Komsumsi Dexamethasone atau Chloroquine, Pasien Covid-19 di Ambang Bahaya!
Oleh Mochamad Toha
Jakarta, FNN - Entah apa yang ada di benak pikiran para pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hari-hari ini. Penggunaan obat hydroxychloroquine atau chloroquine yang sebelumnya dilarang dihentikan, karena alasan keamanan pada pasien Corona atau Covid-19, kini dicabut.
Hidroksiklorokuin adalah obat quinoline yang digunakan untuk mengobati atau mencegah penyakit malaria, yaitu penyakit yang disebabkan parasit yang masuk ke tubuh melalui gigitan nyamuk.
Mengutip Medlineplus, obat ini juga ditujukan untuk anti-rematik. Bisa digunakan untuk mengobati gejala rheumatoid arthritis, untuk mengurangi rasa sakit dan pembengkakan pada radang sendi.
Selain itu, obat ini juga bisa mencegah dan mengobati discoid lupus erythematosus (DLE) yaitu suatu kondisi peradangan kronis pada kulit. Dan, systemic lupus erythematosus (SLE) kondisi peradangan kronis pada tubuh.
Sebelumnya pemakaian dan uji coba hidroksiklorokuin dan klorokuin itu sempat dihentikan WHO karena alasan keamanan pada pasien Corona. Sebuah studi di The Lancet menunjukkan pasien Corona yang diberi obat malaria hidroksiklorokuin dan klorokuin alami gangguan jantung hingga tingkatkan risiko kematian.
Namun, kini studi berjudul “Hydroxychloroquine or chloroquine with or without a macrolide for treatment of Covid-19: a multinational registry analysis” itu akhirnya ditarik. Alasannya karena peninjau independen tersebut tak bisa mengakses data yang digunakan untuk analisis sehingga validitasnya diragukan.
Indonesia sendiri hingga saat ini masih menggunakan klorokuin untuk pasien Corona seperti di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet. Hingga Jumat (5/6/2020), setidaknya sudah lebih dari 3 ribu pasien yang dilaporkan sembuh dan sudah dipulangkan.
“Total kami rawat 4.470 pasien (virus Corona Covid-19). Hingga saat ini yang sudah sembuh totalnya 3.325 pasien,” jelas Arief Riadi, Ketua Tim Medis Covid-19 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) melalui pesan singkat kepada Detikcom dan ditulis Sabtu (6/6/2020).
Arief menjelaskan, seluruh pasien Corona di RS Wisma Atlet diberikan klorokuin. Pemberian klorokuin kepada seluruh pasien Corona di Wisma Atlet tidak memiliki efek samping serius atau berbahaya.
“Semua pasien di RS Wisma Atlet pakai klorokuin. Alhamdulillah tidak ada (efek serius dari penggunaan klorokuin),” lanjutnya.
Menurut Arief Riadi, persentase kesembuhan dari penggunaan klorokuin masih dalam tahap penelitian. Namun, untuk saat ini dapat dilihat dari banyaknya pasien sembuh Corona yang sudah dipulangkan.
“Masih dalam penelitian untuk tingkat kesembuhannya. Tetapi dari data di atas jumlah yang pulang (pasien sembuh menjalani perawatan termasuk diberi klorokuin),” ungkapnya.
Ternyata, satu dari lima kombinasi obat yang efektif melawan virus Corona atau Covid-19 yang diumumkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Jum’at (12/6/2020), efeknya bisa merusak mukosa lambung, yang diikuti iritasi lambung.
Bukti nyata, adanya kerusakan mikrobioma lambung. Klorokuin itu obat malaria – parasit – bukan obat virus. Jadi, pemakaian antivirus, jelas merusak keseimbangan mikroorganisme. Pemakaian klorokuin pada lambung lebih dahsyat lagi efek sampingnya.
Klorokuin ini akan menekan keberadaan dan membunuh virus-virus target. Sehingga, efeknya akan terjadi ketidak seimbangan ekosistem mikro dan akan berdampak pada ekosistem makro tentunya.
Saat keseimbangan tersebut tidak terjadi, maka nantinya akan ada mikroorganisme lain yang akan “datang” untuk menyeimbangkan ekosistem. Secara konvensional akan disebut “wabah baru”.
Melansir dari Farmasetika.com, WHO (World Health Organization) menyambut hasil awal tentang penggunaan Dexamethasone (deksametason) dalam mengobati pasien Corona atau Covid-19 yang sakit kritis dalam rilis resminya, Selasa (16/6/2020).
Hasil uji klinis awal dari Inggris menunjukkan, obat golongan kortikosteroid deksametason dapat menyelamatkan nyawa bagi pasien yang sakit kritis dengan Covid-19.
Untuk pasien yang menggunakan ventilator, pengobatan ini terbukti mengurangi kematian sekitar sepertiga, dan untuk pasien yang hanya membutuhkan oksigen, mortalitas dipotong sekitar seperlima, menurut temuan awal yang dibagikan kepada WHO.
Manfaat hanya terlihat pada pasien sakit parah dengan Covid-19, dan tidak diamati pada pasien dengan penyakit ringan.
“Ini adalah pengobatan pertama yang ditunjukkan untuk mengurangi angka kematian pada pasien dengan COVID-19 yang membutuhkan dukungan oksigen atau ventilator,” kata Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO di website resminya (16/6/2020).
“Ini berita bagus dan saya mengucapkan selamat kepada Pemerintah Inggris, Universitas Oxford, banyak rumah sakit dan pasien di Inggris yang telah berkontribusi pada terobosan ilmiah yang menyelamatkan jiwa ini,” lanjutnya.
Dexamethasone adalah steroid yang telah digunakan sejak 1960-an untuk mengurangi peradangan dalam berbagai kondisi, termasuk gangguan peradangan dan kanker tertentu.
Telah terdaftar dalam Daftar Model Obat Esensial WHO sejak 1977 dalam berbagai formulasi, dan saat ini tidak memiliki paten dan tersedia dengan harga terjangkau di sebagian besar negara.
Para peneliti dan WHO berbagi wawasan awal tentang hasil uji coba. Dan WHO menantikan analisis data lengkap dalam beberapa hari mendatang. WHO akan mengoordinasikan meta-analisis untuk meningkatkan pemahaman kita secara keseluruhan tentang intervensi ini.
“Panduan klinis WHO akan diperbarui untuk mencerminkan bagaimana dan kapan obat harus digunakan dalam Covid-19,” ungkapnya.
Beerita ini berkembang dari pertemuan Cetak Biru Penelitian dan Pengembangan WHO, di Jenewa pada pertengahan Februari guna mempercepat teknologi kesehatan untuk Covid-19, di mana penelitian lebih lanjut tentang penggunaan steroid disorot sebagai prioritas.
Ini memperkuat pentingnya uji coba kontrol acak besar yang menghasilkan bukti yang bisa ditindaklanjuti. WHO akan terus bekerja sama dengan semua mitra untuk mengembangkan lebih lanjut terapi penyelamat dan vaksin untuk mengatasi Covid-19 termasuk di bawah payung Access to Covid-19 Tools Accelerator.
Meski demikian, beberapa ahli farmakologi menyebut obat yang belakangan dijuluki “obat dewa” ini memiliki banyak efek samping sehingga tidak bisa digunakan sembarangan.
Seperti dilansir SuaraJogja.id, Jum'at (19 Juni 2020 | 12:00 WIB), menurut Ketua Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UGM Jogjakarta, Ika Puspita Sari, obat jenis steroid ini biasa diberikan untuk pasien inflamasi berat dan auto imun semisal lupus.
“Selama ini untuk asma dan gatal-gatal juga, tapi semakin dibatasi penggunaannya karena ada yang lebih ringan efek sampingnya,” jelasnya seperti dilansir Harianjogja.com, Jumat (19/6/2020).
Ika menyebut sejumlah efek samping yang dihasilkan obat ini di antaranya osteoporosis, peningkatan kadar gula, glukoma, pendarahan lambung, insomnia dan lainnya. Sebab itu penggunaan obat ini semestinya diawasi dokter.
“Tapi yang terjadi di warung-warung sering bisa dijual bebas karena masyarakat sakit gigi, punggung pegal, kecetit dan sebagainya bisa dengan deksametason ini, tanpa menyadari efek sampingnya,” ungkap Ika.
Karena bisa dipakai untuk segala inflamasi atau radang, deksametason pun mendapat julukan “obat dewa”. Di Jojga, penyembuhan Covid-19 belum memakai Dexamethasone, melainkan metil prednisolone, masih sejenis steroid namun memiliki efek samping lebih ringan.
Guru Besar Farmakologi UGM, Zullies Ikawati, mengatakan Dexamethasone memang bisa digunakan pada pasien Covid-19 parah. Pada pasien dengan kriteria ini, umumnya telah terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan peradangan berat dengan terjadinya badai sitokin yang meningkatkan risiko kematian.
Dexamethasone berfungsi menekan badai sitokin sehingga bisa menurunkan risiko kematian. Penggunaan jangka pendek seperti pada Covid-19 tersebut umumnya tak menyebabkan efek samping yang berarti, di mana manfaatnya lebih besar ketimbang risikonya.
Tapi, dengan penggunaan jangka panjang obat ini bisa menimbulkan berbagai efek samping termasuk penurunan imun tubuh. Makanya, obat ini tidak digunakan untuk pasien Covid-19 ringan apalagi untuk pencegahan Covid-19.
“Bukan untuk pencegahan karena justru menurunkan sistem imun dan menjadi lebih rentan pada penularan Covid-19,” ungkapnya.
Penulis Wartawan Senior.