OPINI
Jokowi Siapkan Ahok Jadi Presiden?
Mungkinkah Anies Baswedan vs Ahok akan terulang di pilpres 2024? Tak ada yang tak mungkin. Jika itu terjadi, tentu akan jauh lebih panas dari pilgub DKI 2017 dan pilpres 2019. Benturan sosial mungkin akan jauh lebih dahsyat. Politik identitas yang terakumulasi dengan kekecewaan terhadap kekuasaan akan memicu terjadinya gelombang aksi massa dan benturan sosial. By Tony Rosyid Jakarta FNN - Ahok, manusia satu ini gak ada matinya. Didemo tujuh hingga belasan juta orang, jatuh. Kalah di pilgub DKI dan dipenjara dua tahun. Keluarganya pun ikut berantakan. Keluar dari penjara, Ahok bangkit kembali. Kali ini jadi komisaris utama (komut) PT. Pertamina. BUMN yang aduhai duitnya. Protes dimana-dimana, Jokowi hitung. Ternyata hanya riak, bukan gelombang. Tak berbahaya. Rencana jalan terus. Rupanya, Jokowi punya keyakinan sendiri tentang Ahok. Keyakinan atau rencana? Itu yang sedang dalam banyak pengamatan. Rakyat membaca keyakinan atau rencana Jokowi itu. Kemana arah manuver Jokowi ini nantinya. Yang pasti, Ahok sudah menjadi komut PT. Pertamina. Ini tanda bahwa Ahok punya kesempatan untuk bangkit kembali. Tepatnya, dibangkitkan lagi oleh Jokowi. Belum tampak hasil kinerjanya sebagai komut di PT. Pertamina. Jokowi sebut-sebut Ahok akan jadi calon kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru. Sepertinya Ahok adalah calon terkuat. Meski ada nama Bambang Bridjonegoro, Abdullah Azwar Anas dan Tumiyana. Tiga nama yang disebut belakangan boleh jadi sekedar cadangan. Cadangan hanya akan dipakai jika Ahok gagal. Berpotensi gagal jika protes terhadap Ahok membesar jadi gelombang. Selama protes terhadap Ahok tak masif, apalagi hanya riak-riak kecil di medsos, atau paling banter di acara ILC, peluang Ahok jadi kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru sangat besar. Protes tidak massif, artinya tak bakal membahayakan terhadap posisi Jokowi. Sebaliknya, jika protes mulai membahayakan, mungkin Jokowi akan berhitung lagi. Ahok bisa ditarik mundur selangkah. Seandainya pun Ahok gagal sebagai kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru, tak lantas karir Ahok berhenti di PT. Pertamina. Masih akan ada posisi-posisi strategis yang disiapkan untuk Ahok ke depan. Tentu, sebelum Jokowi turun dari kursi presiden. Jabatan komut PT. Pertamina diduga oleh banyak pengamat hanya sebagai batu loncatan untuk Ahok reborn. Analisis ini seolah mendapat pembenaran ketika Jokowi mengumumkan Ahok sebagai kandidat kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru. Clear! Tak lama setelah nama Ahok disebut sebagai kandidat kepala Badan Otorita Ibu Kota Baru, lagi-lagi Jokowi membuat sebuah pernyataan mengejutkan. "Tidak masalah presiden Indonesia itu non-muslim". Publik ramai. Jokowi dianggap seolah-olah telah menyiapkan perahu politik untuk Ahok yang notabene non-muslim sebagai capres 2024. Analisis ini masuk akal mengingat belum ada nama kandidat yang potensial di luar Anies Baswedan. Survei elektabitas Tito Karnavian, orang dekat Jokowi, masih sangat rendah. Sementara Puan Maharani, Ganjar Pranowo dan Risma, selain masih sangat rendah, juga bukan calon Jokowi. Tiga kader PDIP itu milik Megawati. Kecil kemungkinan Jokowi berpatner dengan Megawati di pilpres 2024. Gabung dengan Mega, Jokowi pasca pensiun hanya akan jadi anggota biasa di PDIP. No pengaruh. Apalagi selama menjadi presiden, kabarnya Jokowi telah banyak mengecewakan Megawati. Maka, akan jauh lebih strategis jika Jokowi punya calon sendiri. Untuk sementara, hanya Ahok dan Tito Karnavian yang bisa dimainkan oleh Jokowi sebagai jagoannya. Jika kedua tokoh ini pun gagal dibranding, mendukung Anies bagi Jokowi jauh lebih rasional dari pada bergabung dengan Megawati. Ketika Jokowi bilang bahwa calon presiden boleh non-muslim, tentu sebagai presiden, Jokowi tak asal bicara. Soal langkah politik, Jokowi sangat terukur. Boleh orang meemehkan, tapi dua periode menjadi presiden bukan perkara mudah. Butuh kemampuan berpolitik kelas tinggi. Jadi, ucapan Jokowi bahwa presiden boleh non-muslim tentu punya arah. Ucapan Jokowi tersebut tidak keluar di ruang hampa. Artinya, bukan omong kosong. Komut PT. Pertamina, lanjut kepala Otorita Ibu Kota Baru, lalu nyapres adalah proses branding. Ahok sendiri baru-baru ini juga pernah menyatakan bahwa dia bisa jadi presiden. Bagaimana dengan aturan perundang-undangan? Semua bisa dirubah dan dikondisikan. Parlemen saat ini ada di genggaman Jokowi. Persoalan sesunghuhnya bukan di aturan, tapi begaimana hasil survei elektabilitas Ahok. Itulah yang akan jadi variabel untuk menentukan. Mungkinkah Anies Baswedan vs Ahok akan terulang di pilpres 2024? Tak ada yang tak mungkin. Jika itu terjadi, tentu akan jauh lebih panas dari pilgub DKI 2017 dan pilpres 2019. Benturan sosial mungkin akan jauh lebih dahsyat. Politik identitas yang terakumulasi dengan kekecewaan terhadap kekuasaan akan memicu terjadinya gelombang aksi massa dan benturan sosial. Secara obyektif, berbasis pada pertama, analisis pilgub DKI 2017. Kedua, melihat psikologi dan karakter rakyat Indonesia, maka rivalitas Anies vs Ahok di pilpres 2024 tidak hanya akan membuat benturan social. Lebih dari itu akan berpotensi terjadinya perang saudara. Tentu, ini adalah prediksi. Bagi kelompok tertentu, Ahok dianggap ancaman. Tidak saja terhadap agama Islam yang dipeluk mayoritas rakyat, tetapi juga bangsa dan negara. Ini sebuah analisis yang baik, sekiranya disurvei datanya di lapangan. Bukan hanya survei elektabilitas berbasis kuantitatif, tetapi juga survei etnografis untuk membaca potensi konflik jika Ahok dipaksakan untuk nyapres. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Produksi Blok Rokan Turun, SKK Migas Bertanggungjawab?
By Marwan Batubara Jakarta FNN - Pengelolaan Blok Rokan akan beralih ke Pertamina pada Agustus 2021. Sebelumnya dikuasai oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) lebih dari setengah abad. Blok Rokan adalah penghasil minyak terbesar Indonesia. Puncak produksi sekitar satu juta barel per hari (bph) pada 1980-an. Saat ini, produksi Blok Rokan hanya sekitar 160.000-an bph. Blok Rokan hanya berpotensi menghasilkan minyak sekitar 140.000-an bph pada 2021. Penurunan produksi tersebut sebagai akibat kelalaian dan pelanggaran peraturan oleh CPI dan pemerintah, terutama SKK Migas. Dalam kondisi produksi migas nasional yang terus menurun pada 6-7 tahun terakhir, Indonesia harus mengimpor minyak (BBM) lebih banyak dari yang mampu diproduksi. Saat harga minyak dunia naik, meningkatnya impor minyak berdampak pada naiknya defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan (current account deficit). Itu sebabnya Presiden Jokowi sangat concern dan berulang-ulang mengingatkan isu defisit kepada jajaran kabinetnya dalam dua tahun terakhir. Saat ini masalah defisit sedikit tertolong karena turunnya harga minyak dunia akibat membanjirnya supply dan melemahnya demand. Akibat lain karena merebaknya wabah Covid-19. Namun jika penurunan kuota produksi minyak OPEC dan Rusia akhirnya disepkati (Jumat 6/3/2020 kesepakatan gagal tercapai), maka harga minyak dapat kembali pulih. Bagi Indonesia, pulihnya harga minya akan menjadi runyam. Sebagai akibat terus turunnya produksi minyak, termasuk dari Blok Rokan. Apalagi jika nilai tukar dollar terus menguat terhadap rupiah. Khusus untuk Blok Rokan, siapa pihak yang pantas dituntut untuk bertanggungjawab? Sebaiknya, mari kita telusuri dan teliti bersama. Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR (20/1/2020), Presiden Direktur CPI Albert Simanjuntak menerangkan bahwa CPI sudah tidak melakukan pengeboran lagi di Blok Rokan sejak 2019. Karena menilai investasinya tidak lagi ekonomis. Untuk mempertahankan tingkat produksi, Albert mengatakan ada tiga opsi yang dapat diambil. Opsi Pertama, CPI yang mendanai dan membor. Opsi Kedua, CPI yang membor dan Pertamina yang mendanai. Opsi Ketiga, Pertamina yang membor dan mendanai. Namun opsi pertama sudah tidak berlaku lagi. CPI telah menghentikan investasi, karena menganggap tidak lagi ekonomis. Saat RDP tersebut, Albert mengaku telah melakukan proses rencana alih kelola Blok Rokan di bawah koordinasi SKK Migas. Untuk itu, telah dibentuk tim koordinasi. Diakui bahwa proses tersebut sudah memiliki jadwal yang disepakati, dan berjalan dengan baik. Namun ternyata hingga saat ini, ketiga opsi semuanya belum ada yang terlaksana. Berkaitan dengan itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan (26/1/2020), pemerintah terus mendorong proses transisi di Blok Rokan. Harapannya, dapat berjalan mulus supaya Pertamina segera berinvestasi, sehingga penurunan laju produksi di Blok Rokan dapat ditekan. Guna mengantisipasi dan menjamin tingkat produksi terjaga, pemerintah telah menerbitkan Permen ESDM No.26/2017 tentang Mekanisme Pengembalian Biaya Investasi Pada Kegiatan Hulu Migas. Pasal 2 Permen tersebut menyatakan: Pertama, kontraktor wajib menjaga kewajaran tingkat produksi migas sampai berakhirnya masa Kontrak Kerja Sama (KKS). Kedua, dalam rangka menjaga tingkat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kontraktor wajib melakukan investasi pada wilayah kerjanya. Selain itu, Permen ESDM No.26/2017 lebih telah direvisi dengan terbitnya Permen ESDM No.24/2018 yang menjamin pengembalian investasi CPI segera dibayar Pertamina sebelum KKS berkahir. Pasal 8 Permen ESDM No.24/2018 antara lain menyatakan bahwa Kontraktor baru (maksudnya Pertamina) wajib melakukan penyelesaian atas nilai pengembalian biaya investasi yang dikeluarkan CPI paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum penandatanganan KKS oleh Pertamina. Hingga saat ini kesepakatan antara CPI dan Pertamina belum juga tercapai. Akibatnya, produksi minyak berpotensi terus turun. Dalam hal ini, kita pantas mempertanyakan atau menggugat CPI dan SKK Migas bertanggungjawab atas potensi kegagalan lifting. Terkait CPI, pertama dinyatakan pada RDP Komisi VII DPR bahwa CPI siap bekerjasama dengan SKK Migas dan Pertamina untuk menciptakan alih kelola yang lancar. Namun, pada prakteknya, CPI tampaknya justru bersikap tidak kooperatif. Kedua, CPI dapat dianggap membuat pernyataan yang tidak benar di hadapan DPR. CPI menyebutkan bahwa investasi di Rokan sudah tidak ekonomis, sehingga CPI tidak melakukan pengeboran. Namun saat yang sama CPI menghalangi Pertamina menjalankan opsi ketiga, di mana Pertamina yang melakukan pemboran sekaligus berinvestasi, dengan berbagai alasan yang lebih bersifat administratif. Ketiga, CPI telah sengaja mengabaikan kewajiban, serta melecehkan peraturan dan kedaulatan negara dengan melanggar pasal 2 Permen ESDM No.26/2017. Peraturan tersebut mewajibkan Kontraktor KKS melakukan investasi guna menjaga tingkat produksi, karena pada prinsipnya seluruh investasi yang dilakukan akan segera dibayarkan kembali oleh Pertamina sebelum KKS berakhir, sebagaiman diatur dalam pasal 8 Permen ESDM No.24/2018. Keempat, terkait dengan butir ketiga, pada prakteknya CPI mengakui telah menghentikan pemboran sejak 2019. Dalam hal ini, rencana tersebut mestinya telah termuat dalam Work Program & Budget (WP & B) yang disepakati dengan SKK Migas pada akhir 2018 atau awal 2019. Dengan kondisi seperti ini, tampak bahwa sebelum negosiasi alih-kelola berlangsung. CPI telah menunujukkan iktikad tidak baik tanpa peduli kepentingan nasional untuk mempertahankan produksi melalui pengelolaan Blok Rokan yang optimal. Terkait dengan SKK Migas, kita perlu mengungkap dan menggugat berbagai kelalaian atau pelanggaran yang dilakukan. SKK Migas dapat dicurigai bernuansa moral hazard dalam pengelolaan Blok Rokan. Pertama, SKK Migas telah lalai menjalankan tugas dan fungsi sesuai Permen ESDM No.17/2017, yang antara lain memberikan persetujuan rencana WP&B, serta memonitor dan melaporkan pelaksanaan KKS kepada Dewan Pengawas, agar lifting tetap terjaga. Kedua, terkait dengan butir pertama, sesuai Perpres No.9/2013, Menteri ESDM sebagai Kepala Dewan Pengawas SKK Migas juga dituntut ikut bertanggungjawab atas penurunan lifting tersebut. Karena membiarkan sikap tidak kooperatif CPI dan kelalaian SKK Migas mengendalikan pelaksanaan KKS dan WP & B Blok Rokan. Menteri ESDM Arifin Tasrif (dan yang sebelumnya Ignatius Jonan) tidak cukup hanya bersikap “mendorong” penyelesaian proses alih-kelola, tanpa menggunakan kekuasaan untuk memaksa dijalankannya peraturan. Ketiga, sebagai pengawas pelaksanaan WP & B berdasarkan SK Kepala SKK Migas No.0154/SKKO/2015 tentang Pedoman Tata Kerja WP&B, SKK Migas telah lalai atau sengaja membiarkan CPI tidak melakukan pemboran pada 2019, sehingga lifting terancam. Ada dua kemungkinan sebagai sumber masalah. Pertama, SKK Migas membiarkan CPI yang sejak semula tidak merencanakan pemboran pada 2019, tanpa memaksa untuk melakukan revisi WP & B sesuai ketentuan PTK No.0154/2015. Kedua, SKK Migas membiarkan saja CPI tidak merealisasikan pemboran meskipun pada awalnya CPI telah membuat rencana dalam WP & B. Keempat, berangkat dari pengalaman alih kelola Blok WMO dan Mahakam, tanpa adanya peraturan pendukung dan peran aktif SKK/BP Migas, maka lifting migas telah menurun drastis saat pengelolaan berpindah tangan. Untuk kasus Blok Rokan, peraturan pendukung telah tersedia, yakni Permen ESDM No.26/2017 dan No.24/2018. Namun, karena ketidakpedulian SKK Migas, yang seharusnya berperan aktif dan antisipatif, malah terkesan enggan melakukan koreksi. Dengan demikian, penurunan produksi seperti kasus WMO dan Mahakam akan kembali terulang. Uraian di atas menunjukkan mengapa dan siapa yang telah bersikap abai atau melanggar aturan? Dampaknya, tingkat produksi Blok Rokan akhirnya menurun lebih cepat dari tingkat penurunan alaminya (karena telah berumur tua). CPI sebagai Kontraktor jelas telah menyatakan sikap tidak berminat berinvestasi karena hal itu sudah tidak ekonomis. Namun CPI tidak pantas berbuat sesuka hati, karena ada peraturan yang membatasi. Masalahnya, SKK Migas yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan dan pengendalian. Setelah itu menjamin dilaksanakannya seluruh peraturan oleh Kontraktor KKS. Namun pada prakteknya pun ikut-ikutan tidak peduli atau membiarkan pelanggaran terjadi. IRESS ikut terlibat aktif bersama Serikat Pekerja dan berbagai elemen masayarakat guna mengadvokasi agar Blok WMO dan Blok Mahakam dikelola BUMN. Saat itu barisan rakyat justru berhadapan dengan Kementerian ESDM dan/atau BP/SKK Migas yang memihak asing. Untuk Blok Rokan, memang keputusan pengelolaan oleh Pertamina telah ditetapkan pada Juli 2018. Meskipun untuk hak yang dijamin konstitusi tersebut, Pertamina harus membayar sekitar Rp 11 triliun. Namun, untuk proses alih kelola yang smooth tampak SKK belum bekerja optimal dan terkesan “lebih dekat” dengan CPI. Semoga saja kesan IRESS di atas salah. Walau indikasi kedekatan tersebut cukup terasa. Sekarang, terserah Presiden Jokowi. Apakah akan bersikap konsisten dengan kebijakan dan program untuk menekan defisit melalui peningkatan lifting migas, terutama menahan laju penurunan lifting Blok Rokan. Bisa juga sabliknya, membiarkan SKK Migas dan CPI mengulur-ulur waktu, entah untuk kepentingan apa? Namun rakyat tidak butuh retorika. Apalagi sandiwara yang melecehkan akal sehat dan dapat dicurigai bernuansa moral hazard. Penulis adalah Managing Director IRESS
Terendus, Aroma Skandal Dua Proyek Kementerian PUPR di Maluku
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Center for Budget Analysis (CBA) menemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam Mega Proyek Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah III Provinsi Maluku (Satker PJN III Prov Maluku) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). “Proyek yang kami maksud adalah Preservasi Jalan yang berlokasi di Pulau Larat dan Pulau Selaru,” ungkap Koordinator Investigasi CBA Jajang Nurjaman. Dalam proses lelang ditemukan dugaan kongkalikong antara pihak Kemen PUPR yakni Pokja 03 BP2JK Maluku sebagai panitia lelang dan Satker PJN III Prov Maluku selaku Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) dengan pihak swasta. Pertama, proses lelang proyek preservasi jalan ini berlarut-larut, sampai dua kali lelang. Pada 25 November 2019 pihak Kementerian PUPR sebenarnya sudah menjalankan tender dan terdapat 2 perusahaan yang memasukan penawaran. Yakni, PT Dian Mosesa Perkasa dengan penawaran Rp 22.480.391.280 dan PT Mitra Pesona Samudra dengan penawaran Rp 23.139.560.049. Tapi lelang ini dibatalkan oleh pihak Kemen PUPR dengan alasan tidak ada yang memenuhi persyaratan evaluasi administrasi, kualifikasi, teknis dan harga. Selanjutnya Kemen PUPR melakukan lelang yang kedua kalinya atau lelang ulang, dan pada 19 Desember 2019 ada tiga peserta yang memasukan penawaran. Pemenang lelang adalah PT Samaprima Jaya (PT SPJ) dengan nilai kontrak yang disepakati: Rp 21.048.981.195,25. Ada kejanggalan dengan dimenangkannya PT. SPJ, hal ini terlihat saat pihak Pokja pemilihan menyampaikan Berita Acara Hasil Pemilihan (BAHP) kepada pejabat Pembuat Komitmen (PPK). “Pihak PPK menolak BAHP dengan alasan alat utama untuk pengerjaan proyek, yakni Self Propolled Rotary Mixer dengan merk/type SEKO, tidak jelas keberadaanya,” ungkap Jajang Nurjaman. Ternyata PT. SPJ saat lelang hanya mengandalkan bukti invoice nomor ABT/014/TH/19, yang mengklaim telah melakukan Pembelian alat Self Propolled Rotary Mixer dari Jepang pada Maret 2019 melalui PT. ABT, dan dalam waktu 3 minggu akan tiba di Jakarta. “Namun setelah dikroscek lagi pada PT. ABT, alat tersebut belum juga ada, dan pihak ABT memberikan keterangan alat tersebut akan tiba di Jakarta dua bulan lagi,” lanjutnya. Meskipun pihak PT. SPJ diduga kuat melakukan pemalsuan invoice, pihak Pokja dan Satker PJN III Prov Maluku selaku Kuasa Anggaran tetap ngotot memenangkan PT. SPJ. Hal ini sangat aneh, padahal sebelumnya lelang proyek ini sempat dibatalkan dengan alasan masalah persyaratan yang tidak terpenuhi. Namun, dalam lelang ulang pihak Kemen PUPR dengan mudahnya meloloskan perusahaan yang tidak memenuhi syarat dan bahkan menjadi pemenang. Berdasarkan catatan di atas, lanjut Jajang Nurjaman, CBA menduga proses lelang proyek Preservasi Jalan yang berlokasi di Pulau Larat dan Pulau Selaru hanya formalitas belaka. Diduga Pokja pemilihan dan PA/KPA sudah menentukan pemenang dari awal. Karena itu, “CBA mendorong KPK untuk segera membuka penyelidikan atas proyek di atas. Panggil Menteri Basuki Hadimuljono, serta panitia lelang mulai dari Pokja, PPK, PA/KPA terkait proyek ini untuk dimintai keterangan,” tegasnya. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, seperti kata Jajang Nurjaman, semestinya memang perlu dimintai keterangan oleh KPK. Karena, proyek pembangunan jalan di Pulau Selaru dan Pulau Selarat itu memang di bawah kewenangan Kemen PUPR. Jejak digital news menunjukkan hal itu. Seperti dilansir AntaraNews.com, Jum’at (11 Januari 2019 00:08 WIB), Menteri Basuki tetap akan terus melanjutkan pembangunan jalan di Pulau Selaru dan Larat, Kabupaten Maluku Tenggara. “Sekarang ini jalan dari Selaru ke Larat ini baru 158 km, nanti juga kami akan melihat yang di Larat, nanti akan kita teruskan,” ujar Menteri PUPR di Yamdena, Maluku pada Kamis (10/1/2019). Menurut Menteri Basuki, pembangunan jalan di Selaru yang baru sampai desa Kandar juga akan dilanjutkan. “Tahun 2019 baru yang perbaikan ini, kemudian nanti pada 2020-2021 akan kita teruskan, itu pasti akan kita teruskan,” katanya. Selain pembangunan jalan, Menteri Basuki juga menyinggung tentang rencana Kementerian PUPR untuk mengganti jembatan Wai Ela dan pembangunan jembatan-jembatan lainnya di Maluku. “Kami di Wai Ela sudah ada dua bentang jembatan yang kami kirim 2x60 m untuk mengganti jembatan Wai Ela, kemudian mungkin jembatan-jembatan lainnya,” kata Menteri PUPR usai bersama Menkeu Sri Mulyani meresmikan Jembatan Leta Oar Ralan yang menghubungkan Pulau Yamdena dan Pulau Larat, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Jembatan Leta Oar Ralan memiliki panjang 322,80 m, lebar 10 m. Jenis konstruksi pondasi menggunakan tiang pancang baja 600 mm, sementara bangunan atas memakai konstruksi beton pracetak prategang. Sebelumnya Menteri Basuki juga menyatakan bahwa fokus Kemen PUPR pada 2019 adalah menyelesaikan pembangunan infrastruktur jalan di pulau-pulau terluar. “Semua pulau-pulau terluar membutuhkan jalan lingkar, itu akan kita fokuskan lebih ke sana,” kata Menteri Basuki di Ambon, Maluku pada Rabu (9/1/2019). Dia lebih lanjut menjelaskan bahwa pihaknya akan menyelesaikan pembangunan jalan-jalan di perbatasan, trans atau lintas wilayah, dan jalan lingkar di pulau-pulau tersebut seperti di Sangihe, Talaud, Yamdena, Morotai, Nias dan Natuna. Adakah keterkaitan dugaan tindak pidana korupsi dalam Mega Proyek Satker PJN III Prov Maluku) Kemen PUPR seperti yang disampaikan CBA di atas? Yakni: Proyek Preservasi Jalan! *** Penulis wartawan senior.
Iuran BPJS Batal Naik, Pemerintah Tarik Suntikan Dana?
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Mungkinkah Menkeu Sri Mulyani tetap ancam tarik suntikan dana Rp 13,5 triliun dari BPJS, setelah Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan Judicial Review (JR) atas kenaikan iuran BPJS melalui Presiden lewat Perpres Nomor 75 Tahun 2019? Jika Sri Mulyani tetap ngotot dan benar-benar menarik dana Rp 13,5 triliun dari BPJS, jelas ini suatu “pembangkangan” hukum karena tidak menghormati putusan MA tersebut. Presiden Joko Widodo bisa langsung memecatnya sebagai Menteri Keuangan. Seperti dilansir Kompas.com, Selasa (18/02/2020, 15:19 WIB), dalam Rapat Gabungan yang meminta agar iuran untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri BPJS Kesehatan batal dinaikkan, Menkeu menanggapi permintaan anggota DPR. Menkeu mengatakan, pihaknya bisa saja menarik kembali dana Rp 13,5 triliun yang sudah disuntikkan ke BPJS Kesehatan untuk membayarkan iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) pemerintah pusat dan daerah yang naik dari Rp 23.500 menjadi Rp 42.000. Selain itu, Menkeu juga menyesuaikan iuran Peserta Penerima Upah (PPU) pemerintah, yaitu TNI, POLRI dan ASN yang ditanggung oleh pemerintah di mana tarifnya menjadi 5 persen dari take home pay sebesar Rp 8 juta menjadi Rp 12 juta. Pasalnya, BPJS Kesehatan berada dalam kondisi keuangan defisit mencapai Rp 32 triliun pada 2019. “Jika meminta Perpres dibatalkan maka Menkeu yang sudah transfer Rp 13,5 triliun 2019 saya tarik kembali,” ujar Sri Mulyani ketika memberikan penjelasan kepada anggota DPR di Jakarta, Selasa (18/2/2020). Sri Mulyani mengatakan, dalam memberikan jaminan sosial kepada masysarakat, pemerintah juga perlu memerhatikan kondisi keuangan negara. Ditambah lagi, pemberian jaminan sosial terutama dalam hal kesehatan perlu dilakukan secara berkelanjutan. Namun demikian, BPJS Kesehatan sebagai lembaga yang memberikan pelayanan tersebut justru mencatatkan defisit sejak 2014. “Sejak program jaminan sosial dilaksanakan 2014 BPJS terus mengalami defisit dengan tren semakin besar tiap tahun. Itu semua harus diakui karena fakta. Tahun 2014 defisit Rp 9 triliun, kemudian disuntik Rp 5 triliun. Tahun 2016 turun Rp 6 triliun dan disuntik Rp 6 triliun,” ujar dia. Jumlah defisit tersebut kembali meningkat pada 2017 yang sebesar Rp 13 triliun dan pada 2018 sebesar Rp 19 triliun. Menurut Sri Mulyani, dengan kondisi saat ini BPJS Kesehatan belum mampu memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran kepada mitra kerjanya yaitu rumah sakit. Padahal banyak pula rumah sakit yang sedang dalam kondisi sulit. “Sistem BPJS kita tidak mampu memenuhi kewajibannya dari sisi kewajiban pembayaran. Padahal disebutkan BPJS maksimal 15 hari membayar. Namun banyak kewajiban BPJS Kesehatan yang bahkan sampai lebih dari 1 tahun tidak dibayarkan,” ujar Sri Mulyani. “Banyak rumah sakit mengalami situasi sangat sulit,” jelas dia. Tampaknya, desakan politis anggota DPR tersebut tidak mempan. Pemerintah tetap saja melanjutkan keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut. Berdasarkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019, iuran Kelas III dinaikkan menjadi Rp 42,000 per bulan dari Rp 25,500. Kelas II dinaikkan menjadi Rp 110,000 dari Rp 51,000. Dan, Kelas I dinaikkan menjadi Rp 160,000 dari semula Rp 80,000. Bagi banyak peserta, kenaikan iuran ini sangat membebani mereka. Tetapi, pemerintah tidak mendengarkan keluhan rakyat. Pemerintah membuat dan memberlakukan kebijakan secara otoriter. Kenaikan tersebut dinilai tidak wajar. Namun, pada Senin (9/3/2020), MA membatalkan kenaikan iuran yang harus mereka bayar sejak 1 Januari 2020. MA mengabulkan gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang dilayangkan awal Desember 2019. Komunitas mengatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sangat tidak masuk akal. Melalui Advokat Muhammad Sholeh, SH, Kusnan Hadi, seorang pedagang kopi, mengajukan JR ke MA terkait Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tersebut. Menurut Sholeh, kenaikan iuran ini dianggap memberatkan. Pasalnya, besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan mencapai dua kali lipat dari tarif sebelumnya. “Kami menggugat Perpres 75/2019 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan karena situasi ekonomi saat ini masih sulit. Tidak pas kalau kenaikan sampai 100 persen," ujar Sholeh melalui pesan singkat yang dilansir dari CNNIndonesia.com, Sabtu (2/11/2019). Sholeh mengatakan, kenaikan iuran BPJS ini memberatkan warga khususnya yang tinggal di daerah. Sebab, terdapat perbedaan penghasilan orang yang tinggal di Jakarta dengan sejumlah daerah di Indonesia lainnya. Padahal kenaikan iuran ini berlaku secara nasional. “UMK di Jakarta sebutlah Rp 4 juta, sementara di daerah ada yang cuma Rp 2 juta. Maka menyamakan kenaikan ini memberatkan warga yang ada di daerah,” katanya. Kenaikan iuran ini, lanjut Sholeh, juga tidak diiringi dengan pelayanan maksimal dari rumah sakit. Selama ini pasien yang berobat dengan BPJS Kesehatan kerap ditolak karena sejumlah persyaratan administrasi. Sementara pihak BPJS Kesehatan sendiri juga tak pernah mengambil sikap atas permasalahan tersebut. “Selama ini BPJS tidak pernah mendampingi pasien di rumah sakit. Banyak orang sakit yang ditolak karena tidak bawa rujukan berjenjang dan BPJS diam saja,” ucap Sholeh. Menurut Sholeh, pemerintah sebaiknya membubarkan BPJS Kesehatan jika memang tak bisa dikelola dengan baik. Apalagi, selama ini BPJS Kesehatan cenderung merugi hingga triliunan rupiah. Sholeh berharap MA membatalkan Perpres tersebut dan mengembalikan pada Perpres Nomor 82 Tahun 2018. “Ketika rugi dibebankan ke peserta BPJS. Lebih baik bubarkan saja dan kembali ke sistem lama di mana pemerintah hanya menanggung orang miskin ketika sakit, bukan seperti BPJS yang mensubsidi orang kaya yang sakit,” tuturnya. Apa yang diharapkan Sholeh, ternyata dikabulkan MA. MA mengabulkan JR Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan tersebut. Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020. “Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata juru bicara MA, hakim agung Andi Samsan Nganro saat berbincang dengan Detik.com, Senin (9/3/2020). Majelis hakim diketuai Supandi, anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi. Menurut MA, Pasal 34 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan Pasal 23 A, Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat 3 UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. “Bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial. Bertentangan dengan Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 171 UU Kesehatan,” tegas majelis. Pasal yang dinyatakan batal dan tidak berlaku berbunyi: Pasal 34 (1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar: a. Rp 42.OOO,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III. b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I. (2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O. Dengan dibatalkannya pasal di atas, maka iuran BPJS kembali ke iuran semula, yaitu: a. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas 3 b. Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas 2 c. Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas 1 Sebelumnya, Presiden Jokowi telah menandatangani Perpres 75 Tahun 2019 yang memuat ketentuan iuran baru BPJS Kesehatan. Beleid itu mengatur iuran untuk kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu per bulan per peserta. Sementara, untuk kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu, dan kelas I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu. Secara persentase, kenaikan rata-rata mencapai 100 persen. Kebijakan ini menuai protes dari berbagai kalangan, masyarakat, pengamat, hingga serikat pekerja. Semoga putusan MA ini melegakan mereka! *** Penulis wartawan senior.
RUU Omnibus Cipta Kerja VS Pancasila, “Dimana BPIP Ngumpet?”
By Margarito Kamis Jakarta FNN - Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP), entah apa penyebabnya, sejauh ini tidak mendatangi rakyat Indonesia dengan pikiran-pikiran mereka tentang artikulasi Pancasila dalam RUU Omnibus Cipta Kerja. Padahal dalam kenyataannya, RUU multispektrum ini, telah menarik begitu banyak pikiran kritis. Langgamnya jelas, kelak bila diterima jadi UU, diyakini bakal menyengsarakan. Bukan bakal menyenangkan rakyat. Menariknya, BPIP telah begitu bergairah memasuki panggung bernegara dengan serangkaian gagasan. Setidaknya pikiran-pikiran kritisnya. Itu terlihat di pekan-pekan sebelumnya. Jadilah pekan-pekan itu sebagai pekan yang gaduh. Gaduh karena pikiran-pikiran yang terlontar, terlihat tidak terkerangkakan secara konseptual. Tetapi apapun itu, soalnya sekarang adalah mengapa BPIP diam dalam isu RUU Cipta Kerja ini? Apa karena kegaduhan yang melilit BPIP beberapa waktu lalu itu menjadi penyebab terbesarnya? Apakah BPIP memandang Pancasila hanya relefan dibicarakan, sejauh menyangkut tindak-tanduk sebagian atau seluruh ummat Islam? Apa Pancasila hanya dibicarakan dalam konteks radikalisme, intoleransi dan sejenisnya yang diasosiasikan secara signifikan pada Ummat Islam? Apa Pancasila hanya relefan dibicarakan untuk memastikan integrasi sosial ditengah pluralisme? Bila hanya itu relefansinya, apakah BPIP hendak mereduksi level Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup, filsafat berbangsa dan bernegara? Sebagai dasar negara, sebagai filsafat bernegara dan sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, Pancasila tidak bisa direduksi sekadar sebagai timbangan terhadap tindak-tanduk sosial dan kultural individu atau kelompok. Tidak bisa. BPIP, layak dibayangkan, harus memasuki isu hukum. Beralasan BPIP menakar setiap RUU. Bukan hanya RUU ini, tetapi juga UU lain dengan Pancasila. Dalam konteks itu, BPIP perlu berurusan dengan teknis penalaran hukum atas teks dalam pasal, ayat dan huruf RUU atau UU. BPIP perlu menakar level nilainya, level meta yuridisnya dan konsekuensi-konsekuensi implisitnya. Khusus meta yuridis, harus dikatakan dimanapun, selalu bertalian dengan nilai-nilai fundamental. Bukan pasal demi pasal atau UU itu saja, melainkan juga pandangan hidup sebuah bangsa di balik pasal-pasal tersebut. Pancasila dengan kelima silanya itu harus. Dengan demikian, diterima tanpa reserve sebagai genus nilai dalam pembentukan hukum. Pada konteks itu, BPIP layak mendemonstrasikan pikiran-pikiran brilian megenai derajat nilai kemanusiaan dalam pasal demi pasal RUU ini. BPIP mesti dapat memastikan bahwa kemanusiaan yang dikonsepkan RUU ini senafas dengan nilai kemanusiaan yang terkonsep dalam Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Bukan kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab. Menciptakan lapangan kerja, yang secara konstitusional tertakdir sebagai kewajiban pemerintah. Sepintas terlihat hebat. Tetapi tidak cukup hanya sampai disitu. Mengapa? Pancasila mengharuskan lapangan kerja yang tercipta itu menjadi sarana idiologis untuk “mengadabkan” manusia Indonesia. Poin idiologisnya adalah lapangan kerja yang diciptakan itu harus membuat pekerja mampu menghasilkan kehidupan yang adil, beradab dan bermartabat. Rasanya agar konsep kemanusiaan yang adil dan beradab itu teralisasikan, bukan didengungkan begitu saja oleh BPIP. Untuk itu, BPIP harus memiliki kriteria idiologis tentang, misalnya konsep kerja yang menurut satuan waktu. Konsep kerja satuan waktu ini terlihat dari rumusan waktu kerja, seminggu sekian jam atau sehari sekian jam. Konsep itu melahirkan konsekuensi kerja “jam-jaman.” Hebat bila BPIP dapat memproyeksikan konsekuensi legal dan teknisnya. Konsekuensi teknis legal yang saat ini dapat dibayangkan adalah korporasi dapat secara bebas dan leluasa menggunakan pasal “bekerja berdasarkan jam-jaman.” Ini masalahnya. Apakah konsep ini senafas dengan kriteria idiologis Pancasila? Apakah BPIP memiliki criteria itu? Yang saya maksudkan dengan kriteria idiologis adalah konsep itu harus menghasilkan kepastian bagi setiap pekerja merencanakan kehidupannya. Dengan merencanakan kehidupan masa depannya, maka mereka dapat hidup dengan level martabat dan adab yang diimpikan Pancasila. Masalahnya, apakah BPIP memiliki kriteria dan penalaran yang khas tentang itu? BPIP, mesti mempertimbangkan apakah logis “bekerja jam-jaman”? Tetapi kepada pekerja tidak diberikan, misalnya hak pensiun atau pesangon? Andai dianggap logis. Tidak diberi hak pensiun atau pesangon, karena sifat kerjanya adalah yang jam-jaman. Bukan bekerja secara permanen, maka soal idiologis segera muncul. Apa itu soalnya? Soalnya adalah beradabkah membangun sistem kerja yang tidak berkepastian bagi pekerja? Beradabkah menciptakan lapangan kerja bagi setiap orang yang memasukinya, tetapi tidak memilki dasar untuk membayangkan, apalagi merencanakan kehidupan masa depannya? Konseptualisasi kerja jam-jaman, harus diakui, telah menjadi hal biasa dalam tatanan kerja universal. Terlihat jelas pola itu disajikan sebagai salah satu cara paling tepat dan unggul. Yang memungkinkan sebagian negara, terutama liberal ke level ekonomi hebat. Liberalisasi tenaga kerja asing terlihat biasa saja dalam konteks ini. Korporasi, asing maupun dalam negeri, akan menerima sistem ini sebagai sistem yang hebat. Mereka terbebas dari berbagai kewajiban yang selama ini teridentifikasi memberatkan. Masalahnya, pasal 27 dan pasal 33 UUD 1945 menggariskan prinsip khusus yang harus dituruti oleh pemerintah. Pasal 27 mengharuskan pemerintah menomorsatukan Warga Negara Indonesia. Menyediakan mereka pekerjaan yang layak bagi perikemananusiaan dan perikeadilan. Perikemanusiaan dan perikeadilan yang dibayangkan sebagai cara menghasilkan kehidupan yang beradab dan bermartabat. BPIP harus dapat memastikan bahwa pemerintah merealisasikannya. Tidak itu saja. BPIP harus pada setiap saat memastikan pemerintah membangun sistem ekonomi yang selaras dengan konsep kekeluargaan, ya "gotong royong". Tidak yang lain. Pasal 33 UUD 1945 sangat jelas dalam soal itu. Pasal ini juga jelas membebani pemerintah dengan kewajiban menciptakan sistem ekonomi yang tidak merusak lingkungan sekitar, termasuk tidak merusak masyarakatnya. Lebih jauh menurut pasal 33 UUD 1945, juga mengharuskan pemerintah menciptakan sistem ekonomi yang efisien. Tetapi efisiensi yang digariskan pasal 33 UUD 1945 adalah efisiensi yang tidak “memberangus” nilai keadilan. Efisiensi tipikal ini tidak memiliki makna lain selain “efisiensi” yang menghidupkan perikemanusiaan. Praktis ini eifisiensi berkarakter idiologi Pancasila. Efisiensi jenis itu jelas bukan efisiensi liberal. Bukan juga efisiensi klasik maupun modern, yang bertumpu pada kebebasan berkontrak. Konsep kekebasan berkontrak, khas liberal, klasik maupun modern bertumpu pada otonomi individu. Dalam konsep ini, otonomi individu tertakdir menjadi genusnya dan kekebasan berkontrak menjadi sui generisnya sendiri, dan hanya itu dalam karakter ikutannya. Ini bukan pola hubungan hukum hubungan kerja khas yang dikehendaki oleh pasal 33 UUD 1945. Bila BPIP memiliki kehendak memasuki isu hukum, maka menarik menantikan bagaimana BPIP menjelaskan dengan langgam kongklusif nama RUU ini. Namanya RUU Cipta Kerja, tetapi isinya mencakup berbagai isu. Itukah yang menjadi soal? Tidak. Yang menjadi soal adalah bagaimana BPIP menjelaskan genus RUU ini, dan sui generisnya. Sesuai namanya, maka cipta kerja harus dianggap dan diterima sebagai genus RUU ini. Tetapi mengapa terdapat pengaturan mengenai investasi, izin dan lain sebagainya ikut menjadi materi muatan yang bersifat integral dalam RUU ini? Apakah pemerintah menggunakan penalaran berdasarkan genus proximum et diferentiam spesificam? Terus terang nalar ini cukup sulit diterapkan dalam RUU ini. Mengapa? Izin lingkungan, Amdal, dan sertifikasi halal misalnya, jelas bukan satu bentuk terdekat sui negeris. Bukan pula “diferentiam spesificam” pada konsep cipta kerja. Sungguh terlihat banyak kekaburan penalaran menyertai RUU ini. Soal ini logis dibayangkan sebagai masalah dasar RUU ini. Mengapa? RUU ini, kelak setelah menjadi UU tidak bakal menghasilkan kepastian hukum. Padahal kepastian hukum menjadi jantung dari hukum. Watak objektif dari hukum terletak ada kepastian hukum. Sekali watak ini hilang, maka yang muncul adalah tindakan sewenang-wenang. BPIP pada titik itu, logis untuk memasuki isu ini. Tentu saja dengan menggunakan atau menyodorkan pertimbangan dan penalaran idiologis yang berbasis Pancasila. Pancasila yang tidak mungkin memberi toleransi pada kesewenang-wenangan. Pasti itu tidak mungkin. Tetapi kesewenang-wenangan itu sangat mungkin bisa terjadi, karena kekaburan konsep dasar dari RUU ini. BPIP mau tidak mau harus menemukan cara. BPIP harus keluar untuk menyelaraskan RUU ini, khususnya materi muatan dalam pasal, ayat dan huruf, dengan nilai-nilai kebesaran Pancasila. BPIP tidak boleh hanya jago dalam berwacana sekitar radikalisme dan intoleransi. BPIP harus mengerti lebih dari siapapun di Indonesia bahwa UU merupakan cara sebuah bangsa menciptakan tatanan berbangsa dan bernegara. Di dalamnya ada hak dan kewajiban yang menemukan bentuknya yang kongkrit. Akhirnya mari menantikan pikiran-pikiran BPIP tentang Pancasila yang terkait dengan RUU ini. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
DPR Provinsi Papua Bentuk Pansus Kemanusiaan, “Terobosan Penting”
By Marthen Goo Jakarta, FNN - Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan di Papua terjadi sejak pertama kali Trikora digelar. Trikora dicanangkan oleh Soekarno di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961. Setelah itu, diiukiti dengan pendudukan militer yang melakukan berbagai operasi militer di Papua. Tentu dari berbagai operasi militer yang dilaksankan di Papua, tidak sedikit rakyat Papua menjadi korban. Tidak hanya berhenti sampai pada tahun 1963. Ketika Papua diserahkan ke Indonesia oleh UNTEA. Namun kejahatan hak asasi manusia masih terus berlangsung hingga Pepera 1969. Anehnya lagi, dalam implementasi Pepera, kejahatan terhadap hak asasi manusia masih dilakukan. Bahkan, dalam Pepera 1969 tidak ada proses demokrasi. Kejahatan terhadap kemanusian di Papua masih terus berlangsung dari tahun 1969 hingga 1998. Tahun 1998, di Indonesia dikenal sebagai puncak dari implementasi demokrasi. Pemilihan Presiden di era demokrasi dilaksanakan tahun 1999, dan memilih Gus Dur sebagai Presiden Indonesia. Gus Dur yang memimpin Indonesia, sejak tanggal 20 Oktober 1999 sampai dengan 23 Juli 2001 cukup berhasil membuat tidak terjadi lagi pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Walau demikian, rentetan kasus pelanggaran hak asasi manusia belum diselesaikannya. Gus Dur telah meletakan peradaban baru dengan gaya kepemimpinannya yang tidak ada lagi ditemukan pelanggaran hak asasi manusia. Selama kepemimpinan Gus Dur tidak ada pelanggaran HAM. Sayangnya, setelah setelah Gus Dur dilengserkan, palangaran HAM di Papua kembali terjadi. Walau tidak memenuhi kepastian hukum, karena belum dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Konstitusi, Papua kemudian dibuat dasar hukum baru. Dasar hokum baru itu dikenal dengan istilah “Desentralisasi Asimetrik”. Dalam regulasinya dikenal dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Sejak diberlakukan Otonomi Khusus Papua tersebut, sampai tahun ini, tidak menghilangkan kasus kejahatan kemanusiaan. Banyak kasus kejahatan kemanusiaan terjadi walau Papua dikenal dengan Propinsi yang berstatus Otonomi Khusus. Kasus di Nduga adalah kejahatan kemanusiaan yang serius, jika merujuk pada pasal 8, dan 9 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Patut diduga pelanggaran HAM yang terjadi di Papua saat ini telah memenuhi pasal 8 dan 9 UU No.26 Tahun 2000. Untuk kasus Nduga, tentu butuh penyelidikan Komnas HAM sebagai lembaga Negara yang memiliki otoritas untuk menyimpulkan kasus tersebut. Selain kasus Nduga, kini rentetan kasus terjadi kembali, seperti di Intan Jaya, dimana ada warga sipil menjadi korban kekerasan. Tidak Boleh Melupakan Sejarah Tidak sedikit tokoh nasional dengan gagah dan percaya dirinya menyampaikan “Bangsa Yang Besar adalah Bangsa Yan tidak Boleh Meninggalkan Sejarahnya”. Begitu kata Soekarto tentang pentingnya mengingat sejarah. Tentu saja pernyataan itu sangat kren dan berkelas. Kemudian pengertian itu dibuat dalam istilah “Jas Merah”. Yang artinya, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dengan berpegang pada pernyataan “jangan pernah melupakan sejarah” tersebut, tentu kejahatan kemanusiaan pun harus dilihat sebagai kejahatan sejarah kelam. Apalagi jika proses hukum tidak pernah dilaksanakan. Kasus pelanggaran HAM di Papua harus dilihat sebagai catatan buruk terhadap negara yang wajib hukumnya untuk diselesaikan. Tentu Indonesia sebagai negara, harus melihat bahwa kasus kejahatan terhadap kemanusiaan adalah masalah serius negara. Setiap pelakunya harus dihukum. Para pelakunya juga harus berkomitmen untuk tidak melakukan perbuatan kejahatan terhadap kemusiaan sejak sekarang dan seterusnya. Tujuannya, untuk membersihkan sejarah kelam bangsa. Karena setiap kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi saat ini, akan terus menjadi sejarah buruk dalam berbangsa dan bernegara. Juga akan menciptakan ketidakpercayaan terhadap Negara. Negara harus berani, jujur dan terbuka untuk menyelesaikan berbagai masalah HAM. Tidak hanya di Papua. Tentu saja termasuk untuk kasus Talang Sari, Tanjung Priok, Semanggi, Trisakti. Jika kata-kata Soekarno tentang sejarah bisa diartikan dalam prespektif yang mengakar, maka bisa dibuat istilah “Pemimpin yang bijaksana adalah pemimpin yang berani menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Selain itu, mematikan kasus pelanggaran HAM tidak terjadi lagi di Indonesia”. Apresiasi DPR Propinsi Papua Tentu kita tahu bahwa undang-undang tentang HAM di Indonesia dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang tersebut, lembaga yang diberi kewenangan merumuskan dan menetapkan kasus pelanggaran HAM adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Yang disayangkan sikap dari Komnas HAM sekarang adalah “pasif”. Pengertian pasif dalam sifat Komnas HAM adalah menunggu datangnya lapora. Setelah itu barulah dilakukan tindakan lanjut sesuai dengan laporan. Jadi, jika tidak ada laporan ke Komnas HAM, terkadang Komnas HAM kesulitan untuk mencari kasus-kasus HAM yang terjadi di seluruh Indonesia. Karena Komnas HAM lebih pada menunggu laporan, sementara rentetan pelanggaran kasus HAM jalan terus, seperti di Papua, maka, langkah kongkrit harus dipikirkan untuk dilakukan. Terkait dengan Pansus Kemanusiaan oleh DPR Provinsi Papua tersebut, ada dua hal yang bisa tercapai, dan itu membantu Komnas HAM dan Negara adalah; Pertama, membantu Komnas HAM mengumpulkan fakta tentang berbagai kasus HAM di Papua. Setelah itu dibuatkan laporan pengaduan, agar Komnas HAM bisa mulai melakukan pekerjaannya. Selain itu, sebagai tugas pokok DPR untuk memproteksi warga negara. Kedua, membantu negara, agar bisa memproteksi rakyat dari kejahatan kemanusiaan. Selain itu, menghapus kejahatan kemanusiaan terjadi di Indonesia. Sekali lagi, patut untuk mengapresiasi langkah kongkrit sebagai tahapan awal yang sudah dilakukan DPR Papua, dengan membentuk Pansus Kemanusiaan. Ini terobosan yang sangat luar biasa. Sebab bisa dijadikan sebagai sarana memproteksi rakyat. Langkah ini juga bagian dari tujuan nasional yang kongrit, yakni melindungi segenap rakyat. Karena melindungi rakyat itu adalah bagian dari tujuan nasional kita dalam berbangsa dan bernegara, maka, semua pihak wajib memberikan apresiasi kepada DPR Provinsi Papua. Selain itu, memberikan mendukungan, agar kerja-kerja Pansus Kemanusiaan DPR Provinsi Papua bisa berjalan dengan lancar. Yang Bisa Dilakukan Pansus Dari pikiran luar biasa yang dilahirkan oleh DPR Provinsi Papua, lahirlah Pansus Kemanusiaan.Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai proses kerja Pansus. Misalnya, Pansus Kemanusiaan segera melakukan Forum Group Discussion (FGD)dengan berbagai stakeholder guna mendengarkan masukan-masukan sebagai dasar dan bijakan kerja Pansus. Pansus Kemanusiaan bisa mendorong pembentukan Pansus Kemanusiaan di Setiap Kabupaten atau Kota di Papua. Namanaya Pansus DPR Daerah untuk di seluruh Kabupaten atau Kota. Tujuannya, untuk mempermudah hubungan kerja dan investigasi setiap kasus. Merumuskan tahap-tahapan Advokasi. Selain itu, membuat laporan tahunan tentang kasus pelanggaran HAM di Papua. Setelah itu, evaluasi dan publikasi kepada publik setiap hasil kerja Pansus. Tentu dengan kerja-kerja kongkrit Pansus tersebut, diharapkan akan meminimalisir kejahatan kemanusiaan di Papua. Jika kejahatan kemanusiaan di Papua dapat diminimalisir, bahkan hilang dari Papua, maka tujuan nasional yakni melindungi segenap warga negara akan terwujud. Mari kita dukung kerja-kerja Pansus Kemanusiaan untuk memproteksi kemanusiaan di Papua. Harapnnya, kerja Pansus Kemanusiaan ini bisa berjalan maksimal. Semoga Tuhan memberkati pekerjaan Pansus Kemanusiaan. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dari Papua
Kontrak Pecatur Irene Kharisma Sukandar Contoh Nyata Korupsi Dana Hibah KONI
Jika memang benar telah terjadi dugaan korupsi “kontrak atlet” tentunya harus ada pihak yang bertanggung jawab! Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Lembaga Penegak Hukum seperti KPK, Kejaksaan, maupun Polri, mulai menyelidiki dugaan penyalahgunaan Dana Hibah Olahraga KONI Jawa Timur ketika PON XIX/2016 di Bandung. Salah satunya terkait “Kontrak Atlet” pecatur nasional. Dilansir Liputan6.com (10 Jul 2013, 03:25 WIB), pecatur nasional Grand Master Wanita (GMW) Irene Kharisma Sukandar dipastikan batal pindah ke Jatim, setelah PB Percasi dan KONI Jabar melakukan pertemuan membahas terkait kasus mutasi atlet itu. “Ya KONI Jabar sudah bertemu dengan PB Percasi terkait masalah Irene, intinya PB Percasi menyatakan Irene atlet Jabar,” ungkap Ketua Umum KONI Jabar H Azis Syarif di Bandung, Selasa (9/7/13). Pertemuan yang berlangsung di sebuah hotel di Kota Bandung tersebut dihadiri oleh Ketua PB Percasi Hasyim Djojohadikusumo, Wakil Ketua PB Percasi Utut Adianto, Ketua KONI Jabar H Azis Syarif, Ketua II KONI Jabar M Yudha Saputra, Ketua Pengda Percasi Jabar Syarif Bastaman serta orang tua Irene, Singgih H. Dalam pertemuan itu, kata Azis Syarif, memastikan tidak ada kepindahan Irene ke Jatim, meski sebelumnya atlet nasional itu telah melakukan penandatanganan kerja sama dengan KONI Jatim pada 2012, serta mendapat bantuan dana pembinaan. “Dalam pertemuan itu sudah jelas posisinya, Irene tetap atlet Jabar dan akan memperkuat dalam berbagai kejuaraan dan PON XIX/2016,” kata Azis Syarif. Terlepas dari gagalnya kepindahan Irene ke Jatim, kata Azis Syarif, KONI Jabar tidak merasa menang. Ini karena yang terpenting aturan main telah ditegakkan dan semuanya bisa menerimanya, termasuk atlet yang bersangkutan. “Bukan kalah menang dalam hal ini, namun hal yang baru terjadi itu harus menjadi pelajaran bersama, kepindahan atlet itu harus ditempuh melalui mekanisme yang benar. KONI Jabar selama ini memperjuangkan karena selama ini turut memberi dukungan dan membina Irene Kharisma,” kata Azis Syarif. Terkait kewajiban atlet yang bersangkutan mengembalikan dana kepada KONI Jatim, kata Azis Syarif, menjadi tanggung jawab atlet yang bersangkutan. Namun, ia mengapresiasi PB Percasi yang menyatakan siap mendukung Irene Kharisma dalam berbagai kegiatan. “Kami apresiasi semua pihak bisa melihat permasalahan ini sesuai dengan yang seharusnya, sesuai mekanisme. Dan ke depan Irene akan menjadi tumpuan dan harapan Jabar termasuk di ajang PON XIX/2016,” kata Azis Syarif. Sumber di KONI Jatim mengakui, Irene memang belum mengembalikan dana pembinaan PON 2016. Secara hukum Irene salah tidak mengembalikan dana. Namun, KONI Jatim juga salah. Telah mengalirkan dana pembinaan ketika kesepakatan kontrak belum selesai. Jadi, jelas melanggar hukum. Penyelewengan anggaran dana Hibah Olahraga. Belum kembalinya dana pembinaan Irene, telah jadi rahasia umum. Semua pengurus KONI Jatim yang terlibat dalam PON 2016 sudah tahu ini. Demikian pula, KONI Kabupaten/kota dan Pengprov Percasi Jatim. Ironisnya mereka semua diam. Kabarnya, soal “kontrak atlet” Irene ini yang salah satu bahan pendalaman lembaga hukum. Karena, kontrak belum pasti, dan pindahan belum jelas, tapi KONI Jatim sudah berikan dana pembinaan. Nilainya lumayan besar sekitar Rp15 juta/bulan. Dan. sudah dibayar sekitar 2 tahun lebih. Juga, sebagian dana transfer yang nilainya sama, sekitar Rp500 juta. Menurut Advokat Subagyo, SH, suatu pembayaran dari pihak ke pihak lain itu ada dasar atau alasannya. Apakah itu hibah, atau karena prestasi tertentu, atau karena janji tertentu. Tinggal dilihat kontrak atau perjanjian antara Irene dengan KONI Jatim. Jika misalnya kontraknya adalah agar Irene menjadi atlet Jatim, dan itu tidak bisa terealisasi, berarti kan kontraknya batal. Secara hukum, jika kontraknya batal kan dikembalikan pada posisi semula. Irene harus mengembalikan dana itu ke KONI Jatim. Lalu bagaimana jika dana itu tidak dikembalikan atau Irene tidak mampu mengembalikan? “Ya unsur melawan hukumnya terpenuhi, karena Irene tidak memenuhi kewajiban untuk mengembalikan uang yang bukan haknya kepada KONI Jatim,” tegas Subagyo. Pasal 1360 KUHPerdata jadi dasar kewajiban Irene mengembalikan uang dari KONI Jatim tersebut. “Jika uangnya dari uang negara ya bisa jadi kasus korupsi. Pengurus KONI Jatim yang terlibat ya juga bisa jadi pelaku penyerta dalam kasus korupsinya,” lanjutnya. Sekarang tinggal diperiksa saja terhadap pembayaran itu apakah Irene sudah menjalankan prestasi menurut kontraknya. Terlebih lagi jika penggunaan dana dengan cara pembayaran kepada Irene itu menyalahi peraturan peruntukannya ya bisa jadi perkara. Melihat keseriusan aparat penegak hukum menelusur dugaan penyelewengan penggunaan dana hibah olahraga KONI Jatim ini, sebaiknya Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa segera melakukan klarifikasi ke KONI Jatim. Jika memang benar telah terjadi dugaan korupsi “kontrak atlet” tentunya harus ada pihak yang bertanggung jawab! *** Penulis wartawan senior.
Setelah BPJS, Ayo Gugat Juga Pemindahan Ibukota
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Hari ini, para pembayar iuran BPJS Kesehatan bergembira. Kemarin, Senin (9/3/2020) Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran yang harus mereka bayar sejak 1 Januari 2020. MA mengabulkan gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang dilayangkan awal Desember 2019. Komunitas mengatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sangat tidak masuk akal. Kenaikan itu dilakukan secara sewenang-wenang oleh Presiden lewat Perpres No. 75 Tahun 2019. Iuran Kelas III dinaikkan menjadi Rp42,000 per bulan dari Rp25,500. Kelas II dinaikkan menjadi Rp110,000 dari Rp51,000. Dan Kelas I dinaikkan menjadi Rp160,000 dari semula Rp80,000. Bagi banyak peserta, kenaikan iuran ini sangat membebani mereka. Tetapi, pemerintah tidak mendengarkan keluhan rakyat. Pemerintah membuat dan memberlakukan kebijakan secara otoriter. Alhamdulillah, MA masih bisa diharapkan untuk menegakkan keadilan. Pemerintah harus mengembalikan besaran iuran BPJS Kesehatan ke harga semula. Sebetulnya, banyak lagi kesewenangan pemerintah yang pantas digugat. Salah satunya adalah pemindahan ibukota negara ke Kalimantan Timur. Sudah banyak yang mengatakan bahwa pemindahan ibukota bukanlah hal yang mendesak. Proyek ini hanya akan buang-buang duit negara. Yang paling senang adalah para pemilik ratusan ribu hektar lahan untuk ibukota baru itu. Merekalah yang dibuat kaya-raya oleh Presiden Jokowi. Rakyat tidak merasakan manfaat apa-apa. Bahkan, ribuan pegawai negeri akan merasakan beban berat kalau mereka harus pindah lokasi dari Jakarta. Setelah kemenangan gugatan BPJS Kesehatan, berbagai pihak tampaknya memiliki peluang untuk menggugat pemindahan ibukota. Banyak dasar penggugatan. Pertama, pemidahan ibukota tidak bisa hanya diputuskan oleh Presiden. Ibukota negara adalah entitas yang menjadi hak dan menyangkut kepentingan rakyat seluruhnya. Karena itu, harus ada proses yang melibatkan seluruh rakyat yang punya hak pilih. Harus ada referendum. Rakyat harus ditanya, setuju pindah atau tidak. Kedua, pemindahan ibukota itu akan membebani keuangan negara ribuan triliun. Hanya akan menumpuk utang yang kemudian harus dibayar oleh rakyat. Padahal, utang yang sudah menggunung saat ini saja menimbulkan dampak buruk terhadap pemenuhan kewajiban negara atas rakyat. Termasuklah beban kenaikan BPJS Kesehatan yang dibatalkan oleh MA. Ketiga, pemindahan ibukota akan membuka peluang korupsi dan kolusi. Pemindahan ini hanya akan memperkaya para pemegang kekuasaan dan kroni-kroni mereka yang akan dilibatkan dalam proses pemidahan. Para pemilik ratusan ribu hektar lahan akan menangguk keuntungan besar. Juga para pengembang yang sudah banyak mengisap kekayaan negara selama ini. Mereka itulah yang akan ditambah kekayaannya berlipat-lipat oleh pemidahan ibukota. Dan orangnya itu-itu juga. Sudah bisa dipetakan. Keempat, pemindahan ibukota hampir pasti akan menyusahkan para pegawai yang juga harus pindah. Tidak semua pegawai negeri memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai problem yang muncul jika mereka harus pindah ke ibukota baru. Ada masalah finansial, masalah anggota keluarga, masalah sosial, dlsb. Jadi, ada celah untuk menggugat pemindahan ibukota. Rakyat bisa melakukan gugatan ’class action’. Para pegawai negeri juga bisa menggugat keputusan Presiden Jokowi tentang pemindahan ibukota itu. Jangan biarkan pemindahan itu berjalan tanpa ada ‘check and balances’. Jangan biarkan peluang korupsi menjadi kenyataan. Kesewenangan Presiden Jokowi harus dicegah. Dia tidak boleh menjadi otoriter yang mengutamakan kepentingan dan keuntungan segelintir pemiliki modal yang culas dan rakus. Yakinlah, gugatan Anda akan berhasil.[] 10 Maret 2020 Penulis wartawan senior.
Periodesasi Jabatan Hakim, Logika Menyesatkan Atas Kekuasaan Kehakiman
Patut diduga, bahwa pihak yang mengajukan JR atas UU Mahkamah Agung adalah pihak yang menghendaki runtuhnya Indonesia sebagai negara hukum. Sebab yang terjadi adalah adanya pelemahan terhadap kekuasaan kehakiman. Jika kekuasaan kehakiman menjadi tidak berdaya dan lemah dalam menjalankan fungsinya, maka sudah dipastikan akan terjadi dominasi kekuasaan yang terpusat pada satu kekuasaan tertentu. By Dr. Ismail Rumadan Jakarta, FNN - Jabatan hakim adalah suatu jabatan yang dijamin kebebasan dan kemerdekaannya. Hakim yang harus bebas itum baik di dalam konstitusi maupun prinsip- prinsip universal kekuasaan kehakiman. Article A.1-A.2 International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence,1982, menyebutkan bahwa, “hakim harus mendapatkan independensi personal dan independensi substantif." Independensi personal, mengartikan bahwa syarat dan kondisi pelayanan peradilan dijamin secara memadai. Harus dipastikan bahwa hakim tidak tunduk pada kontrol eksekutif. Sedangkan Independensi substantif, mengartikan bahwa dalam melaksanakan fungsi yudisialnya, hakim tidak tunduk pada tekanan apapun selain hukum dan hati nuraninya. Untuk itu, kekuasaan kehakiman secara keseluruhan harus mendapatkan otonomi dan independensi. Berkaitan dengan itu, patut dipertanyakan apa rasio legis yang digunakan oleh pihak yang mengajukan Judicial Review (JR) terhadap UU Nomor 3 tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, terkait dengan masa jabatan hakim Agung? Logika yang dibangun oleh pihak yang mengajukan JR terhadap UU Mahkamah Agung adalah sebuah logika yang sangat dangkal dan minim landasan filosofis. Logika yang dibangun tak lain hanya bersandarkan kepada kepentingan praktis semata. Apalagi dengan membandingkan jabatan hakim dengan jabatan yang lain, seperti jabatan Presiden dan Jabatan Wakil Presiden, yang dipilih lima tahun sekali. Sangat dangkal sekali. Setelah itu, Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali dalam periode berikutnya, untuk jangka waktu lima tahun. Tanpa melihat pada apa karakter dan jenis kewenangan yang melekat pada kekuasaan kehakiman tersebut. Membandingkan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden dengan kekuasan kehakiman adalah penyesatan yang mengada-ada. Jika dibandingkan dengan kekuasaan lain, seperti Presiden dan DPR. Secara esensial, masing-masing jabatan memiliki karakter yang berbeda-beda. Dari sisi fungsi dan kewenanganya, juga masing-masing berbeda. Tidak dapat disamakan, atau dicoba untuk disamakan. Demikian juga dengan cara pengisian jabatan terkait kekuasaan kehakiman. Berbeda dengan cara pengisian jabatan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, Begitu juga dengan kekuasaan DPR. Kekuasaan Kehakiman adalah suatu kekuasaan yang dikonstruksikan sebagai kekuasaan yang merdeka. Yang terbebas dari segala bentuk intervensi dan campur tangan kekuasaan lain. Oleh karena itu, di Amerika Serikat misalnya, masa jabatan Hakim Agung itu seumur hidup. Setelah ditetapkan atau dipilih oleh Kongres, Hakim Agung dapat menjalankan tugas dan kewenangannya selama seumur hidup. Kewenangan ini diberikan, agar Hakim Agung yang terpilih tidak terikat atau tergantung dengan kepentingan politik apapun. Pada tahun 1953, ada usaha untuk mengubah masa jabatan Hakim Agung, termasuk hakim Negara Federal. Dari sebelumnya dari seumur hidup, menjadi usia 75 tahun melalui amandement Konstitusi Amerika Serikat. Usul ini diajukan oleh American Bar Association yang diterima oleh Senat tahun 1954. Akan tetapi upaya ini kemudian ditolak oleh Hose Representative, sehingga upaya amandement untuk mengurangi masa pensiun Hakim Agung itupun tidak berhasil. Upaya pembatasan masa jabatan Hakim Agung ini ditolak. Penolakan semata-mata untuk menjaga agar independensi keluasaan kehakiman tetap terjaga. Para hakim terbebas dari tekanan politik. Para hakim juga harus bebas dalam menguji undang-undang sebagai produk Kongres dan tindakan-tindakn kekuasaan Eksekutif yang bertentangan dengan Kinstitusi. Sudah dapat dipastikan jika saja hakim agung diseleksi setiap lima tahun sekali, maka sangat rawan dan rentan akan intervensi politik. Hakim Agung yang diseleksi sangat memiliki ketergantungan secara politik dengan kekuasaan maupun partai-partai politik yang ada di DPR. Jika kondisi ini yang terjadi, maka para hakim tidak bebas dan tidak mandiri dalm menjalankan kekuasaan kehakiman. Dapat dikatakan bahwa kekuasan yudikatif terbelenggu oleh kekuatan dan tekanan politik dari kekuasan legislatif maupun kekuasaan eksekutif. Patut diduga, bahwa pihak yang mengajukan JR atas UU Mahkamah Agung adalah pihak yang menghendaki runtuhnya Indonesia sebagai negara hukum. Sebab yang terjadi adalah adanya pelemahan terhadap kekuasaan kehakiman. Jika kekuasaan kehakiman menjadi tidak berdaya dan lemah dalam menjalankan fungsinya, maka sudah dipastikan akan terjadi dominasi kekuasaan yang terpusat pada satu kekuasaan tertentu. Pada kondisi semacam inilah, sangat dikhawatirkan akan terjadi penyalagunaan kewenangan. Korupsi bisa terjadi di setiap sektor pelayanan publik. Bahkan tindakan-tindakan zolim bisa saja terjadi setiap saat kepada masyarakat. Jaminan akan kepastian hukum dan keadilan bagi warga masyarakat pencari keadilan tak kunjung diperoleh akibat lemahnya kekuasaan kehakiman. Sekali lagi, patut diduga bahwa pihak yang mengajukan JR atas UU Mahkamah Agung adalah pihak yang menghendaki, agar pelaksanaan fungsi checks and balances system antar pelaksana kekuasaan dalam mengontrol jalannya pemerintahan tidak berjalan normal sebagaimana mestinya. Penulis adalah Dosen Fakuktas Hukum Universitas Nasional Jakarta
Penyebaran Corona di Eropa Sangat Cepat dan Menegangkan
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Pemerintah Italia menyatakan darurat nasional. Jumlah kasus baru virus Corona bertambah hampir 1,500 dalam 24 jam. Jumlah yang meninggal juga meningkat cepat. Total kasus Corona di negara ini menembus angka 7,375 dengan korban meninggal 366. Wilayah elit kaya dibagian utara, sekarang ditutup total. Termasuk kota Milan sebagai pusat keuangan. Juga ditutup kota Venice, Palma dan Modena. Tindakan ini diambil guna menghentikan penyebaran virus ganas itu Warga dilarag keluar atau masuk ke Lombardy –daerah paling kaya di Italia. Langkah pengekangan gerak ini berlaku terhadap 16 juta orang di wilayah itu. Larangan ini berlangsung sampai 3 April 2020. UU permabatasan ruangan gerak, ditandatangani oleh PM Italia Giuseppe Conte. Suasana di Eropa mulai tegang. Kepanikan di Italia tampaknya akan menjalar ke negara-negara lain. Laju penularan di sejumlah negara Eropa lainnya juga cukup cepat. Di Prancis, jumlah tertular masih tercatat sekitar 200-an sekitar 10 harian yang lalu. Tapi hari Minggu malam (8/3/2020) jumlahnya telah melampaui angka seribu. Tepatnya, 1,126 –dengan 177 kasus baru. Korban meninggal menjadi 19 orang. Begitu juga di Jerman. Tak sampai seminggu yang lalu, jumlah penyandang Corona masih ratusan. Sekarang mencapai 1,040 dengan 240 kasus baru. Belum ada laporan korban meninggal. Di Eropa, “negara-negara besar Corona” lainnya adalah Spanyol, Swiss, Inggris, Belanda, Swedia, Belgia, Norwegia, dan Austria. Spanyol melaporkan 674 kasus dengan pertambahan sangat cepat sebesar 149 dalam 24 jam. Ada 17 orang yang meninggal. Swiss mencatat 337 kasus, 69 diantaranya adalah kasus baru dengan korban meninggal 2 orang. Di Inggris, yang tertular Corona ada 273 orang termasuk tambahan baru 64 kasus. Juga sangat cepat. Lebih 20% bertambah dalam 24 jam. Korban meninggal 3 orang. Di Belanda, 265 orang dihinggapi Corona termasuk 77 kasus baru dengan korban meninggal 3 orang. Pertambahan kasus di Belanda juga cukup signifikan. Swedia memiliki 203 orang yang tertular, termasuk 42 kasus baru. Di Belgia, penyebaran virus yang belum ada obatnya itu juga cepat. Beberapa hari lalu, jumlah penderita masih di bawah 100, sekarang tercatat 200. Bertambah 31 dalam waktu sehari semalam. Di Norwegia, ada 176 orang yang ditulari Corona –20 diantaranya kasus baru. Austria mencatat 105 kasus, bertambah 23 dalam sehari. Padahal, beberapa hari lalu baru sebatas belasan orang. Di China sendiri, penularan menunjukkan penurunan drastis. Dalam 24 jam, hanya dilaporkan 8 kasus baru. Korban jiwa di China mencapai 3,098 orang tetapi korban meninggal yang baru hanya satu orang dalam 24 jam. Di luar China dan Eropa, negara yang paling berat dilanda Covid-19 (nama penyakit yang disebabkan SARS-CoV-2) adalah Korea Selatan. Di sini, ada 7,313 kasus. Tetapi, tingkat pertambahan baru hanya sekitar 3%, yaitu 272 kasus. Bandingkan dengan tingkat penularan di Italia sebesar 20%, di Prancis 15% dan di Jerman 23%. Epsentrum lainnya virus Corona adalah Iran. Dalam beberapa hari saja, jumlah kasus mencapai 6,566. Kasus baru dalam 24 jam mencapai 743 –naik 11%. Iran menjadi “pusat penyebaran” untuk wilayah Timur Tengah. Tetapi, orang-orang yang tertular di kawasan Arab ini ada juga yang mendapatkannya dari kontak dengan warga Italia yang berkunjung ke Timur Tengah atau sebaliknya. Meskipun penularan virus Corona telah mencapai 104 negara, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation, WHO) masih belum menyebutnya “pandemi”. Seorang penasihat senior WHO, Dr Bruce Aylward, mengatakan penyebaran itu masih bisa dihentikan kalau semua pemerintah di dunia memiliki persiapan dan kemampuan. Termasuk memeriksa terduga Corona, melacak dengan cepat dan serius orang-orang yang pernah kontak dengan penyandang virus, dan tentunya memiliki fasilitas isolasi. Bagaimana dengan Indonesia?[] 9 Maret 2020 Penulis wartawan senior.