RUU Omnibus, Kepentingan Korporasi Culas dan Licik
by Dr. Margarito Kamis SH. M.hum.
Jakarta FNN – Rabu (24/06). DPR dan Presiden telah sukses besar menjadikan UU Minerba. Sukses berikutnya juga sedang menanti. Sukses berikut itu adalah menggolkan RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka), yang sekarang berubah menjadi RUU Omnibus Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Sekalipun berbeda dalam cakupan isu, konstelasi politik kedua RUU itu menarik. Politik kedua isu itu tidak bisa, dengan alasan apapun, dilepaskan dari mimpi akselerasi ekonomi nasional. Ini mimpi paling indah untuk korporasi, baik korporasi global maupun dalam negeri.
Konteks politik itu menarik perhatian Bank Dunia terhadap RUU konyol ini. Paradoksnya kedua UU terlihat tidak cukup mengasyikan bagi kalangan di dalam negeri. Itu jelas hambatan. Tentu harus diminimalkan. Caranya, maksimalkan kampanye dan propaganda bahwa RUU akan membuat UMKM berjaya.
Manis Kulitnya
Logiskah penilaian Bank Dunia itu? Bank dunia memang bukan World Trade Organization (WTO), yang berada diposisi terdepan memprakarsai UU yang bersifat Omnibus. Tetapi perbedaan itu hanya penting dalam nama, tidak dalam fungsi materilnya.
Pada aspek materil, keduanya sama-sama bekerja meliberalisasi tatanan ekonomi dunia. Liberalisasi bukan imprialisasi. Liberalisasi dikonsolidasi secara konseptual sebagai gagasan penyebaran keadilan dan kesejahteraan.
Liberalisasi, dalam konteks itu memang bukan dominasi, apalagi imprialisasi. Teorinya begitu. Konsep yang dirancang oleh korporasi, yang dalam perkembangannya direalisasikan oleh pemerintah. Begitulah yang terjadi, terutama Amerika, yang secara empiris justru menyajikan kenyataan berbeda.
Kenyataan empiris memperlihatkan korporasi-korporasi di Amerika dan Inggris, yang muncul sebagai konseptornya, begitu cerdas. Dimana letak cerdasnya? Negara-negara yang kalah di perang dunia pertama dan kedua, yang semuanya memble itu, tidak bisa menawarkan apapun, untuk bersaing selain sumberdaya alamnya.
Negara-negara miskin, akhirnya menemukan kenyataan. Meraka harus bekerja dalam skema korporasi. Merumitkan perizinan, sama dengan melarat. Investasi tidak masuk. Mau tidak mau negara-negara miskin harus memanjakan, dalam makna bekerja sesuai skema yang yang diinginkan korporasi itu.
Memudahkan perizinan untuk usaha. Apapun juga, hanya itulah yang menjadi jalan terdekat yang tersedia. Liberalisasi jadinya menempatkan negara-negara itu ke dalam cengkeraman korporasi besar. Begitulah adanya. Ini hampir tak bisa disangkal.
Kenyataan itu, dikenali baik oleh China. Daripada menantang liberalisasi gila-gilaan itu, yang hasilnya bisa nekat, lebih baik liberalisasi juga ekonomi dalam negerinya. China komunis itu pun, akhirnya berada di jalur itu.
Mereka, dalam rangka memenangkan pertempuran perebutan investor, bergerak maju sesuai kaidah kapitalisme. Hukumnya harus andal. Sistem peradilan pun harus andal. Ini diketahui betul sebagai dua hal yang sama pentingnya dengan kemudahan memperoleh izin.
Vietnam juga mengambil rute ini. Rute ini harus diambil setelah dipaksa dengan cara manis oleh WTO. Ikut aturan main global atau tersingkir dari pertarungan global. Begitu gula-gula dari WTO. Vietnam memilih yan terakhir. Mereka akhirnya menyerahkan politik hukum ekonominya pada garis politik WTO.
Apakah Indonesia juga berada dalam spektrum itu? Itu soalnya. Tidak ada data terferifikasi yang bisa diandalkan untuk sampai pada pernyataan kongklusif itu. Tetapi apapun itu, pemudahan perizinan untuk mengakselerasi investasi, harus diambil. Inovasi dalam konteks ini harus terus bekerja. Dan ini bukan perkara baru untuk Indonesia.
Masalahnya mengapa pemerintah terlihat terus meyakinkan khalayak bahwa UMKM akan berjaya dengan RUU ini? Apakah level kerumitan UMKM sama dengan korporasi besar? Apa rumitnya usaha, yang maaf jualan warteg, nasi goreng di lorong-lorong, dengan gerobak dorong?
Sejarah kemuncullan rezim perizinan modern, jelas bukan sejarah UMKM. Sejarah rezim peruizinan adalah sejarah korporasi. Inggris mengawalinya pada awal ke-17. East India Company, Royal African Campany dan Virginia Company. Semuanya dapat beroperasi setelah diizinkan oleh Raja.
Apakah masalah permodalan UMKM disebabkan sepenuhnya oleh UU? Itukah masalah terbesar dan terberat mereka? Kalau masalahnya ada pada UU, lalu untuk apa UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang UMKM? Sungguh tidak masuk akal menandai hukum sebagai masalah terbesar dan terberat UMKM. Masalah UMKM terletak pada orientasi politik ekonomi nasional yang tidak akrab pada mereka.
Perizinan, cukup logis dikemukakan. Karena tidak ada dalam daftar hambatan usaha para pelaku usaha mikro dan kecil. Perizinan justru berada urutan pertama. Setidaknya pada urutan signifikan korporasi besar. Masalah usaha mikro dan kecil adalah keberpihakan lebih pada mereka. Bukan perizinan.
Kekeliruan Konsep
Senjata liberalisai tidak pernah lain selain investasi, kerjasama, bantuan dalam berbagai macam bentuk, serta utang. Senjata konvensional diletakan di ujung negosiasi. Digunakan setelah negosiasi dan intrumen lunak lainnya tak membuahkan hasil.
Cara inilah yang menandai dunia usaha hingga sekarang. World Bank dan WTO cukup sering bersuara khas Amerika, terus berada di depan dalam usaha ini. Hebatnya, gema propaganda liberalisasi itu telah mengakibatkan setiap tindakan proteksi negara-negara itu, tak terlihat persis sebagai proteksi.
Pola ini dipegang secara konsisten oleh Amerika. Kongres mereka terus menerus mencermati setiap perkembangan lingkungan ini. Hambatan tarif, tenaga ketrja, perizinan, dan lainnya yang diidetifikasi ada pada satu negara dan merugikan Amerika, segera direspon Kongres dengan membuat UU.
Isinya, inilah yang menarik. Presiden, diberi otorisasi untuk mengurus semua urusan itu. Begitulah ciri, misalnya Omnibus Trade and Competitivenes Act 1988. Omnibus ini meliputi, cara menyelesaikan masalah dalam perdagangan antara Amerika dengan negara lain. Kordinasi perdagangan, perdagangan yang tidak fair, hak pekerja, hambatan investasi, termasuk perizinan dan mereduksi tariff. Semuanya menjadi materi juatan Omnibus Trade dan Competitivenes Act mereka.
Dunia dagang ternyata berubah cepat. Ominibus Trade and Competitivenes segera kehilangan daya tariknya. Akhirnya, Amerika mengubah secara parsial Omnibus Trade and Competitivenes Act 1988 itu. Ini terjadi tahun 2002, dengan lahir Trade Act 2002. Omnibus diubah hanya dengan Act, yang tidak omnibus.
Apakah Omnibus yang sedang dirancang memiliki tipikal Omnibus Trade and Competitivenes Act 1988 itu? Disitu soalnya. Kalau tidak menyodorkan inovasi sebagai argument, harus dikatakan telah terjadi salah tiru. Dimana letak salah tirunya?
Ragam isu yang diatur di dalamnya, didedikasikan untuk melayani investor, tentu termasuk asing. Sementara Omnibus Amerika justru memproteksi industri dalam negeri mereka. Yang dituju dari Omnibus mereka adalah liberalisasi dunia usaha di luar Amerika.
Konsekuensinya menampilkan isu UMKM, sebagai kehebatan lain RUU Omnibus ini, terasa lucu selucu-lucunya. Malah terasa sebagai propaganda asal-asalan dan murahan. Tetapi seasal apapun, harus diakui konstelasi politik memaksa UMKM disajikan sebagai gula gula demi menggolkan RUU ini.
Beralasankah semua soal yang disajikan di atas sebagai parameter keberpihakan RUU ini terhadap korporasi besar? UU Minerba terbaru, beralasan disajikan wujud keberpihakan RUU ini pada Korporasi. Semasa pembahasan UU itu, tak terdengar suara kritis korporasi. Sejarah politik pembentukan UU bidang ekonomi memperlihatkan adanya koneksi timbal balik korpoprasi dengan kemunculan RUU itu.
Koneksi ini tak tersangkal. Bahkan ini telah menjadi tabiat dasar ekonomi merkantilis yang terbungkus kapitalisme. Merkantilisme tampil dalam banyak wajah. Ragamnya meliputi kebijakan praktis. Juga melalui UU. Menempatkan orang-orang mereka pada posisi kunci pemerintah, bahkan menjadikan orang mereka presiden, juga tipikal korporasi licik dan culas.
Korporasi Yang Berjaya
Mereka, sembari bersandar pada perspektif Walter Lippman, memenuhi ruang debat masyarakat dengan beragam isu. Untuk meyakinkan masyarakat? Tidak juga. Sama sekali tidak. Khalayak menurut identifikasi Walter Lippman, jurnalis paling top, juga penasihat Presiden Woodrow Wilson, dan salah satu arsitek butir-butir perjanjian Fersailes, tidak bisa fokus.
Tidak fokus, sama sekali tidak berarti khayalak tidak tahu ada masalah. Justru tahu sedikit-sedikit itulah, maka propagandis harus memborbadir, memperkaya mereka dengan infomasi, apapun itu. Semangat penyampaian informasi, bukan meyakinkan, tetapi untuk mengelabui, deception.
Oposan dibiarkan bicara sebisa mereka. Seburuk apapun pernyatan oposan, biarkan saja. Yang penting mereka telah bicara. Kehehadiran oposan di ruang public, dengan sendirinya menghasilkan legitimasi terhadap RUU itu. Mungkin tak terbangun utuh, tetapi tetap saja legitimasi telah muncul.
Cara ini digunakan, sekadar sebagai ilustrasi, kelompok Wall Street menggolkan The Federal Reserrve Act. Sejarah usaha menggolkan UU ini sangat menarik dilihat dari sudut politik pembentukan UU.
Walter Bagehot, ekonom yang faham betul dengan karakter Bank Of England, yang mau dijadikan rujukan pembentukan The Fed’s Amerika, mengambil sudut berseberangan dengan inisiator The Federal Reserve. Apa yang terjadi? Bagehot yang beroposisi itu, tetap dihadirkan dalam pembahasan gagasan The federal Reserve. Cerdas, pada saat yang sama inisiator juga menghadirkan lawan tandingnya.
Paul Warburg yang telah bulat inigin membentuk Bank Sentral, bersama dengan Spragus yang sama ekspektasinya, dihadirkan. Keduanya menyanggah habis level rasionalitas gagasan Bagehot. Gagasan Bagehot akhirnya terdelegitimasi dengan sendirinya.
Licin sekali cara kelompok kecil bankers wall street ini. Hendak mengendalikan negara untuk kepentingan mereka. Tetapi usaha mereka dibiayai oleh negara yang hendak dikendalikan itu. Caranya? Merangkak. Pertama ciptakan krisis. Itulah krisis tahun ekonomi tahun 1907. Hebat mereka.
Sangat detail perencanaannya. Begitu krisis terjadi, mereka segera melompak ke cara kedua. Cara kedua ini dibantuk ilmuan. Woodrow Wilson, gubernur New Jersey, dan mantan presiden Princeton University, yang telah terjalin erat dengan mereka, segera angkat bicara.
Menurutnya untuk menghentikan, setidaknya mencegah resesi sejenis dikemudian hari, diperlukan satu Komisi. Komisi ini bertugas khusus mengindentifikasi penyebab dan jalan keluarnya.
Gagasan Wilson direspon oleh Presiden Theodore Rosevelt. Tahun 1908 mulai lah cara kedua bekerja. Rosevelt membentuk Komisi dimaksud. Komisi bentukannya diketuai Nelson Aldrice, senator Republik, dan dibantu oleh sejumlah orang.
Mereka adalah Shelton, asistennya Nelason, A. Piatt Andrew, asisten Menteri Keuangan, Frank Fenderlipp, Presiden National City Bank, Hendry P. Davison, senior partner JP Morgan Company, Charles D. Norton, presiden first National Bank Of New York, Benjamin Strong, dan Paul Warburg. Mereka yang merencanakan adanya Ban Sentral.
Komisi segera bekerja. Mereka ke Eropa mempelajari sistem perbankan Eropa. Pekerjaan ini dibiayai, tidak dengan uang mereka, tetapi negara. Total biaya yang digunakan kelompok ini sebesar U$ 300.000 dollar.
Kembali dari Eropa. Kelompok ini berkumpul di Jackyl Island, sebuah klub beberapa bankers. Tidak hanya jauh jaraknya, tetapi tempat ini memiliki tingkat privasi tinggi. Di Jackyl Island inilah The Federal Reserve Act disiapkan rancangannya.
Dalam Secret of The Federal Reserve, Eustace Mullin, menulis segera setelah selesai draft The Federal Reserve dirancang, mereka kembali ke New York. Lalu segera muncul ke tengah masyarakat untuk menyampaikan apa yang dikenal dengan “Aldrich Plan”.
Hebat, Princeton University, Harvard University, dan University of Chicago semuanya berada dalam genggaman mereka. Tiga Universitas top ini digunakan mempropagandakan point-poin penting draft ini.
Point propagandanya, Amerika membutuhkan satu Bank Sentral. Untuk merealisasikannya, Paul Warburg, kelak menjadi Gubenur pertama The Fed’s, mengusulkan pembentukan apa yang dikenal dengan Citizen League, yang belakangan nama ini berubah menjadi National Citizen League.
Dua profesor top menangani pekerjaan ini. Keduanya adalah Sprague dari Harvard, dan J. Laurence Laughlin dari University of Chigaco. Propaganda pun berjalan dalam banyak bentuk. Seminar adalah salah satunya.
Canggih cara mengelabuinya. Tahu ada ketakutan Bank Sentral, mereka menggunakan The Federal Reserve. Tentu sekadar mengelabui masyarakat. Propaganda ini menghabiskan dana sebesar U$ 5 miliar dolar.
Hebat, walau draftnya berasal Jackyl Island di bawah komando Nelson Alrdirce, senator republik, tetapi tanggal 15 Desember 1911, Amerika segera tahu bahwa Carter Glass, Senator Demokrat, mengajukan Bill itu ke Senat untuk dibahas. Dialah pemrakarsanya.
Menariknya pilpes 1912 mengeluarkan angka Woodrow Wilson memperoleh 409 suara, dan Rosevelt 169 suara. Sedangkan William Howard Taft, presiden incumben, yang anti Bak Sentral, berada di juru kunci dengan 15 suara. Tesis Paul Warburg “money is commodity dan central bank was a favorite play the money creators” begitu yang dicatat Mullins, tercapai dengan sudah.
Tetapi masyarakat, begitu Mullins mengitup pandangan Warburg, tidak akan tahu bahwa sistem itu penciptaan uang. Masyakat malah melihat dan percaya penciptaan itu terjadi secara natural. Rakyat Amerika akhirnya terperangkap di dalamnya.
Begitulah korporasi culas dan licik bekerja. Korporasi pula yang berkibar segera setelah RUU Omnibus Cipta Kerja menjadi UU? Menyepelekannya, boleh saja. Tetapi mempertimbangkannya lebih masuk akal. Dalam konteks itu, UMKM cukup layak dipertimbangkan tidak lebih dari sekadar gula-gula politik RUU ini.
Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.