Siap-siap "Herd Immunity", Bawalah Probiotik Siklus sebagai Bekal!
Sebuah testimoni Probiotik Siklus disampaikan oleh seorang Kepala Puskesmas di salah satu wilayah zona merah Covid-19 di Jawa Timur.
Oleh Mochamad Toha
Jakarta, FNN - Ijin sedikit testimoni saya menyampaikan Biotoksi (titipan tim Biosyafa melalui dr FM) utk 3 orang paramedis dan 1 orang dokter yang terkonfirmasi swab positif covid dan menjalani karantina mandiri.
Dosisnya adalah untuk DEWASA: Biotoksi: 3 x 1 sendok takar; Bioimune: 3 x 1 sendok takar; Biozime super: 3 x 10 tetes. NB: kalau saya suka cara minumnya begini. Ambil air setengah gelas tambahkan semua produk Probiotik di atas sesuai dosis, aduk, tambahkan madu 1 sendok takar.
Untuk Anak-Anak < 13 tahun: Biotoksi: 2 x sepertiga sendok takar; Bioimun: 2 x sepertiga sendok takar;Biozime super: 3 x 3 tetes. Cari cara yang menyenangkn untuk diminum anak anak.
Untuk keluarganya juga saya anjurkan minum untuk pencegahan.
Untuk 2 kasus paramedis, (kebetulan bersamaan/cluster TKHI). Mulai konsumsi tgl 15 April 2020 Swab kedua tgl 13 April 2020, keluar hasil tgl 21 (hasil masih positif). Swab ketiga tgl 20 April 2020, keluar hasil tgl 30 April (negatif). Alhamdulillah biidznillah.
Testimoni dari seorang dokter, apalagi dia menjabat Kepala Puskesmas itu tentu tidak main-main. Bahwa selama ini masih belum ada obat atau vaksin untuk menghadapi pandemi Covd-19 atau Virus Corona, adalah benar.
Tapi, jika ada sebuah formula Probiotik Siklus dengan nama Biosyafa yang ternyata berhasil menyembuhkan pasien positif corona, tidak bisa diabaikan begitu saja. Apakah upaya untuk membantu pasien supaya sembuh tetap disalahkan?
Hal serupa juga disampaikan guru besar Biologi Sel dan Molekuler Universitas Brawijaya (UB) Malang Prof. Drs. Sutiman Bambang Sumitro, SU, D.Sc. Karena itu mulai disarankan untuk berdamai dengan si Covid-19.
Dilihat dari ilmu biologi, katanya, penyebaran Covid-19 tidak bisa diputus. Sebab proses mutasinya yang begitu cepat dapat menimbulkan varian baru dari virus ini, sehingga menyebabkan manusia kesulitan membuat vaksin maupun obat anti virus.
Dengan kondisi ini yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pencegahan agar tidak terlalu banyak orang masuk rumah sakit hingga melebihi kapasitas akibat Covid-19 ini. Virus ini akan selalu ada, sehingga banyak orang mengharapkan adanya Herd Imunity.
Yakni kekebalan tubuh pada suatu populasi. Herd Imunity ini juga tidak bisa lagi diharapkan karena saat Covid-19 dibawa ke lokasi lain dan dibawa lagi bisa masuk ke tubuh orang yang sudah kebal sehingga timbul pandemi baru.
“Melihat kondisi seperti ini, saya pikir masyarakat harus move on. Tidak perlu berharap hilangnya virus Corona dengan putusnya mata rantai penularan 100 persen. Kita tidak bisa lagi hidup normal kembali seperti semula,” ujar Prof. Sutiman.
Menurutnya, berbagai program kebijakan yang dicanangkan pemerintah dalam menangani Covid-19 ini seperti social distancing, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) maupun lockdown total sekalipun sepertinya sudah terlambat.
Hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat saat ini adalah mempersiapkan diri atau memulai menyusun tatanan dunia baru bersama Covid-19. Dengan target bukan memberantas virus melainkan menekan jumlah orang yang terinfeksi bersamaan serendah mungkin.
Persiapan yang bisa dilakukan, yakni untuk mencegah penyebaran Covid-19 dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun, tidak bersentuhan atau menjaga jarak dan mengenakan masker.
Ia menjabarkan bahwa keadaan seperti ini sejatinya sudah pernah dialami yakni saat Demam Berdarah menyerang. Tidak bisa memberantas, yang bisa dilakukan adalah dengan pencegahan. Kenyataannya pun orang meninggal akibat demam berdarah atau malaria masih terus ada.
“Korban meninggal akibat demam berdarah karena kedisiplinan menguras bak mandi, menghilangkan atau menutup rapat genangan air tidak bisa dijalani dengan 100 persen oleh penduduk,” terangnya.
Sama halnya dengan Covid-19. Tidak bisa sepenuhnya hilang akan terus ada mutasi bahkan jenis baru. Sehingga, yang perlu dilakukan masyarakat adalah dengan hidup di lingkungan baru, tambahan perilaku serta sosialisasi luas tentang hidup bersih.
Tata kehidupan baru tersebut misalnya, tetap menjalani keseharian normal namun ditambah empat perilaku yang telah dianjurkan. Yaitu dengan jaga jarak, pakai masker, cuci tangan dan bersihkan barang-barang yang dipegang banyak orang bergantian.
Prof. Sutiman melanjutkan bahwa perilaku lainnya yakni masyarakat tidak boleh bersin dan meludah sembarangan agar tidak tertular Covid-19.
Apabila sudah menerapkan hidup bersih dengan tambahan empat perilaku tersebut masker tidak harus dipakai apabila jaga jarak terpenuhi. Shaf salat berjamaah bisa tetap dirapatkan asal semua pakai masker.
Sanitasi benda-benda tidak harus dilakukan terus menerus dalam jangka waktu yang pendek asal rajin cuci tangan. Cuci tangan tak harus terus menerus kalau benda-benda sekitar dijaga kebersihannya.
“Untuk itu perlu program sosialisasi yang baru agar tidak banyak orang menganggap berat berubah ke perilaku baru ini. Perlu diingat bahwa perilaku baru ini juga berguna untuk mencegah penularan penyakit-penyakit lain,” tegas Prof. Sutiman.
Perilaku baru ini hampir sama dengan aturan dalam berlalu lintas. Jumlah kecelakaan akan bisa ditekan apabila semua pengguna jalan mematuhi peraturan. Untuk itu, mulai sekarang mulai mempersiapkan hidup dengan Covid-19.
Sebab selain perilaku baru, Indonesia juga diuntungkan dengan indeks Ultraviolet (UV) yang tinggi di atas 11. Artinya orang Indonesia telah terbiasa dengan dan mampu beradaptasi.
“Berada di luar ruangan justru lebih aman dibandingkan dengan di dalam ruangan terus menerus. Kita lihat di Indonesia orang yang terinfeksi justru mereka yang bekerja di dalam ruangan. Ini menunjukkan bahwa udara luar lebih bersih dari Covid-19,” paparnya.
Di dalam ruangan Covid-19 bisa berputar-putar di area tersebut dan mampu bertahan 8-10 jam sehingga kemungkinan menularkan ke orang lain lebih cepat. Namun perlu diingat pula meski indeks UV tinggi tapi bila di wilayah tersebut juga memiliki pencemaran tinggi maka kemampuan UV untuk menonaktifkan virus tidak berguna lagi.
“Jangan berharap Covid-19 hilang dari Indonesia. Tapi mulailah mempersiapkan masyarakat untuk mengarah ke perilaku baru tersebut,” lanjut Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UB ini, seperti dilansir Edisi.co.id.
Menurutnya, dunia ini tidak akan pernah bebas dari Covid-19 apalagi saat ini sangat sulit menyatukan negara untuk melawan virus ini. Sebab masing-masing negara memilih untuk menyelamatkan dirinya sendiri atau masyarakatnya.
Untuk itu dibutuhkan peran pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk menyosialisasikan perilaku dari tatanan baru ini. Yang jelas, dampak dari Covid-19 ini memang telah mengubah tatanan masyarakat. Seperti yang terjadi di Surabaya.
Menyusul cluster Sampoerna, setidaknya 49 orang kini sedang dikarantina, setelah 74 rapid test reaktif, sedang dalam pengawasan. Kemudian, daerah Kedung Baruk, kabarnya 96 rapid test reaktif juga.
Sedih dapat curhatan dari relawan. Ada anak-anak yang perlu perhatian karena bapak-ibunya harus dipindah-dikarantina di suatu tempat (tesnya positif, sementara anak-anaknya negatif). Siapa yang ngopeni…. ngasih makan sehari-hari selama 14 hari?
Jika ingin berdamai dengan corona, seharusnya Presiden Jokowi segera mengambil langkah strategis seperti yang dilakukan oleh Kepala Puskesmas di Jawa Timur tadi. Yang, mungkin juga telah pula dilakukan oleh dokter-dokter lain di Indonesia.
Karena, kabarnya, sudah banyak dokter yang telah mengaplikasikan Probiotik Siklus untuk yang terpapar Covid-19 di kalangan dokter, paramedis, dan warga yang sembuh.
Penulis Wartawan Senior.