Haji Yang Wajib Ditunda, Pilkada Dipaksakan 2020
by M. Rizal Fadillah
Jakarta FNN – Ahad (07/06). Memaksakan pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember 2020 sangat tidak bijak rasional. Apalagi Pilkada yang tanpa peduli, apakah pandemi covid 19 telah selesai atau belum? Tentu saja dapat menimbulkan masalah baru.
Masalah utama adalah anggaran yang besar untuk Pilkada, yang harus disiapkan di tengah prioritas penanganan covid 19. Apalagi baru saja Ketua KPU tanpa malu-malu telah meminta anggaran tambahan sebesar Rp. 535 miliar untuk membeli Alat Pelindung Diri (APD).
Belum lagi dampak kesehatan yang bakal timbul kelak. Akan terjadi pengumpulan massa sebagaimana biasanya musim kampanye. Pertemuan-pertemuan dilakukan dengan intensif. Memakai media zoom dinilai tidak lagi efektif untuk berkempanye Pilkada.
Pemilu di TPS tidak mungkin menggunakan "zooming". Kalau dengan e-voting dijamin pasati curang. Pada pencoblosan manual saja perhitungan elektronik begitu leluasa dimainkan. Apalagi ditambah dengan kemungkinan adanya "hacker". Kecurangan diprediksi semakin besar. Peran Lembaga Pengawas Pemilu akan terbatas perannya jika covid 19 masih mengintai.
Juli 2020 harus sudah mulai pentahapan Pilkada. Artinya, data pemilih dan verifikasi juga telah mulai. Sementara "physical distancing" dipastikan masih berlaku sampai Juli 2020 nanti. Tidak cukup hanya dengan bermodal masker dan sanitizer untuk melakukan tahap-tahapan Pilkada.
Bila tidak ingin berjatuhan korban, khususnya para Petugas Pengumutan Suara (PPS), maka sebaiknya Pilkada ditunda saja dulu. Lain halnya kalau kita memang sudah terbiasa untuk "menumbalkan" petugas penyelenggara dengan kematian yang tidak terverifikasi ?
Jangan lagi berulang kebiasaan untuk mengentengkan urusan kesehatan dan nyawa para petugas penyelenggara pemilu. Cukup pemilu 2019 lalu yang mengorbankan nyawa 894 petugas PPS, cukup menjadi pelajaran paling pahit catatan demokrasi Indonesia (FNN.co.id 04/06/2020).
Ketika Perppu dan Undang-Undang dibuat untuk penggunaan dana corona, yang katanya "darurat" sehingga tak bisa diawasi. Ketika ibadah haji harus ditunda. Karena dana dari APBN digunakan dulu untuk penanggulangan pandemi covid 19. Eh, soal Pilkada yang semestinya bisa diundur atau ditunda, malah dipaksakan waktu pelaksanaannya. Rakyat dipaksa digiring fikiran dan orientasinya kepada Pilkada. Sungguh kebijakan sangat tidak bijak.
Presiden juga masih "tidak jelas" sikap antara kampanye "new normal" dengan kekhawatiran akan belum stabilnya angka ODP dan PDP. Masyarakat masih "stay at home" dan "work from home". Begitu juga PSBB di beberapa daerah dilakukan perpanjangan waktu. Kini aneh, jika rakyat atau masyarakat sudah harus berkonsentrasi pada kegiatan politik di daerah.
Menunda Pilkada adalah pilihan bijaksana. Sense of crisis harus tetap dibangun dan ditanamkan. Jangan berdemokrasi setengah hati. Pilkada dengan banyak pembatasan dipastikan akan melanggar hak-hak politik warga. Tunggu dulu waktu yang tepat. Orang beribadah haji saja sampai ditunda. Tempat umum dibuka juga baru coba coba. Pilkada mau dipaksakan. Tundalah Pilkada.
Tanggal 9 Desember 2020 terlalu dekat untuk tahapan Pilkada. Penuh dengan spekulasi tingkat tinggi bahwa pandemi covid 19 telah selesai ketika itu. Di tengah ketidak pastian dunia, baiknya pencanangan Pilkada minimal dilaksanakan pada tahun 2021.
Penundaan ke 2021, tampaknya itu lebih rasional. Ketua KPU juga tak perlu mengemis dari sekarang minta tambahan anggaran sebesar Rp. 535 miliar hanya untuk pengadaan APD. Sangat menggelikan, sekaligus menyedihkan.
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan