Terorisme di Kampus UGM
By M Rizal Fadillah
Jakarta FNN – Senin (01/06). Kasus teror dengam ancaman pembunuhan kepada mahasiswa selaku Panitia Penyelenggara Diskusi Online di Kampus Universitas Gajah Mada (UGM). Teror dengan tujuan fisik ditujukan kepada Narasumber Prof DR Ni'matul Huda, SH M.Hum. Teror model ini tentu saja tidak bisa dianggap enteng atau biasa-biasa saja.
Tragisnya lagi, peneror mencatut nama Muhammadiyah Klaten. Pihak Muhammadiyah sendiri sudah mengklarifikasi. Muhammadiyah menuntut Polisi untuk mengusut pencatutan yang berbau adu domba tersebut. Mirip-mirip dengan gayanya komunis dulu.
Provokator peneror sudah diketahui. Dia adalah Dosen FakultasTeknik yang gagal menjadi Rektor UGM. Namanya KPH Bagas Pujilaksono Widyakanigara. Ia semestinya sudah terkena delik hukum penyebaran informasi hoax, karena menuduh ada gerakan makar lewat diskusi.
Dasarnya adalah UU ITE yang sudah biasa dipakai polisi untuk menyeret dan menindak penyebar informasi hoax yang lain. Akibat teror tersebut, terjadi kerugian. Baik berupa batalnya acara diskusi, maupun menimbulkan aksi teror. Yang bersangkutan seharusnya sudah dapat mulai disidik.
Langkah berikut adalah mengejar para teroris. Jika Kepolisian setempat mengalami kesulitan, maka dapat melibatkan Densus 88 Anti Teror. Perbuatan kriminal baik kepada Panitia maupun Narasumber adalah perbuatan luar biasa, apalagi memfitnah Ormas Muhammadiyah.
Perbuatan ini, ada muatan politik yang terencana. Disain yang membahayakan dunia akademik maupun masyarakat dan Ormas Muhammadiyah. Apalagi di tengah pembahasan RUU HIP yang ditengarai kental berbau komunisme dan Orde Lama.
Undang-Undang No. 5 tahun 2018 yang berkaitan dengan pemberanfasan tindak pidana terorisme menegaskan, elemen terorisme antara lain adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut, dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Nah, patut diduga masifnya, dan dampak teror dari gagalnya diskusi online UGM tersebut cukup besar. Ada tiga institusi terdampak aksi terror tersebut, yaitu UGM, Uiversitas Islam Indonesia (UII), dan Ormas Muhammadiyah. Teror terhadap kebebasan berpendapat dan kelangsungan demokrasi ini lebih berat. Bahkan sangat serius.
Penyidikan dapat mulai dari Bagas Pujilaksono. Untuk menguji jaringan atau keterkaitan dengan teror ancaman pembunuhan kepada mahasiswa, teror gangguan fisik kepada Guru Besar UII dan memfitnah Ormas Muhammadiyah Klaten. Jelas benang merahnya. Ada motif ideologi, politik, atau gangguan keamaman. Polisi Cyber dapat dengan mudah membongkar penggunaan media elektronik dari pelaku teror. Hingga segera dapat ditemukan terorisnya.
Masalah ini serius dikaitkan dengan tema diskusi soal persoalan pemecatan Presiden dalam sistem ketatanegaraan. Masalah akademik yang ditarik-tarik ke ruang politik oleh provokator atau teroris yang berfikiran jahat. Polisi dengan profesionalismenya dibantu dengan informasi masyarakat, khususnya civitas academica UII dan UGM diyakini mampu membongkar dugaan kasus terorisme ini.
Bila tidak berlanjut atau menjadi kasus "X Files", maka bukan mustahil modus yang sama dapat dilakukan berulang-ulang. Kita respons dorongan Menkopolhukam yang juga alumni UII agar Kepolisian dapat mengusut tuntas kasus "terorisme" yang membahayakan kebebasan kalangan akademik, yang dijamin kebebasannya oleh Undang Undang dan Konstitusi negara tersebut.
UGM, UII, dan Muhammadiyah tidak boleh dibiarkan menjadi obyek kejahatan terorisme. Baik itu yang terselubung maupun yang tak terlacak. Kerjasama dan keseriusan untuk membongkar akan mampu membuktikan bahwa kejahatan tak akan bisa mengalahkan kebenaran dan keadilan. "malum non nos vincere poteris veritate et iustitia".
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.