OPINI

Malapetaka The New Normal Tata Negara

By Dr. Margarito Kamis Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidup negara ialah semangat. Semangat para penyelenggara negara. Semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tidak ada artinya dalam praktik. (Profesor Soepomo, Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945) Jakarta FNN – Rabu (27/05). Suatu malam di bulan ini mendadak terbelah oleh pernyataan Presiden mengenai mudik dan pulang kampung. Dua kata itu, tak sama menurut Presiden. Ramai dibincangkan orang. Dan belum benar-benar mengering, muncul lagi isu lain. Bangsa ini, begitu esensi pernyataan Presiden harus berdamai. Hidup berdampingan dengan corona. Belum benar-benar menghilang isu ini, datang lagi isu baru, “pelonggaran PSBB”. Ramai juga dibincankan dalam cengkeraman kebingungan dan tak percaya. Terencana atau tidak, terkordinasi atau tidak. Menjelang penghujung Ramdahan Al-Mubarakh, rakyat tercekoki lagi ke isu baru. Namanya “The New Normal.” Ditengah gelombang mencekam itu, konser amal berbaju lelang, kalau tak salah di malam Nudzulul Qur’an. Konser yang akhirnya memalukan. Hadir dengan nuansa keangkuhan yang absolut. Bung Karno dan Soepomo Suka-suka, itulah yang terlihat menjadi pola pemerintahan mengelola negara ini. Memang demokrasi memungkinkannya. Demokrasi malah akan semakin mengandalkannya, bila tampilan pemerintahan teridentifikasi rusak. Rute kongkritnya, kebijakan formil dibiarkan berada di kejauhan. Bibungkus manis dan ketat dengan simptomnya. Ketika simptomnya diyakini telah membelit rakyat, barulah kebijakan resmi yang berada di kejauhan diresmikan. Ya diberi bentuk hukum. Ini standarnya. Ini agak absolut, karena demokrasi menjadikan legitimasi sebagai jimat ampuhnya. Setelah legitimasi samar-samar terlihat mulai memasyarakat dengan meyakinkan, demokrasi segera pergi ke gudang tata negara. Dari gudang itulah, demokrasi mengambil darinya senjata mematikan. Namanya keadaan genting. Lahirlah Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang judulnya panjang sekali itu. Perpu ini angkuh seangkuh demokrasi. Kebutuhan demokrasi bekerja lagi dengan memanggil tata negara membereskan misi Perpu. Lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, yang sama dengan judul Perpu, judul PP ini juga sangat panjang. Di tengah itu, keangkuhan demokrasi membiarkan harga minyak tak kunjung turun. Semuanya terlihat new normal. Sifat new normal itu terlihat pada kedatangan Presiden ke mall Sumarecom di Bekasi. Sungguh new normal disambut dan direalisasikan Kementerian BUMN dan Kementerian Kesehatan. Kementerian BUMN telah menerbitkan Surat Edaran Nomor S-336/MBU/05/2020 Tentang Antisipasi Skenario The New Normal BUMN. Di sisi lain Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Keputusan Nomor 01.07/Menkes/328/2020 Tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri Dalam Mendukung Kelangsungan Usaha pada Situasi Pandemik. Begitulah sistem bernegara bekerja di tengah gempuran corona dengan segala efek melumpuhkannya. Begitulah bangsa ini mengelola dirinya sejauh ini. Begitulah cara bangsa ini mengidentifikasi dan menghidupkan pesan arif para pembentuk UUD 1945 dulu. Politik memang bersinggungan dengan keberuntungan. Sayangnya, bangsa besar ini tak beruntung sejauh ini. DPR, yang para pembentuk UUD 1945 andalkan untuk memastikan kekuasaan pemerintah tidak tak terbatas, sejauh ini dituntun demokrasi acak-kadul berbasis semangat persekutuan konyol mengambil jarak dari harapan pembuat UUD 1945. Sayang sekali. DPR, semoga bukan new normal. Nyatanya DPR mengambil jarak begitu jauh dari pandangan Bung Karno, Bung Hatta dan Profesor Soepomo. Pandangan Bung Karno dikemukakan pada rapat besar Panitia Perancang UUD tanggal 15 Juli 1945. Katanya, tadi telah saya menyitir perkataan Jaures, yang menyatakan bahwa di dalam liberalisme, maka parlemen jadi rapat raja-raja. Di dalam parlemen, lanjut Bung Karno, tiap-tiap wakil yang duduk sebagai anggota berkuasa sebagai raja. Dia menggugurkan rancangan-rancangan yang dibuat oleh pemerintah. Dia bisa menggugurkan minister-minister dari pada singgasananya. Tetapi pada saat yang sama ia berkuasa sebagai raja. Dia, kata Bung Karno selanjutnya, adalah budak belian dari pada si majikan. Yang bisa melemparkan dia dari pekerjaan, sehingga ia menjadi orang miskin, yang tidak punya pekerjaan. Inilah konflik dalam kalbu liberalisme, yang telah menjelma dalam parlementaire democratie-nya bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. (lihat RM. A.B Kusuma, 2004). Profesor Soepomo, dalam tanggapannya kepada Muh. Yamin tentang menteri bertanggung jawab kepada DPR, menyodorkan pendapat menarik. Kata Profesor, akan tetapi kita harus mengingat juga bahwa dalam negara-negara ini, seperti Inggris, ada partai system. Kalau pemerintah “disokong partai terbesar di parlemen, sebetulnya pemerintah itu punya kekuasaan yang beasar sekali. Oleh karena itu, profesor Soepomo melanjutkan, orang seringkali mengatakan bahwa di Inggris itu ada dictatorial stelsel dari Menteri, terutama diktatur dari Perdana Menteri. Kita, kata Profesor, memakai sistem sendiri, sebagaimana dikatakan oleh tuan Sukiman. Sistem itu ialah kepala negara tak tunduk pada Badan Perwaklilan Rakyat (BPR). Tetapi bertanggung jawab sepenuhnya kepada MPR. Apa yang bisa dimaknai dari pandangan hebat-hebat ini? Itu hebat untuk old normal. New normal lain lagi. Hindarkanlah MPR hasil perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali 1999-2002, sudah lain dari yang lain. Sifat tertingginya telah tersapu cinta buta demokrasi. MPR dulu telah melayang, terbang entah kemana. MPR itu telah terkubur. MPR itu telah masuk kedalam kubangan tipu-tipu canggih demokrasi liberal. MPR sekarang tak lagi menjadi lembaga yang padanya pertanggung jawaban Presiden ditujukan. Hebatnya sistem presidensial hasilperubahan UUD 1945, persis Amerika. Presiden tak bertanggung jawab pada DPR, juga tak bertanggung jawab pada lembaga apapun. Sempurna liberalismenya. Presidensialisme Indonesia hasil perubahan UUD 1945 beroperasi dalam rimba raya partai politik. Presidensialisme hasil pemilu 2019, beroperasi dalam topangan buta mayoritas partai di DPR. Tetapi memang demokrasi selalu begitu. Demokrasi tak dapat memaksa parpol untuk tertib tunduk pada pesan-pesan arif pembuat UUD. Hasilnya? New normal. Mengerikan. Hak budget, yang merupakan mahkota DPR dimanapun di dunia ini, dilepas dengan senang hati. Mungkin juga sukacita. Presidenalisme bekerja superefektif, mendekati tak terbatas. Presidensialisme dibiarkan bekerja secara independen. New normal, tak memungkinkan DPR diminta. Misalnya, mengoreksi iuran BJPS, juga harga minyak. Ini new normal. Yang paling mungkin adalah memanggil doa. Berdoalah agar tampilan persekutuan angkuh ala demokrasi busuk ini berubah. Tidak semakin membuat suram tata negara ini. Tak usah dikuasi ketakutan. Tapi mari berdoa semoga “new normal” tidak terus-terusan membuat “kritik terhadap pemerintah disamakan dengan memfitnah, menghina, lalu dipenjara”. Berharaplah kepada Allah Subhanahu Azza wa Jalla agar DPR dan Presiden tahu bahwa impian bernegara secara modern, berutang banyak pada norma hukum alam tentang kemuliaan manusia. Manusia adalah mahluk ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala. Hukum alam menggariskan, manusia tidak bisa direndahkan untuk alasan dan kepentingan apapun. Ini memompa energi kemanusiaan Sir Edward Coke, yang kala itu menjabat sebagai Chief Justice of King Bens menantang raja James I. Coke lalu mengambil sudut oposisi tulen terhadap Raja James I. Raja ini telah terbakar ambisi dan keangkuhan, sehingga selalu ingin menaklukan parlemen. Ketika James I meminta kepada parlemen mengotorisasi dana sebesar E500.000, tenyata parlemen hanya menyetujui E160.000. Raja marah. Tidak cukup untuk membiayai perang dengan Spanyol. Lalu dengan hak prerogativenya, James memaksa parlemen memberi penjelasan, dan memperbesar jumlahnya. Celaka, parlemen menolak. Marah terhadap sikap parlemen, menurut Charles J. Reid dalam buku “The Sevententh-Century Revolution in the English Law, mengakibatkan James I membubarkan parlemen. Ini terjadi tahun 1621. Menariknya, hingga kekuasaannya berakhir tahun 1625, parlemen tetap tak memenuhi permintaannya. Penerusnya, Charles I yang berkuasa tahun 1626 segera merehabilitasi parlemen. Tetapi parlemen tak pernah mau tunduk prerogatifnya di bidang keuangan. Sepanjang 1626-1629, Charles mengadakan empat kali pertemuan dengan parlemen, dan setiap kali pertemuan selalu penuh badai. Indonesia Seperti Abad 17 Berakhirkah oposisi Sir Edward Coke terhadap kerajaan? Tidak. Menurut C. Perry Petterson dalam artikel The Evolution of Constitutionalism, dimuat pada Jurnal Minesotta Law Review Vol 32, Nomor 5, Coke membuat draft Petition of Rights 1628. Dalam doktrin Amerika, petition ini membatasi kekuasaan raja. Perkara yang membawa Coke berhadapan dengan James adalah kerajaan melarang Bonham, dokter lulusan Cambridge University berpraktek di London sebelum mendapat licency dari Royal Colege of Psysican. Bonhan menolak. Colege, yang menurut Act of Parliement 1610, diotorisasi bertindak atas nama kerajaan, memeriksa dan menghukum Bonham. Coke mengeritik kerajaan atas tindakan itu. Argumennya, undang-undang ini bertentangan dengan common law. Menurut Coke, UU ini harus dikesampingkan, direview karena bertentangan dengan common law. Ini terjadi 1614. (Lihat R.H. Helmolz, dalam Bonhan Case, Judicial Review and The Law of Nature, Jurnal of Legal Analisis Vol 1, Nomor 1, 2009). James I masih beraksi lagi. Atas nama prerogative, dia menghukum Edmund Peachem, anti royal. Dia dihukum mati dengan tuduhan high treason, kejahatan berat. Apa kejahatannya? Setelah mati, penyelidikan kerajaan menemukan catatan Peachem yang belum didistribusikan, apalagi dicetak. Isinya mengeritik kerajaan. Sebagaimana kritik, anda tidak menemukan kata-kata arif di dalamnya. Tetapi catatan itu membuat James I mengkhawatirkan kelangsungan kekuasaannya. Kurang dari sembilan minggu setelah itu, mulai tersibak gairah parlemen menghentikan, “hak prerogatif” raja dalam bidang keuangan. Coke mengeras melawan kerajaan, karena menemukan kenyataan cara kerajaan menyelidiki, memeriksan Peachem dinilai bertentangan dengan hukum alam. Setidaknya common law. Coke berpendapat, sekalipun pengadilan berada dalam kekuasaan kerajaan, tetapi hakim memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan secara mendalam. David Colclough, Cyntia Clegg dan sarjana lainnya menggambarkan kasus ini sebagai masalah sentral kebebasan berpendapat dan pencetakan pada abad ke-17 dalam kerangka kebebasan berpolitik. David Zert disisi lain menggambarkannya sebagai balada kebebasan berbicara pada era pertumbuhan demokrasi (Lihat Tod Butler, The Cognitive Politics of Writing in Jacobean England: Bacon, Coke, and the Case of Edmund Peachem, Pensilvania Univ. Press, 2016). Indonesia hari ini terlihat berada sangat dekat dengan praktik tipikal abad 17 itu. Mengeritik kebijakan, disamakan dengan mengeritik pribadi pejabat negara. Dengan semangat yang mirip, pemerintah menempuh cara, entah apa namanya, menangguhkan sementara Dana Bagi Hasil DKI Jakarta. Demokrasi tak memberi tempat untuk bersedih. Tetapi mari ingatkan DPR untuk meresapi pesan Profesor Soepomo. Katanya pada rapat besar Panitia Perancang UUD 1945 tanggal 15 Juli 1945, “Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidup negara, semangat penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan.” Semangat apa? Bukan semangat liberal, bukan pula semangat gotong royong tanpa arah. Semangat kemanusiaan yang adil dan beradab. Semangat mengayomi rakyat, tanpa pandang asal-usul, kekuatan ekonomi dan sejenisnya. Itulah semangat yang didambakan Soepomo dan kawan-kawan. Sedetik saja semangat ini melayang, maka the new normal, dengan “the new norm-nya” menjadi malapetaka buat bangsa ini. Serpihan-serpihan new norma yang dihasilkan oleh new normal dibidang tata negara saat ini, untuk alasan kesehatan bangsa ini, harus dihindarkan. Semoga. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate.

Segera Terbit Buku Corona Dua Bab: BAB 1 NEW NORMAL, BAB 2 HERD IMMUNITY

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Komunitas virus Corona sedang gembira-ria. Mereka senang mendengar bahwa tak lama lagi akan terbit Buku Corona. Buku ini akan menguraikan kepada mereka tentang cara untuk menulari manusia lebih gencar lagi. Di Indonesia, komunitas virus Covid-19 tengah bersiap-siap menyambut peredaran buku yang sangat mereka tunggu-tunggu itu. Para penguasa sedang merampungkan naskah finalnya. Siap cetak. Para pemuka Corona saat ini sedang banyak menggelar “book review” (bedah buku) untuk naskah Buku Corona Dua Bab itu. Berikut hasil bedah naskah buku dua bab tsb. BAB 1: NEW NORMALPara pakar di masyarakat Corona berpendapat New Normal (Kelaziman Baru) yang akan diberlakukan pasca-PSBB masih akan menyulitkan mereka untuk menulari manusia secara massal. Sebab, panduan New Normal akan menganjurkan dengan sangat agar orang selalu memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan sesering mungkin. A. Pakai MaskerHari-hari dan minggu-minggu pertama setelah selesai PSBB, orang masih akan memakai masker. Minggu ketiga atau bahkan minggu kedua, orang akan mulai mengabaikannya. Anggap enteng. Kalau teringat, dipakai. Kalau lupa, lanjutkan saja. Pada tahap seperti ini, para komandan Corona akan memberikan aba-aba kepada pasukannya agar memanfaatkan sikap abai masker itu untuk melancarkan agresi. Para ahli strategi di komunitas Corona memperkirakan peluang penularan menjadi lebih terbuka. B. Jaga JarakManusia mulai merasa letih dengan jaga jarak. Toh, ‘tidak ada masalah’ kalau tak jaga jarak. Nah, ditambah dengan abai masker, berarti sosok manusia-manusia yang malas menjaga jarak semakin menggiurkan bagi virus Corona. Abaikan masker, bosan jaga jarak. Semakin terbuka lebar ekspansi teritorial. C. Cuci TanganKalau sudah sering tak pakai masker dan tak peduli jarak, pastilah akan berdampak ke kebiasaan cuci tangan juga. Apalagi, misalnya, fasilitas untuk ini belum tentu tersedia di setiap lokasi. Lagi pula, cuci tangan sering harus antri panjang. Entah di mana pun itu. Buang-buang waktu. “Ah, sudahlah. Sekali ini tak usah cuci tangah dulu.” Diperkirakan akan berlanjut esok hari dan seterusnya. Jadi, para pemuka Corona berkesimpulan bahwa Bab 1 ini akan membuka peluang baru. Yaitu, peluang menggencarkan kembali ‘browsing’ mereka untuk mencari mangsa yang berposisi ‘sitting duck’ setelah manusia melakukan hal-hal yang dijelaskan di sub-bab 1-A, 1-B, dan 1-C di atas. Begini kira-kira prediksi para pemuka Corona yang membedah Bab 1. Menyenangkan. Peluang bagus. Bisa meningkatkan target penularan. Dan pasukan Corona siap 24 jam. BAB 2: HERD IMMUNITYTetapi, yang paling ditunggu-tunggu adalah Bab 2. Tentang Herd Immunity. Yaitu, lanjutan logis dari Bab 1 yang berisi New Normal tadi. Bagi komunitas Corona, New Normal adalah ‘pengantar’ menuju Herd Immunity. Yaitu, proses untuk ‘membeli’ kekebalan alami dengan korban yang tak terduga berapa banyaknya. New Normal dan Herd Immunity adalah dua sisi di satu keping uang logam. New Normal adalah ‘halaman depan’ slaughtering house’ (rumah jagal) yang disiapkan sendiri oleh para penguasa. Para pemuka komunitas Corona menyebut rumah jagal itu dengan istilah Herd Immunity (HI). Bab 2 inilah yang mereka tunggu-tunggu. Setelah panduan-panduan Bab 1 berjalan lancar, itu berarti implementasi Bab 2 bakal seru. Yes! Karena, HI adalah bentuk ‘natural selection’ (seleksi alam) yang prosesnya akan diserahkan sepenuhnya kepada virus Corona. Suka-suka mereka. Yang bisa bertahan, selamatlah. Yang tak sanggup, selamat jalan. Bab 2 ini tidak punya sub-bab. Tidak seperti Bab 1, New Normal. Sebab, kata para pemuka Corona yang membedah buku ini, proses seleksi alam tidak bertele-tele. Pasalnya, semua mangsa tidak lagi menganggap penting Bab 1 di atas. Tugas virus semakin mudah. Sebagai penutup, resensi buku ini menyimpulkan bahwa Buku Corona Dua Bab itu memerlukan penambahan satu bab lagi. Supaya sempurna. Para pemuka Corona yang membedah buku berpendapat, secara otomatis harus ada Bab 3. Yaitu, bab tentang Kuburan Massal. Mereka akan mengusulkan kepada para penulis Buku Corona Dua Bab agar mencantumkan hal-ihwal Kuburan Massal itu.[] 27 Mei 2020(Penulis Wartawan Senior)

New Normal Atau New Mortal

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (27/05). New normal tentu berbeda dengan old normal. Pak Jokowi melempar istilah ini untuk melewati eranya pandemi covid 19. Bermula tentu saja dari Kemenkes atau bahkan dunia. Namun sayngnya, pemaknaannya belum jelas. Masih kabur. Sepertinya Pak Jokowi asal "nyeletuk" saja. Sama seperti dahulu Pak Jokowi asal “nyelutuk” tentang penerapan darurat sipil. Juga pernah “nyelutuk” atau pernah juga manipulator agama. Ada up normal ada juga para normal atau abnormal. New normal itu mungkin saja kehidupan normal model baru. Mantan covid atau bersama dengan covid. Kecenderungannya "berdamai" bersama covid 19. Pak Jokowi mulai dating membuka-buka mall. Hanya Masjid saja yang masih dinggap "abnormal". Mesjid masih tutup. Dalam pilihan ini, namanya herd immunity. Suatu kebijakan yang terbilang kacau, karena Presiden lebih mendahulukan kehidupan bisnis dibanding ancaman kesehatan. “Indonesia terserah Presiden saja, “kata Ahli Hukum Tata Negara, Dr. Margarito Kamis (fnn.co.id 27/05). Akhirnya, terserah mau-maunya Presiden saja lah. Mau PSBB ya silahkan. Perppu korupsi ya mangga. Darurat kesehatan juga monggo. Mau new normal lanjut. Pake para normal juga dipersilahkeun. Terserah Presiden saja. Negara dianggapnya punya Presiden ini. Rakyat mah ngga pada ngarti. Mereka cuma bisanya nrimo. Nggak menanam sayur ya oke. Terima impor sayur dari Cina, ya good saja. BPJS dinaikin, ya disuruh bahagia. Harga BBM tidak turun, juga ngga apa-apa. Yo wis, terserah bapak Presiden saja. Mau serius please. Mau planga-plongo juga ngga peduli. Sekarepe dewe wae. New normal itu diada-adakan saja. Covid 19 masih mengacak-acak perasaan manusia. Dokter dan tenaga medis masih sangat khawatir.Meraka yang ODP dan PDP belum stabil. Kalau sampai New normal gagal, Presiden harus ambil risiko. Siap dengan segala resiko ya. Jangan salahkan siapa-sipa. Jangan juga sampai Presiden salahkan rakyat atau tenaga medis. Tetapi pertanyaannya, apakah rakyat masih merasa punya Presiden ? Yang ada seleb yang dipaksakan muncul dan disubur-suburkan. New normal itu sama saja mendeklarasi sudah tidak ada lagi bencana nasional. New normal itu menyelesaikan PSBB. New normal adalah ilusi tentang situasi yang sudah kembali normal. Seperti di negeri khayalan. New nor mall adalah pastinya. Mall yang resmi dibuka dimana-mana. Kepentingan pengusaha yang didahulukan. Mahfud MD masih saja teriak-teriak agar Masjid tetap tutup. Mengaitkan dengan Iran yang ribuan jamaah masjid mati tertular. Tidak relevan sebab di Iran juga banyak pejabat yang mati juga. Lagi pula, kehidupan beragama kaum syi'ah Iran itu berbeda dengan kaum muslimin pada umumnya di dunia. Bedanya seperti langit dan bumi Sekarang Pak Mahfud MD cobalah teriak soal kebijakan new normal yang membuka mall, bandara, atau lainnya. Tegur dong Pak Presiden kalau berani. PSBB yang diinjak-injak demi bisnis yang harus hidup. Menkopolhukam harus berlaku adil bagi seluruh warga negara. Ketika Covid 19 belum tuntas teratasi, maka belum waktunya untuk kebijakan new normal. Pilihan masih berat. Jangan-jangan karena tergesa gesa melangkah dengan new normal, justru yang terjadi adalah new mortal. Kebrutalan baru. Kematian baru. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Mengapa Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi? Tahukah Siapa Pemiliknya?

Oleh: Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Maaf saya menyangsikan tujuan kunjungan Presiden Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi dalam rangka persiapan "New Normal" pasca pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Baiklah, sebelum membahas itu, saya awali uraian ini dengan menjawab pertanyaan atas judul tulisan ini. Ya, mengapa Presiden Jokowi hari Selasa siang (26/5) tiba-tiba mendatangi Mall Summarecon Bekasi? Padahal di Bekasi paling tidak ada dua mall besar lainnnya yang terletak di lokasi strategis yakni Metropolitan Mall dan Grand Metropolitan. Tahukah Anda siapa pemilik Summarecon Mall Bekasi? Dia adalah pengusaha properti Sutjipto Nagaria (79). Sutjipto adalah pendiri sekaligus pemilik PT Summarecon Agung Tbk (SMRA). Selain di Bekasi, produk perusahaan properti yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini juga terdapat di Kelapa Gading Jakarta Utara, Serpong Tangerang, dan Bandung Jawa Barat. Keberadaan mall yang dibangun Summarecon merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari produk properti lainnya yakni kawasan perumahan dan apartemen yang dibangun secara terpadu dalam satu kawasan. Mari kita lihat kinerja keuangan perusahaan properti ini. Pada tahun 2019, pendapatan PT Summarecon Agung Tbk sebesar Rp 5,94 Trilyun sedangkan laba bersihnya Rp 514 Milyar. Sedangkan liabilitas (utang) perseroan sepanjang tahun 2019 naik 5,2 persen menjadi Rp14,99 triliun dibandingkan tahun sebelumnya Rp14,23 triliun. Jajaran Orang Terkaya Meski utang perusahaan besar, tahun 2015, Sutjipto Nagaria pernah masuk dalam jajaran orang terkaya versi Forbes dengan total kekayaan 400 juta dollar AS atau Rp 6 Triliun dengan kurs Rp 15.000 per dollar AS. Kembali pada kunjungan Presiden Jokowi. Sebenarnya ada wabah atau tidak ada pandemi Covid19, kunjungan Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi telah memberi manfaat langsung dan keuntungan bagi perusahaan. Jika melihat perdagangan di BEI hari Selasa (26/5), harga saham PT Summarecon Agung Tbk naik 4,31 persen menjadi Rp 436 per saham. Berdasarkan pengalaman saya sebagai wartawan ekonomi selama 20 tahun khususnya liputan di bidang properti, naik turunnya harga saham selain ditentukan faktor teknikal juga dipengaruhi faktor psikologis. Dalam situasi pasar keuangan global yang sedang lesu seperti saat ini, kunjungan Presiden Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi telah memberikan sentimen positif terhadap kenaikan saham Summarecon Agung. Dari sisi teknikal, nyaris tidak ada faktor positif yang bisa mendorong kenaikan harga saham PT Summarecon Agung. Mengapa ? Karena secara umum industri properti saat ini juga sedang lesu. Kini penjualan berbagai produk properti pada umumnya menurun. Penjualan rumah, apartemen, kondominium serta produk properti komersial lainnya, sekarang sedang menukik tajam. Dalam situasi wabah Covid19 ini, masyarakat lebih mengutamakan kebutuhan pangan dan sandang ketimbang keperluan papan (perumahan). Keadaan tersebut diperparah dengan pemberlakuan PSBB. Sebab dengan adanya PSBB, hampir semua pusat perbelanjaan modern juga harus tutup kecuali untuk tenant yang menjual kebutuhan pangan. Oleh karena itu sekali lagi saya agak meragukan tujuan kunjungan Presiden ke Summarecon Mall Bekasi dalam rangka persiapan pemberlakuan "New Normal" pasca PSBB. Apalagi Menko Polhukam Mahfud MD sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara menyatakan kebijakan “New Normal” di tengah pandemi virus corona (Covid-19) baru sebatas wacana dan belum ada keputusan resmi dari pemerintah. "Sekarang ini pemerintah, saya katakan sebagai Menko Polhukam, ada wacana, belum keputusan wacana bagaimana tentang new normal ini," kata Mahfud dalam sambutannya di acara Halal bi Halal IKA UNS yang disiarkan di kanal Youtube Universitas Negeri Sebelas Maret, Selasa (26/5). Kalau kebijakan “New Normal” masih wacana, lalu tujuan kunjungan Presiden Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi untuk apa? Apalagi perpanjangan pemberlakuan PSBB di Kota dan Kabupaten Bekasi, Kota Depok dan Kota serta Kabupaten Bogor baru akan berakhir tanggal 29 Mei 2020. Memang seharusnya PSBB di lima wilayah kota dan kabupaten Bodebek itu berakhir Selasa (26/5/2020). Namun, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil melalui Keputusan Gubernur yang ia teken pada 19 Mei 2020 meminta agar PSBB wilayah Bodebek menyelaraskan diri dengan periode PSBB Jawa Barat. "PSBB Tingkat Daerah Provinsi Jawa Barat dalam rangka Percepatan Penanggulangan Covid-19 dilanjutkan dengan skala proporsional sampai dengan tanggal 29 Mei 2020," tulis Ridwan Kamil sebagaimana diberitakan portal berita Kompas. Dari kunjungan Jokowi ke Summarecon Mall Bekasi, terkesan penguasa bersikeras untuk sesegera mungkin memberlakukan “New Normal” (baca membuka mall). Padahal, kurva belum melandai? Padahal kebijakan yang sekarang saja amburadul? Menurut Ustadz Yudha Pedyanto, sejatinya “New Normal” adalah tuntutan para kapitalis dan pemilik modal. Mereka tidak mau terus merugi. Para pemilik mall, para pemilik jaringan hotel besar, para pemilik maskapai penerbangan, para pemilik raksasa migas, mereka yang selama ini "sakratul maut" akibat pandemi berusaha untuk bangkit kembali. Tentu saja mereka tinggal menekan para penguasa beserta kroni mereka. Toh mereka dulu jadi penguasa lewat pemilu yang kemarin di-support penuh oleh para kapitalis tersebut. Wallohualam bhisawab. Penulis Wartawan Senior.

RUU HIP Membuat Negara Terancam Bubar

By Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Selasa (26/05). Tulisan ini adalah ringkasan surat berkenaan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP), yang saya layangkan 12 Mei 2020 kepada para Ketua Fraksi di DPR RI. Bila disahkan menjadi UU, hemat saya, akan sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesepakatan luhur kita akan buyar dan Indonesia terancam bubar. Masyarakat wajib hukumnya untuk mengetahui RUU yang sangat membahayakan bangsa dan negara Indonesia ini. Tidak boleh tidak tahu. RUU ini saya sebut saja “RUU HIP”. Sedikitnya ada lima alasan utama dan mendasar kenapa RUU HIP mutlak harus ditolak. Pertama, alasan untuk membentuk UU HIP terasa sangat mengada-ada. Dalam konsideran RUU HIP disebutkan, “UU HIP perlu dibentuk sebab belum ada UU dalam bentuk Haluan Ideologi Pancasila sebagai landasan hukum untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat guna mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945”. Sangat aneh. Apakah selama 74 tahun Indonesia merdeka, penyelenggara negara melaksanakan tugasnya dengan tanpa landasan hukum Ideologi Pancasila? Lalu, apa artinya “Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara”? Atau, apakah hukum dan perundang-undangan yang berlaku selama ini tidak sesuai dengan Pancasila ? Bukankah semua pejabat negara disumpah untuk setia dan melaksanakan Pancasila ? Bukankah HTI “dibubarkan”, dan FPI tidak diperpanjang tanda terdaftarnya karena persoalan ideology Pancasila ? Alasan ini sungguh-sungguh membingungkan dan menyesatkan. Pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945, adalah UUD 1945 itu sendiri. Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar bagi tata kelola sekaligus penunjuk arah atau haluan pembangunan Negara Indonesia. UUD 1945 dilahirkan dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Batang tubuh UUD 1945 seluruhnya merupakan pengejawantahan dari nilai-nila jiwa dan semangat Pancasila, dalam bentuk UU sebagai landasan hukum bagi mencapai tujuan bernegara. Oleh sebab itu, UUD 1945 adalah merupakan “Haluan Ideologi Pancasila. Dus, tidak perlu dan tidak butuh adanya UU HIP. Kedua, kehadiran UU HIP dapat menimbulkan kekacauan tata hukum nasional. Secara hirarki, UU HIP seharusnya ada di bawah UUD 1945. Konsideran untuk membentuk UU HIP adalah berupa Ketetapan-ketetapan MPR, sehingga UU HIP boleh diartikan sebagai derivasi dari Ketetapan-Ketetapan MPR itu . Dilihat dari objek hukumnya, yaitu Pancasila yang diundangkan sebagai haluan ideologi, UU HIP dapat dipandang sebagai “Makna Pancasila”. Dalam penerapan, kedudukannya bisa setara dengan UUD 1945. Bahkan dapat berada di atas UUD 1945, karena UU HIP dapat dimaknai sebagai Pancasila itu sendiri. Dengan demikian UU HIP dapat menjadi sumber dari segala sumber hukum negara. Bahkan UUD 1945 pun harus tunduk pada UU HIP, karena berada di bawahnya. Bagaimana realitasnya nanti, akan sangat tergantung pada penafsiran yang dibuat oleh penguasa. Ini sangat berbahaya. Pandangan saya ini tergambar jelas pada BAB II pasal 4 RUU HIP tentang fungsi Haluan Ideologi Pancasila, yang sesungguhnya adalah merupakan fungsi dari UUD 1945. Inilah bunyi Pasal 4 tersebut, Haluan Ideologi Pancasila memiliki fungsi sebagai : Pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan Pembangunan Nasional, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan mewujudkan mekanisme kontrol di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pendidikan, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berketuhanan; Ketiga, RUU HIP ini sungguh-sungguh sangat aneh. Di dalam konsideran tidak disebutkan legalitas Pancasila sebagai dasar falsafah negara. Yang demikian ini mengakibatkan ketidakjelasan tentang Pancasila yang menjadi objek yang akan diundangkan. Bicara Pancasila, tentu saja kaitannya dengan dasar falsafah negara. Dengan demikian, harus merujuk pada alenia ke 4 Pembukaan UUD 1945. Hal ini dipertegas kembali dalam Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998, khususnya pada Pasal 1. Dasar hukum Berlakunya Pancasila dan UUD 1945 saat ini, adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Oleh karena itu, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 wajib masuk dalam konsideran. Yang demikian itu, agar jelas dan teranglah Pancasila yang mana yang dimaksud oleh RUU HIP itu. Perdebatan-perdebatan akademik dan demokratis di dalam Majelis Konstituante menjelang lahirnya Dekrit 5 Juli 1959, juga akan memberi keterangan yang lebih jelas tentang Pancasila yang dapat diterima semua golongan bangsa ini. Maka, mengabaikan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dalam melahirkan UU apa pun soal Pancasila adalah cacat hukum. Tidak sah dan akan berujung pada kekacauan. Konsideran penting yang menjadi dasar pertimbangan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu, sehingga diterima semua kalangan adalah : “…bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Apa makna konsideran tersebut ? Perdana Mentri Djuanda, Kepala Pemerintahan saat itu menjelaskan bahwa jiwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Pancasila adalah jiwa Piagam Jakarta. Dengan demikian “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimaknai sebagai “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (lihat Deliar Noer : Partai Islam Di Pentas Nasional, Cet II, 2000 dan Lukman Hakiem : Biografi Mohammad Natsir, 2019). Keempat, pada Pasal 6 ayat (1) RUU HIP disebut bahwa Sendi Pokok Pancasila adalah keadilan sosial. Pada Pasal 7 ayat (2), Ciri Pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Pada ayat (3),Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Pasal ini membuat keanehan yang sangat serius. Pancasila apa yang dimaksud oleh RUU HIP, yang memiliki sendi pokok keadilan sosial dan ciri pokoknya adalah dapat diperas menjadi Trisila dan selanjutnya Ekasila, yaitu gotong-royong? Jika yang dimaksud adalah Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 145, yang berlakuannya atas dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka sendi utamanya (kalau mau pakai istilah ini) adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan keadilan sosial. Keadilan sosial adalah satu prinsip dari lima prinsip (Pancasila), yang harus diperjuangkan untuk diwujudkan. Ia adalah mimpi bangsa Indonesia merdeka yang belum dimiliki. Simaklah baik-baik akhir aline ke 4 Pembukaan UUD 145 itu: “...serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Frasa “dengan mewujudkan” memberi arti bahwa keadilaan itu adalah sesuatu (mimpi yang belum terwujud) yang masih harus digapai. Bagaimana menjadikan sesuatu yang masih ada dalam mimpi sebagai sendi? Perdebatan di BPUPKI pada persidangan 29 Mei hingga 1 Juni 1945 dan di Majelis Konstituante hingga keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sesungguhnya bertumpu pada “posisi Tuhan dalam negara”. Pada waktu Sidang BPUPKI, golongan nasionalis sekuler menghendaki negara ini berdasarkan sekuler, dimana Tuhan menjadi urusan pribadi masing-masing. Tidak dibawa ke dalam urusan bernegara. Ketika itu golongan Nasionalis Islamis menghendaki berdasakan Islam, dimana hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak lepas dari nilai-nilai agama). Perdebatan ini terjadi karena masyarakat pada masa sebelum merdeka pun, telah memiliki Tuhan dan menjadikan-Nya sebagai tempat bergantung satu-satunya. Tinggal lagi, dimana Tuhan Yang Maha Segala itu ditempatkan dalam berbangsa dan bernegara? Itulah soalnya. Kompromi terakhir tentang landasan falsafah negara itu ialah rumusan seperti dalam Pembukaan UUD 45 yang terjadi pada 18 Agustus 45, yakni rumusan Piagam Jakarta minus tujuh kata, “dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Negara bukan berdasarkan Islam, tapi juga bukan berdasar sekuler. Tuhan di tempatkan sebagai Causa Prima. Istilah ini datang dari Bung Karno. Tuhan menjadi jiwa seluruh sila dari Pancasila, termasuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah kesepakatan luhur yang diterima semua komponen bangsa dengan suka cita ketika itu. Jadi, negara ini lahir atas dasar kesepakatan. Landasan falsafah negara merupakan kesepakatan bersama. Menjadi titik temu, common platform bagi semua aliran politik yang ada. Sendi pokok landasan falsafah negaranya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan Trisila. Bukan pula Ekasila dan Gotong-royong. Maknya DPR jangan ngaco, dongo, dungu dan beleng-beleng. Negara ini akan tetap teguh dan eksis bila Ketuhanan Yang Maha Esa tetap ditempatkan sebagai Causa Prima. Sebagai yang menjiwai sila-sila lainnya dalam Pancasila. Akan bubar, bila posisi Ketuhanan Yang Maha Esa digeser atau dikerdilkan. Itulah arti sendi Utama. Berbeda dengan keadilan sosial, sebagai cita-cita bangsa, bila belum tercapai. Tetapi bukan karena kedzaliman penguasa, negara tidak akan bubar. Selanjutnya, ciri pokok (kalau juga mau menggunakan istilah ini) rumusan final Pancasila sebagai termaktub dalam Pembukaan UUD 145, adalah bahwa sila-sila dalam Pancasila. Merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, tidak dapat dan tidak boleh diperas-peras menjadi Trisila. Apalagi Ekasila. Pemerasan Pancasila menjadi berapa sila pun akan menghancurkan Pancasila itu sendiri. Juga menghancurkan kesepakatan luhur kita dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila yang dapat diperas menjadi Trisila dan kemudian menjadi Ekasila , yakni Gotongroyong adalah gagasan Bung Karno pribadi, yang disampaikan pada Sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Itu bukan kesepakatan. Melainkan baru berupa usulan dari Bung Karno seorang diri. Sama dengan usulan-usalan lain yang disampaikan oleh para tokoh lainnya. Jadi, RUU HIP menggunakan objek Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya. Pancasila yang masih berupa usulan. Pancasilan yang masih gagasan di awan-awan. Bila disahkan menjadi UU, maka UUD HIP akan kehilangan konteks hukum di negara Indonesia. Itulah yang saya sebut tidak sah. Para anggota DPR RI yang terhormat sedang menyeret bangsa ini ke masa-masa sebelum merdeka. Masa-masa perdebatan tajam soal dasar falsafah negara. Tepatnya masa-masa persidangan di BPUPKI. Para anggota DPR RI sedang mengurai benang yang telah ditenun menjadi kain oleh the founding fathers menjadi benang-benang yang tercerai berai kembali. Maka dalam hal ini, para angggota DPR RI telah dengan sengaja melanggar konstitusi. Menghianati kesepakatan luhur bangsa tentang Pancasila. memanipulasi isi dan ruh Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, dengan isi Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya. Artinya, casing tetap Pancasila tapi isinya telah diganti oleh para anggota dewan. Ini kejahatan yang membahayakan nyata kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik Ideologi akan membara dan NKRI bisa bubar. Setidaknya, Indonesia akan tumbuh menjadi negara lain yang berbeda. Yang tercabut dari akar sejarah dan cita-cita pendirinya . Casingnya tetap Indonesia, tapi manusia dan budayanya telah menjadi sesuatu yang lain. Sama juga artinya Indonesia sudah bubar. Kelima, Tuhan dalam RUU HIP telah dikrangkeng, lalu menghilang. Tuhan adalah sub ordinat dari kebudayaan. Ini benar-benar gelo, ngaco, dongo, dungu dan beleng-beleng. Coba lihatlah Pasal 7 ayat (2), “Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan”. Pertanyaannya, Tuhan siapa yang berkebudayaan itu wahai anggota DPR yang ngaco, dongo, dungu dan beleng-beleng? Apakah kita akan mengukur sifat ketuhanan dengan kebudayaan ? Tuhan dikerangkeng dalam Trisila. Selanjutnya menghilang di Ekasila. Tidak salah bila banyak pihak mencurigai RUU HIP ini berbau komunis. Kalau begini rakyat harus siaga satu. Terlalu banyak alasan untuk menolak RUU HIP ini. Tetapi lima poin di atas kiranya cukup bagi anggota dewan untuk tidak mensahkannya menjadi UU. Saya mengajak para tokoh masyarakat kaum intlektual dan pimpinan Ormas yang setia pada Pancasila untuk bersama-sama menolak RUU HIP ini. Penulis adalah Ketua Gerakan Islam Pengawal NKRI

Islam Tidak Boleh Dikalahkan, Ayo Lawan

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (26/05). Setelah berpuasa sebulan penuh, kini umat Islam menunaikan misi lanjutan. Misi tersebut sebagai bukti suksesnya melasanakan ibadah selama Ramadhan. Sebagai Mu'min, ia mengemban dua amanah, yaitu amanah ibadah dan amanah khilafah. Amanah ibadah telah dijalankan melalui ketaatan 'maghdhah' nya. Amanah khilafah adalah bekerja mengelola dan memakmurkan bumi dengan sebaik-baiknya. Menyatakan tidak kepada korupsi, suap, zalim, licik, tamak, curang dan maling. Semua itu harus dilawan. Apapun resikonya. "Qum Fa anzir"--Bangun dan beri peringatan. Tugas mulia adalah bangun dan membangunkan manusia. Agar selalu sadar bahwa manusia itu berada dalam kelalaian dan terjebak di kehidupan remang-remang ataupun hitam. Dalam kegiatan budaya, ekonomi, politik maupun agama. Peringatan adalah cahaya. "Wa Robbaka fakabbir"--Besarkan asma Allah. Hanya Allah SWT yang besar. Yang selain Allah, kecil semua. Tidak ada persoalan besar dan berat dalam pandangan Allah. Kita hanya diuji untuk menghadapinya. Solusi ada pada-Nya. Agama harus dibesarkan. Syari'at-Nya mesti dimuliakan. Menghina atau meminggirkan agama akan berakibat pada kemurkaan Allah. Kehidupan yang sulit dan sangat pahit. "Wa tsiyaabaka fathohhir"--Pakaian bersihkan. Pakaian itu performance. Dalam bahasa agama adalah akhlak. Akhlak yang mulia. Pakaian sendiri dan pakaian orang lain yang harus dibersihkan. Membangun peradaban yang bersih dan mulia. Buang kultur korupsi, suap, zalim, licik, tamak dan lainnya. Pada masyarakat yang berbudaya, curang maling, korupsi, suap, zallim, tamak dan licik adalah masyarakat yang berpakaian kotor, jorok, dan compang-camping. "Wa rujza fahjur"-- Hapuskan dosa Hati suci menjadi modal akhlak yang bagus. Dzikrullah dan istighfar untuk jalan penyucian diri. Dengan hati yang suci, terbina tatanan yang beradab. Beda hati dan amal menyebabkan diri dan pemimpin berwatak tukang bohong, munafik, dan riya. Citra yang palsu dengan blusukan. "Wala tamnun tastaktsir"-- Jangan pragmatis. Dalam perjuangan memang perlu kalkulasi. Tetapi hitungan matematika tidak menjamin kemenangan. Dalam sejarah, jumlah yang kecil bisa menghancurkan yang banyak. Ada keberanian, tawakkal, serta pertolongan Allah. Pragmatisme dan hedonisme sering menjadi musuh agama. Akarnya materialisme. Hidup adalah keyakinan bukan semata hitungan. "Walirobbika fashbir"-- Hanya kepada Allah bersabar. Pelajaran shaum itu shabar. Kesabaran adalah kekuatan. Menghadapi tantangan terhadap agama, baik yang mengganggu, merusak, maupun yang hendak menghancurkan, umat Islam harus menggalang kekuatan dan shabar melakukan perlawanan. Insya Allah kemenangan akan didapat. Semangat juang adalah untuk merebut kemenangan tersebut "hayya 'alal falaah". Tindak lanjut shaum ramadhan tentu saja langkah konkrit. Bukan menunggu datangnya ramadhan lagi. Karena kita tidak tahu akan usia yang sampai atau tidak ramadhan mendatang. "Faidza faraghta fanshob". Jika sudah lewat satu tahap, maka masukilah tahap berikutnya. Setelah lewat ajang pembinaan dan perkaderan selama ramadhan, kini saatnya kita berada di lapang perjuangan yang sebenarnya. Misi agama adalah memenangkan pertarungan, "liyudzhirohu 'alad dieni kullihi". Memenangkan budaya, dan memenangkan peradaban. Satu catatan, agama Islam ini tidak boleh dikalahkan, dipinggirkan, atau dinistakan oleh budaya dan peradaban korupsi, suap, zalim, licik, tamak, curang dan maling. Ayo bela, muliakan dan menangkan! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (9): Toleran Sepanjang Tidak Diusik

Saya sempat menegur keras Ketua RW tempat kami tinggal. Saya anggap tidak toleran karena mengedarkan surat yang mengajak warga mengadakan kerja bakti saat libur Natal. Kalau hari Ahad/Minggu, tidak masalah karena sudah rutin merah. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - EFFY menganggap saya seperti saudara. Demikian juga saya. Istri saya dan dia cukup akrab, meski baru bertemu yang ketiga kali. Saya merasakan Effy benar-benar menyambut kami seperti saudara. Kami di bawa ke kantor suaminya, Eko yang membuka praktik sebagai pengacara di Kota Kediri. Satu malam pertama kami harus menginap di rumahnya. Padahal, kami sudah biasa menginap di pondok bersama orangtua santri. Harap maklum, penginapan di pondok itu bukan hotel, tetapi ruang kelas yang dikhususkan bagi orangtua yang berkunjung untuk menginap. Ya, seperti maktab saat saya naik haji tahun 1999, satu ruang bisa 15 sampai 20 orang. Bedanya, di Tanah Suci ada kasur cukup bagus dan menggunakan AC. Sedangkan di pesantren, kami biasa menggunakan kasur bekas santri yang sudah lulus dan penyegar udara alami. Banyak orangtua yang memilih menginap di pesantren, ketimbang di hotel, walaupun orangtua santri orang-orang mampu. Mereka memilih menginap di pondok agar lebih dekat dengan anak karena jarang ketemu. Tentu juga agar saling kenal satu sama lain, terutama orangtua santri dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Papua dan daerah lain di Indonesia. Bahkan, orangtua santri yang datang dari Malaysia pun ada yang memilih menginap di wisro (wisma rohani) - sebutan kami terhadap penginapan di pesantren. Effy yang menjemput kami pun ikut ke pesantren. Selesai mengantarkan anak ke pesantren (karena datang juga ke Stasiun Kereta Api Kediri bersama temannya dari Malaysia), kami kembali ke ke rumah Effy (rumah khusus menginap tamu-tamunya). Effy mengantarkan kami sampai ke lantai dua. Dia juga menjelaskan arah kiblat kalau mau shalat. Ya, begitulah indahnya persaudaraan, meski berbeda agama dan berbeda ras. Selama di mobil yang saya setir ke pesantren dan balik ke pusat Kota Kediri, saya bertanya banyak hal, termasuk kalau mau ke Jombang naik bis dari mana. Maklum, selain mengunjungi anak, saya yang menjadi Pemimpin Redaksi Harian Umum Kabar Banten, di Serang (anak usaha Pikiran Rakyat Bandung) mengemban tugas meliput Muktamar NU ke-33 di Jombang. Effy sudah menjelaskan kalau mau menggunakan bis bisa naik dari simpang tiga menuju pondok atau dari terminal. Dan saya sudah siap naik bis keesokan harinya, setelah mengantarkan istri ke pesantren. Akan tetapi, pagi-pagi Effy mengabari mau mengantarkan saya dan istri ke pondok. Benar, pagi selesai sarapan kami sudah siap berangkat bersama suaminya. Selesai mengantarkan istri , saya ikut mobil Effy yang dikemusikan suaminya. Maksud saya menumpang sampai ke simpang tiga, tempat mengentikan bis jurusan Jombang. Sesampai simpang tiga mobil belok ke kanan dan tidak berhenti. Ketika saya bilang berhenti di mana, dijawab mau mengantarkan saya ke tempat memberhentikan bus yang menuju ke Jombang di depan. Jadi tidak perlu ke terminal atau loket busnya. Beberapa kali saya tanya tempat menunggu bis, selalu dijawab Effy dan suaminya, Eko, nanti ada yang lebih dekat. Setelah cukup lama dalam perjalanan, mobil tidak berhenti juga. Akhirnya Effy baru mengatakan mau mengantarkan saya sampai Jombang. Katanya, sekalian ada urusan suaminya. Saya diantarkan sampai ke Alun-Alun Kota Jombang, tempat Muktamar NU ke-33. Sebenarnya, ada rasa kurang enak, karena saya baru pertama kali bertemu dengan suami Effy. Dalam pikiran saya, kalau saya tidak toleran dan selama ini tetap menjalin perdahabatan dengan Effy, mana mungkin suaminya seperti itu (sampai mengantarkan ke Jombang). Masih selama di Kediri. Effy juga mengajak saya berkunjung ke Pondok Pesantren Lirboyo. Bagi saya, hal itu merupakan kesempatan emas bisa berkunjung ke sebuah pesantren yang didirikan dan diasuh Kiai Langitan. Saya sudah lama berkeinginan mengunjungi pesantren yang diasuh Kiai Langitan. Selain mengunjungi Pesantren Lirboyo, Effy juga menawarkan memgunjungitempat wisata Katolik. Bagi saya tidak masalah. Toh waktu ke Roma, Italia juga saya berwisata ke Vatikan (saat meliput pertemuan Organisasi Pangan Dunia/FAO), dan masuk ke area Varikan saat kunjungan kenegaraan Presiden Abdurrahman Wahid (Gu Dur). Pun juga saya berwisata ke pagoda terbesar di Yangon, Ibukota Myanmar sebelum pindah, saat saya dan rombongan melakukan studi banding tentang kehutanan (terutaka kayu jati) dan gajah. Saya katakan Effy menawarkan, karena ia khawatir saya tidak mau. Akan tetapi, saya langsung mengiyakannya. Maka jadilah kami berkunjung ke tempa itu. Kami meluncur ke obyek wisata umat Katolik yang ditempuh sekitar 15 menit dari pusat kota. Sesampai di sana, kami turun. Setelah melihat-lihat, dan mendengarkan sedikit penjelasan, kami pun berfoto, layaknya berfoto di tempat wisata lainnya sebagai kenang-kenangan. Setelah menyelesaikan kunjungan di Kediri, kami lanjut berwisata ke sebuah candi dilanjut ziarah ke makam Bung Karno di Blitar. Kemudian dilanjutkan ke arena Muktamar NU di Jombang dan ziarah ke makam pendiri NU, KH Hasyim Asy'.ari. Effy tetap ikut walau berada di acara agama Islam. Saat di arena muktamar, tentu ia menyesuaikan pakaian. Saya yang harus melakukan liputan penutupan muktamar meninggalkan istri saya dan Effy berkeliling melihat-lihat arena muktamar, termasuk stand pameran yang masih buka. Itulah indahnya toleransi, lekatnya persahabatan. Andaikan saya dan umat Islam apalagi FPI tidak toleran, sudah dipastikan negara ini akan kacau. Andaikan umat Islam yang mayoritas tidak toleran, saya tidak bisa membayangkan nasib saudara-saudaraku yang minoritas yang hidup bersampingan di tengah pemukiman mayoritas. Umat minoritas aman-aman saja. Tak ada yang mengusik, sepanjang umat Islam yang mayoritas tidak diusik. Seperti perumpamaan lebah di tulisan saya sebelumnya. Saya juga mencoba toleran di lingkungan saya tinggal.Beduk keliling yang ditabuh anak-anak untuk membangunkan sahur saat bulan Ramadhan kami hentikan melalui rapat pengurus sewaktu saya menjadi Ketuan Dewan Kemakmuran Masjid Masjid Al Muhajirin, Perumahan Buana Permai, Kota Tangerang. Alasan dihentikan ada tiga. Pertama, tidak semua penduduk perumahan beragama Islam. Saya tahu jumlahnya sangat sedikit, mungkin tidak sampai 10 persen dari 300 kepala keluarga yang ada. Tapi, saya harus bersikap toleran kepada mereka, karena kalau beduk yang dibawa anak-anak lewat di depan rumahnya, bisa mengganggu yang lagi istirahat tidur. Mereka (nonmuslim) tidak akan berani protes. Kedua, sudah banyak alarm, baik si HP, di jam tangan maupun jam dinding. Ketiga, ada orang yang sedang sakit dan kurang enak badan. Keputusan rapat DKM itu ditentang segelintir orang, dan sampai ada yang membawa-bawa Wali Songo. "Wali Songo juga pake bedug keliling," demikian kalimat yang sampai ke saya. Saya jelaskan, Wali Songo tidak meminta jemaahnya membawa beduk keliling untuk membangunkan sahur. Sebab, semua bedug di tempat Wali Songo itu besar-besar. Bagaimana mau dibawa keliling? Alagi bedug yang ada di masjid/makam Sunan Gunung Muria yang ada di gunung. Mau ziarah ke sana saja kita hanya bisa sampai dengan menggunakan ojek, selain tangga semen yang panjang bagi yang kuat. Oh ya, saya juga sempat bersuara keras kepada seorang Ketua RW suatu waktu. Ceritanya, karena Ketua RW itu mengedarkan surat agar warga kerja bakti tanggal 25 Desember. Saya katakan, hargai agama Kristen yang merayakan Hari Natal. Sebab, Natal bagi agama Kristen merupakan perayaan agama, dan berbeda dengan hari Ahad/Minggu. BPIP tidak Pancasilais Dalam ajaran Islam ada hari Jum'at dan tidak masalah jika kebetulan tanggal merah diadakan kerja bakti. Jangan coba-coba mengajak kerjabakti saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Atau saat tanggal merah Maulid Nabi dan Isyra' dan Mi'raj Nabi Muhammad. Pasti ada yang protes. Contoh sudah ada. Ketika konser digelar pada peringatan malam Nuzulul Qur'an yang baru lewat, banyak yang protes atas konser yang digelar BadanPembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu. Apakah seperti itu yang dikatakan Pancasilais? Kok BPIP menjadi Badan Pengacau Ideologi Pancasila?Hasil protes umat Islam, pemenang lelang sepeda motor Joko Widodo, ternyata bukan pengusaha, tetapi seorang buruh tani di Jambi. Juga rencana konser Iwan Fals yang mau digelar pada malam takbiran. Umat Islam protes, dan Iwal Fals akhirnya menggeser konser itu ke hari lain, menjadi Selasa (26 Mei 2020/3 Syawal 1441 Hijiriyah) malam. Iwan Fals mendengar suara umat Islam. Ia memahami betapa malam takbir itu adalah sebuah peristiwa sakral yang mestinya diisi dengan takbir, tasbih, tahlil dan tahmid serta puja dan puji kepada Allah Ta'ala dan solawat kepada Nabi Muhammad. Ya, semua harus seperti itu. Sebab, melakukan sesuatu yang kurang berkenan di hati dan mata umat, akan membawa mudharat. Apalagi, umat berdoa dan dipimpin ulama, terutama ulama waro, bisa berdampak jauh. Sekali lagi, "Mulut ulama itu bisa menjadi madu dan bisa menjadi racun." (Habis)** Penulis, Wartawan Senior.

Perekonomian Indonesia Dibawah Bayang-Bayang Perubahan Dunia (Bagian Pertama)

By Andi Rahmat Jakarta FNN – Senin (25/05). Pandemi Covid-19, sebagaimana yang dinyatakan kolumnis CNN, Nic Robertson dalam artikelnya, “ The Pandemic Could Reshape The World Order”(CNN,23/05/2020 ) bahwa Pandemi tidak hanya mengejutkan dunia dengan kecepatan penyebarannya, tapi juga mengakselerasikan perubahan dalam perimbangan kekuatan global. Demikian juga yang dituliskan kolumnis CNBC, Christina Farr dan Ari Levy, tentang dunia yang “ suddenly now we’re in the future” ( CNBC, 23/05/2020). Ketiba-tibaan ini tentunya menunjukkan betapa cepat akselerasi perubahan dunia terjadi ditengah Pandemi. Cara berkehidupan yang kita kenal, yang oleh proses globalisasi yang berlangsung dalam tiga dekade terakhir, yang bertumpu pada mobilitas interdependensi dan interaksi lintas batas, turut pula menjadi “ korban utama” pandemi Covid-19. Karena perubahan tektonik dalam cara berkehidupan itu pulalah yang turut mempengaruhi landskap perekonomian global. Tiba- tiba saja perekonomian dunia berhadapan dengan kenyataan yang sulit dihadapi dengan cara lama. Tercermin dari reaksi kebijakan ekonomi yang dikeluarkan berbagai negara. Tidak berhenti di situ. Sektor swasta juga mengalami tekanan berat. Membutuhkan respon yang tidak biasa dan seringkali baru. Perubahan landskap bisnis memaksa korporasi dan unit-unit usaha kecil dan menengah untuk melakukan inovasi cepat untuk bisa bertahan hidup dan melanjutkan bisnisnya. Dapat dikatakan bahwa wajah perekonomian dunia tidak akan sama lagi dengan sebelum pandemi Covid-19. Nic Robertson menyebut sebagai BC (Before Coronavirus) dan AC (After Coronavirus). Wajah baru perekonomian itulah yang mesti kita antisipasi, jika kita menghendaki perekonomian Indonesia sanggup keluar dari krisis dan mengambil manfaat dalam momentum perubahan besar yang terjadi. Penulis mencatat ada lima kenyataan baru yang akan mempengaruhi wajah perekonomian dunia, dan juga Indonesia. Kenyataan pertama, ekonomi berbasis teknologi akan memainkan peran sentral dalam perekonomian baru. Kompetisi inovasi pada teknologi maju (baca: advance) dan perebutan sumber daya yang menopang perkembangan teknologi akan mewarnai kompetisi ekonomi global. Apa yang tadinya dianggap sebagai lompatan transisi (transitional leap) penerapan inovasi teknologi dalam praktek perekonomian harian, pada kenyataannya, disebabkan oleh efek disrupsi pandemi, tidak lagi sepenuhnya bersifat transisi. Maknanya, transisi yang dianggap sebagai ruang kesempatan bagi banyak negara untuk melakukan adaptasi menjadi hampir hilang. Sekurang-kurangnya, waktu untuk beradaptasi menjadi singkat, dan perekonomian akan dipaksa menerimanya sebagai kenyataan baru yang tidak bisa ditolak. Faktor- faktor yang selama ini mempengaruhi hubungan Penawaran dan Permintaan (Supply and Demand), dan pembentukan harga ekonomi turut pula terdampak. Biaya yang mempengaruhi produksi, distribusi dan biaya administratif seperti pajak dan tarif perdagangan dipaksa berubah. Adaptasi perubahan komponen tersebutlah yang akan menentukan tingkat kompetitif perekonomian suatu entitas bisnis dan juga perekonomian suatu negara. Kesemuanya itu adalah hasil dari paksaan perkembangan teknologi. Kenyataan Kedua, perubahan pada mata rantai penawaran global (global supply chain). Persaingan triumvirat perekonomian dunia Amerika Serikat, China dan Uni Eropa telah berbuah pada konflik perdagangan terbuka. Dan makin menguat dimasa Pandemi Covid-19. “T-Shirt Economy” istilah yang diperkenalkan oleh Ekonom Georgetown University, Pietra Rivoli (The Travels of A T-Shirt In The Global Economy, Wiley, 2009) yang menggambarkan mata rantai penawaran ekonomi global sepanjang gelombang globalisasi selama ini turut pula mengalami disrupsi dan segera pula akan terpaksa untuk beradaptasi. Relokasi dan konsolidasi pusat produksi akan berbuah pada makin pendeknya mata rantai penawaran (supply chain). Pandemi menyebabkan dunia usaha dan para pengambil kebijakan berpikir ulang dalam melihat sebaran mata rantai pasokan penawaran global. Makin ringkas nampaknya, akan makin dianggap aman dan kompetitif. Dan makin dekat dan makin tidak kompleks secara geopolitik juga akan dianggap sebagai pilihan rasional dalam menjaga kelangsungan sumber daya produksi. Kenyataan Ketiga, hutang menjadi sumber primer gerak ekonomi. Kapasitas fiskal negara-negara tergerus dan Bank Sentral mengambil peran yang lebih luas dan kuat dalam perekonomian. Hubungan Trivial ketiga hal itu, menjadikan perekonomian makin rentan terhadap shock (kejutan). Meminjam tesis Hyman Minsky, ekonomi modern yang pada dasarnya tidak stabil makin menjadi tidak stabil (Hyman Minsky, Stabilizing Unstable Economy, Mc Graw-Hill,2008 ). Tumpukan hutang yang sudah terus menanjak di era sebelum pandemi, makin menggunung di era pandemi. Dan akan terus menggunung paska pandemi. Laporan Statistik Hutang Eksternal (Exsternal Debt) World Bank menunjukkan akumulasi hutang eksternal dunia hingga tahun 2018 mencapai U$ 8 trilliun. Pandemi Covid-19 mengakselerasikan penumpukan hutang menjadi dua kali lipat, dengan tidak kurang dari U$ 8 trilliun tambahan baru di masa krisis ini. Didalam laporannya, perkembangan hutang ini menyebabkan negara-negara berpendapatan rendah (low income countries) dan yang berpendapatan menengah (middle income countries) menjadi semakin rentan terhadap setiap kejutan eksternal (World Bank, International Debt Statistics 2020). Sekarang, setelah berbagai Bank Sentral memompa perekonomian dengan menciptakan begitu banyak uang, ekonomi dunia pun pada gilirannya makin bergantung pada tindakan Bank Sentral. Batas kewenangan antara fiskal dan moneter menjadi bersilangan. Pada level yang lebih kritis, Bank Sentral telah berubah menjadi jangkar perekonomian dalam skala yang tidak punya preseden sejarah. Wallahu ‘alam. (Bersambung ke Bagian Kedua ) Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Indonesia Terserah Presiden Saja

By Dr. Margarito Kamis Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailaha Illallahu Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillah Ilham. Allahu Akbar Kabira, Walhamdulillahi Katsira, Wasubhanallahi Bukratau Wa’asila. Lailaha Illallah Wala Na’budu Illa Iyahu. Muhlisina Lahuddina, Walaokarihal Kafirun, Walau Karihal Munafikun, Walau Kahiral Musrikun. Lailaha Ilaha Illallahu Wahdah, Shadaqa Wahda, Wanasra Abdah, Wa A’zzazundah, Wahdamal Ahda Bawahdah. Lailaha Illallah Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillah Hamdu. Jakarta FNN – Senin (25/05). Pembaca FNN yang berbahagia. Selamat menggapai fitri dihari hebat ini. Sistem presidensial yang bekerja di tengah demokrasi, harus diakui memiliki keunikan. Perpaduan ketat dua sistem ini, sedari awal bukan menghasilkan, tetapi membuat presiden menjadi satu-satunya figur tak tertandingi. Ia tak tertandingi pada hampir semua aspek bernegara, suka atau tidak. Presiden-presiden hebat di negara demokrasi menggunakan semua atribut yang disediakan sistem, baik politik maupun hukum. Berbasis sistem, presiden, selalu bisa dan begitu kenyataannya, mengabaikan pendapat kritis yang menghendaki pemerintah harus begini dan begitu. Sejarah perpaduan dua sistem ini menunjukan presiden bisa menggunakan pendapat dari kelompoknya saja. Dan disisi lain, presiden bisa dan secara sadar mengabaikan pendapat dari kelompok lain, tentu bila memiliki bakat itu. Landscap sejarah itu sebegitu kayanya dibelahan dunia lain yang lebih dahulu mempraktikan dua sistem ini. Asumsi Pembuat UUD 1945 Presiden diasumskan oleh pembuat UUD 1945 sebelum diubah, merupakan pancaran kearifan, pengintegrasi, dan bapak bagi seluruh bangsa Indonesia. Asumsi ini khas Indonesia, integratif. Presiden berada dipusat seluruh soal bernegara. Semua soal berbangsa dan bernegara menjadi tanggung jawabnya, suka atau tidak. Sekedar mengelola? Tidak. Sebagai orang arif, pengintegrasi dan bapak bagi seluruh bangsa Indonesia, pekerjaan presiden harus mencerminkan parpaduan unsur otak dan hati. Presiden harus menempatkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia diatas kepentingan apapun, termasuk investasi. Dalam UUD 1945 sebelum diubah, asumsi itu menghasilkan skema struktur kekuasaan dengan Presiden berada dipuncak kekuasan dibawah MPR. Asumsi ini bekerja dengan cara memberikan kekuasaan membuat UU kepada Presiden. Tidak itu saja, urusan penggajian, infrastruktur pengadilan juga diletakan dalam lingkungan kekuasaan Presiden. Sangat arif. kendati bekerja dengan asumsi presiden orang arif, para pembuat UUD 1945 tak berhenti di situ. Mereka, pembuat UUD 1945 menyediakan cara hebat mengendalikan dan mengontrol presiden. Apa cara itu? Sala satunya adalah menyediakan garis besar haluan daripada negara, GBHN. GBHN dirumuskan dan dibuat oleh MPR, lalu dimandatkan kepada Presiden untuk dilaksanakan. Presiden dengan demikian dipandu, dituntun oleh MPR, yang merupakan representasi seluruh bangsa Indonesia. Hebat betul kreasi para pembuat UUD 1945. Para pembuat UUD 1945 tidak menyediakan impeachment, sebagai cara yang bersifat represif, dengan menyediakan kemungkinan presiden diberhentikan dalam mengontrol presiden. Tidak. Para pembuat UUD 1945 menyediakan cara lai. Cara politik, yang menurut Profesor Ismail Suny, salah satu guru saya, memiliki sanksi. Cara itu adalah meminta pertanggung jawaban presiden atas kondisi bangsa. Dalam hal keterangan-keterangan presiden yang diberikan kepada MPR, tentu dalam sidang istimewa- apabila tidak diterima MPR, maka MPR dapat menjatuhkan sanksi. Sanksinya bisa berupa menarik mandatnya MPR. Lalu memberhentikan Presiden. Mengagumkan cara berpikir para pembuat UUD 1945. Presiden, menurut skema konstitusional ini, diberi atribut sebagai orang tertinggi di antara organ-orang yang sejajar di negara, tetapi tidak boleh aneh-aneh. Presiden harus, bersifat absolut. Dari waktu ke waktu beri kepastikan MPR bahwa ia selalu berada dalam track GBHN. Tidak bisa di luar itu. Presiden harus, dari waktu ke waktu, menampilkan eksistensi pemerintahannya sebaik-baiknya. Harus benar-benar menampilkan dirinya sebagai orang arif, pengintegrasi, bapak bangsa yang besar ini. Sayang, sejarah perjalanan bangsa hebat ini merekam sangat jelas patahan mematikan atas asumsi mengagumkan itu. MPR sepanjang tahun 1960 hingga tahun 1966 bekerja dibawah kendali Presiden. Kala itu Presidennya Bung Karno, pria pintar yang terkenal kokoh dengan pendirinnya ini. Apalagi sepanjang tahun-tahun itu, Bung Karno tidak lagi memiliki mitra tanding pikiran kritis yang produktif. Masyumi, partai Islam paling cemerlang urusan akuntabilitas dan responsibilitas, serta paling cerdas dan gigih melintas di atas Rule of Law, telah dipukul telak oleh Bung Karno. Masyumi telah dibubarkan Bung Karno awal tahun 1960. Tahun 1967 Bung Karno resmi kehilangan kekuasaanya. MPR melalui Sidang Istimewa memberhentikan dirinya dari Presiden. Berubahkah keadaan penyelengaraan negara? Paradoks hebat segera menandai perkembangan sesudahnya. Bangsa terlihat nyata tak mampu menjadikan sejarah sebagai guru terbaik. Betul bermunculan begitu banyak gagasan yang berinduk pada rule of law dan demokrasi kala itu. UUD 1945 dan Pancasila dimurnikan. Tata hubungan antar Lembaga Negara dibereskan. Gagasan hak asasi manusia segera naik ke permukaan. Seminar dimana-mana, dan draf TAP MPR tentang HAM berhasil disiapkan BP MPR. Hasilnya? Daniel Lev, Indonesianis dari Seatle University Amerika Serikat, sedari awal telah memperkirakannya. Indonesia, dalam identifikasinya tidak akan cukup dekat pada demokrasi. Mengapa? Masyumi, yang dalam identifikasi keilmuannya sebagai satu-satunya partai yang paling jelas berpegang dan mengamalkan gagasan rule of law, tidak diberi tempat untuk hidup kembali. Itu soal terbesarnya. Persis seperti Bung Karno, presiden baru juga tidak akan mendapat mitra tanding kritis. Terlepas dari soal itu, tanda-tanda awal negara ini hanya akan melanjutkan praktik mirip Bung Karno. Presiden tetap akan berada di puncak semua kekuataan politik dan organ negara. Ini terlihat sedari awal babak baru ini. Pada sidang MPR penetapan Pak Harto menjadi pejabat Presiden misalnya, Pak Harto tidak bersedia mengucapkan sumpah dihadapan Sidang MPR yang dimpimpin Pak Nasution. Sejak saat itu, sebenarnya masa-masa panjang sesuahnya telah ditentukan dan ditetapkan. Suka atau tidak, cukup jelas Indonesia sesudah itu. Indonesia memang bukan Pak Harto, tetapi Indonesia sepenuhnya ditentukan oleh Presiden. MPR, dalam kenyataannya tidak lebih hanya sekadar tukang cap terlatih atas gagasan Presiden. Hingga sepuh kalipun, MPR masih tidak menemukan kreasi gemilang dengan paduan kearifan besar bangsa ini untuk mengakhiri kekuasaan Pak Harto. Aneh? Tidak. Itulah politik. Jalan GBHN Tumpukan sejarah itu, seperti terekam dalam perdebatan anggota Panitia Ad Hoc I dan III Badan Pekerja MPR. Yang benar-benar menginspirasi MPR hasil pemilu 1999. Apalagi gema demokrasi dan rule of law di jalanan begitu mengharu biru. Ini menjadi energy terbesar yang berhasil meyakinkan MPR. MPR pun bergerak cepat. Penuh gairah, entah terasa grasa-gurus atau tidak, memasuki UUD 1945, yang telah teridentiikasi sejumlah pemikir liberal sebagai UUD otoritarian. Tidak bisa diandalkan membawa Indonesia ke kamajuan. Hars diubah. Identifikasi falsifikasi ini ditelan bangsa Indonesia. UUD 1945 akhirnya memasuki fase harus diubah. Presidensialisme mau dimurnikan. Begitu gema awal pemikiran MPR tentang sistem Presidensial. Awalnya untuk hanya membatasi masa jabatan presiden, ternyata tak cukup untuk berhenti disitu. MPR bergerak jauh sekali, dan mengubah banyak hal. Terpukau tanpa bekal yang cukup atas gagasan presidensialisme dan praktiknya yang berabad-abad di Amerika, negeri penemu sistem ini. MPR merancang sistem Presidensial. Kekuasaan membentuk UU yang pada UUD 1945 sebelum diubah diletakan pada Presiden, diubah. Kekuasaan itu dialihkan ke DPR. Hebat? Tidak juga. Sama sekali tidak hebat. Mengapa? Presiden, menurut UUD 1945 yang baru diubah ini, diberi hak ikut bersama DPR membahas UU. Konsekuensinya, bila Presiden tidak mau ikut bahas UU, maka dengan siapa DPR membahas UU? MPR yang semula jadi lembaga tertinggi, dipreteli habis. Hanya disetarakan dengan Presiden. Tersipu dengan gagasan presidensialisme konyol khas Amerika. Tersipu pula dengan demokrasi tipu-tipu juga khas Amerika. MPR lalu meneksplorasi gagasan penyetaraan organ kekuasaan. Berhasil. MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, dan lainnya, semuanya, disetara. Atas nama kesetaraan, GBHN juga dihilangkan. Begitulah cara MPR memastikan negara ini bergerak maju di garis demokrasi dunia. Padahal demokrasi, dalam tampilan praktisnya di Amerika, justru membuat Presiden menjadi satu-satunya entitas kekuasaan, yang tak tertandingi dalam semua spektrumnya. Boleh saja presiden, dalam lalu lintas keilmuan klasik khas John Locke dan Montesqueu, dinyatakan sekadar pelaksana UU. Tetapi dalam praktinya di Amerika sekalipun, justru berbeda. Presiden, dengan semua atribut konstitusi, yang sebagian besar tak jelas, atau diambil di luar UUD, justru tampil sebagai pemberi defenisi, pengarah, perancang, penentu utama jalannya negara, siapapun presiden itu. Kenyataan ini yang menjadi katrakter kepresidenan Indonesia dalam tahun ke-20 pelaksanaan UUD 1945 yang liberal ini. Presiden, telah muncul menjadi pengarah utama, dan pendefenisi utama jalannya negara ini. Hampir semua aspek bernegara, terserah presiden. Apa katanya, itulah Indonesia. Kebijakan iuran BPJS yang dinilai ngawur. Perpu Corona yang ngaco. Rencana perpindahan ibu kota yang terus eksis. Konsistennya kebijakan TKA asal China. Penanganan corong yang cukup membingungkan. Semuanya sedang terjadi saat ini. Suka atau tidak, merupakan pantulan resmi sistem ini. Pembaca FNN yang budiman, dimana urusan rakyat dan dimana urusan korporasi dalam sistem ini? Sejarah mencatat korporasi selalu menjadi prioritas utama kebijakan negara. Karena mereka punya fulus yang tak terbatas. Dewa demokrasi itu korporasi dan uang, fulus, hepeng, pipi dalam bahasa Ternate. Demokrasi kaya dengan gerak tipu-tipu. Franklin Delano Rosevelt yang dihormati begitu banyak ilmuan tata negara dan politik sebagai Presiden, dalam kampanyenya memukau rakyat Amerika dengan gagasan anti bank. Padahal dia, dalam identifikasi terpercaya Anthony Saton pada buku “Wall Street and FDR” adalah orangnya Wall Street. Du Ponts dan Rockefeller adalah dua kontributor dana terbesar dalam rallynya FDR menuju kursi presiden 1933. Begitu Herbert Hover, yang semasa pemerintahannya depresi ekonomi besar 1929-1933 berawal, tahu Du Ponts dan Rockeffeler mengalihkan dukungan ke Franklin D. Rockeffeler, dia pun segera tahu bahwa dia akan kalah. Mengapa mereka mengalihkan dukungan? Herbert Hover, yang didukunhg pada kampanye presiden tahun 1928, ternyata keras kepala. Dia tidak mau melaksanakan Swope Plan. Plan ini dibuat oleh George Swope, presiden General Electric. Disisi lain, FDR malah bersedia melaksanakan plan ini. Benar, FDR merealisasikan plan pada pemerintahnnya dengan membuat National Industrial Recovery Act (NIRA). Pembaca FNN yang dimuliakan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bagaimana bangsa ini harus menemukan jalan besar untuk bisa bermartabat dimasa datang? Hidupkan lagi GBHN. Ubah lagi UUD 1945, yang saat ini sangat liberal ini. Tata ulang relasi fungsi antara Presiden dan MPR. Pastikan bahwa Indonesia tidak terserah pada presiden. Dalam tata ulang relasi MPR-Presiden, bangsa ini harus tahu cara kerja Wall Street. Tetapi bangsa ini harus faham sindrom Walter Rathenau, perencana ulung dari Jerman, dan Bernard Baruch, perencana ulung Amerika pada masa Wodrow Wilson Presiden. Perencanaan tertata, bila tak dikawal dengan baik, Menjadi sah bila korporasi ikut menanamkan kepentinganya mereka. Semoga. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Rakyat Marah Karena Pemerintah Dianggap Plin-Plan

By Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (25/05). Plin-plan. Itulah kesan rakyat terhadap pemerintah terkait pelaksanaan PSBB. Berawal pada bulan januari lalu, pemerintahan Jokowi tidak percaya kalau covid-19 bakalan hijrah ke Indonesia. Coloteh sejumlah menteri bikin gemes. Salah prediksi membuat rapuh pertahanan. Saat covid-19 masuk dan menginveksi. Pemerintah pimpinan Jokowi lalu gagap. Sama sekali nggak siap. Lalu bingung dan panic menjadi pemandangan yang gampang disaksikan. Sementara nyawa terus berjatuhan. Satu-persatu mati, hingga puluhan, ratusan, bahkan ribuan sekarang. Setelah didesak untuk terapkan lockdown, bahasa yuridisnya karantina, akhirnya muncul yang namanya PSBB. Meski telat dan sangat alot. PSBB merupakan yang terobosan cerdas. Walaupun akan lebih efektif jika pemerintah pusat yang mengoperasikannya sendiri. Tak menyerahkan secara teknis kepada kebijakan pemerintah daerah. Ada kesan cuci tangan. Juga ingin aman. Lepas ada kekurangan sana sini, namun PSBB cukup berhasil kendalikan penyebaran covid-19. Beberapa daerah, termasuk Jakarta, tingkat penyebaran turun. Di Jakarta, penurunan sampai pada level 0,9 - 1,2 persen. Ini bukti PSBB terukur dampaknya. Tapi sayangnya, sejak Menteri Perhubungan membuka kembali "public transportation", covid-19 jadi mengamuk lagi. Angka penyebaran naik kembali. Ratusan per hari untuk Jakarta. Secara nasional, hampir menembus angka 1.000 per hari. Tampak di pasar, mall dan bandara, kerumunan manusia padat lagi. Berjubel manusia saling menularkan virus. Dua minggu terakhir, jalanan di Jakarta pun padat kembali. Hampir tak ada lagi bedanya dengan waktu sebelum adanya covid-19. Relaksasi PSBB yang diwacanakan Mahfud MD, Menkopolhukam ini, nampaknya berhasil. Rakyat merasa bebas dan merdeka kembali. Puncaknya, ketika pemerintah pusat membuat konser covid-19. Pakai hadiah Motor Gesit lagi. Hadiah atau lelang? Menurut M. Nuh, itu hadiah. Sayangnya, motor bertanda tangan presiden tak bisa dia miliki. Keburu ditangkap polisi. Prank! Sementara di sisi lain, shalat jum’atan, shalat taraweh berjama'ah dan shalat IDUL FITRI dilarang. Selama ini, umat Islam terlihat menerima saja. Taat aturan saja. Walaupun tetap satu dua kasus ada yang nggak juga disiplin. Namun masih dalam taraf wajar. Secara umum, umat Islam patuh saja. Aturan pemerintah dimengerti, dan dinilai dengan baik. Ini demi untuk menjaga kesehatan rakyat, dan upaya mengendalikan penyebaran covid-19. Semua ingin pandemi ini cepat bisa berakhir. Namun, ketika pasar, mall dan bandara berjubel manusia. Tidak ada protab tentang kesehatan, maka umat Islam mulai marah. "Apa-apaan ini. Kami disuruh tutup masjid, dan sholat berjamaah di rumah. Sementara pasar, mall, jalan raya dan bandara bebas manusia berinteraksi." "Ini bentuk nyata dari penghianatan". Begitulah kira-kira menurut Prof. Dr. Din Syamsudin dan Aa Gym. Merepresentasikan betapa geramnya Umat Islam. Tidak hanya Umat Islam, tetapi seluruh umat beragama merasa dikhianati. Kecewa, tentu saja. Dan kekecewaan tersebut, sebagian diekspresikan dalam bentuk kemarahan. Seorang kakek terlihat membongkar blokade jalan raya. Sejumlah polisi hanya diam menyaksikan ulah si kakek itu. "Hari Raya Idul Fitri adalah Hari Kebebasan, Hari Kesenangan. Ora carane kaya ngene. Iki jenenge kelakuan iblis, kelakuan setan", kata si kakek itu dalam video yang viral di medsos. Kabarnya, ada kepala desa yang digebukin warga karena melarang shalat IDUL FITRI. Kasus Habib Umar Sagaf Bangil Pasuruan Jawa Timur sempat jadi heboh. Sang Habib ini ribut sama petugas ketika ditegur karena tak mengikuti protab dalam berkendara mobil. Hingga adu fisik dengan Satpol PP. Lagi dengan di Jogja. Hampir semua ulama di Jogja sepakat untuk mengadakan shalat IDUL FITRI. Meskipun presiden melarangnya. Mereka tidak peduli. Bahkan beberapa hari sebelumnya, sebagian masyarakat Riau juga protes terhadap PSBB. Kenapa ini semua terjadi? Karena rakyat kecewa kepada pemerintah yang dianggap plin-plan dan tak konsisten dengan aturan PSBB yang dibuatnya sendiri. Apalagi, munculnya Perppu No 1 Tahun 2020 telah lebih dulu membuat curiga rakyat. Perppu corona yang telah diketuk DPR menjadi UU No. 2 Tahun 2020 ini dianggap oleh banyak pihak berpeluang memanfaatkan pandemi untuk korupsi. Ngeri! Sejumlah kasus kemarahan rakyat di sejumlah tempat boleh jadi hanya merupakan ekspresi kekecewaan mereka kepada pemerintah yang nggak konsisten. Kemarahan ini kemudian dilampiaskan kepada obyek yang mereka temui. Kepala desa, aparat kepolisian, pengurus masjid, dan apa saja yang mereka anggap menghalangi. Dalam ilmu psikologi, ini namanya "jumping out" . Melampiaskan kemarahan kepada pihak yang tidak semestinya. Dengan sejumlah kasus yang muncul di masyarakat, pemerintah mestinya mau melakukan introspeksi. Soal yang satu ini pemerintah sering abai. Egois dan nggak mau peduli. Merasa punya kekuasaan. Pejamkan mata dan tutup telinga. Apapun sikap yang akan diambil pemerintah, semua akan ada konsekuensi politiknya. Jika situasi tak mujur, ini berpotensi jadi trigger dan bisa sangat berbahaya buat penguasa. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa