OPINI
RUU Omnibus, Kepentingan Korporasi Culas dan Licik
by Dr. Margarito Kamis SH. M.hum. Jakarta FNN – Rabu (24/06). DPR dan Presiden telah sukses besar menjadikan UU Minerba. Sukses berikutnya juga sedang menanti. Sukses berikut itu adalah menggolkan RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka), yang sekarang berubah menjadi RUU Omnibus Cipta Kerja menjadi undang-undang. Sekalipun berbeda dalam cakupan isu, konstelasi politik kedua RUU itu menarik. Politik kedua isu itu tidak bisa, dengan alasan apapun, dilepaskan dari mimpi akselerasi ekonomi nasional. Ini mimpi paling indah untuk korporasi, baik korporasi global maupun dalam negeri. Konteks politik itu menarik perhatian Bank Dunia terhadap RUU konyol ini. Paradoksnya kedua UU terlihat tidak cukup mengasyikan bagi kalangan di dalam negeri. Itu jelas hambatan. Tentu harus diminimalkan. Caranya, maksimalkan kampanye dan propaganda bahwa RUU akan membuat UMKM berjaya. Manis Kulitnya Logiskah penilaian Bank Dunia itu? Bank dunia memang bukan World Trade Organization (WTO), yang berada diposisi terdepan memprakarsai UU yang bersifat Omnibus. Tetapi perbedaan itu hanya penting dalam nama, tidak dalam fungsi materilnya. Pada aspek materil, keduanya sama-sama bekerja meliberalisasi tatanan ekonomi dunia. Liberalisasi bukan imprialisasi. Liberalisasi dikonsolidasi secara konseptual sebagai gagasan penyebaran keadilan dan kesejahteraan. Liberalisasi, dalam konteks itu memang bukan dominasi, apalagi imprialisasi. Teorinya begitu. Konsep yang dirancang oleh korporasi, yang dalam perkembangannya direalisasikan oleh pemerintah. Begitulah yang terjadi, terutama Amerika, yang secara empiris justru menyajikan kenyataan berbeda. Kenyataan empiris memperlihatkan korporasi-korporasi di Amerika dan Inggris, yang muncul sebagai konseptornya, begitu cerdas. Dimana letak cerdasnya? Negara-negara yang kalah di perang dunia pertama dan kedua, yang semuanya memble itu, tidak bisa menawarkan apapun, untuk bersaing selain sumberdaya alamnya. Negara-negara miskin, akhirnya menemukan kenyataan. Meraka harus bekerja dalam skema korporasi. Merumitkan perizinan, sama dengan melarat. Investasi tidak masuk. Mau tidak mau negara-negara miskin harus memanjakan, dalam makna bekerja sesuai skema yang yang diinginkan korporasi itu. Memudahkan perizinan untuk usaha. Apapun juga, hanya itulah yang menjadi jalan terdekat yang tersedia. Liberalisasi jadinya menempatkan negara-negara itu ke dalam cengkeraman korporasi besar. Begitulah adanya. Ini hampir tak bisa disangkal. Kenyataan itu, dikenali baik oleh China. Daripada menantang liberalisasi gila-gilaan itu, yang hasilnya bisa nekat, lebih baik liberalisasi juga ekonomi dalam negerinya. China komunis itu pun, akhirnya berada di jalur itu. Mereka, dalam rangka memenangkan pertempuran perebutan investor, bergerak maju sesuai kaidah kapitalisme. Hukumnya harus andal. Sistem peradilan pun harus andal. Ini diketahui betul sebagai dua hal yang sama pentingnya dengan kemudahan memperoleh izin. Vietnam juga mengambil rute ini. Rute ini harus diambil setelah dipaksa dengan cara manis oleh WTO. Ikut aturan main global atau tersingkir dari pertarungan global. Begitu gula-gula dari WTO. Vietnam memilih yan terakhir. Mereka akhirnya menyerahkan politik hukum ekonominya pada garis politik WTO. Apakah Indonesia juga berada dalam spektrum itu? Itu soalnya. Tidak ada data terferifikasi yang bisa diandalkan untuk sampai pada pernyataan kongklusif itu. Tetapi apapun itu, pemudahan perizinan untuk mengakselerasi investasi, harus diambil. Inovasi dalam konteks ini harus terus bekerja. Dan ini bukan perkara baru untuk Indonesia. Masalahnya mengapa pemerintah terlihat terus meyakinkan khalayak bahwa UMKM akan berjaya dengan RUU ini? Apakah level kerumitan UMKM sama dengan korporasi besar? Apa rumitnya usaha, yang maaf jualan warteg, nasi goreng di lorong-lorong, dengan gerobak dorong? Sejarah kemuncullan rezim perizinan modern, jelas bukan sejarah UMKM. Sejarah rezim peruizinan adalah sejarah korporasi. Inggris mengawalinya pada awal ke-17. East India Company, Royal African Campany dan Virginia Company. Semuanya dapat beroperasi setelah diizinkan oleh Raja. Apakah masalah permodalan UMKM disebabkan sepenuhnya oleh UU? Itukah masalah terbesar dan terberat mereka? Kalau masalahnya ada pada UU, lalu untuk apa UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang UMKM? Sungguh tidak masuk akal menandai hukum sebagai masalah terbesar dan terberat UMKM. Masalah UMKM terletak pada orientasi politik ekonomi nasional yang tidak akrab pada mereka. Perizinan, cukup logis dikemukakan. Karena tidak ada dalam daftar hambatan usaha para pelaku usaha mikro dan kecil. Perizinan justru berada urutan pertama. Setidaknya pada urutan signifikan korporasi besar. Masalah usaha mikro dan kecil adalah keberpihakan lebih pada mereka. Bukan perizinan. Kekeliruan Konsep Senjata liberalisai tidak pernah lain selain investasi, kerjasama, bantuan dalam berbagai macam bentuk, serta utang. Senjata konvensional diletakan di ujung negosiasi. Digunakan setelah negosiasi dan intrumen lunak lainnya tak membuahkan hasil. Cara inilah yang menandai dunia usaha hingga sekarang. World Bank dan WTO cukup sering bersuara khas Amerika, terus berada di depan dalam usaha ini. Hebatnya, gema propaganda liberalisasi itu telah mengakibatkan setiap tindakan proteksi negara-negara itu, tak terlihat persis sebagai proteksi. Pola ini dipegang secara konsisten oleh Amerika. Kongres mereka terus menerus mencermati setiap perkembangan lingkungan ini. Hambatan tarif, tenaga ketrja, perizinan, dan lainnya yang diidetifikasi ada pada satu negara dan merugikan Amerika, segera direspon Kongres dengan membuat UU. Isinya, inilah yang menarik. Presiden, diberi otorisasi untuk mengurus semua urusan itu. Begitulah ciri, misalnya Omnibus Trade and Competitivenes Act 1988. Omnibus ini meliputi, cara menyelesaikan masalah dalam perdagangan antara Amerika dengan negara lain. Kordinasi perdagangan, perdagangan yang tidak fair, hak pekerja, hambatan investasi, termasuk perizinan dan mereduksi tariff. Semuanya menjadi materi juatan Omnibus Trade dan Competitivenes Act mereka. Dunia dagang ternyata berubah cepat. Ominibus Trade and Competitivenes segera kehilangan daya tariknya. Akhirnya, Amerika mengubah secara parsial Omnibus Trade and Competitivenes Act 1988 itu. Ini terjadi tahun 2002, dengan lahir Trade Act 2002. Omnibus diubah hanya dengan Act, yang tidak omnibus. Apakah Omnibus yang sedang dirancang memiliki tipikal Omnibus Trade and Competitivenes Act 1988 itu? Disitu soalnya. Kalau tidak menyodorkan inovasi sebagai argument, harus dikatakan telah terjadi salah tiru. Dimana letak salah tirunya? Ragam isu yang diatur di dalamnya, didedikasikan untuk melayani investor, tentu termasuk asing. Sementara Omnibus Amerika justru memproteksi industri dalam negeri mereka. Yang dituju dari Omnibus mereka adalah liberalisasi dunia usaha di luar Amerika. Konsekuensinya menampilkan isu UMKM, sebagai kehebatan lain RUU Omnibus ini, terasa lucu selucu-lucunya. Malah terasa sebagai propaganda asal-asalan dan murahan. Tetapi seasal apapun, harus diakui konstelasi politik memaksa UMKM disajikan sebagai gula gula demi menggolkan RUU ini. Beralasankah semua soal yang disajikan di atas sebagai parameter keberpihakan RUU ini terhadap korporasi besar? UU Minerba terbaru, beralasan disajikan wujud keberpihakan RUU ini pada Korporasi. Semasa pembahasan UU itu, tak terdengar suara kritis korporasi. Sejarah politik pembentukan UU bidang ekonomi memperlihatkan adanya koneksi timbal balik korpoprasi dengan kemunculan RUU itu. Koneksi ini tak tersangkal. Bahkan ini telah menjadi tabiat dasar ekonomi merkantilis yang terbungkus kapitalisme. Merkantilisme tampil dalam banyak wajah. Ragamnya meliputi kebijakan praktis. Juga melalui UU. Menempatkan orang-orang mereka pada posisi kunci pemerintah, bahkan menjadikan orang mereka presiden, juga tipikal korporasi licik dan culas. Korporasi Yang Berjaya Mereka, sembari bersandar pada perspektif Walter Lippman, memenuhi ruang debat masyarakat dengan beragam isu. Untuk meyakinkan masyarakat? Tidak juga. Sama sekali tidak. Khalayak menurut identifikasi Walter Lippman, jurnalis paling top, juga penasihat Presiden Woodrow Wilson, dan salah satu arsitek butir-butir perjanjian Fersailes, tidak bisa fokus. Tidak fokus, sama sekali tidak berarti khayalak tidak tahu ada masalah. Justru tahu sedikit-sedikit itulah, maka propagandis harus memborbadir, memperkaya mereka dengan infomasi, apapun itu. Semangat penyampaian informasi, bukan meyakinkan, tetapi untuk mengelabui, deception. Oposan dibiarkan bicara sebisa mereka. Seburuk apapun pernyatan oposan, biarkan saja. Yang penting mereka telah bicara. Kehehadiran oposan di ruang public, dengan sendirinya menghasilkan legitimasi terhadap RUU itu. Mungkin tak terbangun utuh, tetapi tetap saja legitimasi telah muncul. Cara ini digunakan, sekadar sebagai ilustrasi, kelompok Wall Street menggolkan The Federal Reserrve Act. Sejarah usaha menggolkan UU ini sangat menarik dilihat dari sudut politik pembentukan UU. Walter Bagehot, ekonom yang faham betul dengan karakter Bank Of England, yang mau dijadikan rujukan pembentukan The Fed’s Amerika, mengambil sudut berseberangan dengan inisiator The Federal Reserve. Apa yang terjadi? Bagehot yang beroposisi itu, tetap dihadirkan dalam pembahasan gagasan The federal Reserve. Cerdas, pada saat yang sama inisiator juga menghadirkan lawan tandingnya. Paul Warburg yang telah bulat inigin membentuk Bank Sentral, bersama dengan Spragus yang sama ekspektasinya, dihadirkan. Keduanya menyanggah habis level rasionalitas gagasan Bagehot. Gagasan Bagehot akhirnya terdelegitimasi dengan sendirinya. Licin sekali cara kelompok kecil bankers wall street ini. Hendak mengendalikan negara untuk kepentingan mereka. Tetapi usaha mereka dibiayai oleh negara yang hendak dikendalikan itu. Caranya? Merangkak. Pertama ciptakan krisis. Itulah krisis tahun ekonomi tahun 1907. Hebat mereka. Sangat detail perencanaannya. Begitu krisis terjadi, mereka segera melompak ke cara kedua. Cara kedua ini dibantuk ilmuan. Woodrow Wilson, gubernur New Jersey, dan mantan presiden Princeton University, yang telah terjalin erat dengan mereka, segera angkat bicara. Menurutnya untuk menghentikan, setidaknya mencegah resesi sejenis dikemudian hari, diperlukan satu Komisi. Komisi ini bertugas khusus mengindentifikasi penyebab dan jalan keluarnya. Gagasan Wilson direspon oleh Presiden Theodore Rosevelt. Tahun 1908 mulai lah cara kedua bekerja. Rosevelt membentuk Komisi dimaksud. Komisi bentukannya diketuai Nelson Aldrice, senator Republik, dan dibantu oleh sejumlah orang. Mereka adalah Shelton, asistennya Nelason, A. Piatt Andrew, asisten Menteri Keuangan, Frank Fenderlipp, Presiden National City Bank, Hendry P. Davison, senior partner JP Morgan Company, Charles D. Norton, presiden first National Bank Of New York, Benjamin Strong, dan Paul Warburg. Mereka yang merencanakan adanya Ban Sentral. Komisi segera bekerja. Mereka ke Eropa mempelajari sistem perbankan Eropa. Pekerjaan ini dibiayai, tidak dengan uang mereka, tetapi negara. Total biaya yang digunakan kelompok ini sebesar U$ 300.000 dollar. Kembali dari Eropa. Kelompok ini berkumpul di Jackyl Island, sebuah klub beberapa bankers. Tidak hanya jauh jaraknya, tetapi tempat ini memiliki tingkat privasi tinggi. Di Jackyl Island inilah The Federal Reserve Act disiapkan rancangannya. Dalam Secret of The Federal Reserve, Eustace Mullin, menulis segera setelah selesai draft The Federal Reserve dirancang, mereka kembali ke New York. Lalu segera muncul ke tengah masyarakat untuk menyampaikan apa yang dikenal dengan “Aldrich Plan”. Hebat, Princeton University, Harvard University, dan University of Chicago semuanya berada dalam genggaman mereka. Tiga Universitas top ini digunakan mempropagandakan point-poin penting draft ini. Point propagandanya, Amerika membutuhkan satu Bank Sentral. Untuk merealisasikannya, Paul Warburg, kelak menjadi Gubenur pertama The Fed’s, mengusulkan pembentukan apa yang dikenal dengan Citizen League, yang belakangan nama ini berubah menjadi National Citizen League. Dua profesor top menangani pekerjaan ini. Keduanya adalah Sprague dari Harvard, dan J. Laurence Laughlin dari University of Chigaco. Propaganda pun berjalan dalam banyak bentuk. Seminar adalah salah satunya. Canggih cara mengelabuinya. Tahu ada ketakutan Bank Sentral, mereka menggunakan The Federal Reserve. Tentu sekadar mengelabui masyarakat. Propaganda ini menghabiskan dana sebesar U$ 5 miliar dolar. Hebat, walau draftnya berasal Jackyl Island di bawah komando Nelson Alrdirce, senator republik, tetapi tanggal 15 Desember 1911, Amerika segera tahu bahwa Carter Glass, Senator Demokrat, mengajukan Bill itu ke Senat untuk dibahas. Dialah pemrakarsanya. Menariknya pilpes 1912 mengeluarkan angka Woodrow Wilson memperoleh 409 suara, dan Rosevelt 169 suara. Sedangkan William Howard Taft, presiden incumben, yang anti Bak Sentral, berada di juru kunci dengan 15 suara. Tesis Paul Warburg “money is commodity dan central bank was a favorite play the money creators” begitu yang dicatat Mullins, tercapai dengan sudah. Tetapi masyarakat, begitu Mullins mengitup pandangan Warburg, tidak akan tahu bahwa sistem itu penciptaan uang. Masyakat malah melihat dan percaya penciptaan itu terjadi secara natural. Rakyat Amerika akhirnya terperangkap di dalamnya. Begitulah korporasi culas dan licik bekerja. Korporasi pula yang berkibar segera setelah RUU Omnibus Cipta Kerja menjadi UU? Menyepelekannya, boleh saja. Tetapi mempertimbangkannya lebih masuk akal. Dalam konteks itu, UMKM cukup layak dipertimbangkan tidak lebih dari sekadar gula-gula politik RUU ini. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Komsumsi Dexamethasone atau Chloroquine, Pasien Covid-19 di Ambang Bahaya!
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Entah apa yang ada di benak pikiran para pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hari-hari ini. Penggunaan obat hydroxychloroquine atau chloroquine yang sebelumnya dilarang dihentikan, karena alasan keamanan pada pasien Corona atau Covid-19, kini dicabut. Hidroksiklorokuin adalah obat quinoline yang digunakan untuk mengobati atau mencegah penyakit malaria, yaitu penyakit yang disebabkan parasit yang masuk ke tubuh melalui gigitan nyamuk. Mengutip Medlineplus, obat ini juga ditujukan untuk anti-rematik. Bisa digunakan untuk mengobati gejala rheumatoid arthritis, untuk mengurangi rasa sakit dan pembengkakan pada radang sendi. Selain itu, obat ini juga bisa mencegah dan mengobati discoid lupus erythematosus (DLE) yaitu suatu kondisi peradangan kronis pada kulit. Dan, systemic lupus erythematosus (SLE) kondisi peradangan kronis pada tubuh. Sebelumnya pemakaian dan uji coba hidroksiklorokuin dan klorokuin itu sempat dihentikan WHO karena alasan keamanan pada pasien Corona. Sebuah studi di The Lancet menunjukkan pasien Corona yang diberi obat malaria hidroksiklorokuin dan klorokuin alami gangguan jantung hingga tingkatkan risiko kematian. Namun, kini studi berjudul “Hydroxychloroquine or chloroquine with or without a macrolide for treatment of Covid-19: a multinational registry analysis” itu akhirnya ditarik. Alasannya karena peninjau independen tersebut tak bisa mengakses data yang digunakan untuk analisis sehingga validitasnya diragukan. Indonesia sendiri hingga saat ini masih menggunakan klorokuin untuk pasien Corona seperti di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet. Hingga Jumat (5/6/2020), setidaknya sudah lebih dari 3 ribu pasien yang dilaporkan sembuh dan sudah dipulangkan. “Total kami rawat 4.470 pasien (virus Corona Covid-19). Hingga saat ini yang sudah sembuh totalnya 3.325 pasien,” jelas Arief Riadi, Ketua Tim Medis Covid-19 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) melalui pesan singkat kepada Detikcom dan ditulis Sabtu (6/6/2020). Arief menjelaskan, seluruh pasien Corona di RS Wisma Atlet diberikan klorokuin. Pemberian klorokuin kepada seluruh pasien Corona di Wisma Atlet tidak memiliki efek samping serius atau berbahaya. “Semua pasien di RS Wisma Atlet pakai klorokuin. Alhamdulillah tidak ada (efek serius dari penggunaan klorokuin),” lanjutnya. Menurut Arief Riadi, persentase kesembuhan dari penggunaan klorokuin masih dalam tahap penelitian. Namun, untuk saat ini dapat dilihat dari banyaknya pasien sembuh Corona yang sudah dipulangkan. “Masih dalam penelitian untuk tingkat kesembuhannya. Tetapi dari data di atas jumlah yang pulang (pasien sembuh menjalani perawatan termasuk diberi klorokuin),” ungkapnya. Ternyata, satu dari lima kombinasi obat yang efektif melawan virus Corona atau Covid-19 yang diumumkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Jum’at (12/6/2020), efeknya bisa merusak mukosa lambung, yang diikuti iritasi lambung. Bukti nyata, adanya kerusakan mikrobioma lambung. Klorokuin itu obat malaria – parasit – bukan obat virus. Jadi, pemakaian antivirus, jelas merusak keseimbangan mikroorganisme. Pemakaian klorokuin pada lambung lebih dahsyat lagi efek sampingnya. Klorokuin ini akan menekan keberadaan dan membunuh virus-virus target. Sehingga, efeknya akan terjadi ketidak seimbangan ekosistem mikro dan akan berdampak pada ekosistem makro tentunya. Saat keseimbangan tersebut tidak terjadi, maka nantinya akan ada mikroorganisme lain yang akan “datang” untuk menyeimbangkan ekosistem. Secara konvensional akan disebut “wabah baru”. Melansir dari Farmasetika.com, WHO (World Health Organization) menyambut hasil awal tentang penggunaan Dexamethasone (deksametason) dalam mengobati pasien Corona atau Covid-19 yang sakit kritis dalam rilis resminya, Selasa (16/6/2020). Hasil uji klinis awal dari Inggris menunjukkan, obat golongan kortikosteroid deksametason dapat menyelamatkan nyawa bagi pasien yang sakit kritis dengan Covid-19. Untuk pasien yang menggunakan ventilator, pengobatan ini terbukti mengurangi kematian sekitar sepertiga, dan untuk pasien yang hanya membutuhkan oksigen, mortalitas dipotong sekitar seperlima, menurut temuan awal yang dibagikan kepada WHO. Manfaat hanya terlihat pada pasien sakit parah dengan Covid-19, dan tidak diamati pada pasien dengan penyakit ringan. “Ini adalah pengobatan pertama yang ditunjukkan untuk mengurangi angka kematian pada pasien dengan COVID-19 yang membutuhkan dukungan oksigen atau ventilator,” kata Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO di website resminya (16/6/2020). “Ini berita bagus dan saya mengucapkan selamat kepada Pemerintah Inggris, Universitas Oxford, banyak rumah sakit dan pasien di Inggris yang telah berkontribusi pada terobosan ilmiah yang menyelamatkan jiwa ini,” lanjutnya. Dexamethasone adalah steroid yang telah digunakan sejak 1960-an untuk mengurangi peradangan dalam berbagai kondisi, termasuk gangguan peradangan dan kanker tertentu. Telah terdaftar dalam Daftar Model Obat Esensial WHO sejak 1977 dalam berbagai formulasi, dan saat ini tidak memiliki paten dan tersedia dengan harga terjangkau di sebagian besar negara. Para peneliti dan WHO berbagi wawasan awal tentang hasil uji coba. Dan WHO menantikan analisis data lengkap dalam beberapa hari mendatang. WHO akan mengoordinasikan meta-analisis untuk meningkatkan pemahaman kita secara keseluruhan tentang intervensi ini. “Panduan klinis WHO akan diperbarui untuk mencerminkan bagaimana dan kapan obat harus digunakan dalam Covid-19,” ungkapnya. Beerita ini berkembang dari pertemuan Cetak Biru Penelitian dan Pengembangan WHO, di Jenewa pada pertengahan Februari guna mempercepat teknologi kesehatan untuk Covid-19, di mana penelitian lebih lanjut tentang penggunaan steroid disorot sebagai prioritas. Ini memperkuat pentingnya uji coba kontrol acak besar yang menghasilkan bukti yang bisa ditindaklanjuti. WHO akan terus bekerja sama dengan semua mitra untuk mengembangkan lebih lanjut terapi penyelamat dan vaksin untuk mengatasi Covid-19 termasuk di bawah payung Access to Covid-19 Tools Accelerator. Meski demikian, beberapa ahli farmakologi menyebut obat yang belakangan dijuluki “obat dewa” ini memiliki banyak efek samping sehingga tidak bisa digunakan sembarangan. Seperti dilansir SuaraJogja.id, Jum'at (19 Juni 2020 | 12:00 WIB), menurut Ketua Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UGM Jogjakarta, Ika Puspita Sari, obat jenis steroid ini biasa diberikan untuk pasien inflamasi berat dan auto imun semisal lupus. “Selama ini untuk asma dan gatal-gatal juga, tapi semakin dibatasi penggunaannya karena ada yang lebih ringan efek sampingnya,” jelasnya seperti dilansir Harianjogja.com, Jumat (19/6/2020). Ika menyebut sejumlah efek samping yang dihasilkan obat ini di antaranya osteoporosis, peningkatan kadar gula, glukoma, pendarahan lambung, insomnia dan lainnya. Sebab itu penggunaan obat ini semestinya diawasi dokter. “Tapi yang terjadi di warung-warung sering bisa dijual bebas karena masyarakat sakit gigi, punggung pegal, kecetit dan sebagainya bisa dengan deksametason ini, tanpa menyadari efek sampingnya,” ungkap Ika. Karena bisa dipakai untuk segala inflamasi atau radang, deksametason pun mendapat julukan “obat dewa”. Di Jojga, penyembuhan Covid-19 belum memakai Dexamethasone, melainkan metil prednisolone, masih sejenis steroid namun memiliki efek samping lebih ringan. Guru Besar Farmakologi UGM, Zullies Ikawati, mengatakan Dexamethasone memang bisa digunakan pada pasien Covid-19 parah. Pada pasien dengan kriteria ini, umumnya telah terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan peradangan berat dengan terjadinya badai sitokin yang meningkatkan risiko kematian. Dexamethasone berfungsi menekan badai sitokin sehingga bisa menurunkan risiko kematian. Penggunaan jangka pendek seperti pada Covid-19 tersebut umumnya tak menyebabkan efek samping yang berarti, di mana manfaatnya lebih besar ketimbang risikonya. Tapi, dengan penggunaan jangka panjang obat ini bisa menimbulkan berbagai efek samping termasuk penurunan imun tubuh. Makanya, obat ini tidak digunakan untuk pasien Covid-19 ringan apalagi untuk pencegahan Covid-19. “Bukan untuk pencegahan karena justru menurunkan sistem imun dan menjadi lebih rentan pada penularan Covid-19,” ungkapnya. Penulis Wartawan Senior.
Piagam Jakarta dan Pancasila Itu 22 Juni (Bag. Pertama )
by Furqan Jurdi Jakarta FNN – Senin (22/06). Tanda-tanda kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik mulai muncul dan kelihatan. Kenyataan ini akhirnya memaksa perdana Menteri Jepang Jenderal Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Indonesia akan dimerdekakan. Namun kemerdekaan itu sesudah tercapai kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya. Harapannya, dengan cara itu, Jepang berharap tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat Indonesia untuk memperkuat kekuasaan Jepang di Asia. Untuk itu Jepang segera dibentuk badan yang bertugas menyiapkan segala hal-ihwal yang berkaitan dengan kemerdekaan Indonesia. Maka pada tanggal 1 Maret 1945 pimpinan pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada, mengumumkan dibentuknya badan khusus yang menyelididki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia. Badan itu dinamakan “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan” (BPUPK). Dalam dalam bahasa Jepang namanya “Dokuritsu Junbi Chosakai”. Tanggal 1 Maret 1945, bertepatan dengan ulang tahun Kaisar Jepang, Kaisar Hirohit dibentuklah BPUPK. Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua, ditunjuk menjadi ketua BPUPK dengan didampingi oleh dua orang ketua muda (wakil ketua), yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yosio (Jepang). BPUPK beranggotakan 69 orang. Terdiri dari 62 orang anggota aktif adalah tokoh utama pergerakan nasional Indonesia dari semua daerah dan aliran. Selain itu, 7 orang anggota istimewa adalah perwakilan pemerintah pendudukan militer Jepang. Tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak mempunyai hak suara. Keanggotaan Jepang di BPUPKI hanya pasif. Mereka hanya hadir dalam sidang BPUPK sebagai pengamat. Perdebatan Filosofiche Groundslaag Pada tanggal 28 Mei 1945 BPUPK memulai sidangnya yang pertama. Ketika sidang dimulai, dr. Radjiman bertanya kepada anggota BPUPK, “apakah yang akan kita jadikan sebagai Filosofiche Groundslaag Indonesia Merdeka”. Maka muncullah yang memberikan tanggapan M. Yamin tanggal 29 Mei. Keesokan harinya Supomo mengusulkan dasar negara. Pidato Tanggal 1 Juni yang disampaikan oleh Soekarno (Bung Karno) begitu sangat dahsyat. Bung Karno mengusulkan falsafah dasar itu yang mula-mula Pancasila atas saran seorang teman ahli bahasa. Lima sila diperas lagi menjadi Tri Sila dan diperas lagi menjadi Eka Sila atau Gotong Royong. Soekarno berupaya mengkonsepkan pikirannya tentang Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme sebagai sebuah dasar negara Indonesia Merdeka. Tulisan Soekarno Tahun 1924 mengilhami gagasan Soekarno tentang Dasar negara itu. Gagasan Soekarno lebih dekat pada sekularisme. Begitu juga dengan tokoh-tokoh yang berpidato sebelumnya. Masing-masing golongan mengajukan dasar negara menurut pemahaman dan pikirannya masing-masing. Ada yang berdasarkan pada kultur dan kemajemukan bangsa Indonesia. Maka lahirlah dua golongan besar, yaitu “Golongan Nasionalisme Sekuler” dan “Golongan Nasionalisme Islam”. Dari pidato ke pidato, dari gagasan serta usulan yang dikemukakan di dalam sidang resmi BPUPK yang dapat kita baca, ada yang menginginkan negara Republik yang bersifat sekuler. Memisahkan agama dan negara. Ada pula yang ingin mendirikan negara berdasarkan agama. Ki Bagus Hadikusumo menginginkan negara Republik yang akan merdeka dengan dasar Islam atau negara Islam. Sementara Sukiman Wirdjosanjojo menginginkan negara Khilafah. Tidak hanya beberapa orang itu. Banyak pidato-pidato waktu itu yang disampaikan oleh semua anggota BPUPK, baik dari golongan “Nasionalisme Islam” maupun “Nasionalisme Sekuler”. Dalam pandangan ideologi yang berbeda itu, terakumulasi semua pikiran para tokoh-tokoh untuk dijadikan rujukan bagi dasar Indonesia merdeka. Sidang demi sidang di lewati. Perdebatan mengenai dasar negara terus menjadi bahan perdebatan yang hangat. Para ideologi tampil dengan sangat memukau. Mereka membicarakan seperti apa Filosofiche Groundslaag Indonesia merdeka. Dalam polemik ideologi itu, pertentangan pikiran yang tajam, maka jalan tengah di ambil. Caranya membentuk “Panitia Sembilan” yang didalamnya terdapat 4 orang golongan “Nasionalis Kebangsaan dan nasionalis Islam serta satu orang perwakilan Kristen. Berangkat dari berbagai polemik dan pertentangan pemikiran yang panjang tersebut, ditemukanlah rumusan. Rumusan itu diberi nama “Piagam Jakarta”. Yang dalam bahasa inggris disebut sebagai “Jakarta Charter”. Penemuan kesepakatan itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1945. Soekarno dalam sidang untuk melaporkan kerja panitia sembilan itu meyakinkan semua pihak bahwa Piagam Jakarta itu adalah Gentlemen Agreement. Kata Soekarno selanjutnya, “ini adalah hasil kesepakatan “konsensus” yang dicapai dengan susah payah. Oleh sebab itu, “saya meminta anggota dapat menerima keputusan ini”. Semua anggota BPUPK pun bersepakat. Menerima dengan suara bulat keputusan panitia sembilan itu, yang diberi nama “Piagam Jakarta”. Rumusan adalah Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Sayariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya dengan Dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Setelah “Piagam Jakarta” disepakati, muncul keberatan dari kalangan Kristen. Dr. Latuharhari sebagai perwakilan ummat kristen menyampaikan keberatan. Meskipun tidak masuk dalam panitia sembilan. Latuharhari bertanya, kalaulah syariat Islam dijalankan, apakah tidak akan terjadi hukuman yg berat seperti potong tangan, razam bagi pejina dan berbagai macam hukuman yang keras? Kekhawatiran Dr. Latuharhari itu dijawab oleh Haji Agus Salim, “tidak tuan Latuharhari. Alasannya, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dengan dasar kemanusiaan yang beradab”. Dan kesalahpahaman itu dapat diluruskan. Semua pihak bersepakat bahwa syariat Islam dan pelaksanaannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak boleh keluar dari “Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab”. Artinya apa? Bahwa hukuman yang dipahami oleh Dr. Latuharhari adalah punicment dalam Islam. Itu hukuman maksimal. Dalam praktiknya sangat jarang dilakukan. Banyak contoh zaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidak mempraktikkan hukuman yang demikian beratnya. Setelah falsafah sudah diterima dan final, akhirnya Haji Agus Salim menyusun Naskah Proklamasi (yang tidak jadi dibacakan). Kemudian dapat kita baca dalam Mukaddimah (pembukaan) UUD 1945. Konon itu adalah buah tangan Haji Agus Salim. Pada Alinea keempat Mukaddimah, Haji Agus Salim mencantumkan secara tersirat dua ayat dalam AL-Quran. Demikianlah Nilai Islam mengisi kemerdekaan Indonesia. Setelah “Piagam Jakarta” menjadi resmi Falsafah Dasar Indonesia Merdeka, maka BPUPKI dibubarkan. Selanjutnya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan KetuaPPKI adalah Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Wakil Ketua. (bersmambung). Penulis adalah Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM
Umat Islam Tolak Pancasila Rumusan 1 Juni 1945
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (22/06). Bermain-main di perdebatan ideologi akan mengentalkan semangat perjuangan umat Islam untuk kembali pada dimensi ruang dan waktu dalam perjalanan kesejarahannya. Mengagung-agungkan Pancasila rumusan 1 Juni 1945 yang menjadi bagian dari eforia kemenangan Pemilu 2019 lalu merupakan sikap politik bodoh dan tidak bijaksana. Umat Islam dipastikan dengan gigih menolak rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Umat Islam tidak akan pernah mengakui hari lahir Pancasila adalah 1 Juni 1945. Bagi umat Islam, hari kelahiran Pancasila adalah 22 Juni 1945 yakni Piagam Jakarta yang ditandatangani Panitia Sembilan termasuk di dalamnya Ir. Soekarno tepat 75 tahun yang lalu. Begitu pula dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menyebut bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945. Bung Karno sendiri yang menyatakan bahwa kembali lagi kepada UUD 1945 pada 5 Juli 1959 dengan “Piagam Jakarta” sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jadi, jangan paranoid melihat “Piagam Jakarta” sebagai barang haram. Toh, umat Islam sampai sekarang biasa-biasa saja. Tetap setia untuk mengawal dan mengamankan Pancasila 18 Agustus 1945. Umat Islam juga tidak menuntut dan mendesak agar syariat Islam diberlakukan bagi pemeluknya. Sebaliknya, pemerintah yang berambisi untuk menjual dan memakai nama-nama syariah dalam berbagai produk hokum di bidang ekonomi. Ada perbakan syariah, asuransi syariah, darareksa syariah dan obligasi syariah. RUU HIP yang pengusul awal adalah kader-kader PDIP, ternyata bernuansa dan berbasis pada Pancasila 1 Juni 1945. Karenanya umat Islam dengan keras dan tegas menolak. Tidak ada kompromi di ranah itu. Apalagi hendak mengkerdilkan posisi Agama dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pemerintah menyatakan menunda pembahasan RUU HIP. Sayangnya, sikap pemerintah ini tidak mendapat sambutan dari umat Islam. Tuntutan umat Islam tetap, yaitu pencabutan, penghentian, dan pembatalan RUU HIP. Bukan untuk direvis, lalu dilanjutkan pembahasannya. Semangat "Soekarnois" untuk menghidupkan Pancasila rumusan 1 Juni 1945 akan mendapat perlawanan sengit umat Islam. Ini memancing konflik atau gesekan yang jatam dank eras. Sebab umat Islam kemungkinan akan membangkitkan Pancasila rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kelompok kiri dan "Soekarnois" dinilai oleh umat Islam telah mengkhianati konsensus bangsa berupa rumusan Pancasila 18 Agustus 1945. Maka berlakulah slogan "mereka jual, kita beli". Piagam Jakarta harus dihormati. Hari lahir Pancasila bukan 1 Juni 1945 tetapi 22 Juni 1945. Ingat itu. Jika hendak kembali ke konsensus bangsa 18 Agustus 1945, umat Islam pasti siap dan menerima dengan lapangan dada. Bersama-sama mengimplementasikan Pancasila hasil consensus pendiri bangsa. Akan tetapi jika fakta politik terjadi pengkhianatan, maka umat Islam dipastikan tidak tinggal diam. Pasti akan maju berjuang membela dan menegakkan kebenaran. Berkhidmat pada agama dan syari'at Allah SWT. Rezim Jokowi kini diuji kemampuan dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah konsisten dengan menjaga konsensus atau menciptakan iklim berbasah-basah dalam kemunduran ideologi. Jika iklim ini yang sengaja dibangun, maka selayaknya Jokowi harus segera turun. Umat Islam selalu mencari kawan. Tidak pernah mau mencari musuh. Akan tetapi jika ada musuh datang senduri menghadang, maka umat Islam pantang mundur ke belakang. Salah satu dosa besar adalah lari dari medan perjuangan untuk menegakkan kebernaran. Artinya, umat akan melawan sampai menang. Allahu Akbar. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Mantaplah Arief Poyuono, Bakal Merebut Gerindra dari Prabowo
By Asyari Usman Jakarta, FNN - Siapa yang berani meramalkan Arief Poyuono akan menjadi ketua umum Gerindra? Pasti Anda bilang tak masuk akal, bukan? Mana mungkin dia menyingkirkan Prabowo Subianto (PS). Karena tak masuk akal itu, saya menjadi orang pertama yang membuat prediksi ‘out of the box’ ini. Poyuono akan menjadi bintang Gerindra. Dia akan menjadi ketua umum, suatu hari kelak. Mungkin tak lama lagi. Poyu akan merebut Gerindra dari tangan Prabowo. Apa alasan saya? Sederhana saja. Poyu (panggialan akrab Poyuono) berani melawan arus di partainya. Juga melawan publik secara terbuka. Dan subjeknya pun tak tanggung-tanggung: soal kebangkitan PKI. Dia mengatakan, isu kebangkitan PKI dimainkan oleh ‘kadrun’. Ini bukan pernyataan sembarangan. Anda semua paham bahwa ‘kadrun’ adalah julukan yang dilabelkan oleh kelompok pembela kemungkaran. Kelompok ini membenci ulama, Islam, dan umat Islam. Bahwa yang dituju Poyu dengan sebutan ‘kadrun’ itu adalah umat Islam, sangat logis. Sebab, yang mencurigai kebangkitan PKI lewat RUU HIP adalah umat Islam. Itu sangat jelas. Terus, mengapa Arief Poyu diramalkan menjadi ketum Gerindra? Itu tadi, karena keberanian dia yang luar biasa. Dia siap berhadapan dengan siapa saja. Siap berhadapan dengan pimpinan Gerindra. Dia bernyali baja. Dia tegas menolak panggilan Dewan Kehormatan (DK) partai. Padahal dia paham bahwa Dewan Kehormatan adalah organ yang bisa menjatuhkan hukuman berat. Poyu tak perduli ancaman dari DK. Dia tidak gentar. Dia lawan semua petinggi Gerindra. Di situlah hebatnya Poyu. Dia tak ambil pusing dengan panggilan DK. Malah, dahsyatnya, Poyu merepeti para politisi senior Gerindra dengan sebutan politisi gagal paham dan “otaknya kayak kadrun-kadrun”. Mantaplah Arief Poyuono! Menurut Poyu, dia tidak mengatasnamakan Gerindra ketika mengeluarkan pernyataan soal ‘isu PKI yang dimainkan kadrun’ itu. Menurut Poyu, dia berbicara atas nama ketua umum Serikat Pekerja BUMN. Sikap anti-Islam Poyu itu memiliki nilai jual yang tinggi di internal Gerindra. Sebab, banyak sekali senior di sana yang sejalan dengan pikiran Poyu. Dari faksi inilah Poyu akan diantarkan menuju kursi ketua umum. Pasti dia sudah memetakan ‘road map’-nya untuk merebut Gerindra. Sama-sama kita lihat nanti keputusan DK Gerindra yang akan bersidang Selasa, 23 Juni 2020 (besok). Saya yakin, Poyu tidak akan bisa dipecat seperti dituntut oleh Andre Rosiade –politisi senior Gerindra yang mewakili daerah anti-PKI. Yaitu, wilayah Sumatera Barat. Mengapa Poyu percaya diri mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan sikap anti-komunisme/PKI yang sedang membara? Itu disebabkan adanya suasana yang memihak pada komunisme-PKI sekarang ini. Bisa jadi Poyu merasa yakin bahwa peluang kebangkitan paham dan partai terlarang itu kini semakin besar. Barangkali dia sudah mendapatkan isyarat entah dari siapa. Poyu adalah realitas baru di Gerindra. Dia menjadi sesuatu yang ‘lain’. Terasa menyegarkan suasana partai. Tidak monoton. Bisa jadi juga dia adalah figur yang ‘jujur’ di Gerindra. Apa adanya. Poyu tidak menyembunyikan sikapnya terhadap umat Islam. Tidak pula menyembunyikan pikirannya tentang komunisme-PKI. Mungkin ada pertanyaan: apakah Gerindra nantinya tidak terpuruk akibat pernyataan Poyu? Bisa iya, bisa tidak. Gerindra akan terpuruk kalau keluarga besar partai itu membuang Poyu. Kok bisa begitu? Sebab, di pemilihan legislaif berikutnya Gerindra harus membidik suara dari basis PDIP. Poyu paham bahwa Gerindra tidak akan pernah lagi didukung oleh komponen umat Islam garis lurus sebagaimana di pileg-pilpres tahu lalu. Poyu memperhitungkan ini. Sekali lagi, Poyu jeli membaca ini. Dia tahu bahwa menyerang umat Islam akan memindahkan suara PDIP ke Gerindra. Ini kalkulasi Poyu. Dia menunjukkan kualitas seorang Ketum. Karena itulah, Poyu akan melejit di Gerindra. Dia sangat diperlukan oleh partai Pak PS ini. Boro-boro dipecat, Poyu yang malah akan menendang orang-orang seperti Andre Rosiade, Sufmi Dasco dan Fadli Zon. Poyu akan merebut Gerindra. Dia akan singkirkan Prabowo. Dan Prabowo akan menyingkir dengan senang hati. Kita lihat saja nanti. Pak PS akan berterima kasih. Bukan marah. Sebab, Poyu akan mengembalikan Gerindra ke khittahnya. Ke tujuan aslinya.[] 22 Juni 2020(Penulis Wartawan Senior)
Cabut RUU HIP dan Bubarkan BPIP, Lalu Bersihkan PDIP
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (21/06). Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres). Setelah itu, badan ini bingung sendiri mengenai ruang lingkup dan program kerja. Akibatnya, implementasi menjadi "serabutan" dan tidak bermakna. Urusan ece-ece kaya konser amal saja ditangani oleh BPIP. Padahal itu sekedar cari donasi untuk seniman yang terdampak covid 19. Sorotan tajam justru pada gaji personal Dewan Pengarah maupun pengelola BPIP. Tidak seimbang antara pendapatan dengan pekerjaan. Pincang jadinya. Agar lebih kuat dan jelas maka dibutuhkan aturan yang lebih tinggi. Masa sekelas BPIP hanya diatur oleh Perpres? seharusnya dengan oleh undang-undang dong. Begitu alasan para pendorong RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Undang-Undang inilah yang kelak disiapkan untuk mengatur segala hal-ihwal mengenai ideologi Pancasila beserta institusi pembinaannya. Menjadi penafsir tunggal urusan Pancasila. Hebat bukan? Diproseslah RUU HIP dengan "strategi" pengajuan oleh DPR. Mungkin dengan maksud agar seolah-olah itu adalah aspirasi rakyat. Tetapi strategi ini kurang jitu, dan terlalu sumier. Ada tiga peertimbangan mengapa RUU ini sumier. Pertama, selalu yang dijadikan alasan adalah peningkatan status aturan BPIP dari Perpres menjadi undang-undang. Jadinya, nampak sekali bahwa kepentingan Pemerintah dominan. Ini aneh dan salah fikir. Mengapa institusi dulu yang dibuat? Setelah itu barulah peraturan belakangan? Semestinya peraturan dahulu berupa undang-undang misalnya. Baru lembaganya menyusul. Kedua, proses hingga menjadi RUU tidak melibatkan komponen masyarakat. Terkesan dilakukan diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Artinya ada misi yang tak ingin diketahui masyarakat. Akibatnya, setelah menjadi RUU "meledak" lah unek-unek dan kejengkelan masyarakat. Menuntut adanya keterbukaan dan akhirnya "bongkar-bongkaran". Ketiga, dengan dijadikan sebagai RUU ini sebagai inisiatif dewan, maka masuklah "penyelundupan ide" dari kelompok kepentingan. Nampaknya ada faksi kiri "soekarnois" di internal PDIP yang memanfaatkan momen pembuatan RUU Haluan Ideologi Pancasila ini. Berlindung sambil menelikung. Jika pemerintah cerdas, dan memang keperluannya adalah aturan untuk BPIP atau badan sejenisnya, maka tentu RUU datang dari pemerintah saja. Sehingga aspek filosofis, yuridis, dan sosiologisnya akan lebih baik. Tidak ada penelikungan ideologis dari kader partai di dewan. Tetapi memang nasi sudah menjadi bubur. RUU HIP juga telah babak belur. Bukan langkah bijaksana untuk merevisi atau otak atik. Rakyat sudah memelototi, bahkan mengultimatum DPR dan pemerintah. Opsi hanya satu, yaitu cabut dan hentikan proses lanjutan RUU HIP ini. Tidak ada opsi lain Bila keberadaan BPIP ini ternyata dianggap merepotkan dan menjadi kerjaan yang tidak jelas, maka sebaiknya segera bubarkan saja. Lumayan bisa menghemat anggaran yang besar tiap tahun. Lagi pula badan ini hanya menjadi "tempat untuk bersantainya para senior"saja. Pemerintah dan DPR jangan sampai dipandang oleh rakyat sebagai lembaga kongkalikong yang pandai merekayasa kebusukan. Apalagi untuk urusan yang berkaitan dengan ideologi dan dasar negara yang sudah melalui proses panjang dalam mencapai konsensus. Tampkanya Pemerintah dan DPR memang sedang mengalami salah fikir. Bisa juga gagal pikir. Pemerintah dan DPR jangan sesat verfikir. Menganggap rakyatnya dianggap bodoh dan tolol semua. Yang pasti rakyat, khusunya umat Islam sudah tahu bahwa RUU HIP bukan untuk kepentingan rakyat. Tetapi untuk kepentingan pemerintah dan kelompok kepentingan di PDIP. Pemerintah dan DPR sebaiknya cabut dan batalkan saja RUU HIP ini, karena misinya telah gagal. Bukan untuk rakyat. RUU HIP sudah menjadi "sampah" bagi rakyat Indonesia. Mengambangkan hanya menunda datangnya bencana. Penolakan rakyat, khususnya umat Islam terhadap RUU HIP ini akan datang secara bergelombang, dahsyad dan mengerikan. Dipastikan suara aspirasi akan semakin menggigit dan menyengat. Untuk itu, sebaiknya ikuti saja maunya rakyat. Pasti selamat bangsa ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Umat Islam Buru Oknum Dibalik RUU HIP
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (21/06). Ada delapan maklumat MUI. Salah satunya meminta pihak berwajib mengusut para oknum yang berada di balik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Siapa saja yang dituduh sebagai "para oknum" di balik RUU HIP tersebut? MUI harus bertanggung jawab untuk menjelaskan kriteria siapa yang dianggap oknum itu. Aapakah mereka itu oknum yang menjadi konseptor, oknum pembuat naskah akademik dan oknum anggota dewan yang mengusulkan ke Badan Legislasi untuk menjadi RUU hak usul inisiatip dewan. Kriterianya harus dijelaskan. Siapa saja oknumnya juga perlu disampaikan kepada masyarakat. Jangan sampai aparat dan rakyat, khususnya umt Islam menjadi salah sasaran. Ini sangat penting untuk menghinari kemungkinan timbulnya saling duga-menduga, curiga-mencurigai di masyarakat. Kita coba untuk tracking di parlemen. Pertama, dari fraksi mana saja yang mengusulkan RUU HIP pertama kali? Paling sedikit ada dua puluh lima orang anggota DPR yang mengusulkan. Apakah para pengusul dari DPR itu semuanya satu fraksi dari PDIP saja, atau ada anggota dari fraksi lain lagi? Kedua, fraksi mana saja yang tetap ngotot menolak TAP MPRS No 25 Tahun 1966 diamsukan sebagai konsideran. Juga fraksi yang mengusulkan Trisila, lalu Ekasila yang menggiring ke makna Gotong Royong? Ketiga, siapa aktor konseptor dan penyusun draft akademik RUU HIP? Bagi MUI, dan juga umumnya Umat Islam, masalah RUU HIP bukan hanya masalah materiil dan formilnya saja. Bukan pula hanya soal prosesnya saja. Tapi akumulasi materiil, formil dan prosesnya menimbulkan dugaan adanya motif yang dicurigai, sehingga patut untuk diusut lebih lanjut. Apakah MUI terlalu emosional? Tidak juga. Malah sikap MUI ini sangat rasional. Agar di masa yang akan datang, tidak ada lagi pihak-pihak yang berupaya untuk mensabotase makna dan nilai luhur, apalagi merubah Pancasila sebagai dasar negara. Itulah pesan yang ingin disampaikan oleh MUI. MUI mengingatkan, tidak perduli siapun anda, dan dari organisasi manapun, “jangan coba-coba untuk main-main dengan Pancasila. Jika anda punya keinginan untuk mengutak-utik Pancasila, maka anda akan berhadapan dengan umat Islam. Sebab umat Islam akan menjadi garda terdepan untuk menjaga kemurnian Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara yang tanggal 18 Agustus 1945. Membela Pancasila itu nggak harus bilang di televise dan media catak, "Aku Pancasila". Itu sih mah nora dan katrok. Apalagi munculnya pada saat pemilu. Sikap tegas, terang dan jelas dari MUI dan Ormas-Ormas Islam saat ini itulah sikap Pancasilais yang sesungguhnya. Kenapa MUI yang didukung ormas dan umat Islam menuntut untuk dilakukan pengusutan? Agar hukum itu ditegakkan. Penting untuk hokum ditegakkan tanpa melihat siapa pelakukan. Karena ada untuk yang mengatur mengenai persoalan ini, yaitu UU Nomor 27 Tahun 1999. Pasal 107 huruf d UU 27 Tahun 1999 berbunyi "barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana paling lama 20 (dua puluh) tahun." Tuntutan dan sikap tegas MUI tidak hanya rasional. Tetapi juga konstitusional. Aparat Kepolisian harus segera usut pihak-pihak yang" diduga" berupaya mengganti Pancasila melalui RUU HIP. Ini sudah merupakan palanggaran yang nyata-nyata terhadap UU No 27 Tahun 1999. Tidak secara otomatis penyusun draft RUU jadi tersangka. Sabar dulu. Perlu juga untuk didalami motif dibalik usulan RUU HIP. Juga apa motif mengapa ada yang tetap saja ngotot untuk menolak TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dicantumkan dan dijadikan sebagai di konsideran RUU. Di parlemen, penolakan sudah dilakukan oleh dua fraksi, yaitu PKS dan Demokrat. Dua fraksi ini tak mau tanda tangan untuk melanjutkan pembahasan RUU HIP di DPR. Bagaimana dengan fraksi-fraksi yang lain? Mengapa fraksi lain menyetujui? PDIP? Publik tahu PDIP yang paling bersemangat bahas RUU HIP. Ketika maklumat MUI keluar, PDIP masih tetap ingin melanjutkan pembahasan. PDIP masih mau melakukan negoisiasi. PDIP menyatakan membuka diri untuk memasukkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Tapi minta larangan radikalisme dan khilafaisme juga dimasukkan. Ha ha ha? Publik jadi kaget sambil ketawa. Sejumlah pengamat menganggap bahwa sikap PDIP tersebut sangat blunder. PDIP "seolah" ingin menghadapi dan menantang gelombang kemarahan umat Islam. Merasa diri kuat sebagai pemenang pemilu. Sayangnya, sikap PDIP juga mendapat reaksi keras umat Islam. Protes dan demo makin masif di berbagai daerah. Nasi sudah jadi bubur. Umat Islam siap dengan segala resiko yang akan terjadi. Isunya saat ini, bukan lagi soal revisi RUU HIP dan memasukkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Tapi umat Islam menolak dengan tegas adanya RUU HIP. Umat Islam juga minta ada pengusutan. Demi menjaga kemurnian Pancasila yang 18 Agustus 1945, umat Islam sudah siap dengan posisi “masiroh kubro”. Umat Islam juga siap dengan “isy kariman au mut syahidan”. Yang artinya, “hidup mulia atau mati syahid”. Pesan ini seharusnya dijadikan sinyal dan pesan penting buat PDIP untuk tidak lagi berpikir melanjutkan pembahasan RUU HIP. Selain minta RUU HIP batalkan, umat Islam melalui MUI sudah menegaskan untuk menuntut para oknum diusut. Tuntutan MUI ini mendapat dukungan dari banyak kalangan. Usut dengan tuntas siapa oknum yang secara sengaja membuat draft RUU HIP dan menolak memasukkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 itu. Adakah punya maksud dan sengaja menggiring RUU HIP ini untuk menghidupkan kembali komunisme PKI? Jika terbukti, maka harus ada pertanggungjawaban secara hukum. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
"HIP Gate", Jokowi Atau Megawati Yang Sumber Masalah?
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (21/06). Semua tentu sudah tahu bahwa Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) adalah inisiatif dari usul DPR. Bukan dari Pemerintah. Artinya, Fraksi PDIPadalah inisiator awalnya. Kemudian didukung oleh Fraksi Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN dan PPP. Walaupun demikian, terkuak motif bahwa usulan RUU ini adalah untuk memberi "bekal" bagi lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Aapalagi badan urusan Pancasila yang berada di bawah koordinasi Presiden. Kelak Pancasila bisa saja diterjemahkan oleh Pancasila sesuka hatinya, terlepas dari siapapun yang menjabat sebagai Presiden. Dengan demikian, siapa saja warga negara yang menafsirkan atau berbicara tentang Pancasila, tidak sama dengan maunya Presiden, bisa bermasalah. Anda bisa saja dianggap tidak lagi Pancasilais atau anti terhadap Pancasila. Karenanya, wajar saja muncul anggapan “RUU HIP ini sebenarnya kebutuhan pemerintah yang sengaja diminta agar disulkan melalui DPR “. Kini ketika Pemerintah menunda pembahasan dan minta DPR menyerap aspirasi kembali, rakyat atau publik terus mengejar siapa sumber? Sipa pencetus? siapa pengusul RUU HIP ini? Masyarakat, khususnya umat Islam sangat bekepentingan untuk mengetaui mereka. Mengenal mereka nama-nama mereka. Makanya MUI pun telah meminta kepada aparat yang berwajib untuk mengusut mereka. Ini disebabkan adanya dugaan, kalau misi dari pengusul atau konseptor RUU HIP ini adalah untuk membuka peluang bagi berkembangnya faham komunisme. Lebih jauh lagi, demi bangkitnya neo-PKI. Terkesan kalau RUU HIP ini murni konsep, pengusulan, serta pembahasan adalah DPR. Meskipun fraksi-fraksi sebagian besar setuju, namun inisiator awal adalah Fraksi PDIP yang merupakan kepanjangan tangan dari PDIP sebagai Partai. Megawati sebagai Ketua Umum adalah penanggung jawab dari kebijakan Partai. Terlihat PDIP hanya berperan sebagai koordinator dari koalisi partai pendukung Pemerintah. Sementara RUU HIP adalah alokasi kepentingan Pemerintah melalui koalisi pendukung di DPR. Maka bukan tak mungkin Pemerintah adalah sumber dari RUU HIP. Jokowi sebagai Presiden adalah penanggung jawabnya. Kini sebagian masyarakat mulai berteriak mengarah pada PDIP. Sampai-sampai ada yang mengajukan usul ekstrim agar pembubaran terhadap PDIP. Andai saja PDIP bisa membuktikan bahwa kepentingan dominan adalah pemerintah, dan konseptor juga adalah pemerintah, sementara kader PDIP hanya membantu, maka pertanggungjawaban mengarah pada Presiden. Bisa saja tekanan akhir mengarah kepada pemakzulan. Sebab RUU HIP ini sensitive, dan telah menimbulkan reaksi publik luar biasa. Konflik ideologi dapat terjadi jika RUU ini berhasil ditetapkan sebagai Undang-Undang. Tentu saja deengan muatan materi pasal-pasal yang kontroversial. Andai kemungkinan yang terjadi adalah revisi, maka hal inipun bukan jaminan akan mampu meredakan kritik. Aspirasi yang terkristalisasi, khususnya dari umat Islam adalah tolak, cabut atau batalkan RUU HIP ini. Bukan untuk direvisi. Bukan untuk dilakukan perbaikan. Bukan juga untuk tambal-sulam di sana-sini. Kini tinggal keterbukaan dari PDIP mengenai asal-muasal RUU HIP ini. Termasuk konon Pasal 7 tentang Trisila dan Ekasila, lalu menjadi Gotong Royong yang bukan berasal dari PDIP. Meskipun jejak digital menunjukkan adanya pidato Megawati di ulang tahun PDIP 2017 soal Pancasila, Trisila, dan Ekasila lalu Gotong Rotong. Kalau begitu, dari siapakah masuknya Pasal 7 tersebut ? Kejujuran dan keterbukaan menjadi sangat penting agar masalah RUU yang berbau komunisme-PKI ini dapat terselesaikan. Semua energi dan kekuatan bangsa harus kembali difokuskan untuk melawan pandemi Covid 19. Juga perbaikan ekonmi nasional porak-poranda akibat Covid 19. Hingga saat ini pertanyaan yang belum terjawab adalah siapa sumber atau pencetus ide dan gagasan dari RUU HIP? Apalagi RUU ini dapat menjadi kunci pembuka dan peluang penyebaran komunisme atau bangkitnya neo-PKI. Jokowi ataukah Megawati ? Atau ada pihak yang lain ? Rakyat perlu dan berhak untuk tahu itu. Bukan saatnya lagi bagi DPR maupun Pemerintah main "petak umpet" atau "lempar-lemparan bola", akibat dari reaksi umat Islam yang keras di luar perkiraan pemerintah dan DPR. RUU HIP ternyata merupakan sebuah skandal ideologi. Skandal yang sangat berbahaya untuk bangsa dan negara. Namanya skandal “HIP-Gate”. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Protes Terhadap RUU HIP, Apakah Hanya Dibatalkan?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (21/06). Pemerintah tunda pembahasan RUU HIP. Ditunda, artinya hanya dihentikan untuk sementara. Ditunda itu artinya nanti dilanjutkan lagi. Rehat dulu sebentar. Untuk apa? Pertama, boleh jadi untuk menjaga wibawa dan kebesaran pemerintah dan DPR. Seolah-oleh ada kesan bahwa pemerintah nggak bisa dipressure. Pemerintah ini masih sangat kuat. Untuk itu, harus dengerin? iya. Namun untuk ikutin? Kalau itu nanti dululah. Kedua, tekanan dari umat Islam dianggap belum terlalu kuat. Maklumat MUI dan sikap NU-Muhammadiyah masih perlu dilihat keseriusannya. Apalagi, protes di sejumlah daerah belum menunjukkan tanda-tanda yang menghawatirkan bagi penguasa dan PDIP. Bahasa politiknya masih under control. Belum sampai pada membunyikan alarm keamanan maupun politik. Ketiga, pantau situasi. Kalau protes terus melemah, pembahasan bisa dilanjutkan. Melakukan revisi sana-sini, bisa menjadi ikhtiar untuk melunakkan umat. Apalagi jika ditabrakin dengan isu lainnya. Fokus perhatian bisa saja bergeser. Umat akan kehilangan focus pada RUU HIP. Keempat, sebisa mungkin lakukan negosiasi sana-sini. Bangun komunikasi politik yang intensif dan menguntungkan dengan pihak-pihak terkait. Berikan dan janjikan kompensasi atau barter politik. Biasanya, di meja negosiasi ada hidangan yang menarik. Apalagi kalau ada yang masuk angin. Bisa masuk itu barang dengan sangat gampang. Mungkinkah RUU HIP dibatalkan? Opsi ini hanya akan diambil jika eskalasi protes meningkat. Situasi dianggap memang makin nggak kondusif. Apalagi kalau mesin umat terus dipanasin dengan berbagai macam stigma yang kontra produktif seperti "kadrun" dan sejenisnya. Disisi lain, sejauh mana energi umat mampu bertahan untuk protes? Sampai dimana komitmen MUI mengawal maklumatnya? Sejauhmana ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyadl, PUI, Mathlaul Anwar, Alwahliyah, FPI bisa konsisten dengan sikapnya? Ini akan ikut menentukan situasi nanti. Pertanyaan yang paling mendasar adalah, apa sesungguhnya target umat terkait protes terhadap RUU HIP ini? Apakah sekedar ingin memberi tahu bahwa umat masih ada? Hanya ingin menunjukkan kepada pemerintah dan DPR bahwa umat eksis? Kalau ini targetnya, memprihatinkan. Pasti tidak! Apakah umat memang serius menuntut RUU HIP dibatalkan? Dihentikan secara permanen? Bukan ditunda, direvisi dan dihentikan sementara. Atau seperti maklumat MUI poin 5, minta agar para oknum dibalik RUU HIP diusut? Agar kelak tak ada lagi pihak yang berani otak-atik Pancasila. Target ini yang paling penting, strategis dan sangat masuk akal. Atau protes RUU HIP akan dijadikan sebagai target antara saja. Menjadikan RUU HIP ini sebagai pintu masuk untuk menggaungkan protes terhadap semua aturan dan kebijakan pemerintah yang selama ini dianggap merugikan kepentingan rakyat? Apakah RUU HIP ini dijadikan sebagai trigger untuk menggerakkan umat Islam memprotes UU KPK, UU Minerba, UU Covid-19, RUU Omnibus Law dan yang lainnya. Apakah akan mengajak dan menggerakkan rakyat, khususnya umat untuk menekan pemerintah dan DPR agar semua undang-undang dan kebijakan yang nggak pro rakyat, dan hanya menguntungkan korporasi licik dan tamak dirubah? Atau ada target lain yang lebih dari itu? Mari kita tunggu apa yang akan terjadi. Apakah protes terhadap RUU HIP akan meredup setelah dinyatakan "ditunda" oleh pemerintah, dan "dihentikan sementara" oleh MPR? Atau justru sebaliknya, penundaan ini akan menaikkan eskalasi protes di kalangan umat Islam? Yang tak kalah pentingnya, umat harus mewaspadai pihak-pihak yang berpotensi masuk angin. Karena hidangan di atas meja negosiasi, jika ada, pasti akan jauh lebih menarik. Juga sangat menjanjikan dan menggiurkan. Penulis Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Keruntuhan Bangsa, Haluan Pancasila Megawati dan Rizieqisme
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Lonceng kematian bangsa kita hampir tiba. Jokowi sudah menyerukan semua menterinya mencari jalan menyelamatkan bangsa Indonesia. Wakil Menteri Pertahanan, kemarin, telah mengumumkan ketahanan pangan bangsa ini hanya dua bulanan. Menteri kesehatan kita telah gagal melakukan "flattening the curve" kurva coronavirus. Yang lebih konyol lagi Sri Mulyani telah terlihat gagal memprediksi kebutuhan stimulus fiskal untuk mengatasi dampak covid-19 ini. Memang benar pernyataan Jokowi bahwa krisis ekonomi yang diakibatkan pandemi ini lebih buruk dari krisis moneter 1998. Kenapa lebih buruk? 1) dampak covid-19 terjadi pada sisi supply dan demand. Pada tahun 1998, supply side masih besar, khususnya sektor pedesaan, sektor informal dan UMKM. Dengan menggelontorkan dana KUT (Kredit Usaha Tani) dan berbagi kredit mikro lainnya, sektor pedesaan dan informal mampu menopang ekonomi nasional. Konstraksi ekonomi sekitar -16% dapat dipulihkan dalam satu tahun dan pemulihan total terjadi selama 5 tahun. Saat ini, sisi supply hancur karena pandemi mengharuskan manusia berhenti bekerja ("social distancing") alias produksi terhenti dan "supply-chain" berantakan. Pada sisi demand (permintaan), pasar (market) juga hancur berantakan. Manusia diam di rumah, pusat2 perbelanjaan sepi. Dan daya beli rakyat terkuras. Air France, penerbangan milik Prancis yang bangkrut, misalnya, akan ditalangi 10 milyar dollar oleh negaranya. Namun, apa arti talangan itu jika mobilitas manusia terhenti? Apalah artinya subsidi/stimulus Jokowi pada sektor parawisata kalau turis masih belum mau datang? 2) "Cash is the King". Situasi pandemik ini membuat, misalnya Gubernur New York, Cuomo, bulan lalu, marah pada Trump, karena dana stumulis yang dijanjikan belum juga cair. Masih menunggu persetujuan DPR Amerika. Anies Baswedan, di Jakarta, marah pada Sri Mulyani, karena dana tagihan DKI ke rezim Jokowi, untuk diberkan bansos pada 1,1 juta orang (dari 3,75 juta jiwa) di Jakarta belum diberikan Menkeu, alasannya harus menunggu verifikasi BPK. Cash is the King alias uang adalah raja. Setiap negara mmamerkan angka2. Amerika memamerkan akan mencetak uang 3 Triliun Dollar alias mendekati 45.000 Triliun Rupiah. China mengumumkan akan utang 4,7 Triliyun Yuan (3,7 T Infrastructuur Bond dan 1 T pandemic Bond). Alias mendekati 10.000 Triliun Rupiah. German juga pamerkan kebutuhan 1,3 Triliun Euro (Rp. 21.000 Triliun), Italy keluarkan stimulus 750 Milyar Euro, Inggris (Bank of England) gelontorkan 1 Triliun dollar. Angka2 uang ini bisa ada bisa juga proyeksi. Tidak gampang bagi RRC, misalnya, cari hutang ketika semua negara dunia ingin berhutang. IMF yang diundang Kadin Amerika ceramah beberapa hari lalu, tidak menjanjikan uang pada pengusaha2 Amerika itu. Malah dirut IMF, Kristalina Georgieva, besar dinegara Komunis Bulgaria, mengajarkan pengusaha2 Amerika untuk mengetahui sedang terjadi Great Transformation (digital economy, pro green economy dan fairer society). Jangan berharap IMF kasih Indonesia pinjaman 50 Milyar dollar seperti 98. Sampai sejauh ini, IMF sudah menyetujui pinjaman ke 60an negara, rata2 kebagian 0,35 Milyar dollar saja, sangat kecil sekali. Cash is the King. Indonesia juga jangan berharap bisa dapat pinjaman dari China, Jepang, Amerika dll. Semua butuh uang bagi negaranya. Sehingga angka2 defisit bisa saja diajukan Sri Mulyani 1039 Triliun atau 10.000 Triliun sekaligus (Ingat tahun 2008 Sri Mulyani meleset prediksi talangan bank Century dari rp. 600 milyar menjadi rp 6,7 triliun alias 10 kali lipat), tapi uang dari mana? Apakah akan ada kelebihan liquiditas di negara2 maju akibat stimulus di sana, lalu mereka beli SBN (Surat Berharga Negara) di sini?Jangan terlalu berharap. Kebanyakan "greedy traders" yang akan masuk dan keluar stock market maupun bond market saat ini. Sedangkan Bank Central kita sendiri, sejauh ini, sudah tertatih2 habis 600 an Triliun menjaga stabilitas makro ekonomi. Lalu, apakah negara berani menolak stimulus pada orang2 kaya dan menaikkan pajak pada orang2 kaya itu agar ada tambahan pemasukan APBN? Bukankah mayoritas elit negara saat ini adalah orang2 kaya itu? Cash is the King. Sebentar lagi negara akan dihantui berbagai kesulitan menjalankan roda pemerintahan. Dimulai, misalnya, walikota Solo mengumumkan tidak mampu bayar listrik, beberapa saat lalu. Ke depan, jangan berharap banyak ada bansos, subsidi kartu-Prakerja, dll. Yang jelas harga2 barang, BBM, Gas, Listrik dll yang akan menjulang tinggi. 3) Nyaris Perang Dunia. Saat ini nyaris perang dunia. Beda dengan krisis '98. Trump memecat penasehatnya John Bolton beberapa waktu lalu, karena Bolton hobby perang. Namun, perang dagang dan berbagai ketegangan antara Amerika dan sekutunya versus RRC sudah mulai. Tiga hal di atas adalah faktor eksternal terkait dampak pandemi. Namun faktor internal kita lebih berat lagi, yakni 1) hutang negara/BUMN yang menggunung. 2) Ekonomi tidak efisien alias rente. 3) Deindustrialisasi, 4) Korupsi merajalela. 5) Struktur ekonomi pincang, kemiskinan dan pengangguran menggunung. Sejak lama berbagai lembaga internasional menempatkan kita dalam kelompok negara "fragile five", yang terjebak hutang besar. Bos IMF mengatakan faktor bawaan sebelum Covid-19 sangat menentukan kerapuhan sebuah negara saat ini. Sampai kapan kita bertahan? Pancasila Gotong Royong atau Rizieqisme? Dalam masa pandemi ini kelompok2 sekular di Indonesia menawarkan "Pancasila Gotong Royong" via RUU HIP, yakni ajaran Pancasila yang bisa diperas menjadi sebuah sila, yakni Gotong Royong untuk menjadi haluan bagi keselamatan bangsa. Ketuhanan dalam pandangan Megawati Soekarnoputri, pengusul RUU HIP, adalah ketuhanan yang berkebudayaan. Pandangan Megawati ini menempatkan ketuhanan dalam perspektif Anthropocentric, di mana tuhan merupakan hasil reproduksi peradaban manusia. Pancasila Gotong Royong adalah ajaran Bung Karno. Dalam masanya ajaran ini adalah ajaran baik. Ajaran ini merupakan turunan dari pikiran Marxisme, sama rata sama rasa. Artinya semua manusia punya hak kepemilikan yang sama, yakni membatasi "property rights" secara rata. Ajaran Marxism adalah ajaran barat yang berpusat pada manusia dan materialisme. Kesejahteraan dan keadilan semua diletakkan dalam perspektif logika manusia. Ketuhanan yang berkebudayaan, menurut Megawati dan Sukarno adalah ketuhanan yang ada di bumi, bukan ketuhanan yang menyangkut dunia-akherat. Gotong Royong ala Bung Karno tentu bersifat ideologis. Di jaman Bung Karno sudah pasti tidak mungkin ada perusahaan kelapa sawit, misalnya, menguasai lahan jutaan hektar, seperti saat ini. Ajaran Bung Karno adalah sebuah gerakan sosialisme-nasionalisme yang menolak supremacy barat dan Kapitalisme di Indonesia. Mohammad Hatta, disisi lain, yang menawarkan konsep Koperasi, lebih ke arah sosialisme welfarian ala Skandinavia, yang jejak keadilannya masih nyata sampai saat ini, ketimbang negara2 sosialis Komunis rujukan Sukarno (seperti Sovyet/Rusia, RRC, dll) itu. Sebagai sosok, Bung Karno tidak membutuhkan UU HIP, karena dia adalah inspirasi ideologi itu sendiri. Sebaliknya, Megawati dan kaum sekuler, membutuhkan ideologi dalam UU, karena mereka sendiri sulit diukur apakah punya jejak Gotong Royong dalam kehidupannya. Bahkan, ketika berkuasa seperti saat ini. Dalam masa pandemik ini refleksi kita adalah peradaban yang bertumpu pada Anthropocentric telah gagal. Manusia harus meletakkan dirinya dalam bagian alam dan Tuhan YME. Manusia hidup di antara pohon-pohon, sungai, air, udara, binatang, bahkan mikroba serta virus sepanjang hidupnya. Hal itu harus membuat manusia meletakkan peradaban baru yang menjaga keseimbangan alam dan kehidupan. Gotong Royong adalah ide yang baik. Tapi gotong royong harus dilandasi nilai dan moral yang jelas. Gotong Royong dalam ambisi manusia menaklukkan alam, misalnya, akan membuat degradasi alam, hutan, tambang dll, terjadi juga seperti saat ini. Gotong Royong dalam keseimbangan Allah dan akam akan menawarkan value dan moral yang berbeda. Ajaran Tuhan tentang Gotong Royong, dalam Islam misalnya, membatasi ambisi pada batas "need" bukan "want". Kebutuhan (need) mencegah perbuatan mungkar kita terhadap alam, air dan udara. Juga memberi pesan kecintaan pada generasi mendatang, dengan menyisakan deposit sumberdaya alam bagi kehidupan mereka di masa nanti. Dengan prinsip Ketuhan YME di atas segala2nya, kita menempatkan spirit kemanusian kita pada kontrol transedental. Sedang ketuhanan berkebudayaan membuat kontrol pada konsensus manusia, yang bersifat fana. Gotong Royong dalam sipirit Ketuhanan YME juga akan menggerakkan manusia melebihi kemampuan materialnya. Sebuah aksi produktif yang tidak pernah habis. Dan ini pula yang dibutuhkan untuk menyelamatkan manusia di masa pandemik. Berlawanan dengan Gotong Royong ala Megawati atau RUU HIP adalah Gotong Royong dalam versi Rizieqisme. Pada tulisan saya sebelumnya, "Rizieqisme, 212, Sama Rata Sama Rasa" (2018) dan "Rizieqisme dan Paska Pilpres" (2019), saya telah menguraikan 5 prinsip dasar Rizieqisme yang tergambar dari gerakan Imam Besar Habieb Rizieq Sihab selama ini, yakni : 1) perjuangan Islam adalah perjuangan keadilan sosial. 2) perjuangan harus diakar rumput. 3) Islam sebagai alat persatuan. 4) Radikal atau tidak mengenal kompromi. 5) Tanggung jawab sosial alias solidaritas. Dari prinsip ini kita ketahui bahwa prinsip sama rata sama rasa, dan gotong royong ala Habib Rizieq adalah turunan dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Gerakan keadilan dan sekaligus cita cita keadilan bukan ditentukan dalam anthropcena melainkan diturunkan dari Wahyu Allah. Jika Bung Karno dan Megawati, anaknya, bertumpu pada kemanusian versi manusia, sebagai acuan Gotong Royong, maka Habib Rizieq Sihab dalam Rizieqisme menawarkan tumpuan pada kemanusian ciptaan Allah. Dalam masa pandemi ini, kemanusian yang bersifat materialistik, tanpa ruh, akan gagal memetakan ancaman kemanusian akibat coronavirus. Gotong Royong ala Bung Karno telah menyelamatkan bangsa di masa lalu. Namun, tantangan bangsa saat ini membutuhkan Gotong Royong yang dahsyat, yang bertumpu pada spirit Ketuhanan YME. Penutup Lonceng kematian bangsa kita semakin dekat. Kebahagian ekonomi yang diklaim pemerintah dengan pertumbuhan kuartal pertama, bersifat "trade-off" dengan kesengsaraan ke depan yang bersifat kesehatan, ekonomi dan bahkan peradaban. Sri Mulyani, yang gagal memprediksi stimulus Century di masa lalu, menjadi supir penyembuhan ekonomi saat ini. Hal ini, "menggunakan supir gagal" cukup mengerikan. Menteri kesehatan yang gagal memprediksi situasi pandemik sejak awal juga suatu bencana kematian ke depan. Wamen Kemenhan yang membuka rahasia ketahanan pangan hanya dua bulanan, sangat menakutkan. Berbagai keburukan situasi ekonomi dan politik juga akan mempercepat keterpurukan bangsa. Di sisi lain, bangsa2 di dunia lainnya sibuk mengurusi rakyatnya sendiri, jauh harapan membantu kita. Dalam situasi buruk ini, kelaparan dan kemiskinan akan menjadi "catastrophic", alias bencana. 100 an juta rakyat miskin dan 20 jutanya sudah dilaporkan ADB (Asean Development Bank), 2018, kelaparan saat sebelum pandemik, tidak akan mungki diurus negara, khususnya jika haluan negara tidak tepat. Tawaran Megawati untuk menggunakan Haluan "Pancasila Gotong Royong" ditolak berbagai kalangan Islam. Hal ini mungkin lebih disebabkan susah mencari jejak Megawati dalam perjuangan ideologis Gotong Royong itu. Berbeda dengan Bung Karno, yang memang dalam diri dan jiwanya ada Gotong Royong itu. Namun, rakyat dalam keputusasaan tentu sangat butuh haluan itu. Rakyat butuh bangkit dari keterpurukan. Rakyat butuh selamat dari pengangguran, kemiskinan dan kelaparan. Lalu haluan apa yang dibutuhkan? Untuk itu perlu melihat tawaran Rizieqisme sebagai alternatif ideologi, di mana Gotong Royong didasari spirit Ketuhanan YME. Tuhan di atas manusia, bukan tuhan yang diciptakan manusia. Rizieqisme akan mampu membuat Indonesia bangkit dengan peradabam baru. Sebuab keseimbangan antara manusia, alam dan Tuhan YME. Manusia yang mengelola bumi dengan keadilan sesama dan antar generasi. Manusia yang adil pada pepohonan, binatang, mikroba dan bahkan virus. Serta, manusia yang memohon pada Tuhannya untuk menjadi kalifah di muka bumi dengan bijak. Penulis Direktur Sabang Merauke Institute