Perekonomian Indonesia Dibawah Bayang-Bayang Perubahan Dunia (Bagian Pertama)

By Andi Rahmat

Jakarta FNN – Senin (25/05). Pandemi Covid-19, sebagaimana yang dinyatakan kolumnis CNN, Nic Robertson dalam artikelnya, “ The Pandemic Could Reshape The World Order”(CNN,23/05/2020 ) bahwa Pandemi tidak hanya mengejutkan dunia dengan kecepatan penyebarannya, tapi juga mengakselerasikan perubahan dalam perimbangan kekuatan global.

Demikian juga yang dituliskan kolumnis CNBC, Christina Farr dan Ari Levy, tentang dunia yang “ suddenly now we’re in the future” ( CNBC, 23/05/2020). Ketiba-tibaan ini tentunya menunjukkan betapa cepat akselerasi perubahan dunia terjadi ditengah Pandemi. Cara berkehidupan yang kita kenal, yang oleh proses globalisasi yang berlangsung dalam tiga dekade terakhir, yang bertumpu pada mobilitas interdependensi dan interaksi lintas batas, turut pula menjadi “ korban utama” pandemi Covid-19.

Karena perubahan tektonik dalam cara berkehidupan itu pulalah yang turut mempengaruhi landskap perekonomian global. Tiba- tiba saja perekonomian dunia berhadapan dengan kenyataan yang sulit dihadapi dengan cara lama. Tercermin dari reaksi kebijakan ekonomi yang dikeluarkan berbagai negara.

Tidak berhenti di situ. Sektor swasta juga mengalami tekanan berat. Membutuhkan respon yang tidak biasa dan seringkali baru. Perubahan landskap bisnis memaksa korporasi dan unit-unit usaha kecil dan menengah untuk melakukan inovasi cepat untuk bisa bertahan hidup dan melanjutkan bisnisnya.

Dapat dikatakan bahwa wajah perekonomian dunia tidak akan sama lagi dengan sebelum pandemi Covid-19. Nic Robertson menyebut sebagai BC (Before Coronavirus) dan AC (After Coronavirus). Wajah baru perekonomian itulah yang mesti kita antisipasi, jika kita menghendaki perekonomian Indonesia sanggup keluar dari krisis dan mengambil manfaat dalam momentum perubahan besar yang terjadi.

Penulis mencatat ada lima kenyataan baru yang akan mempengaruhi wajah perekonomian dunia, dan juga Indonesia.

Kenyataan pertama, ekonomi berbasis teknologi akan memainkan peran sentral dalam perekonomian baru. Kompetisi inovasi pada teknologi maju (baca: advance) dan perebutan sumber daya yang menopang perkembangan teknologi akan mewarnai kompetisi ekonomi global.

Apa yang tadinya dianggap sebagai lompatan transisi (transitional leap) penerapan inovasi teknologi dalam praktek perekonomian harian, pada kenyataannya, disebabkan oleh efek disrupsi pandemi, tidak lagi sepenuhnya bersifat transisi.

Maknanya, transisi yang dianggap sebagai ruang kesempatan bagi banyak negara untuk melakukan adaptasi menjadi hampir hilang. Sekurang-kurangnya, waktu untuk beradaptasi menjadi singkat, dan perekonomian akan dipaksa menerimanya sebagai kenyataan baru yang tidak bisa ditolak.

Faktor- faktor yang selama ini mempengaruhi hubungan Penawaran dan Permintaan (Supply and Demand), dan pembentukan harga ekonomi turut pula terdampak. Biaya yang mempengaruhi produksi, distribusi dan biaya administratif seperti pajak dan tarif perdagangan dipaksa berubah.

Adaptasi perubahan komponen tersebutlah yang akan menentukan tingkat kompetitif perekonomian suatu entitas bisnis dan juga perekonomian suatu negara. Kesemuanya itu adalah hasil dari paksaan perkembangan teknologi.

Kenyataan Kedua, perubahan pada mata rantai penawaran global (global supply chain). Persaingan triumvirat perekonomian dunia Amerika Serikat, China dan Uni Eropa telah berbuah pada konflik perdagangan terbuka. Dan makin menguat dimasa Pandemi Covid-19.

“T-Shirt Economy” istilah yang diperkenalkan oleh Ekonom Georgetown University, Pietra Rivoli (The Travels of A T-Shirt In The Global Economy, Wiley, 2009) yang menggambarkan mata rantai penawaran ekonomi global sepanjang gelombang globalisasi selama ini turut pula mengalami disrupsi dan segera pula akan terpaksa untuk beradaptasi.

Relokasi dan konsolidasi pusat produksi akan berbuah pada makin pendeknya mata rantai penawaran (supply chain). Pandemi menyebabkan dunia usaha dan para pengambil kebijakan berpikir ulang dalam melihat sebaran mata rantai pasokan penawaran global.

Makin ringkas nampaknya, akan makin dianggap aman dan kompetitif. Dan makin dekat dan makin tidak kompleks secara geopolitik juga akan dianggap sebagai pilihan rasional dalam menjaga kelangsungan sumber daya produksi.

Kenyataan Ketiga, hutang menjadi sumber primer gerak ekonomi. Kapasitas fiskal negara-negara tergerus dan Bank Sentral mengambil peran yang lebih luas dan kuat dalam perekonomian. Hubungan Trivial ketiga hal itu, menjadikan perekonomian makin rentan terhadap shock (kejutan). Meminjam tesis Hyman Minsky, ekonomi modern yang pada dasarnya tidak stabil makin menjadi tidak stabil (Hyman Minsky, Stabilizing Unstable Economy, Mc Graw-Hill,2008 ).

Tumpukan hutang yang sudah terus menanjak di era sebelum pandemi, makin menggunung di era pandemi. Dan akan terus menggunung paska pandemi. Laporan Statistik Hutang Eksternal (Exsternal Debt) World Bank menunjukkan akumulasi hutang eksternal dunia hingga tahun 2018 mencapai U$ 8 trilliun. Pandemi Covid-19 mengakselerasikan penumpukan hutang menjadi dua kali lipat, dengan tidak kurang dari U$ 8 trilliun tambahan baru di masa krisis ini.

Didalam laporannya, perkembangan hutang ini menyebabkan negara-negara berpendapatan rendah (low income countries) dan yang berpendapatan menengah (middle income countries) menjadi semakin rentan terhadap setiap kejutan eksternal (World Bank, International Debt Statistics 2020).

Sekarang, setelah berbagai Bank Sentral memompa perekonomian dengan menciptakan begitu banyak uang, ekonomi dunia pun pada gilirannya makin bergantung pada tindakan Bank Sentral. Batas kewenangan antara fiskal dan moneter menjadi bersilangan. Pada level yang lebih kritis, Bank Sentral telah berubah menjadi jangkar perekonomian dalam skala yang tidak punya preseden sejarah. Wallahu ‘alam. (Bersambung ke Bagian Kedua )

Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

473

Related Post