidak tahu yang di depannya adalah orang yang dibencinya dan selalu dimaki-makinya. Yahudi yang buta itu baru tahu setelah Rasulullah wafat. Itu pun karena saat menyuapi makanan, sang Yahudi merasa berbeda.Yahudi buta bertanya siapa yang menyuapinya. Kok tidak seperti orang yang selama ini menyuapinya makan dengan tangan lembut. Orang yang ditanya pun menjelaskan bahwa yang menyuapinya selama ini sudah wafat. Orang tersebut adalah Nabi Muhammad Saw. Sang Yahudi menangis dan menyesal karena selama ini telah memaki-maki dan meludahinya. Padahal, orangnya baik dan tidak pernah membalas caci-makinya, apalagi balas meludahinya. Singkat cerita, penyesalan Yahudi yang buta itu ditebusnya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, menyatakan diri masuk Islam atau menjadi mualaf. Perumpamaan Islam itu seperti lebah. Mencari makan, lebah hinggap pada bunga dan menghisap sarinya. Bunga tidak rusak, lebah kenyang dan akhirnya menghasilkan madu. Ajaran Islam juga seperti itu. Islam mengajarkan kebaikan dan hasilnya tentu kebaikan. Lebah, kalau membuat sarang juga tidak merusak dahan, ranting dan bahkan pohon yang kerig sekali pun. Jadi, di mana pun berada, Islam itu tidak akan merusak sekitarnya. Justru sebaliknya, sekitarnyalah yang mencoba mengganggu dan merusak nilai-nIlai ajaran Islam. Lebah tidak merusak bunga yang sarinya dihisap menjadi madu. Lebah tidak mematahkan dahan dan ranting pohon yang menjadi sarangnya. Akan tetapi, jangan sekali-sekali mencoba mengusik lebah di sarangnya, apalagi saat di siang hari. Lebah akan marah dan bersatu mengeroyok siapa pun yang merusak sarangnya, termasuk pawang lebah. Hanya saja kalau pawang sudah tahu cara mengatasinya. Umat Islam Melawan Islam juga sama. Jangan sekali-sekali mengusik dan menyakitinya, apalagi melukainya. Umat Islam di manapun akan bangkit melawannya. Banyak contohnya. Ketika ada kartun yang menghina Rasulullah, umat Islam di seantero bumi bangkit berdemo mengutuknya. Ketika ada film "Fitna" yang juga menghina Rasulullah dan agama Islam, muslim di berbagai belahan dunia bangkit berdemo mengutuknya. Hasilnya, pembuat film itu akhirnya masuk Islam. Ketika Al-Qur'an mau dibakar dan diinjak-injak, umat Islam bangkit melakukan perlawanan. Ketika si Ahok menista Al-Qur'an, umat Islam di Indonesia bangkit, sehingga si penista agama Islam itu dipenjara. Begitulah umat Islam melakukan perlawanan terhadap setiap upaya menghina ajaran Islam. Perjuangan umat Islam, ada yang langsung membuahkan hasil. Ada juga yang perlahan berhasil. Yang jelas, perjuangan umat Islam yang dipimpin para ulama yang diiringi dengan do'a, apalagi doa qunud nazilah, pasti didengar dan dikabulkan Allah Yang Maha Kuasa dan Mendengar. Makanya, sering kita dengar kalimat, mulut ulama itu beracun. (Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior
Ramai-Ramai Membunuh Politisi
Oleh Hersubeno Arief Buta yang terburuk adalah buta politik— Berthold Brecht (1898 – 1956)— Jakarta, FNN - Andai saja saat ini dilakukan survei opini publik: Profesi apa yang paling dibenci di Indonesia? Bisa diduga politisi akan menempati salah satu yang teratas. Khususnya mereka yang kini duduk di kursi DPR. Silakan melongok ke berbagai media sosial. Bermacam-macam tagar muncul. Mulai dari #DPRbunuhdiri, #DPRbudakistana, sampai #Killthepolitician meramaikan dunia maya. Keriuhan di dunia maya itu menggambarkan frustrasi publik. Kemarahan di tengah tekanan pandemi dan dampaknya secara sosial dan ekonomi. Mereka perlu katarsis. Pelampiasan. Marah, frustrasi terhadap para politisi di tengah pandemi, bukan hanya monopoli rakyat di Indonesia. Di AS kebencian terhadap Presiden Trump dan para pendukungnya kian memuncak. Acakadutnya penanganan bencana Corona oleh pemerintah menjadikan Trump, bulan-bulanan kemarahan publik. Di Indonesia frustrasi dan kemarahan publik, selain karena kebijakan pemerintah yang tak jelas, buang badan. Juga didorong sikap DPR. Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat, DPR hanya membebek. Menyetujui, mendukung apapun yang dilakukan pemerintah. Padahal kebijakan itu dinilai merugikan masyarakat. Mengamputasi dan mengebiri fungsi DPR. DPR juga dicurigai bermain mata, berselingkuh dengan kepentingan para taipan, korporasi besar yang berpesta pora, memanfaatkan bencana.Mereka bergerak cepat. Diam-diam mengesahkan berbagai perundangan. RUU yang sebelumnya jelas-jelas ditolak publik. Mumpung publik lengah. Mumpung civil society sibuk dengan berbagai persoalan lain. Mumpung mahasiswa tidak bergerak. Mumpung media fokus ke bencana dan direpotkan oleh problem kehidupan sehari-hari. Semuanya dikebut. Ketok palu. Langsung diundangkan. Tak peduli tata tertib DPR dilanggar. UU itu bertentangan dengan konstitusi. Bertentangan dengan nalar publik! Yang penting order dari para bohir. Para cukong politik sudah dilaksanakan. Invoice, tagihan bisa dicairkan. Mari kita inventarisir berbagai perundang-undangan yang disahkan DPR di tengah bencana. Yang paling banyak mendapat sorotan adalah pengesahan Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Covid. Dari 9 fraksi, hanya PKS yang menentang. Disahkan secara aklamasi. Keberatan publik sudah banyak dibahas. UU ini dinilai lebih mementingkan menyelamatkan kepentingan korporasi dibanding kepentingan rakyat. UU Minerba disahkan. Hanya Demokrat yang tidak setuju. Posisi Demokrat bergantian dengan PKS yang ikut menyetujui. Padahal UU ini dinilai akan menyengsarakan rakyat di sekitar penambangan dan merusak lingkungan. Lagi-lagi UU ini juga hanya menguntungkan korporasi, pengusaha besar. Jika dirunut ke belakang, sangat banyak UU yang disahkan DPR, bertentangan dengan nalar publik. Salah satunya adalah revisi UU KPK yang dianggap menguntungkan dan berpihak kepada koruptor. Dikendalikan para cukong Tudingan bahwa partai politik (Parpol) sudah dikendalikan oleh para cukong, ini bukan asal ngomong. Bukan sekedar sikap curiga dan paranoid. Politisi Golkar yang kini menjadi Ketua MPR Bambang Soesatyo pernah menyampaikan bocoran. Untuk menguasai sebuah Parpol, biayanya sangat murah. Cukup dengan modal Rp 1 Triliun, posisi ketua umum bisa direbut. Setelah itu cukong politik tinggal order kepada sang Ketum. Mengamankan kebijakannya di DPR. Jika ada anggota dewan yang mbalelo, tinggal recall. Ada mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). Betapa luar biasanya para taipan, cukong politik itu. Mereka inilah yang bekerjasama dengan penguasa, politisi, penegak hukum disebut sebagai kelompok oligarki! Mereka adalah sekelompok kecil elit yang mengendalikan kekuasaan, politik, dan ekonomi.Kamus Merriam-Webster mendifinisikan oligarki sebagai “kelompok kecil orang yang melakukan kontrol terhadap pemerintahan untuk tujuan korupsi ataupun kepentingan diri mereka sendiri”. Di medsos saat ini sedang viral pernyataan pengamat politik senior Fachri Aly. Dia menyatakan politik Indonesia saat ini dikuasai oleh pengusaha. Disebutnya para kapitalis. Kekuatan modal, kata Fachri Aly, saat ini jauh membayang-bayangi dalam sistem demokrasi. Jauh lebih berbahaya dibandingkan pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, penguasa yang menciptakan kapitalis. Dan penguasa bisa mengontrol pengusaha. Sebaliknya pengusaha juga hormat kepada pengaturan penguasa. Di masa Soeharto pengusaha tunduk pada penguasa. “Tapi begitu kekuasaan Soeharto rontok, maka para kapitalis itu lah yang menguasai negara,” tegas Fachri. Pernyataan Fachri ini disampaikan dalam sebuah seminar tahun 2015. Namun nampaknya kembali diviralkan karena sangat tepat menggambarkan situasi saat ini. Berharap pada partai dan politisi baru Dengan situasi semacam itu apakah kita harus mengikuti anjuran netizen membunuh para politisi? #Killthepolitician? Membubarkan Parpol karena mereka sudah terbeli dan menjadi alat kepentingan para taipan? Tak ada yang bisa dipercaya? Kembali meminjam pernyataan Berthold Brecht yang dikutip diatas. “Buta paling buruk, adalah buta politik!” Lengkapnya penyair dan dramawan Jerman itu mengatakan: Buta paling buruk, adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik." Dalam negara demokratis, untuk menyampaikan aspirasi tersebut, maka saluran legalnya adalah parpol. Melalui Parpol kita boleh merebut kekuasaan secara legal dan konstitusional. Menentukan harga, dan menentukan siapa yang berkuasa. Jika semua orang baik menolak berpolitik karena dianggap kotor, maka parpol akan hanya diisi orang-orang jahat. Para politisi yang menggadaikan jabatannya menjadi hamba pengusaha. Dengan semangat semacam itu, kita perlu sambut hadirnya parpol baru. SK dari Kemenkumham Partai Gelora yang didirikan duet Anis Matta-Fahri baru saja terbit. Mereka menjadi salah parpol baru pertama yang resmi berbadan hukum. Tinggal mengikuti verifikasi dari KPU. Pendiri PAN Amien Rais juga akan segera mendirikan Parpol baru. Diperkirakan bakal terjadi bedol desa dari PAN. Sebelumnya juga sudah ada wacana menghidupkan kembali Partai Masyumi. Politisi Ahmad Yani menggagas Masyumi Reborn. Dilihat dari latar belakang pengurusnya, semua berakar dari gerakan Islam. Hanya Gelora tampaknya mencoba bergeser ke tengah. Islam-Nasionalis. Eksperimen politik Gelora ini cukup menarik. Mereka mencoba memadukan dan mengakhiri ketegangan politik Islam dan Nasionalis. Polarisasi semacam itu selalu mewarnai perjalanan politik bangsa sejak Indonesia berdiri. Banyak membuang energi bangsa. Partai sempalan PAN, bila dibaca dari statemen Amien Rais tampaknya akan bergerak lebih ke kanan. Lebih Islami. Menjadikan Al Quran sebagai acuan moralnya. Sementara Masyumi Reborn dari namanya punya niat membangkitkan kembali partai Islam yang sempat berjaya di masa lalu. Mudah-mudahan parpol baru ini bisa menjadi parpol alternatif bagi publik yang kecewa dan dikecewakan parpol yang ada saat ini. Bagaimana bila mereka juga ternyata mengecewakan? Silakan saja bila ingin kembali gemakan tagar #Killthepolitician. Bersikaplah santai, sambil mengingat kembali ucapan negarawan asal Inggris Winston Churcill. “Dalam perang Anda hanya bisa terbunuh sekali, tapi dalam politik Anda bisa mati berkali-kali.” Nahhhhhhhh. End Penulis Wartawan Senior.
Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (4): Aksi FPI Menyatukan Umat Menggetarkan Musuh
FPI pengikut Imam Syafi’i yang konsisten dengan do’a qunud, niat usholli dalam setiap shalat, memperingati Maulud Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi Wasalam, peringatan Isra’ Mi’raj, tahlilan, membaca Yaasin tiap malam Jum’at. Kalau tidak percaya, silahkan datang dan mengikuti pengajian rutin di Markas FPI, Petamburan, Jakarta Pusat. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN – KEMBALI ke saya yang “berperang” di FB gara-gara penutupan paķsa lapo tuak di Deli Serdang, Sumatera Utara, saya perlu menuliskan banyak hal. Tidak hanya ke saya dan umat Islam, mereka bahkan menuduh Kapolda Sumut Martuani Sormin yang terlalu cepat-cepat menyelesaikan persoalan dengan sejumlah tokoh agama dan tokoh masyarakat Sumatera Utara. Penyelesaian persoalan di luar jalur hukum itu membuat mereka tidak respek atau simpati kepada Martuani Sormin yang juga Kristen. Saya mencoba menjelaskan betapa tokoh masyarakatmengutamakan kepentingan yang lebih luas. Pak Kapolda lebih mengutamakan penyelesaian di luar jalur hukum karena itu dibenarkan sepanjang yang bertikai mau (asalkan tidak sampai ada korban, terutama korban jiwa). Saya jelaskan seperti itu, mereka malah menuliskan kalimat, “Dasar alumni 212.” Saya pun menjawabnya dengan tegas bahwa saya peserta demo 2-12-2016 (atau terkenal 212). Setiap kali reuni pun saya ikut. Insya Allah, jika reuni digelar tiap tahun, saya akan hadir sepanjang saya sehat dan masih hidup. Demo yang dilakukan untuk memenjarakan Basuki Tjahya Purnama atau Ahok si penista Al-Qur’an dan agama Islam. Bahkan, demo sebelum 212 pun saya sudah ikut, yaitu demo 4-11-2016 atau demo 411 yang sempat memanas, karena massa peserta disusupi provokator. “Ya saya peserta dan alumni 212. Apa ada yang salah? Itulah demokrasi. Demontrasi atau unjuk rasa dijamin undang-undang. Coba Anda bikin juga demo tandingan seperti 212, tidak ada masalah,” tulis saya. Maka keluarlah kalimat peserta demo bayaran, nasi bungkus dan demo anarkis dari lawan saya berperang di FB. Saya jawab, yang membayar dan dibayar siapa? Yang suka rebutan nasi bungkus siapa? Yang anarkis siapa? Kalau demo bayaran dan rebutan nasi bungkus, itu sangat tidak masuk akal. Yang datang dari berbagai daerah, mulai dari Sabang sampai Merauke. Ada yang menggunakan pesawat (peserta dari Sumatera Barat malah ada yang mencarter pesawat), naik kapal laut, naik kereta api, menggunakan bus, baik carter maupun sendiri-sendiri, mobil pribadi, sepeda motor dan naik sepeda. Bahkan, ada yang berjalan kaki (peserta dari Ciamis jalan kaki 2 hari 2 malam hingga sampai ke lapangan Monas). Siapa yang mau bayar peserta yang diakui Presiden Joko Widodo lebih dari tujuh juta orang itu. Ada yang memperkirakan lebih dari 13 juta orang. Perisriwa 212 jelas merupakan gambaran persatuan umat. Sebab, mereka datang dari berbagai organisasi Islam, meski kedatangannya secara pribadi. Mereka yang datang terdiri dari lintas mazab. Jelas menggetarkan musuh Islam. Siapa yang punya uang membayar peserta sebanyak itu? Mulai dari ongkos pergi dan pulang, biaya penginapan ( banyak peserta yang menginap di hotel berbintang- bahkan bintang 5). Ada yang menginap di rumah saudara, teman, di masjid dan juga markas panitia peserta. Bahkan, ada juga yang menginap di sekitar Monas, menggelar tikar atau koran, sekedar alas buat duduk dan tidur. Tentang rebutan nasi bungkus, cerita bohong dari mana lagi. Konsumsi, baik makanan dan minuman berlimpah dan berlebihan. Di pintu Timur Monas dekat Stasiun Gambir, saat acara sudah bubar, saya menemukan tiga truk (truk kapasitas 7 ton) bermuatan air mineral yang belum diturunkan. Menurut seorang sopir truk yang saya tanya, air mineral itu sumbangan dari seseorang yang tidak dia ketahui siapa namanya. Selain yang tiga truk itu, katanya, masih ada 2 truk lagi yang belum bisa masuk. Supir truk itu pun mengatakan bingung, air mineral dalam kemasan botol dan gelas itu diturunkan di mana. Perintahnya, diantarkan untuk keperluan peserta demo di Monas. Padahal, acara sudah selesai. Ya, saya sarankan agar diantarkan/diturunkan di pos-pos panitia saja biar aman. Nah kembali ke makanan, saya dan istri beserta teman-temannya juga membawa makan berupa roti dan air mineral dalam botol. Dua mobil minibus saya, dijadikan mengangkutnya, dengan melipat kursi paling belakang. Makanan dan minuman itu dibeli dari uang patungan emak-emak teman istri saya. Selain membeli makanan dan minuman, masih ada sejumlah uang dari urunan dan pribadi yang saya bawa dan mereka minta disampaikan ke FPI. Sempat saya katakan, disampaikan lewat yang lain saja. Akan tetapi, ada seorang Ibu yang tinggal di Belanda – melalui saudaranya yang tinggal di Tangerang – mengatakan hanya percaya pada FPI. Saya lupa berapa kali si Ibu yang tinggal di Belanda itu menyumbang kegiatan lewat FPI. Belum lagi sumbangan dari teman istri saya sewaktu mereka sama-sama di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1982-1985. Minuman yang kami bawa pun masih tersisa. Kamis malam 1-12-2016 sampai tengah malam saya masih di Markas FPI Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sebagai wartawan yang ingin melihat dan mendengarkan sesuai fakta. Selain itu, saya juga membawa uang untuk disetorkan (saya tak mau sebut angkanya). Tetapi, nolnya 6. Dan malam itu entah sumbangan yang ke beberapa kali yang saya bawa ke Markas FPI. Saya nongkrong di Markas FPI sambil mengamati lalu-lalangnya manusia yang datang dari berbagai daerah, termasuk dari Kalimantan, Papua, Aceh dan daerah lainnya. Juga saya mengamati masuknya bantuan makanan, minuman dan bahkan mantel hujan. Mantel hujan yang merupakan sumbangan dari seorang mualaf itu diperkirakan senilai Rp 50 juta lebih. Ya, mantel itu secara simbolis diberikan kepada pimpinan rombongan peserta yang berjalan kaki dari Ciamis, Jawa Barat. Pemberian secara simbolis itu sebagai wujud apresiasi kepada peserta jalan kaki yang sepanjang perjalanan dari Ciamis sampai Jakarta sering diguyur hujan deras. Saya juga menyaksikan beberapa orang yang menyerahkan sumbangan, baik atas nama pribadi maupun organisasi dan kelompok. Saya juga sempat menyaksikan seorang pria menyerahkan uang Rp 10.000.000. Sang pria tersebut mengaku sekampung dengan Ahok. Akan tetapi, dia hanya mau disebutkan sumbangan dari hamba Allah. Menceraikan Istri Ada peristiwa yang sangat memilukan hati saya yang saya dengar dari pria itu. “Tadi siang, saya baru ceraikan istri saya karena kami berseberangan. Saya tidak suka Ahok meski sama-sama dari Bangka Belitung. Istri saya pendukung berat Ahok. Sudah saya nasihati berulangkali, tapi istri tidak mau. Ya, saya ceraikan talak satu,” katanya. Yang mendengarkan ceritanya itu pun bertakbir dan kemudian mendo’akan agar istrinya sadar mengikuti sang suami dan mereka rujuk kembali. Saya juga berbincang-bincang dengan petinggi FPI dan beberapa peserta yang datang dari daerah. Sekitar pukul 22.30 Habib Rizieq dan rombongan tiba di markas dan ĺangsung menuju rumahnya yang berlokasi di sana. Habib Rizieq dan rombongan baru pulang menyelesaikan rapat koordinasi pelaksanaan aksi demo 2-12-2016 di sebuah tempat. Rapat finalisasi, termasuk pembagian tugas shalat Jumat yang disepakati, khatibnya dari NU (pengikut Imam Syafi’i), imamnya boleh dari Muhammadiyah atau ormas Islam lain dengan cacatan, bacaan Surat Al-Faatihah harus didahului dengan bismillah yang dijaharkan. Informasi itu saya peroleh dari Ketua Umum FPI, Ahmad Sobri Lubis, saat saya dan beberapa orang diajak makan malam di sebuah restoran nasi kebuli, tidak jauh dari Markas FPI."Kita atur seperti itu Bang, karena peserta dipekirakan banyak yang berasal dari pengikut Imam Syafe'i," kata Sobri Lubis. FPI adalah pengikut mazab Imam Syafe’i yang konsisten dengan doa qunut subuh, niat pake usholli pada setiap shalat, peringatan Maulud Nabi Besar Muhammad Saw, peringatan Isyra dan Mi’raj, membaca surat Yaasin malam Jum’at, tahliĺan dan lainnya. Kalau tidak percaya datang saja ke pengajian rutin FPI yang dilakukan secara rutin setiap Ahad pertama tiap bulan dan pengajian setiap malam Rabu atau Selasa malam.(Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior.
Kompetensi dan Integritas, Tuntutan Untuk Dosen
By Dr. Elli Widia S.Pd. MM.Pd Badan dunia yang menangani pendidikan UNESCO menyerukan kepada bangsa-bangsa di dunia bahwa, jika ingin memperbaiki keadaan seluruh bangsa, maka haruslah dimulai dengan memajukan bidang pendidikan. Sebab pendidikan adalah kunci menuju perbaikan terhadap peradaban. Jakarta FNN - Kamis (21/05). Organisasi yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani pendidikan UNESCO juga merumuskan, bahwa pendidikan adalah “learning how to think” (belajar bagaimana berpikir) dan “learning how to do” (belajar bagaimana melakukan). Pendidikan juga berarti “learning how to be” (belajar bagaimana menjadi), “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar), dan “learning how to live together” (belajar bagaimana hidup bersama). Dengan demikian, pendidikan sangat penting bagi kemajuan umat manusia. Tidak sekedar merupakan “transfer of knowledge” (transfer ilmu pengetahuan). Tujuan pendidikan sesungguhnya adalah menciptakan pribadi yang memiliki sikap dan kepribadian yang positif. Sikap dan kepribadian yang positif itu, antara lain bangga memiliki kompetensi, dan bangga berdisiplin. Juga tahan mental menghadapi kesulitan hidup, jujur dan dapat dipercaya (memiliki karakter dan integritas yang baik). Suka bekerjasama dalam tim, dan memiliki pola pikir yang rasional (pola pikir unggul). Selain itu, terbiasa bekerja keras, bertanggungjawab, dan mengutamakan kepedulian terhadap sesama. Mengutamakan diskusi daripada berdebat, taat pada aturan, menghormati hak-hak orang lain. Memiliki moral dan etika yang baik, dan mencintai pekerjaan dengan sepenuh hati. Dengan demikian, setiap aktivitas belajar-mengajar sejatinya tidak hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan kepada warga didik (warga belajar). Tetapi juga membimbing mereka melalui motivasi dan contoh keteladanan yang bermuara pada pembinaan sikap, maupun etika atau moral peserta didik. Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Yang menjadi sasaran pendidikan belum dapat diwujudkan secara penuh dan komprehensif. Keadaan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Jumlah penduduk yang besar. Kondisi geografis yang luas, serta belum maksimalnya peranserta seluruh komponen masyarakat di bidang pendidikan, menjadi kenyataan yang dapat memperlambat proses pembangunan pendidikan di Indonesia. Namun patut disyukuri bahwa berbagai upaya signifikan telah dilakukan Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk mempercepat pembangunan pendidikan nasional. Penetapan anggaran pendidikan sebesar 20 prosen dari APBN maupun APBD (Sesuai pasal 31 ayat 3 UUD 1945) menjadi indikator utama dimulainya percepatan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Di sisi lain pembenahan kurikulum nasional dan penataan mutu tenaga pendidik yang simultan, diharapkan dapat membawa perubahan ke arah terciptanya manusia Indonesia yang berpendidikan. Juga bermoral, dan berdaya saing tinggi. Patut disyukuri pula, bahwa saat ini sudah banyak generasi muda di Indonesia yang berpendidikan tinggi. Mereka adalah bagian dari kalangan cerdik pandai (intelektual) yang nantinya diharapkan dapat turut menyelesaikan permasalahan bangsa. Kebangkitan Indonesia sejak masa perlawanan terhadap penjajahan Belanda juga dimotori kalangan terdidik. Meraka para mahasiswa kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), sekolah kedokteran pertama di Indonesia yang kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Presiden pertama RI Soekarno dan Tokoh Pendidikan Ki Hajar Dewantara juga pernah mengingatkan, bahwa satu-satunya cara untuk dapat mengubah nasib suatu bangsa (terutama dalam hal ini bangsa Indonesia) hanyalah melalui pendidikan. Dalam upaya memajukan pendidikan itu, sikap terbaik adalah para mahasiswa dituntut untuk terus berusaha menjadi insan yang kreatif, inovatif, dan kompetitif. Meraka memiliki integritas dan moral yang baik, karena bagaimana pun mereka adalah agen perubahan menuju perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan. Sementara itu hasrat untuk meraih pendidikan tertinggi (Ph.D) dan memiliki otoritas kepakaran (Profesorship) harus terus dipacu, yang melekat pada sistem penghargaan dan jenjang karier seorang akademisi. Dengan begitu, perguruan tinggi ke depan dapat melahirkan banyak Sumber Daya Manusia (SDM) unggul. Selanjutnya, integritas dan moral yang baik akan tercipta kalau para mahasiswa dan dosen idealnya dapat meneladani sifat-sifat kenabian. Misalnya, siddiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathonah (cerdas). Dengan begitu segenap sivitas akademika akan dapat mengimplementasikan nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan baik. Tri Dharma yang mencakup pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Saat ini ada fenomena menarik dan menggembirakan di berbagai daerah, yakni kecenderungan semakin tingginya semangat belajar generasi muda. Termasuk banyaknya karyawan yang bekerja sambil kuliah. Apapun motivasinya, ini bagus. Mereka menuntut ilmu di sela-sela tugas kantor yang menumpuk. Mereka dituntut mengatur waktu dengan sebaik-baiknya. Karena dunia mahasiswa tidak jauh dari tugas “menumpuk” yang diberikan dosen. Belum selesai tugas dosen yang satu, muncul lagi tugas dosen yang lain, dan semua tugas harus dikerjakan sesuai deadline. Selain soal manajemen waktu, tantangan lain bagi mereka yang bekerja sambil kuliah adalah masalah keuangan. Meraka harus berbagi dengan keluarga serta anak-anaknya yang umumnya juga sedang belajar. Sementara itu nasib dan hari depan suatu perguruan tinggi, baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS), dan baik yang berada di kota maupun di daerah sepenuhnya berada di tangan sivitas akademikanya sendiri. Untuk itu, kemampuan para pengelola perguruan tinggi dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi berbagai kondisi lingkungannya akan sangat menentukan kemajuan perguruan tinggi yang bersangkutan. Kalangan sivitas akademika juga harus mengubah paradigma tentang perguruan tinggi. Selama ini hanya dianggap sebagai tempat mencari ilmu di ruangan perkuliahan. Harus berubah menjadi tempat berkarya dan pengejawantahan ilmu untuk memberikan manfaat atau nilai bagi lingkungannya. Perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di manapun diharapkan dapat mendorong kemajuan masyarakat sebagai salah satu perwujudan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Selanjutnya, dalam upaya memajukan PTN maupun PTS perlu adanya otonomi yang lebih luas. Sementara itu tugas Rektorat adalah memberikan arahan, penguatan sistem dan budaya kerja. Juga memfasilitas fakultas dan program studi untuk berkembang dengan “stakeholders” (pemangku kepentingan) yang lebih luas. Sebagai contoh, Fakulats Ekonomi akan semakin lincah bergerak bila dapat memberi manfaat bagi industri dan asosiasinya melalui riset dan pengembangan yang difasilitasi Rektorat sebagai payung dan pengembang jejaring (networking). Salah satu wujud otonomi yang luas itu adalah kebebasan perguruan tinggi menyusun kurikulumnya sendiri dengan mempertimbangkan pasar di wilayah dimana perguruan tinggi tersebut berada. Tetapi perlu dicatat bahwa menurut Pasal 97 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan, kurikulum perguruan tinggi itu sendiri perlu dikembangkan dan dilaksanakan dengan berbasis kompetensi. Tidak dapat disangkal bahwa kunci kemajuan perguruan tinggi di mana pun akan lebih banyak ditentukan oleh manusianya sebagai sumberdaya utama, khususnya para dosen atau pengajarnya. Para dosen seyogyanya perlu terus belajar. Meskipun mereka telah mencapai gelar akademik tertinggi. Mereka harus merawat jejaring dengan lingkungan professional, yang dibekali akses informasi dan pengetahuan baru secara terus-menerus. Fasilitas belajar-mengajar yang dibutuhkan juga harus memadai. Termasuk ruangan untuk dosen, ruang laboratorium, dan sistem informasi (databasenya) dengan berbasis teknologi informasi. Lebih dari itu, jika direnungkan secara mendalam, jelas bahwa para dosen tidak cukup hanya perlu bekerja keras dan mempunyai kompetensi di bidangnya, tetapi yang lebih penting adalah harus memiliki integritas dan moral (akhlak) yang baik, sebab mereka adalah teladan bagi para mahasiswanya. Maka tepat apa yang pernah dikemukakan pemikir Islam terkemuka Imam Ghazali bahwa “Tidak akan sampai ke puncak kejayaan kecuali dengan kerja keras, dan tak akan sampai ke puncak keagungan kecuali dengan sopan santun (akhlak yang baik)”. Penulis adalah Guru SD Islam Nabilah dan Dosen Pascasarjana Universitas Batam.