Perlawanan Rakyat, Kekerasan Polisi dan Reformasi Institusi
by Farouk Abdullah Alwyni & Kamal Abdullah Alwyni
Jakarta FNN – Kamis 918/06). Belajar dari kasus demonstrasi besar-baran akibat kematian George Floyd di Amerika Serikat. Baru-baru ini kita semua menyaksikan sebuah hal yang sangat dramatis. Demonstrasi yang berlangsung di banyak kota-kota di Amerika Serikat (AS).
Demonstrasi yang berlangsung mulai dari kota-kota besar di Amerika seperti Minneapolis, Washington, New York, Los Angeles, Las Vegas, Michigan. Demonstrasi yang sama juga terjadi di kota-kota besar dunia seperti London, Paris, Sydney, Melbourne, Berlin, Lisbon, Tokyo, dan masih banyak lagi. Berdasarkan temuan para peneliti, protes yang ada sekarang merupakan yang terluas dalam sejarah Amerika. Telah menyebar di lebih dari 650 kota di 50 negara bagian (The Washington Post, 7 Juni 2020).
Demo-demo ini dipicu oleh kematian seorang warga kulit hitam George Floyd, akibat perlakuan kekerasan polisi kulit putih, beserta tiga rekan polisi lainnya. Kematian George Floyd ini memancing amarah publik setelah sebuah video viral yang menunjukkan bagaimana sang polisi menekan dengkulnya secara dingin selama sembilan menit, mengabaikan permohonan sang warga kulit hitam yang mengeluh berkali-kali bahwa yang bersangkutan tidak bisa bernafas (I can’t breathe).
Spontan, segera setelah video itu viral beredar di media-media sosial dan berbagai media mainstream di Amerika Serikat seperti New York Times, Los Angeles Times, Washington Post, NBC News, dan lain sebagainya. Banyak masyarakat Amerika Serikat dari berbagai latar belakang dan warna kulit di berbagai kota besar di Amerika Serikat turun kejalan meminta keadilan untuk George Floyd. Mereka mendesak agar otoritas memecat, mengadili, dan menghukum sang pelaku dan ketiga kawannya.
Sejauh ini tuntutan para demonstran mulai membuahkan hasil. Sang pelaku utama telah dipecat, dan sekarang mulai diproses untuk diadili dengan tuntutan “Second Degree Murder”. Ketiga kawannya yang pada awalnya belum dipecat, akhirnya juga menyusul dipecat dan juga ikut diproses sebagai bagian dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembunuhan tersebut.
Dampak yang tidak terelakkan dari demo besar-besaran di banyak kota di Amerika Serikat adalah terjadinya looting dan rioting dari berbagai pihak yang ingin mengambil manfaat dari kejadian ini. Bahkan yang sebelumnya tidak pernah terjadi, masuk ke daerah-daerah elite di Los Angeles, seperti Beverly Hills, Santa Monica, dan West Los Angeles.
Motif dari berbagai tindakan destruktif tersebut memang berbagai macam. Mulai dari kemarahan yang tidak terkontrol, sampai kriminalitas murni. Bahkan dari sekelompok far right/White Supremacy yang ingin memicu lebih jauh konflik rasial di Amerika Serikat.
Namun ddemikian, dampak negatif tersebut perlu dilihat secara proporsional. Sebab ada sebagain kecil yang ingin menumpang dari gelombang besar demo damai ini. Yang awalnya hanya menuntut keadilan untuk George Floyd, berubah menjadi sebuah bentuk perlawanan rakyat terhadap kekerasan polisi, khususnya dari kelompok minoritas kulit hitam.
Ada kelompokl yang dianggap sebagai ketidakadilan dalam proses penegakan hukum kepada para polisi dan pelaku-pelaku kekerasan sebelumnya. Demo-demo ini pada dasarnya menyatukan sebuah keterpanggilan untuk menciptakan AS yang lebih adil untuk semua. Black Lives Matter menjadi satu slogan penting pergerakan tersebut.
Banyak purnawirawan Jenderal di Amerika yang mengkritik respon Presiden Donald Trump. Mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Jenderal Purnawirawan James Mattis termasuk yang mengkritik respon Presiden Serikat Donald Trump terhadap demo-demo. Karena Trump dianggap membatasi hak-hak kebebasan sipil yang tercantum dalam Bill of Rights, dan merupakan pelecehan terhadap konstitusi.
Mattis bahkan menuding bahwa Trump adalah seorang Presiden yang memecah Amerika Serikat. Tidak punya niat baik untuk menyatukan Amerika Serikat. Mittis beranggapan semua ini terjadi sebagai akibat dari tiga tahun kepemimpinan Trump yang tidak matang.
Kemarahan banyak elite dan para mantan elite politik dan pemerintahan Amerika Serikat, diantaranya dipicu oleh sikap Presiden Trump yang dianggap tidak sensitif ketika yang bersangkutan berjalan dari White House ke sebuah Gereja Historis (St. John’s Episcopal Church). Hanya satu blok dari White House, di Washington untuk hanya berfoto dengan para pembantunya, dan juga berfoto sendiri dengan memegang Bible.
Persoalannya adalah proses sampainya Trump ke lokasi Gereja itu dengan cara polisi membubarkan secara paksa demo damai di seputaran White House. Hal ini dilihat sebagai sebuah pelanggaran hukum dari seorang Presiden Amerika Serikat terhadap hak konstitusional warga Amerika untuk berdemo secara damai. Trump dilihat sebagai seorang Presiden yang sudah melecehkan hukum dan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri.
Terakhir Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat Jenderal Mark A. Milley. Chairman of the Joint Chiefs of Staff itu juga menyampaikan penyesalan dan maafnya karena ikut berfoto di gereja dengan Trump di atas. Begitu juga Menteri Pertahanan (Defense Secretary), Mark Esper menyatakan bahwa dia tidak tahu jika tujuan perjalanan Trump ke gereja hanya untuk berfoto. Esper sendiri tidak setuju dengan cara Trump yang ingin menggunakan militer untuk meredam demonstrasi.
Sebenarnya apa yang terjadi sekarang ini di Amerika merupakan akumulasi kekesalan publik terhadap kekerasan polisi, khususnya kepada orang hitam. Kecenderungan bahwa kekerasan tersebut tidak selalu mendapatkan hukuman yang memadai. Mengingat di beberapa kejadian sebelumnya, proses hukum panjang tidak selalu memberikan hukuman yang setimpal kepada polisi yang melakukan keker san.
Selama demo-demo anti kekerasan yang berlangsung ini, banyak sikap kekerasan polisi yang tertangkap kamera. Kondisi ini akhirnya menyatukan banyak elemen masyarakat Amerika lepas dari ras dan warna kulit yang melihat perlunya reformasi institusi kepolisian. Juga rasa keterpanggilan melakukan terhadap sistim yang lebih baik an berkeadilan.
Magnitude demo yang sekarang ini terjadi, yang menunjukkan sebuah perlawan rakyat secara massif. Kondisi ini nampaknya mulai mendorong kembali refleksi dasar untuk mereformasi kepolisian (police reform) yang ada. Banyak para tokoh di Amerika Serikat seperti mantan Presiden Barack Obama, Bill Clinton, George Bush, dan bahkan Jimmy Carter yang menginginkan police reform.
Para senator dan congressman, serta para walikota dan gubernur juga punya keinginan yang sama. Tentang perlunya police reform. Semua memberikan pernyataan terkait kebutuhan perlunya menciptakan institusi keadilan yang lebih baik. Bahkan survey terakhir dari Reuters/Ipsos (ipsos.com) menemukan bahwa mayoritas warga Amerika (73%) mendukung demo-demo damai yang ada.
Terakhir seorang senator sedang menyiapkan usulan hukum untuk menghilangkan imunitas polisi dari hukuman. Apalagi jika yang bersangkutan dianggap telah melakukan penyalahgunaan hukum dalam proses penegakan hukum kepada para warga. Sebab seharusnya warga negara Amerika dilayani dan dilindungi oleh polisi.
Tidak kurang evaluasi akademik mulai dilakukan untuk melihat kembali proses panjang peradilan untuk menghukum polisi. Hukunman terhadap polisi yang bersalah seharusnya tidak memakan waktu yang lama. Apalagi jika polisi tersebut terbukti melakukan kesewenang-wenangan terhadap warga dengan penggunaan excessive force.
Sistim Kepolisian secara menyeluruh di Amerika mulai disorot. Walaupun demikian, juga harus diakui bahwa pada kenyataannya tidaklah semua polisi yang ada tersebut buruk. Banyak juga polisi yang baik-baik. Yang ditunjukkan selama belangsunya demo-demo yang ada di seluruh wilayah Amerika. Dimana sebagian polisi, mulai dari yang berada di New York, Michigan, Los Angeles, dan kota-kota lainnya menunjukkan solidaritas dan berbaur dengan para demonstran.
Polisi tersebut ikut merunduk. Mereka meletakkan satu dengkulnya untuk menunjukkan duka dan solidaritas terhadap apa yang menimpa seorang George Floyd. Perdebatan terjadi, apakah persoalan kekerasan polisi yang ada terkait sistim kepolisian? Yang kemudian akan perlu direformasi, atau diakibatkan hanya oleh the bad apples.
Dari yang terjadi di Amerika sekarang ini, tentunya banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Jika kita juga mau melihat beberapa kasus kekerasan polisi terhadap masyarakat. Kejadian yang mungkin masih segar dalam ingatan kita adalah apa yang dilakukan oknum aparat kepolisian pada tanggal 21-23 Mei 2019, menyusul demo di depan Bawaslu. Ketika itu pihak kepolisian dianggap telah melakukan excessive force.
Amnesti Internasional Indonesia pada waktu itu membuat pernyataan bahwa Korps Brigade Mobil (Brigade Mobil) Polri telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius terhadap warga yang tidak berdaya. Terutamaketika saat melakukan penyisiran di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta tanggal 22 Mei 2019. Sejauh ini kita tidak pernah mendengar para oknum polisi yang melakukan excessive force tersebut telah diadili dan diberikan hukuman yang setimpal.
Kalau di Amerika, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dalam kasus-kasus demo seperti yang ada sekarang ini, paling tidak kita melihat bahwa jika ada persoalan yang menjadi viral dan diketahui secara luas, maka otoritas yang ada segera mengambil tindakan optimal. Mulai dari penonaktifan, pemecatan, bahkan melakukan proses hukum.
Belajar dari apa yang terjadi di AS, kita perlu mengambil pelajaran terkait kebutuhan untuk menciptakan mekanisme akuntabilitas untuk segenap aparat kepolisian. Jika negara seperti Amerika dengan sistim hukum dan peradilan yang dianggap jauh lebih baik dari kita dalam perspektif internasional, masih terus dikritisi. Mereka juga selalu melakukan instropeksi dan evaluasi untuk terus memperbaiki sistim yang ada. Tentunya ini adalah sebuah panggilan untuk kita semua di Indonesia.
Jangan segan-segan untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistim kepolisian. Terutaman yang terkait dengan isu-isu politik dan penanganan demo-demo damai. Jangan sampai hanya sekelompok oknum kepolisian yang melakukan excessive force dengan seenaknya kepada segenap anggota masyarakat. Namun tanpa ada konsekuensi dan hukuman setimpal. Harus ada sanksi hukum setimpal yang diberikan kepada para polisi pelanggar hukum.
Kita Indonesia hendaknya tidak harus menunggu demo besar-besaran terjadi, barulah memperbaiki kondisi yang ada. Khususnya yang terkait dengan sistim penegakan hukum dan keadilan kepada segenap pihak yang bertugas sebagai penegak hokum. Seperti yang dinyatakan oleh Gubernur New York –Andrew Cuomo bahwa “polisi harus menegakkan, bukan menyalahgunakan hukum” (Police officers must enforce –not abuse- the law).
Sebagai sebuah negara mayoritas muslim, banyak contoh-contoh imparsialitas hukum dan teladan penegakan keadilan yang luar biasa. Yang ditunjukkan dalam sejarah Islam sebagai sumber inspirasi bagi kita semua. Mulai dari pernyataan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “jika Fatimah anakku mencuri, maka beliau sendirilah yang akan memotong tangannya”.
Ini menunjukkan bahwa penegakan keadilan tidak akan melihat siapa yang melakukan pelanggaran keadilan tersebut. Juga contoh bagaimana seorang Khalifah Ali Bin Abu Thalib bisa dikalahkan dalam persidangan oleh seorang rakyat Yahudi biasa. Ada lagi kasus pada masa Khalifah Umar Bin Khatab. Dimana beliau mengecam keras sikap Gubernur Mesir Amr Bin Al-Ash yang ingin menggusur rumah seorang wanita tua Yahudi karena tidak mau tanahnya dibebaskan untuk pembangunan Masjid
Hukuman akan diberikan oleh Khalifah Umar Bin Khatab kepada Gubernur Mesir Amr Bin Al-Ash, karena sang Gubernur tersebut telah bersikap sewenang-wenang dengan jabatannya. Gubernur Mesir juga telah bersikap zolim kepada seorang anak Kristen Koptik yang mengalahkannya dalam pacuan kuda. Sikap yang sangat ditolak oleh Khalifah Umar Bin Khatab.
Akhirnya, kebesaran suatu bangsa akan ditentukan oleh sejauh mana keadilan dapat tegak di negara tersebut. Dan ini adalah sebuah proses yang harus terus berlangsung (keep improving) seperti yang kita lihat sekarang ini di Amerika sekarang. Menarik untuk menyimak kata-kata seorang Nelson Mandela yang menyatakan bahwa a nation should not be judged by how it treats its highest citizens, but its lowest ones.
Penulis adalah Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) & Praktisi Bisnis Property Management di Los Angeles, Amerika Serikat.