Malapetaka The New Normal Tata Negara
By Dr. Margarito Kamis
Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidup negara ialah semangat. Semangat para penyelenggara negara. Semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tidak ada artinya dalam praktik. (Profesor Soepomo, Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945)
Jakarta FNN – Rabu (27/05). Suatu malam di bulan ini mendadak terbelah oleh pernyataan Presiden mengenai mudik dan pulang kampung. Dua kata itu, tak sama menurut Presiden. Ramai dibincangkan orang. Dan belum benar-benar mengering, muncul lagi isu lain.
Bangsa ini, begitu esensi pernyataan Presiden harus berdamai. Hidup berdampingan dengan corona. Belum benar-benar menghilang isu ini, datang lagi isu baru, “pelonggaran PSBB”. Ramai juga dibincankan dalam cengkeraman kebingungan dan tak percaya.
Terencana atau tidak, terkordinasi atau tidak. Menjelang penghujung Ramdahan Al-Mubarakh, rakyat tercekoki lagi ke isu baru. Namanya “The New Normal.” Ditengah gelombang mencekam itu, konser amal berbaju lelang, kalau tak salah di malam Nudzulul Qur’an. Konser yang akhirnya memalukan. Hadir dengan nuansa keangkuhan yang absolut.
Bung Karno dan Soepomo
Suka-suka, itulah yang terlihat menjadi pola pemerintahan mengelola negara ini. Memang demokrasi memungkinkannya. Demokrasi malah akan semakin mengandalkannya, bila tampilan pemerintahan teridentifikasi rusak. Rute kongkritnya, kebijakan formil dibiarkan berada di kejauhan. Bibungkus manis dan ketat dengan simptomnya.
Ketika simptomnya diyakini telah membelit rakyat, barulah kebijakan resmi yang berada di kejauhan diresmikan. Ya diberi bentuk hukum. Ini standarnya. Ini agak absolut, karena demokrasi menjadikan legitimasi sebagai jimat ampuhnya.
Setelah legitimasi samar-samar terlihat mulai memasyarakat dengan meyakinkan, demokrasi segera pergi ke gudang tata negara. Dari gudang itulah, demokrasi mengambil darinya senjata mematikan. Namanya keadaan genting. Lahirlah Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang judulnya panjang sekali itu. Perpu ini angkuh seangkuh demokrasi.
Kebutuhan demokrasi bekerja lagi dengan memanggil tata negara membereskan misi Perpu. Lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, yang sama dengan judul Perpu, judul PP ini juga sangat panjang. Di tengah itu, keangkuhan demokrasi membiarkan harga minyak tak kunjung turun.
Semuanya terlihat new normal. Sifat new normal itu terlihat pada kedatangan Presiden ke mall Sumarecom di Bekasi. Sungguh new normal disambut dan direalisasikan Kementerian BUMN dan Kementerian Kesehatan.
Kementerian BUMN telah menerbitkan Surat Edaran Nomor S-336/MBU/05/2020 Tentang Antisipasi Skenario The New Normal BUMN. Di sisi lain Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Keputusan Nomor 01.07/Menkes/328/2020 Tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri Dalam Mendukung Kelangsungan Usaha pada Situasi Pandemik.
Begitulah sistem bernegara bekerja di tengah gempuran corona dengan segala efek melumpuhkannya. Begitulah bangsa ini mengelola dirinya sejauh ini. Begitulah cara bangsa ini mengidentifikasi dan menghidupkan pesan arif para pembentuk UUD 1945 dulu.
Politik memang bersinggungan dengan keberuntungan. Sayangnya, bangsa besar ini tak beruntung sejauh ini. DPR, yang para pembentuk UUD 1945 andalkan untuk memastikan kekuasaan pemerintah tidak tak terbatas, sejauh ini dituntun demokrasi acak-kadul berbasis semangat persekutuan konyol mengambil jarak dari harapan pembuat UUD 1945. Sayang sekali.
DPR, semoga bukan new normal. Nyatanya DPR mengambil jarak begitu jauh dari pandangan Bung Karno, Bung Hatta dan Profesor Soepomo. Pandangan Bung Karno dikemukakan pada rapat besar Panitia Perancang UUD tanggal 15 Juli 1945. Katanya, tadi telah saya menyitir perkataan Jaures, yang menyatakan bahwa di dalam liberalisme, maka parlemen jadi rapat raja-raja.
Di dalam parlemen, lanjut Bung Karno, tiap-tiap wakil yang duduk sebagai anggota berkuasa sebagai raja. Dia menggugurkan rancangan-rancangan yang dibuat oleh pemerintah. Dia bisa menggugurkan minister-minister dari pada singgasananya. Tetapi pada saat yang sama ia berkuasa sebagai raja.
Dia, kata Bung Karno selanjutnya, adalah budak belian dari pada si majikan. Yang bisa melemparkan dia dari pekerjaan, sehingga ia menjadi orang miskin, yang tidak punya pekerjaan. Inilah konflik dalam kalbu liberalisme, yang telah menjelma dalam parlementaire democratie-nya bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. (lihat RM. A.B Kusuma, 2004).
Profesor Soepomo, dalam tanggapannya kepada Muh. Yamin tentang menteri bertanggung jawab kepada DPR, menyodorkan pendapat menarik. Kata Profesor, akan tetapi kita harus mengingat juga bahwa dalam negara-negara ini, seperti Inggris, ada partai system.
Kalau pemerintah “disokong partai terbesar di parlemen, sebetulnya pemerintah itu punya kekuasaan yang beasar sekali. Oleh karena itu, profesor Soepomo melanjutkan, orang seringkali mengatakan bahwa di Inggris itu ada dictatorial stelsel dari Menteri, terutama diktatur dari Perdana Menteri.
Kita, kata Profesor, memakai sistem sendiri, sebagaimana dikatakan oleh tuan Sukiman. Sistem itu ialah kepala negara tak tunduk pada Badan Perwaklilan Rakyat (BPR). Tetapi bertanggung jawab sepenuhnya kepada MPR. Apa yang bisa dimaknai dari pandangan hebat-hebat ini? Itu hebat untuk old normal. New normal lain lagi.
Hindarkanlah
MPR hasil perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali 1999-2002, sudah lain dari yang lain. Sifat tertingginya telah tersapu cinta buta demokrasi. MPR dulu telah melayang, terbang entah kemana. MPR itu telah terkubur. MPR itu telah masuk kedalam kubangan tipu-tipu canggih demokrasi liberal.
MPR sekarang tak lagi menjadi lembaga yang padanya pertanggung jawaban Presiden ditujukan. Hebatnya sistem presidensial hasilperubahan UUD 1945, persis Amerika. Presiden tak bertanggung jawab pada DPR, juga tak bertanggung jawab pada lembaga apapun. Sempurna liberalismenya.
Presidensialisme Indonesia hasil perubahan UUD 1945 beroperasi dalam rimba raya partai politik. Presidensialisme hasil pemilu 2019, beroperasi dalam topangan buta mayoritas partai di DPR. Tetapi memang demokrasi selalu begitu. Demokrasi tak dapat memaksa parpol untuk tertib tunduk pada pesan-pesan arif pembuat UUD.
Hasilnya? New normal. Mengerikan. Hak budget, yang merupakan mahkota DPR dimanapun di dunia ini, dilepas dengan senang hati. Mungkin juga sukacita. Presidenalisme bekerja superefektif, mendekati tak terbatas. Presidensialisme dibiarkan bekerja secara independen.
New normal, tak memungkinkan DPR diminta. Misalnya, mengoreksi iuran BJPS, juga harga minyak. Ini new normal. Yang paling mungkin adalah memanggil doa. Berdoalah agar tampilan persekutuan angkuh ala demokrasi busuk ini berubah. Tidak semakin membuat suram tata negara ini.
Tak usah dikuasi ketakutan. Tapi mari berdoa semoga “new normal” tidak terus-terusan membuat “kritik terhadap pemerintah disamakan dengan memfitnah, menghina, lalu dipenjara”. Berharaplah kepada Allah Subhanahu Azza wa Jalla agar DPR dan Presiden tahu bahwa impian bernegara secara modern, berutang banyak pada norma hukum alam tentang kemuliaan manusia.
Manusia adalah mahluk ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala. Hukum alam menggariskan, manusia tidak bisa direndahkan untuk alasan dan kepentingan apapun. Ini memompa energi kemanusiaan Sir Edward Coke, yang kala itu menjabat sebagai Chief Justice of King Bens menantang raja James I.
Coke lalu mengambil sudut oposisi tulen terhadap Raja James I. Raja ini telah terbakar ambisi dan keangkuhan, sehingga selalu ingin menaklukan parlemen. Ketika James I meminta kepada parlemen mengotorisasi dana sebesar E500.000, tenyata parlemen hanya menyetujui E160.000. Raja marah.
Tidak cukup untuk membiayai perang dengan Spanyol. Lalu dengan hak prerogativenya, James memaksa parlemen memberi penjelasan, dan memperbesar jumlahnya. Celaka, parlemen menolak. Marah terhadap sikap parlemen, menurut Charles J. Reid dalam buku “The Sevententh-Century Revolution in the English Law, mengakibatkan James I membubarkan parlemen. Ini terjadi tahun 1621.
Menariknya, hingga kekuasaannya berakhir tahun 1625, parlemen tetap tak memenuhi permintaannya. Penerusnya, Charles I yang berkuasa tahun 1626 segera merehabilitasi parlemen. Tetapi parlemen tak pernah mau tunduk prerogatifnya di bidang keuangan. Sepanjang 1626-1629, Charles mengadakan empat kali pertemuan dengan parlemen, dan setiap kali pertemuan selalu penuh badai.
Indonesia Seperti Abad 17
Berakhirkah oposisi Sir Edward Coke terhadap kerajaan? Tidak. Menurut C. Perry Petterson dalam artikel The Evolution of Constitutionalism, dimuat pada Jurnal Minesotta Law Review Vol 32, Nomor 5, Coke membuat draft Petition of Rights 1628. Dalam doktrin Amerika, petition ini membatasi kekuasaan raja.
Perkara yang membawa Coke berhadapan dengan James adalah kerajaan melarang Bonham, dokter lulusan Cambridge University berpraktek di London sebelum mendapat licency dari Royal Colege of Psysican. Bonhan menolak. Colege, yang menurut Act of Parliement 1610, diotorisasi bertindak atas nama kerajaan, memeriksa dan menghukum Bonham.
Coke mengeritik kerajaan atas tindakan itu. Argumennya, undang-undang ini bertentangan dengan common law. Menurut Coke, UU ini harus dikesampingkan, direview karena bertentangan dengan common law. Ini terjadi 1614. (Lihat R.H. Helmolz, dalam Bonhan Case, Judicial Review and The Law of Nature, Jurnal of Legal Analisis Vol 1, Nomor 1, 2009).
James I masih beraksi lagi. Atas nama prerogative, dia menghukum Edmund Peachem, anti royal. Dia dihukum mati dengan tuduhan high treason, kejahatan berat. Apa kejahatannya? Setelah mati, penyelidikan kerajaan menemukan catatan Peachem yang belum didistribusikan, apalagi dicetak. Isinya mengeritik kerajaan.
Sebagaimana kritik, anda tidak menemukan kata-kata arif di dalamnya. Tetapi catatan itu membuat James I mengkhawatirkan kelangsungan kekuasaannya. Kurang dari sembilan minggu setelah itu, mulai tersibak gairah parlemen menghentikan, “hak prerogatif” raja dalam bidang keuangan.
Coke mengeras melawan kerajaan, karena menemukan kenyataan cara kerajaan menyelidiki, memeriksan Peachem dinilai bertentangan dengan hukum alam. Setidaknya common law. Coke berpendapat, sekalipun pengadilan berada dalam kekuasaan kerajaan, tetapi hakim memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan secara mendalam.
David Colclough, Cyntia Clegg dan sarjana lainnya menggambarkan kasus ini sebagai masalah sentral kebebasan berpendapat dan pencetakan pada abad ke-17 dalam kerangka kebebasan berpolitik. David Zert disisi lain menggambarkannya sebagai balada kebebasan berbicara pada era pertumbuhan demokrasi (Lihat Tod Butler, The Cognitive Politics of Writing in Jacobean England: Bacon, Coke, and the Case of Edmund Peachem, Pensilvania Univ. Press, 2016).
Indonesia hari ini terlihat berada sangat dekat dengan praktik tipikal abad 17 itu. Mengeritik kebijakan, disamakan dengan mengeritik pribadi pejabat negara. Dengan semangat yang mirip, pemerintah menempuh cara, entah apa namanya, menangguhkan sementara Dana Bagi Hasil DKI Jakarta.
Demokrasi tak memberi tempat untuk bersedih. Tetapi mari ingatkan DPR untuk meresapi pesan Profesor Soepomo. Katanya pada rapat besar Panitia Perancang UUD 1945 tanggal 15 Juli 1945, “Paduka Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidup negara, semangat penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan.”
Semangat apa? Bukan semangat liberal, bukan pula semangat gotong royong tanpa arah. Semangat kemanusiaan yang adil dan beradab. Semangat mengayomi rakyat, tanpa pandang asal-usul, kekuatan ekonomi dan sejenisnya. Itulah semangat yang didambakan Soepomo dan kawan-kawan.
Sedetik saja semangat ini melayang, maka the new normal, dengan “the new norm-nya” menjadi malapetaka buat bangsa ini. Serpihan-serpihan new norma yang dihasilkan oleh new normal dibidang tata negara saat ini, untuk alasan kesehatan bangsa ini, harus dihindarkan. Semoga.
Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate.