PLN Dicengkram Oligarki Listrik Swasta & Bankster

By Salamuddin Daeng

Jakarta FNN – Senin (18/05). Sangat mengagetkan sekali. Sumber kredibel dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), BUMN non financial dengan asset terbesar di tanah air menyebutkan, sebagian besar, yakni sekitar 70% biaya operasional PLN bersifat regulated. Artinya, manajemen tidak akan secara leluasa untuk melakukan langkah dan strategi dalam menekan biaya (cost). Padahal komponen cost ini sekarang sudah sangat membebani operasional PLN.

Pada saat penurunan harga energy primer seperti sekarang, seharusnya PLN dapat menekan biaya-biaya secara significant. Namun sangat disayangkan. Sebab ternyata manajemen PLN tidak dapat melakukan apa-apa untuk menekan biaya opresional. Ini dikarenakan seluruh biaya telah dicengkram oleh berbagai peraturan dan kontrak-kontak sebelumnya. Seperti sudah tersandera dari awal.

Salah satu komponen cost yang paling besar adalah skema atau aturan mengenai pembelian listrik swasta. Dalam laporan keuangan, disebutkan bahwa pada tahun 2015 PLN dan entitas anak perusahaan terikat penjanjian dengan Penghasil Listrik Independen (IPP) “take on pay”. Artinya, PLN dengan entitas anak perusahaan mengambil hampir seluruh listrik dan energi yang dihasilkan pembangkit listrik IPP.

Jenis perjanjian “take on pay” ini ditetapkan sebagai sewa pembiayaan. Dimana porsi paling signifikan dari risiko dan manfaat atas sejumlah pembangkit listrik telah dialihkan ke PLN dan anak perusahaan. Penjelasannya, masa sewa berlaku untuk sebagian besar umur ekonomis aset. Selain itu, terdapat opsi beli pada akhir masa sewa kelak.

Listrik yang dihasilkan pembangkit listrik PLN dan listrik yang dibeli PLN dari IPP Swasta dalam skema “take or pay” tersebut, selanjutnya dijual oleh PLN kepada masyarakat. Nilai penjualan listrik PLN pada tahun 2017 lalu mencapai Rp. 263,477 triliun. Sementara pendapatan usaha PLN secara keseluruha mencapai Rp. 272,897 triliun. Jadanya, PLN dan anak perusahaan harus nombok Rp. 9,420 triliun.

Akibatnya adalah beban usaha PLN sangat besar. Sebagian besar dari beban usaha PLN itu telah regulated. Sulit untuk dikurangi atau ditekan beban tersebut, dikarenakan beban sebagian besar bersumber dari regulasi dan berbagai UU dan Peraturan Pemrintah yang telah mematok harga energy primer. Pemerintah yang menentukan ukuran penyusutan melalui revaluasi asset, dan kontrak-kontrak pembelian listrik oleh PLN kepada sawasta.

Jumlah beban usaha PLN selama tahun 2017 mencapai Rp. 308,188 triliun. Beban usaha tersebut terdiri dari beban bahan bakar dan pelumas. Beban usaha ini adalah merupakan komponen terbesar dalam beban PLN. Nilainya mecapai Rp. 137,266 triliun atau sebesar 44.5 % dari total biaya. Beban usaha terbesar kedua adalah pembelian listrik swasta. Nilanya Rp. 84,267 triliun atau 27,3% dari total biaya.

Beban usaha terbesar ketiga adalah penyusutan, yang nilainya mencapai Rp. 30,744 triliun. Selanjutnya adalah pemeliharaan, dengan nilai Rp. 20,737 triliun. Nilai penyusutan yang terbesar bersumber dari revaluasi asset yang dilakukan PLN, dengan meningkatkan nilai asset hingga mencapai 150%.

Penyesuaian ke nilai terpulihkan atas asset yang menggunakan model biaya, dan penyesuaian ke nilai terpulihkan atas asset tetap yang menggunakan model revaluasi, serta melebihi saldo surplus revaluasi. Untuk asset tetap tersebut dicatat sebagai beban lain-lain yang merupakan bagian dari penghasilan (beban) lain-lain bersih. Beban penyusutan dan pemeliharaan sangat besar, mecapai 16.7% dari total beban operasional PLN di tahun 2017.

Beban keuangan lainnya adalah beban kepegawaian PLN. Nilainya terbilang besar. Mencapai Rp. 22,950 triliun. Jumlah pegawai PLN pada akhir Desember 2018 sebanyak 54.255 orang. Produktivitas pegawai pada tahun 2018 mencapai 4.324 MWh/pegawai dan 1.326 pelanggan/pegawai. Dengan demikian, setiap pegawai PLN dapat menerima upah Rp. 423 juta setiap orang setiap tahun.

Beban operasional PLN sangat tinggi, karena harus membeli energy primer, yakni minyak, gas, dan batubara yang sangat mahal. PLN harus menanggung beban pemeliharaan pembangkit yang tidak lagi produktif. PLN juga menanggung beban penyusutan akibat revaluasi asset.

Nilai beban usaha PLN secara keseluruhan selama tahun 2018 mencapai Rp. 308,188 triliun. Sangat besar dibandingkan kemampuan penjualan perusahaan, yang nilainya hanya mencapai Rp. 263,477 triliun. Akibatnya, kerugian tahun 2018 berdasarkan laporan keuangan Rp 7,366 triliun.

Beban usaha PLN ini, belum lagi ditambah dengan kerugian akibat harus membeli semua energy primer dan listrik swasta dengan dolar. Sementara harus menjual listrik ke masyarakat dalam mata uang rupiah. Ini sangat buruk sekali dikarenakan penerimaan dengan rupiah. Sementara kewajiban dalam dolar.

Bebarapa tahun terakhir, rupiah dianggap sebagai mata uang “sampah”. Sebab kenyataanya rupiah yang sangat rentan terhadap depresiasi. Akibatnya, kerugian kurs mata uang (loss on foreign asing) bersih yang dialami oleh PLN mencapai Rp. 10,926 triliun. Sangat mengkuatirkan praktek keuangan macam ini.

Pada bagian lain, PLN juga harus berdarah-darah menghadapi beban bunga yang sangat besar. Jauh di atas rata rata beban bunga yang dihadapi perusahaan BUMN lain. Akibatnya PLN menderita beban keuangan sangat besar mencapai Rp. 21,624 triliun atau sekitar 7% dari beban perusahaan secara keseluruhan. Jumlah itu setara dengan seluruh beban karyawan perusahaan tersebut. Selamat menjalsakan ibadah puasa.

Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

1770

Related Post