OPINI

Surat Terbuka Dokter Tifauzia: Tahukah, Pak Presiden?

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Yth. Presiden Indonesia Dan 271 juta Rakyat Indonesia Nasib Dokter dan Praktisi Kesehatan karena COVID-19 Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Ada pihak paling rentan terhadap Covid-19, dan mereka, saat ini, Terpaksa mau merawat pasien Covid-19, dengan jumlah kasus, Lebih Dari Yang Dilaporkan Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Sudah Puluhan (bahkan mungkin sudah Ratusan) Dokter, Petugas Kesehatan, dan Staf Rumah Sakit yang Sudah Positif dan atau menjadi Suspect Covid-19, di seluruh Rumah Sakit yang ditunjuk, di Jakarta, dan di berbagai Daerah di Indonesia, ada Dokter dan Perawat yang sudah meninggal karena Covid-9. Ada Profesor dan Dokter Spesialis Konsultan yang sudah koma di ICU karena Covid-19. Ada yang berbagai ruang Isolasi dengan pasien yang dirawatnya, ada yang diminta Isolasi di rumah, karena Rumah Sakit sudah kehabisan tempat isolasi. Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Karena BPJS, Dokter Spesialis dibayar Rp 6.000 rupiah per pasien per hari, Dokter Umum dibayar Rp 2.000 rupiah per pasien perhari bahkan Residen (Calon Spesialis) yang menjadi Garda Terdepan Penanganan Covid-19 ini adalah Martir sesungguhnya, dan mereka atas nama Undang-Undang, Seseperpun Tidak Dibayar. Dengan bencana Covid-19 ini, bahkan tak ada sedikitpun insentif tambahan bagi mereka semua ini, yang bekerja 36 jam, 48 jam, bahkan 72 jam tanpa tidur, bahkan melebihi kemampuan nadi dan nafasnya. Karena itu, Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Saat ini sudah ada mulai ada tindakan Penolakan Pasien Covid-19, dengan berbagai alasan masuk akal, ketersediaan bed (karena harus isolasi maka pasien Covid-19 ini menghabiskan 1 ward sendiri, dan pasien lain jadi kehilangan hak untuk dirawat). Dan pasien Covid-19 ini Biayanya Tidak Ditanggung BPJS!!! Catat itu baik-baik!!! Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Apa yang terjadi kalau sampai Dokter dan Petugas Rumah Sakit Menolak Merawat Pasien Covid-19? Pasien Covid-19 akan berkeliaran di jalanan tanpa tahu harus kemana! Dan Itu Sudah Terjadi! Kondisi ini yang justru Mengharuskan #Lockdown dilakukan sesegera mungkin. Jangan Anda menunggu Jubir menyampaikan jumlah kasus melebihi 1.000 baru Bapak umumkan #Lockdown. Saat ini Angka Resmi kasus yang dilaporkan per hari Senin 16 Maret 2020 sejumlah 137 kasus. Itu artinya Angka Riil di lapangan adalah sejumlah 3.699 kasus (berdasarkan angka agregat Covid-19 sebesar 27 kali antara kasus yang terperiksa secara aktif dan kasus riil yang tidak diperiksa). Dengan angka resmi yang dilaporkan, saja, per hari ini Selasa, 17 Maret 2020, jumlah kasus resmi akan sekitar 268 kasus (dengan kasus riil berjumlah 7,836 di luar Rumah Sakit) saja saat ini, Rumah Sakit sudah pasti akan Menolak Pasien! Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Saat ini Italia sebagai negara besar, maju, dan kaya, Dokter dan Praktisi Kesehatan, sebagian sudah mengibarkan bendera putih karena tak sanggup lagi merawat pasien dan mengetahui dirinya adalah individu yang paling rentan saat ini untuk terkena Covid-19, dan mereka telah Menyaksikan Dengan Mata Kepala Sendiri, teman-teman mereka para Dokter dan Perawat yang menderita di ruang ICU dan Isolasi. Apa yang terjadi saat ini di Italia adalah, Mereka Sudah Memilih Pasien Mana Yang Harus Mereka Rawat, dan membiarkan Pasien Yang Punya Harapan Hidup Kecil untuk meninggal dengan begitu saja. Apakah itu artinya mereka tidak punya hati nurani! Tidak! Itu adalah Protokol Penanganan Pasien Dalam Keadaan Bencana. Siapa yang punya harapan hidup lebih tinggi dia akan diprioritaskan, dan siapa yang punya harapan hidup kecil, akan dibiarkan menjemput ajal. Tahukah Bapak Presiden Dan 271 juta Rakyat Indonesia Dokter di Italia dan Jerman dan Perancis dan Inggris mampu menolak pasien, Sama Dengan Dokter di Indonesia. Tidak Sama dengan Dokter di China. Kenapa? Karena kalau sampai Dokter dan Petugas Kesehatan menolak pasien, mereka bisa ditembak! Padahal Pemerintah China sudah menggelontorkan dana 20.000 Triliun untuk penanganan Covid-19 ini. Dokter dan Petugas Kesehatan Rumah Sakit Indonesia saat ini bisa serentak menolak merawat Pasien! Kenapa? Karena sejak 5 tahun terakhir dengan penerapan BPJS, mereka ini adalah Buruh Kerja Rodi dengan bayaran menyedihkan dan kerja dengan fasilitas terbatas. Lalu masih ditambah lagi mereka mau Bapak wajibkan untuk merawat Pasien Covid-19 dengan taruhan nyawa sendiri dan keluarga? No Way! Untuk Bapak ketahui, Dan 271 juta rakyat Indonesia, Saat ini, sebagian besar Rumah Sakit di Indonesia menderita bleeding akibat defisit miliaran hingga ratusan miliaran karena BPJS ngemplang bayar. Untuk menyediakan masker yang layak pakai di Rumah Sakit saja tak ada dana dan kemampuan, bahkan saat ini Para Dokter dan petugas kesehatan terpaksa menggunakan Masker Kain yang tentu saja sangat tidak aman mencegah Covid-19. Sementara, sampai dengan hari ke 14 sejak terjadinya Pandemi Covid-19, belum ada satupun berita Pemerintah cq Kemkes siap menyediakan dana sejumlah sekian khusus untuk penanganan Covid-19. Bisakah Bapak bayangkan Dan 271 rakyat Indonesia bayangkan Orang yang berstatus Positif Covid-19 akan berkeliaran di jalanan dan rumah. Mayat-mayat bergelimpangan di Rumah Sakit, di rumah, bahkan di jalanan. Dan itu Sudah Terjadi di Italia! Negara besar dan kaya raya! Cobalah sekali ini saja 271 Rakyat Indonesia Pakailah nalar dan hati nurani Anda semua. Kalau Anda terjangkit Covid-19, dan Tidak Ada Satupun Rumah Sakit mau merawat Anda, Apa yang akan Anda lakukan? Tifauzia Tyassuma (Dokter, Peneliti, Penulis) Presiden AHLINA Institute (Diposting 05.43 WIB, 17 Maret 2020) *** Penulis wartawan senior.

Lockdown, Ada Apa Antara Jokowi dan Anies Baswedan?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Selasa (17/3) Mendagri Tito Karnavian menemui Gubernur DKI Anies Baswedan. Tito mendapat tugas menyampaikan pesan khusus Presiden Jokowi : Lockdown adalah kewenangan pemerintah pusat! Kedatangan Tito ini tentu sangat menarik dan menimbulkan tafsir politik. Mengapa Presiden Jokowi harus secara khusus menyampaikan pesan itu kepada Anies? Sehari sebelumnya, Senin (16/3) dalam jumpa pers di Istana Bogor, Jokowi sudah menegaskan hal itu. "Kebijakan lockdown, baik di tingkat nasional dan tingkat daerah, adalah kebijakan pemerintah pusat,” tegasnya. Apa itu tidak cukup? Tampaknya ada kekhawatiran, instruksi Jokowi mulai tidak didengar oleh kepala daerah. Selain Jakarta, sejumlah daerah sudah mulai melakukan lockdown secara terbatas. Termasuk Solo yang dulu pernah dipimpin Jokowi. Tak lama setelah pertemuan itu, terungkap ada “pesan” lain yang disampaikan Jokowi. Tim Siaga Covid-19 DKI dirombak. Ketua Tim Siaga Covid-DKI Catur Laswanto menyatakan Tim Tanggap COVID yang telah dibentuk Pemprov DKI Jakarta diselaraskan dan disesuaikan dengan Keppres 7/2020. Namanya berubah menjadi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di DKI Jakarta. Strukturnya dan komposisinya juga dirombak total. Gugus Tugas itu diketuai oleh Ketua Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNBD) yang dijabat oleh Sekda. Anggotanya semula hanya berisi para kepala dinas (SKPD) DKI, sekarang ditambah TNI, Polri dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Apa artinya semua itu? Sebagai kepala daerah Anies tak bisa lagi bebas menentukan kebijakannya. Semuanya harus seizin pemerintah pusat. Langkah pemerintah melakukan sentralisasi penanganan pandemi global ini jelas menimbulkan pertanyaan sekaligus kekhawatiran. Ini merupakan langkah mundur! Sejak merebaknya virus corona, banyak kalangan yang meragukan dan mempertanyakan kualitas dan kemampuan pemerintah pusat. Bukan hanya dari kalangan domestik, namun juga komunitas internasional. Semuanya bersumber pada rendahnya kualitas dan kapasitas kepemimpinan Jokowi dan para pembantunya. Menganggap remeh persoalan, dengan kebijakan yang berubah-ubah. Sangat terlihat pemerintah pusat ragu-ragu, gagap bin bingung menghadapi persoalan. Sebaliknya Anies Baswedan menunjukkan kualitas dan kapasitas kepemimpinan yang kuat dan tanggap dalam menghadapi bencana. Pujian mengalir untuk Anies dan Pemprof DKI. Hal ini bila terus dibiarkan akan menimbulkan fenomena “matahari kembar.” Yang satu bersinar terang. Sementara yang satunya mulai tenggelam di balik awan gelap virus corona. Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli bahkan secara lugas menyebut Indonesia sebagai negara tanpa pemimpin. “A Nation Without Leader,” tegasnya mengutip pernyataan tokoh senior Jawa Barat Tjetje Hidayat Padmawinata. Dilema Jokowi Virus corona sebagaimana ditulis oleh Benjamin Bland seorang peneliti dari lembaga think tank Lowy Institute, Sidney membongkar sisi kelemahan Jokowi. “Pemerintahannya bersifat ad hoc dan pemikirannya kurang strategis,” tegas Bland. Respon awal Jokowi, tulis Bland, sangat mengkhawatirkan, sementara tindakan dan ucapan Menkes Terawan sering kontroversial. Signal buruk inilah yang ditangkap oleh publik di Indonesia maupun komunitas internasional. Semuanya jadi terang benderang. Tak bisa lagi ditutup-tutupi dengan pencitraan, apalagi pengerahan buzzer. Penyebaran virus corona dan jumlahnya penderitanya yang sangat besar di Jakarta, menjadi dilema besar bagi Jokowi. Dia dihadapkan pada pilihan sulit antara lockdown atau tidak? Pilihannya tidak sesederhana : Dimakan mati Bapak. Tidak dimakan mati Ibu! Bila mengacu kepada besarnya jumlah penduduk, potensi sebarannya yang begitu massif, keterbatasan fasilitas dan tenaga medis, sesungguhnya tidak ada pilihan lain, kecuali lockdown. At all cost. Jumlah penduduk Jakarta lebih dari 10 juta jiwa. Belum lagi bila dihitung dengan lebih dari 2 juta pekerja komuter dari Jabodetabek. Saat ini di semuapq kecamatannya telah terdapat warga yang positif corona, atau setidaknya suspect corona. Secara eksponensial penyebarannya dipastikan akan sangat besar. Jakarta bisa jadi kuburan massal. Ada yang memperkirakan jumlah korbannya bisa lebih besar dari Italia bila pemerintah salah mengantisipasinya. Sangat Mengerikan! Kementerian Kesehatan sudah mengisyaratkan akan adanya lonjakan jumlah penderita. Sudah dapat dipastikan Jakarta yang akan paling menderita. Sebaliknya bila harus melakukan lockdown, Jokowi harus sangat mempertimbangkan kalkulasi ekonomi dan anggaran negara yang terbatas. Lockdown jelas tidak sesederhana kita menutup pintu. Semuanya langsung beres. Ada cost ekonomi, sosial dan politik yang kudu dihitung cermat. Inilah ujian sesungguhnya bagi Jokowi. Bisakah dia membuktikan tudingan banyak kalangan, bahwa dia pemimpin yang tidak punya kapasitas dan kualitas, salah besar? Anda ingin dikenang oleh dunia seperti apa Pak Jokowi? Nyawa jutaan rakyat Indonesia menjadi taruhannya. End Penulis adalah Wartawan Senior.

Mengisolasi Diri Dua Minggu Itu Cost Paling Murah

Kalau anda ternyata malah sekalian positif Covid-19. Hidupmu tambah runyam. Iya kalau sembuh. Kalau tidak sembuh, lalu malah wassalam. Siapa yang paling menderita ? Keluargamu. Kalau anda kepala keluarga atau tulang punggung keluarga, berarti terputus nafkah untuk mereka. Keluargamu akan pontang-panting mencari nafkah setelah anda nggak ada. Anda juga nggak bisa lagi mendampingi anak-anak tumbuh besar. Rugi banget, banget dan banget. By Lily Bertha Kartika Jakarta FNN - Sulit sekali menjadi kompak dan bersatu dalam mengatasi situasi krisis, selama orang masih berkeras untuk ada dalam zona nyamannya. Diminta mengisolasi diri sendiri selama dua minggu di rumah saja, malah keluyuran. Diminta meliburkan karyawannya dan bekerja di rumah, kecuali pelaku bisnis tertentu, masih hitung-hitungan juga untung rugi. Ketika dilakukan pembatasan transportasi untuk tujuan mengurangi penumpukan orang yang bisa memperbesar risiko penularan, malah mau baku hantam dalam antrian. Lalu para kompor, yang bahkan ada jurnalis senior, dosen, dan kaum cendikiawan ikut meramaikan suasana dengan bilang "coba aja si pembuat kebijakan berdesakan di bus dan rasakan gimana sengsaranya. "Juga komentar, nggak pakai otak. Emang dia pikir semua bisnis bisa dikerjakan di rumah?". Padahal sebelum mengambil keputusan itu, Gubernur Anies sudah berkonsultasi dengan banyak pihak dari asosiasi profesi. mulai dari ahli kesehatan sampai pelaku bisnis. Simulasi juga sudah dilakukan. Datanya juga lengkap, sehingga dampaknya bisa diukur. Bicara soal dampak dalam satu kasus, tentu yang harus diantisipasi adalah dampak yang paling berbahaya diantara sekian banyak dampak yang timbul. Penumpukan orang bukannya tidak dipikirkan sebagai risiko. Tetapi dalam kasus Covid-19 seperti sekarang, yang lebih penting diantisipasi adalah penularan virus yang sedemikian cepatnya itu. Isolasi memang bukan keputusan untuk menyenangkan semua pihak, tetapi untuk menyelamatkan semua pihak. Kalau dihitung jangka pendek, kerugian pasti banyak, terutama waktu dan uang. Tiba-tiba semua kebiasaan berubah. Hidup menjadi tidak nyaman. Takut dan banyak ketidakpastian. Tetapi dalam jangka panjang, isolasi justru cost paling murah dibanding jika korban terus bertambah. Coba anda pikirkan. Kalau harus dirawat berminggu-minggu di rumah sakit. Berapa waktu produktivitas kerja yang terbuang? Berapa waktu yang habis untuk ngantri dan melewati semua pemeriksaan ini dan itu? Berapa biaya yang habis dan lain-lain? Anda bahkan beneran nggak bisa pergi kemanapun. Tidak bisa berinteraksi dengan keluarga. Nggak bisa meeting dengan siapapun. Bandingkan besarnya ketidaknyamanan yang hilang jika dibanding kita patuh untuk bekerja di rumah dan mengisolasi diri sementara waktu. Toh, selama isolasi sementara di rumah, kita masih bisa meeting online. Masih bisa bercengkerama dengan keluarga. Jadi, sebenarnya ini soal ego saja. Sejauh mana kita mau repot mengatur ulang bisnis. Mengatur rutinitas dan segala kenyamanan yang selama ini sudah melekat, yang kemudian dipaksa menyesuaikan dengan situasi krisis ini. Sangat ribet, bikin kesal dan tidak nyaman itu sudah pasti. Kalau memilih menyesuaikan diri dan bersabar, kondisi ini akan pulih lebih cepat. Kenyamanan kita juga berangsur akan kembali. Sementara kalau terus rewel dan manja, tidak akan banyak kondisi yang berubah, dan akan makan waktu lebih lama untuk kondisi ini pulih seperti sedia kala. Belum lagi kalau anda ternyata malah sekalian positif Covid-19. Hidupmu tambah runyam. Iya kalau sembuh. Kalau tidak sembuh, lalu malah wassalam. Siapa yang paling menderita ? Keluargamu. Kalau anda kepala keluarga atau tulang punggung keluarga, berarti terputus nafkah untuk mereka. Keluargamu akan pontang-panting mencari nafkah setelah anda nggak ada. Anda juga nggak bisa lagi mendampingi anak-anak tumbuh besar. Rugi banget, banget dan banget. Percayalah, ketika anda rewel dan menolak bekerjasama dalam situasi krisis seperti sekarang, harga yang kelak harus dibayar akan sangat mahal. Kalau saya, mendingan tinggal kalem di rumah selama dua minggu. Simpel, tetapi menyelamatkan diri sendiri dan orang banyak. Sudahlah, berhenti bermanja-manja. Gunakan saja otak untuk mikir dengan jernih. Sadari saja dengan sederhana bahwa anda sedang diselamatkan. Penulis adalah Wartawan Senior

Telat Lockdown, Apakah Indonesia Akan Seperti Itali?

By Tony Rosyid Jakarta FNN - Tidak hanya China, Itali juga parah. Sejak diumumkan tanggal 20 Pebruari, warga Itali yang positif Covid-19 terus bertambah. Ketika angka kematian akibat covid-19 tembus 230 dari 6.000 orang yang dinyatakan positif, pada tanggal 8 Maret Itali umumkan lockdown. Hanya selang 18 hari. Gimana dengan nasib ekonominya? Pasti cukup berat. Negara yang berpenduduk 16 juta orang ini semakin parah situasinya. Dalam sehari pernah ada 368 orang yang mati karena Covid-19. Per hari kemarin (16/3) sudah 1.809 orang yang meninggal dari 24.747 orang yang positif Covid-19. Setiap hari terus bertambah angkanya. Tidak saja jumlah warga yang postif Covid-19, tetapi tingkat kematiannya juga terus naik. Saat ini, karena berbagai keterbatasan rumah sakit, para dokter dipaksa untuk memilih siapa yang harus dirawat dan diprioritaskan untuk hidup, dan siapa yang dibiarkan akan mati. Menurut data, 58% pasien yang mati itu berusia di atas 80 tahun. Dan 31% di usia 70-an tahun. Maka, para dokter terpaksa memprioritaskan pasien yang muda. Apa kesalahan Itali sehingga mengalami situasi separah itu? Pertama, Itali telat lockdown. Bandingkan dengan Selandia Baru. Empat pasien ditemukan positif Covid-19, negara itu langsung mengisolasi ribuan orang. Dan Selandia Baru saat ini relatif aman dari Corona. Kedua, warga yang tak disiplin. informasi lockdown bocor sehari sebelum diumumkan. Sebagian warga di Itali Utara, tempat Covid-19 mewabah, lari dan meninggalkan wilayah. Diantara mereka yang lari ada yang positif Covid-19. Akibatnya, menular ke wilayah lain. Bagaimana dengan Indonesia? Banyak pihak menuntut agar pemerintah pusat segera ambil keputusan untuk lockdown. Langkah ini adalah cara paling konfensional. Tetapi dianggap paling efektif untuk menghadapi penyebaran Covid-19. Kenapa harus lockdown? Karena langkah penanganan yang dilakukan selama ini belum terlihat bisa menghambat dan mengurangi penyebaran Covid-19. Ini karena Pertama, tidak ada informasi yang transparan, memadai, lengkap dan terukur terkait dengan Covid-19. Pola penyebarannya dan data yang dapat memberi pertimbangan masyarakat untuk melakukan aktifitas dan mewaspadainya. Seperti apa karakter Covid-19? Bagaimana pola penyebarannya, lewat apa saja, dalam jangka waktu berapa lama, dan seterusnya? Tidak tersosialisasikan dengan baik. Yang muncul justru informasi tak resmi (bukan dari pemerintah) yang berseliweran di berbagai media social, yang akurasinya diragukan. Kedua, tidak ada panduan yang terukur dan konsisten dari pemerintah pusat terkait apa yang harus diwaspadai dan dilakukan oleh rakyat. Bahkan cenderung diserahkan kepada masing-masing daerah (Kepala Daerah). Emang virus corona itu jenis dan karakternya berbeda di setiap daerah? Ketiga, keterbatasan perlengkapan alat kesehatan yang dibutuhkan dan ruang isolasi untuk ODP dan PDP. Sampai hari ini, untuk melakukan tes Covid-19, hanya bisa dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Sementara jumlah rumah sakit yang ditunjuk Pemerintah Pusat masih sangat terbatas. Ini jauh dari cukup untuk bisa menangani melonjaknya pasien yang datang ke rumah sakit rujukan. DKI Jakarta sudah mengajukan surat resmi untuk diijinkan melakukan tes Covid-19. Langkah DKI Jakarta besar kemungkinan akan diikuti oleh daerah-daerah lain ketika Covid-19 semakin membesar jumlah penularannya di daerah-daerah tersebut. Keempat, tingkat kedisiplinan masyarakat Indonesia tak lebih baik dari masyarakat Itali. Cenderung meremehkan dan menganggap enteng. Sikap mental seperti ini sudah direpresentasikan oleh sejumlah menteri, termasuk menteri kesehatan dan menteri perhubungan. Tentu, ini akan menjadi peluang potensial bagi Covid-19 untuk leluasa menyebar. Inilah diantara alasan kenapa keputusan lockdown menjadi sangat urgent. Jangan karena terlambat, Indonesia mengalami seperti yang dialami oleh Itali. Silahkan Pemerintah Pusat berhitung dan mempertimbangkan secara cermat. Apa saja yang terbaik untuk dilakukan bangsa ini dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini. Tuntutan sejumlah tokoh untuk lockdown ini sangatlah obyektif. Jangan malah dituduh sebagai skenario untuk menggulingkan presiden Jokowi. Ini lucu dan amat menggelikan sekali. Banyak nyawa melayang, ada pihak-pihak yang masih terus berpikir politis. Lu saraf kali ya? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Respons Pertama Terhadap Corona “Sangat Ngawur”

Indonesia saat ini bukan negara kaya. Sehingga jangan lakukan “macro pumping”. Jangan ada “buyback” terhadap saham-saham BUMN dan lain-lain. Amerika saja, yang negara kaya, melakukan “pumping macro” ratusan milyar dollar lewat FED. Namun ternyata hasilnya tidak effektif. Hanya kurang dua jam, index naik. Setelah dua jam, index anjlok lagi. By DR. Rizal Ramli Jakarta FNN - Pada awal Corona, respons Indonesia sangat lambat dan terlambat. Padahal di Wuhan telah terjadi pada akhir tahun 2019. Kelambatan tersebut, terutama karena “sungkan”. Takut menyinggung pihak Tiongkok. Kedua, pejabat-pejabat Indonesia mengambil sikap “self-denial” (menolak kenyataan). Akibatnya, kita kehilangan waktu selama 2,5 bulan. Kita kehilangan waktu yang sangat berharga selama 2,5 bulan. Waktu untuk scanning, monitoring dan testing potensi penularan corona. Itulah yang menyebabkan negara-negara lain seperti Australia, Singapore, termasuk World Health Organization (WHO) tidak percaya dengan statistik kasus corona di Indonesia. Respons kebijakan pertama terhadap corona sangat ngawur. Yaitu dengan rencana untuk membiayai para influencers senilai Rp72 milyar. Begitu pula dengan subsidi kepada airline untuk meningkatkan turisme. Ini bener-benar ngawur. Karena seluruh dunia mau kurangi turis asing. Indonesia malah mau tingkatkan. Kwalitas orang-orang di sekitar Jokowi payah. Barikiutnya, masih saja mengizinkan pekerja-pekerja dari Tiongkok untuk masuk Indonesia. Kebijakan ini hanya karena kepentingan bisnis pejabat-cum-penguasa. Sing eling eui. Ingat, ini kepentingan nasional. “Nora amat sih”. Sebagai bangsa, memang kita terbiasa dan sangat asyik klo membahas apa yang terjadi hari ini. Tetapi kita tidak terlatih untuk melihat dan melakukan antisipasi terhadap masa depan. Sehingga sering kali terlambat, jika menghadapi shocks global seperti corona. Pertumbuhan Ekonomi -2% Jika tidak ada corona, ekonomi Indonesia memang terus anjlok. Penyebabnya karena salah kelola. Mabok utang dan pengetatan makro ekonomi. Padahal ekonomi hanya akan tumbuh 4% tahun 2020. Kalau tindakan terhadap corona effektif dan benar, maka ekonomi hanya akan anjlok lagi -1%. Tetapi jika tidak effektif penangannya, maka ekonomi akan anjlok -2% lagi. Untuk mengurangi dampak corona terhadap ekonomi, ini waktunya utk menggeser secara radikal dengan cara melakukan realokasi APBN tahun 2020. Stop (moratorium) proyek-proyek infrastruktur besar untuk 2020. Harus berani. Jangan gengsi-gensian. Alokasikan APBN 2020 hanya untuk sektor kesehatan, makanan dan peningkatan daya beli rakyat miskin. Indonesia saat ini bukan negara kaya. Sehingga jangan lakukan “macro pumping”. Jangan ada “buyback” terhadap saham-saham BUMN dan lain-lain. Amerika saja, yang negara kaya, melakukan “pumping macro” ratusan milyar dollar lewat FED. Namun ternyata hasilnya tidak effektif. Hanya kurang dua jam, index naik. Setelah itu index anjlok lagi. Perlu belajar dari Korea Selatan. Negara ini termasuk yang paling effektif dalam menangani pandemik corona, karena mereka belajar dari kasus SARS. Mereka evaluasi apa-apa yang dianggap effektif, dan menyiapkan SOP (Standard Procedures). Ketika serangan Corona datang, sudah ada SOP yang siap-pakai. Tanpa perlu banyak rapat dan koordinasi lagi. Gunakan momentum pandemic corona ini untuk menggenjot produksi dalam negeri. Seperti pertanian, buah-buahan dan sayur-sayuran. Bantu kredit untuk bibit dan pupuk, sehingga bisa panen setiap tiga bulan. Ajak Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk bantu peta kecocokan tanah. Jangan bisanya hanya impor, import dan impor doang. Payah amat sih. Rupiah dan IHSG Anjlok Nilai tukar rupiah makin anjlok. Sudah mencapai Rp 15.200 per dollar. Bergitu pula dengan Index Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah anjlok, dari 6000-an ke 4500an. Penurunan ini IHGS hampir mencapai 25%. Jangan biarkan mata uang rupiah dan index terombang-ambing dengan shocks dan volatilitas yang sangat besar. Ubah flexible exchange yang selama berlaku, menjadi fixed exchange. Tetapkan di angka Rp 15.500/dollar untuk jangka waktu satu tahun. Jangan biarkan external dan internal shock dengan volatilitas yg sangat besar. Sebab bisa merusak ekonomi dan korporasi nasional. Segera bekukan dulu perdagangan saham sampai waktu yang belum ditentukan. Toh, kalau dibuka terus, akan semakin anjlok, dan akan semakin panik. Ini adalah momentum untuk tukar (swap) utang-utang Indonesia yang yield-nya sangat tinggi sekarang (7%-8%), karya “Menkeu Terbalik” yang sangat merugikan bangsa kita. Kerugian karena bond kemahalan itu anatara Rp 110-120 triliun. Padahal yield bond di Jepang danEropah negatif. Segera negosiasi swap bond. Sebab basa menghemat sekitar Rp 110 triliun. Soal penjelasan dan tindakan preventif dan kuratif dalam menghadapi corona, pujian perlu diberikan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Bravo Anies. Kerjanya jelas, terukur dan persuasif, dibandingkan pejabat-pejabat pemerintah pusat. Penulis Mantan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan Presiden Gus Dur

Gagalnya Kerja Intelijen Membungkam Informasi Tentang Covid-19

Intelijen juga gagal membuat propaganda melalui tangan-tangan pemandu sorak mereka . Padahal mereka berkeliaran di media sosial dan figur sosial. Kegagalan tersebut semakin menjadi kepanikan besar, ketika salah seorang Menteri Jokowi positive terjangkit wabah Covid-19. Masyarakat juga terlihat semakin panik. Karena tiba tiba saja terkejut dengan fakta bahwa di lingkaran utama Presiden, yang keamanannya dijaga dengan sangat ketat, namun bisa terkena wabah Covid-19. By Liem Han Chow Jakarta FNN - Sejak ramainya kasus Covid-19, pemerintah kita sepertinya berusaha menutupi informasi. Kenyataan ini terlihat dari simpang siur,dan tumpang tindihnya informasi yg disampaikan oleh pejabat publik kepada media massa mainstream. Kondisi inilah yang membuat masyarakat semakin khawatir. Masyarakat merasa penasaran dengan kejadian yang sesungguhnya. Bukan sembarangan upaya. Usaha pemerintah menutupi jejak kasus Covid-19 tersebut adalah upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi dan politik nasional. Dubes China sempat protes karena Pemerintah Indonesia sempat mengeluarkan pernyataan bahwa Covid-19 bersumber dari China. Dubes China pantas saja memprotes. Mengingat informasih mengenai sumber Covid-19 bisa berdampak terhadap ekonomi China. Penjualan produk China dan proyek-proyek strategis China yang sedang dan masif di Indonesia sekarang. Jika tidak diprotes, bisa menjadi sumber penolakan masyarakat Indonesia. Inilah pokok persolannya. Selain persoalan ekonomi dan politik, masalah rasisme juga dikhawatirkan meningkat. Kebencian dan kecurigaan terhadap kelompok tententu juga bisa meningkat sangat cepat dan drastis. Karena itu, isu ini bisa berkembang lebih cepat dari api yang melalap atau membakar kertas. Diperkirakan, hantu gesekan sosial yang membayangi sikap pemerintah dalam menghadapi wabah Covid-19 ini. Dampak gesekan ini tentunya sangat terkait erat dengan persoalan ekonomi dan stabilitas politik di dalam negeri. Demikian juga dengan peta dampak politik luar negeri. Posisi Indonesia yang sedang mesra-mesranya dengan China bisa ambyar dan berantakan. Jejak dan keterlibatan Badan Intelijen (BIN) dalam usaha pemerintah menangani wabah Covid-19 ini terlihat sangat jelas, kentara dan nyata. Apalagi, ketika Kepala BIN Budi Gunawan mendampingi Jokowi dalam sebuah acara konferensi pers soal Covid-19. Jejak itu juga terlihat pada beberapa kali ralat berita oleh pihak berwajib yang mengumumkan kasus Covid-19. Pengumuman pertama diralat dengan sebuah statement yang seragam. Begitulah cara kerja intelijen dalam membungkam sebuah informasi. Padahal dalam sebuah negara demokrasi, keterbukaan informasi, diseminasi informasi adalah hal yang tak bisa dibendung. Crowdsource Information tersedia dalam berbagai bentuk dan pola. Baik itu yang tersedia di media social, maupun percakapan di media online. Informasinya begitu cepat menyebar. Ditambah lagi dengan semakin banyaknya fakta-fakta lapangan yang terjadi. Intelijen pemerintah, akhirnya terlihat gagal dalam menutupi kasus Covid-19 yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Intelijen juga gagal membuat propaganda melalui tangan-tangan pemandu sorak mereka . Padahal mereka berkeliaran di media sosial dan figur sosial. Kegagalan tersebut semakin menjadi kepanikan besar, ketika salah seorang Menteri Jokowi positive terjangkit wabah Covid-19. Masyarakat juga terlihat semakin panic. karena tiba tiba saja terkejut dengan fakta bahwa lingkaran utama Presiden yang keamanannya dijaga ketat bisa terkena wabah Covid-19. Kepanikan juga terjadi bursa saham selama dua hari berturut turut. Dampaknya, tidak bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Namun demikian, bagi sebagian orang yang berada pada kelas elit, dampaknya sangat terasa. Ketakutan mereka menjadi efek domino terhadap kelas menengah ke bawah. Jika para pekerja mengetahui bahwa bosnya kabur, mereka bisa saja panik massal. Ekspatriat yang berada di Indonesia mulai eksodus. Kepanikan ekonomi juga ditandai dengan langkanya bahan bahan tertentu. Begitu pula naiknya harga-harga sembako. Kepanikan masyarakat ini seharusnya diimbangi dengan keterbukaan informasi, agar masyarakat bisa tetap percaya kepada pemerintah. Apalagi setelah pemerintah gagal berbohong soal penyebaran Covid-19. Pada titik ini, sepatutnya intelijen segera mempensiunkan para pemandu sorak mereka, yang saat ini makin tidak kompak dan terlihat konyol. Jika langkah-langkah startegis itu tak segera diambil, ditakutkan akan terjadi kepanikan sosial. Saling curiga antar penduduk wilayah. Saling curiga antar komplek perumahan. Kebencian pada etnis China yang dituduh sebagai pembawa bencana akan semakin meningkat. Kepanikan sosial seperti ini sangat mungkin memicu terjadinya chaos. Fakta-fakta ini ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang terus memburuk. Semakin tingginya kredit macet perbankan dari hari ke hari. Semakin susah mencari uang, karena banyak orang yang libur. Mereka mengurung diri di rumah selama beberapa hari ke depan. Kebutuhan akan sembako dan obat-obatan seperti masker dan hand sanitizer atau pencuci tangan dengan sabun yang beralkohol juga semakin langka. Kalaupun masih ada di pasar dan Apotek, maka harganya sangat mahal. Harganya dua sampai tiga kali lipat. Masyarakat terpaksa harus membelinya, karena kondisi yang mendesak. Untuk sementara waktu, masyarakat harus mengesampingkan kebutuhan makan dan minum dulu. Semua itu bisa menjadi bom waktu. Jika tidak ditangani dengan baik, akan meledak dalam waktu dekat. Semoga kita semua mampu bersabar mengadapi wabah Covid-19 ini. Penulis adalah Analis Intelejen Don Adam Sharing Academy

Tidak Siap LockDown Nasional, Berikan Saja Kewenangan Itu Kepada Daerah

By Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN - Mengapa Jokowi belum mengambil pilihan untuk LockDown secara nasional. Jokowi lebih memilih menjalankan Social Distancing? Padahal Social Distancing akan efektif jika kultur masyarakat dalam mematuhi aturan-aturan cukup tinggi, sehingga people-distancing pun diterapkan oleh tiap orang di tempat-tempat berkumpul. Warga masyarakat masih dibolehkan keluar rumah untuk kerja dan beraktivitas. Selain itu, ketersediaan test kit untuk melakukan tes massal gratis kepeda seluruh warga. Bukan sebaliknya, menunggu warga datang untuk dites. Ketersedian masker dan hand sanitizer yang dibagikan gratis kapada masyarakat sebagai upaya warga lakukan self-defence dalam kegiatan sehari-hari, karena warga masih diperbolehlan untuk melalukan moving in-out. Begitu juga dengan etersediaan tenaga medis di daerah-daerah dengan Alat Pelindung Diri (APD) yang lengkap. Tujuannya, untuk melakukan layanan test and recovery pasien. Namun petugas juga jangan sampai tertular. Ketersediaan Rumah Sakit dan pusat-pusat isolasi pasien positif dengan fasilitas yang lengkap. Jumlahnya juga harus memadai di seluruh daerah. LockDown tidak diperlukan, bila jumlah penduduk yang relatif tidak terlalu banyak. Begitu juga dengan letak geografis yang tidak terlalu luas. Selain itu, episentrum penyebaran virus yang tidak banyak. Dipastikan juga akan terjalin kordinasi yang baik antara pusat dan daerah, terutama ketika bekerja di medan yang luas dan menghadapi jumlah manusia yang banyak. Diperlukan juga kemampuan yang tinggi untuk melakukan tracing close contact yang melibatkan banyak instansi. Langkah ini harus didukung dengan teknologi dan data sources yang akurat. Beberapa negara yang menjalankan Social Distancing seperti Singapura dan Korea Selatan telah memenuhi prasyarat itu. Jika persyaratan-persyaratan tersebut tidak ada, maka LockDown mejadi pilihan terbaik. Meski untuk itu harus mengorbankan kegiatan ekonomi. Sebab, jika penyebaran sudah masif di banyak daerah, maka Social Distancing akan memberikan hasil penurunan penyebaran virus lebih lambat karena sangat bergantung pada kedisiplinan manusia dan ketersediaan sarana dan prasarana. Harus pula dapat diukur kecepatan penyebaran virus dengan kecepatan pemeriksaan atau tes dari warga masyarakat secara sukarela. Meskipun tdk menimbulkan panic buying, bukan berarti kegiatan ekonomi tidak terganggu sama sekali. Pasti akan ada dampak ekonomi. LockDown, sangat mungkin menimbulkan panic buying. Secara drastis akan menghentikan kegiatan ekonomi. Tetapi LockDown memberikan hasil terhadap perlambatan penyebaran virus yang mungkin bergerak lebih cepat, karena mengurangi resiko penularan antar daerah. Keputusan untuk LockDown akan mengurangi variable-variabel yang menjadi sebab-musabab virus menyebar cepat. LockDown juga perlu dilengkapi dengan aturan-aturan ketat dalam pelaksanaan. Harys diawasi aparat di lapangan. Diberlakukan sanksi bagi yang melanggar. Dengan jumlah test kit dan tenaga medis yang terbatas. Begitu juga dengan anggaran yang terbatas, maka pilihan LockDawn lebih cocok dan tepat. Warga yang sehat tidak perlu diperiksa. Warga yg positif pun akan sembuh sendiri. Yang tidak menunjukkan symptom, juga karena tingkat kesembuhan Covid-19 yang tinggi, sekitar 97%. Ini bisa terjadi selama yang positif terjangkir Covid-19 tidak menularkan, karena semua berada dalam pembatasan dan ruang mobilisasi. Tidak moving. China memilih melakukan LockDown karena jumlah manusia yang banyak dan padat. Membuat virus bisa menyebar dengan cepat ke provinsi lain. Akan lebih sulit ditangani ketika episentrum sudah meluas ke propinsi lain. Fhilipina melakukan LockDown karena kurangnya test kit dan tenaga medis sehingga Social Distancing dianggap tidak efektif. Pemerintah Fhilipina dan juga Malaysia menyadari bahwa sulit untuk mengharapkan sikap kedisiplinan dari warganya untuk self-defense selama Social Distancing. Untuk itu, LockDown dinilai menjadi pilihan yang lebih efektif, karena ada aturan-aturan yang bisa memaksa masyarakatnya. Kunci efektivitas LockDown di Indonesia adalah perlu strong leadership Jokowi. Penegakan aturan-aturan LockDwon oleh aparat adalah juga ketersediaan logistic. Artinya, distribusi logistik antar daerah dipastikan tetap berjalan dengan baik. Dikawal betul oleh aparat kepolisian dan tentara. Ketika pabrik-pabrik dan pasar tutup, maka distribusi logistik yang menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat menjadi terganggu. Selama LockDown distribusi logistik pangan harus dapat dijalankan oleh pemerintah. Misalnya melalui Bulog. Dengan kata lain, jalur distribusi logistik harus disiapkan sebelum jalankan LockDown diberlakukan. Jadi, sekarang yang perlu dipertimbangkan adalah “lebih banyak mana, kerugian yg akan ditimbulkan dari Social Distancing dan LockDown? Tetapi apapun itu kerugiannya, pemerintah tidak boleh mengorbankan kesehatan masyarakat. Jangan lagi memikirkan ekonomi. Apalagi kekuasaan. LockDown memang akan menimbulkan panic buying pada awalnya. Tetapi jika aparat dan Bulog punya kesiapan yang tinggi, akan meredam kepanikan ini. Jangan jadikan panic buying sebagi penghalang keputusan LockDown. Sebab LockDown secara rasional sebagai pilihat tepat saat ini. Untuk itu, siapkan strategi bagaimana menghadapi panic buying, sehingga dapat diminimalisir. Jika melihat berbagai prasyarat memilih Social Distancing atau LockDown, nampaknya Jokowi tidak siap. Bukan tidak mau. Untuk memutuskan LockDown, meskipun LockDown lebih tepat dalam situasi penyebaran virus yg terus naik. Ketidaksiapan ini adalah pada jaminan supply logistik oleh Bulog yang menggantikan peran swasta. Selian itu, Jokowi juga tidak memiliki strong leadership yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan LockDown efektif sampai ke daerah-daerah. Contohnya, LockDown kota Malang yang diputuskan oleh Walikota Senin siang. Tetapi sore hari disangkal lagi oleh Walikota setelah Jokowi marah, karena LockDown menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa daerah dalam status yang sangat urgensi, telah menjalankan LockDown. Bagaimanapun daerah lebih tahu kondisi daerahnya sehari-hari saat ini. Daerah juga lebih tahu resiko yg akan dihadapi daerah ketika LockDown terlambat dijalankan. Karena itu, jika belum siap jalankan LockDown secara nasional, maka daerah perlu diberikan kewenangan untuk lalukan LockDown secara parsial sepanjang daerah siap dengan segala resikonya. Penulis adalah Managing Director Indonesia Future Studies (INFUS)

Nasib APBN 2020 "Mendekati Ambyar”

“Urusan corona memang berat. Namun yang lebih berat lagi adalah urusan tidak punya uang. Karena berdampak kepada tiga persoalan sekaligus. Yaitu, tidak punya uang buat beli makanan, tidak punya uang buat memeriksa kesehatan, dan kalau tertular berarti tidak punya uang buat berobat. Demikian beratnya kalau tidak punya uang itu”. By Salamuddin Daeng Jakarta FNN - Sekarang, masalah terberat yang dihadapi pemerintah Jokowi Makruf adalah pemerintah tidak punya uang. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Ambyar, kata anak milenial. Seluruh target penerimaan dalam APBN 2020 akan merosot tajam. Bahkan bisa dibilang terjun bebas. Sementara seluruh kewajiban akan menggunung. Kondisi ini jika tidak mendapat penanganan secara baik,maka bisa membuat Pemerintahan Jokowi- Makruf Ambyar juga. Masalah pzaling berat yang dipikul APBN 2020 tersebut datang dari merosotnya harga komoditas, terutama minyak, gas dan batubara. Ketiga komoditas tersebut selama ini merupakan penopang utama penerimaan dalam APBN setiap tahun. Harga minyak telah menurun ke posisi paling rendah dalam lima tahun terakhir. Harga sekarang U$ 28 dollar per barel minyak. Batubara juga menurun tajam menuju harga terendah dalam lima tahun terakhir. Harga baturabara sekarang U$ 34 dollar per ton. Sementara harga gas alam juga turun drastic. Berada pada posisi U$ 1,8 dollar per MMBTU. Sedangkan posisi harga komoditas yang menjadi penopang utama APBN juga memburuk. Penyebabnya, sangat kompleks, sehingga tidak mudah mencari jalan keluarnya. Masalah penurunan harga minyak, gas dan batubara adalah masalah kunci dalam penerimaan APBN Indonesia. Mengingat komoditas ini adalah penyumbang paling besar terhadap pendapatan negara dari pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Jika harga komoditas seperti minyak, gas dan batubara tinggi, maka investasi yang masuk ke sekrtor ini juga akan meningkat. Produksi dengan sendirinya meningkat, ekspor juga meningkat, bagi hasil meningkat, dan royalti memingkat. Hasilnya, pendapatan negara dari pajak dan PNBP meningkat. Sementara kondisi yang terjadi hari ini adalah sebaliknya. Bukan Masalah Baru Banyak yang mengatakan bahwa penurunan harga komoditas memang buka masalah baru bagi APBN Indonesia. Masalah ini selau berulang-ulang. Itulah yang mendasari keyakinan bahwa APBN Indonesia akan aman aman saja. Tidak akan terjadi masalah dalam kelangsungan pemerintahan Jokowi-Makruf. Pernyataan itu memang sepintas benar. Fluktuasi harga komoditas memang telah terjadi selama lebih dari satu dekade terakhir. Terhitung sejak krisis melanda Amerika Serikat dan Eropa tahun 2008 lalu. Komoditas seperti minyak, gas, dan batubara mengalami naik turun secara ekstrim. Selama ini kondisi harga komoditas yang demikian tidak membawa pemgaruh significant terhadap APBN, terlebih lagi terhadap kelangsungan politik dan pemerintahan. Lalu mengapa sekarang berbeda? Masalah penurunan harga komoditas merupkan akumulasi dari berbagai masalah lainnya. Pelemahan pertumbuhan ekonomi global, khususnya ekonomi Tiongkok. Sekarang ditambah maslaah pelemahan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat karena hantaman wabah corona adalah yang tidak pernah terjadi di masa lalu. Dari dalam negeri, muncul masalah pelemahan pertumbuhan ekonomi nasional. Kenyataan ini merupakan akumulasi dari krisis sektor industri dalam dua dekade terakhir. Sektor property melemah sejak tahun 2014. Akibatnya, terjadi pelamahan daya beli masyarakat dalam lima tahun terakhir. Sekarang krisis harga komoditas yang mengalami kejatuhan terparah dalam sejarah. Tidak Punya Uang Sumber sumber utama pemerintah untuk mendapatkan uang tampaknya sudah semakin kering. Sektor komoditas tidak lagi dapat diharapkansebagai penopang uatama penerimaan pemerintah. Sementara sektor konsumsi, terutam property dan otomotif, telah lama mengalami pelemahan daya beli. Sektor pariwisata sebagian besar oleh diisi turis dari Tiongkok. Faktanya, sekarang Tiongkok dilockdown, maka yang tersisa cuma kemampuan masyakat dalam membeli bahan pangan dan makanan, yang makin pas-pasan saja. Sumbangan pajaknya pun tidak lagi significant. Sebetulnya kondisi ini tampak semakin memburuk dalam empat tahun terakhir. Namun pemerintah menyiasatinya dengan meminjam dana publik melalui instrumen Suat Utang Negara (SUN). Tragisnya, cara yang digunakan pemerintah untuk menjual SUN juga salah. Menjual obligasi negara dengan bunga lebih besar dari bunga yang berlaku pada deposito perbankkan. Disitulah letak salahnya. Maka mengalirlah dana dari berbagai penjuru negeri ke dalam SUN. Ada dana bank, dana perusahaan asuransi, dana pensiun, dana haji, semua mengalir mengisi kas negara yang sudah mongering atau kosong. Untuk sementara waktu, APBN pun selamat. Sekarang pemerintah harus membayar kewajiban-kewajiban yang menggunung. Membayar dana publik yang dipinjam pemerintah dengan menerbitksan SUN. Pada saat yang sama, juga membayar kewajiban utang luar negeri pemerintah dengan nilai yang makin besar. Bukan saja karena utang luar negeri pemerintah yang meningkat dari tahun ke tahun untuk menutupi defisit, namu juga karena jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing yang melemah sangat besar. Jika pelemahan nilai tukar rupiah terus berlanjut, maka ini akan menjadi pukulan besar bagi beban utang APBN 2020. Meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pelemahan rupiah menguntungkan APBN 2020, karena memperbesar nilai penerimaan utang baru dan peberimaan bagi hasil penjualan komoditas. Namun pukulan terhadap kewajiban pemerintah juga sangat telak. Persis ke ulu hati. Jika pelemahan harga komoditas berlangsung lama, ditambah wabah corona belum jelas kapan akan berakhir, maka sebagian besar sumber keuangan pemerintah akan kering-kerontang. Satu-satunya harapan yang tersisa adalah sita aset para koruptor. Sita aset koruptor yang waktu lalu minta ampun dan tidak mau minta ampun lewat tax amnesty. Sangat sulit untuk membayangkan pemerintah tak punya uang. Sementara pada waktu yang bersamaan, sedang kena serangan corona. Bagaimana caranya kita membeli makanan dan membeli obat? Wallaahu Alam Bisshawab Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Pelitik Indonesia (AEPI)

Selamatkan Rakyat, "Lock Down" Segera Indonesia, Pak Presiden!

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Hingga Senin (16 Mar 2020 13:31 WIB), seperti ditulis Detik.com, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah merilis perkembangan terkini berkaitan dengan sebaran Virus Coroa (Covid-19) di Indonesia, total sejauh ini pasien positif Covid-19 berada di setidaknya 8 provinsi. Melalui akun Twitter resmi @KemenkesRI, disebutkan informasi terbaru mengenai Covid-19. Untuk sebaran Covid-19, disebutkan berada di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Bali, dan DI Jogjakarta. “Untuk persebaran #Covid19 yakni Jakarta, Jawa Barat (Kab.Bekasi, Depok, Cirebon, Purwakarta, Bandung), Banten (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Tangerang Selatan), Jawa Tengah (Solo), Kalimantan Barat (Pontianak), Sulawesi Utara (Manado), Bali & Jogjakarta,” cuit @KemenkesRI, Senin (16/3/2020). Selain itu, disebutkan informasi per 15 Maret 2020 mengenai 21 kasus baru pasien positif Covid-19. Dengan penambahan itu, total ada 117 kasus pasien positif Covid-19 di dalam negeri. “Update per tanggal 15 Maret 2020 terjadi penambahan kasus baru sebanyak 21 orang. Dengan demikian, jumlah total positif #Covid-19 di Indonesia menjadi 117 orang dengan 8 sembuh dan 5 meninggal,” tulisnya. “Dua puluh satu kasus tersebut yakni 19 kasus di Jakarta dan 2 kasus di Jawa Tengah. Kasus di Jakarta merupakan hasil pengembangan contact tracing dari kasus sebelumnya,” tulisnya. Data terbaru, per Senin (16/3/2020), disebutkan, ada tambahan 17 kasus baru. Ini menjadikan total penderita menjadi 134 kasus. “Tambahannya Jawa Barat 1, Banten 1, Jateng 1, dan DKI 14 pasien,” ujar Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto. Angka korban meninggal dan yang kembali sehat belum berubah: yang meninggal sebanyak 5 kasus dan yang sembuh 8 kasus. Pemerintah juga memutuskan untuk melakukan isolasi atau karantina di rumah masing-masing. Terutama bagi yang tanpa gejala. Seharusnya Indonesia belajar dari Italia yang terlambat dalam menyatakan #lockdown. Begitu kata Dr. Tifauzia Tyassuma yang pernah menjadi salah satu Peneliti Virus Dengue kerjasama dengan US-Aid. Untuk tujuan menemukan vaksin. Kondisi Italia hari ini menuju tendensi jauh lebih parah daripada China pada waktu puncak terjadinya Covid-19. Mengapa? “Karena terlambat #lockdown,” tegas Dokter Tifauzia. Hari ini, jumlah kasus meninggal sebanyak 368 orang. Hanya dalam sehari. Padahal, Italia adalah satu negara Eropa yang memiliki fasilitas kesehatan dan pemeriksaan penunjang termasuk terbaik di dunia. Saat ini kondisi beberapa negara Eropa, terutama Selatan, menuju kepada puncak kasus yang diperkirakan terjadi dua-tiga bulan lagi. Di Perancis, Rakyat telah mendesak supaya Pemerintah memberlakukan #lockdown. Tetapi belum dilakukan. Tampaknya Pemerintahnya menunggu kasus menjadi semakin banyak. “Kurang lebih seperti yang dilakukan Pemerintah RI saat ini,” katanya. Jadi, apa yang ditunggu itu? Apa yang ditunggu sebenarnya cuma satu: menunggu semakin banyaknya jumlah kasus. Dan, akan terjadi, apabila yang dilakukan hanya release laporan jumlah kasus dan himbauan. “By the way, saya menunggu release Pak Yuliarto dari kemarin. Mohon jangan ada yang ditutupi ya Pak,” pinta Dokter Tifauzia. Menurutnya, beberapa Rumah Sakit, di berbagai tempat di Indonesia, Para Dokter dan Perawatnya sudah positif Covid-19. Beberapa Provinsi, yang kemarin masih zero, satu demi satu sudah melaporkan kasus positif. Era keterbukaan, era digital, sulit untuk menutupi apapun. Bukan sekedar dinding bisa bicara, smartphone pun pandai bicara. “Maka lebih baik, sampaikan apa adanya,” tegas Dokter Tifauzia. Rakyat akan menerima, tinggal diinstruksikan dengan tegas dan jelas, harus bagaimana. Jika terjadi penajaman jumlah kasus dan kematian, dalam beberapa hari ke depan, seperti yang sudah dihitung dengan model prediksi, sungguh, Indonesia tak sanggup mengatasinya, menanganinya, dan berbuat apapun untuk menanggulanginya. “#LockdownIndonesia segera, Pemerintah. Sementara waktu saja! Untuk memutus rantai persebaran virus, dan untuk membuat landai grafik yang curam. Dan itu nanti akan sangat bermanfaat buat kami, rakyat Indonesia,” lanjut peneliti Vaksin Dengue ini. Sebaran Corona Hukum persebaran kuman itu 1 ke 4. Satu orang positif, artinya ada 4 orang di sekitarnya yang positif. Jika terjadi Pandemi, artinya probabilitas berkembang menjadi 1 ke 100. Satu orang positif posibilitas, maka orang positif adalah 100 orang di sekitarnya. Dan risiko persebaran Covid-19 di Indonesia dalam Desember 2019 – Maret 2020 akan semakin besar. Karena apa? Tidak ada tindakan preventif apapun yang dilakukan selama Indonesia belum dinyatakan positif terjangkit. Pesawat masih bebas keluar masuk dari dan ke luar negeri. Kapal-kapal pesiar masih bersandar dengan santainya. Yang ditolak di negeri lain, di Indonesia diterima dengan suka hati. “Kuncinya adalah #lockdown,” ungkap Dokter Tifauzia. Menurutnya, #lockdown adalah tanda kekuatan Joko Widodo sebagai pemimpin. Kalau seorang Kepala Negara berani memberlakukan #lockdown bagi negerinya, artinya dia telah Sangat Yakin bahwa negaranya Kuat. Rakyatnya kuat secara Mental. Negaranya Kuat secara Ekonomi dan Politik. Saat ini, tidak ada satupun Ilmuwan dunia yang bisa memastikan mutasi dan evolusi yang terjadi pada COVID-19. “Saya pun telah melakukan hipotesis atas prognosis berdasarkan Ilmu Clinical Epidemiology dan Virology, terhadap Covid-19 ini,” ujar Dokter Tifauzia. Saat ini yang sudah terbukti adalah bahwa Virus Covid-19 ini telah berhasil menjadikan manusia sebagai Reservoir-nya. Karena itu tindakan Beyond Prevention, termasuk di dalamnya Lockdown, adalah tindakan yang paling masuk akal. #Lockdown itu ada berbagai versi dan strategi. Kita harus mengikuti karakteristik dari Covid-19 ini. Saat ini si virus sudah menggunakan manusia sebagai reservoirnya. Hasil penelitian terbaru menyatakan bahwa titik tangkap Covid-19 bukan lagi di CD 4. Maka obat Anti HIV yang bulan lalu di Wuhan masih efektif, sekarang sudah tidak lagi. Pada Februari 2020, pengobatan kemudian beralih ke BOM Vitamin C dosis tinggi, dan cukup efektif. Mengapa? Karena Covid-19 telah berevolusi lagi. Sekarang titik tangkapnya adalah ke ACE, Angiotensin Converting Enzyme. Apa ini artinya? Sekarang ini Covid-19 bisa langsung menyebabkan kematian. Kematian yang terjadi bukan lagi karena Infeksi Sekunder, tetapi karena terjadi Bronchospasme dan/atau Cardiac arrest, jantung berhenti. Ini yang terjadi pada Pasien positif di Manado. Datang dengan serangan jantung bukan dengan gejala gangguan pernafasan. Kondisi yang juga ditengarai terjadi pada Menhub Budi Karya Sumadi. Karena ia pasien ke-76, artinya ia terinfeksi Covid-19 generasi ke 3, yang telah secara langsung berikatan dengan ACE. Makanya serangannya seperti Asma. Terjadi Bronchospasme dan seterusnya. Dalam rentang dua minggu, mengikuti karakteristik Covid-19 yang menempel pada permukaan, bukan melalui jalur air borne. “Maka Presiden, Wapres, semua Menteri, Pejabat, dan orang-orang yang bersentuhan dengan Pak BKS, possible untuk terinfeksi tanpa disadari,” ungkap Dokter Tifauzia. Presiden Jokowi tampaknya body immunity-nya kuat. “Tetapi saya khawatirkan Wapres Ma’ruf Amin yang sudah sepuh dan punya Diabetes. Apakah beliau sempat salaman dengan Pak BKS? Beliau lebih baik dikarantina dulu. Daripada kenapa-kenapa,” lanjutnya. Menurut Dokter Tifauzia, UNICEF dan WHO sudah mengingatkan terjadinya evolusi Covid-19 sejauh ini. Dia sudah adaptasi dengan iklim Indonesia yang panas dan lembab. Dan, kemampuan bertahan hidup di permukaan apapun sudah mampu di atas 9 jam tanpa mati. Covid-19 yang sudah dibuat sebagai senjata biologis sejak1980, 40 tahun lalu, berevolusi dengan tepat seperti yang dikehendaki pembuatnya. Bagaimana caranya? Mekanisme mutasinya selalu berkembang sesuai dengan karakter reservoir dimana dia hidup dan berkembang biak. Dengan perilaku manusia abad 21 yang makin sembarangan dalam menjaga pola hidup dan pola makan, dengan usus yang makin buruk dan mikrobiota yang makin miskin, dia menjadi kuman yang menjajah dengan leluasa di dalam tubuh manusia yang saat ini menjadi reservoir utamanya. Dokter Tifauzia memberi saran: 1. Berlakukan #Lockdown secepat mungkin. Gerbang negara tutup, gerbang antar pulau seleksi seketat mungkin. 2. Kerumunan massa seperti sekolah dan kampus yang memungkinkan terjadi persebaran di #lockdown dahulu. 3. Berikan Kupon Gratis Sembako kepada 7% warga miskin. Yang mau ngaku miskin dan ingin dapat Kupon Gratis ya kasih kan sajalah. 4. Berikan BLT, uang saku kepada 7% warga miskin. Yang mau ngaku miskin dan ngarep BLT juga berikan sajalah. 5. Perintahkan rakyat anda untuk menghindari sedikit mungkib keluyuran keluar rumah, kecuali yang Urgent sekali dan tidak bisa ditinggalkan. Selebihnya, instruksikan untuk diam di rumah. Mengikuti hukum Pareto logic, saat ini sedikitnya ada 384 orang yang telah terinfeksi tapi tidak atau belum terdeteksi. Dan kalau mengikuti hukum persebaran virus, kemungkinan sudah ada sedikit ya 9600 orang yang terinfeksi tanpa mereka sadari. Mekanisme Screening kasus di Indonesia masih sangat primitif, dimana yang terdeteksi hanyalah yang kebetulan sakit dan berobat. sementara ribuan lain yang sebetulnya sudah terinfeksi masih bajalan kesana kemari. Tidak usah jauh-jauh-lah. Pak Menteri BKS bukannya juga masih kesana-kemari, masih ikut Rapat Kabinet, masih keluar masuk Istana. Ini Menteri yang tentu adalah Pejabat yang sangat dilindungi kesehatannya dengan protokol yang ketat, bukan? Penulis adalah waratawan senior

Rasio Tingkat Kematian Tertinggi Kedua Corona, Indonesia Semi-Lock Down

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - World Health Organization (WHO, organisasi kesehatan sedunia) sudah mengumumkan, wabah Virus Corona sebagai pandemik. Artinya, sudah menjadi ancaman untuk seluruh dunia. Sudah lebih dari 100 negara yang tertular virus yang disebut Covid-19 itu. Bukan lagi endemik – yang hanya mengancam satu atau beberapa negara saja. Dahlan Iskan (Disway.co.id, Jum’at, 13 Maret 2020) mencatat, di Italia saja yang menderita virus Corona memang sudah sekitar 10.000 orang – hampir 1000 orang meninggal dunia. Padahal, di Tiongkok sudah sangat reda. Upacara-upacara penutupan rumah sakit darurat – karena tidak ada lagi pasien baru – terus terjadi setiap hari. Kabar baik yang sangat baik itu juga datang dari provinsi terparah: Hubei – pusat lahirnya virus Corona. Rabu kemarin penderita baru di provinsi ini ”tinggal” 8 orang. Jangan-jangan hari ini sudah bisa 0. Atau besok. Atau lusa. Dari 67.000 penderita di Hubei, yang sudah sembuh 52.000 orang. Di Provinsi Zhejiang – yang beribukota di Hangzhou, pusatnya Alibaba itu – dari 1.215 penderita yang sudah sembuh 1.209. Berarti tinggal enam orang yang belum sembuh. Di Provinsi Jiangxi – tempat Mas Dahlan belajar bahasa Mandarin dulu – dari 935 penderita, yang sudah sembuh 934. Tinggal satu orang yang masih dirawat. Demikian juga di Provinsi Fujian – mayoritas Tionghoa Indonesia punya leluhur di provinsi ini – dari 296 penderita virus Corona yang sudah sembuh 295. Kurang satu orang lagi. Itulah situasi terbaru di Tiongkok. Tapi sukses seperti itu harus lewat penderitaan luar biasa ratusan juta orang. Mereka harus di-lock down – seperti yang sekarang dilakukan di Italia. Lebih dua bulan orang Tiongkok harus dipenjara di rumah masing-masing. Italia mengikuti cara Tiongkok itu. Seperti dilansir Tribunnews.com, Sabtu (14 Maret 2020 12:09 WIB), Italia telah memecahkan rekor dalam sejarah kasus virus Corona. Data resmi pemerintah setempat mencatat jumlah korban tewas tertinggi dalam sehari. Dilansir South China Morning Post, ada 250 kematian yang tercatat selama 24 jam terakhir pada Jumat (13/3/2020). Hingga berita ini diturunkan, sebanyak 1.266 orang telah meninggal di Italia akibat Covid-19, Sabtu (14/3/2020). Ada 17.660 orang terinfeksi secara keseluruhan. Jumlah tersebut merupakan peningkatan dari 2.547 kasus sejak Kamis (12/3/2020) malam. WHO pun telah mendeklarasikan Eropa sebagai pusat pandemi virus Corona yang baru. Sistem perawatan medis di sana sedang berada dalam ketegangan menghadapi wabah. Negara mengunci wilayahnya. Warga diperintahkan untuk tinggal di rumah, kecuali untuk perjalanan terkait pekerjaan dan kebutuhan penting lainnya. Semua toko, kecuali toko makanan, apotek, kios surat kabar, dan penjual tembakau, telah ditutup. Lantas, China menerbangkan 31 ton pasokan medis ke Roma. Para pakar medis dari China turut berangkat ke Italia. Wakil Kepala Palang Merah China, Yang Huichuan, yang mengepalai tim, mengatakan persediaan tiba di Roma Jumat (13/3/2020) malam. Persediaan termasuk peralatan untuk unit perawatan intensif. Dalam konferensi pers bersama Menlu Italia, Luigi Di Maio, dan duta besar China untuk Italia, Li Junhua, Yang mengatakan, para ahli juga siap memberi versi terbaru dari rencana kontrol dan pencegahan kepada pemerintah Italia. Li mendukung pernyataan dari Yang tersebut. Dia menambahkan, semua ahli yang dikirim dari Wuhan ke Italia memiliki kemampuan untuk membantu memerangi Corona di negara spaghetti tersebut. “Italia telah mengirim bantuan ke China saat China menghadapi Corona. Jadi, kami di sini membayar kembali bantuan yang kami dapatkan dari Italia,” kata Yang. Apalagi, Eropa kini telah ditetapkan WHO sebagai pusat pandemi virus Corona di dunia. Hal itu disampaikan oleh Dirjen WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, Jumat (13/3/2020) waktu setempat. Pernyataan itu dideklarasikan ketika beberapa negara Eropa melaporkan peningkatan tajam dalam infeksi dan kematian akibat Corona. Lebih dari 143.000 orang telah didiagnosis Covid-19 di 135 negara, per Sabtu (14/3/2020). Jumlah kematian telah mencapai sebanyak 5.391 orang. Tedros menyebut jumlah itu sebagai “tonggak yang tragis”. “Eropa sekarang telah menjadi pusat pandemi, dengan lebih banyak kasus dan kematian yang dilaporkan di seluruh dunia, selain dari China,” katanya, dilansir BBC.com. Dirjen WHO itu menambahkan, lebih banyak kasus yang dilaporkan setiap hari sekarang, dibandingkan di China. Oleh karena itu, Tedros mendesak negara-negara untuk melakukan langkah-langkah agresif, mobilisasi masyakarat, dan jarak sosial untuk menyelamatkan diri. Kontrol juga diberlakukan di lebih banyak perbatasan di Eropa. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran virus yang cepat. “Jangan biarkan ini semakin menjadi-jadi,” kata Tedros. Data terbaru seperti dilansir CNN Indonesia, Italia merilis data terbaru korban tewas akibat virus corona, yakni 368 orang. Data ini merupakan rekor dalam satu hari kasus kematian dari infeksi Covid-19. Total virus Corona sudah menewaskan 1.809 orang di Italia sampai hari ini. Angka tersebut menjadikan Italia sebagai negara tertinggi kedua kasus kematian akibat virus Corona selain China, dilansir dari AFP, Senin (16/3/2020). Jumlah infeksi di Italia sendiri telah mencapai 24.747. Wilayah Lombardy utara di sekitar Milan tetap menjadi pusat pandemi Eropa, dan dilaporkan terdapat 1.218 kematian atau 67 persen dari total kasus di Italia. Bagaimana dengan Indonesia? Tertinggi Kedua Update terakhir, data rasio tingkat kematian di berbagai negara akibat virus Corona, menurut John Hopkins University and Medicine: 1. Italia = 1266 : 17660 = 7.169%; 2. Indonesia = 5 : 96 = 5.2%; 3. Iran = 514 : 11364 = 4.523%; 4. Cina = 3180 : 80945 = 3.929%; 5. Jepang = 21 : 725 = 2.990%; 6. Spanyol = 133 : 5232 = 2.542%; 7. Perancis = 79 : 3667 = 2.154%; 8. Amerika = 37 : 2034 = 1.819%; 9. Belanda = 10 : 804 = 1.244%; 10. Inggris = 8 : 801 = 0.999%; 11. Swiss = 11 : 1139 = 0.966%; 12. Korsel = 66 : 7169 = 0.921%; 13. Belgia = 3 : 559 = 0.537%; 14. Jerman = 8 : 3675 = 0.218%; 15. Austria = 1 : 504 = 0.198%; 16. Swedia = 1 : 814 = 0.123%; 17. Norwegia = 1 : 996 = 0.100%; 18. Denmark = 0 : 804 = 0.000%; Tingkat kematian corona dunia = 5409 : 145050= 3.730%. Jika menyimak data terakhir di atas, berarti Indonesia masuk sebagai negara dengan tingkat kematian tertinggi kedua setelah Italia. Indonesia = 5 : 96 = 5.2%, tingkat kematian 5.2% di atas Iran = 514 : 11364 = 4.523% dan Cina = 3180 : 80945 = 3.929%. Juga di atas tingkat kematian corona dunia = 5409 : 145050= 3.730%. Jelas, ini peringatan dari John Hopkins University and Medicine yang tidak main-main. Sehingga, diharapkan Pemerintah dan Presiden Joko Widodo harus mengambil langkah strategis. Serangan virus corona di Indonesia telah menelan 5 orang korban meninggal. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sendiri dinyatakan positif terjangkit virus Corona. Kini masih dalam perawatan medis. Para menteri dan presiden diperiksa. Langkah Gubernur DKI Jakarta Anies Bawesdan yang memaparkan sebaran virus Corona di 17 titik di wilayah Jakarta patut diapresiasi. Anies menunjukan peta sebaran kasus corona di di Jakarta. Keputusan menyebarkan informasi itu adalah untuk meningkatkan kehati-hatian terhadap risiko penularan virus Corona. “Ini kami sampaikan sebagai gambaran bahwa kalau kita tahu, maka kita berhati-hati. Saya menyampaikan ini jangan untuk panik. Bukan untuk panik. Tidak perlu panik," ujarnya Anies di Balai Kota Jakarta Pusat, Jumat 13 Maret 2020. Dalam konferensi pers, Anies memperlihatkan peta sebaran kasus Corona di Jakarta. Hingga 13 Maret tercatat ada 17 titik lokasi positif kasus Corona di Jakarta dan beberapa titik lainnya menunggu hasil pemeriksaan. Presiden Jokowi sendiri mengakui tak semua informasi yang dimiliki pemerintah mengenai penyebaran virus Corona bisa disampaikan ke masyarakat. Langkah ini dilakukan pemerintah mengantisipasi adanya kepanikan berlebihan di masyarakat. “Saya sekali lagi sampaikan penanganan pandemi Covid-19 terus menjadi perhatian kita. Memang ada yang kita sampaikan dan ada yang tidak kita sampaikan karena kita tidak ingin menimbulkan keresahan dan kepanikan di tengah masyarakat,” katanya, Jumat (13/3/2020). Jokowi menuturkan sebenarnya di awal pemerintah ingin menyampaikan seluruh informasi. Namun kemudian dari perhitungan pemerintah, keresahan di masyarakat bisa sangat besar. Selain itu efek terhadap pasien setelah sembuh juga menjadi pertimbangan. Melibatkan BIN dalam penanganan virus Corona di Indonesia, tentu saja karena ada alasan tertentu. Pasalnya, virus Corona ini diduga bentuk serangan “senjata biologi”, seperti halnya saat virus Flu Burung menyerang Indonesia. Untuk sementara, lupakan skandal Jiwasraya, Asabri, BPJS, dan beragam korupsi lainnya. Kini, utamakan keselamatan rakyat dari serangan virus Corona! Penulis adalah wartawan senior